You are on page 1of 22

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Estetika
Estetika dalam pengertian konvensional tidak hanya mengacu pada keindahan,
tetapi estetika menjadi sebuah wacana dan fenomena (Sachari 2002: 2). Dewasa ini
estetika menjadi wacana bahwa banyak budaya barat yang secara menggebu-nggebu
masuk ke dalam budaya timur. Konsep estetika barat masuk bersama budaya tersebut.
Sehingga para ahli estetika atau para budayawan yang membincangkan hal tersebut.

Beberapa pengertian estetika dan lingkupnya yang dikutip dari Sachari (2002: 3) dapat
dicermati di bawah ini:
1. Estetika adalah segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan seni (Kattsoff, Element of Philosophy, 1953).
2. Estetika merupakan suatu telatah yang berkaitan dengan penciptaan, apresiasi, dan
kritik terhadap karya seni dalam konteks keterkaitan seni dengayn kegiatan
manusia dan peranan seni dalam perubahan dunia (van Mater Ames, Colliers
Encyclopedia, vol. 1).
3. Estetika merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya
estetis (John Hosper, dalam Estetika Terapan, 1989).
4. Estetika mempersoalkan hakikat keindahan alam dan karya seni, sedangkan
filsafat seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni, atau artifak yang
disebut seni (Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, 2000).
Pandangan tentang arti estetika itu sendiri senantiasa berkembang seiring perkembangan
zaman. Kajian tentang estetika menjadi luas, tidak hanya terbatas pada artifak sebagai
karya seni, tetapi juga artifak sebagai sesuatu yang mengandung makna.

Kata estetika dikutip dari bahasa Yunani, yakni aisthetikos atau aisthanomai yang
memiliki arti mengamati dengan indera (Lexicon Webster Dic dalam Triyanto 2010: 4).
2

Estetika dalam pandangan Feldman merupakan ilmu pengetahuan pengamatan atau ilmu
pengetahuan inderawi yang mengacu pada kesan-kesan inderawi. J. Addison
menyandingkan estetika dengan teori cita rasa yang mengacu pada tradisi empiris dan
pandangan platonis dan neoplatonis. Demikian halnya Dickie (1989) mengembangkan
teori tentang estetika yang dibagi menjadi lima bagian, yakni: (a) persepsi, (b) cita rasa,
(c) produk mental, (d) objek pengamatan, dan (e) pertimbangan rasa. Bila dilihat
berdasarkan struktur yang dibuat oleh Dickie maka teori pengamatan atau inderawi identik
dengan teori cita rasa.

Menurut Jerome Stolnitz (dalam Triyanto 2010: 5) estetika merupakan suatu telaah
filsafat keindahan dan keburukan. Stolnitz mengatakan bahwa estetika adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan sifat dasar nilai-nilai nonmoral yang berkaitan dengan
karya seni. Sedangkan John Hosper mengartikan estetika sebagai salah satu cabang filsafat
yang berkaitan dengan proses penciptaan karya estetis, estetika tidak hanya sekedar
mempermasalahkan tentang objek seni, melainkan seluruh permasalahan yang berkaitan
dengan suatu karya yang indah. Dalam hal ini, Aristoteles merumuskan keindahan sebagai
suatu yang baik dan menyenangkan. Sementara itu, orang Yunani menyatakan bahwa
keindahan berkaitan dengan tradisi atau adat kebiasaan. Oleh karena itu, estetika secara
luas berkaitan dengan keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, dan keindahan
intelektual.

Estetika berhubungan tradisi atau kebudayaan sehingga dalam berkesenian berisi
tentang nilai-nilai, pedoman, gagasan-gagasan vital, dan kepercayaan atau keyakinan
tentang berkesenian. Keempat hal tersebut menjadi dasar dalam berkesenian maka konsep
tentang estetika dipengaruhi oleh keadaan, kebudayaan, dan peradaban yang berlaku di
suatu tempat.




3

1.2. Sejarah Estetika
A. Estetika Pada Masa Klasik
Estetika baru muncul pada abad (18) kedelapan belas, dan sejarah yang mengenai
hal-hal yang mengacu pada estetika adalah setua sejarah etika, logika, metafisika, dan
epistemology. Filusuf Alexander Baumgarten-lah yang memperkenalkannya di tahun
1750, tapi perintis pertamanya adalah sokrates (469-344 SM).

Estetika membahas tentang apa itu keindahan, menyelidiki prinsip-prinsip landasan
seni, dan pengalaman seni, yakni penciptaan seni, penilaian atau refleksi atas karya
seni.

pemikiran tokoh-tokoh estetika pada masa Yunani klasik, tokoh-tokoh yang di
bahas adalah mulai dari Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Yang menarik dari tokoh-
tokoh estetika ini adalah perbedaan sudut pandang dan perspektif yang mencolok dari
setiap pemikir. Ada yang terfokus pada dunia Idea (Plato), dan ada yang terarah pada
pengalaman dunia fisik (Aristoteles).

Jika istilah estetika diartikan filsafat keindahan, maka sejarah estetika berarti
sejarah filsafat keindahan. Kalau kita mencoba memberikan gambaran sejarah filsafat
seni dengan perumpamaan pohon filsafat, sebagaimana dikerjakan oleh Descrates
dalam bukunya Principia Philoshopine, maka kita harus menganggap filsafat Plato
sebagai batang dari segala akar estetika.

Ketiga orang besar diantara ahli filsafat yunani yang meletakan fondamen pertama
tentang estetika yaitu Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah perintis,
Aristoteles adalah penerus Plato yang terkenal dengan Dewa Estetika.

Pengertian estetika dari suatu masa ke masa yang lain selalu mengalami
perubahan. Beberapa pemikir estetika yang terkenal antara lain adalah Aristoteles dan
Immanuel Kant. Aristoteles dalam Poetics menyatakan bahwa sesuatu dinyatakan
4

indah karena mengikuti aturan-aturan (order), dan memiliki magnitude atau memiliki
daya tarik. Immanuel Kant dalam The Critique of Judgement (1790) yang dikutip oleh
Porphyrios (1991) menyatakan bahwa suatu ide estetik adalah representasi dari
imajinasi yang digabungkan dengan konsep-konsep tertentu. Kant menyatakan adanya
dua jenis keindahan yaitu keindahan natural dan keindahan dependen. Keindahan
natural adalah keindahan alam, yang indah dalam dirinya sendiri, sementara
keindahan dependen merupakan keindahan dari objek-objek ciptaan manusia yang
dinilai berdasarkan konsep atau kegunaan tertentu. Kedua pendapat tersebut di atas
menunjukkan perhatian yang besar pada objek, di mana keindahan didapatkan karena
suatu objek memiliki karakter tertentu sehingga layak untuk dinyatakan sebagai indah.
Perhatian yang besar terhadap objek dalam pemikiran tentang estetika tersebut
memberikan pengaruh pada arsitektur. Pengaruh tersebut mengakibatkan munculnya
aturan-aturan sebagai patokan untuk menyatakan keindahan suatu bangunan.
Alberti yang hidup pada masa Renaissance, dalam Ten Books on Architecture
menyatakan bahwa keindahan suatu bangunan ditentukan oleh beberapa faktor
(Porphyrios, 1991) seperti jumlah komponen (number) misalnya jumlah kolom,
pelubangan dan sebagainya yang dinyatakan harus meniru alam, congruity, yaitu
bagaimana menempatkan suatu komponen untuk membentuk keindahan secara
keseluruhan, finishing dan collocation. Pada intinya Alberti menyatakan sesuatu
disebut indah karena meniru alam, dalam hal ini bukan hanya alam secara fisik, tetapi
juga hukum-hukum alam. Hal ini dapat dilihat pada kolom-kolom Yunani yang
berbentuk mengecil ke atas, yang dianggap sesuai dengan hukum alam. Alberti
bukanlah satu-satunya orang yang mencetuskan standar dalam estetika arsitektur.
Andrea Palladio dan Brunelleschi juga banyak memberikan kontribusi bagi standar
estetika dalam arsitektur masa Renaissance. Kebanyakan aturan-aturan yang berlaku
pada masa tersebut menyebutkan aturan proporsi dalam angka-angka. Golden section
merupakan salah satu aturan proporsi dalam angka yang banyak digunakan dan
dianggap sebagai representasi dari alam pada sekitar abad ke-18.
Aturan-aturan yang populer pada masa setelah Renaissance dijiwai oleh
semangat akan perkembangan sains. Perez-Gomez dalam Architecture and The Crisis
5

of Modern Science (1990) menyatakan bahwa terdapat dua transformasi yang menjadi
penyebab hal tersebut di atas, yaitu revolusi Galileo yang menggantikan kosmologi
Renaissance dengan sains yang bersifat universal, serta transformasi kedua yang
berlangsung pada tahun 1800 yang semakin memantapkan sains sebagai satu-satunya
cara melakukan interpretasi terhadap realitas. Karena itu estetika yang digunakan
dalam arsitektur menjadi estetika yang bersifat matematis. Proporsi yang matematis
dan geometri mendominasi konsep estetika pada masa tersebut.

Penggunaan geometri dan angka dalam arsitektur terus berlangsung hingga awal
abad ke-20 saat berkembangnya Arsitektur Modern. Pada masa Arsitektur Modern,
proporsi golden section diadaptasi oleh Le Corbusier dalam teori Modulornya.
Perbedaannya dengan penggunaan geometri dan angka pada masa sebelumnya adalah
bahwa dalam Arsitektur Modern, pengaruh geometri dan angka berakibat pada tujuan
penataan ruang yang semata-mata untuk alasan efisiensi dan ekonomi. Perez-Gomez
(1990) menyatakan bahwa paradigma efisiensi dan ekonomi dalam Arsitektur Modern
merupakan akibat dari pendekatan rasional absolut sehingga arsitektur direduksi
hanya sebagai teori yang rasional dengan menolak keterhubungannya dengan filosofi
dan kosmologi.
Selain mendasarkan diri pada perhitungan rasional, Arsitektur Modern
merupakan suatu bentuk arsitektur yang mengidekan suatu universalitas dan
objektivitas. Hal ini merupakan konsekuensi dari konsep yang hanya didasarkan pada
objek semata. Mendasarkan pada objek dan meniadakan kemungkinan subjektif
dengan meniadakan faktor pengamat berarti mencari sesuatu yang objektif dan
universal. Kita dapat melihat hubungan erat antara Arsitektur Modern dengan
arsitektur masa Renaissance yang tumbuh dalam masa euforia terhadap sains dan
pemikiran rasional, yakni bersifat objektif dan universal.
Perkembangan filsafat fenomenologi pada masa awal abad keduapuluh yang
mengkritisi pendekatan matematis dari modernisme kemudian membawa suatu
pendekatan baru dalam estetika. Dalam fenomenologi, perhatian lebih diarahkan
6

kepada keberadaan subjek yang mempersepsi objek daripada kepada objek itu sendiri.
Dengan kata lain hal ini dapat dikatakan sebagai: membuka kemungkinan adanya
subjektivitas. Hal ini menimbulkan kesadaran akan adanya konteks ruang dan waktu;
bahwa pengamat dari tempat yang berbeda akan memiliki standar penilaian yang
berbeda, dan begitu pula dengan pengamat dari konteks waktu yang berbeda.
Pemikiran inilah yang kemudian akan berkembang menjadi postmodernisme.

Terbukanya kemungkinan untuk bersifat subjektif memberi jalan bagi
keberagaman dalam estetika, dan memberikan banyak pengaruh pada arsitektur.
Pengaruh-pengaruh tersebut antara lain adalah:
Wajah arsitektur yang semakin beragam dan semakin kompleks, tidak seperti
wajah Arsitektur Modern yang selalu polos. Ide akan kompleksitas dalam arsitektur
pertama kali dicetuskan oleh Robert Venturi dari Amerika dalam bukunya Complexity
and Contradiction in Architecture (1962) yang kemudian mengawali postmodernisme
dalam arsitektur. Dalam buku tersebut terlihat adanya pergeseran estetika yang sangat
besar. Venturi mendukung penggunaan kompleksitas dan kontradiksi dalam arsitektur
dan mencanangkan slogan less is bore yang merupakan penyerangannya terhadap
slogan less is more dari Arsitektur Modern.
Dengan terbukanya subjektivitas, maka timbul kecenderungan untuk
memberikan identitas pada arsitektur, baik berupa identitas pemilik ataupun identitas
si arsitek. Akibat dari kecenderungan ini, terjadilah fenomena berlomba-lomba untuk
membuat monumen-monumen yang dipergunakan untuk menunjukkan jatidiri. Pada
titik ini terjadi tumpang-tindih antara estetika dengan simbolisme, karena estetika
dipergunakan sebagai sarana untuk menunjukkan identitas. Ide ini bukanlah ide baru,
karena arsitektur pada masa sebelum masa Arsitektur Modern juga telah banyak
menggunakannya, akan tetapi yang terjadi pada postmodernisme adalah pluralisme
yang berlebihan karena setiap individu berusaha untuk memiliki jatidiri sendiri
(Piliang, 1998).
7

Adanya kesadaran akan kontekstualitas membuka pikiran akan tidak adanya
universalitas dan objektivitas. Hal ini menuju pada pengakuan akan adanya
(pengetahuan) konsep estetika arsitektur lain di luar arsitektur barat. Akibatnya terjadi
perkembangan ilmu estetika arsitektur yang merambah ke arsitektur selain Barat yang
sebelumnya dianggap sebagai oriental, termasuk juga arsitektur di Indonesia.
B. Sejarah Estetika di Indonesia
Yuswadi Saliya (1999) menyatakan adanya empat ciri arsitektur tradisional di
Indonesia, yaitu pertama, semuanya sarat dengan makna simbolik, kedua, rumah
menjadi simpul generasi masa lalu dengan generasi masa datang, ketiga pemenuhan
kebutuhan spiritual lebih diutamakan daripadda kebutuhan badani, keempat,
dikenalnya konsep teritorialitas dan kemudian mengejawantah menjadi batas.
Ciri pertama dan kedua menunjukkan adanya kosmologi dan orientasi non
badaniah, dan karena spiritual-lah yang diutamakan, maka kebutuhan badaniah
cenderung akan dikorbankan demi kepentingan spiritual. Dalam hal ini manusia
merupakan pihak yang harus melakukan penyesuaian diri terhadap bentukan arsitektur
(Soemardjan, 1983). Orientasi terhadap kosmologi ini masih banyak dijumpai di
Indonesia hingga masa kini, terutama pada arsitektur tradisional.
Hal ini bukan berarti bahwa semua arsitektur di Indonesia berorientasi pada
kosmologi. Indonesia tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Pemikiran akan
universalitas dan objektivitas Arsitektur Modern juga melanda arsitektur Indonesia.
Seperti juga di Barat, fenomena arsitektur yang polos, tanpa ornamen dan tanpa konteks
juga terjadi di Indonesia.
Seperti juga arus modernisme, arus Postmodernisme juga melanda Indonesia. Sebagai
akibatnya, terjadi kesadaran akan konteks dan perlunya identitas.
Hadirnya Arsitektur Modern dan Postmodern secara bersamaan dengan (masih)
hadirnya arsitektur tradisional menunjukkan adanya dualisme dalam arsitektur
Indonesia. Arsitektur Modern dan Postmodern menunjukkan arsitektur yang
8

berorientas pada kebutuhan badaniah manusia, sementara arsitektur tradisional
Indonesia berorientasi kepada kosmologi dan spiritual
1.3. Teori Estetika
Teori Estetika pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Teori Estetik Formil
Banyak berhubungan dengan seni klasik dan pemikiran-pemikiran klasik. Teori
ini menyatakan bahwa keindahan luar bangunan menyangkut persoalan bentuk dan
warna. Teori beranggapan bahwa keindahan merupakan hasil formil dari ketinggian,
lebar, ukuran (dimensi) dan warna. Rasa indah merupakan emosi langsung yang
diakibatkan oleh bentuk tanpa memandang konsep-konsep lain. Teori ini menuntut
konsep ideal yang absolut yang dituju oleh bentuk-bentuk indah, mengarah pada
mistik.
2. Teori Estetik Ekspresionis
Teori menyebutkan bahwa keindahan tidak selalu terjelma dari bentuknya tetapi
dari maksud dan tujuan atau ekspresinya. Teori ini beranggapan bahwa keindahan
karya seni terutama tergantung pada apa yang diekspresikannya. Dalam arsitektur
keindahan dihasilkan oleh ekspresi yang paling sempurna antara kekuatan gaya tarik
dan kekuatan bahan (material). Kini anggapan dasar utama keindahan arsitektur
adalah ekspresi fungsi atau kegunaan suatu bangunan.
3. Teori Estetik Psikologis
Menurut Teori ini keindahan mempunyai 3 aspek :
a) Keindahan dalam arsitektur merupakan irama yang sederhana dan mudah.
Dalam arsitektur pengamat merasa dirinya mengerjakan apa yang dilakukan
bangunan dengan cara sederhana, mudah dan luwes.
9

b) Keindahan merupakan akibat dari emosi yang hanya dapat diperlihatkan
dengan prosedur Psikoanalistik. Karya seni mendapat kekuatan keindahannya
dari reaksi yang berbeda secara keseluruhan.
c) Keindahan merupakan akibat rasa kepuasan si pengamat sendiri terhadap
obyek yang dilihatnya.
Ketiga teori ini merupakan manifestasi untuk menerangkan keindahan dari
macam-macam sudut pandang : secara mistik, emosional atau ilmiah intelektual.
Teori yang kemudian muncul, seperti dikutip Maryono (1982-81) antara lain
adalah teori keindahan Obyektif dan Subyektif. Teori Obyektif berpendapat bahwa
keindahan adalah sifat (kualitas) yang melekat pada obyek. Teori Subyektif
mengemukakan bahwa keindahan hanyalah tanggapan perasaan pengamat dan
tergantung pada persepsi pengamat.
Teori keindahan secara umum menurut dasar pemikiran Timur, seperti diuraikan
Sachari (1988 : 29-33), antara lain didasarkan pada hubungan alam dengan semesta
(Taoisme), manusia dengan masyarakat (Konfusianisme), hubungan manusia
dengan yang mutlak (Budhisme). Keseimbangan alam merupakan ukuran
keindahan menurut pemikiran Timur.

1.4. Estetika Terapan
Estetika terapan yaitu Estetika yang diaplikasikan pada sebuah rancangan, bukan
pengkajian tentang filsafat keindahan. Fungsinya menghadirkan keindahan,
mengutarakan perasaan atau ekspresi, representasi aspirasi, gagasan, dan kepercayaan,
memberikan berbagai informasi yang tersurat dan tersirat, mengungkapkan jiwa zaman.
Dikatakan estetika diaplikasikan pada sebuah rancangan, berarti sama saja diaplikasikan
di sebuah desain.

10

BAB II
PEMBAGIAN ESTETIKA

1.2. Estetika Klasik
1. Estetika Sokrates
Fondamen Sokrates yang meletakkan batu pertama dari estetika (sebelum nama
ini diberi nama). Dalam perdebatan antara sokrates dan Happias sokrates meminta ide
keindahan gagasan umum yang menyebutkan semua barang indah menjadi indah,
Sokrates tidak menanyakan apa yang bersifat indah.

Happias menambahkan bahwa sendokpun bisa jadi indah, akan tetapi kita tidak dapat
mengartikan sama cantiknya seperti benda dan gadis dara. Sokrates member bumbu
kepada perkataan Happias: memang Heraklatus pernah mengatakan bahwa kera yang
tercantik, jika dibandingkan dengan orang maka ia masih jelek. Demikian juga dengan
gadis cantik, bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan bidadari dari sorga,
sebagaimana orang yang paling arif bijaksan

apabila dibandingkan dengan Tuhan, tentu masih tanpak kera dalam segala hal.
Akan tetapi kita kembali kepada: What the beautiful is.

Walaupun catatan yang diberikan oleh sokrates tidak sistematis, estetika telah
lahir ketika sokrates dapat menjawab pertanyaan Happias, dengan perkataan
kecantikan bukanlah sifat tertentu dari seribu barang, tetapi dibelakang semua itu
terdapat kecantikan itu tersendiri.


2. Estetika Plato
Plato adalah filusuf pertama didunia barat yang dalam seluruh karyanya
mengemukakan pandangan yang meliputi hamper semua pokok semua estetika.
Pembahasannya tidak utuh dan merupakan suatu system tersendiri, tetapi tersebar sebar
11

dalam karyanya. Berikut ini kita mengumpulkan dan menyingkatkan pandangannya
keindahan dan karya seni.

a). Keindahan
Plato berpendapat bahwa untuk mengetahui keindahan sesungguhnya, kita
terlebih dahulu mengosongkan pikiran dan membersihkan diri dari segala
kesalahan dan kekurangan. Kita harus membuang kesalahan dan dosa yang pernah
terjadi dan mencoba kembali kedalam kesucian jiwa kita.

Keindahan dapat dibagi menjadi dua yang pertama tentang dunia idea, dan kedua
dunia yang nyata. Pandangan yang pertama, secara mengesankan dan dengan
bahasa yang sangat indah, ia kemukakan dalam wawancara semposium sebagi
pendirian Socrates. Socrates mengatakan bahwa ajaran itu diterima dari seorang
dewata bernama Diotima yang berasal dari Mantineia (dalam terjemahan inggris
nama dewata itu adalah fear the lord from prophetveille, sesuai dengan sindiran
yang termuat dalam bahasa yunani). Menurut pandangan itu, yang indah adalah
benda yang material, umpamanya tubuh manusia, yang tampak pada saya. Kalau
selanjutnya saya melihat beberapa orang seperti itu, pengalaman akan keindahan
meningkat. Lebih jauh lagi manusia merasa diajak untuk ingat pada yang lebih
indah daripada tubuh, yaitu jiwa lama kelamaan, socrtaes mengajak pendengar
untuk maju terus sampai pada idea yang indah. Itulah yang paling indah, sumber
segala keindahan. Semua keindahan lain haknya ikut ambil pada yang indah dalam
dunia idea itu, sama halnya seperti idea kebenaran, kebaikan, ataupun segitiga.

Pandangan plato yang pertama didasarkan pada ajaran tentang idea ini, yakni
teori dua dunia. Dua dunia tersebut adalah dunia idea (dunia atas) dan dunia
sehari-hari (dunia bawah). Menurut plato dunia bawah merupakan tiruan dari
dunia atas. Dunia atas digambarkan sebagai dunia idea, yaitu: dunia kebenaran
absolute, sejati, dunia rohani, pengetahuan sejati (episteme). Sedangkan dunia
bawah adalah dunia yang relative, sehari-hari, fana, kebenaran relative, tiruan, dan
hanya merupakan pendapat. Pandangan kedua, dikemukakan plato dalam salah
12

satu dialognya yang terkenal, yakni phiilebus. Disini dinyatakan bahwa yang indah
dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana. Yang dimaksud
sederhana adalah bentuk dan ukuran yang tidak dapat diberi batasan yang lebih
sederhana lagi. Pada pandangan pertama, yang indah itu dilepaskan dari
pengalaman jasmani. Keindahan dalam pengertian hidup sehari-hari adalah tingkat
dua saja. Keindahan sesungguhnya hanya ada di dunia idea, sedangkan pandanagn
plato yang kedua, yang indah itu tidak dilepaskan dari pengalaman inderawi yang
membangun pengalaman estetis dan keindahan dalam pengertian sehari-hari.

Pandangan yang kedua ada dalam Philebus. Disana dinyatakan bahwa yang
indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana, umpamanya
nada yang paling sederhana, warna yang sederhana. Yang dimaksud dengan
sederhana ialah bentuk dan ukuran yang tidak dapat diberi batasan lebih lanjut
berdasarkan sesuatu yang lebih sederhana lagi. Oleh karena itu keindahan bersifat
terpilah-pilah baik dalam alam maupun dalam karya seni.

Pandangan plato yang kedua ini mempunyai keistimewaan karena tidak
melepaskan diri dari pengalaman inderawi yang merupakan unsure konstitutif dari
pengalaman estetis dan keindahan dalam pengertian sehari-hari.

Bagaimana hubungan antara dunia atas dan dunia bawah? Menurut plato, antara
dunia atas dan bawah terdapat hubungan timbal balik. Hubungan tersebut dapat
dijelaskan melalui tiga kata kunci:

1). Paradigma: dunia atas menjadi contoh, prototype, pola, bagi dunia bawah.

2). Hadir pada: dunia atas selalu hadir pada (presence) dunia bawah.

3). Partisipasi: dunia bawah mengambil bagian (berpartisipasi) di dunia atas.

b). Karya Seni.
13

Plato menyatakan sikapnya terhadap karya seni, terutama dalam karyanya yang
terbesar yaitu politea (republik). Dalam penilaiannya ada dua unsur: yang satu
teoritis dan kedua praktis.

Unsur teoritis menyatakan bahwa: segala kenyataan yang ada di dunia ini
merupakan tiruan (mimesis) dari yang asli yang terdapat di dunia idea dan jauh
lebih unggul daripada kenyataan di dunia ini. Karya seni merupakan tiruan dari
(mimesis memeseos). Oleh karena itu plato menilai rendah karya seni. Tafsiran
plato tentang karya seni sebgai tiruan dari kenyataan yang ada di dunia ini tidak
hanya jauh dari pandanagn karya seni dewasa ini, tetapi sudah pada jaman plato
dan dalam karyanya sendiri mengalami kesulitan, mungkin karya seni rupa dan
sebagian karya sastra, bisa ditafsirkan sebagai tiruan dari kenyataan, tetapi karya
seni music amat sulit di tafsirkan.

Jadi menurut plato, karya seni adalah tiruan dari kenyataan yang ada di dunia ini
(kecuali music), jadi jauh dari kebenaran sejati. Itulah sebabnya kemapa ia
menyebut karya seni sebagai tiruan dari (mimesis memeseos). Plato memiliki dua
kebertan terhadap karya seni. Pertama, karena karya seni menirukan sesuatu di
dunia ini, yang sebenarnya sudah merupakan tiruan dari dunia idea. Jadi, karya seni
adalah tiruan dari tiruan artinya tiruan dua tingkat. Itulah sebabnya mengapa
menurut Plato, seni tidak baik untuk dijadikan sebagai sumber pengetahuan.

Bagi plato, hanya filsafatlah yang pantas menjadi sumber pengetahuan,
kebijakan dan moral.

Keberatan plato terhadap seni terkait dengan pengaruh buruk seni terhadap
masarakat. Seni memberi pengaruh bagi penonton dan masarakat. Mengapa?
Karena, hakikat seni bersifat emosional. Plato menantang karya sastra dan drama,
karena dalam drama banyak terdapat adegan adegan yang kurang baik
dipertontonkan dan akan menjauhkan warga Negara dari tugasnya membangun
14

Negara. Baginya, pusi itu prosesnya irasional dan kurang control terhadap akal,
sehingga akan member pengaruh buruk pada penontonnya.


3. Estetika Aristoteles
Sebagai murid plato, Aristoteles mengemukakan beberapa pandangan yang
mirip dengan ajaran sang guru, tetapi sudut pandangnya berbeda. Mengapa? Karena
Aristoteles menolak dunia idea Plato sebagai sumber pengetahuan. Sumbangan utama
Aristoteles bagi estetika diuraikan dalam buku Poetika (poetics).



a). Keindahan
Pandangan Aristoteles tentang keindahan agak dekat dengan pandangan kedua dari
plato: keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran
material. Pandangan ini, menurut Aristoteles menyangkut benda-benda alam
maupun untuk karya seni buatan manusia.

b). Karya Seni.
Pandangan Aristoteles tentang ini mirip dengan Plato: karya seni adalah sebuah
tiruan (imitasi), yakni tiruan dari dunia alamiah dan dunia manusia. Bagi
Aristoteles, seni tidak hanya tiruan dari benda yang ada dari alam, tetapi lebih
sebagai tieuan dari sesuatu yang universal. Aristoteles tidak setuju dengan penilaian
negative Plato atas karya seni, karena dia berpendapat bahwa bentuk-bentuk (form)
tidak terpisah dari dunia inderawi, karenanya dia tidak memiliki keberatan terhadap
dunia inderawi dan seni yang meniru dunia inderawi. Maksud ini sudah jelas,
karena pertam-tama minat aristoteles bukan seni rupa melainkan seni drama dan
musik.

Aristoteles cukup panjang lebar memeriksa dan memerinci segala syarat yang
harus dipenuhi agar suatu tragedi menjadi karya seni yang sempurna. Yang sangat
15

diperhatikan adalah pandangan pokok Aristoteles yang mendasari syarat-syarat itu,
yaitu pandangannya tentang khatarsis artinya pemurnian, yang diasalkan dari
kata khatarus artinya murni atau bersih. Menurut Aristoteles, khatarsis adalah
puncak dan tujuan karya seni drama dalam bentuk tragedi. Segala peristiwa,
pertemuan, wawancara, keberhasilan, dan kegagalan serta kekecewaan harus di
susun dan dipentaskan sedemikian rupa sehingga pada suatu saat secara serentak
semuanya tampak logis, tetapi juga seolah-olah tak terduga. Pada saat itulah
khatarsis terjadi secara tiba-tiba: seakan-akan segala masalah dan kejadian yang
muncul bertimbun dalam peran-peran utama dan dalam diri penonton tiba-tiba
pecah atau mencair, tak jarang in terjadi secara mengharukan.

Teori khatarsis Aristoteles ini sangat berpengaruh dalam filsafat seni, terutama
dalam teori drama. Biasanya khatarsis diharapkan terjadi pada diri penonton dan
kemudian dibawanya pulang sebagai pemahaman yang lebih mendalam tentang
manusia, sebagai pembebasan batin sebagai pengalaman penderitaan. Dengan
demikian, khatarsis ini memiliki makna terapeutik, bahkan sering sekali terdapat
unsure penyesalan dan perubahan, semacam pencerahan atau pertobatan dalam
pengalaman religius.



1.5. Estetika Modern
Masa pertengahan
Garis besar estetika dari masa pertengahan adalah seni lebih bersifat religius,
contohnya borobudur( simbolisme budha), gereja pada masa tersebut banyak yang
menggunakan simbol kristen sebagai penciptaan benda seni. Ciri keindahan kesenian pada
masa pertengahan adalah :
Sesuai dengan norma yang ditentukan, yang dianggap benar oleh masyarakat.
Dilaksanakan sesempurna mungkin
16

Bersifat simbolik dengan arti religius spiritual
Renaissance (1350-1600 M) :
Garis besar estetika dari masa renaissance (re=kembali, naissance = kelahiran),
lebih banyak diarahkan pada unsur duniawi. Pada abad ini Leonardo da Vinci (1452-1519)
dan Michelangelo (1493-1564) banyak mengulas karya seni dan mencatat pengalaman
proses kreatifnya.
Karya mereka lebih bersifat neoaaristatelisme. Menggambar sesuai dengan
kenyataan duniawi. Untuk itu Leonardo da vinci yang juga ahli matematika mempelajari
anatomi secara ilmiah. Micelangelo membuat langkah yang lebih lanjut. Ia mempunyai
kepercayaan bahwa jika seniman menghasilkan karya yang sangat mirip dengan kenyataan
alami berarti sang seniman sedang mengimitasi kreativitas Tuhan
Ciri-ciri keindahan dalam kesenian masa renaissance :
Melepaskan norma-norma perwujudan yang ditentukan oleh raja dan bangsawan
yang berkuasa. Kesenian masih tetap menggunakan tema yang sifatnya religius, tetapi
seniman mengikuti selera sendiri dalam mengejar keindahan, antara lain dengan
mencapai kemanunggalan dengan Tuhan atas keyakinan dan kekuatan diri sendiri.
Masa pencerahan (1650-1850)
Pada masa ini emosi antar para seniman dan orang yang mempunyai perasaan
halus timbul kejenuhan dengan kemajuan teknologi yang tidak memberi peluang perasaan.
Pada masa ini paham tentang nikmat indah mengalami kemerosotan, karena berbeda
dengan hasil eksperimentasi atau penelitian hasil kontemplasi tidak bisa di tes atau diuji
coba, perhatian lebih banyak dicurahkan pada aspek yang diperlakukan sebagai objek
penelitian.
Masa romantik (1850-1900)
Pada masa ini kemajuan teknologi banyak membawa kebisingan membuat
manusia rindu pada ketentraman dan kesepian. Dalam seni lukis muncul gambar-gambar
pemandangan indah yang memberi perasaan tenang penuh emosi cinta dan rasa damai.
17

Akibat peran perasaan dalam periode romantik ini ditonjolkan, maka pengaruh aliran ini
terhadap kesenian menjadi begitu kuat sehingga emosi begitu kuat sehingga dijadikan
syarat utama bagi penciptaan suatu karya.
Realisme modern (setelah 1920)
Manusia mulai kembali pada religiusitas dan nilai kerohanian. Pemikiran filsuf
tentang keindahan dan para pakar seniman tentang kesenian mulai bergeser dikarenakan
swemakin mudahnya akses komunikasi dan transportasi yang relatif lebih mudah dalam
membantu interaksi. Dengan demikian pertimbangan dalam melihat budaya dari beberapa
sudut yang lain, menikmati, serta mambahas dan mengevaluasi kesenian bisa lebih
mendalam.
Shaftesbury (1671-1713)
Menjelaskan bahwa keindahan adalah suatu yang sublime (luhur sifatnya).
Penggabungan dua fungsi (kemampuan moralitas dan kemampuan menikmati keindahan)
di dasarkan atas keyakinan, untuk mencapai pengalaman keduanya diperlikan keikhlasan
budi yang disebut disinterestedness.
Hutcheson (1694-1746)
Hutcheson membantah pandangan shaftesbury tentang faculty of taste. Ia
menganggap kemampuan mengecap keindahna itu sebagai kemampuan berada pada tiap
manusia,hutcheson menandaskan di dalam hati sanubari manusia terkandung beberapa
internal senses atau intra dalam berupa moralitas,, solidaritas, rasa malu, bangga, perasaan
besar, dsb.. Diantara beragam rasa itu terdapat rasa nikmat, indah. Dengan jelas
memisahkan internal senses atau indra dalam ini dari panca indra atau eksternal senses.
Indra ekstern menghasilkan persepsi indra intern menghasilkan reaksi.





18



BAB III
ESTETIKA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

3.1. Penerapan Estetika dalam Desain komunikasi Visual
Sebelum membahas mengenai dimana letak desain sesungguhnya dalam ilmu
estetika, ada baiknya kita sedikit mengawali dengan memahami terlebih dahulu definisi-
definisi yang telah ada mengenai keduanya. Anwar (1980: 5) menyebutkan definisi
mengenai estetika, yaitu secara teknis adalah ilmu tentang keindahan. Estetika sendiri
berasal dari bahasa Yunani aesthesis yang berarti perasaan atau sensitivitas. Sachari (1989:
2) menyebutkan bahwa dari banyak pengertian estetika yang dirumuskan oleh pakar-pakar
estetika, semuanya pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu hal-hal yang mempelajari
tentang keindahan, baik sebagai obyek yang dapat disimak dari karya-karya seni, dari
subyeknya, atau penciptanya yang berkaitan dengan proses kreatif dan filosofinya. Mereka
sepakat bahwa estetika secara garis besar terbagi menjadi 3 bagian pemahaman, yaitu
filsafat, teori, dan ilmu yang berkaitan dengan keindahan seni.
Kebanyakan orang berasumsi bahwa estetika identik dengan seni. Sutrisno (1999:
134-135) menyebutkan bahwa estetika atau ilmu filsafat estetika sendiri terbagi menjadi
dua bidang, yaitu filsafat estetika dan filsafat kesenian sendiri. Filsafat estetika adalah teori
estetika dimana didefinisikan sebagai ilmu mengenai sikap estetis terhadap obyek-obyek
estetis dimana terjadi suatu pengalaman estetis. Sedangkan filsafat kesenian menjelaskan
tentang teori seni tentang asal usul dan sub-sub konsep seni (teori sastra, musik, desain,
dll.) dimana keduanya bergantung pada pengertian/pemahaman mengenai karya-karya seni
(sehingga memunculkan lingkup estetika berikutnya yaitu kritik seni).
Desain berasal dari bahasa italia designo yang artinya gambar. Desain merupakan
susunan garis atau bentuk yang menyempurnakan kerja seni dengan memberikan
penekanan khusus pada aspek proporsi, struktur, gerak, dan keindahan secara terpadu.
Dalam seni, desain terletak pada lingkup seni terapan (Encyclopedia Britanica, 1956: 259).
19

Dalam Sachari (1989: 55) jelas disebutkan dimana letak sesungguhnya desain
dalam ilmu estetika. Dimensi estetika terbagi menjadi 5 kategori, sebagai berikut:
1. Estetika Murni, yaitu terdiri dari ungkapan estetik dan kesadaran estetik.
2. Estetika Terapan, yaitu terdiri dari unsur karya seni dan unsur desain.
3. Estetika Massa, yaitu terdiri dari orientasi selera dan orientasi gaya hidup.
4. Estetika Agama, yaitu unsur kesempurnaan ibadat dan unsur harapan surga.
5. Estetika Alam, yaitu fenomena yang menggetarkan dan realitas yang menakjubkan
Dari penjabaran di atas dapat kita ketahui bersama bahwa desain sesungguhnya
termasuk dalam kategori estetika terapan, bersama dengan karya seni. Sedikit berbeda
dengan pemahaman beberapa pakar lainnya yang menempatkan desain sebagai seni
terapan. Karena di sini desain dibahas dalam lingkup ilmu estetika secara global dan bukan
secara filosofis. Sachari kemudian menjelaskan (1989: 82) bahwa seniman menciptakan
karya-karya seni seperti lukisan, patung dan lain sebagainya semata-mata merupakan
ekspresi subyektifitas dimana baru kemudian dapat berkembang memiliki pertimbangan
ekonomis. Seniman menerapkan ilmu estetika dengan pertimbangan tujuan estetik secara
pribadi. Sedangkan seorang desainer mempertimbangkan berbagai aspek seperti faktor
ekonomi, kepraktisan, nilai guna dengan menggunakan substansi dasar ilmu estetika atau
keindahan. Sebagaimana yang diungkapkan Muchtar Lubis di atas, estetika dalam desain
digunakan sebagai daya pikat agar konsumen terjerat untuk membeli. Konsumen yang
gandrung keindahan melalui mode yang setiap saat selalu berganti merupakan pasar empuk
bagi desainer. Perkembangan ilmu estetika dewasa ini begitu luasnya seiring
perkembangan kebudayaan manusia.
Sachari (1989: 70) menyebutkan mengenai gelombang estetis baru yaitu estetika
informasi. Jika jaman dahulu media untuk menikmati obyek estetis sangatlah terbatas,
maka sekarang media obyek estetis tersebut telah dikembangkan oleh media informasi.
Media saat ini yang paling populer contohnya adalah televisi, radio, fotografi, majalah,
20

surat kabar, komputer, film, video, dan lain sebagainya. Komposisi-komposisi yang estetis
dari belahan lain penjuru dunia dapat kita nikmati dalam sekejab, praktis dan ekonomis,
sehingga dapat memperluas persepsi kita akan konsep keindahan secara global. Pada
akhirnya ia akan menjadi unsur yang dapat mempengaruhi pola tingkah laku dalam
pengambilan keputusan estetik dalam masyarakat luas.
Posisi desain dalam ilmu estetika merupakan ruang lingkup baru yang kian lama
kian berkembang seiring perkembangan kebudayaan manusia. Namun sesungguhnya
konsep dasar desain sendiri telah ada sejak diciptakannya obyek estetis. Konsep dasar
desain adalah sesungguhnya pada bagaimana karya desain dapat memiliki nilai atau
pengaruh. Jadi, apabila lebih dipahami sebagai hasil dan bukan pada prosesnya, maka karya
seni dan semua obyek estetis lainnya tentunya merupakan sebuah karya desain yang
memiliki konsumen sendiri-sendiri yang tentunya dikatakan karya desain yang berhasil
apabila konsumen atau pangsa pasarnya sangat mengagumi keindahannya. Terlepas dari
bagaimana si penikmat menyikapi rasa keterkagumannya tersebut (entah hanya akan
melihat dan berdecak kagum saja atau berniat memilikinya), konsep awal desain dapat
dipahami di sini. Sedangkan teorisasi tentang desain sendiri merupakan hanyalah sebuah
usaha mempermudah pendefinisian sebuah ilmu pengetahuan yang telah berkembang.













21

BAB IV
Penutup

4.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas terlihat bahwa konsep tentang estetika sangat dipengaruhi oleh
perkembangan filsafat dan pemikiran manusia. Dengan menambahkan konteks ruang dan
waktu, didapatkan bahwa estetika pada ruang dan waktu yang berbeda adalah berbeda-
beda pula. Hal ini berarti bahwa perkembangan estetika pada suatu tempat tidaklah sama
dengan perkembangannya di tempat yang lain. Sebagai contoh adalah perkembangan
estetika arsitektur di Barat seperti yang telah diuraikan sebelumnya tidaklah sama
dengan perkembangan estetika arsitektur di Indonesia. Indonesia. Walaupun demikian,
perkembangan estetika arsitektur di Indonesia mencapai kemiripan dengan estetika Barat
sebagai akibat dari globalisasi
Keindahan merupakan jalan menuju kontemplasi. Pandangan ini Nampak dalam
pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles. Keindahan itu sendiri di anggap ada di luar dan
subyek, biasanya dengan penekanan bahwa keindahan itu ada di seberang.

Perhatian akan apa yang secara empiris terjadi didalam diri si subyek termuat dalam
pandangan Aristoteles, yang kedua-duanya menyajikan penyelidikan terhadap
pengalaman manusia secara aposteriori-empiris.









22

DAFTAR PUSTAKA

Sachari, Agus, 1989, Estetika Terapan, NOVA, Bandung.
Gie, The Liang, Garis Besar Estetik, 2000. Yokyakarta : Modern Liberty
Sutrisno SJ., Mudji, 1999, Kisi-Kisi Estetika, Kanisius, Yogyakarta.
Anwar L.Ph., Wadjiz, 1980, Filsafat Estetika, Nur Cahaya, Yogyakarta.
Encyclopedia Britannica. Volume 7. 1956. Encyclopedia Britannica Inc. USA, Hlm 259.





s

You might also like