You are on page 1of 10

TUGAS POLITIK HUKUM

Disusun Oleh:
- Nabilah Sariekide (10040010075)
- Raden Chintya Ratu Gianti (10040009197)
- Intan Supriani (10040009123)
- Nurliawati Pribadi (10040009105)



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2011/2012


I. Analisis Tentang Karakteristik Produk Hukum UU Nomor 32
Tahun 2004

Regulasi hukum berpotensi represif dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Lembaga hukum langsung mempunyai akses kekuasaan politik, sehingga
hukum diidentifikasikan dengan negara.
2. Perhatian utama para pejabat hukum untuk melestarikan kekuasaan.
3. Polisi sebagai aparat hukum yang khusus memiliki kekuasaan yang bebas,
terisolasi dari konteks sosial , dan memiliki kemampuan untuk
mempertahankan kekuasaannya.
4. Penguasa memiliki hukum ganda, melembagakan keadilan kelas (class
justice) dan melegitimasi pola-pola subkordinasi sosial.
5. Hukum pidana mencerminkan dominasi kekuasan dan dilestarikannya
moralisme hukum.

Sedangkan Philip Nonet dan Philip Selznick berpendapat lain bahwa hukum
represif menunjukkan karakter-kerakter sebagai berikut ini :
1. Institusi hukum langsung diakses oleh kekuatan politik dan hukum
diidentifikasikan negara dan disubkordinasikan pada tujuan negara (raison
detat).
2. Eksistensi otoritas menjadi bagian terpenting dalam administrasi hukum
yang terbangun, manfaat dari keraguan (the benefit of the doubt) masuk ke
sistem, dan kenyamanan administratif menjadi titik berat perhatian.
3. Lembaga kontrol yang memiliki kekhususan menjadi pusat-pusat
kekuasaan yang bebas dan terlepas dari konteks sosial yang berfungsi
memperlunak, serta mampu menolak otoritas politik.
4. Hukum berganda (dual law) melembagakan keadilan dengan cara
mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola subkordinasi sosial.
5. Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan; moralisme hukum
yang akan menang.

Sedangkan penjelasan ciri-ciri hukum yang represif adalah :
1. Norma menjadi tujuan bagi dirinya sendiri, bukan sebagai sarana
sebagaimana yang dipahami selama ini
2. Norma tidak cukup kuat berlaku bagi penguasa yang berlaku untuk orang-
orang kecil.
3. Jika terjadi diskresi dilakukan semata-mata berdasarkan selera penguasa
atau pejabat hukum yang bersangkutan, dan bukan dalam kerangka
mencari kebenaran materiil.
4. Pelaksanaan norma dengan cara paksa pada gilirannya sulit dikontrol
disebabkan tidak ada batasan yang jelas.
5. Hukum disubkordinasikan langsung pada politik kekuasaan dengan
demikian hukum lalu menjadi produk kekuasaan dan menjadi instrumen
kekuasaan untuk menekan atau melegitimasi kekuasaan.
6. Pelanggaran terhadap norma dianggap sebagai penyimpangan dan karena
itu harus diberi sanksi.
7. Tidak dimungkinkannya kritik terhadap norma sebab sama saja dengan
tidak loyal kepada kekuasaan.

Semua ciri tersebut dilandaskan pada praktik penegakan hukum secara
empiris oleh penguasa negara di berbagai negara setelah rule of law telah
disepakati. Peraturan yang mempedomani perilaku manusia (penguasa, rakyat
ataupun masyarakat).

Nonet dan Selznick berpendapat hukum yang otonom adalah hukum yang
lepas dari kekuasaan dan regulasi hukum yang menjadi sumber pencegahan
respresif oleh penguasa. Di mana lembaga hukum memperoleh cukup
kewenangan untuk menetapkan standar pembatasan terhadap pelaksanaan
kekuasaan.

Karena itu untuk mengenali hukum yang otonom, maka ciri-cirinya
sebagai berikut :
1. Terdapat pemisahan hukum dan politik dengan kebebasan peradilan dan
ada permisahan yang tegas antara fungsi yudisial dan legislasi;
2. Hukum menentukan batasan tanggung jawab pejabat pada waktu yang
sama. Lembaga hukum dibatasi kewenangannya untuk bertindak sesuai
dengan kreatifitasnya yang aksesnya ke ranah politik menjadi sangat
terbatas;
3. Prosedur merupakan jantungnya hukum yang menjadi tujuan utamanya
bukan keadilan substantif;
4. Kepercayaan kepada hukum sebagai kepatuhan yang ketat terhadap aturan
hukum positif yang otonom berpusat pada hakim dan terikat pada aturan.
Hakim menjadi simbol aturan-aturan hukum dan bukan pada polisi atau
para pembuat UU.

Terkait ciri-ciri hukum yang otonom di atas maka terdapat beberapa
catatan sebagai berikut :
1. Tujuan utama dari hukum yang otonom adalah meletakkan dasar-dasar
yang jelas bagi siapa saja yang dilakukan penguasa kepada masyarakat.
Langkah apa pun yang dilakukan harus selalu didasarkan pada ketentuan
yang sudah ditentukan sebelumnya.
2. Kejujuran untuk melaksanakan ketentuan dan taat pada prosedur yang
sudah ditetapkan, sehingga ketentuan yang ada mengikat, baik bagi yang
berkuasa maupun bagi yang dikuasai.
3. Diskresi sama sekali tidak dimungkinkan oleh peraturan yang sudah
ditentukan sebelumnya. Moralitas konstitusi yang mendasari bekerjanya
hukum yang otonom.

Nonet dan Selznick berpendapat hukum responsif itu hukum yang siap
mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama. Hukum tidak
lagi dilihat sebagai entitas mandiri tetapi harus mampu berinteraksi dengan tujuan
pokok untuk mengadopsi kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Hukum
bisa berinteraksi dengan politik untuk lebih mampu memahami ketidaktaatan dan
ketidakteraturan yang terjadi di masyarakat. Dalam hukum yang responsif terbuka
lebar ruang dialog pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas. Hukum yang
responsif tidak selalu mendasarkan pertimbangannya secara yuridis dengan
berbagai perspektif mengejar keadilan substantif.Pencarian hukum responsif
menjadi kegiatan teori hukum modern yang dilakukan berkelanjutan adalah untuk
membuat hukum menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial mendorong
perluasan bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum. Bertujuan supaya pola
pikir mencakup pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh
terhadap tindakan resmi para aparat hukum.

Untuk memudahkan pemahaman ketiga jenis kategori hukum berikut
implementasinya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 1 Tiga kategori Hukum menurut Nonet dan Selznick

H. Represif H. Otonom H. Responsif
Tujuan Aturan Legitimasi Kewenangan
Legitimasi Perlindungan sosial
Kejujuran
Prosedur
Keadilan Substansif
Aturan
mendetail tapi
lemah
Elaborasi,
mengikat
pembuat dan
diatur kuat
melekat pada
kewenangan
hokum
Disubkordinasi pada
prinsip dan kebijakan
Nalar
Daya ikatnya bagi
pembuat aturan
Adhoc, Articular
Terikat aturan
Memperluas
kemampuan kognitif
Diskresi
Membantu untuk
hal-hal yang khusus
oportunis
Delegasi
menyempit
Meluas namun tetap
berpegang pada
tujuan
Pemaksaan
Meluas,
lemahBatasannya
Terkontrol oleh
hokum
Mencari alternatif,
insentif, sistem
mempertahankan diri
terhadap kewajiban
Moralitas
Moralitas komunal,
moralisme hukum
Moralitas
konstittis
Moralitas
masyarakat, moralitas
atas kerjasama
Harapan
patuh
Tak bersyarat
Titik tolak
aturan
Tak patuh ditentukan
dalam kaitannya
dengan pelanggaran
substansif


Maka dapat diambil poin penting terkait Interaksi Politik Dalam Proses
Pembentukan Hukum (Studi UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah ) sebagai berikut :
1. Dalam pembentukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah adanya interaksi politik dan kepentingan tidak dapat dipisahkan
dari struktur politik dan perilaku politik yang melingkupi UU/hukum.
Karena partai politik masih memiliki kepanjangan tangan di DPR yang
pada dasarnya terpilih sebagai wakil rakyat (mewakili kepentingan rakyat)
tetapi justru mewakili kepentingan partai/kelompok dan pribadinya.
2. Karakter atau corak pada UU dipengaruhi struktur dan perilaku politik
yang demokratis. Pada akhirnya menciptakan produk hukum berupa UU
yang demokratis. Dikaitkan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, tingkat dinamika demokrasi yang terjadi pada saat
pembentukan UU tersebut akan berpengaruh pada format dan substansi
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut.
3. Masih terlihat celah dan menjadi rahasia umum bahwa dalam
pembentukan UU mendapat intervensi kepentingan kelompok politik atau
fraksi. Seharusnya UU mampu menampung dan dapat menjadi alat
merealisasikan setiap kepentingan pribadi masyarakat yang terbentuk
menjadi kepentingan umum. Namun karena wakil rakyat hanya
mementingkan keuntungan yang harus bisa didapat kelompok atau
pribadinya. Maka sebaik apapun disebutkan dibentuk UU hanya akan
mensejahterakan setiap personal dalam kelompok partai politik, fraksi dan
pihak yang terkait dengan mereka. Sampai kapanpun kalau sistem ini
masih dijalankan maka kesejahteraan rakyat tidak akan pernah bisa
dicapai

Karakteristik dari UU nomor 32 Tahun 2004 ini jika ditelaah berdasarkan
penjelasan di atas, maka bersifat;
- Imperatif , karena UU Nomor 32 ini merupakan perpanjangan dari Pasal
1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 22D, Pasal 23E ayat (2), Pasal 24A ayat (1), Pasal 31 ayat (4), Pasal
33, dan Pasal 34 Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; dan juga merupakan korelasi yang seimbang dengan undang-
undang lain yang mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan yang saling
melengkapi dan mengatur bidang masing-masing. UU Nomor 32 ini
bersifat memaksa sebagai suatu keharusan yang menjadi pembaharuan
dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan
oleh tiap-tiap daerah di Indonesia.

- Otonom, karena UU Nomor 32 Tahun 2004 ini diciptakan sebagai
pembaharuan terhadap aturan sistem pemerintahan yang lama yaitu
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang dirasa sangat menindas karena pemerintahan yang bersifat terpusat,
sehingga daerah-daerah sulit untuk maju dan mandiri. Dibuatlah sistem
baru yang proseduralnya tidak terpusat lagi, melainkan pemerintahan
daerah masing-masinglah yang mengelola sendiri daerahnya sebagai
perpanjangan kaki dari pusat.

- Responsif, karena UU Nomor 32 Tahun 2004 ini merupakan produk
hukum baru di era demokrasi. Merupakan hasil dari tuntuan
perkembangan zaman yang disuarakan oleh rakyat khususnya di daerah.
Karena sistem pemerintahan yang lama yaitu terpusart dirasa hanya
menguntungkan daerah ibukota dan daerah-daerah maju saja dan resiko
korupsi sangat besar di sana. Kekecewaan timbul manakala suara-suara
tuntutan rakyat di daerah terpencil tidak didengar karena semuanya diurus
oleh pemerintahan pusat.oleh karena itu, akyat menuntut agar sistem
pengelolaan daerah diserahkan jkepaa daerah masing-masing.


II. Analisis Tentang Karakteristik Produk Hukum UU Nomor 18
Tahun 2011

Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun
2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal
yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi
Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga
itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan
sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden
tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh
anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal
memulai masa tugasnya.
Tujuan komisi yudisial;
1. Agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat.
2. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kekuasaan kehakiman baik yang
menyangkut rekruitmen hakim agung maupun monitoring perilaku hakim.
3. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena
senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar
independen.
4. Menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan
kehakiman untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman.
Wewenang komisi yudisial;
Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Tugas komisi yudisial;
Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung, dengan tugas utama:
1. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
2. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3. Menetapkan calon Hakim Agung; dan
4. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta
Perilaku Hakim, dengan tugas utama:
1. Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,
2. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku
hakim, dan
3. Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang
disampaikan kepada Mahkamah Agung dan tindasannya
disampaikan kepada Presiden dan DPR.

Pertanggungjawaban KY;
Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR, dengan cara
menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi secara lengkap dan
akurat.

Anggota KY;
Keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum,
akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Anggota Komisi Yudisial adalah
pejabat Negara, terdiri dari 7 orang (termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang
merangkap Anggota). Anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama masa 5
(lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Dilihat dari isi UU Nomor 18 Tahun 2011 yang merupakan perubahan atas
UU Nomor 22 Tahun 2004 dapat diklasifikasikan bahwa produk hukum ini
memiliki karakteristik sebagai berikut;
o Fakultatif, karena UU Nomor 18 Tahun 2011 ini merupakan pelengkap dari
aturan hukum lain mengenai kekuasaan kehakiman guna mewujudkan
image negara sebagai negara hukum yang salah satu syaratnya adalah
kekuasaan hakim yang merdeka. Komisi Yudisial dibentuk sebagai suatu
lembaga kehakiman yang mengawasi hakim-hakim di Indonesia agar tujuan
dari supremasi hukum itu tercapai.
Seperti yang dimuat dalam pertimbangan membentuk UU Nomor 18
Tahun 2011 ini;
Menimbang:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka melalui pengusulan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
Hakim demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;


o Responsif , karena UU Nomor 18 Tahun 2011 ini merupakan
pembaharuan dari aturan hukum yang lama yaitu UU Nomor 22 Tahun
2004 yang dirasa tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Seperti yang dimuat pada hal pertimbangan dalam UU ini;
c. bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan;
Dan dalam hal pengawasannya pun UU ini mengedepankan laporan
dan suara dari rakyat mengenai kinerja seorang hakim di wilayah mereka.
Pasal 20
(1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
Hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a.melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim;
b.menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim;

Dalam pembentukan UU ini pun merupakan hasil tuntutan suara rakyat
mengenai maraknya hakim-hakim nakal yang tidak sejalan dengan tujuan
supremasi hukum.

o Otonom, karena UU Nomor 18 Tahun 2011 ini bertugas sebagai dasar
hukum dalam pengawasan dan penilaian terhadap kinerja dan
keprofesionalan hakim dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Dalam hal pelaksanaan pengawasan pun KY dibatasi oleh prosedural
seperti yang diatur oleh undang-undang ini serta kewenangannya pun
dalam melaksanakan pengawasan terbatas oleh dasar hukum ini, tidak
boleh lebih. Lebih kepada dikontrol oleh pembatasan-pembatasan
hukum.


III. Analisis Tentang Karakteristik Produk Hukum UU Nomor 25
Tahun 2004

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional telah membawa perubahan dalam Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional dan Daerah dibanding dengan Sistem Perencanaan
sebelumnya. Perubahan tersebut antara lain terletak pada penamaan dokumen-
dokumen perencanaan yang digunakan selama ini. Sebelumnya, di tingkat daerah
dikenal dokumen perencanaan berupa Pola Dasar atau Garis-Garis Besar Haluan
Daerah, Rencana Strategis (Renstra) Pemerintah Daerah, Program Pembangunan
Daerah (Propeda) yang rentang waktu berlakunya masing-masing lima tahun.
Kemudian oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, dikenal dokumen
perencanaan pembangunan daerah berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) yang rentang waktu berlakunya dua puluh tahun dan Rencana
Pembangunan jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang rentang waktu
berlakunya lima tahun. Dari sisi ini, jelas adanya usaha untuk mensistematisasi
dokumen perencanaan tersebut sesuai masa berlakunya sehingga tidak terkesan
tumpang tindih.

Pada sisi yang lain, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 mencoba
membenahi kelemahan pada sistem perencanaan sebelumnya dengan
mengintegrasikan antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah secara
bersamaan. Hal ini dapat dilihat dari mekanisme penyusunan dan penetapan
perencanaan yang pada ujungnya diharapkan agar permasalahan daerah dan
permasalahan nasional baik melalui dokumen perencanaan daerah maupun
melalui dokumen perencanaan nasional dapat dijawab melalui arah pembangunan
yang ditetapkan.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 mengemukakan bahwa Rencana
Pembangunan jangka Panjang Daerah merupakan dokumen perencanaan untuk
periode 20 (dua puluh) tahun. Dengan rentang waktu tersebut dimaksudkan agar
tercipta kesinambungan program pembangunan tersebut dalam jangka panjang 20
(dua puluh) tahun. Untuk kepentingan nasional Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) dapat disinergikan dengan perkembangan dinamika
pembangunan daerah yang mencakupi pembangunan sumberdaya manusia,
pembangunan sosial budaya, pembangunan ekonomi, pembangunan kawasan
tataruang, pembangunan hukum, pembangunan pemerintahan dan pembangunan
politik.

Berdasarkan penjelasan singkat dari uraian mengenai UU Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembagunan Nasional, dapat
diklasifikasikan sebagai berikut;

o Imperatif, karena produk hukum ini merupakan implementasi dari tujuan
Negara Republik Indonesia yang dimuat dalam alinea ke-4 UUD 1945
yang menjadi dasar pertimbangan dari dibentuknya UU ini;

a. bahwa atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, Proklamasi Kemerdekaan telah
mengantarkan bangsa Indonesia menuju cita-cita berkehidupan kebangsaan yang bebas,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur;
b. bahwa pemerintahan negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia;
c. bahwa tugas pokok bangsa selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu
serta mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan
secara bertahap dan berkesinambungan;
d. bahwa untuk menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran
maka diperlukan perencanaan pembangunan Nasional;
e. bahwa agar dapat disusun perencanaan pembangunan Nasional yang dapat menjamin
tercapainya tujuan negara perlu adanya sistem perencanaan pembangunan Nasional;

yang memaksa seluruh rakyat Indonesia untuk turut serta dalam usaha
pembangunan nasional ini. Dan menjadi satu-satunya dasar hukum
pelaksanaan sistem pembangunan nasional.

o Responsif , karena merupakan perwujudan dari mayoritas suara rakyat dan
nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia yang dituangkan di dalam
konstitusi Negara Republik Indonesia, yaitu UUD 1945. Pembangunan
yang menyeluruh di kesemua aspek kehidupan bangsa.
o Otonom, karena dalam kewenangan pemerintah baik daerah maupun pusat
dalam melaksanakan RPJP ini melalui prosedural seperti yang tercantum
dalam Pasal 8 UU Nomor 25 Tahun 2004 ini. Mekanisme dan
pelaksanaannya pun harus sesuai dengan yang diatur tidak berdasarkan
kehendak penguasa semata.

You might also like