You are on page 1of 20

Menjawab Tafsir Misoginis (1)

Kajian masalah wanita, menjadi topik yang masih hangat, seiring dengan
pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan
wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum bahkan
berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-relung
keyakinan pribadi pada setiap orang. Salah satu implikasi yang tidak terelakkan
adalah isu ini berusaha membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-
ayat al-Qur’an, menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum
Islam dengan alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita,
bahkan jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita.
Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera
dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi
setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala
sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan
manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan
insani. Pada saat itu pula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan
perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan
dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta
menempatkannya secara adil.
Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam
merubah kultur jahili menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak
perempuan, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat
mudah meniru dalam memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya
skenario film yang berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana
pepatah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini. Artikel
ini mencoba menganalisa beberapa teks di dalam doktrin ajaran Islam yang sering
dikaji dengan bebas sebagai senjata untuk menisbahkan sebab-sebab kemunduran
wanita di dalam Islam. Dikarenakan teks-teks itu pula, budaya dominasi laki-laki atas
perempuan terbentuk sejalan dengan keyakinan atas doktrin tersebut.
Akar Permasalahan Tafsir Misoginis
Di dalam kitab-kitab hadis dapat ditemukan beberap hadis yang notabene-nya
menyandang gelar sebagai salah satu sumber hukum Islam, tapi secara zahir telah
merendahkan derajat perempuan, seperti sabda Rasul saw: “Tidaklah aku tinggalkan
setelahku bagi laki-laki fitnah yang lebih bahaya dari perempuan”.[1]“Sebesar-
besarnya bala tentara setan adalah wanita, marah,…”[2]“Sesungguhnya perempuan
imannya, akalnya,…adalah kurang…”[3]“Jauhilah bermusyawarah dengan
perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah…”[4] Semua itu dijadikan senjata
oleh para musuh Islam untuk menyerang Islam. Lantas, apakah doktrin-doktrin agama
tersebut menunjukkan adanya perbedaan substansi perempuan sebagaimana yang
dipahami oleh orang awam? Kalau memang mempunyai maksud yang lain, lantas
bagaimana kita menginterpretasi hadis-hadis tersebut? Apakah dengan metode
tertentu makna yang lebih dalam dari teks tersebut dapat dipahami?
Munculnya interpretasi bahwa Islam membenci dan merendahkan wanita
ibarat sebuah penyakit kronis dan menahun dalam sejarah kehidupan manusia, yang
tidak hanya dialami Islam tapi juga menimpa sekte, agama dan aliran kepercayaan
lainnya. Jika kita analisa pokok permasalahannya, maka akan kita dapati bahwa
sebenarnya pemahaman ini muncul dikarenakan penafsiran secara dangkal terhadap
sebuah doktrin agama dan sekte. Misalkan saja Islam, maka kita pun akan mengambil
secara sepenggal baik dari hadis ataupun al-Qur’an lantas menisbahkan kepada Islam
dengan mengatakan, “Seperti inilah perempuan dalam prespektif Islam”.
Penarikan kesimpulan semacam ini tidak dapat dibenarkan oleh akal. Kenapa?
Jika kita benar-benar ingin mengetahui perempuan dalam prespektif Islam, maka kita
harus menelaah ajaran Islam itu sendiri dari sumber-sumbernya. Dengan kata lain,
kita harus mengetahui apa yang dijadikan sumber dan tolok ukur dalam Islam. Kalau
yang dijadikan sumber dalam Islam adalah al-Qur’an dan hadis, maka harus merujuk
pada kedua sumber tersebut dan menganalisanya, setelah itu baru dapat menarik
kesimpulan dan mengatakan seperti inilah Islam memandang perempuan. Apakah
dibenarkan dengan hanya melihat sebuah hadis yang belum jelas apakah hadis
tersebut memenuhi standar atau tidak, legal atau tidak, lalu kita to the point
mengambil kesimpulan dan mengatakan, “Seperti inilah Islam memandang
perempuan!”

Misoginis, Sebuah Definisi


Misoginis seperti kebanyakan istilah ilmiah yang lainnya (seperti feminis, humanis,
liberalis dll) merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Oleh karena itu,
untuk mengetahui definisi istilah tersebut kita harus merujuk ke dalam kamus bahasa
aslinya. Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata “misogyny” yang
berarti ”kebencian terhadap wanita”.[5] Dalam kamus ilmiah popular terdapat tiga
ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan, membenci perempuan,
“misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci akan perempuan” sedang
“misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada perempuan”. Namun secara
terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran
pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan,
seperti yang terdapat dalam beberapa teks hadis di atas.[6]

Menjawab Tafsir Misoginis


Dalam makalah ini hanya akan dibatasi analisis beberapa teks hadis
kontroversial sebagai berikut: Sesungguhnya perempuan imannya, akalnya …adalah
kurang.[7]Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan tekadnya
lemah…[8]Apakah teks-teks seperti di atas menunjukkan kekurangan perempuan
secara eksistensial? Jika teks-teks tersebut menunjukkan kekurangan eksistensial
perempuan, lantas bagaimana halnya dengan pribadi-pribadi seperti Maryam as dan
Asyiah as, dimana Allah swt telah memuji mereka dalam al-Qur’an. Atau juga seperti
sosok Khadijah as, dan Fathimah Zahra as dimana Allah swt telah memuji mereka
melalui Rasul-Nya, dsb. yang merupakan manusia sempurna (insan kamil)? Padahal,
konsekuensi sebagai manusia sempurna bukankah berarti akal dan iman mereka harus
sempurna juga?
Untuk menjawab pertanyaan di atas terdapat beberapa langkah yang harus
dilalui: Pertama, menganalisa sanad hadis tersebut, apakah memenuhi standar legal
yang diperlukan atau tidak? Jika ternyata dari sisi sanad tidak terdapat masalah,
lanjutkan dengan langkah berikutnya. Kedua, harus memahami muatan hadis tersebut.
Untuk memahami muatan teks suatu hadis, terutama seperti hadis di atas, kita harus
melihat semua teks-teks hadis yang berkaitan dengannya. Apakah ada pertentangan di
antara hadis-hadis tersebut atau tidak? Ketiga, melihat situasi dan kondisi ketika
riwayat tersebut disampaikan oleh perawi hadis, sehingga dapat lebih mudah
memahaminya. Inilah langkah-langkah umum untuk memahami hadis dengan benar.
Kembali kepada hadis di atas, benarkah dispensasi pada masa haid
menyebabkan kekurangan iman? Berkenaan dengan kekurangan iman perempuan,
terdapat tiga hadis yang menggunakan ungkapan: “memiliki kekurangan dan
kelemahan dari sisi agama”, dan dalam satu riwayat lain menggunakan ungkapan
“memiliki kekurangan dari sisi iman”. Sedang maksud dari kekurangan sisi agama di
sini adalah berkurangnya taklif (kewajiban syar’i) dimana hal ini sama sekali tidak
berhubungan dengan derajad kemuliaan. Dispensasi yang diberikan Allah kepada
wanita untuk tidak melaksanakan shalat dan puasa pada masa menstruasi dinyatakan
sebagai kekurangan di dalam bahasa riwayat tersebut.
Sebenarnya dengan adanya dispensasi tersebut (hilangnya beberapa kewajiban
di saat menstruasi) tidak menunjukkan rendahnya kedudukan perempuan, oleh karena;
Pertama, perempuan tidak melaksanakan shalat dan puasa ketika sedang haid
sebenarnya adalah dalam rangka mentaati perintah Tuhan. Karena bukankah Tuhan
yang melarang wanita untuk shalat dan puasa dalam keadaan itu? Tidak ada yang
lebih bernilai kecuali ketaatan terhadap perintah-Nya. Bukankah Iblis telah beribadah
hingga beribu tahun tapi pada akhirnya terusir karena menolak perintah Tuhan untuk
bersujud kepada Adam?[9]
Kedua, meskipun perempuan mendapatkan dispensasi dalam beberapa ibadah (shalat
dan puasa) tapi bukankah perempuan lebih cepat mencapai masa taklif, dimana
perempuan telah mencapai usia balig pada umur 9 tahun sedang laki-laki lima belas
tahun.[10]Pada usia 50 tahun seorang perempuan akan memasuki masa menopause
hingga tiada lagi halangan untuk melaksanakan ibadah secara penuh. Dan bukankah
pada masa hamil dan menyusui perempuan tetap dapat melaksanakan kewajibannya?
Selain itu, pada masa kehamilan dan menyusui, Tuhan memberikan pahala istimewa
kepada para wanita sebagaimana diisyaratkan pada beberapa riwayat. Rasul
bersabda:“Pahala wanita hamil seperti pahalanya orang yang berjihad di jalan Allah.
Melahirkan menyebabkan perempuan terampuni dari dosa-dosanya, begitupun pahala
orang yang menyusui seperti pahala orang yang membebaskan budak di jalan
Allah”[11]Oleh karena itu, dari sisi kuantitas waktu pelaksanaan peribadatan antara
laki-laki dan perempuan tidaklah jauh berbeda.
Ketiga, dari sini kita tahu bahwa maksud dari riwayat yang mengatakan; “Perempuan
mempunyai kekurangan dari sisi iman” ialah ingin mengisyaratkan bahwa dengan
adanya dispensasi dalam beberapa jenis peribadatan akan menjadi lahan (baca:
potensi) untuk melemahnya iman. Untuk menghindari hal tersebut, Rasulullah saw
memberikan pesan kepada para wanita yang sedang haid, ketika waktu shalat tiba
hendaknya ia membersihkan diri kemudian berwudlu. Setelah itu menghadap kiblat
untuk berdoa’ dan bermunajat kepada Allah swt.[12] Dengan melakukan hal ini, maka
wanita dapat mengganti kekosongan hubungan spiritual dengan Tuhannya yang
terputus akibat menstruasi, melalui jenis ibadah lain.
Keempat, kehendak alami Tuhan (iradah takwini) memang menghendaki penciptaan
sistem anatomi tubuh khusus bagi perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Pada
perempuan, harus terjadi proses pendarahan sebagai lahan untuk terjadinya
pembuahan, kehamilan dan lahirlah generasi penerus. Dengan kata lain, menstruasi di
luar kehendak perempuan dan sudah menjadi suratan ciptaannya. Mungkinkah Tuhan
menghukumi sesuatu dengan positif dan negatif sementara hal tersebut di luar
kehendak dan ikhtiyar manusia? Tentu jawabannya adalah tidak.
Kelima, kita dapat menelaah banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membahas persamaan
nilai serta kesempurnaan antara laki-laki dan perempuan, seperti dalam surat al-
Ahzab: 35, Ali-Imran:105, al-Hadid:12, an-Nahl:97 dan lain-lain. Bahkan al-Qur’an
dengan sangat jelas menyatakan istri Fir’aun sebagai suriteladan bagi orang-orang
mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana yang dapat kita lihat dalam
ayat berikut:“Dan Allah membuat istri fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang
beriman…”[13] Kalaulah perempuan secara umum imannya kurang, mungkinkah
sebagian mereka dapat dijadikan teladan bagi orang-orang beriman? Begitupula jika
kita menelaah hadis-hadis lain yang menjelaskan tentang keagungan para wanita yang
sempurna imannya. Dalam sebuah hadis Rasul bersabda:

“Derajat Fathimah sejajar dengan Ali, serta lebih utama dari para lelaki yang ada pada
zamannya…”.[14] [islamalternatif.com]

Perempuan dalam Islam: Hadith Misoginis versi Fatima Mernissi


Kajian, perbincangan, atau diskursus masalah perempuan, merupakan topik
yang terus hidup sejak lama sampai sekarang. Hal ini berkembang seiring dengan
pembahasan hak-hak asasi manusia, yang tidak hanya berimplikasi pada tataran
politik, ekonomi, hukum bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk
Islam, dan diantaranya adalah permasalahan perempuan dalam Islam.
Islam muncul di saat perempuan mengalami puncak keteraniayaan, dimana
hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi setiap manusia tidak bisa mereka
dapatkan. Islam datang menyelamatkan manusia dari alam kegelapan menuju cahaya.
Islamlah yang mengangkat derajat dan martabat perempuan dan memberikan hak-hak
mereka secara adil. Islam menempatkan perempuan sederajat dengan laki-laki,
seperti firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hujârah ayat 13,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Artinya derajat laki-laki dan perempuan adalah sama dalam pandangan Allah,
ketaqwaan lah yang membedakan satu sama lainnya. Begitu pula, banyak hadis yang
menunjukkan kesamaan harkat laki-laki dan perempuan.
Namun demikian, ada saja dikalangan orang Islam sendiri yang dengan
pemahamannya yang liar mendkonstruksi ajaran Islam, dan berakhir dengan
menyalahkan ajaran Islam. Diantaranya adalah Fatima Mernissi, yang
mengungkapkan keresahannya tentang peranan perempuan dalam Islam,
mempertanyakan hadis-hadis yang dianggap meminggirkan perempuan, yang dikenal
sebagai ayat-ayat misoginis.
Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata “misogyny” yang
berarti ”kebencian terhadap perempuan” (Jhon Echols dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris-Indonesia, 1986, Jakarta, Gramedia, hal: 382). Dalam kamus ilmiah popular
terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan, membenci
perempuan, “misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci akan
perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada perempuan”.
Namun secara terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin
sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat
perempuan.

KAJIAN HADIS-HADIS MISOGINIS[1]


Oleh : Hasani Ahmad Syamsuri[2]
Pendahuluan dan Wacana Awal
Akhir-akhir ini kajian keislaman semakin menarik dan banyak bermunculan
seiring dengan kehadiran wacana gender dalam studi Islam. Diskursus tersebut
merupakan suatu keharusan karena merupakan tuntutan kemanusiaan atas berbagai
kebutuhan kehidupan keseharian-nya. Dalam masalah keagamaan hal yang demikian
untuk dapat lebih membumikan pesan-pesan yang ada di dalam dasar idealnya (al-
Qur’an dan hadis). Perbedaan gender bukan merupakan suatu masalah yang serius
manakala tidak menimbulkan berbagai persoalan seperti ke-senjangan keadilan.
Namun, pada kenyataannya adanya perbedaan gender acapkali menyebabkan adanya
persoalan ketidakadilan baik di pihak laki-laki sendiri dan bahkan juga kebanyakan
terjadi terhadap perempuan.
Dalam hal ini, gender merupakan sebuah persoalan sosial budaya yang
tentunya tidak semua orang mampu dengan jernih memahami adanya ketidakadilan
gender. Persoalan tersebut akan semakin rumit manakala terkait erat dengan doktrin
ajaran agama. Untuk memahami sejauh mana ada tidaknya kesenjangan gender,
menurut Mansour Fakih paling tidak dapat dilihat dalam bidang: Marginalisasi
perempuan, Subordinasi, Streotipe, Kekerasan dan Beban kerja yang berlebihan.
Piranti-piranti dalam melihat adanya ketidakadilan gender di atas dijadikan
pedoman dalam menelaah teks-teks ajaran agama. Tujuan tidak lain adalah untuk
kemaslahatan umat manusia atau dalam bahasa al-Syatibi adalah li masalih al-ibad fi
daraini. yang dapat terwujud manakala dipenuinya kebutuhan daruri manusia yakni
menjaga agama, harta, keturunan, jiwa dan akal. Paradigma tersebut saat ini perlu
penyempurnaan karena banyak problem kehidupan kemanusiaan yang lebih urgen
termasuk adalah ketidakadilan gender. Persamaan (equality), keadilan, HAM dan
menjaga lingkungan hidup sekarang ini merupakan suatu yang qat’i yang harus
terwujud bagi kemanusiaan. Adapun sarana untuk mencapai hal tersebut dapat
berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Dalam berbagai literatur diungkap tentang bagaimana Islam mengentaskan
berbagai ketidakadilan terutama jika dikaitkan dengan persoalan kaum perempuan
dari penindasan. Adanya pembatasan poligami dan berbagai ajaran Islam lainnya pada
masa lalu merupakan suatu hal yang luar biasa dilakukan oleh Islam yang
membedakan dengan agama lainnya. Berbagai ajaran tersebut sukses dapat diakses
oleh umat Islam berkat adanya penjelasan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Dari
sini dapat dinyatakan bahwa Rasulullah saw. merupakan mubayyin atas apa yang
terdapat dalam al-Qur’an(expounder of the Qur’an).
Kajian masalah hadis mesoginis, menjadi topik yang masih hangat, seiring
dengan pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada
permasalahan wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum
bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-
relung keyakinan pribadi pada setiap orang, yang tak ayal menimbulkan perdebatan.
[3]
Salah satu implikasi yang tidak terelakkan adalah isu ini berusaha
membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-ayat al-Qur’an,
menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum Islam dengan alasan
ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita, bahkan jelas-jelas
dianggap meminggirkan wanita.[4]
Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera
dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi
setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala
sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan
manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan
insani. Pada saat itupula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan
perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan
dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta
menempatkannya secara adil.
Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam
merubah kultur jahili menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak
perempuan, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat
mudah meniru dalam memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya
skenario film yang berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana
pepatah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini.
Sudah menjadi kesepakatan bahwa hadis merupakan sumber hukum yang
kedua setelah al-Qur’an. Peranan hadis adalah sangat besar sekali, karena sebagai
penjelas atas hal-hal yang terkandung dalam al-Qur’an dan bahkan lebih dari itu dapat
menjadi rujukan utama manakala di dalam al-Qur’an tidak ada ketentuannya. Kajian
atas hadis Nabi Muhammad saw. dirasa masih ketinggalan dibandingkan dengan
kajian dalam al-Qur’an. Padahal, realitas masyarakat Islam telah berubah dari waktu
ke waktu dan tempat ke tempat sehingga memungkinkan adanya pemahaman yang
baru dan lebih membumi.
Makalah ini mencoba menganalisa secara objektif beberapa teks di dalam
doktrin ajaran Islam yang sering dikaji dengan bebas sebagai senjata untuk
menisbahkan sebab-sebab kemunduran wanita di dalam Islam. Dikarenakan teks-teks
itu pula, budaya dominasi laki-laki atas perempuan terbentuk sejalan dengan
keyakinan atas doktrin tersebut. Tulisan ini akan membahas tentang format penelitian
hadis-hadis misoginis. Kajian dilakukan sebagaimana penelitian hadis yang ada
dengan memberikan nuansa gender maintreaming berikut langkah-langkah yang
dilakukan dan contoh-contohnya.
Misoginis, Sebuah Definisi
Misoginis seperti kebanyakan istilah ilmiah yang lainnya (seperti feminis,
humanis, liberalis dan lain lain) merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris.
Oleh karena itu, untuk mengetahui definisi istilah tersebut kita harus merujuk ke
dalam kamus bahasa aslinya. Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata
“misogyny” yang berarti ”kebencian terhadap wanita”.[5]
Dalam kamus ilmiah popular terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti:
benci akan perempuan, membenci perempuan, “misogini” berarti, “benci akan
perempuan, perasaan benci akan perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki
yang benci kepada perempuan”. Namun secara terminologi istilah misoginis juga
digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara zahir
memojokkan dan merendahkan derajat perempuan, seperti yang terdapat dalam
beberapa teks hadis di atas.[6] Sedang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan orang yang membenci wanita.[7]
Istilah hadis sebagaimana diketahui adalah sesuatu yang disandarkan kepada
Rasulullah saw. baik ucapan, perbuatan maupun taqrir. Istilah hadis kemudian
dikaitkan dengan istilah misoginis.
Istilah “misoginis” yang membenci perempuan masih menimbulkan banyak
perdebatan panjang. Fungsi Rasulullah saw. diutus Allah adalah tidak lain
mengangkat harkat dan martabat manusia termasuk kaum perempuan. Banyak contoh
yang dilakukan Rasulullah saw. dalam konteks semacam hal itu seperti pembatasan
perkawinan, perbudakan dan sebagainya. Adanya teks-teks hadis yang “misoginis”
merupakan respon atas masyarakat pada saat itu yang berbudaya patriarkhi dan
menindas perempuan. Bukankan perempuan pada masa Jahiliyah tidak dihargai sama
sekali. Kelahiran anak perempuan merupakan aib dan oleh sebab itu di antara mereka
ada yang mengkubur hidup-hidup perempuan dengan harapan tidak menanggung
beban malu. Seiring dengan fajar Islam yang ditandai dengan dengan diutusnya
Rasulullah saw. secara pelan-pelan bentuk penindasan atas perempuan dihilangkan.
Oleh karena itu, untuk menjembatani adanya yang pro dan kontra maka
penulisan istilah misoginis di sini ditulis dalam tanda kutip. Secara luas, kajian atas
hadis-hadis “misoginis” perlu dikembangkan untuk memperlihatkan wajah Islam yang
sesungguhnya.
Arti Penting Penelitian Hadis
Sejarah panjang penghimpunan (pentadwinan) hadis bukan merupakan suatu
pelalaian terhadap hadis. Keberadaan hadis telah didudukkan oleh sahabat dengan
baik. Mereka dengan sangat hati-hati dalam mengambilnya dalam menetapkan hujjah.
Namun, niat baik tersebut tidaklah disambut baik oleh mereka yang ingin merusak
Islam dan mereka yang berusaha menjustifikasi dan melegitimasi pemikirannya. Oleh
karena itu, muncullah berbagai upaya pemalsuan hadis dan inkar al-sunnah.
Fenomena inkar al-sunnah ada di setiap zamannya dengan bentuk yang berbeda-beda.
Mereka ini merasa cukup dengan al-Qur’an saja.
Berbagai penjelasan Rasulullah saw. atas al-Qur’an dan berbagai persoalan
kehidupan umat Islam lain yang tidak diakomodir oleh al-Qur’an, maka dimuat dalam
hadis dan atau sunnah yang sangat berperan dalam kehidupan umat Islam awal.
Pijakan umat pada generasi sesudah Rasulullah saw. adalah terletak pada pengganti
Rasulullah saw. Keberadaan hadis terus dijaga oleh sahabat dan generasi sesudahnya.
Seiring dengan luasnya kekuasaan Islam sunnah akhirnya meluas ke berbagai
daerah dan disepakati. Oleh karena itu, hadis berkembang luas dan ia ada merupakan
suatu fakta yang tidak terelakkan dalam sejarah. Mereka ini sangat hafal terhadap apa
yang didengar dan dilihat dari anutan mereka. Melalui fenomena ini Fazlur Rahman
menganggap berdosa secara historis. Namun, kontroversi yang muncul adalah kapan
hadis dibukukan? Ini merupakan perdebatan yang sengit di kalangan orientalis dan
pemikir Islam. Dari sisi kesejarahan inilah memunculan pentingnya penelitian hadis.
Sampai di sini, sunnah sudah menjadi opini publik sampai pada abad ke-2 H.
sunnah sudah disepakati oleh kebanyakan ulama dan dipresenstasikan sebagai hadis.
Hadis adalah verbalisasi sunnah. Oleh karena itu, Fazlur Rahman menganggap upaya
reduksi sunnah ke hadis ini telah memasung kreativitas sunnah dan menjerat ulama
Islam dalam memasang rumusan yang kaku.
Fazlur Rahman lebih jauh mengungkap kekakuan dalam hal ini membuat
mereka akan terjerembab pada vonis yang tidak sedap, yaitu inkar al-sunnah. Inilah
yang membedakan dengan kajian terhadap al-Qur’an. Penafsiran seseorang terhadap
al-Qur’an bagaimanapun keadaannya baik liberal maupun sangat liberal tidaklah
dianggap sebagai sebuah penyelewengan sehingga dijuluki sebagai seorang yang
ingkar al-Qur’an.
Kaum muslimin sepakat menerima sunnah dan menisbatkannya kepada Nabi
Muhammad saw. Kemudian sunnah tersebut diformulasikan dalam bentuk verbal dan
kemudian disebut dengan istilah hadis. Dari sini jelas, bahwa sunnah merupakan
proses kreatif yang terjadi terus menerus sedangkan hadis adalah pembakuan secara
kaku.
Berbeda dengan pemikiran Fazlur Rahman, Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah
artikel yang berjudul “Dari Sunnah ke Hadis atau sebaliknya?” dimuat dalam buku
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995)
mengemukakan sebaliknya.[8] Ia tidak setuju tentang yang pertama kali beredar di
kalangan kaum muslimin adalah sunnah. Baginya, yang pertama kali adalah hadis.
Tesis ini dibuktikan dengan data historis di mana ada sahabat yang menghafal dan
menulis ucapan Nabi Muhammad saw. Dus, sejak awal, hadis memang sudah ada.
Hadis sudah terbukukan dalam berbagai kitab hadis yang jumlahnya banyak
dengan ragam metode penulisannya. Dengan berbagai trend besar di dalamnya. Tentu
saja, kitab-kitab yang beredar di masyarakat tersebut tidak semuanya bernilai sahih.
Masih banyak hadis-hadis yang populer di masyarakat ternyata jika diteliti secara
mendalam maka kualitasnya lemah (da’if). Kenyataan tersebut belum menyentuh
pada persolan esensial dari sebuah hadis. Karena diskursus penelitian hadis (tahqiq al-
hadis) hanya berkutat pada persoalan keabsahan suatu hadis dilihat dari anasirnya.
Inilah yang banyak dilakukan ulama terdahulu dan acapkali masih sering dilakukan
oleh para pakar sampai saat ini karena tidak samanya paradigma yang digunakan oleh
ulama dalam menentukan kualitas hadis.
Menjawab Hadis-Hadis “Misoginis”
Dalam makalah ini hanya akan dibatasi analisis beberapa teks hadis kontroversial
sebagai berikut:
1. Hadis tentang wanita diciptakan dari tulang rusuk

‫حدثنا ابو كريب وموسى بن حببزام قببال حببدثنا حسببين بببن‬


‫علي عن زائدة عن ميسرة الشجاعي عن أبي حببازم عببن‬
‫أبي هريرره رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله‬
‫عليه وسلم استوصوا بالنساء فان المرئة خلقت من ضببلع‬
‫وان اعوج شيءفي الضلع أعله فان ذهبت تقيمه كسببرته‬
‫وان تركتبببه لببم يبببزل أعبببوج فاصتوصبببوا بالنسبباء )رواه‬
[9](‫الشيخان‬
Artinya: Abu Kuraib dan Musa bin Hizam menceritakan kepada kami, keduanya
berkata: menceritakan kepada kami Husain bin Ali dari Zaid, Maisaroh al-Asyja’I,
Abi Hatim dan Abi Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah Saw., bersabda: Berwasiatlah
kepada para wanita karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya
tulang rusuk itu yang paling bengkok adalah yang paling atas. Bila kamu ingin
meluruskannya, maka kamu harus mematahkannya dan bila kamu membiarkannya,
maka tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiatlah yang baik kepada wanita. (H.R.
Syaikhani[10])
Hadis tersebut di atas tampaknya dipahami oleh para ulama terdahulu secara
harfiah. Namun, tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metaforik,
bahkan ada yang menolak kesahihan hadis tersebut.
Misalnya Quraish Shihab dalam karyanya Wawasan al-Quran mengatakan,
ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan pria. Bila tidak
disadari hal ini, akan terjadikan pria bersikap tidak wajar meskipun kaum pria
berupaya, mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan wanita,
sebagaimana tidak berhasilnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[11]
Dikemukakan pula oleh teolog muslimah Fatima Mernissi dalam Women and
Islam: An Historical and Theological Enquiry keduanya menolak pandangan
penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Dengan alasan bahwa, konsep semacam ini
dating dari Injil masuk lewat kepustakaan hadis yang penuh kontroversi. Karena itu,
keduanya secara tegas menolak otentisitas dan validitas hadis tentang penciptaan ini,
meski bersumber dari Sahih Bukhari mapun Sahih Muslim.[12]
Menurut hemat penulis, secara rasional hadis di atas bias didekati dengan dua
pendekatan. Pertama, tidak bisa dipahami dengan makna harfiah. Oleh karena itu,
diperlukan interpretasi yang bisa dimengerti secara metaforik berisi peringatan kepada
kaum pria agar menghadapi kaum wanita dengan bijaksana, tidak kasar dan tidak
keras. Hal ini karena kita meyakini bahwa hadis sahih Bukhari ini sanadnya sahih.
Sementara matan hadis Bukhari adalah suatu hadis yang belum tentu qathiy al-wurud
dalalahnya, sehingga bias saja hadis ini ditolak.
Kedua, hadis sahihain yang ada di atas, tidak diterjemahkan dengan makna
harfiah. Misalnya, Ibnu Hajar dalam syarah Bukhari, menyatakan bahwa sabda
rasulullah tersebut, berkaitan dengan wasiat sehingga ia mengulangi kata wasiat ini
dalam satu hadis. Ini menunjukkan bahwa makna thalab (huruf “sin”) mempunyai arti
cariah wasiat dari dirimu sendiri sehubungan dengan hak-haknya, atau carilah wasiat
dari orang lain tentang wanita. Bahkan dapat diartikan “terimalah wasiatku ini tentang
wanita dan lakukanlah wasiat ini; sayangilah mereka dan bergaullah dengan mereka
dengan sebai-baiknya.[13]
Demikian pula dalam syarah Umdat al-Qari karya al-Aini dikatakan bahwa
maksud hadis tersebut adalah “carilah wasiat dari dirimu sendiri tentang hak-hak
mereka (kaum wanita) dengan baik”. Ini mengandung makna anjuran untuk berbuat
baik kepada kaum wanita.[14]
2. Hadis tentang Kesetaraan Laki-laki dan perempuan Sebagai Hamba
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’I, Abu Dawud, Ibn
Majah, dan Ahmad bin Hanbal yang seolah-olah menunjukkan laki-laki memiliki
kelebihan dari segi Ibadah. Hadis itu adalah sebagai berikut:

‫ عن رسببول اللببه‬:‫حديث عبدالله بن عمر رضي الله عنهما‬


‫صلى الله عليه وسلم أنه قببال يببا معشببر النسبباء تصببدقن‬
‫وأكثرن السببتغفار فبباني رأيتكببن أكببثر أهببل النببار فقببالت‬
‫امرئة منهن جزلة وما لنا يا رسول الله أكثر أهل النار قال‬
‫تكثرن اللعن وتكفرن العشير وما رأيت من ناقصات عقببل‬
‫ودين أغلب لذي لب منكن قالت يا رسول الله ومانقصببان‬
‫العقل الدين قال أما نقصان العقل فشهادة امرأتين تعببدل‬
‫شهادة رجل فهذا نقصان العقل وتمكث الليالي مببا تصببلى‬
.‫وتفطر في رمضان فهذا الدين‬
Artinya: Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar r.a. katanya: Rasulullah saw. Telah
bersabda: Wahai kaum perempuan! Bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar.
Karena, aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan
yang cukup pintar di antara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum
perempuan yang lebih ramai menjadi penghuni neraka? Rasulullah saw., bersabda:
kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang kekurangan
akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih daripada golongan kalian. Perempuan
itu bertanya lagi: wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu?
Rasulullah saw., bersabda: maksud kekurangan akal dan agama itu? Rasulullah saw.,
bersabda: maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama
dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu
juga permpuan tidak mengerjakan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya
kemudian berbuka pada bulan Ramadhan karena haid. Maka inilah yang dikatakan
kekurangan agama.[15]
Kata kekurangan akal dan agama dalam hadis ini tidak berarti perempuan
secara potensial tidak mampu menyamai atau melampaui prestasi dan kreatifitas akal
dan ibadah laki-laki. Hadis ini menggambarkan keadaan praktis sehari-hari laki-laki
dan permpuan di masa Nabi, laki-laki memperoleh otoritas persaksian satu berbanding
dua dengan permpuan, karena ketika itu fungsi dan peran public berada di pundak
laki-laki. Kekurangan agama terjadi terjadi pada diri perempuan karena memang
hanya perempuanlah yang menjalani masa menstruasi. Laki-laki tidak menjalani
siklus menstruasi, karena itu ia tidak boleh meninggalkan ibadah-ibadah wajib tanpa
alas an lain yang dapat dibenarkan. Peniadaan sejumlah iabadah dalam masa
menstruasi, seperti shalat dan puasa, adalah dispensasi khusus bagi perempuan dari
Tuhan. Mereka dikenakan akibat apa pun dari Tuhan. Mereka tidak dikenakan akibat
apa pun dari Tuhan karena menjalani proses menstruasi.
3. Hadis tentang Perhiasaan adalah Istri yang Shalihah

‫حدثني محمد بن عبدالله بن نمير الهمداني حببدثنا عبببدالله‬


‫بن يزيد حيوة أخبرني شببرحبيل بببن شببريك أنببه سببمع أبببا‬
‫عبدالرحمن الحبلي يحدث عن عبدالله بن عمر أن رسببول‬
‫الله صلى الله عليببه وسببلم قببال الببدنيا متبباع وخيببر متبباع‬
[16](‫ )رواه مسلم‬.‫الدنيا المرئة الصالحة‬
Artinya: Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Numair al-Hamdani menceritakan
kepadaku, Abdullah bin Yazid Hiwah menceritakan kepadaku, Syarahbil bin Syarik
member kabar kepaku, bahwasannya Aba Abdurrahman Al-Hubli mendengar cerita
dari Abdullah bin Amar, bahwasannya Rasulullah Saw., bersabda Dunia adalah
perhiasan , dan sebaik-baik perhiasan itu adalah wanita shalihah. (H.R. Muslim).
Sebagai agama dan aliran menganggap wanita sebagai penggoda atau wanita
adalah makhluk penghibur baik untuk anak-anak maupun suami atau pihak-pihak lain
yang membutuhkan jasa baik mereka. Karena itu, ada sebagian orang yang
menganggap bahwa wanita adalah sebagai pemuas nafsu belaka atau sebagai bumbu
masak atau pembantu rumah tangga.
Islam telah mengangkat kedudukan seorang wanita sebagai istri dan
menjadikan pelaksanaan hak-hak berkeluarga sebagai jihad. Rasulullah bersabda
“Orang mukmin yang sempurna imannya adalah orang orang yang paling baik
akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik (dalam bergaul) dengan istrinya.[17] Dan ini
merupakan hak pribadi sang istri. Jika disuruh dalam hal-hal yang maksiat, maka
tidak perlu didengar dan ditaati. Bahkan, al-Qur’an memberikan penekanan terhadap
hak-hak wanita sebagai istri sebagaimana Allah berfirman dalam surah al-Baqarah
2:228, Dan bagi para wanita (istri) mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf”. Bahkan di ayat yang lain, suami istri
diumpamakan bagaikan pakaian. Surat al-Baqarah 2:187 yang artinya: “mereka itu
pakaian kamu, dan kamu pakaian mereka”. Islam menyatakan bahwa pria dan wanita
diciptakan untuk satu sama lain, yang satu melindungi yang lain dan saling
membutuhkan.
Menurut Hamka, surat al-Baqarah 2:187 ini merupakan kalimat yang sangat
halus dan mendidik sopan santun di antara manusia; bila suami istri bersatu, mereka
pakai memakai bahkan menjadi satu tubuh (sehingga disebut setubuh dalam bahasa
kita).[18]
Islam tidak pernah menghilangkan kepribadian seorang wanita sebagai
seorang istri hanya karena telah melangsungkan perkawinan. Islam juga telah
meleburnya di dalam kepribadian sang suami meski tidak melepas bebas seperti yang
biasa di Barat, yang menjadikan wanita bebas melangkah, Tidak dapat dikenal nasab,
gelar keluarga, bahkan tidak dikenal juga bahwa dia istri seorang.[19]
Ajaran islam telah menentukan kepribadian seorang wanita sebagai istri. Kita
dap0at mengenal nama istri-istri Rasul dan nama nasab mereka.[20] Namun sebagian
masyarakat, keterkurungan atau keterikatan seorang istri dalam keinginan dan
kekuasaan sang suami masih terus berjalan sampai sekarang.
4. Hadis tentang Wanita adalah Aurat

‫حدثنا محمد بن بشر حدثنا عمرو بببن عاصببم حببدثنا همببام‬


‫عن قتادة عن مورق عن أبببي الحببوص عببن عبببدالله عببن‬
‫النبي صلى الله عليه وسلم قال المرأة عورة فاذا خرجت‬
]‫استشرفها الشيطان قال أبو عيسببى هببذا حببديث غريببب‬
[21
Artinya: Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Umar bin Asim,
menceritakan kepada kami, Himam menceritakan kepada kami dari Qatadah, Musa
dari Musa, dari Abi al-Ahwas, dari Abdullah dari Nabi Saw., bersabda: Sesungguhnya
wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar dari rumahnya maka diincar-incar oleh setan.
Menurut Abu Isa Hadis ini termasuk hadis gharib.
Wanita dianggap sebagai sumber fitnah dan birahi para kaum pria, bahkan
dianggap fitrah atau sudah menjadi kodratnya. Dikatakan bahwa barang siapa yang
menyangkal kebenaran ini, bukan hanya bodoh, akan tetapi adalah hipokrit dan
menipu diri sendiri.[22]
Akan juga berimplikasi negative ketika dikatakan bahwa akal wanita tidak
seperti akal pria, menjadikan wanita menjadi pasif. Ini berkelanjutan kepada
kehidupannya yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk pasif, akan Nampak dalam
kehidupan berkeluarga karena kepasifan dari seseorang wanita yang dimiliki,
dikuasai. Sekalipun jatuh cinta, misalnya, wanita tidak pernah menhgungkapkan
perasaannya. Dia hanya dipacari, kiemudian disunting atau dipinang dan diperistri.
Setelah diperistri, secara otomatis dia masuk dalam wilayah kekuasaan suami. Dia
tidak lagi disebut si Anu, Sri, Siti, tetapi nyonya si A. setelah bergelar nyonya, dia
harus melayani suaminya, mengatur rumah tangga. Bila dia cerai maka disebutlah
janda, sedang suami jarang bergelar duda, dan seterusnya.
Perbedaan gender ini, mengakibatkan lahirnya sifat dan stereotype yang
dianggap oleh masyarakat sebagai ketentuan kodrati atau ketentuan Tuhan. Sifat dan
stereotype yang dilekatkan pada kaum hawa atau wanita yang sebenarnya hanyalah
rekayasa social sebagai teori nature atau biasa di sebut dengan social contruction,
akibatnya terkukuhkan menjadi kodrat cultural yang dalam proses berabad-abad telah
mengakibatkan terpinggirnya posisi kaum perempuan.
Menurut hemat pemakalah, anjuran membolehkan wanita mempunyai peran
ganda yakni sebagai istri dan ibu rumah tangga serta pendidik di luar rumahnya,
dengan syarat tetap tidak menggangu peran domestiknya.
5. Hadis tentang Pemimpin Perempuan
Islam tidak menghalngi kaum wanita untuk memasuki berbagai profesi sesuai
dengan keahliannya. Seperti menjadi gutu atau dosen, dokter, pengusaha, menteri,
pengusaha, hakim dan lain-lain. Bila dia mampu, boleh menjadi perdana menteri atau
presiden, asalkan dalam kepemimpinannya memperhatikan hokum-hukum syariat
Islam. Misalnya, tidak terbengkalai urusan-urusan rumahtangganya, harus ada
persetujuan dari suami, bila dia bersuami.
Hanya saja dalam hal ini, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hokum
hokum tentang boleh tidaknya kaum wanita untuk menjadi hakim dan top leader
(perdana menteri atau kepala Negara), karena adanya hadis sahih yang diriwayatkan
oleh Bukhari, Ahmad, Nasa’I, dan Tirmidzi, bahwa Rasulullah Saw., bersabda:

‫لن يفلح القوم ولو أمرهم امرءة‬


Artinya: “Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin
mereka seorang wanita”.[23]
Tidak ada perbedaan pendapat pendapat di kalangan ulama bahwa hadis
tersebut tidak membolehkan wanita untuk menjadi kepala Negara Islam (khalifah);
ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum wanita dalam menjadi qadi
(hakim). Menurut jumhur ulama tidak boleh, Abu Hanifah membolehkan hakim
wanita dalam maswalah perdata dan tidak membolehkan dalam masalah jinayah.
Sementara Muhammad Jarir al-Thabari membolehkan hakim wanita secara mutlak.
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn al-hazm dari aliran al-Zahiriyyah.[24]
Dr. Kamal Jaudah Abu al-Mu’ati mengatakan:
Hadis tersebut di atas, melarang wanita sendirian menentukan urusan
bangsanya, sesuai dengan asbab al-wurud hadis itu, yaitu telah diangkatnya Bint
Kisrah untuk menjadi ratu/pemimpin Persia. Sudah diketahui bahwa sebagian besar
raja-raja pada masa itu, kekuasaannya ditangan sendiri, hanya ia sendiri yang
mengurusi rakyat dan negerinya, ketetapan tidak boleh digugat.[25]
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa wanita boleh menjadi
kepala Negara yang penting adalah bahwa wanita yang diusung menjadi kepala
Negara harus memenuhi syarat-syarat yang di sebut di atas. Dalam hal ini tentu saja
selama selama masih ada kaum pria yang lebih mampu, maka sebaiknya jabatan itu
diserahkan kepada pria. Persoalannya adalah, siapa antara pria dan wanita yang lebih
klayak dan pantas untuk menjadi top leader. Wallau a’lam bi al-shawab.

DAFTAR PUSTAKA
A. PartantoPius dan al-Barry M Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola
1994
Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin
Bardizbah, Shahih al-Bukhari, Kairo: al-Sya’b, t.t.
Al-Aini, Umdat alQari, Kairo: al-bab al-Halabi, t.t.
Al-Nasa’I, Abu Abdurrahkam bin Syuaib, Sunan al-nasai, Mesir: Musthafa al-bab al-
halabi, 1964
Abu Dawud, al-Sijastani Sulaiman bin al-Asy’at Abu, Sunan Abu Dawud, Mesir:
Musthafa al-bab al-Halabi, 1952

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, cet.
kedelapan, h. 660
Mernissi, Fatimma, Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry, USA:
Oxford, 1991
Hamka, Tafsir al-Azahar, Jakarta: Pustaka, 1988
Imam Muslim, Shahih Muslim, Kairo: al-Bab al-halabi, t.t.
al-Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Imam Muslim, Shahih Muslim, Kairo: Isa al-bab al-halabi, 1467.
Echols, Jhon, dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta, Gramedia1986
Rakhmat, Jalaluddin, Dari Sunnah ke Hadis atau sebaliknya? dalam buku
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
al-Mu’ati, Kamal Jaudah Abu, Wadifah al-mar’ah fi Nazar al-Islam, kairo: Dar al-
Hadi, 1980
al-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmidzi, Mesir: Musthafa al-bab
al-Halaby, 1975
al-Qardhawi, Yusuf, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayat al-Islamiyyah, Kairo: Wahbah,
1996
M. Thalib, Analisa Wanita Dalam Bimbingan Islam, Surabaya: Al-IHlash, 1987
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender, Jakarta: Paramadina, 2001
Shihab, Quraish, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian; Studi Bias Gender dalam Studi al-Quran,
Yogyakarta: LKiS, 1999
[1] Makalah ini disajikan pada mata kuliah Diskursus Hadis-Hadis Kontemporer
Senin, 30 Maret 2009, yang diasuh oleh DR. H. Syahabuddin, M.A.
[2] Pemakalah adalah Mahasiswa S3 UIN Jakarta, konsentrasi Tafsir Hadis, TA 2008
[3] Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari
segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan
anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat
perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin
secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya
terhadap perbedeaan jenis kelamin inilah yang disebut dengan jender. lihat lebih
lanjut, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 2001),
cet. 2, h. 1.

[4] Sejak lima belas abad yang lampau, islam telah menghapuskan diskriminasi
berdasarkan kelamin. Dalam sejarah, Islam lahir ditengah masyarakat jahiliyyah,
suatu masa ketika seorang ibu melahirkan bayi wanita maka dikuburkan dalam
keadaan hidup-hidup atau jika dibiarkan hidup, ia akan menaggung cercaan, dan
hidup dalam keadaan hina. Dan perlakuan ini dikecam keras oleh Islam. Firman
Allah: Artinya: Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)
anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung
kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah,
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (Q.S. al-Nahl/16: 58-59). Lihat,
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian; Studi Bias Gender dalam Studi al-Quran,
(Yogyakarta: LKiS, 1999), cet. 1, h. 1
[5] Jhon Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta,
Gramedia1986), h. 382.
[6] A. PartantoPius dan al-Barry M Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola 1994), h. 473.
[7] Lihat, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996,
cet. kedelapan, h. 660
[8] Jalaluddin Rakhmat, Dari Sunnah ke Hadis atau sebaliknya? dalam buku
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
[9] Lihat, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin
Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: al-Sya’b, t.t.), jilid 3, juz 7, h. 34,
lihat pula, Imam Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: al-Bab al-halabi, t.t.), h. 625.
[10] Syaikhani / Bukahri Muslim adalah matan Bukhari dan Muslim sama sedang
sanadnya ada yang berbeda. Sedang Muttafaq alaih, adalah sanadnya berbeda antara
Bukahri dan Muslim sedang matannya sama. Dr. Syahabuddin, M.A., Hasil Penelitian
Pribadi, disampaikan dalam kuliah Diskursus Hadis-Hadis Kontemporer.
[11] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 300
[12] Fatimma Mernissi, Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry,
(USA: Oxford, 1991), h. 44
[13] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),
jilid VII, h. 177
[14] Al-Aini, Umdat alQari, (Kairo: al-bab al-Halabi, t.t.), jilid XVI, h. 364
[15] Bukhari dalam kitab al-haidh, hadis no. 293 dan kitab al-zakah, hadis no 1369.
Muslim dalam kitab al-iman, hadis no 114. Al-Nasa’I, bab shalat al-‘Idain, hadis no.
1558 dan 1561. Abu Dawud, hadis no. 4059. Ibn Majah, hadis no. 1278 dan 3993.
Ahmad bin Hanbal, jilid II, h. 66 dan jilid III, h. 36, 46, dan 54.
[16] Imam Muslim, Shahih Muslim, op.cit., jilid 2, h. 1467.
[17] Muhammad Isa bin Saurah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Mesir: Musthafa al-
bab al-Halaby, 1975), jilid 2, h. 457.
[18] Hamka, Tafsir al-Azahar, (Jakarta: Pustaka, 1988), jilid 2, h. 106.
[19] Yusuf al-Qardhawi, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayat al-Islamiyyah, (Kairo:
Wahbah, 1996), h. 154.
[20] Misalnya, Khadijah binti Khuwailid, Maimunah binti Haris, Aisyah binti Abu
Bakar, Shafiyah binti Huyay (Yahudi yang pernah memerangi Nabi), Nafsah binti
Umar.
[21] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, op. cit. , jili 2, h. 259.
[22] M. Thalib, Analisa Wanita Dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: Al-IHlash,
1987), h. 34-49.
[23] Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), jilid 1,
cet. Ke-4, h. 102.
[24] Kamal Jaudah Abu al-Mu’ati, Wadifah al-mar’ah fi Nazar al-Islam, (kairo: Dar
al-Hadi, 1980), h. 137
[25] Kamal Jaudah Abu al-Mu’ati, Wadifah.. h. 137

You might also like