Professional Documents
Culture Documents
Kajian masalah wanita, menjadi topik yang masih hangat, seiring dengan
pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan
wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum bahkan
berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-relung
keyakinan pribadi pada setiap orang. Salah satu implikasi yang tidak terelakkan
adalah isu ini berusaha membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-
ayat al-Qur’an, menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum
Islam dengan alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita,
bahkan jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita.
Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera
dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi
setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala
sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan
manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan
insani. Pada saat itu pula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan
perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan
dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta
menempatkannya secara adil.
Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam
merubah kultur jahili menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak
perempuan, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat
mudah meniru dalam memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya
skenario film yang berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana
pepatah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini. Artikel
ini mencoba menganalisa beberapa teks di dalam doktrin ajaran Islam yang sering
dikaji dengan bebas sebagai senjata untuk menisbahkan sebab-sebab kemunduran
wanita di dalam Islam. Dikarenakan teks-teks itu pula, budaya dominasi laki-laki atas
perempuan terbentuk sejalan dengan keyakinan atas doktrin tersebut.
Akar Permasalahan Tafsir Misoginis
Di dalam kitab-kitab hadis dapat ditemukan beberap hadis yang notabene-nya
menyandang gelar sebagai salah satu sumber hukum Islam, tapi secara zahir telah
merendahkan derajat perempuan, seperti sabda Rasul saw: “Tidaklah aku tinggalkan
setelahku bagi laki-laki fitnah yang lebih bahaya dari perempuan”.[1]“Sebesar-
besarnya bala tentara setan adalah wanita, marah,…”[2]“Sesungguhnya perempuan
imannya, akalnya,…adalah kurang…”[3]“Jauhilah bermusyawarah dengan
perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah…”[4] Semua itu dijadikan senjata
oleh para musuh Islam untuk menyerang Islam. Lantas, apakah doktrin-doktrin agama
tersebut menunjukkan adanya perbedaan substansi perempuan sebagaimana yang
dipahami oleh orang awam? Kalau memang mempunyai maksud yang lain, lantas
bagaimana kita menginterpretasi hadis-hadis tersebut? Apakah dengan metode
tertentu makna yang lebih dalam dari teks tersebut dapat dipahami?
Munculnya interpretasi bahwa Islam membenci dan merendahkan wanita
ibarat sebuah penyakit kronis dan menahun dalam sejarah kehidupan manusia, yang
tidak hanya dialami Islam tapi juga menimpa sekte, agama dan aliran kepercayaan
lainnya. Jika kita analisa pokok permasalahannya, maka akan kita dapati bahwa
sebenarnya pemahaman ini muncul dikarenakan penafsiran secara dangkal terhadap
sebuah doktrin agama dan sekte. Misalkan saja Islam, maka kita pun akan mengambil
secara sepenggal baik dari hadis ataupun al-Qur’an lantas menisbahkan kepada Islam
dengan mengatakan, “Seperti inilah perempuan dalam prespektif Islam”.
Penarikan kesimpulan semacam ini tidak dapat dibenarkan oleh akal. Kenapa?
Jika kita benar-benar ingin mengetahui perempuan dalam prespektif Islam, maka kita
harus menelaah ajaran Islam itu sendiri dari sumber-sumbernya. Dengan kata lain,
kita harus mengetahui apa yang dijadikan sumber dan tolok ukur dalam Islam. Kalau
yang dijadikan sumber dalam Islam adalah al-Qur’an dan hadis, maka harus merujuk
pada kedua sumber tersebut dan menganalisanya, setelah itu baru dapat menarik
kesimpulan dan mengatakan seperti inilah Islam memandang perempuan. Apakah
dibenarkan dengan hanya melihat sebuah hadis yang belum jelas apakah hadis
tersebut memenuhi standar atau tidak, legal atau tidak, lalu kita to the point
mengambil kesimpulan dan mengatakan, “Seperti inilah Islam memandang
perempuan!”
“Derajat Fathimah sejajar dengan Ali, serta lebih utama dari para lelaki yang ada pada
zamannya…”.[14] [islamalternatif.com]
Artinya derajat laki-laki dan perempuan adalah sama dalam pandangan Allah,
ketaqwaan lah yang membedakan satu sama lainnya. Begitu pula, banyak hadis yang
menunjukkan kesamaan harkat laki-laki dan perempuan.
Namun demikian, ada saja dikalangan orang Islam sendiri yang dengan
pemahamannya yang liar mendkonstruksi ajaran Islam, dan berakhir dengan
menyalahkan ajaran Islam. Diantaranya adalah Fatima Mernissi, yang
mengungkapkan keresahannya tentang peranan perempuan dalam Islam,
mempertanyakan hadis-hadis yang dianggap meminggirkan perempuan, yang dikenal
sebagai ayat-ayat misoginis.
Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata “misogyny” yang
berarti ”kebencian terhadap perempuan” (Jhon Echols dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris-Indonesia, 1986, Jakarta, Gramedia, hal: 382). Dalam kamus ilmiah popular
terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan, membenci
perempuan, “misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci akan
perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada perempuan”.
Namun secara terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin
sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat
perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
A. PartantoPius dan al-Barry M Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola
1994
Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin
Bardizbah, Shahih al-Bukhari, Kairo: al-Sya’b, t.t.
Al-Aini, Umdat alQari, Kairo: al-bab al-Halabi, t.t.
Al-Nasa’I, Abu Abdurrahkam bin Syuaib, Sunan al-nasai, Mesir: Musthafa al-bab al-
halabi, 1964
Abu Dawud, al-Sijastani Sulaiman bin al-Asy’at Abu, Sunan Abu Dawud, Mesir:
Musthafa al-bab al-Halabi, 1952
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, cet.
kedelapan, h. 660
Mernissi, Fatimma, Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry, USA:
Oxford, 1991
Hamka, Tafsir al-Azahar, Jakarta: Pustaka, 1988
Imam Muslim, Shahih Muslim, Kairo: al-Bab al-halabi, t.t.
al-Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Imam Muslim, Shahih Muslim, Kairo: Isa al-bab al-halabi, 1467.
Echols, Jhon, dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta, Gramedia1986
Rakhmat, Jalaluddin, Dari Sunnah ke Hadis atau sebaliknya? dalam buku
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
al-Mu’ati, Kamal Jaudah Abu, Wadifah al-mar’ah fi Nazar al-Islam, kairo: Dar al-
Hadi, 1980
al-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmidzi, Mesir: Musthafa al-bab
al-Halaby, 1975
al-Qardhawi, Yusuf, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayat al-Islamiyyah, Kairo: Wahbah,
1996
M. Thalib, Analisa Wanita Dalam Bimbingan Islam, Surabaya: Al-IHlash, 1987
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender, Jakarta: Paramadina, 2001
Shihab, Quraish, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian; Studi Bias Gender dalam Studi al-Quran,
Yogyakarta: LKiS, 1999
[1] Makalah ini disajikan pada mata kuliah Diskursus Hadis-Hadis Kontemporer
Senin, 30 Maret 2009, yang diasuh oleh DR. H. Syahabuddin, M.A.
[2] Pemakalah adalah Mahasiswa S3 UIN Jakarta, konsentrasi Tafsir Hadis, TA 2008
[3] Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari
segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan
anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat
perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin
secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya
terhadap perbedeaan jenis kelamin inilah yang disebut dengan jender. lihat lebih
lanjut, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 2001),
cet. 2, h. 1.
[4] Sejak lima belas abad yang lampau, islam telah menghapuskan diskriminasi
berdasarkan kelamin. Dalam sejarah, Islam lahir ditengah masyarakat jahiliyyah,
suatu masa ketika seorang ibu melahirkan bayi wanita maka dikuburkan dalam
keadaan hidup-hidup atau jika dibiarkan hidup, ia akan menaggung cercaan, dan
hidup dalam keadaan hina. Dan perlakuan ini dikecam keras oleh Islam. Firman
Allah: Artinya: Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)
anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung
kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah,
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (Q.S. al-Nahl/16: 58-59). Lihat,
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian; Studi Bias Gender dalam Studi al-Quran,
(Yogyakarta: LKiS, 1999), cet. 1, h. 1
[5] Jhon Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta,
Gramedia1986), h. 382.
[6] A. PartantoPius dan al-Barry M Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola 1994), h. 473.
[7] Lihat, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996,
cet. kedelapan, h. 660
[8] Jalaluddin Rakhmat, Dari Sunnah ke Hadis atau sebaliknya? dalam buku
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
[9] Lihat, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin
Bardizbah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: al-Sya’b, t.t.), jilid 3, juz 7, h. 34,
lihat pula, Imam Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: al-Bab al-halabi, t.t.), h. 625.
[10] Syaikhani / Bukahri Muslim adalah matan Bukhari dan Muslim sama sedang
sanadnya ada yang berbeda. Sedang Muttafaq alaih, adalah sanadnya berbeda antara
Bukahri dan Muslim sedang matannya sama. Dr. Syahabuddin, M.A., Hasil Penelitian
Pribadi, disampaikan dalam kuliah Diskursus Hadis-Hadis Kontemporer.
[11] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 300
[12] Fatimma Mernissi, Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry,
(USA: Oxford, 1991), h. 44
[13] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),
jilid VII, h. 177
[14] Al-Aini, Umdat alQari, (Kairo: al-bab al-Halabi, t.t.), jilid XVI, h. 364
[15] Bukhari dalam kitab al-haidh, hadis no. 293 dan kitab al-zakah, hadis no 1369.
Muslim dalam kitab al-iman, hadis no 114. Al-Nasa’I, bab shalat al-‘Idain, hadis no.
1558 dan 1561. Abu Dawud, hadis no. 4059. Ibn Majah, hadis no. 1278 dan 3993.
Ahmad bin Hanbal, jilid II, h. 66 dan jilid III, h. 36, 46, dan 54.
[16] Imam Muslim, Shahih Muslim, op.cit., jilid 2, h. 1467.
[17] Muhammad Isa bin Saurah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Mesir: Musthafa al-
bab al-Halaby, 1975), jilid 2, h. 457.
[18] Hamka, Tafsir al-Azahar, (Jakarta: Pustaka, 1988), jilid 2, h. 106.
[19] Yusuf al-Qardhawi, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayat al-Islamiyyah, (Kairo:
Wahbah, 1996), h. 154.
[20] Misalnya, Khadijah binti Khuwailid, Maimunah binti Haris, Aisyah binti Abu
Bakar, Shafiyah binti Huyay (Yahudi yang pernah memerangi Nabi), Nafsah binti
Umar.
[21] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, op. cit. , jili 2, h. 259.
[22] M. Thalib, Analisa Wanita Dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: Al-IHlash,
1987), h. 34-49.
[23] Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), jilid 1,
cet. Ke-4, h. 102.
[24] Kamal Jaudah Abu al-Mu’ati, Wadifah al-mar’ah fi Nazar al-Islam, (kairo: Dar
al-Hadi, 1980), h. 137
[25] Kamal Jaudah Abu al-Mu’ati, Wadifah.. h. 137