By: anomaliergosum83 Pendahuluan Konsep pengembangan kelangsungan hidup ekosistem sudah dikaji sejak lama, namun secara formal mulai dibahas dalam konferensi Human Environtment di bawah naungan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Stockholm 1972. Dalam konferensi tersebut untuk pertama kali dikemukakan kebutuhan pembangunan dan lingkungan global. Selanjutnya, pada bulan Desember 1997, kebutuhan tersebut tertuang dalam Protokol Kyoto yang melibatkan sekitar 180 negara. Konsep yang 25 tahun sebelumnya masih bersifat gagasan dalam suatu konferensi, telah menjadi suatu kebutuhan yang penting bagi kelangsungan ekosistem global. Hal yang memicu kebutuhan tersebut muncul setelah para ilmuwan mengemukakan perubahan iklim dunia yang meningkat mencapai 5 o celcius yang berpotensi membawa malapetaka kerusakan lingkungan. Estimasi kerusakan lingkungan tersebut diperkirakan mencapai US$5 trilyun. Kerugian terbesar diperkirakan paling banyak terjadi pada negara-negara sedang berkembang.
Sejarah Carbon Trade Persoalan tersebut saat ini menjadi perhatian dunia yang direpresentasi dari kesepakatan sebagian besar masyarakat dunia dalam protokol Kyoto yang ditandatangani oleh 180 negara pada bulan Desember 1997. Protokol Kyoto melahirkan tiga mekanisme untuk memperbaiki dan memelihara kelangsungan ekosistem global yang meliputi International Emission Trading (IET) , Clean Development Mechanism (CDM), dan Joint Implementation (JI). Protokol Kyoto di bawah naungan PBB dalam Kerangka-kerja konvensi perubahan iklim (Framework Convention on Climate Change, FCCC) pada tahun 1997 telah menyepakati bahwa negara-negara industri akan mengurangi tingkat emisi rata-rata 5,2% dibawah level 1990 pada tahun 2008 hingga 2012. Berdasarkan kesepakatan ini, negara- negara industri harus melakukan berbagai cara untuk mereduksi GHG agar memenuhi ketentuan tersebut. Persoalan muncul ketika mereka tidak mampu mendapatkan teknologi yang efektif untuk mereduksi GHG, atau mereka tidak mampu mendapatkan teknologi efisien untuk mereduksi GHG. Reduksi GHG tidak hanya mengandalkan teknologi yang belum tentu efektif atau efisien, melainkan juga melalui pemberdayaan sumberdaya alam. Reduksi GHG melalui pemanfaatan sumberdaya alam merupakan alternatif yang dipandang efektif dan mungkin juga efisien dibandingkan reduksi emisi melalui bisnis itu sendiri yang mungkin membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Persoalan lain muncul bila negara yang bersangkutan tidak memiliki lahan yang memadai untuk konservasi sumberdaya alam dalam rangka mereduksi GHG. Akibatnya, negara industri tersebut akan cenderung mengalami carbon debit, artinya negara atau perusahaan menghasilkan GHG lebih besar dari reduksi GHG. Bila negara pemegang carbon debit tidak mampu menetralisir karbon sesuai kesepakatan dalam Protokol Kyoto, maka mereka akan terkena penalti atau sanksi. Pada sisi lain beberapa negara yang lain mampu menghasilkan carbon credit, artinya negara atau perusahaan mampu mereduksi GHG lebih besar dari GHG yang dihasilkan. Mekanisme dalam Protokol Kyoto mengakomodasi kesulitan negara-negara industri yang mengalami carbon debit dan kelebihan negara-negara lainnya yang menghasilkan carbon credit melalui perdagangan karbon internasional atauInternational Emission Trading (IET). Perkembangan di atas membuka peluang bagi negara-negara sedang berkembang yang memiliki potensi dalam mereduksi greenhouse gas (GHG) ataucarbon surplus. Negara atau perusahaan yang memiliki surplus karbon dapat menjual kelebihannya kepada negara atau perusahaan yang memililik defisit karbon. Potensi Indonesia cukup besar untuk memasuki era perdagangan karbon tersebut. Berdasarkan data ADB-GEF-UNDP menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kapasitas reduksi karbon lebih dari 686 juta ton yang berasal dari pengelolaan hutan, sedangkan perubahan fungsi hutan menimbulkan emisi karbon lebih dari 339 juta ton, jadi terdapat surplus karbon sebesar 347 juta ton. Bila dikurangi dengan penambahan emisi karbon dari aktivitas industri lainnya, Indonesia masih memiliki surplus karbon lebih dari 8 juta ton. Dengan harga rata-rata per ton karbon saat ini sebesar US$5, maka Indonesia berpotensi menjual sertifikat surplus karbon senilai US$40 juta atau sekitar Rp.360 milyar.
Definisi dan Mekanisme Carbon Trade Perdagangan karbon atau carbon trading atau lebih umum dikenal denganemission trading merupakan istilah yang diterapkan dalam perdagangan sertifikat yang mencerminkan berbagai cara untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan target yang dicantumkan dalam sertifikat. Para partisipan dalam perdagangan karbon membeli dan menjual komitmen kontrak (contractual commietments) atau sertifikat yang mencerminkan jumlah tertentu emisi karbon (carbon-related emission) yang dapat dikurangi. Dengan demikian Certified Emission Reductions (CERs) merupakan komoditas baru dalam perdagangan dunia yang prospektif. Bila seluruh negara di dunia telah menyepakati perdagangan karbon tersebut, maka CERs menjadi komoditas yang menguntungkan sama halnya dengan sekuritas yang banyak diperdagangkan. Bahkan bukan suatu hal yang mustahil bila pada masa datang, perdagangan karbon menjadi komoditas yang laku seperti halnya perdagangan minyak seperti sekarang ini. Perkembangan menunjukkan bahwa kebutuhan CERs pada masa datang menjadi komoditi penting dalam pasar GHG yang berorientasi pada kelangsungan ekosistem global. Analis memperkirakan ukuran pasar futures GHG pada tahun 2010 akan mencapai kisar US$10 milyar hingga US$1 trilyun. Ukuran tersebut diperkirakan meningkat sejalan dengan kebutuhan masyarakat terhadap lingkungan yang bersih dan sehat serta kelangsungan ekosistem global. Permasalahan kerusakan hutan di indonesia tergolaong cukup parah. Tingkat deforestasi dindonesia mencapai, sekitar 1.6 juta hektar, lus hutang yang rusak dan perlu di rehabilitasi mencapai sekitar 30 hetare, dan akan semakin luas hal inilah yang menempatkan indonesia ke posisi dua setelah Brazil dalam hal kerusakan lingkungan. Dengan fakta tersebut, seberapa efektifkan dana carbon trade mencegah dan menanggulangi kerusakan lingkungan (terutama hutan)? Dalam otonomi daerah, bagaimana alokasi dana tersebut? Apakah dengan adanya dana tersebut pemerintah daerah yang memiliki SD hutan yang luas akan meubah paradigma dari melakukan ekloptasi hutan untuk peningkatan pendapatan daerah menjadi sebuah usaha pelestarian. Apakah sistem carbon trade mampu mengurangi aktivitas /usaha yang bergerak di bidang eplorasi hutan dan mampukan dana carbon trade mekompensasi orang-orang yuang kehilangan pendapatan jika carbon trade tenyata mampu mengurangi usaha-usaha dibidang ekplorasi hutan.?
Daftar Pustaka 1. 1. ENN.com, 2005, Carbon Trading Market Enter Design Phase, Dokumen HTML 2. Kyoto Carbon Trade.com, 2005, A New Commodity for Sale, Dokumen HTML 3. Tandelilin, E., 2004, Manajemen Sumberdaya Hutan dan Relevansi Ekonomi dalam Era Carbon Trade, Paper Seminar, UGM, Yogjakarta. http://anomaliergosum83.wordpress.com/2008/10/26/carbon-trade-alat-ekonomi-dalam- pengembangan-kelangsungan-hidup-ekosistem/
pakah CARBON TRADING? Carbon trading juga dikenal dengan istilah emissions trading. Carbon trading merupakan salah satu rekomendasi Kyoto Protocol 1997, sebuah rencana internasional untuk mengurangi enam gas rumahkaca utama penyebab perubahan iklim.
Carbon trading menggunakan skema khusus yang disebut sistem 'cap and trade'. Berdasarkan komitmen Kyoto, sebuah negara dapat mengalokasikan ijin emisi gas rumahkaca ('cap') kepada perusahaan-perusahaan. Jika sebuah perusahaaan terbukti melakukan emisi kurang dari batasan yang diberikan, kelebihan ijin yang dimilikinya dapat diperdagangkan ('trade') kepada perusahaan yang mengeluarkan lebih banyak polusi. Sebaliknya, jika perusahaan gagal memenuhi target emisi, atau dengan kata lain mengeluarkan CO2 lebih banyak dari batas yang diijinkan ('cap'), mereka dapat membeli 'carbon credit' dari perusahaan dengan emisi di bawah target. Carbon credit ini biasanya diperdagangkan di 'over the counter (OTC) market'. Singkatnya, Ratnatungamenegaskan bahwa apa yang diperdagangkan di 'carbon trading' bukanlah karbon sesungguhnya, tetapi hak untuk emisi CO2.
The European Union Emission Trading Scheme (EU UTS) diakui sebagai multinasional carbon trading terbesar di dunia. Bagaimana dengan Australia? Australia merencanakan pemberlakuan skemacarbon trading di tahun 2010. Namun sejak 1998 carbon tradingsudah berlangsung di the State of New South Wales, Australia. Diperkirakan carbon trading akan menjadi fenomena global di masa datang.
Ref: Ratnatunga, J. (2007), An Inconvenient Truth about Accounting, Journal of Applied Management Accounting Research, Vol. 5, No. 1, pp. 1-20.
Seminar The Carbonomics of Climate Change: Looking Beyond Kyoto and Copenhagen Rabu, 21 April 2010
Dalam presentasinya Prof. Ratnatunga menyampaikan berbagai implikasi dari Kyoto Protocol dan kegagalan Copenhagen Summit dalam rangka berupaya memperlambat laju terjadinya pemanasan global. Sebagai langkah awal untuk menstabilkan emisi karbondioksida global, Kyoto Protocol telah memberikan beberapa mekanisme internasional untuk menekan terjadinya pemanasan global, seperti Joint Implementation (JI), Clean Development Mechanism (CDM) dan International Emission Trading (IET). Namun Kyoto Protocol akan berakhir pada tahun 2012. Diselenggarakannya Copenhagen summit yang semula berupaya untuk memperpanjang Kyoto Protocol ini ternyata mengalami kegagalan dalam sejumlah area perekonomian, misalnya di pasar finansial, perdagangan internasional, supply-chain management, analisa biaya dan pelaporan finansial. Banyak negara, lembaga bisnis dan individu yang belum siap untuk memenuhi tantangan ini. Di sisi lain, terlepas dari keberhasilan atau kegagalan Kyoto Protocol dan Copehagen Summit untuk memperlambat laju terjadinya pemanasan global, kita baik sebagai individu maupun perusahaan/organisasi juga seharusnya dapat menekan carbon footprint kita murni berdasarkan pada asas moral/etika, misalnya melalui perubahan gaya hidup. Prof. Ratnatunga juga memaparkan tentang bagaimana paradigma yang dewasa ini semakin berkembang juga mengarah pada bagaimana memenuhi kebutuhan energi sekarang ini tanpa semakin mempercepat laju pemanasan global. Jadi di samping berbagai skema/mekanisme yang dipaparkan di Kyoto Protocol dan Copenhagen Sumit, misalnya tentang skema perdagangan karbon, respon perilaku berdasarkan moral/etika juga sangat diperlukan agar pemanasan global tidak semakin parah http://psl.ubaya.ac.id/?menu=news&a=detail&id=29