Sindrom Stevens-Johnson adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi atau infeksi yang mengakibatkan pelepasan sel-sel kulit dan mengelupasnya epidermis. Penyakit ini menyerang selaput lendir di mata, mulut, genital dan anus, dan gejalanya meliputi ruam merah pada kulit yang menyebabkan kulit mengelupas. Penyebab utamanya adalah alergi terhadap obat-obatan seperti antibiotik.
Sindrom Stevens-Johnson adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi atau infeksi yang mengakibatkan pelepasan sel-sel kulit dan mengelupasnya epidermis. Penyakit ini menyerang selaput lendir di mata, mulut, genital dan anus, dan gejalanya meliputi ruam merah pada kulit yang menyebabkan kulit mengelupas. Penyebab utamanya adalah alergi terhadap obat-obatan seperti antibiotik.
Sindrom Stevens-Johnson adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi atau infeksi yang mengakibatkan pelepasan sel-sel kulit dan mengelupasnya epidermis. Penyakit ini menyerang selaput lendir di mata, mulut, genital dan anus, dan gejalanya meliputi ruam merah pada kulit yang menyebabkan kulit mengelupas. Penyebab utamanya adalah alergi terhadap obat-obatan seperti antibiotik.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Wikipedia Indonesia tidak dapat bertanggung jawab dan tidak bisa menjamin bahwa informasi kedokteran yang diberikan di halaman ini adalah benar. Mintalah pendapat dari tenaga medis yang profesional sebelum melakukan pengobatan. Sindrom Stevens-Johnson Klasifikasi dan bahan-bahan eksternal
Seseorang dengan sindrom StevensJohnson ICD-10 L51.1 ICD-9 695.13 OMIM 608579 DiseasesDB 4450 MedlinePlus 000851 eMedicine emerg/555 derm/405 MeSH D013262 Stevens-J ohnson syndrome (SJ S) atau sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal necrolysis (TEN) [1][2] atau nekrolisis epidermal toksik adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi atau infeksi. Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas/memisahkan diri dari dermis. Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang memengaruhi kulit dan selaput lendir. Meskipun pada umumnya kasus sindrom ini tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), biasanya penyebab utama yang paling sering dijumpai adalah akibat dari alergi obat-obatan tertentu, infeksi virus dan atau keduanya, pada kasus tertentu yang sangat jarang ditemukan sindrom ini berhubungan dengan kanker. Daftar isi 1 Klasifikasi 2 Gejala 3 Prognosis 4 Diagnosa 5 Referensi 6 Pranala luar Klasifikasi Dalam dunia medis, sindrom Stevens-Johnson dapat dianggap dan disepakati sebagai bentuk ringan dari nekrolisis epidermal toksik yang kondisi ini baru pertama kali diakui pada tahun 1922. [2]
Sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik ini kadang dikelirukan dan tidak sama dengan eritema multiforme/infeksi herpes. Walau eritema multiforme kadang-kadang disebabkan oleh alergi dan reaksi terhadap obat, namun kasusnya lebih sering diakibatkan oleh hipersensitivitas tipe III reaksi terhadap infeksi virus, yang kebanyakan diakibatkan oleh virus Herpes simpleks dan relatif lebih jinak. Meskipun sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik kadang pula disebabkan oleh infeksi, namun penderitanya lebih sering diakibatkan oleh alergi dan efek samping dari obat-obatan tertentu. Namun sindrom ini lebih berbahaya dibandingkan dengan infeksi virus herpes. Gejala Sindrom Stevens-Johnson biasanya dimulai dengan demam, sakit tenggorokan, kelelahan, dan nyeri pada persendian. Kebanyakan penderita salah didiagnosa dan diobati dengan antobiotik. Ulkus dan lesi (melepuhnya kulit) mulai muncul pada selaput lendir, hampir selalu di daerah oral/mulut dan juga di daerah genital dan anal. Gejala ini sangat menyakitkan dan bisa mengakibatkan menurunnya nafsu makan dan minum bagi yang mengalami gejala di daerah mulut. Konjungtivitis mata terjadi sekitar 30% pada anak-anak penderita sindrom ini. Ruam lesi/melepuhnya kulit muncul sekitar satu inci pada wajah, lengan dan kaki dan juga telapak tangan, namun biasanya tidak muncul di bagian kulit kepala. [3]
Prognosis Pada kasus yang tidak berat prognosisnya cukup baik, dan penyembuhan terjadi sekitar kurun waktu 2 sampai 3 minggu. Kematian berkisar antara 5 sampai 15% pada kasus yang berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis. [4][5]
Diagnosa Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik. [5][4]
Penyakit Stevens Johnson Syndrome
Apa itu Stevens Johnson Syndrome ? Apa sih Stevens Johnson Syndrome (SJS) itu ? Apa ada nama penyakit keren nya kaya gitu :D Steven Johnson Syndrome atau biasa disingkat SJS merupakan syndrom kelainan kulit pada selaput lendir orifisium mata gebital atau dengan kata lain , reaksi yang melibatkan kulit dan mukosa (selaput lendir) yang berat dan mengancam jiwa ditandai dengan pelepasan epidermis, bintil berisi air dan erosi/pengelupasan dari selaput lendir. Penyakit ini menyerang selaput lendir, meliputi selaput bening mata, bibir bagian dalam dan rongga mulut, genital dan anus.
Penyakit SJS ini biasanya mulai timbul dengan demam, menggigil, rasa lelah, sering kali juga muntah- muntah, diare, gangguan saat menelan, pegal-pegal atau nyeri di tubuh, sakit kepala, dan sesak napas, Kemudian muncul kelainan pada kulit seperti ada tanda kemerahan atau ruam merah pada kulit, munculnya bintil berisi air (seperti cacar) yang terasa sakit bahkan hingga menyebabkan kulit mengelupas dan melepuh, sampai bernanah.
Kelainan kulit bisa dimulai dengan bercak kemerahan tersebar hingga tumbuh lenting-lenting yang berair dan membesar hingga menimbulkan koreng, terutama pada selaput lendir seperti di hidung, mulut, mata, alat kelamin, dan lain-lain. Berat ringannya manifestasi klinis SJS bervariasi pada tiap individu bisa dari yang ringan sampai berat menimbulkan gangguan pernapasan dan infeksi berat sampai mematikan. Pada perkembangannya biasanya penderita sampai tidak bisa membuka mata dan mulutnya karena terjadinya gangguang atau infeksi di selaput lendir, selain itu di beberapa kasus juga bisa mengakibatkan penderita susah buang air kecil dan fesesnya berwarna hitam.
Penyebab Penyebab SJS ini paling banyak dipicu oleh penggunaan obat-obatan atau dengan kata lain, penyebab SJS ini adalah karena alergi obat-obat tertentu, biasanya adalah penggunaan obat antibiotik. Selain alergi obat penyebab lainnya adalah karena adanya infeksi virus, bakteri, atau jamur tertentu, karena makanan seperti coklat, ketidak cocokan lingkungan misal udara dingin, panas matahari dan bahkan bisa juga dipicu oleh penyakit keganasan lainnya misal kanker. Sejujurnya , penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau tidak selalu diketahui secara pasti, tapi yang paling banyak terjadi adalah karena reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat- obatan yang masuk ke dalam tubuh.
Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri), antipiretik (penurun demam) sekitar 45%, golongan karbamazepin sekitar 20% dan sisanya adalah jenis jamu- jamuan. Macam obat yang sering menjadi penyebab yakni : Barbiturate Amiksisilin Kotrimoksasol Sefriakson Adiktif (penenang) Obat-obat anti-asam urat, misalnya allopurinol Obat-obat Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) yang banyak dipakai untuk meredakan nyeri Antibiotik, khususnya Penicillin.
Infeksi kuman yang bisa memicunya antara lain sebagai berikut : Herpes (herpes simplex maupun herpes zoster) Influenza HIV Diphtheria Typhoid Hepatitis Pencegahan Untuk pencegahannya yang penting dengan cara menghindari alergen karena memang penyebab masalahnya adalah alergi. Nah, hal inilah yang sulit karena sering kali kita tak mengetahui alergi yang ada pada diri kita sendiri. Hal yang juga penting karena ini reaksi alergi jadi tidak bisa perkirakan sebelumnya.. misalnya bisa saja selama ini udah 20 kali minum obat X tidak timbul masalah saat minum obat ke 21 kali muncul reaksi alergi termasuk SJS, itu hal yg bisa diterangkan secara teori kedokteran dan bukan karena salah pemberian obat.
Pertolongan pertama untuk mengatasi alergi obat pada Stevens-Johnson Syndrome adalah menghentikan konsumsi obat yang memicu alergi. Selanjutnya adalah memberikan obat antialergi (antihistamin) untuk meredakan gejala, atau kortikosteroid jika gejalanya cukup parah. Terapi penunjang yang diberikan di rumah sakit meliputi rehidrasi atau penggantian cairan tubuh yang hilang dengan menggunakan infus. Jika terjadi luka, lapisan kulit mati harus dibersihkan kemudian lukanya ditutup dengan perban supaya tidak terjadi infeksi. Steven Johnson Syndrome, Penyakit Alergi Obat Yang Berbahaya! OPINI | 06 December 2011 | 17:57 Dibaca: 11636 Komentar: 18 6
http://dermatlas.med.jhmi.edu Steven Johnson Syndrome atau biasa disingkat SJS merupakan syndrom kelainan kulit pada selaput lendir orifisium mata gebital atau dengan kata lain , reaksi yang melibatkan kulit dan mukosa (selaput lendir) yang berat dan mengancam jiwa ditandai dengan pelepasan epidermis, bintil berisi air dan erosi/pengelupasan dari selaput lendir (www.sehatgroup + syukronaffdoc.blogspot.com). Namun banyak orang awam yang mendefinisikan SJS sebagai penyakit alergi terhadap obat-obatan khususnya antibiotik. Penyakit ini menyerang selaput lendir, meliputi selaput bening mata, bibir bagian dalam dan rongga mulut, genital dan anus. Adapun gejala- gejala awalnya bisa mirip dengan flu, seperti demam, gangguan saat menelan, pegal-pegal atau nyeri di tubuh, sakit kepala, dan sesak napas, hanya saja ada tanda kemerahan atau ruam merah pada kulit, munculnya bintil berisi air (seperti cacar) yang terasa sakit bahkan hingga menyebabkan kulit mengelupas dan melepuh. Pada perkembangannya biasanya penderita sampai tidak bisa membuka mata dan mulutnya karena terjadinya gangguang atau infeksi di selaput lendir, selain itu di beberapa kasus juga bisa mengakibatkan penderita susah buang air kecil dan fesesnya berwarna hitam. Adapun penyebab SJS ini paling banyak dipicu oleh penggunaan obat-obatan (detik.health), atau dengan kata lain, penyebab SJS ini adalah karena alergi obat-obat tertentu, biasanya adalah penggunaan obat antibiotik. Selain alergi obat penyebab lainnya adalah karena adanya infeksi virus, bakteri, atau jamur tertentu, karena makanan seperti coklat, ketidak cocokan lingkungan misal udara dingin, panas matahari dan bahkan bisa juga dipicu oleh penyakit keganasan lainnya misal lupus atau kanker (ummu salwa wordpress). Dan sejujurnya , penyebab pasti dari SJS ini tidak selalu diketahui secara pasti, tapi yang paling banyak terjadi adalah karena reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh. Untuk jenis obat-obatan yang sering memicu terjadinya SJS ini diantaranya adalah : 1. Obat-obat anti-asam urat, misalnya allopurinol 2. Obat-obat Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) yang banyak dipakai untuk meredakan nyeri 3. Antibiotik, khususnya Penicillin 4. Antikejang, biasanya dipakai oleh pengidap epilepsi. (detik health), selain itu anda juga bisa melihat zat pencetus SJS lainnya disini. Sementara itu, infeksi kuman yang bisa juga sebagai pemicunya adalah sebagai berikut: 1. Herpes (herpes simplex maupun herpes zoster) 2. Influenza 3. HIV 4. Diphtheria 5. Typhoid 6. Hepatitis Salah satu kasus SJS ini pernah menimpa alm. Nita Nurhalimah (21th) seorang gadis asal Blitar pada bulan februari 2009 lalu, dan belakangan diketahui bahwa almarhum ini mengidap penyakit lupus, yaitu penyakit yang kekebalan tubuhnya menyerang dirinya sendiri. Jadi SJS yang diderita oleh alm Nita adalah perkembangan dari penyakit lupus yang dideritanya namun bari terdeteksi saat ia terkena SJS. Meski sempat membaik saat dirawat di RSUD Syaiful Anwar Kota Malang sayangnya penderita tidak dapat tertolong dan meninggal karena adanya virus di paru-parunya, untuk lebih jelasnya bisa dilihat di sini. Nah bagaimana cara pencegahannya? Karena sebagaian besar SJS ini dipicu oleh masalah obat, ada baiknya jika kita lebih berhati-hati untuk meminum obat saat kita ataupun ada salah satu anggota keluarga kita yang sakit. Tubuh kita memiliki alarm yang kadangkala kita sepelekan. Padahal saat alarm itu berbunyi, kita diharuskan untuk istirahat, jangan tunggu sampai drop dulu baru istirahat total. Andaikata kita terpaksa harus ke dokter , sebaiknya kita tahu obat-obat apa saja yang diresepkan, apalagi jika yang diresepkan itu sudah dalam bentuk puyer kita bahkan tidak tahu obat apa saja yang dicampur dalam satu puyer itu, untuk itu menjadi pasien yang cerewet tidak ada salahnya toh itu juga untuk kebaikan kita. Satu hal lagi, jika sakitnya berlanjut, atau setelah obat yg diresepkan habis tidak ada perubahan sebaiknya langsung melakukan pengecekan ke laboratorium atau Rumah sakit ,agar diketahui penyakitnya dengan jelas, hal ini dimaksudkan agar pemberian obat disesuaikan dengan kadar dan penyakitnya. Bukan berarti tidak percaya dengan diagnosis dokter, akan tetapi jika kita melakukan pengecekan secara menyeluruh, akan memudahkan dokter untuk memberikan obat yang sesuai dengan penyakit yang sedang kita derita. Stevens-Johnson Syndrome, Penyakit Alergi Obat yang Parah AN Uyung Pramudiarja - detikHealth Kamis, 16/06/2011 14:22 WIB
Info Penyakit Info Obat Abses Periodontal Deskripsi Penyebab Gejala Pengobatan Asma Anemia Stevens-Johnson Syndrome (detikSurabaya) Berita Lainnya Hairy Cell Leukemia, Kanker Darah Langka Akibat Sel Limfosit Abnormal Penyakit Grup B Strep, Gangguan pada Bayi Akibat Streptococcus Grup B Granulomatosis Wegener, Peradangan Pembuluh Darah Cacat Kanal Atrioventrikular, Cacat Bawaan Kombinasi Kelainan Jantung Long QT syndrome, Sindrom yang Sebabkan Gangguan Irama Jantung Jakarta, Deskripsi Stevens-Johnson Syndrome merupakan sindrom langka yang terjadi karena kulit dan membran mukosa memberikan reaksi berlebihan terhadap suatu obat atau infeksi. Seringkali jika serangan terjadi pasien harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan, sedangkan masa pemulihannya bisa memakan waktu berminggu-minggu. Jika sangat parah penyakit ini bisa mengakibatkan kematian.
Gejala Sindrom ini diawali dengan gejala mirip flu seperti demam dan radang tenggorokan, diikuti ruam merah atau keunguan di kulit yang terasa sakit dan menyebar atau bahkan melepuh. Dalam berbagai kasus, sel- sel di lapisan kulit terluar akan mati sehingga kulitnya seperti mengelupas.
Penyebab Stevens-Johnson Syndrome paling banyak dipicu oleh penggunaan obat, meski pada sebagian orang bisa juga dipicu oleh infeksi kuman tertentu. Namun kadang-kadang, penyebab pastinya tidak selalu bisa dipastikan sehingga sulit untuk dicegah.
Reaksi alergi sebenarnya disebabkan karena tubuh menganggap zat yang masuk tersebut adalah benda asing sehingga akan menimbulkan reaksi antibodi dalam tubuh.
"Semua obat sebenarnya dapat memicu timbulnya alergi yang disebut dengan reaksi hipersensitif tapi setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda," ujar Dr Dante Saksono H SpPD, PhD ketika dihubungi detikHealth.
Jenis obat-obatan yang paling sering memicu Stevens-Johnson Syndrome antara lain adalah sebagai berikut, seperti dikutip dari Mayo Clinic, Kamis (16/6/2011). 1. Obat-obat anti-asam urat, misalnya allopurinol 2. Obat-obat Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) yang banyak dipakai untuk meredakan nyeri 3. Antibiotik, khususnya Penicillin 4. Antikejang, biasanya dipakai oleh pengidap epilepsi.
Sementara itu, infeksi kuman yang bisa memicunya antara lain sebagai berikut. 1. Herpes (herpes simplex maupun herpes zoster) 2. Influenza 3. HIV 4. Diphtheria 5. Typhoid 6. Hepatitis
Dalam kasus tertentu, Stevens-Johnson Syndrome juga bisa dipicu oleh rangsang fisik seperti radiaoterapi dan sinar ultraviolet.
Pengobatan Pertolongan pertama untuk mengatasi alergi obat pada Stevens-Johnson Syndrome adalah menghentikan konsumsi obat yang memicu alergi. Selanjutnya adalah memberikan obat antialergi (antihistamin) untuk meredakan gejala, atau kortikosteroid jika gejalanya cukup parah.
Terapi penunjang yang diberikan di rumah sakit meliputi rehidrasi atau penggantian cairan tubuh yang hilang dengan menggunakan infus. Jika terjadi luka, lapisan kulit mati harus dibersihkan kemudian lukanya ditutup dengan perban supaya tidak terjadi infeksi. Sindrom Stevens Johnson Bisa Karena Alergi Obat
Sindrom Stevens Johnson (SSJ) merupakan penyakit kulit yang berbahaya. Walaupun jarang terdengar di Indonesia dan juga bukan penyakit menular, penyakit ini perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan kematian. Reaksi berlebihan pada obat (alergi obat) menjadi penyebab utama yang menyebabkan seseorang menderita SSJ.
Sindrom Stevens Johnson akan mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel-sel kulit sehingga lapisan kulit bagian atas (epidermis) mengelupas/memisahkan diri dari dermis. Penyakit ini ditandai dengan kelainan kulit dan mukosa. Jika serangan terjadi, penderita harus secepatnya dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan, sedangkan masa pemulihannya bisa memakan waktu berminggu-minggu. Jika kondisi penyakit ini parah, maka bisa mengakibatkan kematian.
Gejala
Kelainan kulit akibat Sindrom Stevens Johnson ini ditandai dengan erupsi simetris yang beragam, mulai dari bercak kemerahan, perdarahan di bawah kulit (purpura), lepuh seperti luka bakar, sampai terkelupas atau lisisnya lapisan kulit bagian atas (epidermis). SSJ sering mengenai bagian wajah, bagian atas tubuh, lengan, tungkai namun bisa terjadi di seluruh tubuh. Kelainan mukosa pada SSJ juga bisa mengenai mulut dengan gambaran seperti sariawan yang hebat. Juga bisa terjadi gangguan pada mata berupa mata merah (konjungtivitis). Pada umumnya, penderita yang terkena SSJ akan mengalami demam dan radang tenggorokan (mirip flu), gangguan pernapasan, nyeri sendi, dan selanjutnya baru diikuti ruam merah atau keunguan di kulit yang terasa sakit dan menyebar atau bahkan melepuh. Dalam beberapa kasus, sel-sel di lapisan kulit terluar akan mati sehingga kulitnya seperti mengelupas. Pada tingkat SSJ yang berat, penderita bisa mengalami koma.
Berat ringannya reaksi yang timbul ini bervariasi pada tiap individu, mulai dari gangguan pernapasan ringan hingga infeksi yang sangat berat hingga menyebabkan kematian.
Penyebab
Sindrom Stevens Johnson paling banyak dipicu oleh penggunaan obat atau reaksi tubuh yang berlebihan pada obat. Pada beberapa kasus, SSJ bisa disebabkan karena infeksi virus dan memiliki hubungan dengan kanker. Namun hingga kini, penyebab pastinya belum bisa dipastikan. Semua obat sebenarnya bisa memicu munculnya alergi, tapi setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda. Pada banyak kasus SSJ, beberapa obat-obatan yang sering menjadi pemicu SSJ antara lain : Penisilin, Sthreptomicine, Sulfonamida, Tetrasiklin, Metamizol, Antalgin, Paracetamol, Kloepromazin, Karbamazepin, Tegretol dan turunan dari obat-obat itu. Namun kembali lagi, semua obat bisa menyebabkan reaksi alergi.
Pengobatan Penderita harus menghentikan semua konsumsi obat yang disinyalir atau dicurigai sebagai penyebab SSJ. Umumnya kesembuhan terjadi dalam kurun waktu 2 hingga 3 minggu. Dan Kematian berkisar antara 5 sampai 15% pada kasus yang berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pengobatan yang biasa diberikan untuk penderita SSJ adalah : 1. Kortikosteroid 2. Antibiotik, ini untuk mencegah terjadinya infeksi 3. Cairan infus 4. Salep untuk lesi pada kulit (topikal) 5. Vitamin C dosis tinggi
Pencegahan Sindrom Stevens Johnson bisa menyerang semua usia, namun lebih sering terjadi pada usia dewasa. Begitu pula dengan gender, laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama untuk terkena SSJ. Pencegahan yang terbaik adalah tidak mengonsumsi obat sembarangan. Ada baiknya Anda memberitahukan dokter jika Anda memiliki alergi terhadap suatu obat- obatan, makanan atau bahan-bahan kimia tertentu. Karena hal ini sangat penting bagi dokter agar bisa menentukan dengan tepat jenis obat apa yang aman bagi Anda. Jika Anda tidak mengetahui apakah Anda alergi terhadap sesuatu atau tidak, beritahukan saja kepada dokter tentang penyakit- penyakit yang pernah Anda derita. Selain itu, tentunya Anda harus terus menjaga kesehatan Anda. Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Istilah eritema multiforme yang sering dipakai sebetulnya hanya merujuk pada kelainan kulitnya saja. Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang tua. Lelaki dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan. Tidak terdapat kecenderungan rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang menghubungkan kekerapan yang lebih tinggi pada jenis HLA tertentu.
Penyebab
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
parasit Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia koksidioidomikosis, histoplasma streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonela malaria Obat salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik Makanan Coklat Fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X Lain-lain penyakit kolagen, keganasan, kehamilan (Dikutip dengan modifikasi dari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985)
Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal. Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat, sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid. Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.
PATOFISIOLOGI
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.
GEJALA KLINIK
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisis ditujukan terhadap kelainan yang dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab. Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam, dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ . Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED), pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan. Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat peninggian eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun, dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar. Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.
DIAGNOSIS BANDING
Nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ. Erythema Multiforme Burns, Chemical Burns, Ocular Staphylococcal Scalded Skin Syndrome Toxic Epidermal Necrolysis Burns, Thermal Dermatitis, Exfoliative Toxic Shock Syndrome
PENATALAKSANAAN Terapi suportif merupakan tata laksana standar pada pasien SSJ. Pasien yang umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai secara parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin. Untuk infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya dipergunakan gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua dosis. Pemberian antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1 mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam, setelah itu diturunkan berangsur-angsur dan bila mungkin diganti dengan prednison per oral. Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai terapi SSJ masih kontroversial. Beberapa mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa. Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat menghentikan progresivitas penyakit SSJ dengan dosis total 3 gr/kgBB selama 3 hari berturut-turut (1 gr/kgBB/hari selama 3 hari). Dilakukan perawatan kulit dan mata serta pemberian antibitik topikal. Kulit dapat dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres dengan larutan Burrow. Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan debridement. Untuk mencegah sekuele okular dapat diberikan tetes mata dengan antiseptik. Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga sebagai penyebab) harus segera dihentikan atau diatasi. Deteksi dari penyebab yang paling umum seperti riwayat penggunaan obat-obatan terakhir, serta hubungannya dengan perkembangan penyakit terutama terhadap episode SSJ, terbukti bermanfaat dalam manajemen SSJ. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
PROGNOSIS Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis. Sindrom Steven Jhonson Penyakit Mengerikan Unearthly |Posted by unearthly at: 23.29| Labels: penyakit mengerikan | Sindrom Steven Jhonson atau dalam bahasa inggris Stevens-Johnson sindrom (SJS) adalah suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Ada kesepakatan dalam literatur medis yang Stevens-Johnson syndrome (SJS) dapat dianggap sebagai bentuk yang lebih ringan Toxic epidermal necrolysis (TEN). Toxic epidermal necrolysis disebut juga sebagai sindrom Lyell. Beberapa penulis menganggap bahwa ada suatu tumpang tindih antara dua sindrom (biasanya antara 10% dan 30% dari pelepasan kulit).
Konjungtivitis di SJS
Penyakit tersebut kadang-kadang disebabkan oleh suatu reaksi terhadap obat-obatan tetapi lebih sering merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap infeksi (paling sering disebabkan oleh Herpes simpleks) dan relatif jinak. Meskipun SJS dan TEN juga dapat disebabkan oleh infeksi, tapi survey membuktikan efek samping obat merupakan faktor utama penyebab Sindrom ini. Konsekuensi mereka berpotensi lebih berbahaya daripada erythema multiforme.
Erythema multiforme sendiri adalah Suatu kondisi kulit yang tidak diketahui etiologi, mungkin dimediasi oleh pengendapan kompleks imun (kebanyakan IgM) di microvasculature superfisial kulit dan selaput lendir mulut yang biasanya mengikuti suatu infeksi atau obat yg di atas eksposur.
Erythema multiforme
"Eritema multiforme mayor" (Stevens-Johnson syndrome); yang menyerupai "erythema multiforme"
Untungnya Secara Epidemiologi SJS merupakan kondisi langka, dengan melaporkan insiden sekitar 2,6 per juta orang per tahun.
Patofisiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : Infeksi virus, jamur, bakteri, parasit obat salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif Makanan coklat fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X lain-lain penyakit polagen, keganasan, kehamilan Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Genetika
Beberapa orang Asia Timur mengkaji (Han Cina, Thailand), carbamazepine dan fenitoin ternyata memicu SJS adalah sangat terkait dengan HLA-B * 1502 (HLA-B75), sebuah HLA-B serotipe serotipe yang lebih luas HLA-B15. Sebuah penelitian di Eropa menunjukkan bahwa gen penanda hanya relevan bagi orang- orang Asia Timur. Berdasarkan temuan Asia, penelitian serupa dilakukan di Eropa yang menunjukkan 61% dari allopurinol-induced SJS / TEN pasien membawa HLA-B58 (B * 5.801 alel - fenotipe frekuensi di Eropa biasanya 3%). Satu studi menyimpulkan "bahkan ketika alel HLA-B berperilaku sebagai faktor risiko yang kuat, seperti allopurinol, mereka tidak cukup dan tidak perlu menjelaskan penyakit."
Gejala Klinik/Symptom
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi di : Kulit seperti terbakar berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
Prognosis
SJS yang tepat (dengan kurang dari 10% dari luas permukaan tubuh yang terlibat) memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Risiko kematian dapat diperkirakan menggunakan skala SCORTEN, yang membutuhkan sejumlah indikator prognostik memperhitungkan. Hasil-hasil lainnya termasuk kerusakan organ / kegagalan, menggaruk kornea dan kebutaan. Skala SCORTEN sendiri adalah skalayang mengukur tingkat keparahan penyakit.
Ada 7 skala SCORTEN, dalam 7 Skala SCORTEN tersebut faktor risiko independen untuk kematian tinggi secara nilai sistematis untuk menentukan tingkat kematian untuk pasien tertentu.
Faktor risiko 0 1 Usia <40 tahun > 40 tahun Tingkat keganasan tidak ya Detak jantung (denyut/menit) <120 > 120 Serum BUN (mg/dL) <27 > 27 Detached or compromised body surface <10% > 10% Serum bikarbonat (mEq / L) > 20 <20 Serum glukosa (mg / dL) <250 > 250
Semakin banyak faktor risiko yang ada, semakin tinggi nilai SCORTEN, dan semakin tinggi angka kematian, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tidak ada faktor-faktor risiko Mortality rate Mortalitas 0-1 0-1 3.2% 3,2% 2 2 12.1% 12,1% 3 3 35.3% 35,3% 4 4 58.3% 58,3% 5 or more 5 atau lebih >90% > 90%
Diagnosa Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ.
Perawatan Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah : Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
SJS merupakan dermatologi darurat. Semua obat harus dihentikan, terutama yang dikenal untuk menyebabkan reaksi SJS. Pasien dengan didokumentasikan Mycoplasma infeksi bisa diobati dengan lisan macrolide atau lisan doxycycline.
Pada awalnya, pengobatan ini mirip dengan yang untuk pasien dengan luka bakar panas, dan hanya dapat mendukung (misalnya cairan infus dan nasogastric atau parenteral makan) dan gejala (misalnya analgesik mulut untuk bilasan mulut maag). Dermatologists dan ahli bedah cenderung tidak setuju tentang apakah kulit harus didebride.
Di balik pengobatan tersebut, tidak ada pengobatan untuk SJS yang diterima. Pengobatan dengan kortikosteroid adalah kontroversial. Awal studi retrospektif menunjukkan bahwa peningkatan rumah sakit kortikosteroid tetap dan tingkat komplikasi. Tidak ada uji acak dari kortikosteroid untuk SJS, dan dapat dikelola dengan sukses tanpa mereka.
Agen-agen lain telah digunakan, termasuk cyclophosphamide dan siklosforin, tetapi tidak menemukan titik terang keberhasilan terapi. Infus imunoglobulin (IVIG) perawatan telah menunjukkan beberapa janji dalam mengurangi panjang dan meningkatkan reaksi gejala. Langkah-langkah umum lainnya yang mendukung termasuk penggunaan nyeri topikal anestesi dan antiseptik, memelihara lingkungan yang hangat, dan intravena analgesik. Sebuah dokter mata harus segera berkonsultasi, sebagai SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam kelopak mata yang menyebabkan gangguan kornea vascularization dan visi, serta sejumlah masalah okular lain. Juga, program terapi fisik harus dilakukan setelah pasien dipulangkan dari rumah sakit Yuk Cegah Penyakit Stephen Johnson Syndrome dengan Mengenal dan Pahami Penyakit dan Gejalanya ^^, mencegah lebih baik daripada mengobati kan.. Hi teman-teman pembaca sudah lama saya tidak menulis,dan kali ini saya akan memberikan sedikit info,jadi begini pada hari kamis tanggal 26 mei 2011 saya mendengar kabar dari dosen saya bahwa kakak kelas sedang mengalami musibah dan sedang di rawat di rumah sakit X,awalnya saya tidak begitu memperhatikan dengan baik apa yng dibicarakan nya,namun setelah beliau menyebutkan nama penyakitnya adalah stephen johnson syndrom (awalnya saya berfikir ini nama keren amat untuk ukuran penyakit) akhirnya saya pun tertarik dengan apa yang di ceritakan oleh beliau,cerita singkatnya begini ,katanya kakak kelas ku itu sakit biasa aja (gak tahu awalnya sakit apa) lalu berobat lah dia dan oleh dokter di berikan lah obat antibiotik dll,dan setelah meminum tersebut obat ternyata dia mengalami gatal-gatal pada kulit dan matanya menjadi merah akhirnya saya tertarik dan untuk mencari tahu lebih jauh tentang penyakit tersebut,setelah search kesana kemari dan mengumpulkan beberapa data akhirnya saya akan mempostingkan nyaa.. so selamat membaca.. Apa itu Steven Johnson Syndrome? Sebenarnya apa penyakit Steven Johnson Sindrome itu? Apa penyebabnya? Obatkah? Viruskah? Bakterikah? Atau lainnya? Lalu, apa saja gejala penyakit itu dan mengapa bisa terjadi. Tak banyak masyarakat terutama masyarakat awam yang mengenal istilah Stephen Johnson Syndrome. Bahkan sepertinya banyak masyarakat juga tidak memahami apa yang disebut sebagai keracunan obat. Banyak korban meninggal dunia karena sindrom ini, tetapi hanya sedikit yang muncul di permukaan karena kurangnya informasi maupun pemahaman. Sudah menjadi kebiasaan, pasien biasanya tidak terlalu mempedulikan jenis obat apa yang diberikan dokter. Dapat juga terjadi dokter tidak melakukan dialog dengan pasien mengenai sejarah kesehatan si pasien. Dalam kondisi seperti ini, bisa saja pasien mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satunya adalah alergi terhadap obat-obatan tertentu yang mengakibatkan terjadinya SJS itu. ? Steven Johnson Sindrome merupakan sindrom (kumpulan gejala) yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium (muara/lubang) dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Adapun kelainan dapat berupa eritema (kemerahan pada kulit karena pelebaran pembuluh darah), vesikel/bula (gelembung pada kulit yang berisi cairan) dan dapat disertai dengan purpura (bercak-bercak perdarahan pada kulit/selaput lendir). Reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan obat-obatan ini biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama setelah menggunakan obat. Mata akan membengkak, diikuti dengan sariawan pada mulut dan bibir. Penderita akan mengalami demam dan bintik merah pada kulit. Banyak penderita dan dokter yang tidak menyadari bahwa ini adalah gejala SJS. Kadang-kadang pasien menganggap bahwa mereka terkena flu biasa. Bahkan, dokter sering kali mendiagnosa pasien terkena cacar. Dalam kamus kedokteran Dorland didefinisikan sebagai bentuk eritema multiforme fatal (kemerahan yang banyak/menyeluruh) yang timbul dengan prodormal (gejala awal) seperti flu, ditandai dengan adanya lesi sistemik (kerusakan sistemik) dan mukokutan yang berat.
Steven Johnson Syndrome biasa disebut juga sebagai penyakit eritema multiforme mayor. Insidensi penyakit ini sebenarnya sangat jarang, tercatat hanya sekitar 2-3% per juta populasi di Negara Eropa dan Amerika. Lebih sering diderita oleh manusia di usia dewasa dibandingkan anak-anak.
Apa Penyebabnya? Faktor penyebab utama adalah alergi obat yajni dengan presentasi lebih dari 50%. Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri), antipiretik (penurun demam) sekitar 45%, golongan karbamazepin sekitar 20% dan sisanya adalah jenis jamu-jamuan. Macam obat yang sering menjadi penyebab yakni penisilin, barbiturate, amiksisilin, kotrimoksasol, sefriakson dan adiktif (penenang).
Faktor lainnya yang dapat menyebabkan yakni : - Infeksi seperti virus, jamur, bakteri dan juga parasit. - Faktor fisik seperti sinar x, sinar matahari dan cuaca - Penyakit kolagen vascular (serabut kolagen pembuluh darah) - Neoplasma (keganasan) - Kontaktan (hanya sebagian kecil) Adapun faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini adalah musim/iklim dimana cuaca dingin lebih berpengaruh, dan juga lingkungan fisik seperti sinar x, hawa yang dingin juga ketersediaan sinar matahari.
Mengapa Bisa Terjadi? Penyakit ini umumnya terjadi karena adanya reaksi hipersensitif dari sistem imun kita. Dimana sistem kekebalan tubuh yang terlalu sensitif akan memicu reaksi tubuh berupa hipersensitif tipe II (berdasarkan klasifikasi Coomb dan Gel). Adapun selanjutnya, karena adanya reaksi ini maka tubuh akan bereaksi dengan munculnya gejala-gejala awal. Adapun sasaran awal dari reaksi hipersensitifitas ini adalah kulit berupa destruksi keratinosit (perusakan lapisan keratin kulit)
Apa Saja Gejala Klinisnya?
Gejala klinis yang timbul dapat bervariasi mulai dari ringan sampai berat. Pada gejala klinis yang berat penderita umumnya mengalami penurunan kesadaran sampai koma. Perjalanan penyakit ini biasanya akut (cepat) dengan gejala prodormalseperti demam tinggi, malese(kelemahan), nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Gejala ini biasanya dapat dialami sampai dengan 2 minggu.
Gejala klinis yang khas yakni adanya Trias kalainan (3 kelainan) yakni, 1. Kelainan Kulit Kelainan pada kulit berupa : eritema, vesikel, bula bahkan purpura. Kelainan biasanya bersigat generalisata (penyeluruh). Sifat dari eritema yakni berbentuk cincin (tenggahnya lebih gelap) biasanya berwarna ungu. 2. Kelainan Selaput Lendir pada Orifisium Kelainan selaput lendir yang paling sering adalah di mukosa (lapisan tipis) mulut (100%), kemudian di alat genital (50%) sedangkan di lubang hidung atau anus jarang (8% dan 5%). Kelainan ini dapat berupa vesikel ataupun bula yang cepat sekali memecah sehingga terjadi erosi (kerusakn kulit yang dangkal) dan ekskoriasi (lecet/kerusakan kulit yang dalam) dan krusta yang hitam. 3. Kelainan pada Mata Kelianan pada mata merupakan 80% di antara semua kasus. Dimana yang paling sering adalah konjungtivitis (radang pada konjungtiva) Apa Komplikasinya? Komplikasi dari penyakit Steven Johnson Syndrome adalah bronkopneumonia (radang bronkus dan pneumonia) yakni sekitar 16%. Komplikasi yang lain yakni kehilangan cairan ataupun darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan.
Bagaimana Pengobatannya? Langkah pertama yakni menjauhkan factor penyebab/pencetusnya. Bila yang dicurigai adalah obat, maka hentikan konsumsi obat tersebut. Secara umum penangannya yakni mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh penderita dengan pemberian cairan infuse karena umumnya penderita mengalami dehidrasi. Jika penderita mengalami koma, maka tindakan kedaruratan harus dilakukan yakni dengan menjaga keseimbangan oksigen harus dipertahankan. Pengobatan khusus berupa pengobatan sistemik yakni dengan pemberian obat golongan kortikosteroid dosis tinggi seperti obat prednisone, dan deksametason. Pengobatan topical (luar/untuk kulit) yakni untuk bula dan vesikel yang memecah diberi bedak salisil 2%, kelainan yang basah dikompres dengan asam salisil 1%, kelainan pada mulut dikompres asam borat 3% dan konjungtivitis (radang konjungtiva) diberi salep mata yang mengandung kortikosteroid ataupun antibiotic.
Untuk meminimalisasi dan menghindari diri kita dari penyakit SJS kita sebagai pasien harus lebih berhati-hati dan lebih cermat dan peduli kepada jenis obat yang di berikan oleh dokter,mntalah Copy an resep nya atau setidak nya kita menyimpan bungkus obat yang kitamakan sehingga jika kita mengalami hal tersebut kita bisa mengetahuinya dan dapat memberitahukan kepada dokter yang akan kita temui pada saat berobat. Apa Sindrom Stevens-Johnson Itu? Sindrom Stevens-Johnson, yang biasa disingkat SJS, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini berpengaruh pada kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk lagi, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxic epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM). Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, Dr. Stevens dan Dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya. Apa Penyebab SJS? Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat antinyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, penyebab SJS yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5% penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu. Walaupun abacavir dapat menyebabkan reaksi gawat pada kulit, reaksi ini tidak terkait dengan SJS atau TEN. EM dapat disebabkan oleh herpes simpleks (Lembaran Informasi (LI) 519), tetapi penyakit ini jarang menjadi gawat. Apa Gejala SJS? SJS dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat berlanjut dari 1-14 hari. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke sekujur tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh di tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah lepas bila digosok. Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30% atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok. Pada SJS dan TEN, pasien mempunyai lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata. Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN. Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat memengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala awal termasuk: ruam lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin bengkak pada kelopak mata, atau mata merah konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata) demam terus-menerus atau gejala seperti flu Bila kita mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila kita baru mulai memakai obat baru, segera periksa ke dokter. Siapa yang Dapat Mengalami SJS/TEN? Walaupun SJS dapat memengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki. Risiko Akibat SJS/TEN SJS dan TEN adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35% orang yang mengalami TEN dan 5-15% orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan. Pengobatan SJS/TEN Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti penggunaan obat yang dicurigai sebagai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah pemburukan. Orang dengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberikan melalui infus untuk mendorong pemulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat antinyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman lihat LI 560. Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid takaran tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggapan bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekan sistem kekebalan tubuh, sehingga meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah. Garis Dasar Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah reaksi terhadap obat yang berpengaruh pada kulit dan selaput mukosa. Nekrolisis epidermis toksik (TEN) adalah versi SJS yang lebih gawat. Kedua reaksi ini dapat sangat gawat, dan harus segera diobati dengan sangat hati-hati untuk menghindari kematian. Penyebab utama SJS untuk Odha adalah nevirapine, yang menimbulkan reaksi ini pada kurang lebih 1,5% penggunanya. Kotrimoksazol juga dapat menyebabkan SJS, walaupun jarang. Bila kita mengalami gejala SJS (ruam, terutama yang berpengaruh pada selaput mukosa, dan demam), dalam beberapa minggu setelah kita mulai pakai obat tersebut, penting kita segera periksa ke dokter