You are on page 1of 39

1

BAB I
PENDAHULUAN

Anemia adalah suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin, hematokrit
dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang
disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk
eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan gambaran sel darah merah hipokrom-
mikrositer, kadar besi serum (Serum iron = SI) dan saturasi transferin menurun, kapasitas
ikat besi total (Total Iron Binding Capacity = TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam
sumsum tulang serta ditempat yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali.
1,2

Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi, antara
lain, kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi
diusus, perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi seperti pada
wanita hamil, masa pertumbuhan, dan masa penyembuhan dari penyakit.
3

Di Indonesia prevalensi anemia pada kehamilan masih tinggi yaitu sekitar 63,5%.
Lautan J dkk (2001) melaporkan dari 31 orang wanita hamil pada trimester II didapati 23
(74 %) menderita anemia, dan 13 (42 %) menderita kekurangan besi.
4

Kejadian anemia pada ibu hamil yang masih tinggi menunjukkan bahwa anemia
bukanlah masalah yang mudah ditanggulangi, karena tidak hanya menyangkut aspek
medis tetapi juga nonmedis yaitu: faktor ekonomi, sosial budaya, perilaku dan
ketidaktahuan. Perilaku dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu hamil tersebut.
Anemia defisiensi besi pada wanita hamil mempunyai dampak yang buruk, baik
pada ibunya maupun terhadap janinnya. Ibu hamil dengan anemia berat lebih
memungkinkan terjadinya partus prematur dan memiliki bayi dengan berat badan lahir

2
rendah serta dapat meningkatkan kematian perinatal. Menurut WHO 40% kematian ibu
dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan kebanyakan anemia
pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut, bahkan tidak jarang
keduanya saling berinteraksi.
5
Merchan and Agarwal (1991) melaporkan bahwa hasil
persalinan pada wanita hamil yang menderita anemia defisiensi besi adalah, 12-28 %
angka kematian janin, 30 % kematian perinatal, dan 7 -10 % angka kematian neonatal.
6

Mengingat besarnya dampak buruk dari anemia defisiensi zat besi pada wanita
hamil dan janin, oleh karena itu perlu kiranya perhatian yang cukup terhadap masalah ini,
Dengan diagnosa yang cepat serta penatalaksanaan yang tepat komplikasi dapat diatasi
serta akan mendapatkan prognosa yang lebih baik.


3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada
akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.
8
Anemia defisiensi besi
merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai oleh penurunan
cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan
konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun.
9

Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai hemoglobin
di bawah 11 gr% pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai hemoglobin kurang dari
10,5 gr% pada trimester dua.
10
Perbedaan nilai batas diatas dihubungkan dengan kejadian
hemodilusi.
11

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terbanyak dijumpai pada kehamilan.
Defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif Fe yang berlangsung lama.
Defisiensi besi terjadi dimulai dengan deplesi Fe atau defisiensi Fe prelaten, kemudian
terjadi defisiensi Fe laten bila hal ini terus berlanjut baru terjadi anemia defisiensi besi.


2.2. Epidemiologi
Kekurangan gizi dan perhatian yang kurang terhadap ibu hamil merupakan
predisposisi anemia defisiensi besi pada ibu hamil di Indonesia. WHO (1992) melaporkan
secara global prevalensi anemia pada kehamilan di negara berkembang sekitar 35-75%,
meningkat secara bermakna pada trimester ke III.
5

4
Anemia defisiensi zat besi lebih cenderung berlangsung di negara yang sedang
berkembang daripada negara yang sudah maju. Tiga puluh enam persen (atau sekitar 1400
juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang di negara yang maju hanya sekitar 8%
(atau kira-kira 100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta orang.
Di Indonesia prevalensi anemia pada kehamilan masih tinggi yaitu sekitar 63,5%,
sedangkan di India sekitar 60-70%. Desai (1995) mendapatkan prevalensi anemia pada
kehamilan 62%, sedangkan Abel dkk (1998) mendapatkan anemia defisiensi besi pada
kehamilan 70,3%.
10
Lautan J dkk (2001) melaporkan dari 31 orang wanita hamil pada
trimester II didapati 23 (74 %) menderita anemia, dan 13 (42 %) menderita kekurangan
besi.
4


2.3. Etiologi
Etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan:
10

a. Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.
b. Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma.
c. Kurangnya zat besi dalam makanan.
d. Kebutuhan zat besi meningkat.
e. Gangguan Pencernaan dan absorbsi.
Faktor resiko terjadinya anemia defisiensi besi pada kehamilan:
a. Faktor umur
Umur seorang ibu berkaitan dengan alat-alat reproduksi wanita. Umur reproduksi yang
sehat dan aman adalah umur 20-35 tahun. Kehamilan di usia < 20 tahun dan diatas 35
tahun dapat menyebabkan anemia karena pada kehamilan diusia < 20 tahun secara
biologis belum optimal emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga
mudah mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap

5
pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi selama kehamilannya. Sedangkan pada usia > 35
tahun terkait dengan kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai
penyakit yang sering menimpa diusia ini. Hasil penelitian didapatkan bahwa umur ibu
pada saat hamil sangat berpengaruh terhadap kejadian anemia.
12

b. Kurang patuh dalam mengkonsumsi tablet Fe
Ibu hamil yang kurang patuh mengkonsumsi tablet Fe mempunyai risiko 2,429 kali
lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang patuh konsumsi tablet Fe.
13

Kepatuhan menkonsumsi tablet Fe diukur dari ketepatan jumlah tablet yang
dikonsumsi, ketepatan cara mengkonsumsi tablet Fe, frekuensi konsumsi perhari.
Suplementasi besi atau pemberian tablet Fe merupakan salah satu upaya penting dalam
mencegah dan menanggulangi anemia, khususnya anemia kekurangan besi.
Suplementasi besi merupakan cara efektif karena kandungan besinya yang dilengkapi
asam folat yang sekaligus dapat mencegah anemia karena kekurangan asam folat.
14

Kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet besi tidak hanya dipengaruhi oleh
kesadaran saja, namun ada beberapa faktor lain yaitu bentuk tablet, warna, rasa dan
efek samping seperti mual, konstipasi.
15

c. Paritas atau jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu
Seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai risiko mengalami anemia pada
kehamilan berikutnya apabila tidak memperhatikan kebutuhan nutrisi. Karena selama
hamil zat- zat gizi akan terbagi untuk ibu dan untuk janin yang dikandungnya.
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara paritas
dengan kejadian anemia pada ibu hamil, ibu hamil dengan paritas tinggi mempunyai
risiko 1.454 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang paritas rendah.
13

d. Jarak kelahiran yang terlalu dekat
Hal ini dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan kebutuhan zat gizi

6
belum optimal, sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandung.
16,17

Jarak kelahiran mempunyai risiko 1,146 kali lebih besar terhadap kejadian anemia.
12


2.4. Patofisiologi
2.4.1. Metabolisme Besi dalam Tubuh
Besi (Fe) merupakan logam atau elemen yang penting untuk pembentukan hemoglobin,
mioglobin dan zat-zat lain seperti sitokrom, sitokrom oksidase, peroksidase dan katalase
yang diperlukan untuk proses metabolik seperti respiratorik intraseluler, oksidasi biologik,
pembelahan, proleferasi sel, sel pengangkutan oksigen oleh hemoglobin dan mioglobin.
18

Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh yaitu:
4

a. Zat besi dalam hemoglobin.
b. Zat besi dalam depot (cadangan) terutama sebagai feritin dan hemosiderin.
c. Zat besi yang ditranspor dalam transferin.
d. Zat besi parenkhim atau zat besi dalam jaringan seperti mioglobin dan beberapa enzim
antara lain sitokrom, katalase, dan peroksidase.
Kompartemen Jumlah Zat Besi (mg) % zat besi
Hemoglobin ( 800 gr)
Cadangan (Feritin, Hemosiderin 3 gr)
Mioglobin ( 40 gr)
Pool labil
Heme enzim yang mengandung zat besi
(sitokrom/katalase 5,8 gr)
Transpor besi (Transferin 7,5 gr)
2000 - 2500
1000 1500
130
80
8

2,5 - 3
67
27
3,5
2,2
0,2

0,08
Jumlah besi 4000 100

Tabel 1. Kompartemen zat besi dalam tubuh
10



7
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa sebagian besar zat besi terikat dalam hemoglobin
yang berfungsi khusus, yaitu mengangkut oksigen untuk keperluan metabolisme dalam
jaringan-jaringan. Hemoglobin dalam eritrosit berfungsi sebagai pengangkut oksigen,
yang merupakan konjugasi dari 2 pasang rantai globin dengan berat melekul 64500.
Sekitar 96 % dari molekul hemoglobin ini adalah globulin dan sisanya berupa heme, yang
merupakan suatu kompleks persenyawaan protoporfirin yang mengandung Fe
ditengahnya. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana ke 4 cincin pirol ini diikat oleh 4
gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin.
10

Pada keadaan normal tubuh mengelola Fe dengan cara daur ulang yang sangat
tepat guna dimana pada laki-laki perhari hanya 1 mg Fe yang keluar melalui feces, urine
dan keringat sedangkan pada perempuan lebih banyak yaitu sekitar 2 mg Fe perhari,
karena saat menstruasi banyak zat besi dikeluarkan. Fe yang dikeluarkan harus digantikan
oleh Fe dari sumber makanan. Bila Fe dari makanan tidak mencukupi, maka dalam waktu
yang lama akan terjadi anemia. Hal ini akan menyebabkan keseimbangan terganggu,
dengan manifestasi klinis berupa defisiensi Fe (anemia defisiensi Fe) oleh karena asupan
yang kurang, kebutuhan yang meningkat atau karena kehilangan yang berlebihan, hal ini
terjadi oleh karena metabolisme Fe berbeda dengan mineral lainnya, dimana tubuh tidak
dapat mengatur keseimbangan besi melalui pengeluaran bila cadangan berlebihan.
18

Metabolisme besi adalah suatu hal yang unik karena mekanisme absorbsinya yang
kompleks namun tidak ada mekanisme fisiologi yang substansif untuk mengatur
ekskresinya. Pada laki-laki normal dan perempuan yang belum menstruasi kehilangan
hanya melalui deskuamasi sel epitel kulit, usus dan traktus urinarius. Kehilangan darah
yang banyak terjadi pada saat menstruasi, perdarahan maternal pada saat persalinan dan
lokhia kira-kira 150-200 mg yang setara dengan kebutuhan tambahan pada saat menyusui,
demikian juga selama kehamilan diperlukan Fe yang banyak untuk ditransfer ke fetus dan

8
untuk struktur plasenta.
19
Kehilangan dan peningkatan kebutuhan ini harus dipenuhi dari
absorbsi besi melalui saluran cerna baik dari sumber makanan maupun dari suplemen
preparat besi untuk mempertahankan hemostatis besi tubuh.
18

1. Absorbsi Besi Untuk Pembentukan Hemoglobin
Proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
7

a. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-
heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan
bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat
absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung
(dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena pengaruh asam lambung.
Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat
diserap di duodenum.
b. Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum
proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks
dan terkendali. Besi heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh
asam lambung. Pada brush border dari sel absorptif (teletak pada puncak vili usus,
disebut sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi besi fero oleh enzim
ferireduktase (Gambar 1), mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-
like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal
transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan
dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam
kapiler usus. Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim
ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian besi bentuk feri diikat oleh

9
apotransferin dalam kapiler usus.
Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin
membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel
mukosa dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin
akan kembali ke dalam lumen usus.
20


Gambar 1. Absorbsi Besi di Usus Halus
21

Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral
diatur oleh set point yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar kripta
(Gambar 2). Kemudian pada saat pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak
vili dan siap menjadi sel absorptif. Adapun mekanisme regulasi set-point dari
absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator dietetik, regulator simpanan, dan regulator
eritropoetik.
7


10

Gambar 2. Regulasi Absorbsi Besi
21

c. Fase Korporeal
Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus.
Kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul
transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada
transferin (Fe2-Tf) akan berikatan dengan reseptor transferin (transferin receptor =
Tfr) yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel normoblas (Gambar 3).
Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh
klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga
membentuk endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom
sehingga terjadi pelepasan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan
dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin

11
dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat
dipergunakan kembali.

Gambar 3. Siklus Transferin
21

Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin dan
sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan protoporfirin untuk
pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin
pirol ini diikat oleh 4 gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin.
Empat dari enam posisi ordinal fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh
enzim heme sintetase ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu
kompleks persenyawaan protoporfirin yang mengandung satu atom besi fero
ditengahnya.
22
Heme akan berikatan dengan globulin, membentuk hemoglobin
yaitu suatu tetramer yang terdiri dari 4 rantai globulin yang masing-masing
berikatan dengan suatu heme, sehingga masing-masing mempunyai satu atom besi
dengan berat molekul 60.000 dalton.
23


12
Absorbsi besi (Fe) tergantung dari pola menu makanan. Zat besi dari bahan makanan
hewani dapat diabsorbsi sebanyak 20-30%, sedangkan bahan makanan dari tumbuhan
absorbsinya hanya kira-kira 5%. Untuk pola menu makanan di Indonesia hanya 10%
yang dapat diabsorbsi. Jadi untuk seorang perempuan dewasa yang masih menstruasi
harus menyediakan 20 mg Fe dan perempuan hamil memerlukan 50 mg Fe dalam
makanan tiap hari, karena perempuan hamil memerlukan Fe yang tinggi, yang tidak
dapat dicukupi dari makanan, biasanya diperlukan pemberian tambahan tablet besi.
24,25
Ada 3 faktor penting yang mempengaruhi absorbsi zat besi:
10

1. Faktor endogen
- Bila jumlah zat besi yang disimpan dalam depot berkurang, maka absorbsi zat
besi akan bertambah dan demikian pula sebaliknya.
- Bila aktivitas eritropoisis naik, maka absorbsi zat besi akan bertambah dan
demikian pula sebaliknya.
- Bila kadar Hemoglob in berkurang, maka absorbsi zat besi akan bertambah dan
demikian pula sebaliknya.
2. Faktor eksogen
- Komposisi zat besi dalam bentuk Fe++ atau Fe+++ yang didapati dalam sumber
makanan.
- Sifat kimiawi makanan yang dapat menghambat atau mempermudah absorbsi zat
besi.
- Vitamin C mempermudah absorbsi zat besi karena dapat mereduksi dari bentuk
feri ke bentuk fero, Vitamin E menaikkan absorbsi zat besi karena dapat
merangsang eritropoisis, sedangkan Ca, Fosfor dan asam fitat menghambat
absorbsi zat besi, karena zat zat tersebut dengan zat besi membentuk satu
persenyawaan yang tidak dapat larut dalam air.

13
3. Faktor usus sendiri
- Sekresi pankreas menghambat absorbsi zat besi.
- Asam lambung mempermudah absorbsi zat besi karena dapat merubah bentuk
Fe
+++
menjadi bentuk Fe
++
, disamping itu asam lambung mencegah terjadinya
persenyawaan zat besi dengan fosfat yang dapat larut dalam air, maka pada
penderita Akhlorhidria dan post gastrektomi selalu dijumpai adanya defisiensi
besi.
- Gastroferin, yaitu suatu protein yang berasal dari sekresi lambung dapat
mengikat besi. Pada anemia defisiensi besi dan hemokhromatosis kadar
gastroferinnya berkurang.
- Sel mukosa usus mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi zat besi dengan
teori yang dikenal sebagai mucosal barrier, dimana sel mukosa usus dapat
mempertahankan kadar ion ferro dalam sel dengan cara menjaga keseimbangan
antara oksidasi-reduksi. Absorbsi zat besi dalam mukosa usus dilakukan oleh
suatu protein yang terdapat didalam dinding usus yang disebut apoferitin. Zat
besi setelah terikat oleh apoferitin akan menjadi feritin, jika sel mukosa usus
telah jenuh feritin maka zat besi tidak dapat diserap lagi oleh mukosa usus,
sebaliknya pada keadaan anemia defisiensi besi dimana sel mukosa usus belum
jenuh dengan feritin maka akan terjadi peningkatan absorbsi zat besi.
2. Distribusi dan penyimpanan Fe Tubuh
Fe dalam tubuh terutama terdapat dalam hemoglobin. Kelebihan Fe dalam darah
ditimbun dalam semua sel tubuh terutama dalam sel hati yaitu sekitar 60%. Bila
jumlah total besi dalam tubuh berlebihan, pool cadangan dapat menyesuaikan diri,
sebagain Fe yang lebih tersebut disimpan dalam bentuk yang sukar larut yang yaitu
dalam bentuk hemosiderin merupakan cadangan besi tubuh yang banyak terdapat pada

14
monisit, makrofag sumsum tulang, lien serta sel kuffer pada hati. Namun sebaliknya
bila jumlah Fe dalam darah rendah, Fe akan dikeluarkan dari cadangan tubuh dengan
mudah sekali, yang kemudian akan ditranspor ke bagian-bagian tubuh yang
memerlukannya dalam hal ini akan dibawa terutama ke sumsum tulang untuk
membentuk hemoglobin, yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru ke
jaringan.
18


Gambar 4. Transpor, penyimpanan dan metabolisme besi dalam tubuh
26


Tempat penyimpanan Fe lain adalah di otot rangka dan otot jantung-jantung dalam
bentuk mioglobin. Mioglobin mempunyai struktur yang menyerupai hemoglobin
namun perbedaannya adalah pada setiap rantai globinnya hanya berikatan dengan satu
atom besi. Transferin walaupun berperan sebagai tranporter Fe didalam tubuh juga
merupakan cadangan Fe tubuh, dan merupakan cadangan tubuh yang paling labil,
karena paling aktif mengalami pertukaran antara kompartemen. Gambar 5. berikut
menunjukkan berbagai tempat penyimpanan besi dalam tubuh.

15

Gambar 5. Distribusi besi pada tubuh orang dewasa
26

3. Ekskresi zat besi
Berbeda dengan keadaannya pada mineral-mineral lainnya maka tubuh manusia tidak
sanggup untuk mengatur keseimbangan zat besi melalui ekskresi. Jumlah zat besi yang
dikeluarkan tubuh setiap hari hanya sangat kecil saja berkisar antara 0,5 -1 mg / hari.
Ekskresi ini relatif konstan dan tidak dipengaruhi oleh jumlah besi didalam tubuh atau
absorbsinya. Besi keluar melalui rambut, kuku, keringat, empedu, air kemih, dan yang
paling besar melalui deskuamasi sel epitel saluran pencernaan. Pada wanita selama
mensturasi dapat kehilangan besi antara 0,5 -1 mg /hari. Wanita habis melahirkan
dengan perdarahan normal dapat kehilangan besi 500-550 mg / hari.
18



16
2.4.2. Fisiologi Kehamilan
Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu peningkatan
produksi eritropoetin. Akibatnya, volume plasma bertambah dan sel darah merah
meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang lebih besar
jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan konsentrasi
hemoglobin akibat hemodilusi.
8

Peningkatan produksi sel darah merah ini terjadi sesuai dengan proses
perkembangan dan pertumbuhan masa janin yang ditandai dengan pertumbuhan tubuh
yang cepat dan penyempurnaan susunan organ tubuh.
27
Pada trimester pertama kehamilan,
zat besi yang dibutuhkan sedikit karena peningkatan produksi eritropoetin sedikit, oleh
karena tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat. Sedangkan pada
awal trimester kedua pertumbuhan janin sangat cepat dan janin bergerak aktif, yaitu
menghisap dan menelan air ketuban sehingga lebih banyak kebutuhan oksigen yang
diperlukan.
16
Akibatnya kebutuhan zat besi semakin meningkat untuk mengimbangi
peningkatan produksi eritrosit dan rentan untuk terjadinya anemia, terutama anemia
defisiensi besi.

2.4.3. Konsentrasi Hemoglobin Pada kehamilan
Konsentrasi hemoglobin normal pada wanita hamil berbeda dengan wanita yang
tidak hamil. Hal ini disebabkan karena pada kehamilan terjadi proses hemodilusi atau
pengenceran darah, yaitu terjadi peningkatan volume plasma dalam proporsi yang lebih
besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit.

17
Ekspansi volume plasma di mulai pada minggu ke-6 kehamilan dan mencapai
maksimum pada minggu ke-24 kehamilan, tetapi dapat terus meningkat sampai minggu
ke-37. Hemodilusi berfungsi agar suplai darah untuk pembesaran uterus terpenuhi,
melindungi ibu dan janin dari efek negatif penurunan venous return saat posisi terlentang
(supine), dan melindungi ibu dari efek negatif kehilangan darah saat proses melahirkan.
11


2.4.4. Patogenesis Perubahan Nilai Hemoglobin Pada Kehamilan
Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan, antara lain adalah oleh
karena peningkatan oksigen, perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta
dan janin, serta kebutuhan suplai darah untuk pembesaran uterus, sehingga terjadi
peningkatan volume darah yaitu peningkatan volume plasma dan sel darah merah. Namun,
peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan
dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin akibat
hemodilusi.
8
Volume plasma meningkat 45-65 % dimulai pada trimester II kehamilan, dan
maksimum terjadi pada bulan ke-9 yaitu meningkat sekitar 1000 ml, menurun sedikit
menjelang aterem serta kembali normal tiga bulan setelah partus. Stimulasi yang
meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasenta, yang menyebabkan peningkatan
sekresi aldosteron.
Volume plasma yang terekspansi menurunkan hematokrit, konsentrasi hemoglobin
darah, dan hitung eritrosit, tetapi tidak menurunkan jumlah absolut Hb atau eritrosit dalam
sirkulasi. Penurunan hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan hitung eritrosit biasanya
tampak pada minggu ke-7 sampai ke-8 kehamilan, dan terus menurun sampai minggu ke-
16 sampai ke-22 ketika titik keseimbangan tercapai. Sebab itu, apabila ekspansi volume
plasma yang terus-menerus tidak diimbangi dengan peningkatan produksi eritropoetin
sehingga menurunkan kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di bawah batas

18
normal, timbullah anemia. Umumnya ibu hamil dianggap anemia jika kadar hemoglobin
di bawah 11 g/dl atau hematokrit kurang dari 33 %.
8


Tabel 2. Konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit untuk anemia
9


Adapun perubahan pertama yang terjadi selama perkembangan kekurangan besi
adalah deplesi cadangan zat besi. Cadangan besi wanita dewasa mengandung 2 gram,
sekitar 60-70 % berada dalam sel darah merah yang bersirkulasi, dan 10-30 % adalah besi
cadangan yang terutama terletak didalam hati, empedu, dan sumsum tulang. Deplesi

19
cadangan besi kemudian diikuti dengan menurunnya besi serum dan peningkatan TIBC,
sehingga anemia berkembang.
7


2.4.4. Kebutuhan besi selama kehamilan
Jika kebutuhan besi dapat dibagi atau dipilah sesuai masa kehamilan, kebutuhan
besi tersebut dapat dengan mudah dipenuhi dengan cara menaikkan secara terus menerus
kecepatan absorbsinya. Kebutuhan Fe berbeda pada tiap trimester kehamilan. Kebutuhan
Fe berkurang pada trimester pertama, hal ini oleh karena berhentinya menstruasi sehingga
cadangan Fe bertambah 0,56 mg/hari, sedangkan kehilangan hanya melalui usus, kulit dan
urine. Perubahan hemodinamik pada awal kehamilan adalah vasodilatasi umum, sedikit
peningkatan volume plasma. Juga didapat bukti-bukti aktifitas eritropoitin berkurang pada
periode ini, dengan sedikit reduksi masa RBC, reduksi jumlah retikulosit dan terjadi
peningkatan serum feritin.
28

Selama trimester ke dua, kebutuhan Fe mulai meningkat dan secara kontinu terus
meningkat sesuai usia kehamilan. Peningkatan konsumsi oksigen pada ibu dan fetus
dihubungkan dengan perubahan hematologik utama. Banyak penelitian pada wanita yang
diberikan suplemen besi memperlihatkan perubahan total volume darah 45% dengan
peningkatan volume plasma 50% dan peningkatan masa RBC 3%. Konsentrasi
hemoglobin juga terjadi peningkatan sekitar 30%.
28,29

Sesuai dengan perkembangan kehamilan, kebutuhan Fe untuk pertumbuhan fetus
terus meningkat sering pertumbuhan berat badan fetus, dengan akumulasi terbanyak
selama trimester ke tiga kehamilan (gambar 6). Rata-rata jumlah besi pada fetus dengan
berat badan lebih 3 kg adalah 270 mg.


20

Gambar 6. Hubungan antara berat badan fetus dan kandungan besi
18

Dalam menentukan kebutuhan Fe selama kehamilan, juga harus ditambahkan
jumlah kehilangan darah selama persalinan lebih kurang 150 mg Fe dan kehilangan
melalui tali pusat dan plasenta kira-kira 90mg. Selama pasca persalinan kehilangan
melalui laktasi hanya sedikit sekitar 0,3 mg/hari, namun hal ini diimbangi dengan tidak
adanya menstruasi.
23,28

Bila dihitung jumlah kebutuhan, pengeluaran (1190 mg) dan penghematan karena
tidak adanya menstruasi (610 mg) total darah yang dibutuhkan selama kehamilan untuk
wanita dengan berat badan 55 kg kira-kira 580 mg (tabel 3).
Jumlah
Total kebutuhan selama kehamilan (mg)
Fetus 270
Plasenta 90
Penambahan masa RBC 450
Kehilangan fisiologis (usus, kulit urine) 230
Jumlah 1040
Kehilangan saat persalinan 150
Total keperluan 1190


21
Keuntungan selama kehamilan
Pengurangan masa RBC ibu -450
Tidak ada mensturasi selama kehamilan -160
Sub total -610
Total kebutuhan 580
Tabel 3. Kebutuhan besi selama kehamilan
18

1. Keseimbangan besi selama kehamilan
Bila total kebutuhan Fe selama kehamilan diartikan sebagai peningkatan
kebutuhan harian, ini tampaknya tidak cocok di pakai untuk kondisi kehamilan oteh
karena ada perbedaan kebutuhan sesuai masa kehamilan (gambar 7).
Pada gambar dibawah tampak pada trimester pertama terdapat penurunan
kebutuhan Fe, namun pada trimester berikutnya tampak peningkatan kebutuhan secara
gradual mulai dari awal trimester ke dua dan kebutuhan paling tinggi pada akhir
trimester ketiga.
Hal ini terjadi oleh karena perubahan paling besar masa RBC mulai terjadi pada
pertengahan trimester ke dua, dimana kebutuhan Fe mencapai puncaknya<JO mg hari)
pada 6-8 minggu akhir kehamilan. Hal ini tampaknya tidak tampaknya tidak dapat
dipenuhi dari absorbsi diet saja walaupun diberikan diet yang sangat optimal. Dalam
diet yang mengandung Fe yang kuantitativ cukup banyak (makanan yang secara
kuantitativ banyak mengandung Fe adalah daging, unggas, ikan) absorbsi biasanya
hanya 3-4 mg/hari, dan paling tinggi 5 mg/hari. Jumlah absorbsi Fe lebih rendah bila
diet mengandung hanya sejumlah kecil Fe, seperti pada kebanyakan kasus di negara
sedang berkembang dimana makanan pokoknya adalah biji-bijian dan asupan daging
yang terbatas.

22

Gambar 7. Estiminasi kebutuhan Fe selama kehamilan pada wanita dengan BB 55 Kg
28

2. Keuntungan cadangan Fe pada kehamilan
Sesuai dengan keterangan diatas, tampaknya untuk mempertahankan
keseimbangan Fe pada kehamilan hanya terjadi bila adanya cadangan besi yang
adekuat pada saat dimulai kehamilan. Jika seorang perempuan secara rutin
mengkonsumsi diet banyak mengandung Fe, cadangan besi selama kehamilan kira-kira
300 mg kemungkinan cukup untuk kebutuhan selama kehamilan namun demikian
diperlukan jumlah cadangan besi yang besar bila diet kurang optimal.
30

Secara umum pada perempuan usia reproduktif cadangan besi selama kehamilan
dapat diperkirakan dengan mengambil angka dari penelitian-penelitian yang
menghitung cadangan besi dengan menilai konsentrasi feritin serum dan beberapa
indek hematologi lainnya. Penelitian yang dilakukan USA didapatkan cadangan besi
pada perempuan usia reproduktif sekitar 150 mg dan hanya 20% mempunyai cadangan
besi > 250 mg. Pada kelompok perempuan usia belasan tahun cadangan besi lebih
kecil dari 75 mg. Penelitian yang dilakukan USA didapatkan median cadangan besi
pada wanita kira-kira 300 mg, di Swedia didapatkan cadangan besi pada perempuan
usia reproduktif sekitar 150 mg dan hanya 20% mempunyai cadangan besi > 250 mg.
Pada kelompok perempuan usia belasan tahun cadangan besi lebih kecil dari 75 mg.

23
Penelitian yang dilakukan di Australia dengan subjek random pada perempuan
pedesaan dimana konsumsi daging tinggi, cadangan besi didapatkan > 200 mg.
Meskipun data-data diatas tidak dapat disamaratakan untuk seluruh negara, namun
kondisi di negara-negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia dimana
konsumsi daging-dagingan sangat rendah (mungkin cadangan besi lebih rendah dari 75
mg), banyak perempuan usia reproduktif memulai kehamilannya dengan cadangan
besi yang sangat rendah. Karenanya diperlukan penanggulangan yang tepat guna
sehingga akibat yang terjadi karena kekurangan besi baik pada ibu maupun pada anak
dapat dicegah.
30


2.5. Manifestasi Klinis
Wintrobe menge mukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi
sangat bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala penyakit dasarnya yang
menonjol, ataupun bisa ditemukan gejala anemia bersama-sama dengan gejala penyakit
dasarnya. Gejala-gejala dapat berupa kepala pusing, palpitasi, berkunang-kunang,
perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem neurumuskular, lesu, lemah, lelah,
disphagia dan pembesaran kelenjar limpa.
Berkurangnya hemoglobin menyebabkan gejala-gejala urnum seperti keletihan,
palpitasi, pucat, tinitus, dan mata berkunang-kunang disamping itu juga dijurnpai gejala
tambahan yang diduga disebabkan oleh kekurangan enzim sitokrom, sitikrom C oksidase
dan hemeritin dalam jaringan-jaringan, yang bersifat khas seperti pusing kepala,
parastesia, ujung jari dingin, atropi papil lidah.
10



24
2.6. Diagnosis
2.6.1. Pemeriksaan laboratorium
10

1. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kwantitatif
tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Metode
pemeriksaan Hb adalah mudah, sederhana dan penting bila prevalensi kekurangan besi
tinggi, seperti pada kehamilan. Keterbatasan pemeriksaan Hb adalah spesifisitasnya
kurang. Untuk mengidentifikasi anemia defisiensi besi, pemeriksaan Hb, dan
hematokrit biasanya sekaligus diukur serta haruss diukur bersama-sama dengan
pengujian status besi lain yang lebih selektif, pemeriksaan Hb sensitifitasnya 80-90 %
dan spesifisitasnya 65-99%.
2. Penentuan indek eritrosit
3. Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), Mean
Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC), Penentuan indeks eritrosit secara
tidak langsung dengan Flowcytometri atau menggunakan rumus.
a. Mean corpusculer volume = MCV (Volume sel rata-rata)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan
zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan
indikator kekurangan zat besi yang spesifik setelah thalasemia dan anemia
penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka
sel darah merah. Nilai normal 70 -100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100
fl.


25
b. Mean corpuscle heamoglobin = MCH
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam 1 eritrosit. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg,
mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
c. Mean corpuscular hemoglobin concentration = MCHC
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rat-rata. Dihitung dengan membagi
hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan Hipokrom < 30%.
4. Pemeriksaan hapusan darah perifer.
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan
menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti,
sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan lowcytometry hapusan darah dapat
dilihat pada kolom morfology flag.
5. Red distribution wide = RDW (Luas distribusi sel merah)
Luas distribusi sel merah adalah parameter sel darah merah masih relatif baru, dipakai
secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW
merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang
tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal
dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun
serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda
meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit
protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %
6. Eritrosit protoporphirin (EP)
EP diukur dengan memakai heamatofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa
tetes darah dan pengalaman tehniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap
lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan

26
besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum
dan jenuh transferin rentan terhadap variasi diurnal yang luas. EP secara luas dipakai
dalam surve populasi walaupun dalam praktek klinis masih jarang.
7. Serum iron = SI (Besi serum)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan
besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi
diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan
setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok,
pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Variasi diurnal ditemukan berbeda 100%
selama interval 24 jam pada orang sehat. Besi serum dipakai kombinasi dengan
parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.
8. Serum transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi, dan diukur bersama -sama dengan besi serum.
Transferin serum bisa diperkirakan dengan memakai tehnik otomatik dimana
kemampuan mengikat besi total (TffiC) yakni jumlah besi yang bisa diikat secara
khusus oleh plasma. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan
dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan
keganasan.
9. Transferrin saturation = TS (jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi,
merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi kesumsum tulang. Penurunan
jenuh transferin dibawah 10% merupakan indek kekurangan suplai besi yang
meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. TS dapat menurun pada penyakit
peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai

27
dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum
feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.
10. Serum feritin.
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan
cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan
pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat
besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai
diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan
awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi
karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak
pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin.
Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang
menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat
pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada
wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama
seperti pria yang berusia 60 -70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian
mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis
dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan
suplemen zat besi. Serum feritin adalah reaktan rase akut, dapat juga meningkat pada
inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur
dengan mudah memakai essay immonoradiometris (IRMA), Radioimmonoassay
(RIA), atau Essay immonoabsorben (Elisa).
11. Reseptor serum transferin (TfR)
Reseptor serum transferin adalah pengukuran status besi terbaru untukmmendeteksi
kekurangan besi pada tingkat seluler. Reseptor transferin ditemukan pada membran-

28
membran sel memungkinkan transferin yang terikat besi untuk memasuki sel. Apabila
suplai besi tidak memadai maka terjadi up-regulasi reseptor transferin untuk menjamin
sel dapat bersaing lebih efektif demi zat besi. Jumlah reseptor pada membran sel
sebanding dengan reseptor yang ditemukan pada plasma. Peningkatan reseptor serum
terjadi pada penderita kekurangan besi eritropoisis ataupun kekurangan besi anemia.
Reseptor transferin dapat diukur dengan memakai tehnik Elida monoclonal sensitif.
Nilai normal adalah 3 -9 mg/l. Pria dan wanita sehat rata-rata 5,6 mg/l dan kekurangan
besi adalah 18 mg/l. Serum reseptor transferin memberikan suatu pengukuran yang
lebih stabil dari pada jenuh transferin. Dimana pada awalnya dipengaruhi oleh
perkembangan kekurangan besi fungsional dari indek hematologis tradisional seperti
eritrosit protophorpirin ataupun MCV. Perbedaan dengan serum feritin, reseptor
transferin tetap saja normal pada penderita peradangan akut, kronis, dan penyakit hati
dan sangat efektif untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia penyakit
kronis. Reseptor transferin secara khusus penting pada wanita hamil, karena
merupakan indikator yang lebih baik terhadap status besi dari pada serum feritin,
eritrioprotophorpirin, ataupun volume sel merah rata-rata.
2.6.2. Kriteria Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi diperlukan metode pemeriksaan yang
akurat dan kriteria diagnosis yang tegas. Para peneliti telah menyetujui bahwa diagnosis
anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang yaitu pemeriksaan darah dan sumsum tulang. Untuk memudahkan dan
keseragaman diagnosa dnemia defisiensi Besi, WHO menetapkan kriteria diagnosis yang
ditunjukkan pada tabel 4.


29
Pemeriksaan Anemia Defisiensi Besi Normal
Hemoglobin
Laki-laki dewasa
Wanita dewasa (tidak
hamil)
Wanita dewasa (hamil)
< 13 gr/dl
< 12 gr/dl
< 11 gr/dl
15 gr/dl
13 14 gr/dl
12 gr/dl
MCHC < 31 % 32 35 %
Serum Iron (SI) < 50 ugr% 80 160 ugr%
TIBC > 400 ugr% 250 400 ugr%
Jenuh Transferin < 15 % 30 35 %
Serum Feritin < 12 ugr/l 12 200 ugr/l
Tabel 4. Diagnosa Anemia Defisiensi Besi
18

WHO juga membuat derajat keparahan Anemia pada kehamilan yaitu:
Kriteria Anemia Kadar Hemoglobin
Anemia ringan 10 11 gr/dl
Anemia sedang 7 10 gr/dl
Anemia berat < 7 gr/dl
Tabel 5. Kriteria Anemia Berdasarkan Kadar Hemoglobin
32

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) sedikit berbeda dengan WHO.
Menurut CDC (1998) kriteria anemia pada kehamilan adalah Hb kurang dari 11 gr/dl
untuk trimester I dan III, serta Hb kurang dari 10,5 gr/dl untuk trimester II.
NHANES II dan III (National Health And Nutrition Examination Survey) membuat
definisi defisiensi zat besi adalah bila didapati 2 dari 3 pemeriksaan laboratorium tidak
normal, meliputi:
9

1. Eritrosit Protoporfirin
2. Jenuh Transferin
3. Serum Feritin
Anemia defisiensi besi disebut bila ditemukan adanya defisiensi besi disertai dengan
penurunan kadar haemoglobin darah (anemia).
10



30
2.7. Pencegahan dan Penanganan
Pencegahan anemia pada ibu hamil dapat dilakukan antara lain dengan cara:
meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan, mengkonsumsi pangan hewani dalam
jumlah cukup, namun karena harganya cukup tinggi sehingga masyarakat sulit
menjangkaunya. Untuk itu diperlukan alternatif yang lain untuk mencegah anemia gizi
besi, memakan beraneka ragam makanan yang memiliki zat gizi saling melengkapi
termasuk vitamin yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi, seperti vitamin C.
Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat meningkatkan
penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan sayuran sumber
vitamin C, namun dalam proses pemasakan 50-80 % vitamin C akan rusak. Mengurangi
konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat besi seperti : fitat, fosfat,
tannin. Penanganan anemia defisiensi besi adalah dengan preparat besi yang diminum
(oral) atau dapat secara suntikan (parenteral).
16

Prinsip pemberian terapi zat besi oral yaitu tidak boleh dihentikan setelah
hemoglobin mencapai nilai normal, tetapi harus dilanjutkan selama 2-3 bulan lagi untuk
memperbaiki cadangan besi. Terapi oral adalah dengan pemberian preparat besi:
10

- Fero sulfat : tiap 300 mg mengandung 60 mg Fe
- Fero glukonat : tiap 300 mg mengandung 37 mg Fe
- Fero fumarat : tiap 200 mg mengandung 67 mg Fe.
Pemberian preparat 60 mg/hari dapat menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr% per bulan.
Efek samping preparat Fe terhadap gastrointestinal seperti mual, muntah, rasah perih di
ulu hati(1) merupakan faktor yang juga dapat menyebabkan wanita hamil enggan menelan
obat. Efek samping ini biasanya tergantung dosis yang diberikan. Untuk mengatasi ini
dapat diberikan dosis minimal yang direkomendasikan seperti di bicarakan diatas adalah
60 mg sekali sehari namun untuk memenuhi angka kecukupan haruslah diberikan pada

31
waktu lebih awal, namun tidak terlalu cepat, yaitu pada awal trimester kedua dimana
keluhan gastrointestinal yang terjadi pada awal kehamilan telah dilewati. Namun dinegara-
maju telah dikembangkan tablet gastric delivery system (GDS) yang dapat menahan agar
preparat Fe tidak larut dalam keasaman lambung.
18

Sedangkan pemberian preparat parenteral adalah dengan ferum dextran sebanyak
1000 mg (20 ml) intravena atau 210 ml secara intramuskulus, dapat meningkatkan
hemoglobin relatif cepat yaitu 2gr%. Pemberian secara parenteral ini hanya berdasarkan
indikasi, di mana terdapat intoleransi besi pada traktus gastrointestinal, anemia yang berat,
dan kepatuhan pasien yang buruk. Pada daerah-daerah dengan frekuensi kehamilan yang
tinggi dan dengan tingkat pemenuhan nutrisi yang minim, seperti di Indonesia, setiap
wanita hamil haruslah diberikan sulfas ferosus atau glukonas ferosus sebanyak satu tablet
sehari selama masa kehamilannya. Selain itu perlu juga dinasehatkan untuk makan lebih
banyak protein dan sayur-sayuran yang mengandung banyak mineral serta vitamin.
16

Kebijakan nasional yang diterapkan di seluruh Pusat Kesehatan Masyarakat adalah
pemberian satu tablet besi sehari sesegera mungkin setelah rasa mual hilang pada awal
kehamilan. Tiap tablet mengandung FeSO4 320 mg (zat besi 60 mg) dan asam folat 500
g, minimal masing-masing 90 tablet. Tablet besi sebaiknya tidak diminum bersama teh
atau kopi, karena akan mengganggu penyarapannya.
14




32
2.8. Pengaruh Anemia Terhadap Kehamilan
Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik dalam
kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. Penyulit-penyulit yang dapat
timbul akibat anemia adalah : keguguran (abortus), kelahiran prematurs, persalinan yang
lama akibat kelelahan otot rahim di dalam berkontraksi (inersia uteri), perdarahan pasca
melahirkan karena tidak adanya kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok, infeksi baik saat
bersalin maupun pasca bersalin, serta anemia yang berat (<4 gr%) dapat menyebabkan
dekompensasi kordis. Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok dan kematian ibu
pada persalinan.
16,32

Pengaruh anemia pada kehamilan. Risiko pada masa antenatal: berat badan kurang,
plasenta previa, eklamsia, ketuban pecah dini, anemia pada masa intranatal dapat terjadi
tenaga untuk mengedan lemah, perdarahan intranatal, shock, dan masa pascanatal dapat
terjadi subinvolusi. Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus : premature,
apgar scor rendah, gawat janin (Anonim,tt). Bahaya pada Trimester II dan trimester III,
anemia dapat menyebabkan terjadinya partus premature, perdarahan ante partum,
gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia intrapartum sampai kematian, gestosis
dan mudah terkena infeksi, dan dekompensasi kordis hingga kematian ibu.
33

Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan, dapat menyebabkan gangguan his
primer, sekunder, janin lahir dengan anemia, persalinan dengan tindakan-tindakan tinggi
karena ibu cepat lelah dan gangguan perjalanan persalinan perlu tindakan operasi.
32

Anemia kehamilan dapat menyebabkan kelemahan dan kelelahan sehingga akan
mempengaruhi ibu saat mengedan untuk melahirkan bayi.
34

Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan: gangguan his-kekuatan mengejan,
Kala I dapat berlangsung lama dan terjadi partus terlantar, Kala II berlangsung lama
sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan operasi kebidanan, Kala III

33
dapat diikuti retensio plasenta, dan perdarahan post partum akibat atonia uteri, Kala IV
dapat terjadi perdarahan post partum sekunder dan atonia uteri. Pada kala nifas : Terjadi
subinvolusi uteri yang menimbulkan perdarahan post partum, memudahkan infeksi
puerperium, pengeluaran ASI berkurang, dekompensasi kosrdis mendadak setelah
persalinan, anemia kala nifas, mudah terjadi infeksi mammae.
32

Hasil penelitian oleh Indriyani dan Amirudin (2006) di RS Siti Fatimah Makasar
menunjukkan bahwa faktor risiko anema ibu hamil < 11 gr % mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kejadian partus lama. Ibu yang mengalami kejadian anemia memiliki
risiko mengalami partus lama 1,681 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak
anemia tapi tidak bermakna secara statistik. Ini diduga karena terjadi ketidakseragaman
pengambilan kadar Hb dan pada kontrolnya ada yang kadar Hb nya diambil pada trimester
1 dan bisa saja pada saat itu ibu sedang anemia. Ibu hamil yang anemia bisa mengalami
gangguan his/gangguan mengejan yang mengakibatkan partus lama.
35
Kavle et al, ( 2008)
pada penelitianya menyatakan bahwa perdarahan pada ibu setelah melahirkan
berhubungan dengan anemia pada kehamilan 32 minggu. Kehilangan darah lebih banyak
pada anemia berat dan kehilangan meningkat sedikit pada wanita anemia ringan
dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia.
36

Pertumbuhan plasenta dan janin terganggu disebabkan karena terjadinya
penurunan Hb yang diakibatkan karena selama hamil volume darah 50 % meningkat dari 4
ke 6 L, volume plasma meningkat sedikit yang menyebabkan penurunan konsentrasi Hb
dan nilai hematokrit. Penurunan ini akan lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi
zat besi. Kenaikan volume darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari
plasenta dan untuk penyediaan cadangan saat kehilangan darah waktu melahirkan. Selama
kehamilan rahim, plasenta dan janin memerlukan aliran darah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi.
34


34
Pertumbuhan janin yang lambat, kekurangan gizi pada janin, kelahiran prematur
dan berat badan bayi lahir yang rendah, yaitu sebesar 38,85%, merupakan penyebab
kematian bayi. Sedangkan penyebab lainnya yang cukup banyak terjadi adalah kejadian
kurangnya oksigen dalam rahim (hipoksia intrauterus) dan kegagalan nafas secara spontan
dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir (asfiksia lahir), yaitu 27,97%.
Hal ini menunjukkan bahwa 66,82% kematian perinatal dipengaruhi pada kondisi ibu saat
melahirkan. Jika dilihat dari golongan sebab sakit, kasus obstetri terbanyak pada tahun
2005 adalah disebabkan penyulit kehamilan, persalinan dan masa nifas lainnya yaitu
56,09%.
14

Budwiningtjastuti dkk. (2005) melakukan penelitian anemia pada ibu hamil tri
wulan III dan pengaruhnya terhadap kejadian rendahnya Scor Apgar, didapatkan hasil
bahwa ibu hamil dengan anemia < 11 gr % meningkatkan risiko rendahnya scor Apgar.
Demikian pula penlitian yang dilakukan di kabupaten.
37

Labuan Batu oleh Simanjuntak ( 2008 ) meneliti hubungan anemia pada ibu hamil
dengan kejadian BBLR didapatkan 86 (53 %) anemia dari 162 kasus. Dan yang
melahirkan bayi dengan BBLR 36.0%. Hasil penelitian Karafsahin et al. (2007)
menunjukkan bahwa ibu hamil dengan anemia , empat kali lebih berisiko melahirkan bayi
premature dan 1.9 kali berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) dari pada ibu
hamil yang tidak anemia.
38



35
BAB III
KESIMPULAN

Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai hemoglobin
di bawah 11 gr% pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai hemoglobin kurang dari
10,5 gr% pada trimester dua. Perbedaan nilai batas diatas dihubungkan dengan kejadian
hemodilusi.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terbanyak dijumpai pada kehamilan.
Anemia defisiensi besi masih merupakan problem di kebanyakan negara sedang
berkembang, yang disebabkan oleh karena asupan gizi yang kurang Kebutuhan besi
berbeda-beda pada masing-masing usia kehamilan, dimana peningkatan kebutuhan besi
dimulai pada awal trimester ke dua.
Adapun etiologinya karena keseimbangan negatif besi yang disebabkan karena
bekurangnya asupan besi, kehilangan besi dan meningkatnya kebutuhan besi seperti pada
masa kehamilan dan laktasi. Besi merupakan unsur vital untuk pembentukan hemoglobin,
juga merupakan komponen penting pada sistem enzim pemafasan seperti sitokrom-
oksidase, katalase dan peroksidase.
Faktor resiko terjadinya anemia defisiensi besi pada kehamilan yaitu faktor umur
usia < 20 tahun dan diatas 35 tahun, kurang patuh dalam mengkonsumsi tablet Fe , paritas
tinggi, dan jarak kelahiran yang terlalu dekat.
Sumber besi dari makanan walaupun diet kaya akan besi, masih belum cukup
untuk memenuhi kebutuhan besi selama kehamilan sehingga dibutuhkan suplemen besi
yang dapat diberikan secara oral atau parenteral jika terapi oral tidak bisa diberikan atau
pada anemia defisensi berat.

36
Kebijakan nasional yang diterapkan di seluruh Pusat Kesehatan Masyarakat adalah
pemberian satu tablet besi sehari sesegera mungkin setelah rasa mual hilang pada awal
kehamilan. Tiap tablet mengandung FeSO4 320 mg (zat besi 60 mg) dan asam folat 500
g, minimal masing-masing 90 tablet.
Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu maupun janin
yang dikandung. Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik
dalam kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. Terhadap janin
meningkatkan risiko kelahiran berat badan lahir rendah. Pertumbuhan janin dipengaruhi
oleh karena gangguan suplai O
2
dari plasenta ke janin. Terganggunya fungsi plasenta pada
anemia kehamilan akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan janin intra uterin dan
kelahiran berat badan lahir rendah.
Oleh karena itu, untuk upaya menurunkan prevalensi anemia pada ibu hamil dapat
dilakukan melalui upaya peningkatkan promosi kesehatan kepada ibu hamil sehingga ibu
hamil mengetahui pentingnya pemeriksaan kehamilan, cara mengkonsumsi zat besi baik
yang berasal dari suplemen maupun dari makan sehari-hari. Dianjurkan melakukan
pemeriksaan antenatal untuk memenuhi program kunjungan minimal 4 kali kunjungan.
.









37
DAFTAR PUSTAKA

1. Fairbanks VF, Beutler E. Iron deficiency. In : Beutlher E et all, editors, William
Hematology. 6th ed, New York: Mc Graw-Hill inc; 1998 : 447-464.
2. Lee GR. Iron deficiency and Iron deficiency anemia. In : Wintrobe MM, Lee GR,
Boggs DR, Bithell TC, Atheus JW , editors. Clinical Hemotology. 7th ed,
Philadelphia: Lea Febiger; 1994: 621-670.
3. Hilman RS. Iron deficiency. In : Isselbacher KJ , Braunwald E, Wilson JD ,editors.
Harrison's Principles of internal medicine. 14th ed, New York: Mc Graw-Hill; 2001:
638-645.
4. Lautan J , Sinaga HSRP. The iron status of pregnant mothers in a semi urban area of
Medan city. (abstrak). The 2th Asean conference on medical sciences Medan 2002:154
5. Prawiraharjo S. Anemia dalam kehamilan. Dalam: Buku acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan maternal & neonatal. Jakarta :Yayasan Bina Pustaka. FKUI; 2001: 281-284.
6. Thanglela T, Vijayalaksmi P. Prevalence of anemia in pragnancy .Indian J Nutrit and
Diet; 1994 31 (2) :26-29.
7. Bakta, IM., Suega K., Dharmayuda, T. G. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Sudoyo, A.
W., penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4 Jilid II. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006: 644-659.
8. Abdulmuthalib. Kelainan Hematologik. Dalam: Saifuddin, A. B., Rachimhadhi, T.,
Wiknjosastro, G.H., penyunting. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo Ed. 4, Cet.
2. Jakarta : PT Bina Pustaka; 2009: 774-780.
9. Centers for Disease Control and Prevention. Recommendations to Prevent and Control
Iron Deficiency in the United States. Morb Mortal Wkly Rep; 1998: 47: 1-36.
10. Riswan, M., 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa Praktek
Bidan Swasta Dalam Kota Madya Medan, Universitas Sumatera Utara. Diunduh dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6334/1/penydalammuhammad%20ris
wan.pdf [Diakses September 2013].
11. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Gilstrap, L. C.,
Wenstrom, K. D., Hematological Disorders. Dalam: Williams Obstetrics. edisi ke-22.
New York: MacGraw-Hill Companies; 2007.

38
12. Amirudin, Wahyuddin. 2004. Studi Kasus Kontrol Ibu Anemia. 2007 Jurnal Medical
UNHAS
13. Djamilus, Herlina, 2008. Faktor Risiko Kejadian Anemia Ibu Hamil Di Wilayah Kerja
Puskesmas Bogor, Artikel , Diunduh dari : http://www. motekar.tk/topik/pengkajian
anemia-pada-ibu-hamil.html [Diakses September 2013].
14. Depkes RI., 2009. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008, Jakarta : Depkes RI
15. Simanjuntak, S. Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian Anemia Sebagai Alternatif
Penanggulangan Anemia Ibu Hamil di Kota Sibolga Tahun 2004 (Thesis). Medan:
Universitas Sumatra Utara; 2004
16. Wiknjosastro. Ilmu Kebidanan edisi ketiga Cetakan ke 7. Jakarta EGC; 2005
17. Mochtar. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC ; 2004
18. Wiranti H. Anemia Defisiensi Besi (Fe) Pada Kehamilan. Departemen Obstetri Dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Moehammad
Hoesin Palembang; 2006
19. Miller D.R.ed. Blood diseases of infancy and chilhood. 7th ed. Morby, Baltimore. 193-
219.
20. Zulaicha, T. M., 2009. Pengaruh Suplementasi Besi Sekali Seminggu Dan Sekali
Sehari Terhadap Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar, Universitas Sumatera Utara.
Diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6261/1/09E00122.pdf.
[Diakses September 2013].
21. Andrews, NC. Understanding Heme Transport. N Engl J Med; 2005: 23: 2508-9
22. Murray, R. K., Daryl, K. G., Peter, A. M. , Victor, W. R., 2003. Biokimia Harper ---
Ed 25. Jakarta : EGC.
23. Salim H, Aulia D, Wirawan R. Anemia defisiensi besi Bagian Patologi Klinik.
FKUI/RSCM, Jakarta. 1999; 3-18.
24. Ristrini. Anemia akibat kurang zat besi, keadaan, masalah dan program
penanggulannnya. Medika, No I, tahun 17, Januari, 1991:37-42.
25. Lokker AC, at al. Prevalence of iron deficiency in the United States, JAMA, March 26.
no 12, 1997, Vol 277: 973-976.
26. Guyton AC. Fisiologi kedokteran, Edisi 5. Bagian I. EGC, Jakarta: 78-80.
27. Sadler, TW. Masa Janin (Bulan Ketiga Hingga Lahir). Dalam: Susanto, I., alih bahasa,
Embriologi Kedokteran. edisi ke-5. Jakarta: EGC; 1988: 79-88.

39
28. Lee GR. Iron deficiency and iron deficiency anemia. In. wintrobes Clinical
Hematology, 10th ed. Lippicont Williams and Wilkins. USA. Philadelphia, 1999: 979-
1009.
29. Rasmusen KM. Iron deficiency anemia; reexamining the nature and magnitude of the
public health problem, is there a causal relationship between iron deficiency or iron-
deficiency anemia anda weigt at birth, length of gestation and perinatal mortality> J
Nutr, 131; 2001;590S-603S.
30. Linker CA: Blood, current medicine diagnosis & treatment. 39th ed. Lange Medical
Book, McGraw Hill, Health Profesions Division. Philadelphia; 2000: 499-501.
31. Nasution B. Evaluasi hasil pengobatan anemia defisiensi besi pada penderita
Ankilostomiasis. Medan, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-USU .1985. Tesis.
32. Saifudin. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal , Edisi I
Cetakan Keempat, Jakarta ; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2006.
33. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Acsulapius; 2008
34. Smith Rj, Chelnow D, 2010, Managemet The Third Stage of Labor, Medscape.
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/275304-overview [Diakses
September 2013].
35. Indryani dan Amirudin, Faktor Risiko Kejadian Partus lama Di RSIA Siti Fatimah
Makasar , Artikel Ilmiah, 31 Mei 2007
36. Kavle A Justin, Rebecca J. Stolztus, Water Frank, James M Tielsch, Sabra S. Kalfat,
Laura Ranfield E.. Assosiation between Anaemia during Pregnancy and Blood Loos at
and after Delivery Among Women With Vaginal Births In Pemba, Island, Zanzibar,
Tanzania ; Journal List JPopulNutr; 2008: 26(2)
37. Budiwiningtjastuti, Surjono A, Hakimi M., 2001, Anemia Ibu Hamil Tri Wulan III dan
Pengaruhnya terhadap kejadian Rendahnya Scor Apgar, Pasca Sarjana UGM. 2005
Sain Kesehatan 18 Januari
38. Simanjuntak. Hubungan Anemia pada Ibu Hamil dengan Kejadian BBLR di BP RSU
Rantaurapat (Thesis). Medan: Universitas Sumatra Utara; 2008

You might also like