You are on page 1of 5

Seriuskah Para Pemimpin Bangsa ini ?

Bagikan

03 Mei 2009 jam 10:48

Pertanyaan seperti ini seringkali menggoda pikiran saya terus menerus


tanpa henti dan juga tanpa mendapatkan jawaban. Bangsa ini telah
memiliki dokumen yang sedemikian indah, berupa Sumpah Pemuda,
Pancasila, UUD 1945 dan perbagai undang-undang lainnya. Bangsa ini
juga sudah menjalankan demokrasi, yakni sebuah system kehidupan
social yang diyakini akan dapat mensejahterakan rakyatnya. Berbagai
dokumen itu sudah tidak pernah diperdebatkan lagi, artinya sudah
menjadi milik bangsa ini dengan sebenarnya. Betapa indahnya
misalnya, rumusan sila ke lima Pancasila bahwa kesejahteraan social
bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selanjutnya sudah sekian lama pembangunan untuk meraih cita-cita,


yakni adil dan makmur dilaksanakan. Kemakmuran telah dicapai,
tetapi baru sebagian kecil yang menikmati. Sedangkan sebagian besar
rakyat masih berada di bawah garis kemiskinan. Lapangan pekerjaan
sangat terbatas, tidak seimbang dengan pertumbuhan pencari kerja.
Pendidikan dibicarakan terus menerus, tetapi justru lulusannya tidak
siap memasuki lapangan kerja. Pengangguran semakin banyak.
Mereka bukan tidak mau kerja, tetapi memang lapangan pekerjaan
yang benar-benar terbatas. Akhirnya, mereka mencari alternative,
pergi ke luar negeri sebatas untuk menyambung hidup.

Beberapa tahun terakhir, sekalipun reformasi sudah berjalan beberapa


lama, ternyata juga belum muncul tanda-tanda perubahan yang
mendasar. Kepemimpinan bangsa ini dari periode ke periode
berikutnya, tampak hanya sebatas menjaga kestabilan. Langkah-
langkah strategis yang bersifat radikal atau mendasar belum pernah
tampak dilakukan. Sementara persoalan demi persoalan muncul silih
berganti, bahkan semakin cepat dan komplek. Akibatnya kemampuan
pemerintah tampak tidak seimbang dengan persoalan yang harus
dijawab. Kemiskinan misalnya, sebagai persoalan lama hanya
diselesaikan dengan pendekatan karitatif, berupa memberi sejumlah
uang kepada orang-orang miskin, yang disebut blt. Akal serderhana
pun akan mengatakan bahwa cara itu tidak akan menghasilkan apa-
apa, bahkan sebaliknya justru akan memperkukuh mental orang
miskin, yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Oleh karena itu jika pemimpin negeri hasil Pilpres mendatang hanya
bersemboyan akan meneruskan langkah-langkah sebagaimana periode
sebelumnya, maka jelas tidak akan membawa perubahan apa-apa.
Bolehlah pada periode yang lalu, siapapun bisa memahami terhadap
keterbatasan prestasi yang diraih pemerintah. Siapapun tidak menutup
mata, bahwa pada periode itu pemerintah disibukkan oleh berbagai
musibah yang luar biasa, mulai dari tsunami, gempa bumi nias dan
juga silih berganti terjadi gunung meletus, banjir, berbagai jenis
penyakit timbul di mana-mana, kelaparan dan seterusnya. Belum lagi,
persoalan itu masih diperberat dengan kenaikan drastis harga minyak
dan disusul oleh krisis sekonomi dunia, semua itu menambah beban
pemerintah. Atas semua itu, kita kemudian menjadi maklum dan
mengakui bahwa semua persoalan itu berhasil diselesaikan. Namun
pada periode mendatang, pemerintah tidak boleh hanya memiliki
strategi yang biasa-biasa, tatkala harus menghadapi persoalan bangsa
yang tidak biasa ini.

Jika bangsa ini serius, ingin mengurangi kemiskinan maka harus berani
mengambil kebijakan yang luar biasa, radikal, mendasar, menyeluruh
dan tidak boleh hanya biasa-biasa saja. Kalau boleh saya katakan,
pemerintah harus berani mengambil keputusan yang yang serba luar
biasa. Pemerintah, kalau perlu, tidak boleh hanya menunggu
kesepakatan. Kesepakatan bersama lazimnya sulit diraih dan berakibat
menjadi terlalu lambat. Cobalah lihat berbagai sidang tatkala akan
mengambil keputusan. Kesepakatan itu selalu memakan waktu lama,
sedangkan persoalannya sudah mendesak dipecahkan bahkan terlalu
akut. Keadaan seperti itu sesungguhnya wajar terjadi, karena masing-
masing orang peserta siding memiliki pemahaman, kecepatan berpikir,
kepedulian yang berbeda-beda. Beberapa di antara mereka memiliki
kapasitas unggul, kemampuan berpikir dan mengambil keputusan
cepat, sedangkan sebagian lainnya tidak seperti itu, sehingga harus
menunggu mereka yang berpikir lambat.

Saya berandai-andai, jika pemerintah ingin mengejar ketertinggalan


selama ini maka jangan menggunakan kendaraan lambat seperti mobil
tua, apalagi becak atau andong. Pemerintah harus menggunakan
mobil balap yang bisa melewati segala jenis jalan dan bahkan padang
pasir atau gunung pun sanggup dilalui. Pemerintah semestinya juga
tidak boleh menggunakan kereta api. Kereta api selalu tiba terlambat.
Tidak pernah ada kereta api datang tepat waktu. Itu terjadi karena alat
transportasi umum itu menggunakan rel. Agar cepat, rel itu sekali-kali
boleh ditinggal. Selain itu Pemerintah jika ingin melaju dengan cepat,
maka jangan menggunakan mental pegawai negeri, yang hanya
menjalankan tugasnya mengikuti protap, juknis, tupoksi dan
sejenisnya. Pemerintah harus berani mengikuti cara kerja para
pendayung di lautan bebas yang lagi bergolak. Pemerintah juga harus
berani berpikir dan bekerja bagaikan entrepeneour ulung. Berani
mengambil keputusan yang tidak biasa, penuh resiko tetapi juga selalu
pintar melakukan kalkulasi untung rugi secara cermat. Inilah cara
berpikir yang tidak biasa untuk memakmurkan rakyat.

Bangsa ini sesungguhnya mempunyai modal, berupa sumber daya


alam yang melimpah, tenaga kerja yang banyak, pengalaman, para
negosiator yang tangguh untuk mendatangkan investor dari berbagai
penjuru. Bangsa ini dengan modal kekayaan alam yang melimpah juga
masih dipercaya dari berbagai pihak. Hanya saja, semua itu harus
dilakukan perhitungan secara matang. Selain itu, para pemimpin
mestinya memiliki sifat dan mental pejuang. Sebagai pejuang, maka
tidak boleh keputusan dan prestasi kerjanya hanya
mempertimbangkan keuntungan diri sendiri. Sebagai pejuang, bahkan
tidak boleh menghitung akan mendapat keuntungan. Keuntuangan
para pemimpin adalah berupa keberhasilannya dalam
mensejahterakan rakyat, bukan rupiah atau sejumlah dollar yang akan
diterima. Pemimpin sebagai pejuang berbeda dengan makelar atau
calo. Sebagai makelar biasanya mengatakan dirinya pejuang, tetapi
ujung-ujungnya perjuangannya itu hanya dimotivasi agar
mendapatkans keuntungan pribadi. Jika mental ini yang dikembangkan
oleh para pemimpinnya, maka sampai kapan pun bangsa ini tidak akan
meraih kemajuan. Tetapi sebaliknya, justru akan melahirkan berbagai
masalah, persis seperti di manapun tatkala di sana banyak makelar
atau calo. Jika ingin maju, bangsa ini harus menghindar dari
kemungkinan dipimpin oleh para calo atau makelar itu.

Suasana optimis dalam berbagai level penting ditumbuhkan untuk


membangun gerakan bersama. Semangat membangun perlu
digerakkan secara lebih keras, agar tidak terkesan biasa-biasa saja.
Iktikat baik para pemimpin terhadap rakyat perlu ditunjukkan dan
sekaligus disosialisasikan secara luas. Sekalipun sebatas isu yang
mungkin hanya bersifat simbolik, sangat diperlukan untuk membangun
semangat juang bersama. Saya selalu membayangkan bahwa para
pejuang dulu tatkala perang merebut kemerdekaan, tidak pernah
memikirkan apa yang akan didapat. Mereka menyandang cita-cita dan
jiwa besar bekerja untuk bangsa. Bagi mereka berjuang dan berkorban
harus menyatu. Berjuang selalu mereka kombinasikan dengan
kesediaan berkorban. Tidak pernah ada orang berjuang tanpa
berkorban. Saat ini adalah waktunya berjuang untuk memakmurkan
rakyat. Berjuang memakmurkan rakyat juga menuntut adanya
pengorbanan, berbentuk apa saja.

Mungkin apa yang dilakukan oleh Iran, selama ini, perlu dijadikan
acuan. Bukan dalam semangat perangnya, melainkan dalam hal
kepeduliannya terhadap sesama. Kepedulian terhadap sesama, di Iran
dikembangkan melalui tradisi mengeluarkan sebagian harta sebesar
20 % dari kelebihan penghasilan setiap orang atau juga lembaga apa
saja pada setiap tahunnya. Pengeluaran dana oleh masing-masing
orang atau badan usaha yang disebut dengan khumus itu kemudian
digunakan untuk kepentingan umat atau masyarakat, misalnya untuk
mengentaskan kemiskinan,-----bukan melestarikan dan memperkukuh
status kemiskinannya, membiayai pendidikan, membuka lapangan
kerja, dan lain-lain. Kiranya untuk menggerakkan bangsa ini, perlu
contoh. Andaikan misalnya, sekali lagi sebuah misal saja, segera
setelah dilantik, semua pemimpin dan tokoh negeri ini, bersedia
mendeklarasikan diri -----bukan sebatas menandatangani fakta
integritas, melainkan sanggup menyisihkan minimal 20 % dari
penghasilannya untuk kepentingan social, maka akan menjadi gerakan
yang luar biasa. Jika sampai hari ini muncul berbagai pendapat bahwa
zakat, ----apalagi tidak dikelola secara professional, ternyata tidak
mampu mengentaskan orang miskin, maka lewat tauladan para
pemimpin bangsa, menjadikan model ini sebagai alternative jawaban
lainnya yang luar biasa.

Saya yakin melalui contoh kecil ini saja, akan menjadi kekuatan
raksasa menggerakkan masyarakat untuk peduli social. Hanya
memang gerakan ini harus dimulai dari para pemimpinnya. Jika
gerakan itu dimulai dari presiden, wakil presiden, para Menteri,
anggota DPR, Direktur dan pemimpin BUMN, Gubernur dengan
berbagai jajarannya, Bupati, Wali kota, Para Pimpinan Perguruan
Tinggi, memberikan 20 % dari penghasilannya untuk kepentingan
social, maka akan menjadi gerakan dan bahkan akan menjadi revolusi
social dalam memberantas kemiskinan. Gerakan ini, sesungguhnya
jika kita cermat memahami juga memiliki makna lainnya, yakni
sekaligus mencegah terjadinya korupsi. Korupsi itu selalu tumbuh
dalam suasana kehidupan yang kering pengorbanan atau hampa jiwa
kepedulian social. Berawal dengan gerakan ini pula, sesungguhnya
banyak hal yang akan diraih, misalnya kepercayaan rakyat terhadap
lembaga pemerintahan akan segera tumbuh, menghilangkan jarak
yang semakin jauh antara si kaya dengan si miskin, menumbuhkan
semangat kebersamaan, mengurangi mental korup dan yang tidak
kalah pentingnya adalah membangun atau menumbuhkan suasana
cinta kasih di antara seluruh warga bangsa ini. Selain itu, jika hal kecil
ini saja bisa dilakukan, maka akan tampak banwa para pemimpin
bangsa ini memang serius. Wallahu a’lam.

You might also like