You are on page 1of 19

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN

CEDERA KEPALA















MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Health Alteration I
Oleh
1. Distra Famia C (12.1109)
2. Kurnia Kartika Ajie
3. Rizky Dwi Cahya




PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
AKADEMI KEPERAWATAN PROVINSI JAWA TENGAH
UNGARAN
2013


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera
pada kepala di Indonesia. Beberapa Rumah Sakit ada yang memakai istilah cedera
kepala dan cedera otak sebagai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada
kepala, walaupun secara harfiah kedua istilah tersebut sama karena memakai
gradasi responds Glaso Coma Scale (GCS) sebagai tingkat gangguan yang terjadi
akibat suatu cedera di kepala.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
akibat trauma yang mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal
neuruanatomi, neurofisiologi, neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari
masalah yang dikeluhkan atau kelainan dari pengkajian fisik yang didapat bias
sekomprehensif mungkin ditanggapi perawat yang melakukan asuhan pada klien
dengan cedera kepala.
Cedera kepala meliputi trauma kepala,tengkorak, dan otak. Secara anatomis
otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium atau
helem yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali
terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak tidak dapat
diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi
seseorang.
Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk
menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik,
bahkan kematian.
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologis yang paling serius
diantara penyakit neurologis, dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil
kecelakaan jalan raya. Lebih dari setengah dari semua klien cedera kepala berat
mempunyai signifikan cedera terhadap bagian tubuh lainnya. Adanya syok
hipovolemik pada klien cedera kepala biasanya karena cedera pada bagian tubuh
lainnya. Resiko utama klien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak
akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai responds terhadap cedera dan
menyebabkan peningkatan tekanan intracranial.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari cedera kepala ?
2. Apa saja jenis cedera kepala ?
3. Bagaimana pemeriksaaan diagnosis dan penunjang dalam kasus cedera kepala?
C. Tujuan Penulisan
1. Memberi informasi tentang pengertian dari cedera kepala
2. Memberi informasi jenis-jenis dari cedera kepala
3. Memberi informasi pemeriksaan diagnosis dan penunjang kasus cedera kepala























BAB II
CEDERA KEPALA

A. Pengertian
Trauma atau cidera kepala juga dikenal sebagai cidera otak adalah gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik, trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansi alba, iskemia dan pengaruh massa
karena hemoragik, serta edema serebral disekitar jaringan otak. Menjadi 3 gradasi,
yaitu:
1. Cedera kepala Ringan / cedera otak ringan bila GCS 13-15
2. Cedera kepala sedang / cedera otak sedang, bila GCS 9-12
3. Cedera kepala berat / cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8.
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
B. Tipe trauma kepala:
1. Cedera kulit kepala
Luka pada kulit kepala merupakan tempat masuknya kuman yang dapat
menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi
2. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak yang
disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak.
Adanya fraktur tengkorak dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat.
Fraktur tengkorak dapat terbuka dan tertutup. Pada fraktur tengkorak terbuka
terjadi kerusakan pada durameter sedangkan pada fraktur tertutup keadaan
durameter tidak rusak.
Gejala-gejala yang timbul bergantung pada jumlah dan distribusi cedera otak.
Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur.
Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, sehingga
penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto tengkorak.
Fraktur dasar tangkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal
atau lokasi tengah telinga ditulang temporal, pendarahan sering terjadi dari
hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di konjungtiva.
Fraktur dasar tengkorak dapat dicurigai ketika cairan serebrospinal (CSS)
keluar dari telinga . keluarnya CSS merupakan masalah serius karena dapat
menyebabkan infeksi seperti meningitis, jika organisme masuk ke dalam basis
kranii melalui hidung, telinga atau sinus melalui robekan durameter. Laserasi
atau kontusio otak ditunjukkan oleh CSS yang mengandung darah.
3. Cedera Otak
Pertimbangan penting pada cedera otak manapun adalah apakah otak telah
atau tidak mengalami cedera. Cedera minor dapat menyebabkan kerusakan otak
bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajad
tertentu yang bermakna. Sel-sel otak membutuhkan suplai darah terus-menerus
untuk memperoleh nutrisi. Kerusakan otak berifat irreversible (permanen dan
tidak dapat pulih). Sel-sel otak yang mati diakibatkan karena aliran darah
berhenti mengalir hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat
mengalami regenerasi.
Cedera otak serius dapat terjadi, dengan atau tanpa fraktur tengkorak,
setellah pukulan atau cedera pada kepala yang dapat menimbulkan kontusio,
laserasi, dan perdarahan (hemoragik) otak.
4. Komosio serebri (cedera kepala ringan)
Komosio (commotio) umumnya meliputi suatu periode tidak sadar yang
berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit. Keadaan komosio
ditunjukkan dengan gejala pusing atau berkunang-kunang dan terjadi kehilangan
kesadaran penuh sesaat. Jika jaringan otak di lobus frontal terkena, klien akan
berperilaku sedikit aneh, sementara jika lobus temporal yang terkena maka akan
menimbulkan amnesia atau disorientasi.
Penatalaksanaan meliputi kegiatan mngobservasi klien terhadap adanya
pusing, sakit kepala, peningkatan kepekaan terhadap rangsang, dan cemas;
memberikan informasi , penjelasan dan dukungan terhadap klien tentang
dampak pascakomosio; melakuukan perawatan selama 24 jam sebelum klien
dipulangkan; memberitahukan klien atau keluarga untuk segera membawa klien
kembali ke rumah sakit apabila ditemukan tanda-tanda sukar bangun, sukar
bicata, konvulsi (kejang), sakit kepala berat, muntah, dan kelemahan pada salah
satu sisi tubuh; menganjurkan klien untuk melakukan kegiatan normal secara
perlahan dan bertahap.
5. Kontusio srebri (cedera kepala berat)
Kontusio serebri merupakan cedera kepala berat dimana otak mengalami
memar dengan memungkinkan adanya daerah yang mengalami perdarahan.
Klien pada periode tidak sadarkan diri, terbaring kehilangan gerakan, denyut
nadi lemah, pernapasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sering terjadi defekasi
dan berkemih yang tidak disadari. Tekanan darah suhu subnormal, dan
gambaran sama dengan syok.
Umumnya individu yang mengalami cedera luas mengalami fungsi motorik
abnormal, gerakan mata abnormal, dan peningkatan TIK yang merupakan
prognosis buruk.
6. Hemoragik intrakranial
Penggumpalan darah (hematoma) yang terjadi didalam kubah kranial adalah
akibat yang paling serius dari hemoragik cedera kepala. Penimbuhan darah
pada rongga epidural, subdural atau intraserebral, bergantung pada lokasinya.
Tanda dan gejala dari iskemik serebral yang diakibatkan oleh kompresi
karena hematoma bervariasi dan bergantung ada kecepatan dimana daerah vital
pada otak terganggu. Umumnya, hematoma kecil yang berbentuk dengan cepat
akan menjadi fatal sedangkan hematoma yang berbentuk secra lambat akan
memungkinkan klien untuk beradaptasi.
7. Hematoma Epidural (hematoma ekstradural atu hemoragik / EDH)
Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara durameter dan
tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah sobeknya arteri meningica
media (paling sering), vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), vena
emmisaria, sinus venosus duralis.
Setelah cedera kepala, darah berkumpul didalam ruang epidural (ekstradural)
diantara tengkorak dan durameter. Keadaaan ini sering diakibatkan karena
terjadi fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah
putus atau rusak (laserasi) dan terjadi hemoragik sehingga menyebabkan
penekanan pada otak.
Gejala klinis yang timbul akibat perluasan hematoma cukup luas. Biasanya
terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti denga
pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan (interval yang jelas). Hal ini penting
untuk diperhatikan, walaupun interval nyata merupakan karakteristik dari
hematoma epidural, hal ini tidak terjadi pada kira-kira 15% dari klien yang
mengalami lesi tersebut. Selama interval tertentu, kompensasi terhadap
hematoma luas terjadi melalui absorbi cepat CSS dan penurunan volume
intravaskular, yang mempertahankan TIK normal. Ketika mekanisme ini tidak
dapat menompensasi lagi, bahkan peningkatan kecil sekalipun dalam volume
bekuan darah menimbulkan peningkatan TIK yang nyata. Kemudian, sering
secara tiba-tiba, tanda kompensasi timbul dan klien menunjukan penurunan
status kesehatan dengan cepat.
Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran arean hiperdens dengan
bentuk bikonveks antara 2 sutura, gambaran adanya perdarahan volumenya
lebih dari 20 cc atau lebih tebal dari 1 cm atau dengan pergeseran garis tengah
lebih dari 5 mm.
8. Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah penggumpalan darah pada ruang diantara
durameter dan dasar otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan.
Hematoma subdural paling sering disebabkan karena trauma, tetapi dapat juga
terjadi karena kecenderungan perdarahan yang serius dan aneurisma.
Hematoma subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat dari
putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural.
Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut atau kronis, bergantung pada
ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang terjadi.
Hematoma subdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang
meliputi kontusio dan laserasi. Hematoma subdural subakut adalah sekuel dari
kontusio sedikit berat dan dicurigai pada klien dengan kegagalan untuk
meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik
tampaknya dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terlihat paling sering
pada lansia.
9. Hemoragik intraserebral dan hematoma
Hemoragik intraserebral adalah perdarahan ke dalam substansia otak.
Hemoragik ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak
ke kepala sampai daerah kecil hemoragik ini didalam otak mungkin juga
diakibatkan oleh hipertensi sistemik yang menyebabkan degenerasi dan ruptur
pembuluh darah, ruptur kantong sneurisma, anomali vaskular, tumor intrakranial,
penyebab sistemik termasuk gangguan perdarahan seperti leukimia, hemofilia,
anemia aplastik, dan trombositopenia, dan komplikasi terapi antikoagulan.
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa ganguan kesadaran, konfusi,
abnormalitas pupil, serangan (onset) tiba-tiba berupa deposit neorologis, perubahan
tanda vital, ganguan penglihatan, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala,
vertigo(pusing), ganguan pergerakan, kejang, dan syok akibat cidera multi system.
D. Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses
sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan
dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk
sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada
permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus
frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah
dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama
kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan
yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala
traumatik berat.
1. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus). Proses ini
adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada
kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi
kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses
primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan
regangan serabut saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
2. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari
berbagai gangguan sistemik, hipoksia(kekurangan o2 dlm jaringan) dan
hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya
tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi(defisiensi darah
suatu bagian) dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder
disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan
aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-
bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau
sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi
kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus
frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala
kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada
kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi
yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai
pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala
disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian
depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat
timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan
klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh
terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan
dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan
melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi
negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan
perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat
didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau
sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena
kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi
tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada
lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap
ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan
batang otak dengan korteks serebri terputus.
E. Pathway
F. Pemeriksaan Diagnostik dan Penunjang
1. CT scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
2. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif
3. Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
5. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema) fragmen tulang
6. BAER
Mengeroksi batas fungsi korteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
8. CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
9. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
10. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran
11. Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
12. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
13. Analisa gas darah (AGD/astrup)
Analisa gas darah (AGD/astrup) adalah salah satu tes diaknostik untuk
menentukan status status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui
pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa

























BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan
sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk,
lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian
keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis, riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.
1. Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda),
jenis kelamin (banyak laki-laki), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku/bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, no register dan diagnosis
medik.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala
disertai penurunan tingkat kesadaran.
Riwayat penyakit saat ini. Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala
akibat dari kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan trauma langsung
ke kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun
(GCS < 15), konvulsi, muntah, tachypnea, sakit kepala, wajah simetris atau
tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran
pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang. Adanya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan
perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi sesuai dengan perkembangan penyakit dapat terjado letargi, tidak
responsif, dan koma.
Riwayat penyakit dahulu. Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi
adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes
mellitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obatan adiktif, konsumsi alkohol berlebihan.
Riwayat Penyakit keluarga. Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu
yang menderita hipertensi dan diabetes mellitus.
Pemerksaan psiko-sosio-spiritual. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien untuk menilai respon emosi klien terhadap penykit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhya dalm kehidupan seharinya baik dalam keluarga
maupun masyarakat. Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien
mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola
persepsi dan konsep diri di dapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada
harapan, mudah marah,dan tidak kooperatif. Cedera kepala memerlukan
untuk pemeriksaan pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan
keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas
emosi dan pikiran klien dan keluarga.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan
kesadaran dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital
1) B1 (breating)
Inspeksi : didapatkan klien batuk peningkatan produksi sputum
sesak nafas pengguanaan otot bantu nafas, peningkatan frekuensi
pernafasan. Terdapat retraksi klavikula/dada pengembangan paru
tidak simetris. Ekspansi dada:dinilai penuh/tidak penuh dan
kesimetrisannya. Ketidakseimetrisan mungkin menunjukkan adanya
ateletaksis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang
iga, pneumothoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube
trakeostomi yang kurang tepat.
Palpasi: fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
Perkusi: adanya suara redup sampai pekak pada keadaan
melibatkan trauma pada thoraks/hematothoraks.
Auskultasi: bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor,
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan
kemempuan batuk yang menurun sering
2) B2 (Blood)
Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera kepala pada
beberapa keadaandapat ditemukan tekanan darah normal atau
berubah, nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat
dan lemah berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya
menyeimbangkan kebutuhkan oksigen perifer. Nadi bradikardi
merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan
pucat menandakan adanya penurunan kadar hb dalam darah.
Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan
tanda0tanda awal dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat
trauma kepala akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon
(ADH) yang berdampak pada kompensasi tubuh untuk melakukan
retensi atau pengluaran garam dan air oleh tubulus.
3) B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya
perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural
hematoma, dan epidural hematoma.
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan.
Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan
dalam kewaspadaan dan kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat
kesadaran klien cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi,
stupor, semikomatosa, sampai koma.
4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik,
termasuk berat jenis. Setelah cedera kepala klien mungkin mengalami
inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
5) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual, muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi amibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis
luas.
6) B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kajji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukkan adanya
sianosis. Pucat wajah dan membran mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya kadar hb atau syok. Adanya kesukaran untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensorik atau
paralisi/hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.
B. DIAGNOSA
1. Gangguan atau kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidakseimbangan perfusi ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
Ditandai dengan :
DS: klien mengatakan sulit bernapas, sesak napas
DO: a. Gangguan visual
b. penurunan CO2
c. takikardia
d. tidak dapat istirahat
e. somnolen
f. iritabilitas
g. hipoksia
h. bingung
i. dispnea
j. perubahan warna kulit (pucat, sianosis)
k. hipoksemia atau hiperkarbia
l. frekuensi dan irama pernapasan abnormal
m. sakit kepaa saat bangun tidur
n. diaforesis
o. pH darah arteri abnormal
p. mengorok
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial
Ditandai dengan :
DS: klien / keluarga menyatakan adanya kejang
DO: a. Perubahan tingkat kesadaran
b. gangguan atau kehilangan memori
c. defisit sensorik
d. perubahan tanda vital
e. perubahan pola istirahat
f. retensi urine
g. gangguan berkemih
h. nyeri akut atau kronik
i. demam
j. mual
k. muntah proyektil
l. bradikardia
m. perubahan pupil (ukuran)
n. pernapasan cheyne stokes dan kusmaul
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neurovaskuler
Ditandai dengan
DS: klien mengatakan kesulitan untuk bergerak dan memerlukan bantuan untuk
bergerak
DO: a. Kelemahan
b. parestesia
c. paralisis
d. ketidakmampuan
e. kerusakan koordinasi
f. keterbatasan rentng gerak
g. penurunan kekuatan otot
4. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk menelan akibat sekunder dari penurunan tingkat
kesadaran.
Ditandai dengan:
DS: keluarga mengatakan klien tidak sadar
DO: a. Klien menunjukkan ketidakadekuatan nutrisi
b. terjadi penurunan BB 20% atau lebih dari berat badab ideal
c. konjungtiva anemis
d. hemoglobin abnormal
e. penurunan tingkat kesadaran
5. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
Ditandai dengan:
DS: klien/keluaraga mengatakan sulit menelan
DO: a. Batuk saat menelan
b. dispnea
c. bingung
d. delirium
e. soporokoma
f. koma
g. penurunan paCO
2
6. Resiko mencederai diri sendiri: trauma jatuh yang berhubungan dengan
penurunan tingkat kesadaran.
Ditandai dengan
DS: Keluarga mengatakan klien gelisah
DO: a. Disorientasi waktu, orang, tempat
b. Gelisah
c. Letargi
d. Stupor
e. CT-scan kepala menunjukkan adanya kerusakan

C. INTERVENSI
1. Diagnosa 1
a. Istirahatkan klien dalam posisi semifowler
b. Pertahankan oksigenasi NRM 8-10 i/mnt
c. Observasi tanda vital tiap jam atau sesuai respons klien
d. Kolaborasi pemeriksaan AGD
2. Diagnosa 2
a. Ubah posisi klien secara bertahap
b. Jaga suasana tenang
c. Atur posisi klien bedrest
d. Kurangi cahaya ruangan
e. Tinggikan kepala
f. Hindari rangsangan oral
g. Angkat kepala dengan hati-hati
h. Awasi kecepatan tetesan cairan infus
i. Berikan makanan per sonde sesuai jadwal
j. Pasang pagar tempat tidur
k. Hindari prosedur nonesensial yang berulang
l. Pantau dan gejala peningkatan TIK dengan cara:
1) Kaji respon membuka mata
2) Kaji respon verbal
3) Kaji respon motorik
m. Kaji respon pupil
n. Periksa pupil dengan senter
o. Kaji perubahan tanda vital
p. Catat muntah, sakit kepala, gelisah pernapasan yang kuat, gerakan yang
tidak bertujuan, dan perubahan fungsi
q. Konsul dengan dokter untuk pemberian pelunak feses bila diperlukan
3. Diagnosa 3
a. Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan mengobservasi setiap ekstremitas
secara terpisah
b. Ubah posisi klien tiap 2 jam
c. Lakukan secara teratur dan letakkan telapak kaki klien dilantai saat duduk
di kursi
d. Topang kaki saat mengubah posisi
e. Pada saat klien ditempat tidur letakkan bantal di ketiak diantara lengan
atas dan dinding dada
f. Jaga lengan dalam posisis sedikit fleksi
g. Letakkan tangan dalam posisi berfungsi dengan jari-jari sedikit fleksi dan
ibu jari dalam posisi berhubungan dengan abduksi
h. Lakukan latihan ditempat tidur
i. Lakukan latihan berpindah
j. Bantu klien duduk atau turun dari tempat tidur
k. Gunakan kursi roda bagi klien hemiplegia
4. Diagnosa 4
a. Kaji kebiasaan makan klien
b. Catat jumlah makanan yang dimakan
c. Kolaborasi dengan tim gizi dan dokter untuk penentuan kalori\
5. Diagnosa 5
a. Kaji tanda aspirasi seperti demam, bunyi crackles, bunyi ronkhi, bingung,
penurunan paO
2
pada AGD
b. Kaji perubahan warna kulit seperti sianosis, pucat
6. Diagnosa 6
a. Pasang pagar tempat tidur
b. Lindungi klien dari cedera dengan menggunakan bantalan pada pagar
tempat tidur dan bungkus tangan klien dengan kaos tangan
c. Hindari pemakaian opioid
d. Lumasi kulit klien dengan minyak pelembap
e. Meminimalkan lingkungan dengan mempertahankan ruangan tenang
f. Memberikan cahaya yang adekuat.






























Daftar Pustaka

Batticaca Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan klien dengan Gangguan Sistem
persarafan. Jakarta: Salemba medika.
Pierce A. Grace & Neil R. Borley. 2006. Ilmu Bedah. Jakarta : Erlangga
http://buddifarma.blogspot.com/2013/03/askep-cedera-kepala.html

You might also like