You are on page 1of 6

Manajemen Dasar Cairan

09JUL
MANAJEMEN DASAR CAIRAN
Penulis : Irnizarifka
Komposisi cairan tubuh
Cairan tubuh memiliki berat total mencapai 50-60% dari berat badan seseorang, dengan proporsi terbesar ada pada ruang
intrasel (sekitar 2/3 dari total cairan). Proporsi cairan tubuh ini menurun seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi baru
lahir proporsinya mencapai 75% dari berat badan sedangkan pada orang lanjut usia hanya sekitar 55%. Cairan antar ruang
dapat saling bergerak (difusi) sesuai dengan kebutuhan tubuh melalui respon terhadap gradien konsentrasi elektrolit.
Elektrolit utama pada ruang intrasel adalah potasium (K
+
), sedangkan natrium (Na
+
) lebih banyak berada di ruang ekstrasel.
Volume ekstrasel terbagi menjadi volume interstitial dan intravaskuler. Secara normal, keseimbangan cairan intravaskuler
dijaga oleh adanya tekanan onkotik yang berasal dari molekul-molekul intravaskuler yang berukuran besar, pergerakan
cairan limfe dari interstitial ke intravaskuler, serta adanya tekanan yang mempertahankan volume ekstrasel tetap. Semua
faktor tersebut akan membuat cairan masuk ke dalam ruang intravaskuler. Sedangkan faktor yang berlawanan seperti
adanya tekanan hidrostatik oleh jantung dan sirkulasi serta tekanan onkotik cairan interstitial akan menyebabkan cairan
keluar dari ruang intravaskuler. Keseimbangan kedua faktor inilah yang akan menjaga kestabilan hemodinamik intravaskuler
seseorang yang penting untuk mengadakan sirkulasi adekuat yang diperlukan oleh sistim organ tubuh.
Pada kondisi normal, cairan tubuh manusia didistribusikan intrasel dan ekstrasel dengan perbandingan yang tetap. Dengan
demikian segala kondisi yang dapat merubah komposisi tersebut akan mengakibatkan ketidak seimbangan hemodinamik
yang dapat menjadi fatal.
Kondisi hipovolemia memiliki arti dimana terdapat penurunan volume intravaskuler yang tidak mempengaruhi kondisi
volume interstitial. Sedangkan yang dimaksud dengan hipervolemia adalah kondisi peningkatan volume intervaskuler baik
disertai peningkatan volume interstitial maupun tidak.
Cairan Kristaloid
Merupakan larutan dengan air (aqueous) yang terdiri dari molekul-molekul kecil yang dapat menembus membran kapiler
dengan mudah. Biasanya volume pemberian lebih besar, onset lebih cepat, durasinya singkat, efek samping lebih sedikit
dan harga lebih murah.
Yang termasuk cairan kristaloid antara lain salin (salin 0,9%, ringer laktat, ringer asetat), glukosa (D5%, D10%, D20%),
serta sodium bikarbonat. Masing-masing jenis memiliki kegunaan tersendiri, dimana salin biasa digunakan untuk memenuhi
kebutuhan cairan tubuh sehari-hari dan saat kegawat daruratan, sedangkan glukosa biasa digunakan pada penanganan
kasus hipoglikemia, serta sodium bikarbonat yang merupakan terapi pilihan pada kasus asidosis metabolik dan alkalinisasi
urin.
Mekanisme secara umum larutan kristaloid menembus membran kapiler dari kompartemen intravaskuler ke kompartemen
interstisial, kemudian didistribusikan ke semua kompartemen ekstra vaskuler. Hanya 25% dari jumlah pemberian awal yang
tetap berada intravaskuler, sehingga penggunaannya membutuhkan volume 3-4 kali dari volume plasma yang hilang.
Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah cairan kedalam pembuluh darah dengan segera dan efektif untuk
pasien yang membutuhkan cairan segera.
Cairan kristaloid bersifat mudah keluar dari intravaskuler, terutama pada kasus dimana terjadi peningkatan resistensi kapiler
seperti pada sepsis. Pada kondisi tersebut, penting untuk dipikirkan penggantian cairan yang memiliki molekul lebih besar,
yaitu jenis koloid.
1. Normal Saline
Komposisi (mmol/l) : Na = 154, Cl = 154.
Kemasan : 100, 250, 500, 1000 ml.
Indikasi :
a. Resusitasi
Pada kondisi kritis, sel-sel endotelium pembuluh darah bocor, diikuti oleh keluarnya molekul protein besar ke kompartemen
interstisial, diikuti air dan elektrolit yang bergerak ke intertisial karena gradien osmosis. Plasma expander berguna untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang pada intravaskuler.
b. Diare
Kondisi diare menyebabkan kehilangan cairan dalam jumlah banyak, cairan NaCl digunakan untuk mengganti cairan yang
hilang tersebut.
c. Luka Bakar
Manifestasi luka bakar adalah syok hipovolemik, dimana terjadi kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler dalam
jumlah besar dari permukaan tubuh yang terbakar. Untuk mempertahankan cairan dan elektrolit dapat digunakan cairan
NaCl, ringer laktat, atau dekstrosa.
d. Gagal Ginjal Akut
Penurunan fungsi ginjal akut mengakibatkan kegagalan ginjal menjaga homeostasis tubuh. Keadaan ini juga meningkatkan
metabolit nitrogen yaitu ureum dan kreatinin serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pemberian
normal saline dan glukosa menjaga cairan ekstra seluler dan elektrolit.
Kontraindikasi : hipertonik uterus, hiponatremia, retensi cairan. Digunakan dengan pengawasan ketat pada CHF, insufisiensi
renal, hipertensi, edema perifer dan edema paru.
Adverse Reaction : edema jaringan pada penggunaan volume besar (biasanya paru-paru), penggunaan dalam jumlah besar
menyebabkan akumulasi natrium.
2. Ringer Laktat (RL)
Komposisi (mmol/100ml) : Na = 130-140, K = 4-5, Ca = 2-3, Cl = 109-110, Basa = 28-30 mEq/l.
Kemasan : 500, 1000 ml.
Cara Kerja Obat : keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang
sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan
menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di
intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan
cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan.
Indikasi : mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik. Ringer laktat menjadi
kurang disukai karena menyebabkan hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam
laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob.
Kontraindikasi : hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.
Adverse Reaction : edema jaringan pada penggunaan volume yang besar, biasanya paru-paru.
Peringatan dan Perhatian : Not for use in the treatment of lactic acidosis. Hati-hati pemberian pada penderita edema
perifer pulmoner, heart failure/impaired renal function & pre-eklamsia.
3. Dekstrosa
Komposisi : glukosa = 50 gr/l (5%), 100 gr/l (10%), 200 gr/l (20%).
Kemasan : 100, 250, 500 ml.
Indikasi : sebagai cairan resusitasi pada terapi intravena serta untuk keperluan hidrasi selama dan sesudah operasi.
Diberikan pada keadaan oliguria ringan sampai sedang (kadar kreatinin kurang dari 25 mg/100ml).
Kontraindikasi : Hiperglikemia.
Adverse Reaction : Injeksi glukosa hipertonik dengan pH rendah dapat menyebabkan iritasi pada pembuluh darah dan
tromboflebitis.
4. Ringer Asetat (RA)
Larutan ini merupakan salah satu cairan kristaloid yang cukup banyak diteliti. Larutan RA berbeda dari RL (Ringer Laktat)
dimana laktat terutama dimetabolisme di hati, sementara asetat dimetabolisme terutama di otot. Sebagai cairan kristaloid
isotonik yang memiliki komposisi elektrolit mirip dengan plasma, RA dan RL efektif sebagai terapi resusitasi pasien dengan
dehidrasi berat dan syok, terlebih pada kondisi yang disertai asidosis. Metabolisme asetat juga didapatkan lebih cepat 3-4
kali dibanding laktat. Dengan profil seperti ini, RA memiliki manfaat-manfaat tambahan pada dehidrasi dengan kehilangan
bikarbonat masif yang terjadi pada diare.
Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi sudah seharusnya diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati
berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Hal ini dikarenakan adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan
pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.
Ringer Asetat telah tersedia luas di berbagai negara. Cairan ini terutama diindikasikan sebagai pengganti kehilangan cairan
akut (resusitasi), misalnya pada diare, DBD, luka bakar/syok hemoragik; pengganti cairan selama prosedur
operasi; loading cairan saat induksi anestesi regional; priming solution pada tindakan pintas kardiopulmonal; dan juga
diindikasikan pada stroke akut dengan komplikasi dehidrasi.
Manfaat pemberian loading cairan pada saat induksi anastesi, misalnya ditunjukkan oleh studi Ewaldsson dan Hahn (2001)
yang menganalisis efek pemberian 350 ml RA secara cepat (dalam waktu 2 menit) setelah induksi anestesi umum dan
spinal terhadap parameter-parameter volume kinetik. Studi ini memperlihatkan pemberian RA dapat mencegah hipotensi
arteri yang disebabkan hipovolemia sentral, yang umum terjadi setelah anestesi umum/spinal.
Untuk kasus obstetrik, Onizuka dkk (1999) mencoba membandingkan efek pemberian infus cepat RL dengan RA terhadap
metabolisme maternal dan fetal, serta keseimbangan asam basa pada 20 pasien yang menjalani kombinasi anestesi spinal
dan epidural sebelum seksio sesarea. Studi ini memperlihatkan pemberian RA lebih baik dibanding RL untuk ke-3
parameter di atas, karena dapat memperbaiki asidosis laktat neonatus (kondisi yang umum terjadi pada bayi yang dilahirkan
dari ibu yang mengalami eklampsia atau pre-eklampsia).
Dehidrasi dan gangguan hemodinamik dapat terjadi pada stroke iskemik/hemoragik akut, sehingga umumnya para dokter
spesialis saraf menghindari penggunaan cairan hipotonik karena kekhawatiran terhadap edema otak. Namun, Hahn dan
Drobin (2003) memperlihatkan pemberian RA tidak mendorong terjadinya pembengkakan sel, karena itu dapat diberikan
pada stroke akut, terutama bila ada dugaan terjadinya edema otak.
Hasil studi juga memperlihatkan RA dapat mempertahankan suhu tubuh lebih baik dibanding RL secara signifikan pada
menit ke 5, 50, 55, dan 65, tanpa menimbulkan perbedaan yang signifikan pada parameter-parameter hemodinamik (denyut
jantung dan tekanan darah sistolik-diastolik).
Tabel I. Komposisi Beberapa Cairan Kristaloid
Cairan Tonusitas
Na
(mmol/l)
Cl
(mmol/l)
K
(mmol/l)
Ca
(mmol/l)
Glukosa
(mg/dl)
Laktat
(mmol/l)
Asetat
(mmol/l)
NaCl 0,9
%
308
(isotonus) 154 154

Saline
154
(hipotonus) 77 77

Dextrose
5 %
253
(hipotonus)

5000

D5NS
561
(hipertonus 154 154

5000

D5 NS
330
(isotonus) 38,5 38,5

5000

2/3 D &
1/3 S Hipertonus 51 51

3333

Ringer
Laktat
273
(isotonus) 130 109 4 3

28

D5 RL
273
(isotonus) 130 109 4 3 50 28

Ringer
Asetat
273,4
(isotonus) 130 109 4 3

28
Cairan Koloid
Merupakan larutan yang terdiri dari molekul-molekul besar yang sulit menembus membran kapiler, digunakan untuk
mengganti cairan intravaskuler. Umumnya pemberian lebih kecil, onsetnya lambat, durasinya lebih panjang, efek samping
lebih banyak, dan lebih mahal.
Mekanisme secara umum memiliki sifat seperti protein plasma sehingga cenderung tidak keluar dari membran kapiler dan
tetap berada dalam pembuluh darah, bersifat hipertonik dan dapat menarik cairan dari pembuluh darah. Oleh karena itu
penggunaannya membutuhkan volume yang sama dengan jumlah volume plasma yang hilang. Digunakan untuk menjaga
dan meningkatkan tekanan osmose plasma.
1. Albumin
Komposisi : Albumin yang tersedia untuk keperluan klinis adalah protein 69-kDa yang dimurnikan dari plasma manusia
(cotoh: albumin 5%).
Albumin merupakan koloid alami dan lebih menguntungkan karena : volume yang dibutuhkan lebih kecil, efek koagulopati
lebih rendah, resiko akumulasi di dalam jaringan pada penggunaan jangka lama yang lebih kecil dibandingkan starches dan
resiko terjadinya anafilaksis lebih kecil.
Indikasi :
Pengganti volume plasma atau protein pada keadaan syok hipovolemia, hipoalbuminemia, atau hipoproteinemia,
operasi, trauma, cardiopulmonary bypass, hiperbilirubinemia, gagal ginjal akut, pancretitis, mediasinitis, selulitis luas dan
luka bakar.
Pengganti volume plasma pada ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Pasien dengan hipoproteinemia dan
ARDS diterapi dengan albumin dan furosemid yang dapat memberikan efek diuresis yang signifikan serta penurunan
berat badan secara bersamaan.
Hipoalbuminemia yang merupakan manifestasi dari keadaan malnutrisi, kebakaran, operasi besar, infeksi (sepsis syok),
berbagai macam kondisi inflamasi, dan ekskresi renal berlebih.
Pada spontaneus bacterial peritonitis (SBP) yang merupakan komplikasi dari sirosis. Sirosis memacu terjadinya
asites/penumpukan cairan yang merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri. Terapi antibiotik adalah pilihan
utama, sedangkan penggunaan albumin pada terapi tersebut dapat mengurangi resiko renal impairment dan kematian.
Adanya bakteri dalam darah dapat menyebabkan terjadinya multi organ dysfunction syndrome (MODS), yaitu sindroma
kerusakan organ-organ tubuh yang timbul akibat infeksi langsung dari bakteri.
Kontraindikasi : gagal jantung, anemia berat.
Produk : Plasbumin 20, Plasbumin 25.
2. HES (Hydroxyetyl Starches)
Komposisi : Starches tersusun atas 2 tipe polimer glukosa, yaitu amilosa dan amilopektin.
Indikasi : Penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan permeabilitas pembuluh darah, sehingga dapat
menurunkan resiko kebocoran kapiler.
Kontraindikasi : Cardiopulmonary bypass, dapat meningkatkan resiko perdarahan setelah operasi, hal ini terjadi karena HES
berefek antikoagulan pada dosis moderat (>20 ml/kg). Sepsis, karena dapat meningkatkan resiko acute renal failure (ARF).
Penggunaan HES pada sepsis masih terdapat perdebatan.
Muncul spekulasi tentang penggunaan HES pada kasus sepsis, dimana suatu penelitian menyatakan bahwa HES dapat
digunakan pada pasien sepsis karena :
Tingkat efikasi koloid lebih tinggi dibandingkan kristaloid, disamping itu HES tetap bisa digunakan untuk menambah
volume plasma meskipun terjadi kenaikan permeabilitas.
Pada syok hipovolemia diperoleh innvestigasi bahwa HES dan albumin menunjukkan manifestasi edema paru yang lebih
kecil dibandingkan kristaloid.
Dengan menjaga COP, dapat mencegah komplikasi lebih lanjut seperti asidosis refraktori.
HES juga mempunyai kemampuan farmakologi yang sangat menguntungkan pada kondisi sepsis yaitu menekan laju
sirkulasi dengan menghambat adesi molekuler.
Sementara itu pada penelitian yang lain, disimpulkan HES tidak boleh digunakan pada sepsis karena :
Edema paru tetap terjadi baik setelah penggunaan kristaloid maupun koloid (HES), yang manifestasinya menyebabkan
kerusakan alveoli.
HES tidak dapat meningkatkan sirkulasi splanchnic dibandingkan dengan gelatin pada pasien sepsis dengan
hipovolemia.
HES mempunyai resiko lebih tinggi menimbulkan gangguan koagulasi, ARF, pruritus, dan liver failure. Hal ini terutama
terjadi pada pasien dengan kondisi iskemik reperfusi (contoh: transplantasi ginjal).
Resiko nefrotoksik pada HES dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan gelatin pada pasien dengan sepsis.
Adverse reaction : HES dapat terakumulasi pada jaringan retikulo endotelial jika digunakan dalam jangka waktu yang lama,
sehingga dapat menimbulkan pruritus.
Contoh : HAES steril, Expafusin.
3. Dextran
Komposisi : dextran tersusun dari polimer glukosa hasil sintesis dari bakteri Leuconostoc mesenteroides, yang ditumbuhkan
pada media sukrosa.
Indikasi :
Penambah volume plasma pada kondisi trauma, syok sepsis, iskemia miokard, iskemia cerebral, dan penyakit vaskuler
perifer.
Mempunyai efek anti trombus, mekanismenya adalah dengan menurunkan viskositas darah, dan menghambat agregasi
platelet. Pada suatu penelitian dikemukakan bahwa dextran-40 mempunyai efek anti trombus paling poten jika
dibandingkan dengan gelatin dan HES.
Kontraidikasi : pasien dengan tanda-tanda kerusakan hemostatik (trombositopenia, hipofibrinogenemia), tanda-tanda gagal
jantung, gangguan ginjal dengan oliguria atau anuria yang parah.
Adverse Reaction : Dextran dapat menyebabkan syok anafilaksis, dextran juga sering dilaporkan dapat menyebabkan gagal
ginjal akibat akumulasi molekul-molekul dextran pada tubulus renal. Pada dosis tinggi, dextran menimbulkan efek
pendarahan yang signifikan.
Contoh : hibiron, isotic tearin, tears naturale II, plasmafusin.
4. Gelatin
Komposisi : Gelatin diambil dari hidrolisis kolagen bovine.
Indikasi : Penambah volume plasma dan mempunyai efek antikoagulan,
Pada sebuah penelitian invitro dengan tromboelastropgraphy diketahui bahwa gelatin memiliki efek antikoagulan, namun
lebih kecil dibandingkan HES.
Kontraindikasi : haemacel tersusun atas sejumlah besar kalsium, sehingga harus dihindari pada keadaan hiperkalsemia.
Adverse reaction : dapat menyebabkan reaksi anafilaksis. Pada penelitian dengan 20.000 pasien, dilaporkan bahwa gelatin
mempunyai resiko anafilaksis yang tinggi bila dibandingkan dengan starches.
Contoh : haemacel, gelofusine.
Cairan Khusus
Contoh dalam kelompok ini seperti cairan mannitol.
Daftar Pustaka
Bongard F.S., Sue D.Y., Vintch J.R., 2008. Current Diagnosis and Treatment Critical Care Third Edition. McGraw Hill.
Brenner M., Safani M., 2005. Critical Care and Cardiac Medicine. Current Clinical Strategies Publishing.
Carpenter D.O., 2001. Handbook of Pathophysiology. Springhouse Corporation.
Singer M., Webb A.R., 2005. OxfordHandbook of Critical Care 2
nd
Edition. Oxford University Press Inc.
Sue, D.Y., 2005. Current Essentials of Critical Care. McGraw Hill.

You might also like