You are on page 1of 37

Page | 1

Kusta Endemis Dalam Keluarga



Pendahuluan
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Salah satu upaya peningkatan kualitas
sumberdaya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan adalah melalui pembangunan
kesehatan. Upaya perbaikan kesehatan antara lain dilakukan melalui pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan pemukiman dan perbaikan
gizimasyarakat. Berbagai upaya pembangunan kesehatan telah di upayakan oleh pemerintah
bersama masyarakat, namun penyakit menular masih menjadimasalah kesehatan masyarakat
termasuk penyakit kusta (Depkes RI, 2005). Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan
endemisitas yang berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98
negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000 penduduk.
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang
sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai
masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada
umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat
keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan
memadai kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat,
keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya
pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang
ditimbulkannya.
Kuman kusta biasanya menyerang saraf tepi kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Penyakit ini merupakan penyakit menular yang sifatnya kronis dan dapat menimbulkan
masalah yang komplek. Penyebab penyakit kusta ialah suatu kuman yang disebut
Mycobaterium leprae. Sumber penularan penyakit ini adalah penderita kusta multi basilet
(MB) atau kusta basah.
Tinjauan pustaka
Definisi Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae yang terjadi pada kulit dan saraf tepi. Manifestasi klinis dari penyakit
Page | 2

ini sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua bentuk klinis yaitu
lepromatosa dan tuberkuloid. Pada penderita kusta tipe lepromatosa menyerang saluran
pernafasan bagian atas dan kelainan kulit berbentuk nodula, papula, makula dan dalam
jumlah banyak. Pada penderita kusta tipe tuberkuloid lesi kulit biasanya tunggal dan jarang,
batas lesi tegas, mati rasa.
11


Etiologi
M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan
oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan
asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat
mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.

Patogenesis
Penyebab penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang berbentuk batang
panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 mikron x 1-8 mikron. Basil ini
berbentuk batang gram positif, tidak bergerak, tidak berspora, dapat tersebar atau dalam
berbagai ukuran bentuk kelompok. Pada pemeriksaan langsung secara mikroskopis, tampak
bentukan khas adanya basil yang mengerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet
of cigars (globi).
12
Basil ini diduga berkapsul tetapi rusak pada pewarnaan menggunakan
karbon fukhsin. Organisme tidak tumbuh pada perbenihan buatan.
13
Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-21 hari
untuk membelah diri dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun.
12,14



Pemeriksaan Klinis Kusta
Inspeksi
Page | 3

Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul, dan tertawa untuk
mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan dikulit di seluruh tubuh diperhatikan,
seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan
kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).
Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dapat menggunakan kapas (rasa raba), jarum
pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi
(rasa suhu).
Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n. Auricularis magnus, n. Ulnaris,
n. Radialis, n. Medianus, n. Peroneus, dan n. Tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang
perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan dan adanya nyeri tekan.
Perhatikan raut muka pasien apakah kesakitan atau tidak saat saraf diraba.
Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi
akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta (Uji
Gunawan).

Pemeriksaan Bakteriologis Kusta
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2. Kulit muka sebaiknya di hindari karna alasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan di
tempat lain.
3. Pemeriksaan ulangan di lakukkan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambahkan
dengan lesi kulit yang baru timbul.
4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae adalah :
Cuping telinga kiri/kanan.
Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain.
5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya di hindari.
6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
Semua pasien yang baru didiagnosis secara kliis sebagai pasien kusta.
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman
resisten terhadap obat.
Semua pasien MB setiap satu tahun sekali.
Page | 4

7. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu Ziehl Neelsen
atau Kinyoun-Gabett.
8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zigzag,
huruf Z, dan setengah/seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan
adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granular, globus, dan clumps.
Untuk pewarnaan kuman kusta (Basil Tahan Asam) sering dipakai metode Ziehls
Neelsen dengan cara :
Sediaan diletakkan di atas rak pewarna dan dituang karbon fukhsin.
Dipanaskan sampai keluar uap (tidak boleh mendidih) biarkan selama 3-5 menit.
Cuci dengan air.
Preparat dimasukkan dalam tabung berisi asam alkohol selama 3-5 detik sampai warna
merah dilepaskan oleh alkohol.
Cucilah dengan air menit.
Preparat ditetesi atau dicelup dalam metilen biru 1% selama - 2 menit.
Cuci dengan air.
Biarkan kering dari air, kemudian preparat dapat diperiksa di bawah mikroskop.
Hasil pembacaan :
BTA (+) : bewarna merah
BTA (-) : bewarna biru








Gambar 1. bakteri Mycobacterium lepra
Untuk penilaian hasil pemeriksaan kuman pada sediaan apus (preparat) digunakan
Indeks Bakteri (Bacterial Index = BI) dan Indeks Morfologi (Morphological Index = MI).
Indeks Bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan apus.
Page | 5

Kegunaan BI adalah untuk membantu menentukan tipe penyakit kusta dan menilai hasil
pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut :
0 Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
+1 Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
+2 Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
+3 Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+4 Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+5 Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+6 Bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk
mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu
menentukan resistensi terhadap obat.
Contoh menghitung IM sebagai berikut :
Lokasi pengambilan Kepadatan Solid Fragmented/Granulated
Daun telinga kiri
Daun telinga kanan
Paha kiri
Bokong kanan
5+
4+
4+
4+
5
6
3
4
95
94
97
96
17+ 18 382


= 4,25+


x 100% = 4,50%

Klasifikasi Kusta
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
Page | 6

Tuberkuloid polar (TT)
Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang
dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala
berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat.
BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4
buah, gangguan sensibilitas ( + ).
Mid Borderline (BB)
Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas
lesi punched out dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan
tidak begitu jelas pada tepi luarnya. Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan
apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
Borderline Lepromatosa (BL)
Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris,
gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).
Lepromatosa polar (LL)
Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat
banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa
hidung, uji Lepromin ( - ).

Penyakit kusta di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe seperti klasifikasi menurut
WHO (1998) yaitu:
a. Tipe Kusta Kering ( PB / Pausi Pasiler )
Kusta tipe PB adalah kusta dengan Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan apus,
yakni tipe I (Indeterminate), TT (Tuberculoid) dan BT (Borderline Tuberculoid)
menurut kriteria Ridley dan Joplin dan hanya mempunyai jumlah lesi 1-5 pada kulit.
Seseorang diklasifikasi sebagai penderita kusta golongan PB apabila:
Mempunyai 1-5 bercak saja pada kulitnya. Bercak itu mirip panu, tetapi tidak gatal, malah
tidak terasa kalau di sentuh. Tidak ada saraf yang tebal atau terganggu, dan BTA negatif.
Atau mempunyai 1-3 bercak pada kulitnya dan/atau maksimum satu saraf yang tebal atau
fungsinya terganggu.
Page | 7



Gambar 2. Kusta Pausbasilar

b. Tipe Kusta Basah ( MB / Multi Basiler )
Kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB (Mid Borderline), BL
(Borderline Lepromatous) dan LL (Lepromatous Leprosy) menurut kriteria Ridley
dan Joplin dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smear positif.
2
Seseorang diklasifikasi sebagai penderita MB kalau dia mempunyai salah satu
ataupun kombinasi dari yang berikut:
Lebih dari 5 bercak di kulit, yang mirip panu tetapi tidak gatal semakin banyak
bercak, semakin tidak terganggu perasaannya
Lebih dari 3 bercak di kulit, kalau disertai 1 saraf yang tebal atau fungsinya
diganggu
Lebih dari 1 saraf yang tebal ataupun fungsinya terganggu
Kelainan kulit mirip alergi, tetapi tidak mendadak dan tidak juga gatal
Infiltrat (penebalan/pembengkakan serta kemerahan) pada kulit, terutama muka
dan daun telinga, yang tidak gatal atau sakit
Benjolan-benjolan seperti jerawat batu tetapi tidak sakit dan tidak gatal
BTA positif (dengan tidak mengidahkan tanda klinis)
Page | 8


Gambar 3. Kusta Multibasilar

Surveilans
Survailans epidemiologi adalah bagian penting dari ilmu epidemiologi khusus
terutama untuk pemberantasan penyakit menular. Definisi survilans adalah penelitian
epidemiologi dari suatu penyakit yang merupakan suatu proses dinamik, melibatkan ilmu
ekologi dari bibit penyakit (agent), pejamu (host), reservoir dan vektor vektor, maupun
mekanisme yang kompleks dari perjalanan infeksi. Kegiatan pokok survailas adalah
Page | 9

(a) Pengumpulan data epidemiologi yang jelas dan teratur
(b) Analisa data yang di peroleh (konsolidasi, evaluasi dan interprestasi dari data tersebut)
(c) Penyebar luasan data yang telah di analisa dengan segera kepada mereka yang
memerlukan informasi tersebut, untuk mengambil tindakan.
Dengan survilans epidemiologi kita dapat mengetahui tentang :
(a) Distribusi dari kasus dan kematian menurut : umur, sex, pekerjaan, waktu dan
sebagaianya
(b) Sumber infeksi dan cara penyebarannya
(c) Keadaan kesehatan lingkungan
(d) Kemungkinan masuknya infeksi di suatu daerah
(e) Perubahan lingkungan pada umumnya

Tehnik pencarian kasus (case finding)
Jika ditinjau dari pemanfaatan, cara penemuan kasus ini sebenarnya merupakan salah
satu langkah penanggulangan keadaan wabah. Tujuan yang dimiliki adalah dalam rangka
menemukan sumber penularan dan atau mencari ada atau tidaknya penderita baru di
masyarakat. Secara umum case finding ini dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu
1. Pencarian kasus aktif (active case finding)
Pada pencarian kasus aktif, cara kerja yang di tempuh pada dasarnya sama dengan
penyaringan. (screening). Bedanya, kelompok masyarakat yang dituju pada case finding
ialah mereka yang dicurigai terkena penyakit
Pada pencarian kasus aktif ini, petugas kesehatan mendatangi daerah yang terkena
wabah untuk mencari sumber penularan atau kasus baru. Pencarian kasus secara aktif ini
ada dua macam yakni :
- Cara telusur kebelakang (backward tracking)
Tujuan utamanya ialah untuk mencari sumber penularan, disini dikumpulkan data
tentang orang-orang yang pernah berhubungan dengan penderita sebelum penderita
tersebut jatuh sakit. Dengan memanfaatkan pengetahuan tentang reservoir penyakit,
masa inkubasi penyakit, cara penularan penyakit, riwayat alamiah perjalanan
penyakit serta gejala-gejala khas penyakit yang sedang mewabah, dapatlah di
tentukan sumber penularan penyakit tersebut.
Page | 10

- Cara telusur kedepan (forward tracking)
Tujuan utamanya ialah untuk mencari kasus baru. Disini dikumpulkan data tentang
orang-orang yang pernah berhubungan dengan penderita setelah penderita tersebut
terserang penyakit. Dengan memanfaatkan pengetahuan tentang masa inkubinasi
penyakit, cara penularan penyakit, riwayat alamiah perkembangan penyakit serta
gejala-gejala khas penyakit yang sedang mewabah, dapatlah ditemukan kasus-kasus
baru penyakit tersebut.
2. Pencarian kasus pasif (pasif case finding)
Pada pencarian kasus yang pasif, pengumpulan data tentang masalah kesehatan tidak
dilakukan secara aktif, melainkan hanya menunggu penderita yang datang berobat ke
satu fasilitas kesehatan saja.

Epidemiologi
Dengan adanya masalah pada penduduk seperti : adanya penyakit menular, penyakit
tidak menular, penyakit deganerasi, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalulintas, bencana
alam, peledakan penduduk dan sebagainya. Maka Omran (ahli epidemiologi tahun 1974)
membuat defenisi tentang epidemiologi sebagai suatu studi mengenai terjadinya dan
distribusi keadaan, kesehatan, penyakit, dan perubahan pada penduduk, begitu juga
determinannya akibat-akibat yang terjadi pada kelompok penduduk.
Menurut Mac Mahon dan Pugh, epidemiologi dapat didefenisiskan sebagaicabang
ilumu yang emmpelajari penyearan penyakit dan faktor-faktor yang menentukan terjadinya
penyakit pada manusia.
Terjadinya penyakit infeksi umumnya mengikuti suatu pola tertentu yang dinamakan
rantai infeksi. Rantai ini dimulai dari bibit penyakit sumber transmisi masuk ke
dalam pejamu (host) penerimaan oleh pejamu.
(a) Bibit penyakit
Yang di maksud disini adalah yang biologik, yaitu bakteri, riketsia, virus, fungus,
protozoa, helmintias.


(b) Sumber
Page | 11

Sebagai sumber dari bibit penyakit, ada banyak macam mulai dari benda, orang,
obyek atau suatu substansi dari mana kuman yang infeksius langsung masuk kedalam
tubuh pejamu, contoh : air, makanan, faeces, sputum, muntahan, binatan.
Reservoir dapat diartikan sama dengan sumber, tapi reservoir sebenarnya adalah suatu
tempat dimana organisme hidup dan berkembang biak. Oleh karena itu reservoir dapat
berupa orang, binatang, tumbuh-tumbuhan atau zat organik. Orang yang menjadi
reservoir kuman dinamakan human carrier.
Ada beberapa macam human carrier, yaitu :
- Incubationary sedang mengalami infeksi
- Convalescent sesudah sembuh dari infeksi
- Chronic infeksi yang menahun

(c) Transmisi
Ada 4 rute penting yang sering dilalui kuman untuk masuk ke dalam tubuh, yaitu :
- Kontak langsung : man to man
- Wahana yang sama : common vehicle
- Airborne : droplet infection
- Artrhopod bone : vector bone
Akhir-akhir ini ada satu rute lagi yang menjad penting yaitu parentral. Artinya masuk
tubuh tidak melalui traktus digestivus, akan tetapi langsung ke dalam darah melalui
suntikan, contoh : hepatitis B dan AIDSA. Secara teoritis malaria juga dapat ditularkan
melalui suntikan.

(d) Masuk kedalam pejamu
Pada transmisi dijelaskan rute atau jalan dari mana kuman mencapai penjamu.
Sekarang bagaimana cara kuman masuk kedalam tubuh pejamu atau host :
Ditelan masuk melalui mulut, juga dinamakan profaecal route. Yaitu
semua infeksi yang disebabkan oleh makanan dan minuman yang tercemar.
Dihirup infeksi yang disebabkan oleh droplet infection seperti tbc
paru
Inokulasi dimasukan melalui jarum suntik, atau gigitan nyamuk.
Transplasental kuman masuk kedalam tubuh janin melalui plasenta seperti
pada rubella (german measles)
Page | 12

(e) Penerimaan oleh pejamu
Ini adalah reaksi tubuh pejamu (host) terhadap masuknya kuman. Reaksi yang dapat
terjadi adalah :
Tidak terjadi infeksi, oleh karena kuman mati, suatu keadaan yang tidak menular.
Infeksi subklinik (inapparent infection), suatu keadaan yang menular
Infeksi klinik yang jelas (apparent infection), suatu keadaan yang jelas menular.

Epidemiologi Kusta
Distribusi dan Frekuensi Menurut Jenis Kelamin
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak terkena
dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1,
12
kecuali di Afrika dimana wanita
lebih banyak daripada laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan,
serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.
2

Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria Naibaho (2001) di Rumah Sakit Kusta Pulau
Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta, dengan proporsi
penderita laki-laki 61,10% dan penderita perempuan 38,90%.
8
Hasil penelitian yang
dilakukan Nurlaya Hutahayan (2008) di Rumah Sakit Kusta Hutasalem Laguboti terdapat 125
penderita kusta, dengan proporsi penderita laki-laki 58,40% dan penderita perempuan
41,60%.
9



Laki-laki Perempuan
R.S Kusta
Pulau Sicanang
61,10 % 38,9 %
R.S Kusta
Hutasalem
Laguboti
58,40 % 41,60%
Tabel 1. Distribusi dan frekuensi kusta

Distribusi Penyakit Kusta Menurut Geografi
Page | 13

Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di dunia yang terlapor di WHO pada
awal tahun 2011 terlihat pada peta berikut.
1

Gambar 4. Peta data kasus baru kusta dari WHO pada awal Januari 2011.
1


Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075. Dari
jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (160.132), diikuti regional
Amerika (36.832), regional Afrika (12.673), dan sisanya berada di regional lain di dunia.
1


Tabel 2. Situasi kusta menurut regional WHO pada awal tahun 2011 (di luar regional Eropa).
1


Sementara itu di Regional Asia Tenggara distribusi kasus kusta bervariasi berdasarkan
penemuan kasus baru dan prevalensi seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.
1

Page | 14


Tabel 3. Situasi kusta di wilayah WHO-SEARO pada tahun 2011.
1

Distribusi Penyakit Kusta Menurut Faktor Manusia
Distribusi berdasarkan faktor manusia dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1

Etnik atau suku. Dalam suatu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya,
didapatkan bahwa faktor etnik mempengaruhi distribusi tipe kusta. Di Myanmar kejadian
kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India.
Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, kejadian kusta lepromatosa
lebih banyak pada etnik Tiongkok dibandingkan etnik Melayu atau India.
Faktor sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, hal
ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi,
maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Kasus kusta yang masuk dari
negara lain ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonominya tinggi.
Distribusi menurut umur. Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta
menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena
pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit
sering terkait pada umur saat diketemukan dari pada saat timbulnya penyakit. Pada
penyakit kronik seperti kusta, angka prevalensi penyakit berdasarkan kelompok umur
tidak menggambarkan risiko kelompok umur tertentu untuk terkena penyakit. Kusta
diketahui terjadi pada semua usia berkisar antara bayi sampai usia lanjut (3 minggu
sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif.
Page | 15

Distribusi menurut jenis kelamin. Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan laporan, sebagian besar negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika
menunjukkan bahwa pria lebih banyak terserang dari pada wanita. Rendahnya kejadian
kusta pada wanita kemungkinan karena faktor lingkungan dan sosial budaya. Pada
kebudayaan tertentu akses perempuan ke layanan kesehatan sangat terbatas.

Distribusi Penyakit Kusta Menurut Waktu
Seperti terlihat pada tabel di bawah (tabel 3), ada 17 negara yang melaporkan 1000
atau lebih kasus baru selama tahun 2011. Delapan belas negara ini memiliki kontribusi 94%
dari seluruh kasus baru di dunia. Pada tahun ini sudah terbagi dua yaitu Sudan dan Sudan
Selatan. Dari tabel ini terlihat bahwa secara global terjadi penurunan penemuan kasus baru,
akan tetapi beberapa negara seperti India, Indonesia, Myanmar, dan Srilanka menunjukkan
peningkatan deteksi kasus baru.
1


Tabel 4. Penemuan kasus baru pada 17 negara yang melaporkan >1000 kasus selama tahun 2011
dibandingkan dengan tahun 2004 sampai dengan 2010.
1

Page | 16

Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan
dan social budaya. Pada pkebudayaan tertentu akses perempuan ke layanan kesehatan sangat
terbatas. Faktor-faktor yang menentukan terjadinya kusta :
1) Penyebab
Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae, untuk pertama kali ditemukan
oleh G.H.Armauer Hansen pada tahun 1873. M.leprae hidup intraseluler dan mempunyai
afinitas yang besar pada sel saraf (schwan cell) dan sel dari sistem retikulo endothelial.
Waktu pembelahannya sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia
(dalam kondisi tropis) kuman kusta dari secret nasal dapat bertahan sampai 9 hari.
Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 27
0
- 30
0
C.
2) Sumber penularan
Sampai saat inihanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber penularan
walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpase dan pada telapak kaki tikus
yang tidak mempunyai kelenjar thymus (athymic nude mouse).
3) Cara keluar dari penjamu
Kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Telah terbukti bahwa
saluran napas bagan atas dari pasien tipe lepromatosa merupakan sumber kuman.
4) Cara penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Akan tetapi dapat juga
bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M.leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh
pasien dan masuk kedalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi
dengan cara kontak yang lama dengan pasien. Pasien yang sudah minum obat MDT
tidak menjadi sumber penularan ke orang lain.
5) Cara masuk kedalam penjamu
Menurut teori cara masuknya kuman kedalam tubuh adalah melalui salauran
pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit.
6) Penjamu (host)
Hanya sedikit orang yang terjangkit kusta setelah kontak dengan pasien kusta, hal ini
disebabkan adanya kekebalan tubuh. M.leprae termasuk kuman obligat intraselular
sehingga sistem kekebalan yang berperan adalah sistem kekebalan seluler. Faktor
fisiologi seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan mulnutrisi dapat
meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.
Sebagian besar 95% manusia kebal terhadap kusta, hanya sebagian kecil yang dapat
ditulari (5%).
Page | 17

Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30%
yang menjadi sakit.
Seorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam salah satu dari tiga kelompok
berikut ini , yaitu:
Pejamu yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi merupakan eklompok terbesar yang
telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.
Penjamu yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila menderita
penyakit kusta biasanya tipe PB.
Penjamu yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang merupakan
kelompok terkecil, bila menderita kusta biasanya tipe MB.

Masa inkubasi
Berkisar antara 9 bulan 20 tahun
Rata-rata 4 tahun untuk tipe T dan dua kali lebih lama untuk tipe L
Jarang di temukan pada anak kurang dari 3 tahun
Paling muda di temukan pada balita usia 2,5 tahun
Kerentanan dan kekebalan
Tipe penyakit kusta di tergantung pada kemampuan tubuh untuk membentuk kekebalan
cell mediated secara efektif
Tes lepromin (penyuntikan M.Leprae yang telah mati ke dalam kulit) reaksi Mitsuda
(terbentuk atau tidak indurasi dalam 28 hari setelah penyuntikan) sebagai tanda imunitas
Orang dewasa normal : negatif pada tipe L dan positif pada tipe T
WHO : tes lepromin mempunyai nilai diagnosis yang terbatas maka dianjurkan agar
membatasi hanya untuk tujuan penelitian.
Angka positif meningkat seiring bertambahnya usia
Penularan sering terjadi ditandai dengan : tingginya transformasi limfosit yang spesifik
dan terbentuknya Ab yang spesifik
Deteksi Dini
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik
dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih,
Page | 18

asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat
menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari
penyakit tersebut. Secara umum, tanda-tanda itu adalah :
Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan
banyak.
Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus
seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan
mengkilat.
Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit
Alis rambut rontok
Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa)
Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :
Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
Anoreksia.
Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
Cephalgia.
Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.
Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan hepatospleenomegali.
Neuritis.
Pengobatan
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil
sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai sejak 1948 dan di
Indonesia digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh BROWN dan
HOGERZEIL, dan rifampisin sejak tahun 1970. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3
obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin, minosiklin dan
klaritomisin.
Untuk mencegah resistensi pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multi drug
treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971. Pada
Page | 19

saat ini ada berbagai macam MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai rekomendasi
WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang paling
dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat anti kusta yang paling
banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan penderita yang ada di negara
berkembang dengan sosial ekonomi rendah.
3

Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resisten,
memperpendek masa pengobatan, mempercepat pemutusan mata rantai penularan. Untuk
menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain:
3

- Efek terapeutik obat
- Efek samping obat
- Ketersediaan obat
- Harga obat
- Kemungkinan penerapannya

DDS (diaminodifenil sulfon)
Tentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan sebagai
monoterapi. Dengan adanya pembuktian resistensi tersebut berubahlah pola berpikir dan
tindakan kemoterapi kusta dari monoterapi ke MDT.
3

Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relaps sensitif
(persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Secara klinis, bakterioskopik,
histopatologik dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru
dan bakterioskopik postif kembali. Tetapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan
inokulasi pada mencit ternyata M.leprae masih sensitive terhadap DDS. M.leprae yang
semula dorman, sleeping atau persisten, bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan
sebelumnya, kuman dorman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun. Pada relaps
resisten penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang
ditentukan tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama. Dengan gejala klinis,
bakterioskopik dan histopatologik yang khas, dapat dibuktikan dengan pencobaan
pengobatan dan inokulasi pada mencit, bahwa M.leprae resisten terhadap DDS. Cara
pembuktiannya adalah dengan percobaan pengobatan dengan DDS 100 mg sehari selama 3
bulan sampai 6 bulan disertai pengamatan secara klinis, bakterioskopik dan histopatologik.
Page | 20

Apabila fasilitas mengizinkan, dapat ditentukan gradasi resistensinya dari yang rendah,
sedang sampai tinggi.
3

Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pausibasilar oleh
karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative singkat. Resitensi terhadap DDS
dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer terjadi bila orang ditulari oleh M.leprae
yang telah resisten dan masifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL)
bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan
dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat
dipakai lagi.

Resistensi sekunder dapat terjadi oleh karena:
3

- Monoterapi DDS
- Dosis terlalu rendah
- Minum obat tidak teratur
- Minum obat tidak adekuat baik dosis maupun lama pemberiannya
- Pengobatan terlalu lama setelah 4-24 tahun

Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,
leukopenia, insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik,
hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.
3

Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan
dosis 10mg/kgbb; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan
sebagai monoterapi oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada
pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2
minggu mengingat efek sampingnya.
3

Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu like syndrome dan erupsi kulit.
3


Klofazimin (lamprene)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh BROWN dan
HOOGERZEIL. Dosis sebagai anti kusta ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari
atau 3x100 mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga dapat dipakai
Page | 21

pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200mg-300mg/hari namun awitan kerja
baru timbul setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun
1982.
Efek sampingnya ialah warna merah kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan
pada sklera sehingga mirip ikterus apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan masalah
dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin adalah zat
warna dan dideposit pertama pada sel sistem retikuloendotelial, mukosa, dan kulit.
Pigementasi bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Efek
samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi yakni nyeri abdomen, nausea, diare,
anoreksia dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.
3

Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kgbb setiap hari, dan untuk Indonesia obat ini tidak atau
jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat
minimalnya sukar ditentukan.
3


Kecacatan Kusta
Patogenesis Kecacatan
M. leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terdapat pada sel magrofag di
sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel schwann di jaringan syaraf. Kuman
masuk kedalam tubuh, maka tubuh akan berreaksi mengeluarkan magrofak (Amirudin et al.,
2003).
M. leprae dapat mengakibatkan kerusakan syaraf sensori, otonom, dan motorik.
Pada syaraf sensori akan terjadi anastesi sehingga terjadi luka tusuk, luka sayat, dan luka
bakar. Pada saraf otonom akan terjadi kekeringan kulit yang dapat mengakibatkan kulit
mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder. Pada syaraf motorik akan terjadi
paralisis sehingga terjadi deformitas sendi (Wisnu dan Hadilukito, 2003).
Kecacatan akibat kerusakan syaraf tepi dapat dibagi menjadi tiga tahap (Wisnu dan
Hadilukito, 2003), yaitu :
a. Tahap I. Pada tahap ini terjadi kelainan pada syaraf, bebentuk penebalan pada syaraf,
nyeri tanpa ganguan fungsi gerak, namun telah terjadi ganguan sensorik.
b. Tahap II. Pada tahap ini terjadi kerusakan syaraf, timbul paralisis tidak lengkap atau
paralisis awal termasuk pada otot kelopak mata, otot jari tangan, dan otot kaki. Pada
Page | 22

stadium ini masih dapat terjadi pemulihan kekuatan otot. Bila berlanjut, dapat terjadi luka
di mata, tangan, kaki dan kekakuan sendi.
c. Tahap III. Pada tahap ini terjadi penghancuran saraf kemudian kelumpuhan akan
menetap. Pada stadium ini dapat terjadi infeksi yang dapat mengakibatkan kerusakan
tulang dan kehilangan penglihatan.

Sensorik Otonom Motorik


- Diagnosis



- Pengobatan
Anestesi Kekeringan Paralisis




- Pendidikan
- pengetahuan
- Perawatan diri
- Pekerjaan Kulit kering dan pecah-pecah Gangguan
di tangan dan kaki Fisiologi

CEDERA
- Memar
- Nekrosis tekanan
- Luka tusuk
- Luka sayat, lepuh
- Luka bakar
- Dislokasi Sendi

Kontraktur

Infeksi Sekunder Ulserasi Deformitas Sendi
Menetap



Peradangan sel Sikatriks
Distorsi





Peradangan tulang Deformitas & Tekanan

Disabilitas Abnormal

Kehilangan Ulserasi Berulang

Jaringan



Tabel 5. Patogenesis kecacatan dari Wisnu dan Hadilukito (2003)




Page | 23

Batasan Cacat Kusta
Menurut WHO (1980) batasan istilah cacat kusta adalah sebagai berikut: (Wisnu
dan Hadilukito, 2003)
a. Impairment. Segala kehilangan atau abnormalitas struktur dan fungsi yang bersifat
psikologik, fisiologik, atau anatomik.
b. Disability. Segala keterbatasan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam
batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia.
c. Handicap. Kemunduran pada individu yang membatasi atau menghalangi penyelesaian
tugas normal yang bergantung pada umur, jenis kelamin, dan faktor sosial budaya.
Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi, dan
budaya.
d. Deformity. Terjadinya kelainan struktur anatomis.
e. Dehabilitation. Merupakan proses penderita kusta kehilangan status sosial, sehingga
terisolasi dari masyarakat dan teman-temannya.
f. Destitution. Dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh dari seluruh
masyarakat.

Jenis cacat Kusta

Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok
(Wisnu dan Hadilukito, 2003) yaitu:
a. Cacat primer. Pada kelompok cacat ini disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit,
terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap
M. leprae.

b. Cacat Sekunder. Cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat kerusakan
syaraf sensorik, motorik, dan otonom.

Derajat Cacat Kusta

Terjadinya cacat pada penderita kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi syaraf tepi,
baik karena kuman kusta mupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan
reaksi kusta, kerusakan tersebut meliputi (Depkes RI, 2005):
a. Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa

(anastesi). Akibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka.
Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip
Page | 24

sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat menyebabkan
infeksi mata dan akibatnya kebutaan.
b. Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya
mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok ( claw hand/ claw toes ) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendinya.
Bila terjadi kelemahan/ kekakuan pada mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan
(lagoptalmus).
c. Kerusakan fungsi otonom

Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah. Pada
umumnya apabila akibat kerusakan fungsi saraf tidak ditangani secara tepat dan cepat
maka akan terjadi ke tingkat yang lebih berat.

Tujuan pencegahan cacat adalah jangan sampai ada cacat yang timbul atau
bertambah berat.

Tingkat kecacatan
Tingkat Mata Tangan / Kaki
0
Tidak ada kelainan pada mata
akibat kusta, penglihatan masih
normal
Tidak ada anastesi, tidak ada cacat
yang kelihatan akibat kusta
1
Ada kelainan mata akibat kusta.
Penglihatan kurang terang (masih
dapat menghitung jari pada jarak 6
meter)
Ada anastesi tetapi tidak cacat /
ada cacat / kerusakan yang
kelihatan)
2
Penglihatan sangat kurang (tidak
dapat menghitung dalam jarak 6
meter)
Ada cacat / kerusakan kelihatan
Tabel 7. Tingkat cacat pada penderita kusta
Sumber : Depkes RI 2005.




Page | 25

Program Pokok Puskesmas
Semua kegiatan program pokok yang dilaksanakan di Puskesmas dikembangkan
berdasarkan program pokok pelayanan kesehatan dasar seperti yang dianjurkan oleh WHO,
yang dikenal sebagai basic seven WHO. Basic Seven tersebut terdiri dari MCHC (Maternal
and Child Health Care), MC (Medical Care), ES (Environmental Sanitation), HE (Health
Education) untuk kelompok-kelompok masyarakat, Simple Laboratory (Lab. Sederhana),
CDC (Communicable Disease Control), dan Simple Statistic (recording/reporting atau
pencatatan dan pelaporan). Dari ke-12 program pokok Puskesmas, basic seven WHO harus
lebih diprioritaskan untuk dikembangkan sesuai dengan masalah kesehatan masyarakat yang
potensial berkembang di wilayah kerjanya, kemampuan sumber daya manusia (staf) yang
dimiliki Puskemas, dukungan sarana/prasarana yang tersedia di Puskesmas, dan peran serta
masyarakat.
4

Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh (comprehensive health
care services) kepada seluruh masyarakat di wilayah kerjanya, Puskesmas menjalankan
beberapa usaha pokok (basic health care services, atau public health essential) yang meliputi
program:
4

1) Promosi kesehatan
Melakukan promosi kesehatan terhadap kasus penyakit kepada masyarakat.
Melakukan penyuluhan terhadap kasus penyakit tertentu, seperti : Kesehatan
Reproduksi Remaja, Sex Bebas dan Narkoba.

2) Kesehatan lingkungan.
Menggalakkan perilaku hidup bersih dan sehat dengan kegiatan antara lain :
Melaksanakan inspeksi sanitasi kesekolah-sekolah sarana air bersih, kamar
mandi/WC, tempat-tempat pengelolaan makanan atau minuman, pembuangan
sampah.
Pengawasan dan pemberian pada kelompok masyarakat mengenai pemakai air,
tempat pengelolaan makanan atau minuman.
Pembinaan tempat tempat umum.



Page | 26

3) Pemberantasan Penyakit Menular (P2M)
Di berbagai wilayah di Indonesia terdapat perbedaan tingkat endemisitas dan jenis
penyakit menular. Tingkat endemisitas penyakit menular sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan (fisik, sosial, ekonomi) dan perilaku masyarakatnya.
4
Tujuan P2M adalah menemukan kasus penyakit menular sedini mungkin, dan
mengurangi berbagai faktor risiko lingkungan masyarakat yang memudahkan terjadinya
penyebaran penyakit menular di suatu wilayah, memberikan proteksi khusus kepada
kelompok masyarakat tertentu agar terhindar dari penularan penyakit (misalnya:
imunisasi).
4
Sasaran dalam program ini adalah ibu hamil, balita, dan anak-anak untuk kegiatan
imunisasi. Sasaran sekunder adalah lingkungan pemukiman masyarakat. Untuk
pemberantasan penyakit menular tertentu, kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang
berperilaku risiko tinggi juga perlu dijadikan sasaran kegiatan P2M.
4
Ruang lingkup kegiatan P2M adalah mencakup surveilan epidemiologi, imunisasi,
dan pemberantasan vektor. Surveilan epidemiologi adalah menemukan kasus penyakit
menular sedini mungkin. Kegiatannya ada dua jenis, yaitu Active Case Detection (ACD)
dan Passive Case Detection (PCD). Kegiatannya meliputi empat cara pengembangan
sistem pencatatan dan pelaporan rutin, sistem pencatatan dan pelaporan di daerah
sentinel, survei khusus untuk penyakit menular tertentu, dan investigasi kasus jika terjadi
ledakan penyakit menular (KLB/out break).
4

4) Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) adalah alat
manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA disuatu wilayah kerja secara
terus menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat. Program KIA
yang dimaksud meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan
komplikasi kebidanan, keluarga berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan
komplikasi, bayi, dan balita.
Dengan manajemen PWS KIA diharapkan cakupan pelayanan dapat menjangkau
seluruh sasaran di suatu wilayah kerja sehingga kasus dengan risiko/komplikasi
kebidanan dapat ditemukan sedini mungkin untuk dapat memperoleh penanganan yang
memadai.
Penyajian PWS KIA juga dapat dipakai sebagai alat motivasi, informasi dan
komunikasi kepada sektor terkait, khususnya aparat setempat yang berperan dalam
Page | 27

pendataan dan penggerakan sasaran maupun membantu dalam memecahkan masalah non
teknis misalnya: bumil KEK, rujukan kasus dengan risiko.
Pelaksanaan PWS KIA baru berarti bila dilengkapi dengan tindak lanjut berupa
perbaikan dalam pelaksanaan pelayanan KIA. PWS KIA dikembangkan untuk
intensifikasi manajemen program. Walaupun demikian, hasil rekapitulasinya di tingkat
puskesmas dan kabupaten dapat dipakai untuk menentukan puskesmas dan
desa/kelurahan yang rawan. Demikian pula rekapitulasi PWS KIA di tingkat propinsi
dapat dipakai untuk menentukan kabupaten yang rawan.

5) Keluarga Berencana (KB)
Tujuan dari dari keluarga berencana adalah
Berupaya menurunkan angka kematian ibu bersalin, angka kematian bayi dan angka
kematian balita dengan meningkatkan cakupan K1, K4 serta persalinan Nakes serta
imunisasi pada bayi.
Pelayanan deteksi dan stimulasi dini tumbuh kembang balita Melaksanakan Rujukan
masalah kesehatan ibu dan anak serta pelayanan Akseptor KB dengan masalahnya

6) Peningkatan gizi.
Masalah gizi masih cukup rawan di beberapa wilayah di Indonesia terutama di
wilayah pemukiman kumuh di daerah perkotaan. Wilayah yang sering dilanda musim
kering biasanya mengalami masalah gizi. Puskesmas harus mengatasi masalah gizi,
khususnya pada kelompok ibu hamil dan balita.
4
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan status gizi masyarakat melalui
usaha pemantauan status gizi kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai risiko
tinggi (ibu hamil dan balita), pemberian makanan tambahan (PMT) baik yang bersifat
penyuluhan maupun pemulihan.
4
Sasaran dalam program ini adalah ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak yang
berumur di bawah lima tahun. penduduk yang tinggal di daerah rawan pengan perlu
mendapatkan perhatian Puskesmas.
4
Ruang lingkup kegiatan pada program ini adalah menimbang berat badan balita untuk
memantau pertumbuhan anak (KMS), pemeriksaan Hb dan berat badan ibu hamil secara
rutin, pemberian makanan tambahan (PMT) untuk balita kurang gizi, pemberian
penyuluhan gizi kepada masyarakat, dan pembagian vitamin A untuk bayi 2x setahun,
Page | 28

suplemen tablet besi untuk ibu haml yang datang ke Puskesmas untuk ANC dan
pemberian obat cacing untuk anak yang kurang gizi karena gangguan parasit cacing.
4

7) Pengobatan
Mendapatkan diagnosa sedini mungkin sangat berguna untuk dapat melakukan
tindakan pengobatan, perawatan dan jika diperlukan juga upaya rujukan dan rehabilitasi

8) Perawatan Kesehatan Masyarakat/Public Health Nursing (PHN)
Tujuan dari program ini adalah untuk memberikan pelayanan perawatan secara
menyeluruh (comprehensive health care) kepada pasien dan keluarganya di rumah pasien,
memberikan konseling kepada anggota keluarga untuk mengenali kebutuhan
kesehatannya sendiri dan cara-cara penanggulangannya disesuaikan dengan batas-batas
kemampuan mereka, dan menunjang program kesehatan lainnya dalam usaha pencegahan
penyakit, peningkatan dan pemulihan kesehatan individu dan keluarganya.
4
Sasaran program ini adalah kepada kelompok masyarakat dengan risiko tinggi dan
penderita penyakit kronis. Misalnya seperti ibu hamil dengan risiko tinggi, ibu masa
nifas, anak-anak yang kekurangan gizi, dan pasien dengan penyakit kronis yang
memerlukan perawatan kesehatan di rumah. Lingkungan fisik rumah tangga juga dapat
dijadikan sasaran program PHN, termasuk panti-panti asuhan juga merupakan sasaran
pembinaan program.
4
Ruang lingkup kegiatan program ini adalah melaksanakan perawatan kesehatan
perorangan, keluargam dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Semua kegiatannya
dilakukan di luar gedung Puskesmas yaitu di tingkat rumah tangga. Misalnya pertolongan
persalinan, perawatan penyakit kronis, peningkatan sanitasi lingkungan yang dilakukan di
rumah-rumah penduduk sasaran. Pembinaan panti asuhan adalah salah satu model
pendekatan untuk melaksanakan PHN.
4


Selain beberapa program pokok dari puskesmas ada juga beberapa program
pengembangan pelayanan kesehatan Puskesmas yaitu :
1. Usaha Kesehatan Sekolah, adalah pembinaan kesehatan masyarakat yang dilakukan
petugas Puskesmas di sekolah-sekolah (SD,SMP dan SMP) diwilayah kerja Puskesmas
2. Kesehatan Olah Raga adalah semua bentuk kegiatan yang menerapkan ilmu pengetahuan
fisik untuk meningkatkan kesegaran jasmani masyarakat, naik atlet maupun masyarakat
Page | 29

umum. Misalnya pembinaan dan pemeriksaan kesegaran jasmani anak sekolah dan
kelompok masyarakat yang dilakukan puskesmas di luar gedung
3. Perawatan Kesehatan Masyarakat, adalah program pelayanan penanganan kasus tertentu
dari kunjungan puskesmas akan ditindak lanjuti atau dikunjungi ketempat tinggalnya
untuk dilakukan asuhan keperawatan induvidu dan asuhan keperawatan
keluarganya. Misalnya kasus gizi kurang penderita ISPA/Pneumonia
4. Kesehatan Kerja, adalah program pelayanan kesehatan kerja puskesmas yang ditujuhkan
untuk masyarakat pekerja informal maupun formal diwilayah kerja puskesmas dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit serta kecelakaan yang berkaitan dengan
pekerjaan dan lingkungan kerja. Misalnya pemeriksaan secara berkala di tempat kerja
oleh petugas puskesmas
5. Kesehatan Gigi dan Mulut, adalah program pelayanan kesehatan gizi dan mulut yang
dilakukan Puskesmas kepada masyarakat baik didalam maupun diluar gedung (mengatasi
kelainan atau penyakit ronggo mulut dan gizi yang merupakan salah satu penyakit yang
terbanyak di jumpai di Puskesmas
6. Kesehatan Jiwa, adalah program pelayanan kesehatan jiwa yang dilaksanakan oleh
tenaga Puskesmas dengan didukung oleh peran serta masyarakat, dalam rangka mencapai
derajat kesehatan jiwa masyarakat yang optimal melalui kegiatan pengenalan/deteksi dini
gangguan jiwa, pertolongan pertama gangguan jiwa dan konseling jiwa. Sehat jiwa
adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat
menerima orang lain sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri
sendiri dan orang lain. Misalnya ada konseling jiwa di Puskesmas.
7. Kesehatan Mata adalah program pelayanan kesehatan mata terutama pemeliharaan
kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) dibidang mata dan pencegahan
kebutaan oleh tenaga kesehatan Puskesmas dan didukung oleh peran serta aktif
masyarakat. Misalnya upaya penanggulangan gangguan refraksi pada anak sekolah.
8. Kesehatan Usia Lanjut, adalah program pelayanan kesehatan usia lanjut atau upaya
kesehatan khusus yang dilaksanakan oleh tenaga Puskesmas dengan dukungan peran
serta aktif masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat usia
lanjut. Misalnya pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi dini penyakit degeneratif,
kardiovaskuler seperti : diabetes Melitus, Hipertensi dan Osteoporosis pada kelompok
masyarakat usia lanjut.
9. Pembinaan Pengobatan Tradisional, Adalah program pembinaan terhadap pelayanan
pengobatan tradisional, pengobat tradisional dan cara pengobatan tradisional. Yang
Page | 30

dimaksud pengobatan tradisional adalah pengobatan yang dilakukan secara turun
temurun, baik yang menggunakan herbal (jamu), alat (tusuk jarum, juru sunat) maupun
keterampilan (pijat, patah tulang).
10. Kesehatan haji adalah program pelayanan kesehatan untuk calon dan jemaah haji yang
meliputi pemeriksaan kesehatan, pembinaan kebugaran dan pemantauan kesehatan
jemaah yang kembali (pulang) dari menaikan ibadah haji.
11. Dan beberapa upaya kesehatan pengembangan lainnya yang spesifik lokal yang
dikembangkan di Puskesmas dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota.


Tingkat Pencegahan Penyakit
Konsep yang paling penting mengenai pencegahan penyakit pertama kali
dipopulerkan oleh Leavell dan Clark, sehingga disebut Leavells levels. Berdasarkan konsep
ini, semua kegiatan yang dilakukan para klinisi dan profesional kesehatan lainnya berakhir
dengan tujuan untuk mencegah. Tingkat pencegahan penyakit terbagi dalam tiga tahap.
Faktor yang akan dicegah tergantung kepada tingkat kesehatan atau tingkat penyakit individu
yang sedang mengalami perawatan pencegahan.
5

Pencegahan primer adalah untuk mencegah proses penyakit terjadi dengan
mengeliminasi penyebab dari suatu penyakit atau dengan meningkatkan pertahanan tubuh
terhadap penyakit tersebut, dengan kata lain mencegah awitan suatu penyakit atau cedera
selama masa prapatogenesis (sebelum suatu proses penyakit dimulai). Pencegahan sekunder
adalah untuk menginterupsi proses penyakit sebelum menjadi simtomatik, yaitu diagnosis
dini dan pengobatan segera suatu penyakit atau cedera untuk membatasi disabilitas dan
mencegah patogenesis penyakit lebih parah. Pencegahan tersier adalah untuk membatasi
komplikasi fisik dan sosial pada penyakit yang sudah simtomatik. Tingkat pencegahan mana
yang akan dilakukan bergantung kepada kondisi tertentu.
5,6

Pencegahan Penyakit Menular
Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular mencakup pendekatan primer,
sekunder, dan tersier. Pelaksanaan yang sukses dari pendekatan ini, terutama pencegahan
primer yang mengakibatkan penurunan angka mortalitas dan morbiditas penyakit menular
yang tidak pernah terjadi sebelumnya, merupakan salah satu prestasi luar biasa dalam bidang
kesehatan masyarakat dalam abad ini.
6

Page | 31

Pencegahan Primer Penyakit Menular
Langkah-langkah pencegahan primer penyakit menular dapat digambarkan dengan
menggunakan mata rantai infeksi. Dalam model ini, strategi pencegahan tampak dalam
masing-masing sambungan para rantai. Pelaksanaan yang sukses dari setiap segi strategi
dapat dipandang sebagai kelemahan suatu sambungan, dengan tujuan akhir memutuskan mata
rantai infeksi, atau mengganggu siklus penyebaran penyakit. Contoh tindakan masyarakat
antara lain klorinasi persediaan air, pemeriksaan restoran dan pasar bahan makanan eceran,
program imunisasi yang mencakup semua penduduk, pemeliharaan sistem saluran
pembuangan yang berfungsi dengan baik, pembuangan limbah padat secara tepat, dan
pengendalian vektor serta binatang pengerat. Ke dalamnya juga ditambahkan upaya personal
dalam pencegahan primer, misalnya cuci tangan, pemasakan makanan dengan benar,
perumahan dan pakaian yang adekuat, penggunaan kondom, dan upaya mendapatkan semua
imunisasi yang tersedia untuk melawan penyakit tertentu.
6

Pencegahan Sekunder Penyakit Menular
Langkah-langkah pencegahan sekunder terhadap penyakit menular bagi individu
melibatkan (1) diagnosis sendiri dan pengobatan sendiri dengan obat yang ada di rumah,
tanpa obat dari resep dokter, atau (2) diagnosis dan pengobatan dengan antibiotik yang
diresepkan dokter. Upaya pencegahan sekunder yang dilaksanakan oleh masyarakat terhadap
penyakit menular biasanya ditujukan untuk mengendalikan atau membatasi penyebaran suatu
epidemi. Contohnya antara lain pemeliharaan secara cermat catatan kasus dan mematuhi
semua kebijakan yang mengharuskan pelaporan penyakit yang harus dilaporkan dan
melakukan investigasi kasus serta kontakmereka yang mungkin terinfeksi melalui kontak
dekat dengan kasus yang positif.
4

Kadang-kadang, upaya pengendalian sekunder penyakit ini dapat melibatkan isolasi
dan karantina. Kedua praktik ini cukup berbeda satu sama lain dan kerap membingungkan.
Isolasi adalah pemisalah (selama masa penularan) orang atau binatang yang terjangkit dari
yang lainnya untuk mencegah baik secara langsung ataupun tidak langsung penyebaran agens
menular pada orang yang rentan. Sedangkan karantina adalah pembatasan kebebasan
bergerak dari orang atau binatang sehat yang terpajan penyakit menular sampai masa
inkubasi berlalu. Upaya pengendalian lebih lanjut adalah desinfeksi, pembuhan agens meular
di luar tubuh pejamu, dan pengobatan massal dengan antibiotik. Terakhir, program
Page | 32

pendidikan kesehatan masyarakat dan promosi kesehatan harus digunakan sebagai upaya
pencegahan primer maupun sekunder.
6

Pencegahan Tersier Penyakit Menular
Upaya pencegahan tersier untuk pengendalian penyakit menular bagi individu
mencakup upaya pemulihan dari infeksi, penyembuhan sampai sehat total, dan kembali
menjalankan aktivitas normal mungkin tidak mungkin walau setelah terapi ekstensif
sekalipun. Di tingkat komunitas, upaya pencegahan tersier ditujukan untuk pencegahan
kekambuhan suatu penyakit epidemik. Pemusnahan yang tepat, pembalseman, dan
pemakanan yang meninggal merupakan contohnya. Pencegahan tersier dapat melibatkan
pelaksanaan kembali upaya pencegahan primer dan sekunder sebagai cara untuk mencegah
munculnya kasus lain. Contoh, di beberapa negara, misalnya, Republik Korea, penderita
selesma atau flu mengenakan masker tipis di tempat umum untuk mengurangi penyebaran
penyakit.
6


Program Pencegahan dan Pemberantasan Kusta
Dalam pencegahan dan pemberantasan penyakit kusta, hal utama yang paling penting
adalah melakukan penyuluhan kesehatan yang menekankan kepada pemberian informasi
tentang tersedianya obat-obatan yang efektif, tidak terjadi penularan pada penderita yang
berobat teratur, serta upaya pencegahan cacat fisik dan sosial. Hal lain yang tidak boleh
terlupakan adalah mencari penderita kusta, khususnya tipe MB yang menular, lalu berikan
pengobatan kombinasi MDT sedini mungkin secara teratur dengan berobat jalan jika
memungkinkan. Lain-lain adalah berupa melakukan kerjasama lintas program dan lintas
sektor, meningkatkan keterampilan petugas, dan penemuan, pengobatan, dan pencegahan
cacat.
7

Dokter Keluarga
Pelayanan dokter keluarga adalah upaya kesehatan dasar paripurna, mencakup semua
kebutuhan dasar kesehatan dalam keluarga, yang berkembang sesuai dengan perkembangan
kesehatan untuk pelbagai kelompok umur termasuk tindakan pertolongan gawat darurat dan
bedah minor, yang mencakup rawat jalan, rawat di rumah dan pendampingan/pasca rawat
inap yang sesuai dengan kebutuhan/indikasi medik dan kewenangannya.
Page | 33

Dengan memusatkan sasarannya kepada kepada keluarga, dokter keluarga mengisi
salah satu simpul yang merupakan salah satu alternatif dalam jaringan pelayanan kesehatan.
Dan salah satu ciri-ciri dari Dokter Keluarga adalah memiliki pengetahuan dan keterampilan
khusus kedokteran keluarga dan kesehatan keluarga yang diperoleh melalui pendidikan dan
pelatihan khusus dengan pendalaman di bidang ilmu bedah, ilmu kebidanan dan kandungan,
kesehatan anak dan penyakit dalam.
Kesiapan untuk terselenggaranya Jaminan Kesehatan Nasional tidak hanya dari unsur
kebijakan saja tetapi juga dari sumber daya manusia, fasilitas pelayanan kesehatan dan infra
struktur lainnya. Sumber daya manusia yang kompeten dan sarana prasarana yang sesuai
dengan standar yang ditetapkan serta jumlah yang cukup, sistem pendekatan pelayanannya
juga merupakan satu hal yang penting. Menghadapi sistem jaminan kesehatan nasional ini
dibutuhkan dokter-dokter di layanan tingkat primer yang dapat mengendalikan biaya dan
mutu kesehatan yang merata dan terjangkau.
Pertemuan Koordinasi Lintas Program Lintas Sektor Pelayanan Kedokteran Keluarga
ini mengundang para Pakar dalam Bidang Pelayanan Kesehatan yang diharapkan nantinya
akan menghasilkan suatu kesepakatan dan dapat memberikan rekomendasi model pelayanan
kesehatan perorangan tingkat pertama yang paling baik.
1. Dokter Keluarga sebagai Pemberi Layanan (Care Provider), mempertimbangkan
kebutuhan pasien secara total (fisik, mental dan sosial) baik sebagai individu maupun
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keluarga dan komunitasnya.
2. Pengambil Keputusan (Decision Maker), dokter keluarga bertindak sebagai mitra bagi
pasiennya dalam mengambil keputusan medis dengan memilih dan menggunakan
teknologi kedokteran dan kesehatan yang tepat secara rasional, beretika dan sadar biaya.
3. Sebagai Komunikator (Communicator), seorang dokter keluarga harus dapat
menyampaikan pesan kesehatan dengan keteladanan dan penjelasan yang rasional.
4. Pemimpin Kelompok (Community Leader) merupakan orang yang memperoleh
kepercayaan dari masyarakat di wilayah kerjanya sehingga ia harus mampu menggalang
peran serta masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan.
5. Sebagai Manajer, dokter keluarga sebagai koordinator dalam pemeliharaan kesehatan
bagi pasien dan keluarganya.


Page | 34

Karakteristik Dokter Keluarga
Lynn P. Carmichael (1973)
Mencegah penyakit dan memelihara kesehatan
Pasien sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat
Pelayanan menyeluruh, mempertimbangkan pasien dan keluarganya
Andal mendiagnosis, tanggap epidemiologi dan terampil menangani penyakit
Tanggap saling-aruh faktor biologik-emosi-sosial, dan mewaspadai kemiripan penyakit
Debra P. Hymovic & Martha Underwood Barnards (1973)
Pelayanan responsif dan bertanggung jawab
Pelayanan primer dan lanjut
Diagnosis dini, capai taraf kesehatan tinggi
Memandang pasien dan keluarga
Melayani secara maksimal
IDI (1982)
Memandang pasien sebagai individu, bagian dari keluarga dan masyarakat
Pelayanan menyeluruh dan maksimal
Mengutamakan pencegahan, tingkatan taraf kesehatan
Menyesuaikan dengan kebutuhan pasien dan memenuhinya
Menyelenggarakan pelayanan primer dan bertanggung jawab atas kelanjutannya

Tujuan Pelayanan Dokter Keluarga
Skala kecil:
Mewujudkan keadaan sehat bagi setiap anggota keluarga
Mewujudkan keluarga sehat sejahtera
Skala besar:
Pemerataan pelayanan yang manusiawi, bermutu, efektif, efisien, dan merata bagi
seluruh rakyat Indonesia


Page | 35

Dokter Keluarga di Indonesia
Kegiatan untuk mengembalikan pelayanan dokter keluarga di Indonesia telah dimulai
sejak tahun 1981 yakni dengan didirikannya Kelompok Studi Dokter Keluarga. Pada Tahun
1990 melalui kongres yang kedua di Bogor, nama organisasi dirubah menjadi Kolese Dokter
Keluarga Indonesia (KDKI). Sekalipun organisasi ini sejak tahun 1988 telah menjadi anggota
IDI, tapi pelayanan dokter keluarga di Indonesia belum secara resmi mendapat pengakuan
baik dari profesi kedokteran ataupun dari pemerintah.
Untuk lebih meningkatkan program kerja, terutama pada tingkat internasional, maka pada
tahun 1972 didirikanlah organisasi internasional dokter keluarga yang dikenal dengan
nama World of National College and Academic Association of General Practitioners /
Family Physicians(WONCA). Indonesia adalah anggota dari WONCA yang diwakili oleh
Kolese Dokter Keluarga Indonesia.
Untuk Indonesia, manfaat pelayanan kedokteran keluarga tidak hanya untuk
mengendalikan biaya dan atau meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, akan tetapi juga
dalam rangka turut mengatasi paling tidak 3 (tiga) masalah pokok pelayanan kesehatan lain
yakni:
Pendayagunaan dokter pasca PTT
Pengembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Menghadapi era globalisasi

Kesimpulan
Dengan pengobatan pada penyakit kusta ini seharusnya tidak lagi menjadi masalah
kesehatan masyarakat. Tetapi sampai saat ini penyakit kusta masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang perlu di perhatikan oleh pihak yang terkait. Karena mengingat
kompleksnya masalah penyakit kusta, maka di perlukan program penanggulangan secara
terpadu dan menyeluruh dalam hal pemberantasan, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial
ekonomi dan permasyarakatan dari bekas penderita kusta.
Sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah. Perkembangan
penyakit pada diri penderita bila tidak ditangani secara cermat dapat menimbulkan cacat dan
keadaan ini menjadi halangan bagi penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat untuk
Page | 36

memenuhi kebutuhan sosial ekonomi mereka, juga tidak dapat berperan serta dalam
pembangunan bangsa dan negara.
Minimnya informasi yang benar tentang penyakit kusta membuat persepsi salah pada
masyarakat sehingga kerap menganggap penyakit kusta sebagai penyakit kutukan, penyakit
keturunan, akibat guna-guna, salah makan, hingga penyakit sangat menular dan tidak dapat
disembuhkan. Pamahaman keliru melahirkan tindakan keliru oleh masyarakat. Penderita
kusta semakin malang. Ketakutan masyarakat tertular, membuat mereka tega mengusir
penderita kusta. Bahkan, yang sudah sembuh dan tidak menular kesulitan untuk memulai
hidupnya lagi.
Masalah penyakit kusta tidak hanya disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae,
tetapi juga dipengaruhi banyak faktor antara lain status sosio-ekonomi, ras, kultur, kebiasaan,
dan pandangan masyarakat. Berbagai faktor sosial seperti tingkat pendidikan, pekerjaan,
kepercayaan dan nilai-nilai kebiasaan dari keluarga berpengaruh terhadap usaha penderita
mencari kesembuhan sekaligus juga mempengaruhi keteraturan berobat penderita kusta












Page | 37

Daftar pustaka
1. Adhi, N. Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta
2. Anderson & McFarlane (2000). Community as partner: theory and practice innursing.
Third edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.Dinkes Prop. Jatim. (2002)
3. Buku Panduan Pelaksanaan Program P2 Kusta Bagi Unit Pelayanan Kesehatan. Dit.
Jen PPM & PL. Jakarta. Depkes RI , 2002c.
4. Buku Pedoman Pemberantasan Program P2 Kusta. Dit. JenPPM & PLP. Jakarta.Depkes
RI , 2005d.
5. Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman Pemberantasan
Penyakit Kusta, Jakarta.
6. Profil Dinas Kesehatan propinsi Jawa Timur 2006. Diunduh
dari http://www.dinkespropjatim.org. Tanggal 29 Juni 2014
7. Dokter Keluarga. Diunduh dari
http://www.ppjk.depkes.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1
&id=61 Tanggal 29 Juni 2014
8. Pelayanan Kesehatan Kedokteran Keluarga. Diunduh dari
http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=
312:pelayanan-kesehatan-kedokteran-
keluarga&catid=111:dasar&Itemid=136 Tanggal 29 Juni 2014
9. Azwar, Azrul. Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Yayasan
Penerbitan IDI, 1995.
10. Azwar, Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga. Jakarta: PT.
Binarupa Aksara, 1995.
11. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: FKUI, 2010.h.73-88.
12. Nelson KE. Leprosy. In: Maxcy-Rosenau. Last public health & preventive medicine.
15
th
ed. USA: the McGraw-hill Companies, 2008.p. 258-63.
13. Kuswadji S. Penjaminan Mutu Praktek Dokter Keluarga. Jakarta: Widya Medika, 1996.
14. Dudiarto E, Anggraeni D. Pengantar epidemiologi. Ed.II. Jakarta: EGC, 2003.h.100-3.

You might also like