Menggagas “Fiqh Maqashid” Oleh Mohamad Guntur Romli Mahasiswa Filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, untuk korespondensi bisa melalui email: mgromli@yahoo.com/HP: 081319174019 Salah satu pangkal perdebatan dalam syariat adalah hubungannya dengan akidah. Apakah syariat memiliki ‘illat (sebab) atau tidak? Jika ia memiliki ‘illat maka ia bisa didekati dengan penalaran dan didaur-ulang. Jika tidak, maka manusia hanya bekewajiban mempraktikkan saja. Imam Al-Syathibi dalam buku monumentalnya Al-Muwafaqat (2003; 4) merekam perdebatan tersebut. Menurut kalangan Asy’ari yang diwakili Al-Razi hukum Allah tidak memiliki ‘illat seperti halnya af’al-Nya. Sedangkan bagi Mu’tazilah hukum Allah memiliki ‘illat yaitu untuk mengayomi kemaslahatan hamba. Sedangkan Al-Syathibi sendiri menerima pendapat yang mengatakan hukum Allah memiliki ‘illat yang nantinya akan diperluas dalam pembahasan maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan syariat), diturunkan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Izzudin Abd Salam (Qawaid al-Ahkam, 1998, 16) pada hakikatnya (kaidah) sebab merupakan dasar dari validitas hukum dan untuk kemaslahatan hukum itu sendiri (bal al-asbab fi al-haqiqah mawaqit li al-ahkam wa li mashalih al-ahkam). Menurut Jamal al-Banna dalam buku monumentalnya, Nahw Fiqh Jadid, ilmu tawhid dan ilmu kalam juga masuk dalam kategori fiqh akidah. Sedangkan ibadah ritual yang dikenal fiqh al-’ibadah masuk dalam kategori fiqh akidah ini. Jadi, fiqh al-’aqidah meliputi tema-tema akidah dan juga fiqh al-’ibadah. Sedangkan syariat tidak lagi mengurusi masalah-masalah ibadah ritual tetapi mengurusi masalah-masalah dunia, seperti ekonomi, politik, sosial, dan undang-undang. Bagian syariat ini disebut fiqh al-syari’ah. (Al-Banna; 1995, 43) Kita boleh saja tidak setuju dengan klasifikasi Jamal di atas namun perbedaan antara fiqh al-’ibadat dan fiqh al-mu’amalat sangat penting agar antara keduanya tidak tercampur-aduk. Menurut hemat saya, hukum Allah yang memiliki ‘illat, bisa didekati dengan nalar manusia dan berdasarkan kemaslahatan manusia adalah hukum-hukum mu’amalat atau dalam bahasa Jamal, fiqh al-syariah. Sedangkan dalam hukum ‘ibadah upaya penelurusan rasionalitas hukum (ma’quliyah al-hukm) tidak begitu penting karena ibadah diusahakan seirama dengan bunyi teks. Mengutip pendapat Masdar F. Mas’udi dalam masalah mu’amalat, irama teks tidak lagi dominan, tetapi yang dominan adalah irama maslahat. Pendapat (al-qawl) yang unggul bukan hanya memiliki dasar teks tapi juga bisa menjamin kemaslahatan dan menghindar dari kerusakan (al-mafsadah). Selanjutnya, pembaruan fiqh diharapkan membahas masalah mu’amalat secara luas bukan lagi membahas masalah ibadah yang lebih banyak menghiasi karya fiqh klasik. Konsekwensi perubahan orientasi dari ibadah ke mu’malat memberi dampak pada masalah sumber-sumber hukum (al-mashadir al-ahkam). Jika dalam fiqh klasik kita mengenal urutan sumber hukum secara hirarkis dari Al-Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas dll, tetapi menurut Jamal Banna dalam “fiqh baru” sumber hukum Islam ada empat. Pertama akal. Kita memprioritaskan akal karena al-Quran sendiri memprioriaskan akal dengan banyaknya ayat-ayat yang menyuruh pada penggunaan akal dan berpikir. Kedua, sekumpulan nilai yang definitif dalam al-Quran (mandzumah al-qiyam al-hakimah), seperti keadilan, kebebasan berpikir, kemudahan (taysir), taubat dan lain-lain. Ketiga, sunnah yang diartikan lebih luas dari hadist dan sampai saat ini usaha purifikasi (al-tanqiyah) sunnah terus berlangsung dan tidak boleh berhenti. Keempat adalah adat-istiadat (al-’urf) Selain perubahan dasar syariat yang menempatkan akal sebagai faktor primer, syariat juga dilandaskan pada prinsip kemaslahatan manusia, bukan kemaslahatan Allah. Dalam bahasa al-Syathibi (2003, 30), tujuan dari syariat adalah menegakkan kemaslahatan (al-qashd fi al-tasyri’ iqamah al-mashalih). Sedangkan Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya I’lam al-Muwaqqi’in (2002, 5) menjelaskan secara tegas: ...sesungguhnya syariat dibangun di atas hukum dan kemaslahatan manusia di dunia dan akihat. Maka syariat itu seluruhnya berdasarkan pada keadilan, kerahmatan, kemaslahatan, dan kebijaksanaan. Segala persoalan yang bertentangan dengan keadilan, rahmat, kemaslahatan tidak dianggap syariat, karena syariat adalah keadilan Allah di antara hamba-Nya. Penelusuran maslahat ini telah membuka kran rekonstruksi ilmu ushul fiqh yang dirintis oleh al-Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah. Dalam meletakkan dasar-dasar syariat al-Syathibi mengulas beberapa tema sentral seperti perbedaan antara dlaruri-yat, hajiyat, dan tahsinat. Dlaruriyat adalah perkara primer yang menopang kemaslahatan dunia dan akihat. Jika perkara primer ini lenyap maka akan timbul kerusakan, ketimpangan dan kekacuan. Al-Syathibi merumuskan lima kemaslahatan primer, yaitu menjaga agama (hifdz al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), harta (al-mal) dan akal (al-’aql). Sedangkan hajiyat adalah kemaslahatan komplementer yang dibutuhkan sebagai peringan dari beban dan kesulitan dalam pelaksanaan suatu hukum. Misalnya rukhsah dalam masalah-masalah ibadah. Sedangkan tahsinat adalah kemaslahatan suplementer yang susuai dengan kebaikan etika dan adat, seperti kebersihan, keindahan dan lain-lain. Menurut Dr Hasan Hanafi (2002, 98-102) gagasan maqashid al-syari’ah ini harus diperluas ke dalam masyarakat. Tujuan-tujuan syariat harus disatukan dengan agenda umat (ahdaf al-ummah). Agenda umat bisa berangkat dari panca-primer (al-dlaruriyat al-khamsah) yang menjadi saripati syariat Islam. Pertama adalah memelihara kehidupan (hifdz al-nafs) dan kelestarian umat dari ancaman yang datang baik dari dalam negeri ataupun luar negeri. Kedua, menjaga akal (hifdz al-’aql) berarti menggalakkan rasioanalitas, pendidikan dan memerangi kebodohan. Ketiga, menjaga agama (hifz al-din) berarti memberi kebebasan beragama kepada pemeluk agama untuk meyakini dan melaksanan ajaran agamanya. Keempat, menjaga kehormatan (hifdz al-’irdl) adalah menjaga harga diri umat dan negara baik dari penjajahan ataupun tekanan pihak luar. Kelima menjaga harta (hifdz al-mal) adalah melindungi SDA negara dan memanfaatkannya demi kepentingan rakyat. Sedangkan menurut Muhammad Abid al-Jabiri (1995, 67-68) setiap masa memiliki kemaslahatan dan kebutuhan primer tersendiri. Jika para ahli fiqh klasik telah merumuskan pada masa mereka kebutuhan-kebutuhan primer mereka yang kita kenal dalam al-dlaruriyat al-khamsah, maka kebutuhan kita tidak cukup hanya lima kebutuhan primer tersebut. Kita harus mampu menggali dan meletakkan kebutuhan-kebutuhan primer kekinian sebagai maqashid al-syari’ah, seperti hak kebebasan berpendapat, berpolitik, pemilu dan suksesi, hak mendapat pekerjaan, sandang, pangan dan papan, hak mendapat pendidikan, hak pengobatan dan lain-lain. Berangkat dari pembacaan Hasan Hanafi dan Abid Al-Jabiri terhadap gagasan maqashid al-syari’ah versi Al-Syathibi bisa kita lambuhkan di Indonesia. Bagaimana langgam maqashid al-syari’ah seirama dengan cita-cita dan agenda rakyat Indonesia saat ini. Apakah kita bisa meletakkan kebutuhan-kebutuhan primer rakyat Indonesia seperti pemerintah yang bebas KKN, pendidikan, pengentasan krisis ekonomi, perluasan lapangan kerja, penyelesaian konflik, demokratisasi, dan lain-lain menjadi tujuan dari syariat Islam?*