You are on page 1of 41

BAB 1

PENDAHULUAN
Suatu parasit merupakan organisme yang hidup pada permukaan atau
dalam suatu organisme kedua, yang disebut inang. Interaksi yang membentuk
hubungan inang parasit adalah kompleks. Ketika suatu parasit mencoba untuk
menyebabkan infeksi, inang merespon dengan menggerakkan suatu kesatuan
tempur dari mekanisme pertahanan. Kemampuan mencegah penyakit yang akan
memasuki mekanisme pertahanan disebut resistensi (kekebalan). Tanpa resistensi
disebut kerentanan.
Resistensi inang terhadap masuknya parasit dipisahkan menjadi dua tipe:
resistensi non-spesifik dan resistensi spesifik. Resistensi nonspesifik, atau alami,
resistensi yang termasuk mekanisme pertahanan alami yang melindungi inang dari
bermacam parasit tanpa menghiraukan apakah tubuh menghadapi tipe parasit
sebelumnya atau tidak. Resistensi spesifik, atau imunitas, merupakan mekanisme
pertahanan yang telah dikembangkan untuk merespon suatu parasit tertentu, atau
spesifik. Mekanisme pertahanan imun spesifik demikian didapatkan inang sebagai
suatu akibat dari permulaan adanya parasit.
Dalam dunia organisme, resistensi nonspesifik merupakan hal paling
umum dan mendasar untuk pencegahan penyakit. Tumbuhan dan sebagian besar
hewan bertahan hanya dengan resistensi nonspesifik terhadap dunia patogen
potensial. Hanya hewan vertebra yang memiliki resistensi spesifik atau
mendapatkan suatu respon imunspesifik. Oleh karena itu mereka lebih efisien
dalam melawan infeksi. Pertama mereka menggunakan mekanisme resistensi
nonspesifik, dengan segera tersedia, menyerang masuknya parasit; selanjutnya
mereka mengandalkan imunitas spesifik sebagai bantuan atau, pada suatu
penyakit yang terus-menerus, sebagai akhir dari resistensi. Jika pengaruh
gabungan dari resistensi alami dan imunitas dapatan tidak mampu menghentikan
penyebaan infeksi, akhirnya selalu terjadi kematian inang.
Akibat dari infeksi parasit dapat disebabkan oleh tidak adanya reaksi imun
sehingga terjadi superinfeksi berat di satu pihak dan di pihak lain terjadi reaksi
imunopatologik yang berlebihan sehingga mengancam jiwa. Parasit harus berada
di antara kedua ekstrem ini untuk menghindari kematian pejamu dan pada saat
yang sama menghindar dari reaksi imun, supaya ia sendiri tetap hidup. Pada
kenyataannya, setiap parasit mempunyai mekanisme yang sangat kompleks
sampai terjadinya kematian.
Penyakit karena protozoa dan cacing mengenai jutaan masyarakat.
Antibody biasanya efektif terhadap bentuk yang ditularkan melalui darah.
Produksi IgE sangat meningkat pada infestasi cacing dan dapat menyebabkan
masuknya IgE dan eosinofil yang diperantarai oleh sel mastoid.
Kebanyakan parasit cenderung menyebabkan supresi imunologik nonspesifik
pejamu. Antigen parasit yang bertahan menahun menyebabkan kerusakan jaringan
imunopatologik seperti kompleks imun pada sindroma nefrotik, granulomatosa
hati dan lesi autoimun pada jantung. Imunosupresi umum meningkatkan kepekaan
terhadap infeksi bakteri dan virus.

Kegiatan Praktikum Parasitologi-1
Tujuan : Memahami stadium infektif dan stadium diagnostik untuk parasit malaria
dan filaria dengan pemeriksaan secara mikroskopik dan serologi.
Kegiatan Praktikum :
1. Demontrasi : morfologi parasit penyebab malatia dan filariasis
2. Membuat sediaan darah untuk diagnosis malaria
Pembuatan Sediaan Darah Malaria
Spesimen : Darah Jari
Alat dan Reagensia :
1. Kaca Objek
2. Lancet
3. Kapas kering
4. Kapas alkohol
5. Rak pewarnaan
6. Larutan Giemsa 3%
7. Methanol
8. Botol semprot berisi akuades
9. Tissue, plastik sampah, container pembuangan benda tajam

Cara Kerja :
1. Bersihkan salah satu ujung jari dengan kapas alkohol, lalu tusuk dengan
lancet
2. Tetes darah pertama dibersihkan dengan kapas kering untuk
menghilangkan bekuan darah dan sisa alkohol
3. Teteskan setetes darah di satu sisi kaca objek untuk membuat sediaan
darah tipis
4. Selanjutnya 2-3 tetes darah pada bagian tengah kaca objek untuk membuat
sediaan darah tebal
5. Bersihkan sisa darah di ujung jari dengan kapas
6. Pembuatan sediaan darah tipis: ambil kaca objek baru kemudian
tempelkan ujungnya ke darah dengan sudut 45 sampai darah tersebut
menyebar sepanjang sisi lebar kaca objek, kemudian
7. Geser kaca objek dengan cepat kearah yang berlawanan dengan darah tetes
tebal, sehingga didapatkan sediaan hapus (seperti bentuk lidah)
8. Pembuatan sediaan darah tebal: ke tiga tetes darah tebal dihomogenkan
memakai ujung kaca objekdengan cara memutar ujung kaca objek searah
jarum jam, sehingga berbentuk bulatan dengan diameter 1 cm.
9. Keringkan sediaan darah secara alami (dalam suhu ruang)
10. Setelah kering, sediaan darah tipis difiksasi dengan methanol. Jangan
sampai terkena sediaan darah tebal
11. Letakkan pada rak pewarna dengan posisi darah berada di atas. Warnai
dengan larutan Giemsa 3% dengan cara menuangkan dari tepi hingga
menutupi seluruh permukaan kaca sediaan. Biarkan selama 30 menit
12. Cuci sediaan darah dengan air bersih secara perlahan dari tepi kaca sediaan
sampai larutan Giemsa yang terbuang menjadi jernih.
13. Keringkan sediaan darah dan periksa di bawah mikroskop.





Kegiatan Praktikum Parasitologi-2
Tujuan Umum: Mahasiswa mengenal berbagai parasit oportunistik yang menjadi
penyulit pada penderita dengan imunodefisiensi dan mengetahui cara menegakkan
diagnosisnya.
Tujuan Khusus:
1. Mengetahui bentuk infektif dan diagnostik parasit-parasit oportunistik
2. Mengetahui dan mendiskusikan jenis pemeriksaan untuk menegakkan
diagnosis parasit oportunisti, seperti: Strongyloides stercoralis, Isospora
sp, Cryptosporidium sp.
3. Mengetahui stadium penyebab patologi dan menjelaskan / mendiskusikan
patogenesisnya
Kegiatan Praktikum :
1. Melihat sediaan demonstrasi
2. Mendiskusikan dengan pembimbing untuk mencapai tujuan khusus
pembelajaran

















BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Respons Imun Pada Infeksi Parasit
Prevalensi infeksi parasit (protozoa : malaria, tripanosoma, toksoplasma,
amuba; cacing; ektoparasit : kutu, tungau) meningkat bermakna, terutama di
negara berkembang (30% di dunia). Kebanyakan infeksi parasit pada manusia
bersifat kronis, karena sistem imun nonspesifik yang lemah dan kemampuan
parasit bertahan terhadap imunitas spesifik, serta banyak obat antibiotik yang
tidak efektif lagi. Vaksin juga belum berkembang, diperlukan faktor humoral
(terutama IgG) yang bersifat protektif dengan mencegah merozoit memasuki sel
darah merah.
A. Imunitas nonspesifik
- Terhadap protozoa fagositosis, namun banyak yang resisten
terhadap efek bakterisidal makrofag, bahkan dapat hidup di dalam
makrofag.
- Terhadap cacing fagosit juga menyerang cacing dan melepas bahan
mikrobisidal untuk membunuh mikroba yang terlalu besar untuk
dimakan. Beberapa cacing mengaktifkan komplemen lewat jalur
alternatif, tetapi banyak juga parasit yang memiliki lapisan permukaan
tebal sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan
makrofag.

B. Imunitas spesifik
1. Respons imun yang berbeda
Berbagai parasit berbeda dalam besar, struktur, sifat biokimiawi,
siklus hidup, dan patogenisitasnya respons imun spesifik
berbeda pula. Infeksi cacing biasanya kronik dan kematian sel host
akan merugikan parasit sendiri rangsangan antigen persisten
meningkatkan kadar imunoglobulin dan pembentukan kompleks
imun dalam sirkulasi.

2. Infeksi cacing (dengan Th2)
- Respons terhadapnya lebih kompleks karena lebih besar dan tidak
terfagosit.
- Pertahanan terhadap cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing
merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5.
- IL-4 merangsang produksi IgE, kemudian IgE berikatan dengan
cacing.
- IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil eosinofil
mengikat IgE yang tadi sudah ada cacingnya.
- Eosinofil mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit.
Granulnya lebih toksik dibanding neutrofil dan makrofag.
- Reaksi inflamasi yang timbul mencegah menempelnya cacing pada
mukosa saluran cerna.
- Jika masuk ke saluran cerna dirusak IgG, IgE, dan mungkin dibantu
ADCC (antibody dependent cell (mediated) cytotoxicity)
- Sitokin yang dilepas sel T, yang dipicu antigen spesifik, merangsang
proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubungi
cacing yang dirusak cacing dikeluarkan melalui peningkatan
gerakan usus yang diinduksi oleh mediator sel mast seperti LTD 4 dan
diare akibat pencegahan absorbsi natrium yang tergantung glukosa
oleh histamin dan prostaglandin dari sel mast.
- Cacing terlalu besar untuk difagosit. Degranulasi sel mast/basofil yang
IgE dependen menghasilkan produksi histamin spasme usus tempat
cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan
melepas protein kationik, MBP dan neurotoksin. PMN dan makrofag
menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan
enzim yang membunuh cacing.




3. Filariasis (dengan Th1 dan Th2)
- Filariasis limfatik (menyumbat saluran limfe) menimbulkan CMI
kronis, fibrosis, akhirnya limfedema berat. Investasi persisten sering
disertai pembentukan kompleks antigen parasit dengan antibodi
spesifik yang dapat diendapkan di dinding pembuluh darah dan
gromerulus ginjal vaskulitis dan nefritis. Penyakit kompeks imun
dapat terjadi pada skistosima dan malaria.
- Spektrum gejala filariasis limfatik begitu luas, mulai dari besar jumlah
parasit dengan sedikit gejala klinis sampai yang kronis dengan parasit
yang sedikit ditemukan.
- Mikrofilaria dalam darah sitokin Th2 menjadi dominan dengan
cepat respons sel T menghilang peningkatan mencolok dari sintesis
IgG4 spesifik parasit.
- Induksi toleransi sel T terhadap parasit diduga terjadi dalam subset
Th1. Saat individu sakit, toleransi dipatahkan dan respons terhadap
Th1 dan Th2 meningkat dramatis. Baik respons Th1 maupun Th2
terhadap antigen filaria ditemukan pada individu yang imun terhadap
infeksi ulang kedua respons Th dianggap penting pada proteksi
pejamu dan patogenesis filariasis.

4. Granuloma (dengan Th1 kapsul granuloma dan fibrotik)
Parasit masuk tubuh ga bisa difagosit respon selular
terhadap antigen kronik mekanisme tubuh membentuk kapsul
yang terdiri atas sel-sel inflamasi. Makrofag melepaskan faktor
fibrogenik dan merangsang pembentukan jaringan granuloma dan
fibrotik. Hal tersebut terjadi atas pengaruh sel Th1 dan defisiensi
sel T akan mengurangi kemampuan membentuk granuloma dan
kapsul. Contoh yang jelas adalah granuloma di sekitar telur cacing
skistosoma di hati. Fibrosis berat yang berhubungan dengan CMI
(cell mediated immunity) merusak arus darah vena di hati
hipertensi portal dan sirosis.

5. Respons Th1 dan Th2 pada infeksi parasit
Infeksi parasit intraselular, gambaran kedua respons tersebut
berhubungan dengan prognosis baik atau buruk. Dalam
menentukan perjalanan penyakit, peran Th1 dan Th2 pada penyakit
parasit lebih kompleks.

C. Mekanisme parasit menghindar sistem imun
1. Pengaruh lokasi, tidak terpajan sistem imun, misalnya di intrasel
(beberapa protozoa) dan di lumen usus halus (cacing)
2. Parasit mengubah antigen
Tripanosoma afrika dapat mengubah antigen mantel permukaannya
melalui proses variasi antigenik (kita tau kan, berubah sedikit aja
bentuk parasit, udah dikenali berbeda oleh tubuh). Variasi
antigenik ada dua : yang tergantung dari fase perkembangannya
(plasmodium), berubah terus menerus (T. Brucei dan T rodesiensis,
terkait ekspresi gen). Parasit lain menutup dirinya dengan antibodi
sehingga sistem imun tidak mengenalnya.
3. Supresi sistem imun pejamu
- Larva T.spiralis, skistosoma, dapat merusak sel limfoid atau jaringan
secara langsung.
- Antigen yang dilepas parasit dalam jumlah besar dapat mengurangi
efektivitas respon imun.
- Anergi sel T ditemukan pada skistosomiasis berat yang mengenai hati
dan limpa dan infestasi filaria.
- Pada filariasis limfatik, infeksi kelenjar getah bening merusak
arsitektur kelenjar dan mengakibatkan defisiensi imun.
- Pada malaria dan tripanosomiasis afrika, defisiensi imun disebabkan
produksi sitokin imunosupresif oleh makrofag dan sel T yang
diaktifkan dan defek aktivitas sel T.



4. Resistensi
Larva skistosoma bergerak dari paru dan selama migrasi tersebut
mengembangkan tegumen yan resisten terhadap kerusakan oleh komplemen
dan CTL (Cytotoxic T Lymphocyte).
5. Hidup dalam sel pejamu
Protozoa intrasel atau mengembangkan kista resisten terhadap
respon imun.
Cacing lumen usus halus terlindung dari CMI (cell mediated
immunity).
Parasit juga kadang melepaskan tutup antigennya, spontan atau setelah
berikatan dengan antibodi sehingga resisten.

D. Malaria
Parasit malaria termasuk genus plasmodium. Pada manusia, terdapat 4
spesies, yaitu:
1. Plasmodium falciparum
2. Plasmodium vivax
3. Plasmodium malariae
4. Plasmodium ovale
Plasmodium dibawa oleh vektornya yaitu nyamuk Anopheles. Jadi manusia
terinfeksi karena gigitan nyamuk ini
Plasmodium tersebut memiliki fase spesifik, yang terdiri atas:
1. Trofozoit, skizon (terdiri atas banyak merozoit), gametosit terdapat dalam
tubuh manusia
2. Sporozoit, ookinet, ookista (dalam tubuh nyamuk)
Adapun daur hidup dari keempat spesies malara pada manusia umumnya
sama. Proses ini terdiri atas fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan
nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes.




2
Gb
Gm
Fase aseksual mempunyai 2 daur, yaitu:
1. Daur eritrosit dalam darah (skizogoni eritrosit)
2. Daur dalam sel parenkim hati (skizogoni eksoeritrosit), dibagi lagi menjadi:
a. Skizogeni eksoeritrosit primer dalam jaringan
b. Skizogeni eksoeritrosit sekunder dalam hati

Setelah nyamuk memasukkan sporozoit ke dalam tubuh hospes, ada 2
kemungkinan yang akan terjadi:
1. Sporozoit langsung mengalami pertumbuhan
2. Sporozoit dorman (tidur) selama periode tertentu > disebut hipnozoit

Setelah parasit masuk ke dalam tubuh, mekanisme efektor imun, baik innate
maupun adaptive dapat membatasi terjadinya parasitemia dan mengurangi jumlah
sel-sel terinfeksi yang beredar dalam tubuh
Imunitas malaria dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Imun terhadap parasit dicapai keadaan aparasitemia
2. Imun terhadap penyakit parasitemia dapat terjadi dengan atau tanpa gejala
klinis

Antigen malaria dapat dikenali oleh imun tubuh disebabkan adanya protein,
baik yang terdapat di permukaan eritrosit terinfeksi maupun yang berupa protein
transmembran yang diinsersikan oleh antigen ke dalam sel, semuanya di kode
oleh banyak gen, contoh proteinnya PfEMP (P. falciparum erytrosite membrane
protein yang dikode oleh var genes), KAHRP (knob-associated histidine-rich
protein), PfEMP2
Adanya variasi antigen baru dengan protein yang berbeda, membuat
antibodi hospes tidak dapat mengenali adanya infeksi. Hal ini menyebabkan
multiplikasi parasit yang tidak terkontrol yang berujung pada penyakit yang
makin parah.


Imunitas tubuh berkembang secara berangsur-angsur, sejak mulai
mausknya parasit (sporozoit) hingga timbulnya manifestasi klinis. Ditunjukkan
sebagaimana gambar berikut:








Keterangan:
Garis hitam (Gh) menunjukkan fase parasitemia setelah sporozoit masuk ke
dalam tubuh (sp)
Terdapat periode prepaten (p) antara inokulasi sporozoit dan terdeteksinya
parasit dalam darah
Garis biru (Gb) menunjukkan ambang batas mikroskopik (batas jumlah bisa
terdeteksi)
Area berwarna kuning (1) merupakan periode subpatent
Area berwarna orange (2) adalah area parasitemia asimtomatik
Garis merah (Gm) menunjukkan ambang batas klinis
Area pink (3) menunjukkan area timbulnya gejala klinis
Karena imunitas berkembang, maka ambang batas klinis juga meningkat
Periode inkubasi (i) adalah waktu antara inkubasi dengan munculnya gejala
klinis

Setelah nyamuk menggigit manusia, maka parasit akan terdeposit di kulit.
Setelah itu, sebagian besar akan masuk ke peredaran darah dan menginfeksi
hepatosit. Namun demikian, protein dari sporozoit ada yang tertinggal di kulit dan
akan dipresentasikan ke nodus limfa. Adanya sel T CD8+ akan mengeliminasi
parasit dalam hepatosit.
2
Gm
Gb
1
Gh
3
Imunitas terhadap malaria diawali setelah eritrosit yang terinfeksi
memberikan sinyal yang akan diterima reseptor CD36 di makrofag dan sel
dendritik. Jalurnya sebagai berikut:
Jalur sel dendritik
Eritrosit terinfeksi reseptor CD36 pada sel dendritik teraktivasi
dihasilkan IL-12 sel NK datang dihasilkan IFN-y sel dendritik
menghasilkan lebih banyak IL-12 untuk merekrut sel NK; makrofag
teraktivasi mematikan parasit melalui NO (nitric oxide)
Jalur makrofag
Eritrosit terinfeksi reseptor CD36 pada makrofag teraktivasi parasit
dimatikan melalui NO (nitrit oxide)
Makrofag teraktivasi dihasilkan IL-12 merangsang sel Thelper 1 IL-2
perekrutan sel NK dihasilkan IFN-y aktivasi makrofag matikan
parasit

Pada adaptive immunity, imunitas humoral malaria terbentuk melalui
imunoglobulin atau antibodi. Antibodi ini berperan dalam:
1. Menghambat perlekatan parasit ke sel
2. Menghambat invasi ke eritrosit
3. Reaksi ADCC (antibody dependent cytotoxicity)
Sedangkan imunitas selular melalui peranan Cell mediated immunity. Prosesnya
sebagai berikut:
Eritrosit terinfeksi difagosit oleh makrofag melalui perantara sel NK, sel T
atau Th1-IFN-
Nitric oxide (NO) yang diproduksi makrofag dan sel T- IFN- memilki aktivitas
parasitisidal (membunuh parasit)
Pada fase hepatik akan dihasilkan CD8+ dan IFN-

Sitokin adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh sel, berperan dalam
komunikasi antarsel dan menghindari adanya serangan benda asing. Sitokin ini
bekerja pada sel-sel imun dan berperan dalam respons terhadap masuknya parasit.

Ada 2 jenis sitokin, yaitu yang bersifat pro-inflamsi dan anti-inflamasi
1. Sitokin pro-inflamasi, contohnya TNF-, IL-1,IL-6,IFN-
Produksi sitokin ini menyebabkan kenaikan suhu tubuh, peningkatan aliran
darah dan peningkatan permeabilitas vaskular, serta terjadinya akumulasi sel2
semua mekanisme ini untuk mematikan parasit
2. Sitokin anti- inflamasi, contohnya IL-10,TGF-
Sitokin ini menghambat aktivitas sel-sel imun dalam memproduksi sitokin
pro-inflamasi tujuannya untuk mencegah kerusakan jaringan yang luas

Pada malaria dengan komplikasi berat, seperti malaria serebral, beberapa
mediator inflamasi (sitokin) diduga berperan. Kadar IFN- yang tinggi dikaitkan
dengan terjadinya malaria berat dan aktivitas antiparasitemia.
IFN- bersama dengan TNF- merangsang produksi NO dan antiradikal
bebas lainnya untuk mematikan parasit.
Infeksi malaria dapat terjadi untuk pertama kali (primer) dan yang
berikutnya (sekunder)
Pada infeksi primer, antigen yang ditangkap oleh makrofag akan
merangsang produksi sitokin TNF-,IL-1,IL-6 (pro-nflamasi), namun demikian
makrofag ini belum teraktivasi sehingga antigen belum dapat dimatikan. Aktivasi
makrofag terjadi setelah makrofag mempresentasikan adanya antigen ke sel T,
sehingga dihasilkanlah limfokin (IFN-) Makrofag teraktivasi memilki peran
sebagai anti-mikroba dan anti-tumor.
Pada infeksi sekunder akan didapatkan jumlah sitokin pro-inflamasi yang
lebih tinggi. Akibatnya, respons terhadap masuknya antigen lebih cepat panas
pada pasien lebih cepat terjadi
Penyakit malaria memiliki gambaran yang berbeda-beda di berbagai daerah

Malaria pada High Endemic Area
Pada area ini dapat menyebabkan malaria serebral yang banyak diderita
oleh anak-anak berusia > 2 tahun akibat infeksi sekunder atau infeksi berulang,
jadi bukan karena infeksi pertama kalinya.
Pada infeksi primer, IFN dan TNF diproduksi dan sel B akan membentuk
memori terhadap infeksi (gejala klinis minimal). Adapun saat terjadi infeksi
sekunder, memori yang ada menyebabkan efek booster semakin banyak sitokin
pro-inflamsi (TNF dan IFN) yang diproduksi syok sistemik timbul malaria
serebral.
Pada infeksi berikutnya atau jika infeksi sekunder berlanjut, sel Tregulator
(Treg) akan memproduksi sitokin anti-inflamasi (IL-10 dan TGF-) yang akan
meminimalkan gejala dan tercipta imunitas klinis pada hospes.

Malaria pada Non or Low Endemic Area
Pada area ini, risiko terjadinya penyakit malaria meningkat jika orang
yang berasal dari daerah non endemik pergi ke daerah endemik. Terjadinya
penyakit malaria berat bergantung pada usia pasien. Makin tua usia pasien, makin
berat infeksinya.
Timbulnya penyakit yang lebih berat pada dewasa disebabkan oleh adanya
reaksi silang sel T dari infeksi lain yang pernah terjadi pada pasien tersebut. Sel T
yang sama dapat bereaksi terhadap antigen selain plasmodium, misalnya
T.gondii, tetanus toxoid, adenovirus, mycobacterial, streptococcal, fungal. Hal ini
menyebabkan akumulasi IFN- yang dihasilkan sel T.
Pada infeksi berikutnya (setelah terjadi malaria serebral), Treg akan
memproduksi sitokin anti-inflamasi (IL-10 dan TGF-) yang akan meminimalkan
gejala pada orang dewasa tersebut dan terciptalah imunitas klinis.
Pada bayi dan anak-anak umumnya tidak timbul malaria berat. Hal ini
disebabkan memori Th1 masih terbatas. Oleh karena itu, infeksi primer umumnya
tidak berat. Adapun pada infeksi berikutnya, Treg akan langsung berespons
dengan menghasilkan sitokin anti-inflamasi (IL-10 dan TGF-) sehingga
meminimalkan gejala dan menciptakan imunitas klinis

Malaria di Daerah yang Stabil dgn Transmisi Penyakit yang moderat-
tinggi
Stabil yang dimaksud di sini adalah terjadi transmisi malaria yang terus-
menerus. Pada kondisi ini, anak-anak dan bayi lebih rentan menderita malaria
berat; sedangkan pada dewasa umumnya ringan atau bahkan tidak muncul
penyakit
Anak-anak dan bayi yang dapat bertahan pada infeksi sekunder akan dapat
bertahan saat infeksi yang sama terjadi pada saat dewasa. Hal ini disebabkan telah
tercipta imunitas klinis. Oleh karena itu, pada dewasa relatif lebih ringan
gejalanya

Malaria di Daerah yang Tak Stabil dengan transmisi yang rendah
Pada area ini, malaria berat dapat diderita setiap orang di segala usia,
namun lebih rentan pada dewasa yang memilki gagal ginjal, edema paru, atau
kegagalan multiorgan
Dengan demikian, imunitas klinis pada malaria tergantung pada
kemampuan untuk menurunkan respons reaksi silang sel T, sehingga dapat
mengurangi jumlah IFN- non-spesifik. Adanya sel penghasil IFN- penting untuk
membedakan respons spesifik dan non-spesifik malaria.

E. Skistosomiasis
- Gambaran khas: kadar IgE dan eosinofil tinggi.
- Secara in vitro : Respons IgE dapat protektif bila dikombinasikan
dengan eosinofil yang membunuh larva skistosoma melalui ADCC
(antibody dependent cell (mediated) cytotoxicity).
- Secara in vivo, proses belum jelas, apakah sama dengan in vitro.
- IL-4 (sitokin Th2) meningkatkan sistesis IgE, sedangkan Th1
menurunkan produksinya.
- IL-5 untuk produksi eosinofil, IL-5 dikeluarkan dalam jumlah besar
pada antigen yang resisten.
- Infeksi skistosoma menimbulkan respons inflamasi terhadap telor
parasit yang terdiri dari granuloma yang Th1 dependen.
- Granuloma terdiri atas sel T, B, makrofag, fibroblas, dan sejumlah
besar eosinofil yang dapat mengucilkan telur.
- Percobaan pada tikus, intensitas sistem imun memacu terjadinya
granuloma pada minggu ke 7-8.
- Respons dini terhadap antigen telur adalah tipe Th1 dan Th2 dan
pengalihan ke Th2 (pengalihan ini berlangsung lama).

F. Sel mast pada infeksi cacing
- Meskipun sitokin Th2 dapat membantuk mengeluarkan cacing dari
saluran cerna, namun untuk menentukan jenis sel efektor yang menjadi
sasaran sitokin, masih sulit. Dewasa ini diketahui ada jalur efektor
multiple yang memacu Th2 dalam usus dan membuat kerentanan
parasit terhadap mekanisme pertahanan pejamu (bervariasi).
- Efektor Th2 adalah antibodi, eosinofil dan sel mast. Pada beberapa
infeksi (Trikinela spiralis) antibodi diperlukan untuk pengeluaran
cacing yan lebih cepat.
- Sel mast mukosa pengeluaran Strongiloides dan Trikinela, tetapi
tidak untuk trikiuris dan nipostrongilus.
- Sel mast mengikat IgE pada permukaan parasit melalui Fc-R
(fragment crystallizable reseptor) dengan afinitas tinggi.
- Peningkatan mencolong kadar IgE akibat infeksi dengan cacing
saluran cerna merupakan bagian penting dari degranulasi sel mast yang
terarah untuk melepas mediator atau merupakan epifenomen yang
merupakan sebagian dari peningkatan masif yang diinduksi IL-4 yang
diproduksi CD4+.
- Selain efek toksik, mediator tersebut juga memacu motilitas usus dan
produksi glikoprotein musin oleh sel goblet usus.
- Hipersekresi mukus dapat mencegah kontak dan pengambilan nutrien
oleh parasit. Jadi peningkatan sekresi mukus dan peristalsis usus
mungkin saja sudah cukup untuk mengeluarkan cacing.
- Bila tidak ada sel mast, hal yang sama dapat terjadi terhadap fisiologi
usus. Pengeluaran cacing lain seperti N. braziliensis tidak memerlukan
sel mast dan lebih dependen atas produksi IL-13 dibanding IL-4. Hal
ini mungkin karena IL-13 merupakan pemicu induksi poten untuk
hiperplasia sel goblet dan diduga sekresi musin merupakan komponen
kunci pengeluaran N. braziliensis.

G. Eosinofil pada infeksi cacing
- Merupakan tanda umum terjadinya infeksi cacing dan sudah lama
diduga bahwa sel tersebut sitotoksik dan diperlukan pada destruksi
patogen multiselular berukuran besar (lihat saja dia lebih banyak
granul-granul berisi zat-zat sitotoksik). Namun tidak banyak bukti
mengenai perannya dalam pengeluaran cacing.
- Bukti yang banyak yaitu adanya fungsi sitolitik terhadap fase larva
parasit yang bermigrasi ke jaringan.

H. Makrofag dan nitrit untuk membunuh parasit
- Merupakan sel terpenting yang memproduksi sitokin untuk mengontrol
dan menyingkirkan parasit
- NO (nitric-oxide) yang diproduksi makrofag sangat berperan
membunuh parasit
- NO adalah sitotoksik atau sitostatik untuk malaria, lesmania, T. cruzi,
toxoplasma, skistosoma, dan fungus patogen Kriptokok neoformans.
- IFN- merupakan sitokin penting oleh karena dapat mengaktifkan
respiratory burst yang menghasilkan NO.
- IFN- dapat bekerja sinergistik dengan IFN- dalam meningkatkan
produksi NO dengan menginduksi sintase oksida nitrit (NOS).
- Sitokin TGF- dan IL-10 menghambat produksi NO oleh makrofag.
- Jalur NO penting dalam pembunuhan cacing ekstraselular.
- Kebanyakan larva cacing dapat dibunuh in vitro oleh makrofag yang
diaktifkan IFN-.
- Banyak parasit dapat melawan serangan oksidatif dengan berbagai
strategi. Larva skistosoma terutama mencegah respons Th1. Makrofag
yang diaktifkan oleh sitokin Th1 dapat membunuh larva yang tidak
tergantung pada antibodi. NO reaktif yagn diproduksi makrofag dan
diaktifkan IFN, diduga berperan.

I. Sel CD 8+ membunuh parasit protozoa intrasitoplasmik
- Antigen banyak protozoa (misal T. cruzi) dapat diolah melalui jalur
presentasi antigen endogen. Nah ini merupakan sasaran untuk sel
CD8+. Sel ini menentukan resistensi terhadap infeksi primer dan
sekunder T.cruzi. kebalikannya, lesmania hidup dalam kompartemen
endolisosomal yang tidak dapat dicapai untuk dipresentasikan oleh
MHC-1. Sel CD8+ bukanlah pemeran utama dalam imunitas lesmania.






















BAB 3
HASIL dan PEMBAHASAN

1. Plasmodium Falciparum Stadium Skizon


Pada stadium scizon untuk membedakan dengan plasmodium lainnya:
a. Plasmodium falciparum : eritrosit yang terinfeksi tidak membesar,
merozoit menyebar.
b. Plasmodium vivax : eritrosit yang terinfeksi membesar
c. Plasmodium malaria : eritrosit tidak membesar tapi susunan
merozoit seperti bunga.










Stadium skizon
- Eritrosit tidak membesar
- Parasit: terdiri dari 2-24
merozoit dan terlihat
pigmen berwarna hitam
Stadium trofozoit
- Eritrosit tidak membesar
- Ukuran parasit : 1/6 SDM
- Bentuk : cincin, marginal,
accole,
dan multiple infection
2. Plasmodium Falciparum Stadium Tropozoit
(Pada sediaan darah tipis)


Eritosit tidak membesar,
Cincin agak besar,
Sitoplasma tebal
Titik maurer
berbentuk cincin






Terlihat dari sediaan ;
Eritrosit yang terinfeksi TIDAK membesar
Ada Titik Maurer
Parasit berbentuk cincin : acole, marginal, dan beberapa dalam satu
eritrosit
Ukuran parasit 1/6 eritrosit
3. Plasmodium falciparum

Merupakan stadium terpanjang dalam siklus kehidupan parasit. Sebab itu
hampir pada semua Staduim (SD) positif dapat ditemukan stadium ini. Memeriksa
SD malaria berarti mencari tropozoit pada SD tersebut.Morfologi (ciri-ciri khas)
inti: Parasit falciparum, bentuk intinya bulat, besar seperti titik
(halus/kasar),bersifat kompak atau padat sehingga warna menjadi kontras dan
jelas. Tropozoitbentuk irregular dengan sitoplasma berbentuk ameboid dan
adanya titik schufner , yang merupakan ciri khasnya. Selanjutnya nukleus
tropozoit membelah sampai 3-5 kali menjadi titik kecil, disusul dengan
pembelahan sitoplasma, maka terbentuklah skizon (Prosesskizogoni). asit ini
menginvasi serta menghancurkan sel darah merah, menetap di organ penting dan
jaringan tubuh, menghambat sirkulasi mikro, serta melepaskan toksin yang akan
menginduksi pelepasan sitokin yang bersifat proinflammatory sehingga terjadi
rigor malaria yang klasik . (Patologi malaria berhubungan dengan anemia,
pelepasan sitokin, dan pada kasus Plasmodium falciparum kerusakan organ
multiple yang disebabkan oleh gangguan mikro sirkulasi. Parasitemia.
Plasmodium falciparum adalah lebih parah berbanding yang lain karena ia akan
memparasitisasi eritrosit berbagai usia. karakteristik khas Plasmodium
falciparum adalah cytoadherence, di mana eritrosit yang terinfeksi dengan parasit
matang akan melekat pada sel endotel mikrovaskular. Proses ini dikatakan sebagai
suatu kelebihan untuk parasit karena ini bisa menghambat jalur masuknya eritrosit
abnormal ke dalam limpa untuk dihancurkan. Konsentrasi tinggi eritrosit yang
terinfeksi oleh Plasmodium falciparum dalam sirkulasi darah serta interplay antara
faktor penjamu dan parasit ini yang akan menyebabkan manifestasi infeksi
malaria berat seperti malaria serebral, non-cardiogenic pulmonary edema, dan
gagal ginjal. Penelitian yang dilakukan Chotivanich, K. et al dalam malaria
parasite clearance bahwa sel darah merah yang telah terinfeksi oleh
malariamengandung parasit yang semakin membesar dan bersifat kaku. Dimulai
kira-kira dari 13 16 jam pertama sehingga pertengahan siklus aseksual, sel darah
merah yang terinfeksi akan melekat pada endotelial vaskular sehingga dapat
mencegah parasite masuk ke dalam limpa yang bersifat untuk membersihkan
darah. Parasit pada tahap awal berukuran kecil dan fleksibel, sehingga tidak
mengganggu konfigurasi membran sel darah merah ataupun mengekspresikan
antigen parasitnya secara eksternal. Stadium trofozoit dan skizont matang,
berukuran lebih besar sehingga mengubah bentuk diskoid sel darah merah yang
terinfeksi serta memasukkan neoantigen seperti ring-infected erythrocyte surface
antigen (RESA) dan Plasmodium falciparum erythrocyte membrane 1 (Pf EMP 1)
pada membran sel darah merah penjamu. Adhesin antigenik parasit Pf EMP 1
tersebut diekspresikan di permukaan luar sel darah merah, dan perubahan ini yang
menyebabkan deformitas pada sel darah merah sehingga terjadi peningkatan
antigenicity. Setelah infeksi yang berulang, akan terjadi pembentukan imunitas
parsial. Ini akan membantu penjamu untuk bertoleransi dengan parasitemia
dengan penyakit minimal. Walaupun begitu, imunitas ini akan hilang jika
penjamu tidak terinfeksi lagi dalam beberapa tahun.




,

4. Plasmodium Vivax



Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae bisa
menyebabkan demam tinggi yang intermiten pada manusia. Morfologi P. vivax
stadium tropozoit kurang besarBentuk sangat ireguler, vakuola nyataKromatin
titik-titik atau benang-benang Pigmen halus warna kuning coklat Penyebaran
partikel halus Penyebaran tersebar. apat menyebabkan malaria tertian benigna,
disebut juga malaria vivax atau tertian ague , ini memiliki kecenderungan
menginfeksi sel darah merah yang muda ( retikulosit ). Serangan demam yang
berulang setiap 48 jam. Infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale
menyebabkan penyakit yang relatif ringan. Anemia terjadi dengan perlahan, dan
mungkin terdapat hepatosplenomegali yang nyeri.
5. Plasmodium vivax dan Plasmodium Trofozoit
Plasmodium Vivax Stadium Skizon
Sediaan darah tipis polesan Giemsa
Perhatikan:
- Eritosit : membesar
: titik Schuffner
- Parasit : terdiri dari 2-24
merozoit (mengisi seluruh
eritrosit) terdapat pigmen
berwarna cokelat berkumpul

Plasmodium Vivax StadiumTrofozoit,Skizon dan Zona Merah
Sediaan darah tebal pulasanGiemsa
Perhatikan :
- Parasit : gambaran tidak
uniform, tampak berbagai
stadium trofozoid sitoplasma
kompak
- skizon : Jumlah inti 1-12
- zona merah

Pembahasan :
Nyamuk anopheles betina memasukkan sporozoit melalui tusukannya
ke peredaran darah perifer manusia. Setelah kira-kira setengah jam sporozoit
akan masuk ke dalam sel hati dan akan tumbuh menjadi skizon hati dan
sebagian menjadi hipnozoit (skizon tidak aktif). Skizon hati masih berada
dalam daur praeritrsoit atau daur eksoeritrosit primer yang berkembangbiak
secara aseksual dan disebut skizogoni hati. Ukuran skizon hati sekitar 45
mikron dan membentuk kurang lebih 10.000 merozoit.
Hipnozoit akan berada pada fase tidak aktif dalam sel hati selama
beberapa waktu (biasanya kurang lebih tiga bulan) sampai aktif kembali dan
memulai daur eksoeritrosit sekunder dimanamerozoit dari skizon hati akan
masuk ke peredaran darah dan menghinggapi eritrosit untuk memulai
pembiakan aseksual berikutnya (skizogoni darah). Merozoit memiliki 2 jenis
protein khas di kutub apeksnya (PvRBP-1 and PvRBP-2) yang membuatnya
memiliki kemampuan untuk melakukan penetrasi ke dalam sel eritrosit dengan
mengintervensi antigen darah jenis duffy (Fy6). Inilah sebab mengapa
plasmodium vivax ini jarang/tidak ada ditemukan di afrika barat oleh karena
manusia yang asli daerah tersebut tidak memiliki antigen jenis ini [Fy (a-b-)].
Merozoit dari skizon eritrosit akan tumbuh menjadi trofozoit muda
yang berbentuk cincin dan berukuran kira-kria 1/3 ukuran eritrosit. Dengan
teknik pewarnaan Giemsa akan tampak trofozot muda ini memiliki sitoplasma
berwarna biru, inti berwarna merah dan memiliki vakuol yang besar. Sementara
eritrosit yang dihinggapi parasit P.vivax ini akan mengalami perubahan
menjadi besar, berwarna pucat dan memiliki bintik-bintik halus berwarna merah
yang mmeiliki bentuk serta ukuran yang sama besar. Titik ini disebut sebagai
titik schuffner. Seabgai catatan merozoit hanya dapat menyerang eritrosit muda
(retikulosit).
Trofozoit muda kemudian akan berkembang menjadi trofozoit stadium
lanjut (tofozoit tua) yang sangat aktif sehingga sitoplasmanya tampak berbentuk
ameboid. Pigmen dari parasit ini menjadi makin nyata dan berwarna kuning
tengguli. Skizon matang dari daur eritrosit mengandung 12-18 buah merozoit
dan dan mengisi seluruh eritrosit dengan pigmen berkumpul di bagian tengah
atau pinggir.
Daur eritrosit plasmodium vivax berlangsung selama 48 jam dan terjadi
secara sinkron. Meski demikian, dalam darah tepi dapat ditemukan semua
stadium parasit dari daur eritrosit, sehingga gambaran dalam sediaan darah
tidak uniformm kecuali pada hari-hari permulaan serangan pertama.
Setelah daur eritrosit berlangsung beberapa kali, sebagian merozoit
yang tumbuh menjadi trofozoit dapat memiliki sel kelamin dan kini disebut
makrogametosit dan mikrogametosit (gametogoni) yang bentuknya bulat atau
lonjong, mengisi hampir seluruh eritrosit dengan titik schuffner sendiri masih
akan tampak di sekitarnya.
Makrogameteosit (betina) mmeiliki sitoplasma berwarna biru
(pulasanGiemsa) dengan inti yang kecil, padat dan berwarna merah.
Mikrogametosit (jantan) biasanya bulat, sitoplasma berwarna pucat, birukelabu
dengan inti yang yang besar, pucat dan difus. Inti biasanya terletak di tengah.
butir-butir pigmen, baik pada makrogametosit maupun mikrogaetosit, jelas dan
tesebar pada sitoplasma.
Kemudian fase perkembangan selanjutnya dalam tubuh nyamuk terjadi
daur seksual (sporogoni) yang berlangsung selama enam belas hari pada suhu
sekitar 20 C dan 8-9 hari pada suhu 27 C. Di bawah 15 C perkembangbiakan
secara seksual tidak mungkin berlangsung.
Ookista muda dalam nyamuk memilki 30-40 butir pigmen berwarna
tengguli dalam bentuk granula halus tanpa susunan khas.


6. Parasit Malaria Stadium Sporozoit

Berkembang biak artinya berubah dari satu atau sepasang sel menjadi
beberapa sel baru. Ada dua macam perkembangbiakan sel pada plasmodium,
salah satunya pembiakan seksual. Pembiakan ini terjadi di dalam tubuhnya
melalui proses sporogoni. Bila mikrogametosit (sel jantan) dan makrogametosit
(selbetina) terhisap vektor bersama darah penderita, maka proses perkawinan
antara kedua sel kelamin itu akan terjadi. Dari proses ini akan terbentuk zigot
yang kemudian akan berubah menjadi ookinet dan selanjutnya menjadi ookista.
Terakhir ookista pecah dan membentuk sporozoit yang tinggal dalam kelenjar
ludah vektor.
Perubahan dari mikrogametosit dan makrogametosit sampai menjadi sporozoit
di dalam kelenjar ludah vektor disebut masa tunas ekstrinsik atau siklus
sporogoni. Jumlah sporokista pada setiap ookista dan lamanya siklus sporogoni,
pada masing-masing spesies plasmodium adalah berbeda, yaitu: Plasmodium
vivax: jumlah sporozoit dalam ookista adalah 30-40 butir dan siklus sporogoni
selama 8-9 hari. Plasmodium falsiparum: jumlah sporozoit dalam ookista adalah
10-12 butir dan siklus sporogoni selama 10 hari. Plasmodium malariae: jumlah
sporozoit dalam ookista adalah 6-8 butir dan siklus sporogoni selama 26-28 hari.
Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung
gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan gamet betina melakukan
pembuahan menjadi zigot. Zigotini akan berkembang menjadi ookinet kemudian
menembus dinding lambung nyamuk. Di luas dinding lambung nyamuk ookinet
akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit yang nantinya akan
bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia.
Masa inkubasi atau rentang waktu yang diperlukan mulai dari sporozoit masuk
ke tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam
bervariasi, tergantung dari spesies Plasmodium. Sedangkan masa prepaten atau
rentang waktu mulai

dari sporozoit masuk sampai parasit dapat dideteksi dalam darah dengan
pemeriksaan mikroskopik.
Sporozoit pada fase eksoeritrosit bermultiplikasi dalam sel hepar tanpa
menyebabkan reaksi inflamasi, kemudian merozoit yang dihasilkan menginfeksi
eritrosit yang merupakan proses patologi dari penyakit malaria. Proses terjadinya
patologi malaria serebral yang merupakan salah satu dari malaria berat adalah
terjadinya perdarahan dan nekrosis di sekitar venula dan kapiler. Kapiler dipenuhi
leukosit dan monosit, sehingga terjadi sumbatan pembuluh darah oleh
roseteritrosit yang terinfeksi.

7. Cacing Filaria (makrofilaria), Brugiamalayi, Brugiatimori,
Wuchereriabancrofti
Wuchereria bancrofti atau disebut juga Cacing Filaria adalah kelas dari
anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum
Nemathelminthes. Bentuk cacing ini gilig memanjang, seperti benang maka
disebut filarial. Cacing filaria penyebab penyakit kaki gajah berasal
dari genus wuchereria dan brugia. Di Indonesia cacing yang dikenal sebagai
penyebab penyakit tersebut adalah wuchereriabancrofti,
brugiamalayi, dan brugiatimori.





Klasifikasiilmiah
Kingdom: Animalia
Classis: Secernentea
Ordo: Spirurida
Upordo: Spirurina
Family: Onchocercidae
Genus: Wuchereria
Species: Wuchereriabancrofti

Ciri-ciri cacing Filaria
1. Cacing dewasa (makrofilaria), bentuknya seperti benang berwarna putih
kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (mikrofilaria) berbentuk
seperti benang berwarna putih susu.
2. Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih 65 100 mm,
ekornya berujung tumpul, untuk makrofilarial yang jantan memiliki
panjang kurang lebih 40 mm, ekor melingkar. Sedangkan mikrofilaria
berukuran panjang kurang lebih 250 mikron, bersarung pucat.
3. Tempat hidup Makrofilaria jantan dan betina di saluran limfe dan kelenjar
limfe. Sedangkan pada malam hari mikrofilaria terdapat di dalam
pembuluh darah tepi, dan pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler
alat-alatdalam, misalnya: paru-paru, jantung, dan hati.
Siklus hidup cacing Filaria terjadi melalui dua tahap, yaitu:
1. Tahap pertama, perkembangan cacing Filaria dalam tubuhnya muk sebagai
vector yang masa pertumbuhannya kurang lebih 2 minggu.
2. Tahap kedua, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh manusia (hospes)
kurang lebih 7 bulan.

Siklus hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuhnya muk apabila
nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terserang filariasis,
sehingga mikrofilaria yang terdapat ditubuh penderita ikut terhisap kedalam tubuh
nyamuk. Mikrofilaria tersebut masuk kedalam paskan pembungkus pada tubuh
nyamuk, kemudian menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot
dada (toraks). Bentuk mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I.
Dalam waktu kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi
lebih gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh dan
seterusnya larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh menjadi
lebih panjang dan kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak larva stadium III ini
sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi mula-mula kerongga perut
(abdomen) kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk nyamuk.
Apabila nyamuk yang mengandung mikrofilaria ini menggigit manusia.
Maka mikrofilaria yang sudah berbentuk larva infektif (larva stadium III) secara
aktif ikut masuk kedalam tubuh manusia (hospes). Bersama-sama dengan aliran
darah dalam tubuh manusia, larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke
pembuluh limfe. Didalam pembuluh limfe larva mengalami dua kali pergantian
kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa yang sering disebut larva stadium IV dan
larva stadium V.
Cacing filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh limfe, sehingga
akan menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi pembengkakan. Siklus hidup
pada tubuh nyamuk terjadi apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap
darah orang yang terkena filariasais, sehingga mikrofilaria yang terdapat di tubuh
penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk. Cacing yang diisap nyamuk tidak
begitu saja dipindahkan, tetapi sebelumnya tumbuh di dalam tubuh nyamuk.
Makhluk mini itu berkembang dalam otot nyamuk. Sekitar 3 minggu, pada
stadium 3, larva mulai bergerak aktif dan berpindah kealat tusuk nyamuk.
Nyamuk pembawa mikrofilaria itu lalu gentayangan menggigit manusia dan
memindahkan larva infektif tersebut. Bersama aliran darah, larva keluar dari
pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe.
Uniknya, cacing terdeteksi dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan
pada siang hari dia berada didalam kapiler alat-alat dalam seperti pada paru-paru,
jantung dan hati, selebihnya bersembunyi di organ dalam tubuh. Pemeriksaan
darah ada-tidaknya cacing biasa dilakukan malam hari. Setelah dewasa
(Makrofilaria) cacing menyumbat pembuluh limfe dan menghalangi cairan limfe
sehingga terjadi pembengkakan. Selain di kaki, pembengkakan bisa terjadi di
tangan, payudara, atau buah zakar. Ketika menyumbat pembuluh limfe di
selangkangan, misalnya, cairan limfe dari bawah tubuh tidak bisa mengalir
sehingga kaki membesar. Dapat terjadi penyumbatan di ketiak, mengakibatkan
pembesaran tangan.
Padasaatdewasa (Makrofilaria) inilah, cacing ini menghasilkan telur
kemudian akan menetas menjadi anak cacing berukuran kecil yang disebut
mikrofilaria. Selanjutnya, mikrofilaria beredar di dalam darah.Larva ini dapat
berpindah keperedaran darah kecil di bawah kulit. Jika pada waktu itu ada
nyamuk yang menggigit, maka larva tersebut dapat menembus dinding usus
nyamuk lalu masuk ke dalam otot dada nyamuk, kemudian setelah mengalami
pertumbuhan, larva ini akan masuk ke alat penusuk. Jika nyamuk itu menggigit
orang, maka orang itu akan tertular penyakit ini.



8. Brugia Malayi Stadium Mikrofilaria

9. Brugia Timori Stadium Mikrofilaria

Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam, berdasarkan
bagian tubuh atau jaringan yang menjadi tempat bersarangnya: filariasis limfatik,
filariasis subkutan (bawah jaringan kulit), dan filariasis rongga serosa (serous
cavity). Filariasis limfatik disebabkan Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan
Brugia timori
[1]
. Gejala elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di
bawahnya) sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B. timori
diketahui jarang menyerang bagian kelamin, tetapi W. bancrofti dapat menyerang
tungkai dada, serta alat kelamin. Filariasis subkutan disebabkan oleh Loa loa
(cacing mata Afrika), Mansonella streptocerca, Onchocerca volvulus, dan
Dracunculus medinensis (cacing guinea). Mereka menghuni lapisan lemak yang
ada di bawah lapisan kulit. Jenis filariasis yang terakhir disebabkan oleh
Mansonella perstans dan Mansonella ozzardi, yang menghuni rongga perut.
Semua parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat pengisap darah, atau,
untuk Dracunculus, oleh kopepoda (Crustacea).
Pada filariasis sistim imun yang berperan adalah sistim seluler dan
humoral, kedua sistim ini berjalan dan saling berkoordinasi karena pengaruh
Memiliki ukuran 8 x 200-260 mikron,
panjang ruang kepala 2 x lebar, inti
badab tidak teratur, ujung ekor
mempunyai 1-2 inti tambahan dan
sarung badan berwarna merah.

Mempunyai ukuran 7 x 280-310
mikron, panjang ruang kepala 3 x
lebar, inti badan tidak teratur, ujung
ekor mempunyai 1-2 inti tambahan
dan sarung badan pucat.

sitokin. Respon imun filariasis yang humoral maupun seluler terhadap
mikrofilaria terlihat lebih baik pada kelompok amikrofilaremik dibandingkan
kelompok mikrofilaremik
RESPON SELULER
Respon imun seluler filariasis telah banyak dipelajari. Peran sel limfosit
pada respon seluler sangat penting. Hilangnya mikrofilaria di peredaran darah dan
di organ-organ tempat parasit tinggal disebabkan oleh peristiwa ADCC (Antibody
Dependent Cell Cytotoxicity). Secara in vitro telah dibuktikan bahwa bila terdapat
antibodi spesifik yang menempel di permukaan badan mikrofilaria, sel-sel limfosit
terangsang untuk menempel di permukaan badan mikrofilaria, disusul matinya
mikrofilaria.
Proses ini diperkirakan merupakan mekanisme pertahanan pada filariasis.
Kegagalan respon seluler dapat terjadi pada penyakit yang telah berjalan lama
(menahun); parasit berhasil hidup dan mempertahankan diri di dalam tubuh
hospes. Dalam usaha beradaptasi diri, parasit mengeluarkan antigen yang dapat
mempengaruhi respon imun, dan ratio jumlah sel limfosit supresor (CD8+) dan sel
limfosit helper (CD4+) berubah. Sel CD4+ yang jumlahnya rendah
mengakibatkan produksi antibodi spesifik rendah.
RESPON IMUNOGLOBULIN
Penelitian respon humoral pada filariasis, menunjukkan bahwa secara
kuantitatif penduduk daerah endemis yang amikrofilaremik pada umumnya
mempunyai kandungan IgG anti filaria yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk yang mikrofilaremik. Secara kualitatif gambaran yang ditunjukkan
lebih kompleks; yaitu pada penderita filariasis bancrofti yang mikrofilaremik, IgG
anti filaria yang ada mengenal komponen protein cacing dewasa terutama pada
berat molekul < 80 Kd; pada penderita elefantiasis terutama pada berat molekul
180 Kd - 20 Kd pada penderita tropical eosinophilia (TPE) komponen protein
yang dikenal berat molekul 200 Kd - 25 Kd. Pada penderita filariasis malayi IgG
anti filaria dari penduduk yang amikrofilaremik dengan gej ala klinis mengenal
komponen protein mikrofilaria malayi pada berat molekul 125 Kd secara
mencolok, sedangkan penduduk amikrofilaremik tanpa gejala klinis IgG yang ada
mengenal komponen 75 Kd dan 25 Kd.
Empat macam subkelas IgG mempunyai struktur bentuk, fungsi dan
derajat partisipasi pada respon imun yang masing-masing sangat berbeda; hal ini
memberi indikasi bahwa perbedaan tipe respon imun yang terjadi pada perjalanan
penyakit filariasis ditentukan oleh masing-masing subkelas IgG yang berperan.
Secara kuantitatif kadar IgG 1 pada penderita elephantiasis lebih tinggi
dibandingkan pada penderita yang mikrofilaremik. Secara kualitatif pola
pengenalan yang ditunjukkan sangat berbeda. Komponen protein cacing dewasa
B. malayi yang dikenal oleh IgGl dan IgG3 dari penderita elephantiasis adalah
berat molekul > 68 Kd, sedangkan pada penderita yang mikrofilaremik komponen
protein yang dikenal < 68 Kd.
IgG3 mempunyai kemampuan mengikat komplemen paling besar di antara
subkelas yang lain. Bila terjadi ikatan IgG3 dengan antigen baik spesifik atau
nonspesifik dapat menyebabkan teraktivasinya sistim komplemen dengan
serangkaian reaksi, hal ini dapat menyebabkan rusaknya antigen tersebut. Hasil ini
menimbulkan dugaan bahwa peran IgG3 pada filariasis adalah sebagai
imunoprotektor. Tentunya hal ini perlu didukung oleh penelitian lebih lanjut.
Peran IgG2 pada filariasis masih sangat diragukan, mengingat
kemampuan IgG2 untuk mengikat komplemen sangat rendah, di samping ternyata
IgG2 juga mempunyai kemampuan kuat mengikat polisakharida. Respon IgG4
banyak dikaitkan dengan respon IgE. Bila kadar IgG4 tinggi dalam darah, hal ini
dapat sebagai indikator keadaan infeksi yang aktif dan ditemukannya mikrofilaria
di dalam darah. Biasanya keadaan ini disertai dengan rendahnya kemampuan
respon seluler. Pola pengenalan IgG4 terhadap komponen protein cacing filaria
banyak dikaitkan dengan IgE. Komponen protein cacing filaria dewasa maupun
mikrofilaria yang dikenal oleh IgG4 juga dikenal oleh IgE.
Seperti diketahui, di permukaan sel basophil dan sel mast terdapat reseptor
untuk IgE. Bila ikatan IgE dan sel basophil atau sel mast banyak beredar dalam
darah, kemudian bertemu dengan antigen spesifikmaka akan terjadi robekan
permukaan sel-sel tersebut dan terjadi pembebasan histamin. Bila IgG4 hadir
dalam jumlah banyak di dalam darah akan terjadi dua kemungkinan; pertama
kompetisi antara IgE dan IgG4 dalam mengikat antigen; bila terjadi ikatan
antigen-IgG4 maka ikatan antigen-IgE-sel basophil tidak terjadi sehingga tidak
ada pembebasan histamin dan reaksi alergi, kemungkinan ke dua bila IgG4 setelah
mengikat antigen kemudian menempel pada reseptor di permukaan sel basophil
atau sel mast sehingga IgE tidak dapat menempel pada permukan sel sehingga
pembebasan histamin tidak terjadi.
Pada filariasis konsentrasi IgE umumnya tinggi. Konsentrasi tertinggi
terdapat pada penderita TPE (8630 g/ml), penderita elephantiasis dan kelompok
tanpa gejala klinis baik yang mikrofilaremik maupun amikrofilaremik mempunyai
kandungan IgE dua kali normal. Meskipun semua bentuk klinis filariasis
mempunyai kadar IgE tinggi, gejala alergi hanya terjadi padaTPE saja; hal ini
karena adanya faktor bloking oleh IgG4.
PERAN SITOKIN
Fungsi sitokin pada filariasis masih belum banyak diketahui. Pada
dasarnya sitokin adalah suatu protein yang diproduksi oleh sel limfosit T dan
memegang peran penting pada pengaturan respon imun penyakit. Penelitian
tentang respon imun pada infeksi parasit menunjukkan bahwa sel CD+4 dan
CD+8 adalah sel limfosit yang berperan sebagai mediator sistim proteksi dan
imunopatologik. Berdasarkan sitokin yang dihasilkan dalam kaitannya dengan
respon imun, sel CD+4 dibagi menjadi dua kelompok sel : Thl dan Th2. Sitokin
penting yang diproduksi oleh sel Thl adalah IL-2 (Interleukin-2) dan IFN gama
(Interferon gama). IL-2 terutamaberperan dalam proses diferensiasi sel limfosit
sitotoksik (CTL), dan sel B. IFN gama berperan terutama untuk mekanisme
pertahanan, yaitu: proses aktivasi makrofag, meningkatkan proses killing
intraseluler, meningkatkan proses ADCC (AntibodyDependent Cell Cytotoxicity),
menstimulasi proliferasi sel B, meningkatkan produksi IgG2 oleh sel B dan
menetralkan efek IL-4 pada sel B.
Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 adalah: IL-4, IL-5 dan IL-6; IL-4
terutama berperan sebagai faktor perkembangan dan aktivasi sel B, perkembangan
sel mast, meningkatkan produksi IgE dan MHC kelas II dari sel B. IL-5 berperan
pada perkembangan sel B untuk berproliferasi, meningkatkan produksi IgA. Peran
IL-6 adalah menstimulasi proliferasi sel-sel plasmasitoma dan hibridoma, timosit
dan sel-sel hemipoetik progenitor, stimulasi sel B untuk memproduksi antibodi.
Dikemukakan 4 macam kemungkinan mekanisme respon imun;
Mekanisme pertama dalam respon imun hanya melibatkan sel Th l saja,
karena sel Th2 tidak berperan dalam sekresi sitokin maka terjadi sekresi IFN
gama, IL-2 dan LT yang berlebih, akibatnya terjadi inaktivasi sel B, tidak ada
sekresi antibodi, aktivasi makrofag, respon DTH kuat dan supresi sel Th2,
keadaan ini mengakibatkan parasit-parasit intrasel dapat terbunuh dengan efektif.
Mekanisme kedua, bila terjadi respon sel Th1 yang kuat tetapi disertai
dengan sedikit respon sel Th2, pengaruh IFNgama, IL-2 dan LT berkurang karena
adanya pengaruh IL-4, IL-5 dan IL-6 yang diproduksi oleh sel Th2. Terjadi
aktivasi sel B dan produksi antibodi, respon DTH tidak sekuat pada mekanisme
pertama.
Mekanisme ketiga, yaitu bila terjadi respon sel Th2 yang kuat, tetapi
sedikit respon sel Th1. Terjadi sekresi IL-4, IL-5 mungkin masih terjadi, mungkin
juga tidak banyak dilakukan, tetapi umumnya belum didapatkan jawaban yang
memuaskan. Penelitian yang dilakukan oleh Freedman dan kawan-kawan
menunjukkan bukti bahwa pada filariasis komponen utama yang terlibat dalam
respon imun adalah sel-sel endothelium yang terdapat pada dinding pembuluh
vaskuler maupun limfatik, di bawah pengaruh sitokin. Dalam penelitiannya
ditunjukkan IFN gama yang tinggi, filariasis menunjukkan bahwa penderita tanpa
filaremik mmpunyai kadar IFN gama 238 pg, hal ini menunjukkan bahwa bila
terdapat kandungan ini akan menstimulasi sel-sel endothel untuk mengkspresikan
MHC kelas I pada permukaan selnya. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya
kepekaan anti filaria CTL (sel imfosit sitotoksik), terutama di lokasi radang di
mana didapatan juga agen parasitnya. Bertambahnya aktivitas CTL spesifik akan
meningkatkan pula mekanisme ADCC, yang akan menyebabkan aktivitas killing
dari limfosit lebih efektif.
Mekanisme keempat, bila respon imun hanya melibatkan sel Th2 saja,
pada mekanisme ini terjadi sekresi dan IL-6 yang cukup, dapat menyebabkan
sekresi antibodi lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi pada mekanisme 1
dan 2. Produksi IgG2a, IgG 1 karena pengaruh IL-4, IgE tidak mencolok karena
masih ada pengaruh IFN gama. Penelitian respon sitokin pada filariasis, antibodi
dalam konsentrasi yang tinggi, tidak terjadi aktivasi DTH. Karena terdapat IL-4
dalam jumlah banyak maka terjadi sekresi IgE dalam jumlah banyak, makrofag
juga teraktivasi tetapi tidak sama dengan keadaan bila respon imun karena
pengaruh sel Thl, adanya IL-5 menyebabkan aktivasi fungsi eosinophil, dengan
demikian gambaran klinis yang timbul adalah gejala alergi.
10. Rapid Antigen Detection Test (RDT) : ICT (Immuno Chromatographic
Test) untuk malaria

Plasmodium falciparum :
Protein spesifik Hrp II Pf (Histidin rich protein II P. Falciparum)
Plasmodium sp. :
Enzim LDH (lactate dehydrogenase) / Aldolase
Penggunaan RDT membantu dalam menegakkan parasitebased diagnosis
di daerah dimana kualitas mikroskopik yang baik tidak ada. Pada paper ini akan
dibahas tentang pemeriksaan mikroskopik sediaan darah tebal dan tipis dan RDT
yang membantu menegakkan diagnosis pasti malaria. Tes diagnostik cepat adalah
alat yang mendeteksi antigen malaria pada sampel darah yang sedikit dengan tes
imunokromatografi. Tes imunokromatografi berdasarkan pada penangkapan
antigen parasit dari darah perifer menggunakan antibodi monoklonal atau
poliklonal terhadap antigen parasit. Untuk setiap antigen parasit digunakan 2 set
antibodi monoklonal atau poliklonal, satu sebagai antibodi penangkap, dan satu
sebagai antibodi deteksi. Antibodi monoklonal bersifat lebih spesifik tapi kurang
sensitif bila dibandingkan dengan antibodi poliklonal.
Antigen yang digunakan sebagai target diagnostik dapat spesifik terhadap
satu spesies plasmodium, atau dapat mencakup 4 parasit malaria pada manusia.
Tes imunokromatografi dapat mendeteksi histidine-rich protein 2 (HRP2) dari P.
falciparum, parasite lactate dehydrogenase (p-LDH), dan aldolase yang
diproduksi oleh bentuk aseksual atau seksual dari parasit P. falciparum, P. vivax,
P. ovale, dan P. Malaria. HRP2 adalah target antigen malaria
yang paling umum dan spesifik untuk P.
Falciparum. HRP2 dari P. Falciparum adalah protein yang larut air yang
diproduksi oleh bentuk aseksual dan gametosit muda dari P. Falciparum. HRP2
diekspresikan pada permukaan membran sel darah merah dan masih terdeteksi di
darah selama minimal 28
hari setelah dimulainya terapi anti malaria Rata-rata 9-12 hari setelah gigitan
nyamuk infeksius, HRP2 P. falciparum ditemukan di sirkulasi bertepatan dengan
gejala klinis malaria. Jumlah HRP2 P. falciparum meningkat selama siklus
infeksi eritrositer dengan jumlah terbesar dilepaskan saat skizon ruptur. HRP2
yang persisten dapat bermanfaat dalam mendeteksi parasitemia yang rendah dan
berfluktuasi pada malaria kronik. Plasmodium aldolase adalah enzim jalur
glikolisis pada parasit yang diekspresikan oleh parasit P. Falciparum dan non
falciparum pada stadium eritrositer. Antibodi monoklonal terhadap Plasmodium
aldolase telah digunakan dalam tes imunokromatografi kombinasi yang
mendeteksi antigen pan-malaria bersama dengan HRP2 dari P. Falciparum.
Parasite lactate dehydrogenase (pLDH) adalah enzim glikolisis yang diproduksi
oleh bentuk aseksual dan
seksual dari plasmodium, dan terdapat serta dilepaskan oleh plasmodium yang
menginfeksi eritrosit. pLDH telah ditemukan pada ke empat spesies malaria dan
untuk setiap spesies terdapat isomer yang berbeda.

11. Brugia rapid test
Deteksi antibodi IgG4 filariasis Brugia

-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- Menggunakan antigen rekombinan
Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah
dikembangkan untuk deteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar
antibodi IgG4 meningkat pada penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak
dapat membedakan infeksi lampau dan infeksi aktif.





12. ICT (Immuno Chromatographic Test) filaria
Deteksi antigen Wuchereria bancrofti

-
-
-
-
-
-
- Menggunakan antibodi monoklonal
Deteksi antigen dengan immuno chromatographic test (ICT) yang
menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen
W.bancrofti dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi
aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah.








Daftar Pustaka
1. Baratawidjaja, KG., Rengganis, Iris. Imunologi Dasar Edisi ke 8. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta: 2009; hal. 433-47.
2. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi
kedokteran. Edisi 4. Jakarta: FKUI; 2008
3. Adawiyah R. Buku Panduan Praktikum Parasitologi Modul Hematolog
dan Onkologi. Anemia dan Kelainan Hemostasisi. Jakarta: FKUI; 2013.

You might also like