You are on page 1of 15

OTOTOKSIKOSIS

A. Definisi
Obat ototoksik dapat didefinisikan sebagai obat yang mempunyai potensi dapat
menyebabkan reaksi toksik pada struktur-struktur di telinga dalam seperti kokhlea,
vestibulum, kanalis semisirkularis dan otolith. Kerusakan pada struktur-struktur ini yang
disebabkan oleh pemakaian obat dapat memberikan gejala berupa gangguan pendengaran,
tinitus dan gangguan keseimbangan. Ototoksisitas didefinisikan sebagai kerusakan pada
struktur kokhlea dan atau vestibuler di telinga akibat paparan zat kimia.
Ototoksisitas didefinisikan oleh American Speech-Language-Hearing Association
(ASHA) dan the National Cancer Institute Common Terminology Criteria for Adverse
Events (CTCAE) sebagai : 2
Penurunan sebesar 20dB atau lebih pada audiometri nada murni pada satu
frekuensi
Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada pada dua frekuensi yang berdekatan
Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3 kali
pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.

Derajat ototoksisitas didefinisikan oleh CTCAE sebagai berikut :
Derajat 1 : ambang dengar turun 15-25dB dari pemeriksaan sebelumnya(1 tahun),
dirata-rata pada 2 atau lebih frekuensi yang berurutan.
Derajat 2 : ambang dengar turun 25-90dB dari pemeriksaan sebelumnya(1 tahun),
dirata-rata pada 2 atau lebih frekuensi yang berurutan.
Derajat 3 : penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat bantu
dengar (>20dB bilateral pada frekuensi percakapan, > 30dB unilateral pada
frekuensi percakapan)
Derajat 4 : penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat bantu
dengar dan implan kokhlea.
B. Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko ototoksik antara lain :
Pemberian terapi dengan dosis tinggi obat golongan aminoglikosida dan salisilat
(Apirin)
Pasien yang sedang menerima pengobatan loop diuretic
Pemberian obat kemoterapi, antara lain dosis dan jumlah siklus terapi yang semakin
tinggi, riwayat terapi radiasi pada daerah kepala sebelumnya,
C. Gejala Klinis
Tinnitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinnitus biasanya
menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun dan seringkali keluhan pertama
yang muncul serta mengganggu jika dibandingkan dengan tulinya sendiri dimana pada
ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta
biasa bilateral. Pada kerusakan yang menetap, tinnitus lama kelamaan tidak begitu kuat
tetapi juga tidak pernah hilang, gejala lainnya juga terdapat gangguan keseimbangan
badan,sulit memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan posisi, ataksia (kehilangan
koordinasi otot) dan oscillopsia ( pandangan kabur dengan pergerakan kepala) tanpa
adanya riwayat vertigo sebelumnya, menyebabkan kesulitan melihat tanda lalu lintas ketika
mengendarai kendaraan atau mengenali wajah orang ketika berjalan.
Diuretik kuat dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit setelah
menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat dapat terjadi tuli
sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya disertai tinnitus yang
ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang mendatar atau sedikit menurun.
Tinitus dan kurang pendengaran yang reversibel dapat terjadi pada penggunaan
salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan diuretik kuat dapat pulih dengan
menghentikan pengobatan dengan segera.
Gejala dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit dikenali
oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekwensi tinggi. Pada keadaan lanjut akan
mempengaruhi frekwensi percakapan dan ketuliannya akan semakin berat jika penggunaan
obat ini diteruskan. Pada audiogram ditemukan ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi
tinggi.
D. Jenis jenis Obat Ototoksik
Sudah sering terdengar bahwa hampir semua obat mempunyai efek samping. Salah
satunya adalah obat-obatan yang menimbulkan gangguan pada pendengaran yang
merupakan efek samping obat yang serius dan sering terjadi. Dengan makin banyak obat-
obatan paten yang beredar di pasaran, kemungkinan daftar obat-obatan yang mempunyai
efek samping pada telinga juga makin bertambah. Dari abad ke- 19 hingga kini telah
banyak diketahui obat-obatan yang menimbulkan gangguan pada telinga diantaranya yaitu :
a. Golongan Aminoglikosida
Sejak diperkenalkan pada tahun 1944, banyak sediaan aminoglikosida menjadi mudah
didapatkan seperti , streptomisin, dihidrostreptomisin, kanamisin,gentamisin, neomisin,
tobramisin, netilmisin, dan amikasin. Aminogikosida bersifat bakterisid yang berikatan
dengan Ribosom 30S dan menghambat sistesis protein bakteri. Aminogikosida hanya
efektif pada basil gram negatif aerobik dan stafilokokus. Neomisin dan kanamisin
memiliki spektrum antibakteri yang terbatas serta lebih toksik dari pada aminoglikosida
lainnya.
Aminoglikosida memiliki efek toksik terhadap koklea dan vestibuler yang bervariasi.
Streptomisin dan gentamisin terutama bersifat vestibulotoksik, sedangkan amikasin,
neomisin, dihidrostreptomisin, dan kanamisin bersifat kokleotoksik. Tobramisin berefek
sama pada fungsi vestibuler maupun auditorik. Efek ototoksik pada netilmisin sedikit
diketahui karena penggunaannya yang sudah jarang juga karena memiliki potensi efek
ototoksik yang rendah.
Toksisitas aminoglikosida tertutama pada ginjal dan sistem kokleovestibuler walaupun
tidak ditemukan hubungan yang jelas antara derajat nefrotoksik dan ototoksik.
Toksisitas koklear yang menyebabkan gangguan pendengaran biasanya dimulai pada
frekuensi tinggi dan efek sekundernya menyebabkan dekstruksi ireversibel sel rambut
luar organ Corti, terutama pada lengkungan basal koklea.
Insidensi efek ototoksik aminoglikosida sekitar 10%. Aminoglikosida dieksresi di
ginjal, oleh karena itu pada pasien dengan gangguan ginjal bilateral, kandungan serum
aminoglikosida akan meningkat sehingga akan meningkatkan resiko ototoksik.
Aminoglikosida membutuhkan waktu lebih lama dibersihkan dari perilimfe daripada
dari serum. Umumnya efek ototoksik merupakan bukti adanya kehilangan sel rambut,
yang dimulai pada lengkung basal koklea dan kemudian berjalan ke apeks. Deretan
dalam dari sel rambut bagian luar terkena terlebih dahulu, diikuti oleh kerusakan dua
deretan terluar. Untuk alasan yang belum diketahui, sel rambut bagian dalam dilindungi
ketika tedadi efek ototoksik dengan kerusakan total organ Corti.
Kerusakan akut sistem auditorik sering tejadi pada aminoglikosida, tetapi ditutupi oleh
keluhan tinnitus. Gangguan pendengaran biasanya terjadi pada frekuensi tinggi tetapi
dapat terjadi pada frekuensi rendah. Manusia dapat mendengar frekuensi lebih dari
16.000 Hz, tapi audiometer hanya bisa mendeteksifrekuensi dibawah 8.000 Hz. Karena
pasien tidak bisa mengenali kehilangan pendengaran sampai mereka kehilangan 20 dB,
atau sekitar 3.000 4.000 Hz, akan sangat sulit mengetahui seorang pasien mengalami
efek ototoksik atau tidak. Efek ototoksik akan tampak 2 3 minggu setelah obat-obat
tersebut berhenti digunakan secara permanen.
Obat-obat golongan Aminoglikosida yaitu :
1. Streptomisin
Untuk suntikan tersedia bentuk bubuk kering dalam vial yang mengandung 1 atau 5
gr dengan dosis 20 mg/kgBB secara IM, maksimum 1gr/hari selama 2 sampai 3
minggu. Kemudian frekuensi diturunkan menajadi 2-3kali seminggu. Dosis ini
harus dikurangi untuk penderita usia lanjut, anak-anak, orang dewasa badannya
kecil dan gangguan fungsi ginjal serta memperhatikan cara pemberian dan cara
penyuntikan tergantung dari jenis dan lokasi infeksi.
Suntikan IM merupakan cara yang paling sering dikerjakan. Total sehari berkisar 1-
2 gr (15-25 mg/kgBB), 500 mg-1 gr disuntikan setiap 12 jam. Untuk infeksi berat
dosis harian dapat mencapai 2-4 kali pemberian. Dosis untuk anak ialah 20-30
mg/kgBB sehari yang dibagi dua kali penyuntikkan. Kadar serendah 0,4 ug/ml dapat
menghambat pertumbuhan kuman dan untuk kuman TB dapat dihambat dengan
kadar 10 ug/ml.
Obat ini utamanya berefek vestibulotoksik sehingga menyebabkan vertigo sebelum
tedadinya tinnitus dan gangguan pendengaran. Efek ototoksik dan efrotoksik terjadi
bila diberikan dalam dosis besar dan lama. Penggunan 1 gram perhari obat ini
selama 10 hari tidak menyebabkan sindrom vestibular. Penggunaan 2 gram perhari
selama 14 hari dilaporkan menyebabkan sindrom vestibules pada 60 70 % pasien
atau pada pasien yang mendapatkan dosis total 10-12 gr dapat mengalami hal diatas.
Hingga dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan audiometri basal dan berkala pada
meraka yang mendapatkan obat ini.
Ototoksik sangat tinggi terjadi pada kelompok usia 65 tahun dan pada orang hamil
tidak boleh melebihi dosis total 20 gram dalam 5 bulan terakhir kehamilan untuk
mencegah ketulian pada bayi (tuli congenital).

Temuan histologik efek ototoksik streptomisin adalah sebagai berikut :
a) Kehilangan sel rambut bagian luar secara terpencar di lengkung basal atas
koklea
b) Kerusakan berat pada epitel sensoris Krista semua saluran
c) Stereosilia di dalam ampula saluran mengalami pembengkakan dan
diameternya menjadi dua kali lebih besar
2. Dihidrostreptomisin
Dihidrostreptomisin dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang berat dan
tidak menentu bahkan sampai setelah 2 bulan setelah dihentikan. Ketulian tidak
bisa, diramalkan serta tidak bergantung pada dosis obat yang diberikan. Karena efek
ototoksiknya yang besar serta kegunaannya yang tidak lebih bagus daripada
streptomisin, obat ini telah ditarik dari peredaran di AmerikaSerikat.
3. Neomisin
Neomisin tersedia untuk penggunaan topikal dan oral, penggunaannya secara
parenteral tidak lagi dibenarkan karena toksisitasnya. Salep mata dan kulit
mengandung 5 mg/gr untuk digunakan 2-3 kali sehari. Untuk oral tersedia tablet 250
mg. Dosis oral neomisin dapat mencapai 408gr sehari.
Penyerapan neomisin tidak terlalu bagus bila diberikan secara oral maupun topikal.
Walaupun demikian obat ini tetap diberikan secara tetes telinga karena efek
ototoksik yang rendah. Tetapi penggunaan berulang pada jaringan yang meradang
dapat menyebabkan tuli yang irreversibel. Dosis parenteral 5 - 8gram neomisin
lebih dari 4 - 6 hari dapat menyebabkan tinnitus dan tuli ireversibel. Gangguan
pendengaran dihubungkan dengan nilai diskriminasi percakapan rendah. Neomisin,
streptomisin dan kanamisin dibersihkan lebih lambat dari perilimfe dari bagian
tubuh lainnya, menyebabkan efek ototoksik yang tertunda dan terjadi 1-2 minggu
setelah obat dihentikan.
Penemuan histologik pada efek ototoksik neomisin AMA :
a. Kerusakan sel rambut bagian luar dan bagian dalam
b. Kerusakan parsial sel pilar
c. Atropi parsial stria vaskularis
d. Kehilangan sedikit sel Deiter dan sel Hensen
e. Makula dan Krista biasanya normal
4. Gentamisin
Gentamisin buruk absorpsinya melalui oral dan harus diberi secara parateral untuk
penggunaan sistemik. Ketika diberi melalui IM, kadar puncak tercapai pada 0.5 1
jam. Eliminasi pada serum kira-kira 2 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Konsentrasi puncak gentamisin tercapai pada akhir infus selama 2 jam dengan dosis
1 mg/ Kg pada pasien dengan kadar rata-rata 4,5g/mL ( antar 0,5 8 g/mL).
Konsentrasi aminglikosid pada serum harus dimonitor untuk memastikan kadar
yang adekuat dan untuk menghindari efek toksik. Harus dihindari kadar diatas 12
g/mL untuk menurukan resiko gagal ginjal dan terjadinya toksisitas nervus kranial.
Sedangkan pada pemberian secara IM, kadar diatas 10 12 g/mLdianggap
menimbulkan efek toksik.
Gentamisin tersedia sebagai larutan steril dalam vial atau ampul 60 mg/1,5ml, 80
mg/2ml, 120 mg/3 ml dan 280 mg/2 ml dan setiap salep atau krim dalam kadar 0,1
dan 0,3 %. Dosis awal untuk dewasa dan anak-anak dengan dehidrasi 0,75-1,5
mg/kgBB, normal 1-2 mg/kgBB, neonatus 2-2,5 mg/kgBB, sedangkan dosis
penunjang dewasa dengan fungsi ginjal normal 1-2 mg/kgBB setiap 6-12 jam,
fungsi ginjal terganggu 1-1,5 mg/kgBB setiap 12-48, sedangkan anak dengan fungsi
ginjal normal 1-2 mg/kgBB setiap 4-8 jam dan fungsi ginjal terganggu1-1,5
mg/kgBB setiap 8-48 jam serta untuk neonatus 2,-2,5 setiap 8-24 jam.
Gentamisin, seperti juga streptomisin lebih mengenai vestibuler dari pada auditorik.
Kadar efektif untuk infeksi sedang dan berat adalah 6-8ug/ml, untuk infeksi gawat
8-10 ug/m dan kadar toksik potensial lebih dari10-12 ug/ml. Dosisnya disesuaikan
pada pasien dengan gangguan ginjal, lanjut usia, kegemukkan, sepsis, gagal jantung,
luka bakar, dialisis dan neonatus.. Pada sebuah penelitian diketahui bahwa
gentamisin menyebabkan efek ototoksik sebesar 10 -15 %.
5. Kanamisin
Untuk suntikan tersedia larutan dan bubuk kering. Larutan dalam vial ekuivalen
dengan basa kanamisin 500 mg/2 ml dan 1 gr/ 3 ml untuk orang dewasa serta 75
mg/2 ml untuk anak. Untuk pemberian oral kapsul/tablet 250 mg dan sirup 50
mg/ml.
Pemberian IV jarang dikerjakan, karena absorpsi melalui suntikan IM sangat baik.
Dosis oral untuk anak adalah 50 mg/kgBB sehari dibagi 4 kali pemberian, untuk
orang dewasa dapat mencapai 8 gr sehari. Dosis awal pada dewasa dan anak dengan
dehidrasi 5-7,5 mg/kgBB, normal 7,5 mg/kgBB dan neonatus 10 mg/kgBB. Kadar
efektif dalam serum untuk infeksi sedang berat 20-25 ug/ml, infeksi berat 25-30
mg/ml dan kadar dalam plasma yang berpotensi menimbulkan toksik lebih dari 32
ug/ml. Pada pasien yang fungsi ginjalnya normal, 15 mg/kg/hari kanamisin akan
menyebabkan gangguan pendengaran ringan. Efek ototoksik kanamisin tidak
seberat neomisin, tetapi seperti halnya neomisin, efeknya terutama pada koklea.
Kanamisin menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural. Diantara obat-obat
aminoglikosida, kanamisin paling sering menyebabkan kerusakan koklea unilateral.
Penemuan histologik efek ototoksik kanamisin adalah :
a. Kerusakan sel-sel rambut bagian dalam dan luar
b. Sering tidak menyebabkan perubahan sel penyokong
c. Krista saluran semisirkuler normal, oleh karena itu degenerasi neural
tidak signifikan.
6. Aminoglikosida lainnya
Efek ototoksik tobramisin sama dengan kanamisin. Tobramisin tersedia sebagai
larutan 80 mg/2 ml untuk suntikkan IM. Untuk infus dilarutkan dengan dekstrose 5
% atau larutan NaCL yang diberikan dalam 30-60 menit. Tidak boleh diberikan
dalam 10 hari dengan dosis untuk orang dewasa dan anak-anak dengan dehidrasi
0,75-1,5 mg/KgBB, normal 1-2 mg/kgBB dan neonatus 2-2,5 mg/kgBB. Dosis
penunjang tobramisin dewasa dengan fungsi ginjal normal 1-2 mg/kgBBsetiap 6-12
jam, gangguan fungsi ginjal 1-1,5 mg/kgBB setiap 12-48 jam, anak-anak fungsi
ginjal normal 1-2 mg/kgBB setiap 4-8 jam, gangguan fungsi ginjal 1-1,5 mg/kgBB
setiap 8-48 jam dan neonatus 2-2,5 mg/kgBB setiap 8-24 jam. Kadar efekti untuk
infeksi sedang dan berat adalah 6-8 ug/ml, untuk infeksi gawat 8-10 ug/m dan kadar
toksik potensial lebih dari 10-12 ug/ml. Dosisnya disesuaikan pada pasien dengan
gangguan ginjal, lanjut usia, kegemukkan, sepsis, gagal jantung, luka bakar, dialisis
dan neonatus.
Amikasin memiliki efek toksik yang ringan terhadap vestibular dan lebih rendah
efek ototoksiknya daripada gentamisin. Obat ini tersedia untuk suntikan IM dan IV
dalam vial berisi 100,250, 500, 1.000 dan 2.000 mg. Dosis awal lazim yang
digunakan pada dewasa dan anak dengan dehidrasi 5-7,5mg/kgBB, normal 7,5
mg/kgBB dan neonatus 10 mg/kgBB. Kadar efektif dalam serum untuk infeksi
sedang berat 20-25 ug/ml, infeksi berat 25-30 mg/ml dan kadar dalam plasma yang
berpotensi menimbulkan toksik lebih dari 32 ug/ml. Adanya gangguan pada fungsi
ginjal memerlukan pengurangan dosis dan perpanjangan interval waktu antara dosis
dengan berpedoman pada kadar efektif didalam darah yang berkisar antara 5-10
ug/ml sampai 20-25 ug/ml.
b. Antibiotik Lainnya
1. Eritromisin
Termasuk ke dalam golongan makrolid yang bekerja menghambat sintesis protein
kuman dengan dan bersifat bakteriostatik atau bakterisid tergantung dari jenis
kuman dan kadarnya. Obat ini tersedia dalam kapsul/tablet 250 mgdan 500 mg
dengan dosis dewasa 1-2 gr/hari dibagi dalam 4 dosis dapat ditingkatkan 2 kali lipat
pada infeksi berat, anak-anak dengan dosis 30-50mg/kgBB sehari dibagi dalam 4
dosis. Kadar puncak dalam darah 0,3-1,9ug/ml yang mana ini dapat dicapai dengan
dosis oral 500 mg dalam waktu 4 jam. Dosis lebih dari 4 gram/hari meningkatkan
efek ototoksik, gejalanya umurnnya terlihat dalam 4 hari dan biasanya gangguan
pendengaran dapat pulih setelah pengobatan dihentikan.
Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga tengah adalah kurang
pendengaran subjektif, tinnitus yang meniup dan kadang-kadang vertigo. Tuli
sensorineural pernah dilaporkan terjadi pada anak-anak maupun dewasa, terjadi tuli
sensorineural nada tinggi dan tinnitus setelah pemberian intraverna dosis tinggi atau
secara oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih setelah obat dihentikan.
2. Vankomisin
Beberapa gejala yang sering muncul pada ototoksik pada umumnya adalah tinitus
dimana ini terjadi pada pasien dengan konsentrasi serum vankomisin yang tinggi
pada gagal ginjal atau pada pasien yang mendapatkan terapi aminoglikosida secara
bersamaan, digunakan dalam waktu yang lama, dan dalam dosis yang besar.
Karena sangat toksik, obat ini hanya digunakan bila penderita alergi terhadap obat
yang lain lebih aman. Ketulian permanen dan uremia yang fatal karena itu perlu
pemeriksaan audiogram dan faal ginjal secara teratur, lebih bila berlangsung dalam
1 minggu. Obat ini tersedia dalam bubuk 500 mg untuk pemberian IV. Dosis untuk
dewasa 2-4 gr/hari yang dibagi dalam beberapa pemberian dan untuk anak 40
mg/kgBB/hari. Dosis ini diberikan dengan dilarutkan dalam 100-200 ml NaCL atau
dekstrose 5 % yang diberikan IV secara perlahan-lahan, kadar puncak terapeutik
vankomisin 25-40 mg/mL, kadar normal 5-12 mg/mL dan efek toksik terjadi saat
kadar vankomisin mencapai > 80 mg/mL(SI: > 54mmol/L).
c. Diuretik
Dua diuretik penyebab utama efek ototoksik adalah furosemid dan asam etakrinat.
Dimana kedua obat ini merupakan diuretik yang efeknya sangat kuat dibandingkan
dengan yang lain. Manifestasi ototoksiknya adalah gangguan pendengaran
sensorikneural, tinnitus dan vertigo. Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian
sementara maupun menetap dan hal ini merupakan efek samping yang serius. Ketulian
sementara juga dapat terjadi pada furosemid. Ketulian ini mungkin sekali disebabkan
oleh perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe. Ototoksisitas merupakan suatu
efek samping unik kelompok obat ini. Bila karena suatu hal diperlukan pemberian obat
yang juga bersifat ototoksik, misalnya aminoglikosida, sebaiknya dipilih diuretik
lainnya, misalnya tiazid.
Efek ototoksik tampak pada sistem dari penghambatan sodium-pomsiumATPase
koklear, menyebabkan perubahan komposisi elektrolit endolimfe. Gangguan
pendengaran pada asam etakrinat dan furosemid umumnya sementara tapi dapat juga
bersifat permanen. Efek ototoksik bumetanide lebih rendah dari diuretik lainnya.
Furosemid pada dosis tinggi seharusnya diberikan selama beberapa menit untuk
meminimalisir efek ototoksiknya. Perubahan komposisi elektrolitendolimfe yang
disebabkan oleh obat sangat unik untuk jenis obat ini.
Untuk pemberian injeksi dosis Minimal/Maximal untuk dewasa adalah10 mg/600mg,
untuk anak-anak dosis Minimal/Maximal adalah 0.5mg/kg / 6mg/kg. Sedangkan untuk
pemberian secara oral untuk dewasa dosis Minimal/Maximal adalah 20 mg / 600 mg,
dan untuk anak-anak dosis Minimal/Maximal adalah 0.5 mg/kg / 6 mg/kg.
Untuk pengobatan edema, pada dewasa bisa digunakan Furosemide tablet20-80 mg
single dose. Jika dibutuhkan, pada dosis yang sama dapat diberikan6-8 jam berikutnya
atau dosis bisa ditingkatkan. Dosis bisa ditingkatkan 20 atau40 mg dan tidak diberikan
kurang dari 6-8 jam berikutnya. Pasien dengan singledose harus diberikan satu atau dua
kali sehari (misal : pada jam 8 pagi dan2 siang). Untuk anak-anak dapat juga diberikan
per oral tablet dengan dosis 2mg/kg BB diberikan single dose. Jika respon diuretik tidak
juga hilang maka dosis dinaikkan 1-2 mg/kg BB diberikan 6-8 jam setelah pemberian
sebelumnya, asalkan pemberian dosis tidak mencapai kadar minimal yaitu lebih dari 6
mg/kgBB. Durasi furosemide adalah 6-8 hari dimana waktu paruhnya adalah 2 hari,
sehingga pemberian ulang dosis setiap dua hari jika perlu. Obat diekskresikan lewat
urin.
Asam etakrinat tersedia dalam bentuk tablet 25 dan 50 mg digunakan dengan dosis 50-
200 mg/hari. Sedia IV berupa Na-etakrinat dengan dosisnya50 mg atau 0,5-1 mg/kgBB.
Dosis dewasa Oral: 50-200 mg/hari terbagi 1-2 dosis dan mungkin ditingkatkan 25-50
mg dengan interval beberapa hari, dosis lebih dari 200 mg dua kali sehari mungkin
dibutuhkan dengan edema berat dan berulang IV: 0,501 mg/Kg/dosis (maksimum 100
mg/dosis) ; pengulangan dosis tidak direkomendasikan, tapi jika perlu dosis dapat
diulang tiap 8-12 jam.
Asam etakrinat menyebabkan kerusakan lapisan pertengahan striavaskuler dan sel
rambut bagian luar dari organ Corti, lebih parah pada lengkung basal. Gangguan
pendengaran dapat sementara maupun permanen. Ototoksik berhubungan dengan
pemberian cepat secara IV, kerusakan ginjal, dosis besar, dan penggunaan dengan obat
ototoksik lain. Insidensi lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan loop diuretik.
Pemberian secara IV harus diencerkan dengan D5W or NS (1 mg/mL) dan dilakukan
melalui infus selama beberapa menit. Efek sementara dapat merupakan sekunder dari
efek pada enzim-enzim respirasi (succinate dehidrogenase dan ATPase) dalam organ
Corti dan stria vaskuler. Kandungan Sodium endolimfe berkurang. Gejala yang timbal
berupa tuli,tinnitus dan vertigo.
d. Salisilat
Asam salisilat dan derivatnya yang lebih dikenal dengan sebagai asetosal dan aspirin
sering dipakai sebagai analgetik, antiperitik, keratolitik dan antireumatik. Gejala toksik
umumnya berupa asidosis metabolik sedangkan gejala utama berupa salisilismus, dan
beberapa tahun ini ototoksik akibat salisilat banyak diteliti oleh karena terapi aspirin
dosis tinggi pada arthritis rematoid.
Untuk memperoleh efek anti inflamasi yang baik kadar plasma perlu dipertahankan
antara 250-300 mcg/ml. Kadar ini tercapai dengan dosis 4 gr/hari untuk orang dewasa.
Paling banyak adalah aspirin dalam bentuk 100 mg untuk anak-anak dan 500 mg untuk
dewasa dimana dosis yang lazim digunakan adalah 325-650 mg untuk dewasa diberikan
secara oral setiap 3 atau 4 jam. Untuk anak-anak 15-20 mg/kgBB yang diberikan tiap 4-
6 jam dengan dosis total tidak melebihi 3,6 gr/hari, gejala toksik natrium salisilat pada
orang dewasa terjadi jika menelan 10g/lebih dalam periode 12-14 jam (kadar plasma
>30mg/100ml) dan akan bersifat letal dengan dosis 20-30 g. Dosis letal pada anak yaitu
pada 2,7 g metol salisilat.
Salisilat termasuk aspirin dapat mengakibatkan tuli sensori neural frekuensi tinggi,
bilateral dan tinnitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan pendengaran akan pulih dan
tinnitus akan hilang. Keracunan salisilat yang berat dapat menimbulkan kematian, tetapi
umumnya keracunan salisilat bersifat ringan. Gejalanya adalah nyeri kepala, pusing,
tinnitus, gangguan pendengaran, penglihatan kabur, rasa bingung, cemas, rasa kantuk,
banyak keringat, haus, mual dan muntah.
e. Anti Malaria
Kina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.Absorpsi klorokuin
setelah pemberian oral terjadia lengkap dan cepat dan makanan mempercepat absorpsi
ini. Metabolisme dalam tubuh berlangsung lambat sekali dan metabolitnya dieksresi
melalui urin. Dosis harian 300 mg menyebabkan kadar mantap kira-kira 125 ug/l
sedangkan dengan dosis oral 0,5 gr tiap minggu dicapai kadar plasma antara 150-250
ug/l.
Untuk terapi supresi diberikan klorokuin difosfat 0,5-1 gr sekali seminggu pada hari
yang tetap, sejak 1 minggu sebelum seseorang menuju ke daerah endemik dan
diteruskan sampai paling sedikit 6 minggu setelah meninggalkan tempat dan pada anak-
anak 5 mg/kgBB dengan cara yang sama dan serangan klinik diatasi dengan dosis awal
1 gr disusul dengan 0,5 gr setelah 6 jam dan 2 hari berikutnya sehingga total 2,5 gr
dalam 3 hari. Dosis boleh diulang dalam 6 jam dengan syarat dalam 24 jam tidak
melebihi 800 mg klorokuin basa.
Kina adalah alkaloid penting yang diperoleh dari kulit pohon sinkona. Kina digunakan
dalam terapi malaria. Untuk pemberian oral dikenal 2 regimen dosis yaitu garam kina 3
kali sehari 650 mg selama 7-10 hari bersama 3 tablet Fansidar dosis tinggal, garam kina
3 kali sehari 650 mg selama 7-10 hari bersama tetrasiklin4 kali sehari 250 mg selam 7
hari. Dosis kina untuk anak-anak 25 mg/kgBB hariyang diberikan sebagai dosis terbagi
seperti orang dewasa, dosis suntikan atau infus pada dewasa 10-20 mg/kgBB garam
kina dilarutkan dalam 500 ml NaCL dan dekstrosa 5 % yang di infus perlahan selam 4
jam dan dosis untuk anak-anak 12,5mg/kgBB/hari maksimum perhari 25mg/kgBB.
Efek ototoksisitasnya berupa gangguan pendengaran sensorineural dan tinitus. Kuinin
dapat menyebabkan sindroma berupa gangguan pendengaran sensorineural, tinnitus dan
vertigo. Tetapi bila pengobatan dihentikan biasanya pendengaran akan pulih dan
tinitusnya akan hilang. Studi terbaru menyatakan bahwa kuinin mengganggu motilitas
sel-sel rambut. Pada pemakaian klorokuin pada dosis tinggi (lebih dari 250 mg sehari)
atau penggunaan lama (diatas 1 tahun), efek sampingnya lebih hebat, yaitu rambut
rontok, tuli menetap, dan kerusakan menetap. Perlu dicatat bahwa kina dan klorokuin
dapat melalui plasenta. Pernah ada laporan kasus tentang tuli kongenital dan hipoplasi
koklea karena pengobatan malaria waktu ibu sedang hamil.
f. Anti Kanker
Neurotoksik atau neuropari perifer terjadi tergantung pada dosis dan durasi penggunaan
obat. Mekanisme yang terjadi adalah degenerasi aksonal dengan kerusakan pada nervus
sensorik. Toksisitas dapat terjadi pertama kali pada dosis 200 mg/m2, dengan
pengkuran toksisitas terjadi pada dosis > 350 mg/m2. Proses ini irreversibel dan
progresif pada terapi yang terus-menerus. Otokoksisk terjadi pada 10% - 30% dan
bermanifestasi pada kehilangan pendengaran nada tinggi, oleh karena itu audiografi
dasar harus dilakukan.
Pengunaan dosis normal pada anak adalah mulai dari 30-100 mg/m2 sekali tiap 2-3
minggu, pada tumor otak berulang dosisnya 60 mg/m2 sekali sehari untuk 2 hari
konsekuetif tiap 3-4 minggu.
Walaupun obat anti kanker pernah dilaporkan bersifat ototoksik, obat-obatan tersebut
sangat jarang ditemukan sebagai satu-satunya penyebab gangguan vestibuler. Cisplatin
adalah anti kanker yang paling luas penggunaannya, namun sayangnya bersifat
kokleotoksik dan nefrotoksik. Toksisitas cisplatin sinergis dengan gentamisin dan pada
dosis tinggi cisplatin telah dilaporkan dapat menyebabkan tuli total. Pada binatang
percobaan, ototoksisitas cisplatin berhubungan dengan peroksidasi lipid. Carpolatin dan
cisplatin diklasifikasikan sebagai agents, keduanya merusak sel-sel kanker (dan
beberapa seltubuh yang sehat juga ikut rusak) dengan cara merusak DNA dari sel
tersebut.
Gejala yang ditimbulkan cisplatin sebagai ototoksisitas adalah tuli subjektif, tinnitus
dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan keseimbangan. Tuli biasanya
bersifat bilateral dimulai dengan frekuensi antara6 KHz dan 8 KHz, kemudian pada
frekuensi yang lebih rendah. Tinnitus biasanya samar-samar, bila tuli ringan maka akan
pulih pada penghentian pengobatan, tetapi bila tulinya berat biasanya menetap.
g. Obat Topikal Telinga
Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan aminoglikosida seperti
neomisin dan polimiksin B, keduanya memiliki efek neurotoksik dan nefrotoksik. Obat-
obatan tersebut menjadi ototoksik bila diberikan pada pasien dengan perforasi membran
timpani. Neomisin tetes telinga pernah dilaporkan mengakibatkan hilangnya
pendengaran yang relatif.Seharusnya obat tetes telinga golongan aminoglikosida
digunakan terhadap infeksi telinga luar.
Terjadinya ketulian oleh karena obat Nomisin dan polimiksin B terjadi karena obat
tersebut dapat menembus tingkap bundar. Walaupun membran tersebut pada manusia
lebih tebal 3 kali dibandingkan pada Baboon (yaitu sekitar +/- > 65 mikron, tetapi dari
hasil penelitian masih dapat ditembus obat-obatantersebut.
Derivat-derivat Penisilin seperti ticarsilin memiliki efek antibakterial yang kuat tetapi
juga ototoksik. Florokuinolon, siprofloksasin dan ofloksasin aktif dalam membasmi
bakteri yang mengakibatkan OMSK. Uji klinik dan uji pada hewan menyebutkan bahwa
siprofloksasin dan ofloksasin tidak memiliki bukti yang signifikan menyebabkan
ototoksik. Ofloksasin topikal biasanya dikombinasikan dengan Cortisporin Otic
Suspension (COS) dan obat tetes mata gentamisin. Sel rambut utama dapat rusak yang
disebabkan oleh COS dengan kehilangan sekitar 65%. Ofloksasin meskipun diberikan
tiga kali sehari tidak menghasilkan kerusakan koklear yang berarti.
h. Obat obat Lainnya
Obat anti impotensi dicurigai menyebabkan efek ototoksik. Badan Pengawas Obat di
Amerika Serikat (FDA) bulan Oktober 2007telah mengeluarkan peringatan adanya efek
samping obat-obatan tersebut, yakni bisa menyebabkan gangguan pendengaran.
Kendati belum ditemukan kaitan pasti antara obat anti impotensi dengan gangguan
pendengaran, namun FDA tetap memutuskan mengeluarkan peringatan tersebut.
Pasalnya, sejak tahun 1996 telah ada 29 laporan yang masuk dari para pasien. Selain
obat anti impotensi, obat darah tinggi, Revatio, juga dilaporkan memiliki efek samping
sama, mengingat obat, tersebut memiliki bahan aktif yang sama dengan viagra.Sejauh
ini laporan yang masuk menyebutkan gangguan pendengaran terjadi pada satu telinga
dan sepertiga kasus hanya bersifat sementara. FDA juga meminta agar mereka yang
mengalami gejala gangguan pendengaran segera memeriksakan diri ke dokter.

E. Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada waktu
pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam dapat diketahui secara
audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat
ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan.
Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat tersendiri.
Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan alat
Bantu dengar (ABD), psikoterapi, auditory training, termasuk cara menggunakan
sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan belajar
membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral dapat dipertimbangkan pemasangan
implan koklea.
Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan
menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan
penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien monitoring ketat level obat
dalam serum dan fungsi ginjal harus baik sebelum, selama dan setelah terapi. Cara lain
adalah dengan mengukur fungsi audiometri sebelum terapi, memonitor efek samping secara
dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul
seperti tinnitus, kurang pendengaran dan vertigo.
Pada pasien-pasien yang telah mulai menunjukkan gejala tersebut diatas harus dilakukan
evaluasi audiologik dan segera menghentikan pengobatan dan baiknya antibiotik yang
dapat menyebabkan gangguan pendengaran baiknya tidak diberikan pada wanita hamil,
berusia lanjut dan orang-orang yang sebelumnya pernah menderita ketulian dan sebaiknya
dilakukan pemantauan terhadap kadar obat dalam darah jika memungkinkan baik sebelum
dan selama pengobatan berlangsung.

Daftar Pustaka
Schuman RM. Ototoxicity. In Bailey BJ. Head & Neck Surgery - Otolaryngology,
4th Edition. 2006 Lippincott Williams & Wilkins. Chapter 148. p645.
Adams, George L dkk. 1997. Boies : Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals
of etolaryngology). Jakarta : EGC
Kern, Eugene B. Dkk. 1991. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan (Disease
of the Ears,Nose, and Throat). Jakarta : EGC

You might also like