You are on page 1of 12

PENATALAKSANAAN

Menurut WHO ada 4 dasar terapi diare: (1) pemberian cairan: untuk mengobati atau
mencegah dehidrasi, (2) Diet: meneruskan ASI dan makanan lainnya, (3) obat-obatan: tidak
memakai antibiotika, terkecuali pada kasus kolera dan disentri, WHO telah merekomendasikan
pemakaian zinc dan (4) penyuluhan. Secara umum penanganan diare ditujukan untuk : (1)
mencegah / menangulangi dehidrasi dan kemungkinan terjadinya intoleransi, (2) mengobati
kausa dari diare, (3) mencegah / menanggulangi gangguan gizi, dan (4) menanggulangi
penyakit penyerta.
Pemberian terapi cairan untuk mengobati atau mencegah dehidrasi dapat melalui oral
dan parenteral. Pemberian cairan peroral lebih menguntungkan dibandingkan parenteral karena
mudah, murah, dan lebih mengurangi frekuensi BAB dan lama diare dibandingkan parenteral.
Pemberian cairan peroral diberikan pada diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan sedang.
Pada keadaan dimana diare dengan dehidrasi berat gagal dilakukan pemasangan IVFD dan
fasilitas/tempat untuk pemasangan IVFD tidak terjangkau, dapat diberikan personde NGT,
dengan kecepatan maksimal 20 ml/kgBB/jam.
Pemberian cairan parenteral diberikan pada dehidrasi berat (dimana peroral tidak akan
tercapai), dan dehidrasi ringan-sedang gagal URO. Setelah rehidrasi tercapai secepat mungkin
beralih ke pemberian oral. Jenis cairan adalah kristalolid (RL, NaCl, NaCl+Dektrose), yang
terbaik adalah RL. NaCl dapat mengatasi dehidrasi tetapi dapat menimbulkan asidosis
hiperkloremia. NaCl+Dektrose (KAEN 3A atau 3B) kurang bermamfaat pada dehidrasi berat,
karena kecepatan infus melampui batas GIR (glucose infussion rate), tetapi dapat bermamfaat
pada dehidrasi ringan sedang. Pemberian infus yang mengandung dektrose, jika melampaui
GIR, tidak dapat mengatasi dehidrasi, malahan akan menimbulkan dehidrasi.
Prinsip Terapi Cairan
Pemberian cairan dilakukan dengan cepat, dalam 3 sampai 6 jam. Pemberian cairan
pada dehidrasi berat dalam keadaan syok merupakan tindakan kedaruratan medis, jika terjadi
gejala dan tanda syok (nadi tidak teraba) berikan dulu loading cairan 20 ml/kgBB secepatnya.
Penilaian lengkap status dehidrasi penderita dilakukan sesudah dimulainya pemberian cairan
dan syok telah teratasi. Terapi rehidrasi dengan cairan parenteral pada dehidrasi berat, memerlukan
tahap-tahapan : (1) Terapi Awal (initial therapy) ditujukan untuk memperbaiki dinamik sirkulasi
dan fungsi ginjal dengan cara reekspansi cepat volume CES, (2) Terapi lanjutan, ditujukan
untuk mengganti defisit air dan elektrolit dengan kecepatan pemberian cairan yang lebih
rendah. Mengingat Na penting untuk mempertahankan volume CES dan adanya keterbatasan
kadar K dalam rehidrasi cepat, maka pengantian ion Na lebih diutamakan dari pada K, dan (3)
Perlu memperhatikan status glukosa pada rehidrasi, karena pada saat diare terjadi kekurangan
kalori. Setelah terapi rehidrasi, saat terapi akhir, sangat penting menjaga/memulihkan status gizi
penderita. Terapi rehidrasi cepat pada dehidrasi berat, pada terapi awal menurut WHO/Depkes
menggunakan Rl 30 ml selama 30 menit pada anak 1 tahun ke atas dan 1 jam pada anak di
bawah 1 tahun. Terapi lanjutan, menurut WHO/ Depkes menggunakan Rl 70 ml selama 2,5 jam
untuk anak 1 tahun ke atas dan 5 jam untuk anak di bawah 1 tahun. FK UNSRI, rehidrasi pada
dehidrasi berat pada diare akut murni menyamaratakan jumlah cairan baik pada terapi awal
maupun terapi lanjutan (juga tidak tergantung umur) dengan pemberian Rl 30 ml/kgBB/jam
selama 4 jam. Tetapi jika saat awal ditemukan tanda-tanda syok maka cairan awal perlu
diloading 20 ml/kgBB/ secepatnya. Tatalaksana FK UI mirip WHO tetapi menggunakan KAEN
3B. Pada dehidrasi ringan-sedang diberikan oralit sebanyak 75 ml/kgBB, yang menurut WHO
dalam 3 jam dan FK UNSRI dalam 4 jam.
Pada diare akut murni/tanpa masalah/ tanpa penyakit penyulit rehidrasi ditujukan untuk
menganti PWL. Pemberian rehidrasi cepat (3-6 jam) parenteral ditujukan untuk : (1)
Memperbaiki dinamika sirkulasi (bila ada syok) dan (2) Mengganti defisit yg terjadi atau untuk
menganti PWL, sementara pergantian CWL dan IWL diberikan peroral, tetapi jika peroral tidak
memungkinkan IVFD dapat dipertahankan. Berbeda dengan diare akut murni, pada diare akut
dengan penyakit penyulit, tujuan pemberian cairan yang diberikan selama 24 jam adalah (1)
Mengganti kehilangan yang telah terjadi, yang menentukan derajat dehidrasi pada saat dirawat
(previous water loss = PWL), (2) Mencukupi kehilangan abnormal dari cairan yang sedang
berlangsung (on going water losses = concomitant water loss = CWL, (3) Menganti cairan
melalui keringat, pernafasan / Inseseble cairan, disebut inssible water loss (IWL). Atau (1)
Mempertahankan kebutuhan rumatan dan (2) Menganti cairan yang hilang (PWL/CWL).
Penyakit penyulit adalah keadaan/penyakit yang dapat membahayakan jika dilakukan
pemberian terapi rehidrasi cepat. Keadaan/penyakit tersebut adalah keadaan/penyakit yang
dapat menimbulkan beban volume vaskuler atau beban volume rongga otak, yakni: penyakit
jantung, BP, bronkiolitis, meningitis, ensefalitis, penyakit ginjal, hipernatremia. Pada diare
dengan penyakit penyulit karena rehidrasi dilakukan selama 24 jam maka 1/3 sampai harus
diberikan dalam 4 jam pertama agar keadaan dehidrasi (terutama yang berat) cepat teratasi dan
sisanya dalam 20 jam kemudian. Pada beberapa keadaan dimana ancaman komplikasi dehidrasi
tidak ada (misalnya pada dehidrasi ringan-sedang) atau dehidrasi (terutama yang berat) akan
terjadi dalam 24 jam ke depan karena anak tidak bisa minum, maka cairan dapat diberikan
dengan kecepatan yang sama. Cairan yang digunakan adalah cairan modifikasi Sutejo, Cairan
tersebut adalah D5% + NaCl 15% 10 ml + KCl 10% 4 ml + BicNat 8,4% 7 ml atau
mengunakan KAEN 3A atau KAEN 3B.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka jumlah terapi cairan selama 24 jam
adalah : Pada dehidrasi ringan sedang: 200 ml/kgBB/24 jam atau 150-200 ml/kgBB/24 jam,
dengan rincian sebagai berikut: (1) PWL: 75 ml/kg ditambah (2) CWL: 10-20 ml/kg/BAB, 5-10
ml/kg/muntah dengan rerata perhari 100 ml/kg/hari, dan ditambah (3) IWL: 25 ml/kg/hari. Atau
(1) kebutuhan rumatan: 100 ml/kgBB/hari ditambah (2) PWL: dehidrasi ringan sedang 50-100
ml/kg ditambah (3) CWL: tergantung jumlah BAB dan muntah. Pada dehidrasi berat: 250
ml/kgBB/24 jam, dengan rincian sebagai berikut: (1) PWL: 125 ml/kg ditambah (2) CWL: 10-
20 ml/kg/BAB, 5-10 ml/kg/muntah dengan rerata perhari 100 ml/kg/hari, dan ditambah (3)
IWL: 25 ml/kg/hari. Atau (1) kebutuhan rumatan: 100 ml/kgBB/hari ditambah (2) PWL:
dehidrasi berat 125 ml/kg ditambah (3) CWL: tergantung jumlah BAB dan muntah. Rehidrasi
menurut RSMH/FK UNSRI pada diare dengan dehidrasi berat yang disertai penyakit penyulit
diberikan cairan sebanyak 250 ml/kgBB/hari, dimana bagiannya (60 ml/kgBB) diberikan
dalam 4 jam pertama dan sisanya (190 ml/kgBB) diberikan dalam 20 jam selanjutnya. WHO
sendiri tidak mengenal istilah ini (diare akut dengan penyakit penyulit/bermasalah).
Jumlah cairan dan jenis cairan yang diberikan berbeda-beda tiap senter. Tabel 8 dan 9
di bawah ini menunjukkan perbedaan pemberian jenis dan jumlah cairan pada 3 senter serta
keuntngan dan kerugiannya.
Tabel 8. Perbedaan Jenis, Jumlah, dan Kecepatan Pemberian Cairan
FK UNSRI WHO/Depkes FKUI 2007
Tanda2 syok RL 20 ml/kg secepatnya ? RL 20 ml/kg
secepatnya
Terapi Awal RL 30 ml/jam RL 30 ml
< 1 tahun 1 jam
1 tahun: jam
KAEN 3B 30 ml
< 1 tahun 1 jam
1 tahun: jam
Terapi lanjutan RL 30 ml/jam, Monitor
setiap jam hentikan jika
rehidrasi tercapai
RL 70 ml
< 1 tahun 5 jam
1 tahun: 2 jam
KAEN 3B 70 ml
< 1 tahun 5 jam
1 tahun: 2 jam
Jumlah total RL 120 ml/4jam +
RL resusitasi syok
Rl 100 ml KAEN 3B 100ml +
RL resusitasi syok
Tabel 9. Keuntungan dan Kerugian Metode 3 Senter
FK UNSRI WHO/Depkes FKUI 2007
Jumlah cairan Menutupi rerata dehidrasi Menutupi jumlah minimal Menutupi jumlah minimal
untuk anak 10 kg berat (10-15% BB) dehidrasi berat (10% BB)
kemungkinan timbul
dehidrasi lagi, defisit 2,5%
dianjurkan minum oralit
dehidrasi berat (10% BB)
kemungkinan timbul
dehidrasi lagi
Jumlah cairan
untuk anak > 10 kg
dengan dehidrasi
berat
Rehidrasi umumnya
dicapai dalam 3 jam
pertama, jadi perlu
pemantauan
Mencukupi Mencukupi
Ion Kalium Rendah, kemungkinan
lebih besar terjadi
hipokalemia
Rendah, kemungkinan
lebih besar terjadi
hipokalemia
Tinggi, kemungkinan lebih
kecil terjadi hipokalemia,
tetapi jika terjadi gagal ginjal
terjadi hiperkalemia
Glukosa Tidak mengandung,
kemungkinan terjadi
hipoglikemi
Tidak mengandung,
kemungkinan terjadi
hipoglikemi
Mengandung, kemungkinan
terjadi hiperglikemi
Batas GIR
(Glukosa Infussion
Rate)
Tidak terlampaui Tidak terlampaui Terlampaui, sehingga
rehidrasi tidak bisa dicapai
Kebutuhan rumatan kalori dan air persatuan kgBB perhari dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 10. Kebutuhan Rumatan Kalori dan Jumlah Cairan
Berat Badan (Kg)
Rumatan
Kcal/kg/24 jam ml air/kg/24 jam
10 kg pertama 100 100
10 kg kedua 50 50
Setiap kg penambahan BB (>20 kg) 20 20
Pada tabel 11 di bawah ini dapat dilihat perkiraan jumlah cairan yang dibutuhkan
dalam 24 jam berdasarkan derajat dehidrasi dan berat badan. Makin berat anak maka jumlah
cairan yang dibutuhkan relatif lebih sedikit. Secara praktis jumlah cairan yang diberikan
berdasarkan berat badan selama perhari dapat mengacu pada kebutuhan cairan perhari. Pada
dehidrasi berat, jumlah cairan dikalikan 2,5 dan pada dehidrasi ringan sedang dikalikan 1,5
sampai 2. Contoh: anak 20 kg maka jumlah kebutuhan cairan perhari adalah 1500 ml (15
tetes/menit), jika mengalami dehidrasi berat membutuhkan cairan 3750 ml/hari (37-38
tetes/menit, jika kecepatan pemberian disamaratakan), dan jika mengalami dehidrasi ringan-
sedang membutuhkan cairan 2250-3000 ml/hari (22-30 tetes/menit)
Tabel 11. Jumlah Cairan yang Dibutuhkan dalam 24 Jam:
Derajat Dehidrasi
3 10 kg 10-15 kg 15 25 kg
PWL NWL /hari PWL NWL /hari PWL NWL /hari
Ringan 50 100 175 30 80 135 25 65 115
Sedang 75 100 200 50 80 155 50 65 140
Berat 125 100 250 80 80 185 80 65 170

Jenis cairan peroral yang dapat diberikan pada yang tanpa dehidrasi, yakni cairan
rumah tangga, pedialite, oralit dengan disertai minum air putih dengan jumlah yang sama.
Larutan gula-garam mulai ditinggalkan karena banyak ibu/pengasuh salah menakar garam dan
atau gula. Pada dehidrasi ringan sedang diberikan oralit atau renalit. Pada yang sudah
terehidrasi dapat digunakan oralit atau renalit

Oralit
Oralit (ORS = oral rehydration solution) adalah cairan elektrolit-glukosa yang sangat
esensial dan telah terbukti efektif dalam pencegahan dan mengobati rehidrasi penderita dengan
dehidrasi ringan-sedang. Dasarnya adalah penelitian in vitro mengenai absorbsi Na dari usus
mamalia, dimana air bergerak masuk dari lumen usus sebagai respon terhadap transpor aktif
berpasangan elektrolit dan solut organik, salah satunya yang penting adalah NaCl dan glukosa.
Selain dengan glukosa, mekanisme tranfor Na yang berpasangan juga dengan solut organik
lain, yaitu asam amino, dan polipeptide rantai pendek. Selain itu suatu glukosa polimer dapat
digunakan dan memiliki keuntungan karena berat molekul (BM) yang rendah tetapi dapat
menghasilkan glukosa yang banyak yang dilepas secara bertahap (slow release) tanpa
menganggu beban osmotik intraluminal. Zat-zat lainnya juga digunakan untuk meningkatkann
kemampuan absorpsi pada oralit misalnya pro/prebiotik, gum arabik. Penambahan zat-zat yang
dapat meningkatkan absorpsi dan atau menekan sekresi luminal ke dalam orait standar akan
menghasilkan suatu oralit super (super ORS).
Absorpsi Na dan air oleh usus menurut kaedah-kaedah, antara lain (1) Yeyunum yang
mengabsorpsi Na (dan air) pada kecepatan yang meningkat apabila ada glukosa, (2) Ileum yang
secara aktif mengabsorbsi Na dan Cl melawan gradien elektro-kimiawi yg tajam, juga bila
tanpa glukosa, (3) Kadar glukosa sekitar 20 g/l yang memacu absorbsi yang optimal. Perlu
diperhatikan, kadar glukosa yang lebih dari 20 g/l menyebabkan absorpsi tidak sempurna,
sehingga menimbulkan diare osmotik, dan (4) kecepatan absorpsi air pada usus bagian
proksimal lebih tergantung pada transpor (terutama transpor berpasangan) elektrolit dan bahan-
bahan organik, pada usus bagian distal lebih tergantung pada beda osmolaritas. Pada
kebanyakan diare, proses peradangan/kerusakan mukosa terjadi pada usus bagian distal (ileum
dan kolon) sehingga jalur absorpsi elektrolit dan air lainnya banyak yang mengalami gangguan
kecuali jalur tranpor berpasangan antara Na dan glukosa/asam amino/peptida. Oleh karena itu
setiap cairan rehidrasi oral harus mengandung Na dan glukosa/asam amino/peptida.
Oralit juga diberikan setelah selesai rehidrasi, yakni pada tahap rumatan. Pada tahap
rumatan, pemberian cairan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang
berlangsung karena diare, yakni sebanyak 10-20 ml/kgBB untuk setiap diare berair yang terjadi
(dan 5-10 ml/kgBB setiap muntah) atau 100 ml setiap kgBB pada anak dengan BB 10 kg ke
bawah dan 200 ml/kgBB untuk BB di atas 20 kg. Oralit mulai diperkenalkan pada tahun 1978
dengan komposisi Na (90 mmol/l) dan osmolaritas (311 mmol/l) yang tinggi. Pada tahun 2004
mulai diperkenalkan oralit yang hipoosmolar, dimana pada penelitian multisenter telah terbukti
dapat menurunkan frekuensi dan lama diare dibandingkan oralit lama (hiperosmolar). Tabel 12
menunjukkan perbedaan komposisi atara oralit hipoosmolar an hiperosmolar
Tabel 12. Perbedaan Komposisi antara Oralit Hipoosmolar dan Hiperosmolar
Reduced Osmolarity ORS Hyperosmolarity ORS
Grams/litre Mmol/L Grams/litre Mmol/L
Sodium Chloride 2.6 Na 75 3,5 90
Anhidrous Glukose 13.5 Glukosa 75 20 111
Potassium chloride 1.5 Cl 65 1,5 Cl 80
Trisodium citrate, dihydrate 2.9 K 20 2,9 K 20
Citrate Sitrat 10 Sitrat 10 atau
Bikarbonat Atau 2,5 BicNat Bikarbonat 30
Total Osmolarity 245 311

WHO menyusun rencana pengobatan untuk mengobati diare, dimana rencana A untuk
tanpa dehidrasi, B untuk dehidrasi ringan-sedang dan C untuk dehidrasi berat.
Rencana Terapi A



Beberapa cairan yang dapat dipakai dalam rehidrasi penderita dehidrasi berat:
Garam faali (NaCl ,9%)
NaCl 0,9% dapat digunakan pada dehidrasi dengan alkalosis metabolik yang biasanya
disebabkan oleh muntah-muntah yang perfuse. Hal ini disebabkan NaCl 0,9% tidak
mengandung basa. NaCl 0,9% kurang optimal dalam rehidrasi pasien dengan dehidrasi asidosis
(sebagai komplikasi diare akut), karena tidak dapat mengkoreksi asidosis. NaCl 0,9% yang
ditambahkan Dektrose, dapat mengatasi dehidrasi tetapi jika GIRnya terlampaui, maka cairan
tersebut tidak dapat mengatasi dehidrasi.
Ringer Laktat (RL)
Pemakaian RL secara cepat dapat mengatasi asidosis dengan cara meningkatkan
perfusi ginjal yang mengakibatkan peningkatan eksresi ion hidrogen. Laktat dan asetat sendiri
dapat mengatasi asidosis, tetapi efek netralitas terhadap asam tersebut tidak segera terjadi,
karena metabolisme laktat atau asetat menjadi bikarbonat memerlukan waktu yang lebih lama.
Hal ini penting, karena menormalkan pH yang terlalu cepat atau terlalu agresif, akan lebih
berbahaya. Pemberian bikarbonat pada dehidrasi berat hanya ditujukan untuk asidosis berat,
yakni bila pH 7,10. EBM memberikan hasil yang baik pada pemberian RL pada pasien
dengan dehidrasi berat, bahkan yang dalam keadaan syok tanpa memperburuk asidosis. RL
hanya mengandung kalium sebesar 4 mEq/l, kurang mencukupi untuk mengatasi hipokalemia
akibat dehidrasi pada diare akut. Terapi Kalium diberikan sesudah ginjal berfungsi dengan
baik. Oleh karena itu, maka pemberian cairan yang rendah Kalium diperlukan pada saat
rehidrasi pada dehidrasi berat.
Banyak perdebatan mengenai jenis cairan intravena dalam mengatasi dehidrasi akibat
diare, terutama pada dehidrasi berat. WHO, Depkes RI, dan FK Unsri memakai RL sedangkan
RSCM/FKUI menggnakan KAEN 3B. Menurut Neville, rehidrasi dengan salin normal (NaCl
0,9% + D 2,5%) lebih baik dari salin hipotonik (NaCl 0,45% + D 2,5%), karena dapat
mengatasi hiponatremia tanpa hipernatremia. Menurut Eisenhut, penggunaan salin isotonik
dapat menimbulkan hiperkloremik asidosis. Menurut Choong, penggunaan larutan hipotonik
(baik itu hipotonik fisiologis, yakni KAEN 3A/3B) meningkatkan resiko terjadinya
hiponatremia akut dan morbiditas. Untuk anak larutan isotonik lebih fisiologis dan aman.
Hiponatremia terjadi akibat keseimbangan positif pemberian cairan bebas Na dan
ketidakmampuan mensekresi urin yang hipotonik akibat ADH. Pengeluaran ADH terjadi akibat
adanya hipovolumia atau hipoosmolar, tetapi jika terjadi bersamaan, ADH lebih merespon
hipovolemia dibandingkan hipoosmolar dengan akibat hipoosmolar semakin berat.
Pemantauan klinis lebih ditekankan dalam menilai hasil rehidrasi. Respon klinis yang
dipantau, meliputi: tangis bayi, tingkat aktifitas, turgor kulit, nadi dan tekanan darah, frekuensi
nafas, BB, intake-output, dan lain-lain. Pada keadaan tertentu (misalnya ada komplikasi), perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium, misalnya periksa nilai elektrolit serum dan urin.

Diet
Pada diare, diet memegang peranan penting. Pemberian diet secara dini dapat
mempercepat penyembuhan diare dan mencegah penurunan BB lebih lanjut. Pada dehidrasi
berat, makanan diberikan setelah keadaan umum anak membaik. ASI diteruskan seperti
biasanya. Tetap meneruskan makan dan minum seperti biasanya, dengan penambahan porsi
karena pada diare kebutuhan akan diet meningkat 50% adalah prinsip terapi diet pada terapi
diare. Tidak mengkonsumsi makanan yang merangsang, banyak mengkonsumsi makanan yang
kaya kalium
Pada bayi yang mendapat susu formula, jika ada tanda-tanda intoleransi glukosa (baik
klinis maupun laboratoris), dehidrasi berat, diare telah berlangsung 3-5 hari ganti susu formula
dengan susu rendah laktosa atau bebas laktosa. Penelitian multisenter menunjukkan pemberian
susu bebas laktosa lebih bermamfaat jika ada tanda-tanda intoleransi laktosa dibandingkan susu
rendah laktosa.

Medika mentosa
Obat-obat Causa
Anti mikroba tidak rutin digunakan pada diare. Pada diare akut, menurut WHO dan
Depkes, antibiotika hanya digunakan pada kasus kolera dan disentri. Penggunaan antibiotika
dapat diperluas pada kasus diare invasif, yakni diare yang disebabkan oleh bakteri yang meng-
invasi enterosit. Suatu diare digolongkan ke diare invasif jika ditemukan leukosit tinja 10/lpb
atau lebih, yang biasanya ditandai dengan gejala panas lebih dari 38,5
o
C. Antibiotika juga
harus digunakan jika terdapat gejala meteorismus, dimana pada keadaan ini terjadi perubahan
barier usus yang menyebabkan bakteri-bakteri intraluminal mudah mengalami translokasi.
Secara miskroskopis, pengunaan antibiotika dapat dibenarkan pada kasus tersangka kolera,
tersangka shigelosis, terbukti amubiasis, terbukti giardiasis, dan overgrowth kuman. Diare yang
melanjut lebih dari 7 hari, dipertimbangkan untuk memberi antibiotika sambil menunggu hasil
kultur dan resistensi feses. Penggunaan antibiotika yang tepat adalah berdasarkan hasil kultur
feses. Kultur juga dilaksanakan untuk mengetahui parasit sebagai penyebab. Jenis antibiotika
yang sering digunakan adalah untuk membasmi kolera drug of choice-nya adalah tetrasiklin
dengan alternatif kotrimokzasol. Untuk desentri, drug of choice-nya adalah kotrimoksazol.
Untuk amubiasis dan giardiasis drug of choice-nya adalah metronidazol. Untuk overgrowth
kuman, karena hampir 90% kuman yang di kolon adalah kuman gram negatif anaerob, maka
drug of choice-nya adalah metronidazol. Secara sederhana, pada diare yang memerlukan
antibiotik, maka diperlukan antibiotika kotrimoksazol dan metronidazol. Tetapi karena telah
terjadi banyak resistensi terhadap antibiotika, terutama kotrimoksazol, maka pemilihan obat
antibiotika pada kasus diare yang memerlukan antibiotika, sebaiknya mengikuti pola resistensi
dan sensitivitas kuman pada daerah tersebut.
Beberapa penyakit dapat menyertai diare akut. Pemakaian antibiotika dapat dibenarkan
pada kasus seperti ini, tetapi antibiotika yang dipakai adalah antibiotika untuk penyakit
penyerta, misalnya diare akut dengan tonsilofaringitis, maka antibiotika yang digunakan adalah
antibiotika untuk tonsilofaringitis. Panas tinggi merupakan indikasi penggunaan antibiotika,
walaupun penyakit primernya sulit ditemukan. Diare akut murni, sangat jarang disertai panas
tinggi. Panas tinggi yang menyertai diare dapat disebabkan oleh sepsis, ensefalitis, meningitis,
dan lain-lain. Bayi berumur di bawah 3 bulan perlu dilindungi dengan antibiotik jika
mengalami diare, karena mudah mengalami sepsis.
Pemakaian antibiotika yang serampangan menyebabkan mudah terjadinya resistensi.
Kuman-kuman di dalam GIT merupakan sumber penyebab keresistenan bakteri, walaupun
antibiotika yang dipakai tidak ditujukan untuk infeksi GIT. Pemakaian antibiotika pada diare
juga dapat memperpanjang lama diare dan meningkatkan frekuensi defekasi. Resistensi
terhadap AB tidak hanya mengurangi keefektifan AB terhadap kuman akan tetapi kuman yang
resisten justru dapat tumbuh lebih cepat bila ada AB tersebut, sehingga menimbulkan super
infeksi.
Resistensi kuman terhadap antibiotika kebanyakan diperantarai oleh plasmid. Plasmid
merupakan elemen genetika di luar kromoson, yang dapat bereplikasi secara otonom di dalam
sel host. Mekanisme kerja plasmid, melalui beberapa cara yakni (1) Perubahan tempat sasaran
antibiotika, contohnya: resistensi terhadap eritromisin dan linkomisin, (2) Memodifikasi
antibiotika sehingga tidak aktif lagi, contohnya: resistensi terhadap kloramfenikol, penisilin,
dan sefalosporin. (3) Pencegahan antibiotik memasuki sel bakteri, contoh resistensi terhadap
tetrasiklin dan aminoglikosid, dan (4) Produksi enzim baru sebagai penganti enzim yang
berasal dari host yang merupakan sasaran AB, contohnya resistensi terhadap sulponamid dan
trimetroprim
DNA plasmid dapat dipindahkan dari satu jenis spesies kuman ke spisies kuman
lainnya dengan cara : tranduksi, transformasi, dan konjugasi. Tranduksi terjadi dengan
perantaraan bakteriofag, misalnya cara pemindahan sifat resistensi AB antara strain
Staphylococcus aureus. Transformasi adalah kemampuan bakteri untuk berubah secara alamiah
untuk mengambil langsung DNA donor, msalnya pada H nluensa, Streptococcuc pneumoni.
Konjugasi, pemindahan gen resisten dari satu kuman ke kuman lainnya dengan kontak melalui
sexpilus. Terutama pada basil gram negatif, contohnya pada E coli, samonella, higella,
klebsiella, V cholera, dan peudomonas
Selain resistensi, AB terutama yang berspktrum luas juga dapat menimbulkan diare
yang dihubungkan dengan antibiotika (AAD = antibiotics associated diarrhea atau drug
induced diarrhea). AB menimbulkan AAD, dengan mekanisme antara lain (1) Membunuh
kuman apathogen sehingga terjadi gangguan keseimbangan kuman, sehingga kuman yang
pathogen dan jamur (terutama Candida) overgrowth (2) Berpengaruh langsung ke otot-otot
polos GIT yang menimbulkan hiperperistaltik, misalnya eritromisin, (3) Efek toksik obat.
Pemakaian obat causa berdasarkan penyebab:
Virus: tidak ada obat yang spesipik, terapi hanya bersifat simptomatik (mengobati dan
mencegah dehidrasi). Obat antimikroba tidak perlu digunakan.
E. coli: tidak perlu diberi antibiotika, kecuali pada bayi yang sakit berat atau berumur di bawah
2-3 bulan, karena berpotensi menimbulkan sepsis. Antibiotika yang dapat dipakai adalah
Polymixin E sulfat (Collistin), berkerja dengan cara interferensi pada struktur dan fungsi
membran sitoplasma bagian luar bakteri sehingga menimbulkan kebocoran komponen intra
seluler. Bersifat bakterisid. Peroral tidak diserap. Dosis 100.000 SI/kgbb/hari dibagi 3 dosis.
Juga dapat dipakai Nifuroxazida (Nifural), bekerja lokal dan tidak diserap mukosa usus. Dosis
untuk bayi di bawah 6 bulan 2 kali 1 sendoh teh perhari. Untuk ETEC dapat digunakan
kombinasi trimetoprim dan sulfametoksasol (kotrimoksazol), bekerja dengan cara
mempengaruhi sintesa protein bakteri sehingga menghambat reproduksi bakteri. Golongan
Aminoglikosid (neomisin/ kanamisin), dapat mempengaruhi struktur usus, sehingga
menganggu fungsi normal usus, dapat terjadi malabsorbsi lemak, gula, dan kalsium. Pemakaian
Neomisin dalam jangka lama dapat menimbulkan diare.
Salmonella non tifoid: Insiden terbanyak pada tahun pertama kelahiran. Antibiotik tidak
dianjurkan terutama pada kasus yang ringan. Antibiotik hanya dianjurkan pada penderita imuno
compromized, bayi berumur kurang dari 3 bulan, dan yang menunjukkan sindrom sistemik
seperti demam enterik dan bakteriemia. Pilihan antibiotik adalah kloramfenikol, tiamfenikol,
amoksisilin. trimetroprim/ sulfametoksazol. Yang terbaik adalah berdasarkan hasil sensitifitas.
Shigella: Sebagian kasus bersifat self limiting dan tidak pernah terjadi masa karier. Pada yang
kasus yang ringan tidak perlu antibiotika. Antibiotika yang dapat dipakai antara lain
kotrimoksasol, bersifat bakterisid, mengandung 2 bahan aktif yang sinergis melakukan blokade
terhadap enzim yang mengkatalisis tahapan beruntun dari biosintesa asam folik di dalam
mikroorganisme. Dosis trimetorim 5-10 mg/kg/hari dan sulfametoksazol 25-50 mg/kg/hari, 2
dosis selama 5 hari. Efek samping berupa hipersensitifitas, mual, muntah, stomatitis,
leukopenia, dan trombositopenia. Kontra indikasi pemakaian: bayi berusia kurang dari 2 bulan.
Golongan quinolon, bersifat bakterisid, daya inhibisi girase pada saat fase proliferasi bakteri
sehingga menghambat replikasi DNA bakteri. Asam nalidiksat (Urineg): dosis 55mg/kg/hari, 4
kali sehari 5 hari. Ciprofloksazin dengan dosis 2 x sehari 15 mg/kgBB/x. Pemakaian ke-2 obat
tersebut harus hati-hati pada: bayi berumur kurang dari 3 bulan, pernah kejang, anak masa
prepubertas karena resiko erosi tulang rawan pada sendi penyangga. Efek samping adalah
nausea, diare, dan nyeri perut. Ampisillin, cara kerjanya dengan mengganggu biosintesa
dinding sel bakteri, sehingga menyebabkan lisis dan kematian bakteri. Dosisnya adalah 25
mg/kg/kali, 4 x sehari selama 5 hari. Dapat terjadi hipersensitifitas pada penderita yang sensitif
penisilin dan sefalosporin. Efek sampingnya adalah alergi, mual, muntah, diare. Sulfonamid
yang tidak diserap seperti sulfakuanidin, suksinil-sulfatizol, dan ptalylsulfatiazol, bekerja
dengan cara secara kompetisi dengan bakteri dengan cara menghambat penggunaan asam p-
aminobenzoat saat sintesa dehidrofolat yang esensial untuk sintesa DNA dan RNA.
V. cholera. Penggunaan antibiotik dapat mengurangi volume dan lama diare serta masa
ekskresi dari kuman. Tetapi sebagian laporan melaporkan, penggunaan antibiotika tidak
berpengaruh. Drug of choicenya adalah tetrasiklin. Cara kerjanya adalah menghambat replikasi
DNA sehingga menghambat sintesa protein bakteri yang akan menyebabkan kebocoran isi sel.
Efek samping berupa mual, anoreksia, diare. Dosis 50 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis selama
3-5 hari. Reaksi hipersensitifitas dan gangguan pada hepar dan ginjal. Sebaiknya dihindarkan
pada anak usia di bawah 6-8 tahun. Absorpsi dihambat oleh antasid dan suplementasi Fe, Ca,
Mg. Obat lainnya adalah kotrimoksazol, dengan dosis trimetoprin 10 mg/kg/hari dibagi 2 dosis
selama 3 hari. Furazolidin, bekerja dengan cara menghambat enzim bakteri dan merusak DNA
dan menghambat metabolisme karbohidrat dan jaringan saraf (toksisitas neurologik). Dosisnya
adalah 5 mg/kg/hari
Campylobacter yeyuni. Sebagian besar C jejuni memproduksi lactamase. Bersifat self
limiting, pada yang ringan tidak perlu antibiotika. Eritromisin atau tetrasiklin dapat
mempercepat masa kesembuhan dan mengurangi lama masa karier dan pengeluaran kuman
serta kekambuhan. Eritromisin, bekerja dengan cara menghambat sintesa protein tanpa
mempengaruhi sintesa asam nuklei. Efek samping berupa nyeri/ kejang perut. Hati-hati pada
gangguan faal hati.
Yersinia enterokolitika. Bersifat self limiting, sehingga tidak perlu antibiotika
Aeromonas. Jika episode ringan bersifat self limiting sehingga tidak perlu antibiotika. Separuh
kasus berlangsung selama 10 hari, bila bertambah parah maka perlu dipertimbangkan memakai
antibiotika kotrimoksasol
Entamoeba histolytica. Bila ditemukan trofozoit dengan ada RBC di plasmanya atau ulkus
pada kolon maka harus diterapi. Hampir 90% orang yang dalam fesesnya mengandung amuba,
merupakan Entamoeba histolytica yang non patogen (dinamakan Entamoeba dispar). Idioquinol
dan diloksanid furanoate efektif untuk digunakan pada amubisid lumen. Metronidazol dan
dehidroemetik efektif digunakan untuk amubisid jaringan (Amubisid invasif). Metronidazol,
untuk amubisid intestinal, hepar, dan organ lain. Dosis: 30-50 mg/kg/hari per oral, 22,5
mg/kg/hari iv dibagi 3 dosis diberikan selama 10 hari. Pada amubisis berat digunakan
dehiroemetin dengan dosis 1 mg/kg/hari IM atau SC 1 x sehari, 10 hari dengan efek toksik pada
jantung, terutama pada penderita dengan gizi buruk. Tinidazol dosis tunggal 60 mg/kg/hari, 3
hari berturut-turut untuk amubiasis intestinal berat.Metronidazol dan tinidazol menimbulkan
gejala toksik SSP dan ginjal dan perlu perhatian pada bayi muda. Pemeriksaan tinja perlu
diulang 2 minggu setelah terapi amubisid. Sembuh bila tidak ditemukan amuba dalam tinja
dalam interval 6 bulan
Giardia lambdia. Kebanyakan infeksi tidak menimbulkan gejala (asimptomatik). Antimikroba
yang digunakan adalah metronidazol dengan dosis 15 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis selama 5
hari atau kuinakrin (Quinacrine) 7,5mg/kg/hari dibagi 3 dosis selama 5 hari.
Cryptosporidium. Dapat digunakan antibiotika Makrolid (eritromisin, spiramicin,
clindamisin) yang dapat mengurangi jumlah parasit. Paramomycin dan dictazuril dapat
mengurangi beban parasit namun tidak menghilangkan parasit

Prebiotik
Prebiotik adalah non-digestible food ingredient yang berpengaruh baik terhadap host
dengan memicu aktifitas dan atau pertumbuhan selektif satu jenis atau lebih bakteri penghuni
kolon. Mekanisme kerja prebiotik dengan cara me-modulasi komposisi mikrobiota kolon yang
menyebabkan kuman-kuman yang menguntungkan (Bifidobacteria, lactobaccilus, dan lain-
lain) lebih dominan.
Cara memperoleh prebiotik, yakni (1) Ekstraksi langsung dari polisakarida alami dari
tumbuhan, (2) Hidrolisis dari polisakarida alami, dan (3) Sintesis enzimatik dengan
menggunakan hidrolase dan glikosil transferase. Contoh bahan prebiotik FOS (frukgto oligo
sacharide), GOS, dan inulin. Syarat bahan makanan yang dapat digolongkan sebagai prebiotik
adalah (1) Tidak dihidrolisis dan tidak diserap GIT bagian atas, (2) Substrat yang selektif untuk
satu atau sejumlah mikroflora komensal yang menguntungkan dalam kolon, sehinga memicu
pertumbuhan bakteri yang aktif melakukan metabolisme, dan (3) Mampu merubah komposisi
mikroflora kolon menjadi komposisi yang menguntungkan kesehatan.
Keuntungan prebiotik dalam men-stimulasi Bifidobacteria, (1) Efek protektif terhadap
Cancer kolorektal dan infeksi usus dengan menghambat bakteri putrefactive (C. perfringen)
dan bakteri patogen (E.coli, Salmonella, Shigella, Listeria), (2) Memperbaiki metabolisme
glisid dan lipid, (3) Memperbaiki bioavailabilitas mineral esensial, (4) Faktor karsinogenik
yang rendah

Probiotik
Probiotik merupakan mikrorganisme yang menguntungkan bagi tubuh (friendly
microorganism, friendly colonizer). Probiotik adalah bakteri hidup yang memiliki efek
menguntungkan melalui kemampuannya memperbaiki keseimbangan mikroflora usus.
Keuntungan penggunaan probiotik (1) Mencegah kolonisani bakteri patogen penyebab diare
atau penyakit lainnya, (2) Memicu respon imun mukosa sehingga memproduksi SIgA yang
berperan dalam imunitas humoral lokal dan CMI (cell meiated immune) mukosa. Syarat suatu
kuman dikatakan probiotik adalah (1) Berasal dari manusia dan bakteri yang hidup, (2) Tidak
patogen secara alamiah, (3) Tahan terhadap kerusakan pada waktu proses, (3) Tahan terhadap
asam lambung dan empedu, (4) Dapat melekat pada epitel usus, (5) Mampu berkolonisasi di
GIT, (6) mampu memproduksi substansi antimikrobial, (7) Memodulasi respons imun, dan (8)
Mempengaruhi aktivitas metabolik.
Mekanisme kerja probiotik meliput aspek: (1) Aspek kompetisi, (2) Aspek stabilisasi
barier mukosa, (3) Aspek imunologis, (4) Memproduksi substansi antibakteri, dan (5)
Meningkatkan penyeraban di kolon.
1. Aspek Kompetisi, (a) aspek kompetisi perlekatan, kemampuan probiotik mengadakan
perlekatan dengan enterosit sehingga enterosit tidak dapat berikatan dengan bakteri lain.
Lactobacillus strain LA10 dan LA18 berkemampuan rendah mencegah perlekatan kuman
EPEC, dan lain-lain kuman. Bifidobacteria mampu melekat kuat pada epitel kolon melalui
komponen lipotheichoic acid (LTA). Lactobacillus salivarius CTC2197 dapat mencegah
kolonisasi Salmonella enteritidis. (b) Aspek kompetisi bahan makanan, kamampuan probiotik
berkompetisi dengan bakteri patogen dalam mengambil makanan, sehingga bakteri patogen
kurang dapat tumbuh.
2. Aspek Stabilisasi Barier Mukosa. Dalam keadan normal, epitel mukosa usus dan
mikroflora usus merupakan barier terhadap bakteri patogen. Jika terdapat Ag dan bahan yang
merusak lumen menyebabkan stabilitas terganggu, sehingga permeabilitas membran meningkat
yang menyebabkan invasi atau translokasi kuman patogen, Ag lainnya, dan bahan toksik.
Probiotik (Lactobacillus GG) dapat menekan proses inflamasi dan me-normalisasi
permeabilitas mukosa dan flora usus
3. Aspek Immunologis. Lactobacillus GG bekerja dengan cara (1) Meningkatkan imunitas
mukosa intestinal, (2) meningkatan jumlah sel penghasil IgA dan sel penghasil Ig lain, (3)
Menstimulus pelepasan INF lokal yang memfasilitasi transport Ag dan meningkatkan ambilan
Ag oleh Peyers patches. Bifidobacteria bekerja dengan cara (1) Mempunyai afinitas
pengikatan yang tinggi terhadap membran sel epitel mukosa, (2) Bertindak sebagai pembawa
Ag, yang akan mengikatkan ke jaringan target, sehingga mengaktivasi makrofag untuk
membangkitkan respon imun
4. Memproduksi substansi antibakteri. Beberapa bahan yang bersifat antibakteri dapat
dihasilkan oleh probiotik. Bahan-bahan tersebut, diantaranya Asam organik, Bakteriosin,
Mikrosin, Reuterin, Volatille fatty acid, Hidrogen peroksida, ion hidrogen. Probiotik dapat
menguraikan sisa-sisa makanan menjadi asam-asam lemak rantaipendek (laktat, propionat,
butirat) dalam komposisi tertentu sehingga meningkatkan penyerapan kolon.
Mekanisme kerja probiotik dalam memperpendek diare, adalah (1) Menurunkan pH
usus dengan menghasilkan asam-asam lemak rantai pendek, (2) Efek antagonis langsung
terhadap patogen, (3) Kompetisi perlekatan pada reseptor, (4) Perbaikan fungsi imun dan
stimulasi sel imunomodulator, (5) Kompetisi nutrien dan faktor pertumbuhan
Mekanisme kerja untuk pencegahan diare, adalah (1) Memodulasi sistem imun,
meningkatkan produksi Ab dan memobilisasi makrofag, limfosit, dan lain-lain, (2)
Meningkatkan produksi musin mukosa usus sehingga meningkatkan respon imun alamiah
(innate immunity), (3) Menghambat pertumbuhan bakteri patogen melalui kompetisi nutrisi dan
meningkatkan fungsi barier, (4) Memproduksi substansi antibakteri, (5) Menurunkan pH usus
dengan memproduksi asam laktat, dan (6) Menekan aktivitas toksik dan enzim karsinogenik
amin oleh flora usus lain.

Seng (Zinc)
Zinc merupakan mikronutrien esensial bagi tubuh. Anak-anak di negara berkembang
banyak mengalami kekurangan cadangan zinc. Zinc berperan dalam proses pertumbuhan dan
diferensiasi sel, menjaga stabilitas dinding sel, serta ikut dalam proses ekspresi dari gen dan
pengaturan ion intraseluler. Zinc berperanan penting dalam sistem imun. Pada sistem imunitas
non-spesifik, jika terjadi defisiensi akan menyebabkan kerusakan sel epidermal, mukosa GIT
dan saluran nafas yang merupakan barier terhadap mikroba. Defisiensi zinc juga akan
mengganggu fungsi leukosit PMN, sel NK dan aktivitas komplemen. Pada sistem imunitas
spesifik, zinc berperan besar dalam sistem limfosit. Defisiensi zinc menyebabkan atrofi timus
dan berkurangnya kandungan limfositnya. Defisiensi zinc akan menurunkan prekursor limfosit
di sumsum tulang, sehingga jumlah limfosit dalam darah akan menurun, yang menyebabkan
respons Antibodi menurun
Hubungan seng dan GIT sangat erat. GIT memiliki kandungan limfosit terbanyak
setelah timus, sehingga defisiensi zinc menyebabkan anak rentan terhadap infeksi kuman
penyebab gangguan GIT. Zinc berperan dalam mempertahankan integritas mukosa usus melalui
fungsi regenerasi sel dan stabilitas membran sel. Zinc dapat menghalangi pembentukan NO
yang mengaktivasi c-GMP yang menimbulkan diare sekresi.
Penelitian suplementasi zinc pada diare menunjukkan penurunan insidens diare akut
dan persisten antara 14-65%. Pemberian zinc pada penderita diare terbukti memperpendek
durasi dan mengurangi proporsi diare yang menjadi kronik. Pemberian zinc pada penderita
diare tidak memandang status zinc tubuh, tetapi dampaknya lebih jelas pada penderita dengan
defisiensi zinc.
Sekarang sudah ada bentuk Zinc elemental, yakni zinkid dan diazinc, dengan setiap
tablet mengandung zinc elemental 20 mg. Dosisnya adalah untuk bayi 6 bulan ke bawah
diberikan 10 mg, untuk yang di atas 6 bulan diberikan 20 mg, diberikan selama 14 hari.
Sebelum ada preparat tersebut dipakai Zinc sulfat, Zinc glukonat, Zinc asetat, Zinc pikolinat.
Satu mg Zn elemental setara dengan 4,4 mg ZnSO4.7H2O setara dengan 7 mg seng glukonat
setara dengan 2,8 mg seng asetat setara dengan 2,1 mg ZnCl2

Obat-obat simptomatik
Obat-obat yang mempengaruhi feses
Obat pengental tinja. Kaolin-pektin. Obat ini tidak dianjurkan dipakai. Silikat aluminium
terhidrasi dapat mengabsorpsi toksin bakteri dan memberikan perlindungan mekanik bagi
mukosa usus. Walaupun frekuensi diare berkurang, tetapi tidak menghentikan keluarnya air dan
elektrolit ke dalam lumen usus karena itu kehilangan cairan tetap berlangsung. Kehilangan
cairan akan sulit dipantau. Portoy 1980: penggunaan campuran kaolin pektin menjadikan tinja
bertambah keras namun jumlah air yang hilang tidak berubah. Mc Clung: kaolin-pectin dapat
meningkatkan kehilangan garam dalam tinja, terutama Na dan K
Obat antimotilitas. Loperamid. Dosis pada anak 0,04 mg/kg. Efek merugikan loperamid
(Walia 1980) : (1). Kehilangan cairan dan elektrolit dalam lumen sulit dinilai, (2). Multiplikasi
abnormal flora bakteri kolon sehingga dapat me-invasi ke darah, dan (3) Dapat menybabkan
distensi abdomen sehingga menimbulkan Ileus paralitik. Pemakaian obat antimotilitas pada
diare akut dengan demam yang diperkirakan ada patogen invasif dan disentri dapat
mengakibatkan hambatan pembuangan organisme patogen yang menyebabkan diare
memanjang. Dapat menimbulkan ileus paralitik, dan dapat menimbulkan toksik megakolon
(terutama pada kasus disentri).
Obat anti sekretorik. Klorpromazin. Obat ini menghambat siklase intestin yang dipacu oleh
toksin kolera dan sekresi cairan (Rabbani 1979). Dosis 1 mg/kgBB/hari. Kerugiannya:
menyebabkan sedasi, sehingga oralit tidak dapat diberikan. Aspirin dan endometasin. Obat ini
dapat mencegah efek sekretori dari toksin kolera. (Walia 1980)
Kolesteramin. Berefek pada pengikatan asam empedu sehingga efek katartik akibat asam
empedu dalam jumlah besar yang mencapai kolon dikurangi (Beraut 1976). Berkemampuan
mengikat endotoksin, sehingga efektif pada diare intraktabel, walaupun patogenesisnya belum
jelas.
Obat-obat anti muntah
WHO belum merokemendasikan penggunaan. Obat anti muntah berdasarkan tempat
keranya dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yakni (1) berkerja di sistem syaraf pusat, dengan
menekan pusat muntah. Efek sampingnya adalah mengantuk. (2) bekerja di saluran cerna,
dengan meningkatkan peristaltik. Efek sampingnya adalah diare. Terdapat perdebatan
mengenai penggunaan obat antimuntah pada diare. Pendapat yang tidak setuju beralasan: (1)
gejala muntah merupakan gejala penyakit yang dapat hilang dengan sendirinya, misalnya pada
infeksi rotavirus gejala muntah hanya didapatkan pada awal perjalanan penyakitnya. (2)
muntah bisa diakibatkan dari dehidrasi dan asidosis. Jadi jika dehidrasi dan asidosisnya diobati
maka muntah akan hilang dengan sendirinya. Pendapat yang setuju berdasarkan EBM
(evidence based medicine): penelitan multisenter memperlihatkan keuntungan penggunaan
obat anti muntah. Obat yang sering dipakai adalah Domperidone. Dosis 0,25-0,5/kgBB/kali 3
sampai 4 ali perhari.

VAKSINASI SALURAN CERNA
Imunisasi parenteral: hanya meningkatkan AB dalam serum tetapi tidak dalam saluran
cerna. Imunisai peroral dengan bakteri yang telah mati menyebabkan antibodi dalam serum dan
lokal tidak cukup tinggi. Imunisasi oral dengan bakteri hidup menyebabkan Antibodi cukup
tinggi dalam serum maupun lokal. Jenis vaksin: Vaksin Kolera: menghalangi proses perlekatan
toksin kolera terutama sub unit B. Vaksin Shigella: berasal dari mutasi bakteri Shigella yg
dilemahkan, mutasi hibrida Shigella dengan segmen E.coli, E.coli yang dimasukkan gen
Shigella dan carrier yg mengandung gen Shigella. Booster vaksin shigella dilakukan setiap 2
tahun. Vaksin E.coli: dapat dari inti (Ag LT dan ST), kapsul (Ag K) dan dari silia (Ag P).
Vaksin Salmonella: vaksin parenteral kurang memuaskan, vaksin oral lebih memuaskan.
Vaksin rotavirus generasi kedua memiliki prospek yang lebih baik dibandingkan
generasi pertama. Vaksin generasi pertama telah terbukti menyebabkan invaginasi, sehingga
ditarik. Pemakaiannya pada bayi di bawah umur 6 bulan dengan dosis sebanyak 2 kali.

You might also like