Professional Documents
Culture Documents
daP A A
iiiidaP ..A..A
daP ..A..A
daP A A
A. Pendahuluan
Sampai saat ini, kebanyakan orang masih mempunyai perasaan, bahwa apa yang
dinamakan gerakan mahasiswa adalah sesuatu yang serupa atau sama dengan aksiaksi mahasiswa tahun 1966. Perasaan ini berkembang menjadi : yang kurang serupa,
berlainan bentuk, berlawanan arah dan berbeda tujuan , tidak sebanding ukuran dan
jumlah pesertanya dengan aksi-aksi mahasiswa tahun 1966, dan sebagainya lagi, apalagi
bukan gerakan mahasiswa. Berbagai sebutan yang dilekatkan pada aksi mahasiswa (dan
pelajar) tahun 1966 serta berbagai semboyan yang dipakai masa itu, ditransformir
menjadi apa yang ditanggapi sebagai ciri-ciri gerakan mahasiswa Indonesia.
Demikianlah maka sebuah gerakan mahasiswa haruslah merupakan suatu aksi
massa. Didahului oleh rapat umum yang dihadiri oleh ribuan mahasiswa; demonstrasi
mahasiswa yang membawakan suara hati nurani rakyat; didukung oleh seluruh
masyarakat mahasiswa dalam jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan. Harus
dikoordinir secara resmi, melalui saluran organisasi mahasiswa, sedapat mungkin yang
mencerminkan mufakat bulat antara seluruh organisasi mahasiswa ekstra dan intrauniversitas. Bebas dari vestedinterest. Tidak mempunyai tujuan politik dan tidak
ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik. Harus berdasarkan keadilan dan
kebenaran, sesuai dan demi perjuangan Orde Baru. Berlandaskan semangat partnership
ABRI-Rakyat. Di dalam rangka mempertahankan dan membina Pancasila, dan sama
sekali bukanlah yang dapat menguntungkan gerilya politik komunis, atau New Left,
atau berbau orde lama. Dan yang terakhir haruslah konstitusional (Marsilam
Simanjuntak, dalam LP3ES , 1985: 166).
Apabila kutipan di atas diterima secara aklamasi, maka gerakan mahasiswa pasti
akan tergambarkan penuh serba hangar-bingar, serba penuh gebyar, serta pasti ramai.
Apa yang diungkapkan Marsilam Simanjuntak itu tidak sepenuhnya salah. Tentu saja
dengan catatan, asal gerakan mahasiswa itu merupakan usaha atau kegiatan lapangan
sosial (politik dan sebagainya), seperti pemakaian pada Gerakan Kaum Buruh atau
Gerakan Pemberantasan Buta Huruf, dan sebagainya (Poerwodarminta, 1982: 316317). Tak boleh dilupakan juga, upaya itu pasti terarah, terorganisir dan memiliki tujuan
tertentu. Dengan demikian sebuah gerakan mahasiswa memang tidak harus penuh
gebyar, tidak harus serba besar. Yang kecil pun boleh (jumlah anggotanya tidak
banyak). Hal ini pun memang kemudian diakui sendiri oleh Marsilam Simanjuntak.
Betapapun kecilnya-seperti yang telah dilakukan dalam gerakan-gerakan mahasiswa
seperti MM (Mahasiswa Menggugat), KAK (Komite Anti Korupsi), Golput, dan lain-lain
tetapi karena ini dilakukan oleh mahasiswa, lapisan pemuda dan intelektual, maka ia
akan selalu diperhitungkan penguasa. Tanpa harus dicari definisinya lebih dulu
(Marsilam Simanjuntak, dalam LP3ES, 1975: 173).
Gerakan mahasiswa bisa terjadi di dalam kampus atau bisa di luar kampus.
Hanya saja memang tidak perlu semua mahasiswa terlibat. Pada umumnya, para aktivis
mahasiswalah yang bergerak. Aktifis di sini diartikan sebagai pemuda (mahasiswa)
Drs. A.A. Padi, adalah dosen tetap Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
yang selain studi juga giat di dalam kelompok-kelompok diskusi, Lembaga Swadaya
Masyarakat serta organisasi-organisasi ekstra dan intra universitas serta kepemudaan
(Prisma, Juni 1987: 4). Namun demikian telaah terhadap gerakan mahasiswa ini terlebih
difokuskan kepada gerakan mahasiswa yang ada di luar kampus, yang pada umumnya
bergerak dalam lapangan sosial dan politik. Mahasiswa di samping mempunyai tugas
belajar, juga mengemban fungsi lain, sebagai unsur dari kehidupan masyarakat yang
dinamik dan sedang menuju kehidupan modern, mahasiswa merupakan golongan
masyarakat dengan hak dan kewajiban yang sama seperti golongan lainnya (Arbi Sanit,
dalam Philip G.Altbach, 1988: IX-X). Barangkali dengan alasan ini mahasiswa merasa
terpanggil untuk rela menyisihkan sebagian kecil (atau besar) dari waktu studinya guna
memperhatikan persoalan-persoalan yang ada di luar kampusnya. Bobot
keterpanggilannya menjadi lebih besar apabila persoalan itu berskala nasional.
Hakekat dari gerakan politik mahasiswa pada umumnya adalah perubahan. Ia
tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan yang ada untuk
digantikan dengan situasi yang dianggap lebih memenuhi harapan (Philip G.Albatch,
1988: XIII). Di dalam artikel pengantarnya, Albatch menekankan dua fungsi gerakan
mahasiswa sebagai proses perubahan, yaitu menumbuhkan perubahan sosial dan
politik. Di dalam masyarakat industri, peranan sosialnya lebih menonjol, sedangkan di
masyarakat yang sedang berkembang peranan politiknya lebih dominan.
Untuk Indonesia, peran sosial dan politik mahasiswa sudah lama menjadi
tradisi. Sampai kemerdekaan, tercatat tiga periode besar yang melibatkan pemuda dan
mahasiswa. Angkatan 08, yang menggerakkan Kebangkitan Nasional. Kelompok
angkatan ini dipelopori oleh mahasiswa STOVIA seperti Wahidin dan Sutomo.
Angkatan 28, yang melahirkan Sumpah Pemuda, banyak dipelopori oleh mahasiswa
yang belajar di negeri Belanda yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia, seperti
Hatta dkk. Sedangkan Angkatan 45 yang melahirkan Revolusi Kemerdekaan, kelihatan
lebih bervariasi. Di lapisan atas, peran mahasiswa memang masih dominan (seperti
Asrama Menteng 31), namun pada lapisan bawah, peran pemuda lain (selain
mahasiswa) tak kalah menariknya. Bahkan B. Anderson (1972), melihat Revolusi 45
sebagai Revolusi Pemuda. Setelah ketiga angkatan tersebut, Taufik Abdullah (1972: 4)
masih menambah dengan satu angkatan lagi, yakni Angkatan 66, yang sering disebut
angkatan yang mengoreksi (atau meluruskan) cita-cita bangsa.
Masih soal angkatan, Onghokham menambah dengan satu lagi, yakni Angkatan
57, untuk menyebut pemuda jaman Demokrasi Terpimpin, yang dilingkungi oleh
Konsepsi Presiden Soekarno dan meluasnya organisasi-organisasi mahasiswa partai dan
pemuda-pemuda partai (Onghokham, dalam LP3ES, 1985: 112). Bedanya dengan
Angkatan 66, Angkatan 57 boleh dikatakan berorientasi kepada pemerintah jaman itu,
sedangkan Angkatan 66 dari permulaan melepaskan diri darinya (Onghokham, 1985:
124). Agak dilepaskan dari konteks angkatan, sampai keluarnya NKK, gerakan
mahasiswa masih ditambah lagi dengan Gerakan 1974 (Malari) dan Gerakan 1977/1978
(Fahry Ali, 1985: 8). Setelah NKK, nama gerakan mahasiswa tidak jelas betul. Ada yang
menyebut Gerakan 80-an, atau 90-an.
Sebelum Indonesia merdeka, dapat dicatat bahwa jumlah mahasiswa pribumi
yang mendapatkan pendidikan yang diciptakan Belanda, merupakan kelompok terkecil.
Terutama jika jumlah itu dibandingkan dengan mahasiswa Eropa dan Cina. Belanda
sendiri tidak menciptakan institusi pendidikan sebelum tahun 1920. Tercatat, institusi
pendidikan tinggi pertama didirikan di Bandung pada tahun 1919. Lembaga pendidikan
itu mengkhususkan diri pada bidang teknik. Karenanya dinamakan Sekolah Tinggi
Teknik. Lembaga Pendidikan Tinggi yang disponsori oleh kalangan bisnis Belanda itu
hanya memiliki 28 mahasiswa ketika itu. Dua di antara mereka adalah mahasiswa
Indonesia (Fahry Ali, 1985: 5). Hingga Perang Dunia II terjadi, mahasiswa Indonesia
masih merupakan kelompok minoritas di negaranya. Mayoritas mahasiswa masih
didominasi mahasiswa Eropa dan Cina. Begitu pula dari karangan pengajar dan
instruktur, secara keseluruhan adalah intelektual Belanda (Harsya Bahtiar, seperti
dikutip Fahry Ali, 1985: 6).
Kendati jumlah mereka tidak banyak, para mahasiswa Indonesia
mengembangkan dirinya dalam berbagai organisasi dan kelompok diskusi. Mereka
melkukan kritik-kritik tajam terhadap pemerintah kolonial, baik yang disuarakan
melalui forum-forum resmi maupun mass-media. Penindasan terhadap rakyat setempat
(pribumi) yang dilakukan Belanda, kelompok elite setempat yang menghalangi
perubahan menuju kemajuan dan mencoba menggerakkan masyarakat luas untuk
merencanakan sebuah masyarakat merdeka- Indonesia, merupakan tema-tema yang
disukai kelompok mahasiswa ketika itu. Tugas demikian, tidak saja diemban oleh
mereka yang mengenyam pendidikan tinggi di tanah air, tetapi juga dilakukan oleh
mereka yang belajar di luar negeri, khususnya di negeri Belanda sendiri. Pada awal
tahun 1920-an, mahasiswa Indonesia yang belajar di negara Belanda menghimpun diri
dalam suatu organisasi Perhimpunan Indonesia. Organisasi ini diketuai oleh
Mohammad Hatta, dalam pertemuan Liga Anti Kolonialisme dan Imperialisme di
Brussels, 1927 menyerang Belanda (Fahry Ali, 1985: 8). Apa yang menjadi ciri utama
mahasiswa sebelum Indonesia merdeka adalah bahwa mereka hanya mempunyai satu
dimensi, yaitu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Jika mahasiswa Indonesia angkatan pra-kemerdekaan menunjukan minat politik
yang besar, karena dihadapkan pada kondisi kolonialisme dan berkembangnya
semangat noblesse oblige, suatu privelesse yang disandang mahasiswa untuk
memperjuangkan perbaikan nasib rakyat (Burhan D. Magenda, dalam LP3ES, 1985: 130;
perhatikan juga Fahry Ali, 1985: 9 dan 12), maka mahasiswa post-kemerdekaan
menunjukkan sedikit perhatian terhadap persoalan-persoalan politik (Fahry Ali, 1985:
12). Kegiatan mahasiswa ketika itu, di luar dari kegiatan pendidikan, lebih banyak
difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat rekreatif, seperti olah raga dan
kesenian, dan lain sebagainya. Kelompok minoritas mahasiswa yang menaruh perhatian
pada persoalan-persoalan politik cenderung berusaha untuk mendapatkan beasiswa
dan belajar di Barat (Fahry Ali, 1985: 12).
Kondisi politik pada masa Demokrasi Parlementer yang oligarkis itu tidak
memberikan kesempatan politik kepada beberapa pihak. Termasuk yang tidak
mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam dunia politik, selain mahasiswa
adalah ABRI (Fahry Ali, 1985: 14). Catatan penting dalam kurun waktu ini, adalah
munculnya berbagai organisasi mahasiswa yang bersifat berafiliasi ke partai politik
tertentu. Misalnya HMI (Masyumi), PMII (NU), Sarekat Mahasiswa Muslimin Indonesia
(PSII), Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PERTI), Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah, GMKI (Kristen), PMKRI (Katholik), GMNI (PNI) dan CGMI (Fahry
Ali, 1985: 14-15).
Perkembangan mahasiswa pada masa Demokrasi Terpimpin tidak menunjukkan
perkembangan yang berarti. Hanya saja situasi politik pada masa ini memang cukup
menarik. Fenomena yang menonjol adalah mulai tampilnya ke depan peranan ABRI,
terutama Angkatan Darat, telah terbentuk suatu kondisi kepemimpinan yang kohesif,
yang merupakan kekuatan politik yang kuat. Di samping itu, Soekarno belum berhasil
mengatasi pertentangan-pertentangan ideologis yang menajam saat itu. Dalam kondisi
demikian meletuslah kup yang direncanakan PKI untuk mengambil alih kekuasaan.
Dan peristiwa inilah yang menjadi tonggak munculnya gerakan mahasiswa yang
dipelopori Angkatan 66.
Mengenai Angkatan 66 itu sendiri, banyak hal sudah ditulis. Barangkali diantara
pembaca ada yang sejaman, sehingga ceriteranya sudah masuk ke balung-sunsum. Atau
bagi mahasiswa sekarang, yang waktu itu masih kecil atau belum lahir sekalipun,
lantaran heroiknya peristiwa itu, maka kisah Angkatan 66 pun tak begitu asing. Tetapi
baiklah guna melengkapi deskripsi di atas akan dipaparkan secara singkat tentang
Angkatan 66. Gerakan mahasiswa tahun 1966 dimotori oleh KAMI. KAMI bersama
berbagai kesatuan aksi yang lain mengadakan gerakan aksi turun ke jalan-jalan (Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan berbagai kota besar lainnya) menuntut keadilan
dan kebenaran. Sasaran awal yang dominan adalah pembubaran PKI dan perubahan
sistem politik, yang mencapai puncaknya dengan keluarnya TRITURA dan
SUPERSEMAR. Untuk selanjutnya, kisah heroik Angkatan 66 silahkan membaca
penuturan Yozar Anwar (1980).
Bahwa pada tahun 1966 mahasiswa mengadakan gerakan turun ke jalan, itu tak
ada yang menolak. Namun kalau dikatakan mahasiswa (waktu itu) menempati peran
yang pokok (utama), ada yang meragukan (Parakitri Tahi Simbolon, dalam Prisma
no.12, 1977: 48-56; atau dalam LP3ES, 1985: 149-163. Baca juga komentar Arief Budiman
dan T.B. Simatupang, seperti dikutip Sulastomo, 1989: 81-82). Yang dipersoalkan
sebetulnya adalah, siapakah yang lebih berperan saat itu, ABRI atau Mahasiswa?
Apakah mahasiswa ditunggangi ABRI? Menanggapi polemik itu, jalan tengah
memang ditempuh. Abdul Gafur misalnya menulis demikian:
..... Bahwa dalam perjuangan itu peranan mahasiswa sebagai pressure group
yang meyakinkan sebagai suatu fakta sejarah memang benar, tetapi juga tidak benar
kalau ada anggapan seolah-olah melulu mahasiswa yang berjuang. Mahasiswa tanpa
dukungan ABRI dan seluruh rakyat tidak akan berhasil dalam waktu singkat
mematangkan situasi dan mempercepat tangan Bung Karno untuk menandatangani
naskah Surat Perintah 11 Maret dengan hati yang enggan tetapi tetap ditongkrongi oleh
tiga perwira tinggi ABRI: Amir Mahmud, Basuki Rahmad dan M. Yusuf. Perpaduan
antara moral force dan arm force harus dilihat dari kaitan TRITURA sebagai stategi
perjuangan generasi muda dan Supersemar sebagai satu kemenangan strategi pertama
perjuangan Orde Baru yang hendak digalang melalui proses konstitusionil. Jadi salahlah
tuduhan orang bahwa perjuangan mahasiswa ditunggangi ABRI ........ (LP3ES, 1985:
175-176. Komentar senada, baca juga tanggapan Sulastomo terhadap komentar Arief
Budiman, dalam Sulastomo, 1989: 86).
Demikianlah peran Angkatan 66 yang masih sering dipersoalkan, namun tak
pelak lagi Angkatan 66 memang masih menjadi panutan mahasiswa. Hal ini bisa
dibuktikan dengan masih gencarnya suara yang menentang NKK/BKK, dan
merindukan kembali kejayaan DEMA (baca Prisma, Juni 1987).
Sekarang, bagaimana nasib gerakan mahasiswa pasca 66? Dengan ditandai mulai
tenggangnya hubungan mahasiswa-ABRI dan mahasiswa-pemerintah Orde Baru. Mulai
tahun 1970-an, sasaran kritik mahasiswa tidak lagi ditunjukkan kepada sasaran korektif,
melainkan lebih menuju pada strategi pembangunan Indonesia. Di mata mahasiswa,
lagi dengan semangat 45. Gerakan mahasiswa tahun 74 dan 78, agak kecil perannya
apabila dibanding dengan sebelumnya. Masih untung gerakan tahun 1974. Walaupun ia
mendapat reaksi keras dari pemerintah toh suara mereka didengar pula. Bahkan
Presiden kemudian menghapus jabatan Aspri Presiden. Gerakan tahun 1978 lebih parah
lagi. Di samping tak jelas hasilnya, ia justru yang menimbulkan mala petaka bagi
gerakan mahasiswa sesudahnya. Bukankah lantaran ia, maka NKK keluar?
Demikianlah prestasi gerakan-gerakan mahasiswa sebelum NKK. Lalu
bagaimana keberhasilan gerakan mahasiswa jaman NKK? Ada sedikit kesulitan untuk
memantau secara tepat gerakan mahasiswa antara tahun 80-an sampai 90-an. Terlalu
berjenis-jenis, sehingga sasarannya pun beraneka ragam. Ada soal intern kampus, yang
tiap kampus pun persoalannya tidak sama. Persoalan yang dihadapi mahasiswa ITB
belum sama dengan mahasiswa Sarjana Wiyata, atau dengan mahasiswa UII, atau IKIP
PGRI (Yogyakarta).
Yang bergerak di luar kampus, jenis dan sasarannya juga beraneka ragam. Ada
soal helm, soal porkas, soal petani dan sebagainya. Kenyataan semacam ini bisa
menimbulkan kesan, gerakan mahasiswa ini kurang konsisten, atau juga tidak terarah
secara rapi. Kesan parsial dan lokal tak bisa dihindarkan. Akhirnya juga menimbulkan
kesulitan untuk mengklasifikasi dan memberi tekanan mana yang lebih penting.
Sebagai contoh, Yusuf Arifin menyebutnya sebagai gerakan sosial, apatis politik
dan tidak radikal. Pilihan ini berdasarkan alasan bahwa gerakan sebelumnya yang
berientas politik selalu gagal, hanya menempati posisi subordinate, ditunggangi
kepentingan lain, dan kemudian gagal. Pandangan Yusuf Arifin itu serta merta dibantah
oleh M. Thoriq. Semangatnya adalah radikal yang berslogan anti-antian. Mereka tak
luput dari yel-yel dan poster-poster yang bernada keras seperti: DPR Antek Kapitalis,
Ganyang Rezim Penindas dan sebagainya. Soal keradikalannya dapat dilihat dari kasus
demonstrasi di depan Kedubes Prancis, kasus demonstrasi di jalan Kusumanegara
(Yogyakarta), kasus demonstrasi menentang pemakaian helm di Ujung Pandang
(bahkan ada korban segala). Apakah itu bukan bersifat politis dan radikal?, sanggah M.
Thoriq.
Ada yang memberi kesan bahwa gerakan mahasiswa 80-an bersifat populis
(Arief Hakim, 1991), dengan tanda-tanda membanjirnya gerakan membela petani. Ini
pun segera disanggah oleh M. Thoriq, yang berpendapat bahwa ciri gerakan mahasiswa
membela petani era NKK. M. Thoriq menyebut sebagai penggalan akhir dari
keseluruhan proses gerakan mahasiswa era 80-an.
Lain lagi pandangan Najib. Ia menyebut gerakan mahasiswa era 80-an sebagai
gerakan yang berambisi ide, dengan alasan semakin banyaknya kelompok studi
mahasiswa. Yang ini tidak dibantah oleh M. Thoriq, hanya kontinuitasnya yang
kadang-kadang tidak jalan. Agak sedikit kejam, M. Thoriq menyebutnya bahwa
mayoritas KS yang muncul di tahun 85-88 hanya sebagai mode dan kelatahan saja.
Diskusi perdana yang mereka selenggarakan, akhirnya juga merupakan diskusi
terakhir. Ia menyebut contoh KS Momentum, yang aktivitasnya sekarang tak ada, tetapi
nama itu masih tetap saja disebut dan dipakai. Agak sedikit berbau puitis, M. Thoriq
menyebut sebagai sekali dan sesudah itu mati.
Barangkali pandangan M.Thoriq itu tidak salah, asal tidak dimaksudkan untuk
mengadakan generalisasi. Sebuah contoh sukses adalah Kelompok Studi Indonesia,
yang berhasil menerbitkan buku (hasil sebuah diskusi) antara lain Menegakkan
Demokrasi (1989), yang konon katanya termasuk di antara buku yang pernah dilarang.
Publikasi adalah Aksi (Albert Camus) dan Mengangkat Pena Lebih Tajam dari pada
Mengayun Sebuah Pedang (Voltaire), seperti dikutip oleh KS Indonesia (1989: IV).
Begitulah kondisi gerakan mahasiswa era NKK. Jenisnya beraneka ragam,
sasarannya macam-macam (sesuai dengan jenisnya) kurang bersifat nasional, dan yang
agak menyedihkan, terkesan tak ada kerjasama, sehingga saling salah menyalahkan
antar kelompok kegiatan.
Mengenai hasilnya, harus diakui bahwa memang kurang nampak dibanding
dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Dalam bidang politik, perubahan politik apa
yang dihasilkan? Demikian pula dalam bidang sosial. Apa yang dihasilkan oleh
KPM/KM UGM, yang membela rekannya yang diadili di Yogyakarta (kasus Bonar
Tigor?). Apakah gerakan mereka berhasil mencabut NKK? Apakah larangan tidak
memakai helm dicabut? Ataukah hasilnya tidak secara langsung? Maksudnya, sekarang
hasilnya memang belum tampak. Baru akan tampak di kemudian hari (tahun).
Sehingga,suara mahasiswa itu tetap ditampung, dan akan menjadi bahan pertimbangan
di kemudian hari.
Bila mau disebut yang agak berhasil, barangkali adalah KS dan LSM. Sebut saja
misalnya KS Indonesia dan LSM Girli Code. Walau tidak usah gebyar-gebyar, toh ada
hasilnya. Suara mereka yang disalurkan lewat buku-bukunya adalah hasil nyata,
sehingga pemerintah perlu melarang buku itu. Dan perkampungan pinggir kali Code
(yang tak jadi digusur) adalah hasil dari kelompok Girli Code. Kalau mau disebut lagi,
bisa mereka-mereka yang bergerak di intern kampus.
Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah kegiatan mereka ini tanpa bermakna
sama sekali? Untuk level nasional, memang sulit melacaknya. Agak sedikit samar-samar
bisa disebut, dapat memberi sumbangan pemikiran tertentu (politik) yang diharapkan
dapat menyentuh penentu-penentu kebijakan. Misalnya sumbangan-sumbangan
pemikiran dari KS dan LSM. Pengaruh sumbangan pemikiran itu tidak harus dirasakan
sekarang.
Makna yang paling jelas, adalah melatih kepekaan, terutama kepekaan sosial
dan politik, bagi generasi muda. Bukankah kelompok ini yang akan meneruskan
estaphet kepemimpinan di kelak kemudian tahun? Makna ini menjadi kian berarti
(sangat diharapkan), bila dikaitkan dengan seringnya muncul keluhan sekitar
miskinnya kepekaan sosial politik generasi tua sekarang. Gejala-gejala yang sering
dipakai sebagai bukti kuat, misalnya penggusuran tukang becak, penggusuran tanahtanah petani kecil. Kepekaan sosial-politik ini memang perlu dibina (diberi tempat yang
layak), agar generasi ini tidak menjadi apatis terhadap lingkungannya di kelak
kemudian hari.
Makna lain adalah untuk dirinya sendiri, sebagai persiapan untuk terjun ke
masyarakat kelak. Pengalaman yang mereka peroleh sekarang (dalam KS, LSM, atau
yang lain), sangat bermanfaat bagi dirinya, mencari pekerjaan, atau pengembangan diri
selanjutnya.
Mendekati bagian-bagian akhir dari tulisan ini, walau hanya ala kadarnya (guna
melengkapi tulisan ini) akan dicoba membedah lebih lanjut, mengapa gerakan
mahasiswa sekarang ini terkesan mlempem, dan gaungnya pun terasa samar-samar.
Sebab pertama, kondisi obyektif (terutama sistem politik) sekarang sangat
berbeda dengan kondisi sebelum tahun 1966. Bagaimanapun juga harus diakui bahwa
kondisi saat sekarang setingkat lebih baik dari sebelum Orde Baru. Demikian pula
pemerintah sekarang tampak lebih terbuka (walau memang belum baik). Kehidupan
demokrasi lebih baik setingkat lebih maju), paling tidak mekanisme demokrasinya,
secara konstitusional, lebih berjalan) dibanding dengan masa Demokrasi Terpimpin.
Pemerintah sekarang bukannya tertutup dengan kritik dan koreksi. Kondisi semacam
ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap cara-cara penyampaian kritik. Apalagi harus
diingat, posisi pemerintah Orde Baru (kekuasaan militernya) cukup kuat. Pengaruhnya
terasa di segala sektor. Cara-cara yang dipakai mahasiswa harus berbeda.
Sebab kedua, mahasiswa masih terpakau dengan kegemilangan Angkatan 66.
Masih ingin meneruskan pola-pola lama. Cara-cara yang cenderung keras atau berbau
agitasi. Hasilnya, bisa malah dicurigai, dan tak jarang malah berhadapan dengan ABRI
dan bisa konyol. Sebaiknya, cara-cara yang berbau kekerasan mulai ditinggalkan.
Adakan dialog dengan pihak-pihak yang bersangkutan.
Ketiga, ada kecenderungan cara berpikir sebagian besar mahasiswa mulai sedikit
pragmatis (sesuai dengan alur perkembangan jaman). Mereka berpikir, bersikap,
bertindak serba kongkret dan realistis. Tentang apa yang mereka persiapkan untuk
menghadapi hidup riil di masa depan. Kongkretnya, bagaimana agar ia mudah
memperoleh pekerjaan kelak. Apabila diingat, persaingan mancari pekerjaaan tak
cenderung semakin mudah, tetapi justru semakin ketat dan sulit.
Keempat, lemahnya kehidupan gerakan mahasiswa ekstra universitas juga ikut
berpengaruh. Apa yang dilakukan PMKRI, GMNI, HMI dan sebagainya sekarang?
Memang gerakan-gerakan mahasiswa ini tidak boleh masuk kampus. Tetapi haruskah
mereka menjadi mlempem karenanya? Bukankah di tahun 1966, tokoh-tokoh KAMI
seperti Cosmas Batubara dan sebagainya itu berasal dari gerakan mahasiswa kelompok
ini.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan. Pertama, mengubah keadaan secara revolusioner agaknya masih jauh
dari mungkin. Oleh karena itu bentuk gerakan mahasiswa yang radikal kelihatannya
kurang sesuai. Kedua, mahasiswa harus secara cermat menyadari situasi yang sekarang
sedang berjalan, dan harus secara cermat pula membaca dan mencari peluang.
Kesempatan bagi mahasiswa untuk tampil mamang masih terbuka lebar.
Apalagi bila diingat bahwa mahasiswa adalah bagian dari masyarakat Indonesia (atau
secara lebih sempit bagian dari generasi muda) yang paling potensial dan
keterlibatannya memang sangat diharapkan. Bukankah masa depan itu sebetulnya milik
generasi muda? Tak usah risau dengan berbagai tantangan yang ada. Tak ada generasi
yang dapat menghindarkan diri dari tantangan jamannya. Tambahan pula, setiap jaman
memiliki semangat dan problemnya sendiri. Tinggal bagaimana kejelian mahasiswa
menyadari dan memanfaatkannya.
Sesuai dengan posisi dan peran mahasiswa, yakni bagian dari keluarga besar
para cendekiawan, maka tak ada salahnya mahasiswa lebih mengembangkan olah
pikirnya dari pada potensi lainnya. Tak berarti ini lalu mahasiswa harus tabu dengan
kegiatan-kegiatan praktis di masyarakat. Karena itu kelompok studi atau lembaga
swadaya masyarakat bisa diteruskan. Yang ingin politik praktis, dapat masuk ke
organisasi masyarakat atau partai-partai. Tak usah saling salah-menyalahkan akan
panggilannya masing-masing. Bukankah banyak jalan menuju ke Roma?
D. Penutup
Sekedar catatan akhir, dapatlah dikatakan bahwa, aktivitas mahasiswa setelah
keluarnya NKK memang masih ada. Hanya saja gaungnya tidak sehebat (bila dilihat
Daftar Bacaan
Albatch, Philip. G., Politik dan Mahasiswa (terjm), Gramedia, Jakarta, 1988.
Arief Hakim M., Gerakan Mahasiswa Era 90-an: Dari Elitis ke Populis, Bernas, 10 Mei
1991.
Depdikbud, Himpunan Bahan-bahan tentang Pengembangan dan Pembinaan Mahasiswa di
Lingkungan Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta ,
1982-1983.
Fahry Ali, Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara, Inti sarana Aksara, Jakarta,
1985.
Kelompok Studi Indonesia, Menegakkan Demokrasi, Yayasan Studi Indonesia, Jakarta,
1989.
LP3ES, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, Jakarta, 1985.
Najib Azca M., Gerakan Berbasis atau Gerakan Serba Tanda Seru, Bernas, 13 Mei 1991.
Prisma, No.11 Tahun 1976
Prisma, No.6 Tahun 1987
Railon, Francois, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1985.
Rusli Karim M., Mahasiswa Cendekiawan dan Masa Depan, Alumni, Bandung, 1985.
Sayidiman Suryahadiprojo, Menghadapi Tantangan Masa Depan, Gramedia, Jakarta, 1987.
Soejono Martosewojo, dkk., Mahasiswa 45 Prapatan 10: Pengabdiannya, Patma, Bandung,
1984.
Sulastomo, Hari-hari yang Panjang 1963-1966, CV Haji Masagung, Jakarta, 1989.
Taufik Abdullah, Pemuda dan Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1974.
Thoriq M., Membedah Gerakan Mahasiswa 80-an, Bernas, 31 Mei 1991.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di
Indonesia 1982-1983, Jakarta, 1986.
Yusuf Arifin, Optimisme Semu Terhadap Gerakan Mahasiswa Era 90-an, Bernas, 1
Mei 1991.
Yusuf Arifin, Optimisme Semu Terhadap Gerakan Mahasiswa Era 90-an, Bernas, 18
Mei 1991.
Yozar Anwar, Angkatan 66, Sebuah Catatan Harian Mahasiswa, Sinar Harapan, Jakarta,
1980.