You are on page 1of 3

Menggagas “Fiqh Maqashid”

Buletin Jum'at - 01/11/2004 05:07


Menggagas “Fiqh Maqashid”
Oleh Mohamad Guntur Romli
Mahasiswa Filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, untuk korespondensi bisa
melalui email: mgromli@yahoo.com/HP: 081319174019
Salah satu pangkal perdebatan dalam syariat adalah hubungannya dengan akidah.
Apakah syariat memiliki ‘illat (sebab) atau tidak? Jika ia memiliki ‘illat maka
ia bisa didekati dengan penalaran dan didaur-ulang. Jika tidak, maka manusia
hanya bekewajiban mempraktikkan saja.
Imam Al-Syathibi dalam buku monumentalnya Al-Muwafaqat (2003; 4) merekam
perdebatan tersebut. Menurut kalangan Asy’ari yang diwakili Al-Razi hukum Allah
tidak memiliki ‘illat seperti halnya af’al-Nya. Sedangkan bagi Mu’tazilah hukum
Allah memiliki ‘illat yaitu untuk mengayomi kemaslahatan hamba. Sedangkan
Al-Syathibi sendiri menerima pendapat yang mengatakan hukum Allah memiliki
‘illat yang nantinya akan diperluas dalam pembahasan maqashid al-syari’ah
(tujuan-tujuan syariat), diturunkan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat. Sedangkan menurut Izzudin Abd Salam (Qawaid al-Ahkam, 1998, 16) pada
hakikatnya (kaidah) sebab merupakan dasar dari validitas hukum dan untuk
kemaslahatan hukum itu sendiri (bal al-asbab fi al-haqiqah mawaqit li al-ahkam
wa li mashalih al-ahkam).
Menurut Jamal al-Banna dalam buku monumentalnya, Nahw Fiqh Jadid, ilmu tawhid
dan ilmu kalam juga masuk dalam kategori fiqh akidah. Sedangkan ibadah ritual
yang dikenal fiqh al-’ibadah masuk dalam kategori fiqh akidah ini. Jadi, fiqh
al-’aqidah meliputi tema-tema akidah dan juga fiqh al-’ibadah. Sedangkan syariat
tidak lagi mengurusi masalah-masalah ibadah ritual tetapi mengurusi
masalah-masalah dunia, seperti ekonomi, politik, sosial, dan undang-undang.
Bagian syariat ini disebut fiqh al-syari’ah. (Al-Banna; 1995, 43)
Kita boleh saja tidak setuju dengan klasifikasi Jamal di atas namun perbedaan
antara fiqh al-’ibadat dan fiqh al-mu’amalat sangat penting agar antara keduanya
tidak tercampur-aduk. Menurut hemat saya, hukum Allah yang memiliki ‘illat, bisa
didekati dengan nalar manusia dan berdasarkan kemaslahatan manusia adalah
hukum-hukum mu’amalat atau dalam bahasa Jamal, fiqh al-syariah. Sedangkan dalam
hukum ‘ibadah upaya penelurusan rasionalitas hukum (ma’quliyah al-hukm) tidak
begitu penting karena ibadah diusahakan seirama dengan bunyi teks. Mengutip
pendapat Masdar F. Mas’udi dalam masalah mu’amalat, irama teks tidak lagi
dominan, tetapi yang dominan adalah irama maslahat. Pendapat (al-qawl) yang
unggul bukan hanya memiliki dasar teks tapi juga bisa menjamin kemaslahatan dan
menghindar dari kerusakan (al-mafsadah).
Selanjutnya, pembaruan fiqh diharapkan membahas masalah mu’amalat secara luas
bukan lagi membahas masalah ibadah yang lebih banyak menghiasi karya fiqh
klasik. Konsekwensi perubahan orientasi dari ibadah ke mu’malat memberi dampak
pada masalah sumber-sumber hukum (al-mashadir al-ahkam). Jika dalam fiqh klasik
kita mengenal urutan sumber hukum secara hirarkis dari Al-Quran, Sunnah, Ijma’,
Qiyas dll, tetapi menurut Jamal Banna dalam “fiqh baru” sumber hukum Islam ada
empat. Pertama akal. Kita memprioritaskan akal karena al-Quran sendiri
memprioriaskan akal dengan banyaknya ayat-ayat yang menyuruh pada penggunaan
akal dan berpikir. Kedua, sekumpulan nilai yang definitif dalam al-Quran
(mandzumah al-qiyam al-hakimah), seperti keadilan, kebebasan berpikir, kemudahan
(taysir), taubat dan lain-lain. Ketiga, sunnah yang diartikan lebih luas dari
hadist dan sampai saat ini usaha purifikasi (al-tanqiyah) sunnah terus
berlangsung dan tidak boleh berhenti. Keempat adalah adat-istiadat (al-’urf)
Selain perubahan dasar syariat yang menempatkan akal sebagai faktor primer,
syariat juga dilandaskan pada prinsip kemaslahatan manusia, bukan kemaslahatan
Allah. Dalam bahasa al-Syathibi (2003, 30), tujuan dari syariat adalah
menegakkan kemaslahatan (al-qashd fi al-tasyri’ iqamah al-mashalih). Sedangkan
Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya I’lam al-Muwaqqi’in (2002, 5) menjelaskan
secara tegas: ...sesungguhnya syariat dibangun di atas hukum dan kemaslahatan
manusia di dunia dan akihat. Maka syariat itu seluruhnya berdasarkan pada
keadilan, kerahmatan, kemaslahatan, dan kebijaksanaan. Segala persoalan yang
bertentangan dengan keadilan, rahmat, kemaslahatan tidak dianggap syariat,
karena syariat adalah keadilan Allah di antara hamba-Nya.
Penelusuran maslahat ini telah membuka kran rekonstruksi ilmu ushul fiqh yang
dirintis oleh al-Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah. Dalam
meletakkan dasar-dasar syariat al-Syathibi mengulas beberapa tema sentral
seperti perbedaan antara dlaruri-yat, hajiyat, dan tahsinat. Dlaruriyat adalah
perkara primer yang menopang kemaslahatan dunia dan akihat. Jika perkara primer
ini lenyap maka akan timbul kerusakan, ketimpangan dan kekacuan. Al-Syathibi
merumuskan lima kemaslahatan primer, yaitu menjaga agama (hifdz al-din), jiwa
(al-nafs), keturunan (al-nasl), harta (al-mal) dan akal (al-’aql). Sedangkan
hajiyat adalah kemaslahatan komplementer yang dibutuhkan sebagai peringan dari
beban dan kesulitan dalam pelaksanaan suatu hukum. Misalnya rukhsah dalam
masalah-masalah ibadah. Sedangkan tahsinat adalah kemaslahatan suplementer yang
susuai dengan kebaikan etika dan adat, seperti kebersihan, keindahan dan
lain-lain.
Menurut Dr Hasan Hanafi (2002, 98-102) gagasan maqashid al-syari’ah ini harus
diperluas ke dalam masyarakat. Tujuan-tujuan syariat harus disatukan dengan
agenda umat (ahdaf al-ummah). Agenda umat bisa berangkat dari panca-primer
(al-dlaruriyat al-khamsah) yang menjadi saripati syariat Islam. Pertama adalah
memelihara kehidupan (hifdz al-nafs) dan kelestarian umat dari ancaman yang
datang baik dari dalam negeri ataupun luar negeri. Kedua, menjaga akal (hifdz
al-’aql) berarti menggalakkan rasioanalitas, pendidikan dan memerangi kebodohan.
Ketiga, menjaga agama (hifz al-din) berarti memberi kebebasan beragama kepada
pemeluk agama untuk meyakini dan melaksanan ajaran agamanya. Keempat, menjaga
kehormatan (hifdz al-’irdl) adalah menjaga harga diri umat dan negara baik dari
penjajahan ataupun tekanan pihak luar. Kelima menjaga harta (hifdz al-mal)
adalah melindungi SDA negara dan memanfaatkannya demi kepentingan rakyat.
Sedangkan menurut Muhammad Abid al-Jabiri (1995, 67-68) setiap masa memiliki
kemaslahatan dan kebutuhan primer tersendiri. Jika para ahli fiqh klasik telah
merumuskan pada masa mereka kebutuhan-kebutuhan primer mereka yang kita kenal
dalam al-dlaruriyat al-khamsah, maka kebutuhan kita tidak cukup hanya lima
kebutuhan primer tersebut. Kita harus mampu menggali dan meletakkan
kebutuhan-kebutuhan primer kekinian sebagai maqashid al-syari’ah, seperti hak
kebebasan berpendapat, berpolitik, pemilu dan suksesi, hak mendapat pekerjaan,
sandang, pangan dan papan, hak mendapat pendidikan, hak pengobatan dan
lain-lain.
Berangkat dari pembacaan Hasan Hanafi dan Abid Al-Jabiri terhadap gagasan
maqashid al-syari’ah versi Al-Syathibi bisa kita lambuhkan di Indonesia.
Bagaimana langgam maqashid al-syari’ah seirama dengan cita-cita dan agenda
rakyat Indonesia saat ini. Apakah kita bisa meletakkan kebutuhan-kebutuhan
primer rakyat Indonesia seperti pemerintah yang bebas KKN, pendidikan,
pengentasan krisis ekonomi, perluasan lapangan kerja, penyelesaian konflik,
demokratisasi, dan lain-lain menjadi tujuan dari syariat Islam?*

You might also like