You are on page 1of 5

Santri Tremas dalam Belajar di Pesantren

Bagikan

26 Mei 2009 jam 11:47

Saya tiba di Pondok Pesantren Tremas saat itu sekitar jam lima sore,
perjalanan dari Yogyakarta. Ternyata menuju ke Pesantren Tremas dari arah
kota gudeg bisa ditempuh hanya dalam waktu sekitar dua setengah jam saja.
Bayangan saya sebelumnya, lebih dari itu. Sebab, dari arah Ponorogo saja
berjarak sekitar 70 km, belum lagi dari Yogyakarta ke Ponorogo. Tetapi
sekarang sudah ada jalan pintas dari Yogakarta melalui jalur selatan, melalui
Wonosari ternyata lebih dekat. Lebih-lebih lagi, jalan pintas tersebut,
sekalipun sempit sudah beraspal, sehingga dengan kendaraan roda empat,
tidak mengalami kesulitan sama sekali.

Justru yang agak sulit adalah sekembalinya dari Tremas ke arah Malang.
Menurut informasi, saat ini juga sudah ada jalan pintas dari Pacitan ke
Trenggalek, lewat Panggul. Tetapi ternyata kondisi jalannya tidak sebaik dari
arah Yogya ke Pacitan. Jalan dari arah Pacitan ke Panggul berliku-liku dan
sempit. Perjalanan malam hari, pulang dari Pondok Tremas ke Panggul tidak
mudah. Apalagi beberapa bagian jalan itu masih dalam proses penyelesaian
untuk dilebarkan. Dalam kondisi hujan, sedangkan pengaspalan belum
sepenuhnya selesai, mengharuskan sopir ekstra hati-hati.

Sesampainya di Pondok Tremas pada sore hari sekitar jam 17.00 itu,
kebetulan para santri bersama-sama sedang mengaji kitab di masjid dari
seorang pengasuh. Saya dengar kyai membacakan isi kitab itu, kata demi
kata, lalu menjelaskannya. Sedangkan para santri semuanya menyimak
melalui kitab yang dipegang mereka masing-masing. Masjid yang cukup
besar itu menampung ratusan santri, semuanya duduk dengan bersila, tanpa
bangku, mengikuti pelajaran itu. Cara mengajar seperti ini jika dibandingkan
dengan teori belajar mengajar modern, sama sekali dianggap tidak tepat.
Teori belajar mengajar modern, menganjurkan agar jumlah siswa harus
dibatasi, menggunakan alat peraga, LCD, dan seterusnya. Selain itu juga
berbagai ketentuan harus diikuti, misalnya bagaimana materi setiap
pelajaran harus diorganisasi, seharusnya memulai pelajaran, bagaimana guru
bertanya, murid menjawab dan seterusnya.

Kyai dalam mengajar di pesantren biasanya diikuti oleh ratusan dan bahkan
kadang ribuan santri. Hal itu jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
pengajaran modern, yang seharusnya jumlah itu dibatasi. Kyai hanya
membaca kitab, menerangkan, dan semua santri menyimak serta mencatat
apa yang diterangkan oleh kyai yang sekiranya dianggap perlu. Tetapi
anehnya, apa yang dilakukan oleh kyai tersebut ternyata berhasil menjadikan
para santri menguasai kitab yang dipelajarinya. Belajar secara missal di
pesantren seperti itu, juga tidak diakhiri dengan ujian. Apalagi, ujian nasional
di kalangan pesantren. Tidak pernah terdengar hal tersebut dilakukan.

Sangat berbeda dengan pengajaran di pesantren, pendidikan formal di


sekolah atau bahkan juga di perguruan tinggi semuanya serba diatur. Hal
menyangkut tentang guru, bahan ajar, berbagai peralatan pengajaran yang
dibutuhkan, termasuk buku pegangan dan lain-lain semuanya harus
disediakan. Demikian pula jadwal kegiatan ditata rapi, termasuk berapa kali
murid harus masuk mengikuti pelajaran, tidak terkecuali kapan para siswa
atau mahasiswa harus mengikuti ujian tengah semester dan juga akhir
semester. Semua proses pengajaran itu juga telah ditentukan waktunya,
termasuk juga ujiannya.

Hanya anehnya, belum tentu pengajaran yang diatur secara rapi itu,
memperoleh hasil yang lebih baik dari proses sederhana yang dilakukan di
kalangan pesantren. Hal seperti itu, tidak jarang kemudian melahirkan
pertanyaan, di antaranya yakni, kekuatan apa yang menjadikan pengajaran
di pesantren lebih berhasil bilamana dibanding dengan proses belajar dan
mengajar di sekolah umum. Sebagai contoh sederhana, para santri yang
belajar di pesantren dalam waktu tertentu, berhasil menguasai Bahasa Arab
dan bahkan di beberapa pesantren tertentu, juga Bahasa Inggris. Sedangkan
di sekolah umum, sekalipun telah diajarkan di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama, SMU, dan juga telah dinyatakan lulus program S1 dan
bahkan pascasarjana, belum juga berhasil menguasai bahasa asing tersebut.

Atas kenyataan tersebut, jika kita mau jujur, mestinya kita harus hormat
pada lembaga pendidikan pesantren. Lembaga pendidikan yang seringkali
dianggap tradisional dan sederhana, ternyata proses belajar dan mengajar
yang dilakukan, lebih berhasil daripada pendidikan modern. Melihat
kenyataan itu, maka dalam mencari model pengajaran yang terbaik, perlu
dipertanyakan, siapa seharusnya meniru siapa. Saya pernah dibuat kagum
dan terharu ketika suatu saat bersilaturrahmi ke salah satu pesantren di
ujung timur pulau Madura. Para santrinya, ternyatra telah mampu menulis
makalah dengan dua bahasa asing, yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris
sekaligus. Padahal dari hasil pengamatan saya selama ini, belum tentu
semua siswa yang belajar di lembaga pendidikan modern, mampu
menghasilkan prestasi seperti itu.

Prestasi seperti itu juga terjadi di Pesantren Tremas. Atas kesederhanaannya


itu, pesantren ini telah melahirkan sejumlah kyai besar yang dikenal di negeri
ini. Sehingga wajar jika kemudian muncul pertanyaan mendasar, yang perlu
dijawab secara tuntas. Yaitu misalnya, kekuatan apa sesungguhnya yang
menjadikan para santri berhasil menguasai sejumlah pengetahuan dan
bahkan tatkala keluar dari pesantren, mereka mampu memimpin lembaga
pendidikan yang dipercaya masyarakat. Dilihat dari sisi metodologi
pengajaran, jelas pendidikan di pesantren tidak tampak modern. Begitu pula
sarana dan prasarana yang tersedia, adalah sangat terbatas. Para kyai yang
mengajar juga bukan lulusan fakultas pendidikan, penyandang ijazah
pascasarjana, dan apalagi Doktor atau S3. Tidak memenuhi criteria seperti
itu. Mereka yang mengajar di pesantren, adalah tamatan pesantren.
Persoalan ini benar-benar menarik, dan kiranya perlu dikaji oleh para peneliti
di bidang ini.

Dari hasil pengamatan dan juga berdiskusi tatkala berkunjung ke beberapa


pesantren, termasuk ke Pesantren Tremas, saya mendapatkan beberapa
kesimpulan tentang pendidikan pesantren, yang memang berbeda dari
pendidikan di sekolah formal pada umumnya. Pesantren memiliki model
pendidikan yang khas. Beberapa di antara ke khasan pendidikan pesantren
itu adalah sebagai berikut. Pertama, pendidikan di pesantren diliputi oleh
suasana keikhlasan. Para Kyai dan santri dalam menunaikan perannya
masing-masing didorong oleh niat ikhlas. Mereka yang terlibat dalam proses
belajar dan mengajar ------kyai dan santri, tidak saja termotivasi untuk
memberi dan mendapatkan ilmu, tetapi lebih dari itu adalah juga dirasakan
sebagai kewajiban menunaikan amanah, yakni mengajar dan mencari ilmu,
atas perintah dari Yang Maha Kuasa, sebagai ibadah. Dalam proses belajar
dan mengajar selalu diliputi oleh nilai-nilai spiritual. Dalam bentuk yang
paling sederhana kita lihat misalnya, tatkala memulai dan pengakhiri
pelajaran selalu diiringi dengan doa yang dipimpin langsung oleh kyai yang
bersangkutan.

Kedua, dalam pendidikan di pesantren tidak terjadi suasana transaksional.


Ilmu tidak diperdagangkan. Tidak ada istilah upah atau gaji dari kegiatan
mengajar. Para kyai atau ustadz yang mengajar, tidak ada sedikit pun,
didorong oleh maksud-maksud untuk mendapatkan imbalan material. Antara
mengajar dan mencari rizki, di kalangan pesantren bisa dipisahkan. Jika
kegiatan itu mengharuskan para santri membayar biaya pendidikan, dan
demikian pula para pengasuh mendapatkan sesuatu dari kegiatan pesantren,
tidak akan dimaknai sebagai imbalan atas pekerjaannya itu. Bahkan tidak
sedikit kyai yang harus menanggung biaya hidup para santri yang tidak
mampu secara ekonomi.

Apa yang terjadi di pesantren, kemudian kita bandingkan dengan di sekolah


pada umumnya, memang benar-benar berbeda. Lembaga pendidikan pada
umumnya selalu ramai berbicara soal upah guru dan atau dosen, sedangkan
di pesantren tidak pernah berbicara tentang biaya pendidikan itu. Bahkan, di
sekolah umum, kadang kala energi untuk membicarakan besarnya biaya
pendidikan melebihi forsi perbincangan tentang pendidikannya itu sendiri.
Lebih dari itu, akhir-akhir ini muncul juga demonstrasi oleh guru tatkala
menuntut hak. Akhirnya pendidikan menjadi lahan transaksional dalam
mendapatkan rizki, sehingga gambaran itu tak ubahnya di pasar.
Pemandangan seperti itu sesungguhnya tidak akan terjadi jika pihak-pihak
yang terkait dengan itu, -----termasuk pemerintah, sejak awal
memperhatikannya.

Suasana transaksional seperti digambarkan itu akan menghilangkan nilai-


nilai paedagogik yang seharusnya justru ditumbuh-kembangkan di lembaga
pendidikan. Dalam lembaga pendidikan seharusnya tertanam suasana kasih
sayang, hubungan yang sedemikian dekat antara guru dan murid dan siapa
saja yang terlibat dalam kegiatan pendidikan. Hubungan guru dan murid
seharusnya dibangun bagaikan orang tua dan anak-anaknya sendiri. Guru
seharusnya mencitai murid sepenuhnya dan demikian pula murid seharusnya
menghormati dan memuliakan para guru-gurunya. Oleh karena itu, jika suatu
misal, guru berdemonstrasi menuntut hak kenaikan gaji, maka suasana
pendidikan telah gagal diciptakan. Pendidikan dengan demikian menjadi
tidak akan menghasilkan apa-apa.

Hubungan kyai dan santri di pesantren, tidak terkecuali di Pesantren Tremas,


terbangun secara baik. Para kyai Tremas sekalipun pada saat ini masih
tergolong berusia muda, mampu memerankan sebagai pendidik yang
sebenarnya. Para kyai menunjukkan kecintaannya pada seluruh santri dan
demikian pula para santri sedemikian ta’dhim atau hormat kepada para kyai
pengasuhnya. Inilah kiranya sebagian kunci keberhasilan pendidikan di
pesantren. Hubungan batin seperti ini, tidak pernah kemudian memunculkan
penyimpangan dalam pendidikan. Kecurangan dalam penyelesaian tugas
atau juga dalam ujian tidak terjadi di lingkungan pesantren. Pengawasan
terhadap masing-masing para santri diserahkan kepada santri sendiri. Jika
melakukan kesalahan, para santri dibuat malu terhadap dirinya sendiri.

Ketiga, di pesantren kyai berhasil menjadi tauladan sepenuhnya dalam


berbagai kegiatan hidupnya. Misalnya, dalam kegiatan spiritual, -----sholat
misalnya, kyai bertindak sebagai imam dan begitu juga pada doa-doa
lainnya. Para pengasuh bertempat tinggal di lokasi pesantren menjadikan
kehidupan dan bahkan juga seluruh keluarganya menjadi contoh tauladan
hidup yang sebenarnya. Para santri tidak saja belajar dari buku atau kitab
yang dipelajari, melainkan juga dari kehidupan nyata para pengasuh
pesantren. Para santri dengan begitu tahu, bahwa para kyai pengasuhnya
tidak saja mengajarinya, melainkan lebih dari itu berdoa dan memohon
kepada Allah swt., atas keberhasilan para santrinya dalam menuntut ilmu di
pesantren.

Suasana seperti inilah yang menjadikan pesantren memiliki kelebihan


tersendiri dibandingkan proses pendidikan di lembaga pendidikan lain pada
umumnya. Pendidikan di pesantren, dengan demikian tampak lebih utuh atau
komprehensif. Hanya saja memang, satu sisi kekurangannya jika hal itu boleh
disebut, bahwa pendidikan di pesantren baru lebih menitik beratkan pada
pengembangan jiwa keberagamaan. Umpama saja, pesantren
mengembangkan bidang-bidang keilmuan yang lebih luas, -------termasuk
pendidikan sains, saya yakin akan jauh lebih maju dan berhasil dari model
pendidikan pada umumnya. Hal itu sangat mungkin terjadi karena
sebenarnya pesantren memiliki pendekatan, tradisi, dan wawasan tentang
kehidupan manusia yang jauh lebih luas dan mendalam. Wawasan tentang
kehidupan yang dimaksudkan itu, ------disadari atau tidak, sesungguhnya
bersumber dari kitab suci dan serjarah hidup para nabi serta orang-orang
sholeh lainnya. Allahu a’lam.

You might also like