Professional Documents
Culture Documents
Bagikan
Saya tiba di Pondok Pesantren Tremas saat itu sekitar jam lima sore,
perjalanan dari Yogyakarta. Ternyata menuju ke Pesantren Tremas dari arah
kota gudeg bisa ditempuh hanya dalam waktu sekitar dua setengah jam saja.
Bayangan saya sebelumnya, lebih dari itu. Sebab, dari arah Ponorogo saja
berjarak sekitar 70 km, belum lagi dari Yogyakarta ke Ponorogo. Tetapi
sekarang sudah ada jalan pintas dari Yogakarta melalui jalur selatan, melalui
Wonosari ternyata lebih dekat. Lebih-lebih lagi, jalan pintas tersebut,
sekalipun sempit sudah beraspal, sehingga dengan kendaraan roda empat,
tidak mengalami kesulitan sama sekali.
Justru yang agak sulit adalah sekembalinya dari Tremas ke arah Malang.
Menurut informasi, saat ini juga sudah ada jalan pintas dari Pacitan ke
Trenggalek, lewat Panggul. Tetapi ternyata kondisi jalannya tidak sebaik dari
arah Yogya ke Pacitan. Jalan dari arah Pacitan ke Panggul berliku-liku dan
sempit. Perjalanan malam hari, pulang dari Pondok Tremas ke Panggul tidak
mudah. Apalagi beberapa bagian jalan itu masih dalam proses penyelesaian
untuk dilebarkan. Dalam kondisi hujan, sedangkan pengaspalan belum
sepenuhnya selesai, mengharuskan sopir ekstra hati-hati.
Sesampainya di Pondok Tremas pada sore hari sekitar jam 17.00 itu,
kebetulan para santri bersama-sama sedang mengaji kitab di masjid dari
seorang pengasuh. Saya dengar kyai membacakan isi kitab itu, kata demi
kata, lalu menjelaskannya. Sedangkan para santri semuanya menyimak
melalui kitab yang dipegang mereka masing-masing. Masjid yang cukup
besar itu menampung ratusan santri, semuanya duduk dengan bersila, tanpa
bangku, mengikuti pelajaran itu. Cara mengajar seperti ini jika dibandingkan
dengan teori belajar mengajar modern, sama sekali dianggap tidak tepat.
Teori belajar mengajar modern, menganjurkan agar jumlah siswa harus
dibatasi, menggunakan alat peraga, LCD, dan seterusnya. Selain itu juga
berbagai ketentuan harus diikuti, misalnya bagaimana materi setiap
pelajaran harus diorganisasi, seharusnya memulai pelajaran, bagaimana guru
bertanya, murid menjawab dan seterusnya.
Kyai dalam mengajar di pesantren biasanya diikuti oleh ratusan dan bahkan
kadang ribuan santri. Hal itu jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
pengajaran modern, yang seharusnya jumlah itu dibatasi. Kyai hanya
membaca kitab, menerangkan, dan semua santri menyimak serta mencatat
apa yang diterangkan oleh kyai yang sekiranya dianggap perlu. Tetapi
anehnya, apa yang dilakukan oleh kyai tersebut ternyata berhasil menjadikan
para santri menguasai kitab yang dipelajarinya. Belajar secara missal di
pesantren seperti itu, juga tidak diakhiri dengan ujian. Apalagi, ujian nasional
di kalangan pesantren. Tidak pernah terdengar hal tersebut dilakukan.
Hanya anehnya, belum tentu pengajaran yang diatur secara rapi itu,
memperoleh hasil yang lebih baik dari proses sederhana yang dilakukan di
kalangan pesantren. Hal seperti itu, tidak jarang kemudian melahirkan
pertanyaan, di antaranya yakni, kekuatan apa yang menjadikan pengajaran
di pesantren lebih berhasil bilamana dibanding dengan proses belajar dan
mengajar di sekolah umum. Sebagai contoh sederhana, para santri yang
belajar di pesantren dalam waktu tertentu, berhasil menguasai Bahasa Arab
dan bahkan di beberapa pesantren tertentu, juga Bahasa Inggris. Sedangkan
di sekolah umum, sekalipun telah diajarkan di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama, SMU, dan juga telah dinyatakan lulus program S1 dan
bahkan pascasarjana, belum juga berhasil menguasai bahasa asing tersebut.
Atas kenyataan tersebut, jika kita mau jujur, mestinya kita harus hormat
pada lembaga pendidikan pesantren. Lembaga pendidikan yang seringkali
dianggap tradisional dan sederhana, ternyata proses belajar dan mengajar
yang dilakukan, lebih berhasil daripada pendidikan modern. Melihat
kenyataan itu, maka dalam mencari model pengajaran yang terbaik, perlu
dipertanyakan, siapa seharusnya meniru siapa. Saya pernah dibuat kagum
dan terharu ketika suatu saat bersilaturrahmi ke salah satu pesantren di
ujung timur pulau Madura. Para santrinya, ternyatra telah mampu menulis
makalah dengan dua bahasa asing, yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris
sekaligus. Padahal dari hasil pengamatan saya selama ini, belum tentu
semua siswa yang belajar di lembaga pendidikan modern, mampu
menghasilkan prestasi seperti itu.