You are on page 1of 17

Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 1

JEMBATAN NASIONAL SURAMADU, KONSTRUKSI APPROACH


BRIDGE

Eko Prasetyo

1 PENDAHULUAN
Approach bridge yang konstruksinya merupakan continuous prestressed box girder
adalah bagian dari jembatan Suramadu sebagai penghubung antara cause-way dengan
jembatan cable ( main span ), dan terdiri dari dua bagian yaitu sisi Surabaya dan sisi
Madura yang masing-masing mempunyai geometri yang sama ( simetris ).

Dalam urut-urutan pelaksanaannya sisi Surabaya sedikit berbeda dengan sisi Madura,
dimana sisi Madura masih mengacu kepada disain awal sedangkan sisi Surabaya ada
sedikit perubahan dengan maksud untuk mempercepat waktu pelaksanaan. Ada dua hal
yang akan terpengaruh dengan adanya perubahan ini yaitu, yang pertama adalah
presetting dari bearing dan yang kedua adalah control elevasi pada setiap stage
pelaksanaan, yang keduanya memerlukan penghitungan kembali.

Pada prinsipnya perubahan ini tidak mempengaruhi kekuatan, durabilitas dan keamanan
konstruksi, hanya terbatas pada masalah waktu pelaksanaan.
2 METODA PELAKSANAAN ( CONSTRUCTION METHOD )
2.1 Balanced Cantilever

Kedua approach bridge ( sisi Surabaya dan Madura ) terdiri dari 2 bagian, yang
pertama adalah continuous box girder dengan bentang tepi 2 x 40.00 dan bentang
tengah adalah 7x 80.00m, yang kedua adalah V-pier dengan bentang 32.00 m. Metoda
pelaksanaan yang diterapkan untuk continuous girder adalah balance cantilever
dengan sistim dicor ditempat untuk setiap segment ( gambar-1 ), sedangkan bagian V-
pier dikerjakan me masang perancah dan merupakan satu kesatuan dengan pilar-V.


Gambar 1

Metode balanced cantilever dikembangkan untuk meminimalkan acuan perancah atau
scaffolding yang diperlukan untuk pelaksaaan pengecoran secara in-situ. Tumpuan
sementara (temporary shoring) terlalu mahal khususnya untuk kasus jembatan
berelevasi tinggi dan denggunaan scaffolding yang melintasi sungai sangat beresiko,
sehingga diatas jalan air yang padat, lalu lintas jalan atau jalan kereta api, penggunaan


Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 2

scaffolding sudah tidak ekonomis lagi. Metode konstruksi secara balanced cantilever
diterapkan untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan seperti ini.

Metode cast in place segmental ialah metode pelaksanaan yang masih menggunakan
metode konstruksi segmental dan balanced cantilever akan tetapi setiap segmen dicor
secara in-situ. Bekisting traveler yang tergantung pada segmen sebelumnya digunakan
untuk membentuk segmen. Setelah segmen dicor, setelah umur beton 4 hari, stressing
dilakukan untuk menahan segmen agar tetap berada di tempatnya. Bekisting traveler
atau disebut traveler saja kemudian didorong maju ke segmen berikutnya dan proses
yang sama diulangi sampai tengah bentang dari arah pier yang lain, membentuk sebuah
struktur kantilever.

Gambar 2 Pelaksanaan jembatan box girder segmental dengan metode balanced
cantilever cast in place

Gambar 2 di atas mengilustrasikan sebuah pelaksanaan jembatan box girder dengan
metode balanced cantilever menggunakan traveler. Untuk memfasilitasi pelaksanaan
secara kantilever, sebuah pelat berpenampang pendek dengan pemberat
(counterweight) di sisi yang lain dicorkan pada bekisting yang di-support dari tanah
masing-masing pier. Ikatan sementara disiapkan untuk menyeimbangkan sisi yang lain
untuk memastikan adanya kesetimbangan. Harus dipastikan pengontrolan counterweight
dalam setiap urutan pelaksanaan kantilever.

Ada banyak variasi metode yang digambarkan di atas. Pada kasus jembatan yang
berelevasi rendah mungkin lebih ekonomis untuk mengecor ujung bentang di atas
scaffolding. Ketika lantai jembatan menyatu monolit dengan pilar, ikatan atau strut pada
counterweight dapat dilepas. Bekisting untuk mengecor kantilever ditahan oleh gantry
traveler. Gantry ini didorong bergerak maju dengan rel yang terikat pada lantai jembatan
yang telah selesai ke segmen berikutnya Ketika gantry terletak di tempat yang tepat,
segmen baru dibentuk, dicor dan di-stressing pada segmen yang telah selesai
sebelumnya. Dan proses yang sama diulangi sampai tengah bentang dari arah pier yang
lain, membentuk sebuah struktur kantilever.

Urutan metode konstruksi kantilever adalah sebagai berikut:
a) Install dan atur gantry
b) Install dan letakkan bekisting menurut elevasi yang tepat
c) Tempatkan penulangan dan saluran duck dari tendon
d) Pengecoran segmen
e) Install tendon penarikan dan lakukan stressing
f) Lepaskan bekisting
g) Majukan gantry pada posisi selanjutnya dan mulailah cycle yang baru.





Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 3










Gambar 3 Layout tendon untuk stressing longitudinal secara segmental

Untuk proyek-proyek yang ada di Indonesia, sistem bekisting modular termasuk yang
paling populer. Sistem ini fleksibel untuk berbagai penampang yang berbeda dan
panjang pengecoran yang berbeda. Dalam traveler ini terdapat sistem mekanis dan
hidrolis yang ringan sehingga tidak menyulitkan assembly dari crane sehingga dapat
mencapai cycle time yang dikehendaki. Langkah-langkah stressing:
a) Tendon dimasukkan ke dalam pipa selongsong yang sudah disiapkan ke dalam
beton.
b) Tendon ditarik dengan menggunakan jack dikedua ujung dimana untuk arah
longitudinal anker yang digunakan kedua-duanya adalah anker hidup. Sesaat setelah
penarikan tendon, sudah terjadi kehilangan gaya prategang berupa :
c) Perpendekan elastis, kehilangan tegangan akibat gesekan, dan sebagian momen
beban mati sudah bekerja sebagai dampak dari posisi lengkung tendon. Dengan
demikian gaya dongkrak harus sudah memperhitungkan hal-hal yang menyangkut
kehilangan tegangan tersebut. Pembatasan tegangan-tegangan ijin pada tahap-
tahap pelimpahan dan pelayanan diambil sama dengan yang diberikan untuk cara
pra-penarikan.
d) Apabila digunakan tendon bonded, terutama untuk lingkungan yang korosif, ruang
kosong di dalam pipa mengelilingi tendon diisi penuh pasta semen dengan cara
disuntikkan (grouting) setelah tendon ditarik dan sebelum beban hidup bekerja.
Apabila demikian halnya, maka tegangan akibat beban hidup dihitung berdasarkan
penampang transformasi seperti yang dilakukan pada cara pra- penarikan.
e) Pada umumnya jangkar ujung setelah dikunci (dimatikan) perlu ditutup atau
dilindungi dengan lapis pelindung.







Gambar 4 a). Tempatkan kepala angker dan baji, b). Posisikan dan masukkan strand
pada jack, c) Lakukan penarikan, d) Kunci dudukan baji e).inzet: jacking
,Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya unbalance moment pada
setiap step pelaksanaan, disini digunakan perletakan sementara (
temporary bearing ) untuk menahan gaya tekan sedangkan gaya tarik
ditahan oleh temporary anchor.


Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 4


Di lapangan unbalance moment ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

(i). adanya tekanan angin yang tidak seimbangan
(ii). berat form traveler yang tidak seimbang terutama pada waktu
manouver
(iii). berat sendiri beton yang tidak sama
(iv). beban-beban pelaksanaan

Pada kondisi dimana unbalance load masih kecil, disini unbalance moment masih
dipikul oleh sistim perletakan dimana kedua perletakan masih dalam keadaan
tertekan, untuk lebih jelasnya hal ini bias dilihat dalam perhitungan berikut :

Perhitungan unbalance moment :

Perlawanan terhadap unbalance moment

(1). Akibat berat box girder :

Berat bangunan atas pada posisi full cantilever :

Ao 164.9 26 2143.7 kN
A1 51.9 26 1349.4 kN
A2 48.7 26 1266.2 kN
A3 45.9 26 1193.4 kN
A4 48.8 26 1268.8 kN
A5 44.9 26 1167.4 kN
A6 41.7 26 1084.2 kN
A7 40.7 26 1058.2 kN
A8 44 26 1144 kN
11675.3 kN

Reaksi temporary bearing :

Temporary anker mulai tertarik apabila ada unbalance moment lebih besar atau sama
dengan :

M1 = R1 * 2.8 = 32690.84 kNm

(2). Kapasitas anker :

Sisa tegangan anker setelah ditarik = 0.9*fy 373 =333.5 Mpa



Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 5

Kapasitas anker 16 buah = 16*333.5*803 =4284.808 kN

M ank = 4284.808*2.8 =11997.46 kNm

M perlawanan total = M1 + M ank = 44688.3 kNm

Unbalance moment

(1). Perbedaan tekanan angin dengan :

Untuk kecepatan angin 30 m/dt

q
a
= 14.7 kN/m'
Ma = 1/2*qa*40^2 = 11760 kNm


(2). Kemungkinan adanya perbedaan berat sebesar 4% dari berat sendiri :

Ao 1.75 164.9 26 2143.7 85.748 150.059
A1 5.5 51.9 26 1349.4 53.976 296.868
A2 9.5 48.7 26 1266.2 50.648 481.156
A3 13.5 45.9 26 1193.4 47.736 644.436
A4 17.75 48.8 26 1268.8 50.752 900.848
A5 22.5 44.9 26 1167.4 46.696 1050.66
A6 26.75 41.7 26 1084.2 43.368 1160.094
A7 31.25 40.7 26 1058.2 42.328 1322.75
A8 35.75 44 26 1144 45.76 1635.92
Mb 7642.791

(3). Kemungkinan adanya perbedaan berat traveler :
P = 144 kN
Mc = P*40 = 5760 kNm

(4). Perbedaan beban kerja :
Qd = 7.35 kN/m
Md = 1/2*qd*40^2 = 5880

Ma + Mb + Mc + Md = 31042.79 kNm

Total kapasitas unbalance moment yang masih tersedia :
M = M perlawanan - ( Ma + Mb ) = 13645.51 kNm

Dengan cara yang sama untuk jumlah anker 20, diperoleh :
M = 28284.88 kNm

Note : Jika ada anker yang tidak berfungsi kapasitas diatas harus dikoreksi sesuai
dengan jumlah anker yang ada ( yang berfungsi )






Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 6

2.2 Closure

Apabila unbalance moment yang terjadi melampaui kapasitas perletakan maka
temporary anchor mulai bekerja, yaitu disatu sisi dalam kondisi tertarik dipikul anker
dan sisi lainnya yang tertekan dipikul perletakan.

Sebaiknya dalam prakteknya, apasitas anker tidak digunakan sepenuhnya,
mengingat adanya kemungkinan lain yang tidak terduga. Apabila step-step
pelaksanaan segment udah selesai untuk setiap pilar ( full cantilever ), tahap
berikutnya adalah closure yaitu penyambungan ujung cantilever yang satu dengan
ujung cantilever diseberangnya. Ada beberapa metoda closure bisa diterapkan,
dimana pada prinsipnya semua metoda harus mengacu kepada persyaratan, yaitu
beban yang akan dipakai tidak terlalu besar ( sebaiknya dibuat sama dengan reaksi
closure pada ujung cantilever ) dan penempatan beban dibuat sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan deformasi pada closure.
Contoh penempatan beban yang dilaksanakan di jembatan Suramadu adalah seperti
terlihat dalam gambar-5, disini besarnya beban Pft
1
, Pft
2
, P
w1
dan P
w2
adalah sama
yaitu sebesar berat closur dibagi dua.










(a). Form traveler digeser dan diturunkan








(b). Pembebanan sebelum closure












(c). Formwork & locking device dipasang
P
ft-1

P
ft-2

P
w1

P
w2

P
ft-1

P
ft-2

P
w1
P
w2

P
ft-1

P
ft-2

P
w1'
P
w2'



Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 7









(d). Pengecoran beton & air dikeluarkan







(e). Pengecoran beton selesai & air kosong

Gambar-5 Tahap-tahap pengerjaan closure

Kondisi ini adalah seimbang baik sebelum pengecoran closure ataupun closure
sudah selesai dikerjakan. Untuk menjaga keseimbangan dan tidak terjadi deformasi
pada closure pada waktu pengecoran maka P
w1
dan P
w2
sebaiknya terdiri dari
beban air dan tangkinya, sehingga pada waktu pelaksanaan disini beton dicorkan
seiringan dengan air dikeluarkan dengan berat yang sama. Apabila pengecoran ini
dilakukan secara bertahap, maka keseimbangan akan tetap terpelihara baik sebelum,
sedang dan sesudah pengecoran.

Sebagai pemberat P1 dan P2 bisa menggunakan form traveler dengan membongkar
bagian inner form-work untuk mengurangi berat agar seimbang dengan Pw1 dan Pw2.
Untuk selengkapnya step-step pelaksanaan bisa dilihat dalam gambar-3, yaitu urut-
urutan pembuatan segment yang berlaku untuk setiap pilar. Disini setiap pembuatan
segment terdiri dari 4 step, yaitu pemindahan form-traveler, pembuatan form-work dan
penulangan, pengecoran dan stressing kabel pratekan.

Waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pembuatan satu segment normalnya
adalah : Untuk segment A0 adalah 36 hari, A1 = 17 hari dan A2 - A8 adalah 9 hari
termasuk curing beton selama 4 hari. Khusus untuk segment A0, pelaksanaan
pembuatan segment ini dilakukan dengan cara dibuatkan perancah. Perancah ini bisa
dilakukan dengan cara didudukkan pada pier head atau dengan membuat penopang
yang dianker pada bagian atas pilar, cara yang kedua adalah lebih ekonomis
mengingat jarak antara pier head dengan lantai jembatan yang cukup tinggi.

Pada pelaksanaan pembuatan segment A1, disini form=work digantung dengan steel
bar diameter 32 mm dengan mutu yang relatif tinggi yaitu fy = 7800 Mpa. Sebagai
emegang gantungan ini adalah steel truss ( Bailley ) yang panjangnya mencakup
kedua segment A1 ( arah Surabaya dan arah Madura ).
Selanjutnya, untuk pelaksanaan pembuatan A2, A3, A4, A5 . . . . dan seterusnya
adalah dengan mengganti steel truss-bailley dengan form-traveler.


P
ft-1

P
ft-2

P
w1''
P
w2''

P
ft-1

P
ft-2



Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 8

Perubahan urut-urutan closure

Untuk memperpendek waktu pelaksanaan pada approach sisi Surabaya, disini
dilakukan perubahan urut-urutan closure. Yaitu dengan menyusun kembali urut-urutan
sedemikian rupa sehingga ada beberapa closure yang dikerjakan secara bersamaan
tanpa mengurangi kekuatan struktur yang ditetapkan dalam disain awal ( lihat
gambar-4 ). Akibat perubahan ini tentu saja ada pengaruh terhadap bearing yang
sudah disetting terlebih dahulu dan pra-camber yang sudah dihitung berdasarkan urut-
urutan dalam disain awal. Pengecekan apakah prasetting yang sudah ada masih
bisa digunakan, perhitungannya bias dilihat dalam bentuk tabulasi seperti bias
dilihat dalam tabel-1 dan tabel-13 adalah urut-urutan closure untuk sisi Madura dan
sisi Surabaya.

Tabel-1 : Pengecekan prasetting dari Bearing

First closure

1. Shrinkage strain,
r
r(t)

Segment kb c ke1 kp r(t) r r r(t)
Ao 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.63 0.00011 0.000069
A1 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.60 0.00011 0.000066
A2 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.55 0.00011 0.000061
A3 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.52 0.00011 0.000057
A4 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.50 0.00011 0.000055
A5 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.47 0.00011 0.000052
A6 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.45 0.00011 0.000050
A7 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.42 0.00011 0.000046
A8 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.35 0.00011 0.000039
A9 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.24 0.00011 0.000026

2. Creep strain,
f

Segment kb kc kd ke2 r(t) fc' Ec cc
Ao 0.8 2.3 0.83 0.7 0.63 7.0 34500 0.0001367
A1 0.8 2.3 0.80 0.7 0.60 7.0 34500 0.0001254
A
2
0.8 2.3 0.73 0.7 0.55 7.0 34500 0.0001049
A3 0.8 2.3 0.70 0.7 0.52 7.0 34500 0.0000951
A4 0.8 2.3 0.66 0.7 0.50 7.0 34500 0.0000862
A5 0.8 2.3 0.62 0.7 0.47 7.0 34500 0.0000762
A6 0.8 2.3 0.59 0.7 0.45 7.0 34500 0.0000694
A7 0.8 2.3 0.55 0.7 0.42 7.0 34500 0.0000604
A8 0.8 2.3 0.42 0.7 0.35 7.0 34500 0.0000384
A9 0.8 2.3 0.24 0.7 0.24 7.0 34500 0.0000151

3. Deformation due to shrinkage and creep,
ls
and
lc


Segment L r r(t) cc ls lc
Ao 3.50 0.000069 0.0001367 0.24 0.48
A1 4.00 0.000066 0.0001254 0.26 0.50
A2 4.00 0.000061 0.0001049 0.24 0.42
A3 4.00 0.000057 0.0000951 0.23 0.38
A4 4.50 0.000055 0.0000862 0.25 0.39
A5 4.50 0.000052 0.0000762 0.23 0.34
A6 4.50 0.000050 0.0000694 0.22 0.31
A7 4.50 0.000046 0.0000604 0.21 0.27
A8 4.50 0.000039 0.0000384 0.17 0.17


Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 9

A9 2.00 0.000026 0.0000151 0.05 0.03
2.11 3.30

Closure : 17-4-2009, 18-4-2009, 21-4-2009

1. Shrinkage strain,
r
r(t)

Segment kb c ke1 kp r(t) r r r(t)
Ao 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.64 0.00011 0.000070
A1 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.61 0.00011 0.000067
A2 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.58 0.00011 0.000064
A3 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.55 0.00011 0.000061
A4 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.53 0.00011 0.000058
A5 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.50 0.00011 0.000055
A6 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.47 0.00011 0.000052
A7 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.45 0.00011 0.000050
A8 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.42 0.00011 0.000046
A9 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.36 0.00011 0.000040

2. Creep strain,
f


Segment kb kc kd ke2 r(t) fc' Ec cc
Ao 0.8 2.3 0.70 0.7 0.64 6.0 34500 0.0001004
A1 0.8 2.3 0.73 0.7 0.61 6.0 34500 0.0000997
A2 0.8 2.3 0.78 0.7 0.58 6.0 34500 0.0001013
A3 0.8 2.3 0.81 0.7 0.55 6.0 34500 0.0000998
A4 0.8 2.3 0.85 0.7 0.53 6.0 34500 0.0001009
A5 0.8 2.3 0.89 0.7 0.50 6.0 34500 0.0000997
A6 0.8 2.3 0.92 0.7 0.47 6.0 34500 0.0000969
A7 0.8 2.3 0.96 0.7 0.45 6.0 34500 0.0000968
A8 0.8 2.3 1.00 0.7 0.42 6.0 34500 0.0000941
A9 0.8 2.3 1.13 0.7 0.36 6.0 34500 0.0000911

3. Deformation due to shrinkage and creep,
ls
and
lc


Segment L r r(t) cc ls lc
Ao 3.50 0.000070 0.0001004 0.25 0.35
A1 4.00 0.000067 0.0000997 0.27 0.40
A2 4.00 0.000064 0.0001013 0.26 0.41
A
3
4.00 0.000061 0.0000998 0.24 0.40
A4 4.50 0.000058 0.0001009 0.26 0.45
A5 4.50 0.000055 0.0000997 0.25 0.45
A6 4.50 0.000052 0.0000969 0.23 0.44
A7 4.50 0.000050 0.0000968 0.22 0.44
A8 4.50 0.000046 0.0000941 0.21 0.42
A9 2.00 0.000040 0.0000911 0.08 0.18
2.26 3.93

Closure : 22-4-2009, 24-4-2009, 25-4-2009, 27-4-2009

1. Shrinkage strain,
r
r(t)

Segment kb c ke1 kp r(t) r r r(t)

Ao 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.65 0.00011 0.000072
A1 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.63 0.00011 0.000069
A2 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.60 0.00011 0.000066
A3 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.58 0.00011 0.000064
A4 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.56 0.00011 0.000062
A5 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.54 0.00011 0.000059


Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 10

A6 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.51 0.00011 0.000056
A7 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.49 0.00011 0.000054
A8 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.46 0.00011 0.000051
A9 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.44 0.00011 0.000048

2. Creep strain,
f


Segment kb kc kd ke2 r(t) fc' Ec cc
Ao 0.8 2.3 0.68 0.7 0.65 6.0 34500 0.0000990
A1 0.8 2.3 0.72 0.7 0.63 6.0 34500 0.0001016
A2 0.8 2.3 0.75 0.7 0.60 6.0 34500 0.0001008
A3 0.8 2.3 0.77 0.7 0.58 6.0 34500 0.0001000
A4 0.8 2.3 0.81 0.7 0.56 6.0 34500 0.0001016
A5 0.8 2.3 0.85 0.7 0.54 6.0 34500 0.0001028
A6 0.8 2.3 0.88 0.7 0.51 6.0 34500 0.0001005
A7 0.8 2.3 0.92 0.7 0.49 6.0 34500 0.0001010
A8 0.8 2.3 0.96 0.7 0.46 6.0 34500 0.0000989
A9 0.8 2.3 0.99 0.7 0.44 6.0 34500 0.0000976

3. Deformation due to shrinkage and creep,
ls
and
lc


Segment L r r(t) cc ls lc
Ao 3.50 0.000072 0.0000990 0.25 0.35
A1 4.00 0.000069 0.0001016 0.28 0.41
A2 4.00 0.000066 0.0001008 0.26 0.40
A
3
4.00 0.000064 0.0001000 0.26 0.40
A4 4.50 0.000062 0.0001016 0.28 0.46
A5 4.50 0.000059 0.0001028 0.27 0.46
A6 4.50 0.000056 0.0001005 0.25 0.45
A7 4.50 0.000054 0.0001010 0.24 0.45
A8 4.50 0.000051 0.0000989 0.23 0.45
A9 2.00 0.000048 0.0000976 0.10 0.20
2.41 4.02

Closure : 28-4-2009, 30-4-2009

1. Shrinkage strain,
r
r(t)

Segment kb c ke1 kp r(t) r r r(t)
Ao 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.67 0.00011 0.000074
A1 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.64 0.00011 0.000070
A2 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.62 0.00011 0.000068
A3 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.60 0.00011 0.000066
A4 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.59 0.00011 0.000065
A5 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.56 0.00011 0.000062
A6 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.53 0.00011 0.000058
A7 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.51 0.00011 0.000056
A8 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.48 0.00011 0.000053
A9 0.8 0.0003 0.5 1.0 0.46 0.00011 0.000051

2. Creep strain,
f


Segment kb kc kd ke2 r(t) fc' Ec cc
Ao 0.8 2.3 0.88 0.7 0.67 6.0 34500 0.0001321
A1 0.8 2.3 0.85 0.7 0.64 6.0 34500 0.0001219
A2 0.8 2.3 0.82 0.7 0.62 6.0 34500 0.0001139
A3 0.8 2.3 0.81 0.7 0.60 6.0 34500 0.0001089
A4 0.8 2.3 0.78 0.7 0.59 6.0 34500 0.0001031
A5 0.8 2.3 0.74 0.7 0.56 6.0 34500 0.0000928
A6 0.8 2.3 0.71 0.7 0.53 6.0 34500 0.0000843
A7 0.8 2.3 0.67 0.7 0.51 6.0 34500 0.0000765


Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 11

A8 0.8 2.3 0.64 0.7 0.48 6.0 34500 0.0000688
A9 0.8 2.3 0.60 0.7 0.46 6.0 34500 0.0000618


3. Deformation due to shrinkage and creep,
ls
and
lc


Segment L r r(t) cc ls lc
Ao 3.50 0.000074 0.0001321 0.26 0.46
A1 4.00 0.000070 0.0001219 0.28 0.49
A2 4.00 0.000068 0.0001139 0.27 0.46
A3 4.00 0.000066 0.0001089 0.26 0.44
A4 4.50 0.000065 0.0001031 0.29 0.46
A5 4.50 0.000062 0.0000928 0.28 0.42
A6 4.50 0.000058 0.0000843 0.26 0.38
A7 4.50 0.000056 0.0000765 0.25 0.34
A8 4.50 0.000053 0.0000688 0.24 0.31
A9 2.00 0.000051 0.0000618 0.10 0.12

2.50 3.88
After 5 years

1. Shrinkage strain,
r
r(t)

Segment kb c ke1 kp r(t) r r r(t)

Ao 0.8 0.0003 0.5 1.0 1 0.00011 0.000110
A1 0.8 0.0003 0.5 1.0 1 0.00011 0.000110
A2 0.8 0.0003 0.5 1.0 1 0.00011 0.000110
A3 0.8 0.0003 0.5 1.0 1 0.00011 0.000110
A4 0.8 0.0003 0.5 1.0 1 0.00011 0.000110
A5 0.8 0.0003 0.5 1.0 1 0.00011 0.000110
A6 0.8 0.0003 0.5 1.0 1 0.00011 0.000110
A7 0.8 0.0003 0.5 1.0 1 0.00011 0.000110
A8 0.8 0.0003 0.5 1.0 1 0.00011 0.000110
A9 0.8 0.0003 0.5 1.0 1 0.00011 0.000110

2. Creep strain,
f


Segment kb kc kd ke2 r(t) fc' Ec cc
Ao 0.8 2.3 1.05 0.7 1 6.0 34500 0.0002352
A1 0.8 2.3 1.05 0.7 1 6.0 34500 0.0002352
A2 0.8 2.3 1.05 0.7 1 6.0 34500 0.0002352
A3 0.8 2.3 1.05 0.7 1 6.0 34500 0.0002352
A4 0.8 2.3 1.05 0.7 1 6.0 34500 0.0002352
A5 0.8 2.3 1.05 0.7 1 6.0 34500 0.0002352
A6 0.8 2.3 1.05 0.7 1 6.0 34500 0.0002352
A7 0.8 2.3 1.05 0.7 1 6.0 34500 0.0002352
A8 0.8 2.3 1.05 0.7 1 6.0 34500 0.0002352
A9 0.8 2.3 1.05 0.7 1 6.0 34500 0.0002352


3. Deformation due to shrinkage and creep,
ls
and
lc


Segment L r r(t) cc ls lc
Ao 3.50 0.000110 0.0002352 0.39 0.82
A1 4.00 0.000110 0.0002352 0.44 0.94
A2 4.00 0.000110 0.0002352 0.44 0.94
A3 4.00 0.000110 0.0002352 0.44 0.94
A4 4.50 0.000110 0.0002352 0.50 1.06
A5 4.50 0.000110 0.0002352 0.50 1.06


Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 12

A6 4.50 0.000110 0.0002352 0.50 1.06
A7 4.50 0.000110 0.0002352 0.50 1.06
A8 4.50 0.000110 0.0002352 0.50 1.06
A9 2.00 0.000110 0.0002352 0.22 0.47
4.40 9.41


Movement of bearing due to concrete shrinkage and creep
Based on new sequences

During cons. stage After 5 years Resultant Sum up
Pier No. shrink creep shrinkage creep shrinkage creep mm
P36 3.94 5.50 21.05 55.26 24.99 60.77 85.8
P37 3.50 4.89 18.71 49.12 22.21 54.01 76.2
P38 2.63 3.67 14.03 36.84 16.66 40.51 57.2
P39 1.75 2.45 9.35 24.56 11.11 27.01 38.1
P40 0.88 1.22 4.68 12.28 5.55 13.50 19.1
P43 0.88 1.22 4.68 12.28 5.55 13.50 19.1
P44 1.75 2.45 9.35 24.56 11.11 27.01 38.1
P45 2.19 3.06 11.69 30.70 13.88 33.76 47.6


Movement of bearing due to temperature

Pier No. Distance to 41 or 42 Movement per 1
o
C Movement per 5
o
C Pre-offset
m mm mm at 25
o
C
P36 360.0 3.6 18 103.8
P37 320.0 3.2 16 92.2
P38 240.0 2.4 12 69.2
P39 160.0 1.6 8 46.1
P40 80.0 0.8 4 23.1
P43 80.0 0.8 4 23.1
P44 160.0 1.6 8 46.1
P45 200.0 2.0 10 57.6

Difference between existing and new sequence of construction

Existing pre-offseting New bearing movement Longitudinal movement
Pier No. mm mm capacity ( mm )
P36 62.0 103.8 (+)(-)150
P37 44.0 92.2 (+)(-)100
P38 28.0 69.2 (+)(-)100
P39 2.0 46.1 (+)(-)100
P40 -24.0 23.1 (+)(-)100
P43 6.0 23.1 (+)(-)100
P44 32.0 46.1 (+)(-)100
P45 40.0 57.6 (+)(-)150


Berdasarkan hasil perhitungan, perubahan sequence tidak mempengaruhi pre offseting
yang sudah diterapkan dilapangan karena kapasitas movement masih cukup.










Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 13




Tabel-2 : Urut-urutan closure

Approach sisi Madura :

Madura


Sisi Pilar no. P48-P49 P49-P50 P50-P51 P51-P52 P52-P53 P53-P54 P54-P55 P55-P56 P56-P57
Barat Urutan 1 2 3 6 5 4 3 2 1

Sisi Pilar no. P48-P49 P49-P50 P50-P51 P51-P52 P52-P53 P53-P54 P54-P55 P55-P56 P56-P57
Timur Urutan 1 2 3 6 5 4 3 2 1

Approach sisi Surabaya:

Madura


Sisi Pilar no. P36-P37 P37-P38 P38-P39 P39-P40 P40-P41 P41-P42 P42-P43 P43-P44 P44-P45
Barat Urutan 1 2 3 4 3 5 3 2 1

Sisi Pilar no. P36-P37 P37-P38 P38-P39 P39-P40 P40-P41 P41-P42 P42-P43 P43-P44 P44-P45
Timur Urutan 4 3 1 2 1 5 2 3 1

Urut-urutan closure sisi Madura pelaksanaannya adalah masih sesuai dengan disain
awal, jadi disini tidak ada perubahan. Sedangkan untuk sisi Surabaya ada perubahan
baik untuk sisi Barat ataupun sisi Timur, secara teoritis perubahan ini akan
menghemat waktu kurang lebih 10 hari yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untu
menyelesaikan 1 closure.

Dalam penomoran urutan closure terlihat ada nomor yang sama, ini berarti bahwa
closure tersebut bisa dikerjakan secara bersamaan. Sedangkan untuk sebelah kiri &
kanan P51-P52 dan P41-P42 menunjukkan pelaksanaan pengerjaan closure bisa
dilakukan secara independen. Pada kenyataannya dilapangan pemasangan formwork
dan penulangan dikerjakan secara bersamaan jadi tidak saling menunggu, dengan
catatan bahwa locking device tidak dikunci terlebih dulu.
3 KONTROL PELAKSANAAN ( CONSTRUCTION CONTROL )
3.1 Data Jembatan Approach Suramadu
Optimasi terakhir jembatan Approach Suramadu ialah dengan bentang 80 m antar
pier dengan kemiringan longitudinal 4%, dengan bentuk box girder single cell yang akan
mempercepat pelaksanaan dan mengurangi kuantitas pekerjaan dan mempunyai pilar
berbentuk hollow.





Gambar 6 Elevasi box girder approach Jembatan Nasional Suramadu dari pier 36
sampai dengan pier 45


Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 14








Gambar 7 Dimensi segmen A0 sepanjang 7m, A1-A3 sepanjang 4 m, A4-A8
sepanjang 4.5 m


Adapun layout tendon longitudinal W
1
-W
7
serta TC, T
0
-T
8
serta B
4
-B
14
dari tampak
samping seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 8 berikut:


Gambar 8 Layout prestressing tendon W, T dan B dari tampak samping


Adapun layout tendon longitudinal W
1
-W
7
serta TC, T
0
-T
8
serta B
4
-B
14
dari tampak atas
seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 9 berikut:


Gambar 9 Layout prestressing tendon W, T dan B dari atas




Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 15

3.2 Analisis Lendutan Akibat Posisi Traveler
Metode analisis menggunakan software STAAD Pro V8i 2007 elemen cangkang dengan
propertis yang sesuai dalam drawing dan kriteria desain, sedangkan tendon prestressing
dimodelkan sebagai beban titik nodal. Struktur dianalisis terhadap beban mati, beban
tendon W, B dan T serta beban traveler untuk mengetahui lendutan untuk memastikan
apakah perbedaan elevasinya masih dalam batas yang diperbolehkan.

3.2.1 Pemodelan Alternatif 1
Struktur yang diambil adalah approach box girder yang dibebani traveler di
belakang jembatan (elevasi terendah) dan temporary support di belakang (elevasi
terendah) dilepas.


3.2.2 Pemodelan Alternatif 2
Struktur yang diambil adalah approach box girder yang dibebani traveler di depan
jembatan (elevasi tertinggi) dan temporary support di belakang (elevasi terendah)
dilepas.





Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 16

3.2.3 Pemodelan Alternatif 3
Struktur yang diambil adalah approach box girder yang dibebani traveler di belakang
jembatan (elevasi terendah) dan temporary support di depan (elevasi tertinggi) dilepas.

3.2.4 Pemodelan Alternatif 4
Struktur yang diambil adalah approach box girder yang dibebani traveler di depan
jembatan (elevasi tertinggi) dan temporary support di depan (elevasi tertinggi) dilepas.


3.3 Kontrol Elevasi

Analisis menggunakan metode dan software yang sama yaitu STAAD Pro V8i 2007
kemudian beda elevasi aktual akibat error pengukuran yang masih dapat ditoleransi
dengan elevasi dari koordinat STAAD Pro untuk mendapatnya vertical alignment yang
smooth. Baris pertama adalah panjang segmen horisontal kumulatif sebelum mid-
closure A9, sedangkan baris kedua adalah laporan elevasi ujung segmen dari kontrol
survei lapangan. Baris ketiga menunjukkan nilai lendutan dari software STAAD Pro v8i
2007 akibat berat sendiri dan traveler, dan baris keempat menunjukkan elevasi STAAD
Pro v8i 2007.


Seminar dan Pameran Haki 2010 - Perkembangan dan Kemajuan Konstruksi Indonesia 17












Gambar berikut menunjukkan elevasi permukaan yang harus di-fill dengan flexible
pavement agar memperoleh vertical alignment yang smooth dan nyaman.











SUMMARY

Semua defleksi terpantau dan masih berada di dalam toleransi camber design dari
konsultan perencana. Pengaturan elevasi dapat dikontrol dari besarnya beban
counterweight yang dapat di-adjust kembali di lapangan dengan survey elevasi.


Makalah ini disampaikan dalam rangka diseminasi informasi melalui Seminar HAKI.
Isi makalah sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, dan tidak mewakili pendapat HAKI.

You might also like