You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyelenggaraan penerbangan sipil baik internasional maupun nasional
harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang
berlaku, untuk menjamin keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat
udara maupun barang-barang yang diangkut. Di mana penyelenggaraan
penerbangan sipil tersebut diatur dalam berbagai konvensi-konvensi internasional.
Dalam hukum udara internasional publik terdapat Konvensi Chicago 1944
yang merupakan konsitusi penerbangan sipil internasional. Konvensi tersebut
dijadikan acuan dalam pembuatan hukum nasional bagi negara anggota
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) untuk penyelenggaraan
penerbangan sipil internasional. Kemudian di bidang hukum udara perdata
internasional juga terdapat berbagai konvensi internasional seperti Konvensi
Warsawa 1929 beserta protokol serta suplemennya. Konvensi tersebut mengatur
tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga (third parties liability) beserta
protokolnya, konvensi mengenai pengakuan hak atas pesawat udara, di samping
hukurn nasional perdata maupun publik sebagai implementasi konvensi
internasional tersebut di atas.
Tujuan konferensi penerbangan sipil internasional tampak dengan jelas
pada pembukaan Konvensi Penerbangan Sipil Internasional yang ditandatangani
di Chicago pada tahun 1944. Dalam pembukaan tersebut dijelaskan bahwa
pertumbuhan penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan persahabatan, memelihara perdamaian dan saling mengerti
Universitas Sumatera Utara
antarbangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali
perang dunia yang sangat mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan
untuk kerjasama antarbangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Oleh
karena itu, negara-negara peserta konferensi sepakat mengatur prinsip-prinsip
dasar penerbangan sipil internasional, menumbuhkembangkan penerbangan sipil
yang aman, lancar, teratur dan memberi kesempatan yang sama kepada negara
anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah
adanya persaingan yang tidak sehat.
Segera setelah ditemukannya moda transportasi udara, para ahli hukum
udara internasional mulai membahas masalah yurisdiksi terhadap tindak pidana
pelanggaran maupun kejahatan yang terjadi dalam pesawat udara. Sebenarnya
sejak tahun 1902, perintis hukum udara internasional Prancis telah membahas
kompetensi yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan yang
terjadi dalam pesawat udara, serta tindakan-tindakan yang perlu diambil selama
penerbangan berlangsung.
Pembahasan tersebut diteruskan dalam konferensi internasional yang
membahas penerbangan internasional tahun 1910 yang dikenal sebagai
Konferensi Paris 1910. Dalam konferensi tersebut telah dikemukakan berbagai
aspek hukum oleh para ahli hukum udara internasional maupun badan-badan
internasionaI lainnya. Aspek-aspek hukum tersebut antara lain mengenai
kedaulatan di udara (sovereignty), penggunaan pesawat udara, pendaftaran
pesawat udara (nationality and registration mark), sertifikasi awak pesawat udara
(certificate of competency), sertifikasi pesawat udara (certificate of
Universitas Sumatera Utara
airworthiness), transportasi bahan peledak, izin penerbangan, izin pendaratan,
peralatan navigasi penerbangan, dan lain-lain.
1
Khusus mengenai pembahasan tindak pidana pelanggaran maupun
kejahatan baru dimulai tahun 1950 yang kemudian disahkan dalam konferensi
diplomatik di Tokyo tahun 1963 di bawah naungan Organisasi Penerbangan Sipil
lnternasional.

2
Sebagaimana disebutkan di muka, konvensi tentang tindak pidana
pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara tersebut pertama kali
diusulkan oleh delegasi Meksiko dalam tahun 1950. Konsep tersebut
dikembangkan oleh Legal Sub Committee dan konsep Legal Status of Aircraft
dalam tahun 1958. Di dalam konsep tersebut digunakan prinsip yurisdiksi negara
pendaftar pesawat udara dan prinsip yurisdiksi teritorial. Penggunaan prinsip
tersebut didukung sepenuhnya oleh delegasi Amerika Serikat yang disampaikan
kepada Legal Committee untuk mempercepat proses penyelesaian konvensi yang
Salah satu tujuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang
didirikan berdasarkan Pasal 43 Konvensi Chicago 1944 tersebut adalah
menyelenggarakan transportasi udara internasional yang selamat, aman, tertib,
teratur serta mengembangkan fasilitas navigasi penerbangan dengan membentuk
Legal Committee yang ditugaskan untuk menyiapkan konsep-konsep konvensi
internasional seperti Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, Konvensi
Montreal 1971. Protokol Montreal 1988, Konvensi Montreal 1991, di samping
konvensi-konvensi internasional mengenai hukum udara perdata internasional.
1
K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 44.
2
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional didirikan berdasarkan Pasal 43 Konvensi
Chicago 1944 tentang Convention on International Civil Aviation, signed at Chicago on 7
December 1944.
Universitas Sumatera Utara
mengatur tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara.
Namun demikian, Legal Sub Committee belum juga mengambil langkah-langkah
tertentu yang lebih nyata.
Dalam sidang Legal Committee yang berlangsung di Munich tahun 1959,
konsep Legal Status of Aircraft disusun secara terpisah dengan konsep konvensi
yang mengatur tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara
yang berjudul Draft Convention on Offences and Certain Other Acts Committed
on Board Aircraft. Konsep ini relatif lebih baik dibandingkan dengan konsep
sebelumnya karena dalam konsep ini telah diatur prinsip yurisdiksi negara
terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara, hak,
dan kewajiban negara anggota, hak dan kewajiban kapten penerbang (pilot in
command), kekebalan hukum yang dimiliki oleh kapten penerbang beserta awak
pesawat, udara maupun penumpangnya yang mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk perlindungan terhadap penumpang serta disinggung ancaman
hukuman ganda (double trial).
3
Sepanjang menyangkut yurisdiksi, dalam sidang Munich tahun 1959, telah
dibahas yurisdiksi negara pendaftar pesawat udara, yurisdiksi negara pendaratan
dan yurisdiksi teritorial. Dalam konsep tersebut diusulkan negara yang
mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan
dalam pesawat udara adalah negara pendaftar pesawat udara. Di dalam konsep
tersebut yurisdiksi yang dianut adalah negara bendera seperti halnya dalam hukum
laut yang telah diakui oleh hukum internasional. Sebenarnya, prinsip negara

3
K. Martono, Op. Cit., hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
bendera demikian telah diusulkan oleh Paul Fauchille pada saat konferensi hukum
udara intenasional yang pertama kali di Prancis tahun 1910, demikian pula dalam
tahun 1937 telah disarankan pula oleh Ede Visscher.
4
Dalam Pasal 48 Konvensi Tokyo 1963 diatur yurisdiksi negara pendaftar
pesawat udara. Dikatakan apabila negara tersebut bukan negara pendaftar pesawat
udara tidak akan melakukan yurisdiksi tindak pidana pelanggaran maupun
kejahatan di dalam pesawat udara, kecuali tindak pidana pelanggaran maupun
pidana tersebut berpengaruh kepada wilayahnya atau tindak pidana tersebut
mengganggu keamanan nasional atau langkah langkah tertentu sangat diperlukan
untuk melaksanakan ketentuan hukum internasional yang berlaku. Oleh karena itu,
negara bukan pendaftar pesawat udara maupun negara pendaratan pesawat udara
tidak dapat melakukan yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun
kejahatan di dalam pesawat udara.

5
Masalah kejahatan penerbangan dalam bentuk pembajakan udara bukan
milik dunia penerbangan sendiri, karena itu Perserikatan Bangsa-Bangsa juga
mengagendakan pembahasan pembajakan udara atas permohonan negara anggota

Tujuan utama konvensi Tokyo 1963 adalah melindungi pesawat udara,
orang maupun barang yang diangkut untuk menjamin keselamatan penerbangan
Untuk maksud itu diadakan keseragaman yurisdiksi negara anggota, mengisi
kekosongan hukum, menjamin ketertiban di dalam pesawat udara, melindungi
orang yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksudkan dalam konvensi, dan
masalah pembajakan udara.
4
Matte N.M.Ed., Annals of Air and Space Law. Vol.XVIII, 1993 Part I Toronto: The
Carswell Company limited, 187-191 (1993), dalam K. Martono, Op. Cit., hal. 48.
5
Ibid., hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam resolusinya sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa merekomendasikan agar setiap negara mengambil langkah.-
langkah agar pembajakan udara dapat diancam dengan hukuman yang berat
berdasarkan hukum nasional maupun hukum internasional. Perserikatan Bangsa-
Bangsa juga mendukung sepenuhnya usaha Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional untuk memberantas pembajakan udara yang selalu mengancam
keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-
barang yang diangkut. Sekaligus menyerukan agar negara-negara yang belum
meratifikasi Konvensi Tokyo 1963 segera meratifikasi.
Konvensi internasional mengenai kejahatan penerbangan sipil
internasional ini kemudian dilakukan yang dinamakan Konvensi The Hague 1970.
Di mana berdasarkan basil studi Sub-Komite Hukum Organisasi Penerbangan
Sipil Internasional, rekomendasi International Law Association (ILA) maupun
Perserikatan Bangsa-Bangsa serta organisasi-organisasi internasional lainnya,
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengadakan konferensi diplomatik
pada bulan Desember 1970 yang diselenggarakan di The Hague Belanda.
Pengesahan konvensi tersebut merupakan titik puncak instrumen hukum
pemberantasan pembajakan udara. Kedua konvensi internasional tersebut
merupakan instrumen yang saling mengisi kekurangan masing-masing. Dengan
lahirnya Konvensi The Hague 1970 lebih memantapkan kekurangan Konvensi
Tokyo 1963 dalam hal keterkaitan konvensi tersebut terhadap pembajakan udara.
Konvensi selanjutnya yang juga terkait dengan kejahatan penerbangan
berupa pembajakan udara, bahkan terkait dengan terorisme yang dikenal dengan
Konvensi Montreal 1991. Konvensi ini lahir sebagai akibat peledakan pesawat
Universitas Sumatera Utara
udara Boeing 747 milik Pan American Airways yang menewaskan tidak kurang
dari 259 nenumpang termasuk awak pesawat udara di dekat Skotlandia yang
dikenal sebagai kasus Lockerbie 1988. Pesawat udara tersebut diledakkan dengan
bom plastik. Bom plastik tersebut merupakan persenyawaan kimia, tidak
berbentuk, tidak berbau, tidak berwarna, tidak mampu diditeksi dengan detector
paling canggih saat ini, namun mempunyai daya ledak yang sangat dasyat. Bom
plastik tersebut ditemukan oleh warga negara Zechoslovakja yang dikenal dengan
istilah SEMTEX. Berdasarkan kasus tersebut Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional menciptakan konvensi internasional (Konvensi Monteal 1991) guna
mencegah terulangnya peledakan serupa.
Dengan demikian dari uraian di atas terlihat bahwa dalam hal penerbangan
sipil internasional pada mulanya yang menjadi persoalan atau pembahasan dalam
konvensi internasional adalah pengaturan ataupun yuridiksi dalam melakukan
penerbangan konvensi internasional. Kemudian dengan meningkatkan kejahatan
penerbangan maka konvensi internasional berkembang pembahasannya tentang
kejahatan penerbangan dalam hal ini pembajakan udara sebagai upaya
perlindungan penerbangan sipil internasional.
Pesawat udara yang terbang dengan ketinggian dan kecepatan tinggi
merupakan sasaran empuk bagi pelaku kejahatan penerbangan. Pesawat udara
merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir dari kriminal. Dengan membajak
mereka dapat dengan mudah melarikan diri ke negara yang berbeda ideologi dan
politiknya untuk menghindarkan diri dari ancaman hukuman setelah melakukan
kejahatan. Demikian pula dengan membajak mereka dapat menuntut pembebasan
rekan-rekan mereka yang dipenjara, minta suaka politik kepada negara yang
Universitas Sumatera Utara
dianggap mampu melindungi, dan dengan membajak mereka pun dapat
menghimpun harta benda untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan
kelompoknya.
Jumlah pembajakan udara sejak tahun 1931 sampai dengan Desember
1983 terdapat tidak kurang dari 724 kali pembajakan yang timbul secara
bergelombang naik dan turun antara 1947-1971. Gelombang pembajakan
mencapai puncaknya dalam tahun 1970 terdapat 83 kali pembajakan yang berarti
bahwa setiap empat hari terdapat pembajakan udara.
6
B. Perumusan Masalah
Pembajakan udara juga
pernah dialami penerbangan sipil Indonesia, yaitu pembajakan pesawat Woyla
tahun 1981 yang akhirnya mendarat di Thailand.
Dalam hal terjadinya pembajakan udara pada penerbangan sipil
internasional maka perlu adanya upaya penanggulangan dan penanganannya.
Selain itu juga tindak lanjut terhadap pelaku kejahatan penerbangan (pembajakan
udara) yaitu terkait kewenangan negara yang berhak untuk mengadili perkara
pembajakan tersebut atau pengaturan tentang ekstradisi terhadap pelaku
pembajakan udara. Oleh karena itu dalam tulisan ini dikaji tentang perlindungan
penerbangan sipil internasional terhadap pembajakan udara berdasarkan konvensi-
konvensi intersional.
Berdasarkan latar belakang permasalahan maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan penerbangan sipil internasional?
6
Ibid., hal. 111.
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana keterkaitan konvensi-konvensi internasional dengan pembajakan
udara?
3. Bagaimana perlindungan penerbangan sipil internasional terhadap pembajakan
udara berdasarkan konvensi internasional?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah maka yang menjadi tujuan penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan penerbangan sipil internasional
2. Untuk mengetahui keterkaitan konvensi-konvensi internasional dengan
pembajakan udara
3. Untuk mengetahui perlindungan penerbangan sipil internasional terhadap
pembajakan udara berdasarkan konvensi internasional
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat secara teoritis
dan secara praktis berikut ini.
1. Secara teoretis diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk
melahirkan berbagai konsep keilmuan yang pada gilirannya dapat
memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana
khususnya dalam bidang perlindungan penerbangan sipil internasional
terhadap pembajakan udara berdasarkan konvensi internasional.
2. Secara praktis diharapkan agar tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi
para pembuat kebijakan maupun pihak legislatif guna melengkapi peraturan
perundang-undangan yang masih diperlukan terkait dengan perlindungan
Universitas Sumatera Utara
penerbangan sipil internasional terhadap pembajakan udara berdasarkan
konvensi internasional.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran penulis terhadap judul skripsi yang ada di
Perpustakaan, belum ada tulisan skripsi yang mengangkat judul tentang
Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap Pembajakan Udara
Berdasarkan Konvensi Internasional. Oleh karena itu tulisan ini bukan
merupakan hasil penggandaan dari karya tulis orang lain dan keaslian penelitian
ini terjamin adanya.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Hukum Udara (Air Law)
Belum ada kesepakatan yang baku secara internasional mengenai
pengertian hukum udara (air law). Mereka kadang-kadang menggunakan istilah
hukum udara (air law) atau hukum penerbangan (aviation law) atau hukum
navigasi udara (air navigation law.) atau hukum transportasi udara (air
tranportation law) atau hukum penerbangan (aerial law) atau hukum aeronautika
(aeronautical law) atau udara-aeronautika (air-aeronautical law) saling
bergantian tanpa dibedakan satu terhadap yang lain. Istilah-istilah aviation law,
navigation law, air transportation law, aerial law, aeronautical law, atau air-
aeronautical law, pengertiannya lebih sempit dibandingkan dengan pengertian air
law.
Universitas Sumatera Utara
Kadang-kadang digunakan istilah aeronautical law terutama dan bahasa
Romawi. Dalam bukunya Nicolas Matteesco Matte menggunakan istilah Air-
Aeronautical Law, sedangkan dalam praktik pada umumnya menggunakan istilah
air law, tetapi dalam hal-hal tertentu menggunakan aviation law. Pengertian air
law lebih luas sebab meliputi berbagai aspek hukum konstitusi, administrasi,
perdata, dagang, komersial, pidana, publik, pengangkatan, manajemen dna lain-
lain. Verschoor memberi definisi hukum udara (air law) sebagai hukum dan
regulasi yang mengatur penggunaan ruang udara yang bermanfaat bagi
penerbangan, kepentingan umum, dan bangsa-bangsa di dunia.
7
7
Ibid., hal. 2.

2. Sumber Hukum Udara Internasional
Sumber hukum udara (air law sources) dapat bersumber pada hukum
internasional maupun hukum nasional. Sesuai dengan Pasal 38 Piagam
Mahkamah Internasional mengatakan international custom, as evidence of a
general practices accepted as law. Sumber hukum udara internasional dapat
berupa multilateral maupun bilateral sebagai berikut.
a. Multilateral dan Bilateral
Sumber hukum udara internasional yang bersifat multilateral adalah
berupa konvensi-konvensi internasional yang bersifat multilateral juga bersifat
bilateral. Pada saat ini Indonesia telah mempunyai perjanjian angkutan udara
timbal balik (bilateral air transport agreement) tidak kurang dari 67 negara yang
dapat digunakan sebagai sumber hukum udara nasional dan internasional.
b. Hukum Kebiasaan Internasional
Universitas Sumatera Utara
Menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional, hukum kebiasaan
internasional juga merupakan salah satu sumber hukum internasional. Di dalam
hukum udara internasional juga dikenal adanya hukum udara kebiasaan
internasional. Namun demikian, peran hukum kebiasaan internasional tersebut
semakin berkurang dengan adanya konvensi internasional, mengingat hukum
kebiasaan internasional kurang menjamin adanya kepastian hukum. Pasal 1
Konvensi Paris 1919 merupakan salah satu hukum kebiasaan internasional dalam
hukum udara internasional. Namun demikian, pasal tersebut diakomodasi di
dalam Konvensi Havana 1928 dan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944.
Dalam perkembangan teknologi, tindakan suatu negara dapat merupakan
hukum kebiasaan internasional tanpa adanya kurun waktu tertentu. Hal ini telah
dilakukan oleh Amerika Serikat dengan menetapkan Air Defence Identification
Zone (ADIZ). Tindakan Amerika Serikat tersebut diikuti oleh Kanada dengan
menentukan Canadian Air Defence Identification Zone (CADIZ) yang kemudian
diikuti oleh negara-negara lain. Di dalam hukum laut internasional juga dikenal
adanya hukum kebiasaan sebagai salah satu sumber hukum.
c. Prinsip-prinsip Hukum Umum (General Principles of Law)
Selain hukum kebiasaan internasional dan konvensi internasional
sebagaimana dijelaskan di atas, asas umum hukum (general principles recognized
by civilized nations) juga dapat digunakan sebagai sumber hukum udara. Salah
satu ketentuan yang dirumuskan di dalam Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah
Internasional adalah general principles or law recognized by civilized nations
sebagai asas-asas yang telah diterima oleh masyarakat dunia dewasa ini, baik
hukum udara perdata maupun hukum udara publik. Asas-asas tersebut antara lain:
Universitas Sumatera Utara
(a) prinsip bonafide (iktikad baik atau good faith), artinya segala
perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik;
(b) pacta sun servanda, artinya apa yang diperjanjikan dalam perjanjjan
harus dipatuhi, ditaati karena perjanjian merupakan undang-undang
bagi yang membuat;
(c) abus de drojt atau misbrujk van rectht, maksudnya suatu hak tidak
boleh disalahgunakan;
(d) nebis in idem, artinya perkara yang sama tidak boleh diajukan ke
pengadilan lebih dari sekali;
(e) equality rights, maksudnya kesederajatan yang diakui oleh negara-
negara di dunia; (tidak boleh saling intervensi kecuali atas persetujuan
yang bersangkutan;
(g) non lequit, artinya hakim tidak dapat menolak dengan alasan tidak ada
peraturan atau tidak ada hukum karena hakim mempunyai hak untuk
menciptakan hukum (yurisprudensi).
8
Ajaran hukum (doctrine) di dalam hukum internasional juga dapat
digunakan sebagai salah satu sumber hukum udara. Di dalam Common Law
System, atau Anglo Saxon System dikenal adanya ajaran hukum mengenai
pemindahan risiko dari pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut,
perusahaan penerbangan yang menyediakan transportasi umum bertanggung
jawab terhadap kerugian yang diderita oleh korban. Tanggung jawab tersebut

Asas-asas hukum umum tersebut di atas sebagian besar berasal dari
Romawi yang telah diterima sebagai kaidah hukum oleh masyarakat dunia pada
umumnya dan merupakan dasar lembaga-lembaga hukum dari negara-negara
maju civilized nations). Asas-asas tersebut telah diterima sebagai sumber hukum
dalam hukum internasional yang dapat juga berlaku terhadap hukum udara
nasional maupun internasional. Asas-asas tersebut bersifat universal yang berarti
juga berlaku terhadap hukum udara perdata internasional maupun hukum udara
publik internasional.
d. Ajaran Hukum (Doctrine)
8
Ibid., hal. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
berpindah dari korban (injured people) kepada pelaku (actor). Demikian pula
ajaran hukum (doctrine) mengenai bela diri. Menurut ajaran hukum (doctrine)
bela diri, suatu tindakan disebut sebagai bela diri bila tindakan tersebut seimbang
dengan ancaman yang dihadapi. Oleh karena itu, pesawat udara sipil yang tidak
dilengkapi dengan senjata, tidak boleh ditembak karena pesawat udara sipil tidak
ada ancaman yang membahayakan. Di samping itu, penembakan pesawat udara
sipil juga tidak sesuai dengan semangat Konvensi Chicago 1944 yang
mengutamakan keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara
maupun barang-barang yang diangkut.
e. Yurisprudensi
Menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional, yurisprudensi juga
merupakan salah satu sumber hukum. Ketentuan demikian juga berlaku terhadap
hukum udara, baik nasional maupun internasional. Banyak kasus sengketa yang
berkenaan dengan hukum udara, terutama berkenaan dengan tanggung jawab
hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan atau pengirim barang
maupun terhadap pihak ketiga. Di Indonesia terdapat paling tidak terdapat dua
macam yurisprudensi yang menyangkut hukum udara perdata, masing-masing
gugatan Ny. Oswald terhadap Garuda Indonesian Airways dalam tahun 1961 dan
gugatan penduduk Cengkareng terhadap Japan Airlines (JAL) dalam tahun 2000.
Dalam kasus penduduk Cengkareng vs Japan Airlines mengenai tanggung jawab
hukum terhadap pihak ketiga, sedangkan kasus Ny. Oswald vs Garuda Indonesian
Airways mengenai ganti rugi nonfisik. Pada prinsipnya, keputusan pengadilan
tersebut hanya berlaku terhadap para pihak, tetapi seorang hakim boleh mengikuti
Universitas Sumatera Utara
yurisprudensi yang telah diputuskan oleh hakim sebelumnya (The decision of the
court has no binding force except between the parties and in respect if that
particular cases, artinya Keputusan Mahkamah Internasional tidak mempunyai
kekuatan mengikat kecuali bagi pihak-pihak yang bersangkutkan tertentu itu.
3. Sumber Hukum Udara Nasional
Sumber hukum udara nasional terdapat di berbagai peraturan Perundang-
undangan nasional sebagai implementasi Undang-Undang Dasar 1945, juga
perjanjian angkatan udara internasional (bilateral air transport agreement) di
mana Indonesia sebagai pesertanya merupakan sumber hukum. Sebagai
pelaksanaan undang-undang tersebut juga telah dikeluarkan berbagai peraturan
penerbangan, baik yang menyangkut keselamatan maupun ekonomi transportasi
udara, pada tataran Menteri maupun tataran Direktur Jenderal Perhubungan
Udara.
Pada saat ini undang-undang penerbangan di Indonesia adalah Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, undang-undang tersebut
merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan. Selanjutnya untuk melakukan tindakan kejahatan penerbangan
maka diatur dalam Undang-Undang Nomor Undang-Undang No. 4 Tahun 1976
tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan
Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap
Sarana/Prasana Penerbangan, yang berlaku sejak tanggal 26 April 1976 telah
Universitas Sumatera Utara
menambah sebuah bab baru setelah Bab XXIX Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dengan Bab XXXX A tentang kejahatan penerbangan.
Undang-Undang No.4 merupakan kelanjutan dari Undang-Undang No. 2
Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague
1970 dan Konvensi Montreal 1971. Konvensi Tokyo 1963 tentang Offences and
other acts committed on board aircraft (pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-
tindakan tertentu lainnya yang dilakukan di dalam pesawat udara), Konvensi The
Hague 1970 tentang The suppression of unlawful seizure of aircraft
(pemberantasan penguasaan pesawat udara secara melawan hukum), Konvensi
Montreal 1971 tentang The suppression of unlawful against the safety of civil
aviation (pemberantasan tindakan-tindakan melawan hukum yang mengancam
keamanan penerbangan sipil).
Kemudian untuk masalah terorisme yang juga sangat terkait dengan
kejahatan penerbangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan
secara tepat tentang ketentuan perlindungan penerbangan sipil internasional
terhadap pembajakan berdasarkan konvensi internasional. Pengumpulan data
dilakukan secara studi kepustakaan, maka pembahasan dilakukan berdasarkan
data sekunder, berupa:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri
dari: peraturan perundangan nasional maupun konvensi internasional terkait
perlindungan penerbangan sipil internasional terhadap pembajakan udara.
Universitas Sumatera Utara
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,
atau pendapat pakar hukum.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus (hukum), ensiklopedia.
9
H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
Pada Bab I ini diuraikan tentang: Latar Belakang, Perumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PENERBANGAN SIPIL
INTERNASIONAL
Pada Bab II dibahas tentang: Pengertian Penerbangan Sipil
Internasional, Sejarah Penerbangan Sipil Internasional, Pengaturan
Penerbangan Sipil Internasional, dan Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional.
BAB III. TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBAJ AKAN UDARA
Pada Bab III dibahas tentang: Pengertian Pembajakan Udara, Sejarah
Pembajakan Udara, dan Keterkaitan Konvensi Internasional Terhadap
9
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2004, hal. 31-32.
Universitas Sumatera Utara
Pembajakan Udara, yaitu Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague
1970 dan Konvensi Montreal 1970..
BAB IV. PERLINDUNGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL
TERHADAP PEMBAJ AKAN UDARA BERDASARKAN
KONVENSI INTERSIONAL
Pada Bab IV ini dibahas tentang: Perlindungan Penerbangan Sipil
Internasional Terhadap Pembajakan Udara Berdasarkan Konvensi
Tokyo 1963, Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap
Pembajakan Udara Berdasarkan Konvensi The Hague 1970, dan
Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap Pembajakan
Udara Berdasarkan Konvensi Montreal 1991.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
Bab V merupakan bab penutup yang terdiri dari: Kesimpulan dan
Saran dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Selanjutnya diikuti
dengan Daftar Pustaka, dan lampiran.
Universitas Sumatera Utara

You might also like