You are on page 1of 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Persalinan Normal
WHO (World Health Organization) mendefinisikan persalinan normal
yaitu persalinan dengan onset spontan, berisiko rendah pada awal persalinan
hingga seluruh persalinan. Bayi lahir secara spontan dengan posisi ubun-ubun
kecil terletak di puncak (anterior) dengan usia gestasi 37 sampai 42 minggu.
Setelah lahir, ibu dan bayi berada dalam kondisi baik.
1
II.1.1. Diagnosis dan Konfirmasi Saat Persalinan
Diagnosis pasien akan melahirkan dapat ditegakan dari anamnesa dan
pemeriksaan. Pada saat pasien hamil datang dan dianamnesa didapatkan gejala-
gejala menjelang partus yaitu nyeri abdomen yang bersifat intermiten setelah
kehamilan 22 minggu, nyeri disertai lendir darah, adanya pengeluaran air dari
vagina atau keluarnya cairan secara tiba-tiba.
2

Dari keluhan diatas dilakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah
sudah inpartu atau tidak. Tanda sudah inpartu yaitu seviks terasa melunak,
adanya pemendekan dan pendataran serviks secara progresif selama persalinan,
diikuti dilatasi serviks yang akan meningkatkan diameter pembukaan serviks
yang diukur dalam cm.
2

Gambar 1. Pemendekan dan pendataran serviks.
2
Syarat-syarat persalinan normal adalah :
1. Letak janin harus memanjang
2. Kepala harus masuk pintu atas panggul (kepala engaged)
3. Imbang fetopelvik normal
4. Harus ada his yang kuat, teratur, relaksasinya baik, dan tenaga ibu yang cukup
5. Posisi ibu Posisi tegak ada kaitannya dengan berkurangnya rasa nyeri , mudah
mengedan, kurangnya trauma vagina dan perineum dari infeksi.
6. Psikologi ibu yang baik
7. Penolong yang berkompeten
Tanda tanda inpartu :
1. Rasa sakit oleh adanya his yang dating lebih kuat, sering teratur.
2. Keluar lender bercampur darah (show yang lebih banyak lagi karena robekan-
robekan kecil pada serbiks).
3. Kadang-kadang ketuban pecah dengan sendirinya.
4. Pada pemeriksaan dalam serviks mendatar, pembukaan telah ada.
II.1.2. Kala I
Pasien hamil dikatakan sudah dalam persalinan kala I jika pembukaan
serviks < 4 cm dan kontraksi terjadi teratur minimal 2 kali dalam 10 menit
selama 40 detik. Dalam kala I terdapat 2 fase yaitu fase laten dan fase aktif.
Fase laten dimulai sejak awal kontraksi yang menyebabkan penipisan dan
pembukaan serviks secara bertahap, pembukaan serviks 4 cm, biasanya
berlangsung 8 jam. Fase aktif dimulai sejak pembukaan serviks dari 4 cm
sampai lengkap 10 cm, biasanya dengan kecepatan 1cm/jam dan terjadi
penurunan bagian terbawah janin. Terdapat perbedaan lama persalinan pada
primigravida dengan multigravida.
2
Primigravida Multigravida
Kala I dapat lebih panjang (s/d 12 jam). Kala I umumnya lebih singkat 8 jam
Penipisan serviks terjadi lebih dulu, baru
kemudian diikuti pendataran serviks.
Penurunan dan pendataran serviks
terjadi hampir simultan.
Tabel. 1 perbedaan lama persainan pada primigravida dengan multigravida.
4
Fase Laten Fase Aktif (pembukaan
serviks uteri)
Fase Aktif
(penurunan
kepala bayi)
Nulipara 20 jam 1,2 cm/ jam 1 cm / jam
Multipara 14 jam 1,5 cm/ jam 2 cm/ jam
Tabel 2. Batasan lamanya persalinan berdasarkan kurva Friedman.
4
II.1.3. Kala II (Kala Pengeluaran bayi)
Kala II dimulai ketika pembukaan serviks lengkap (10 cm) dan berakhir
dengan lahirnya bayi.
4
Kala II ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan
dalam untuk memastikan pembukaan lengkap atau kepala janin sudah tampak
di vulva dengan diameter 5 - 6 cm.
2
II.1.4. Kala III (Kala Pengeluaran plasenta)
Kala III dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta.
4
Ketika plasenta terlepas atau sepenuhnya terlepas tetapi tidak keluar,
maka perdarahan terjadi di belakang plasenta sehingga uterus tidak dapat
sepenuhnya berkontraksi karena plasenta masih di dalam. Kontraksi pada otot
uterus merupakan mekanisme fisiologi suntuk menghentikan perdarahan.
Begitu plasenta terlepas, jika ibu tidak dapat melahirkan sendiri, atau petugas
tidak dapat mengeluarkan plasenta dapat didiagnosis sebagai retensi plasenta.
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah terjadinya perubahan ukuran dan bentuk
uterus, tali pusat memanjang, dan semburan darah tiba-tiba.
II.1.5. Kala IV
Kala IV dimulai sejak lahirnya plasenta dan berakhir 2 jam setelahnya.
4

Beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu, kontraksi uterus, perdarahan
kandung kemih harus kosong, luka-luka perineum harus terawatt, ibu dan bayi
dalam keadaan baik. Masa postpartum saat paling kritis untuk mencegah
kematian ibu, terutama kematian disebabkan karena perdarahan.
2




II.2. Robekan Vagina dan Perineum (Ruptur Vagina dan Perineum)
Sebanyak 85% dari perempuan yang melahirkan pervaginam akan
mengalami trauma pada perineum dan 3-12% akan mengenai otot sfingter ani.
Robekan pada otot sfingter ani akan menyebabkan gangguan pada otot2 dasar
panggul di kemudian hari.
5
Robekan vagina dan perineum dalam persalinan
dibagi menjadi 4 tingkat.

Gambar 2. Derajat ruptur perineum.
6

Empat tingkat tersebut ialah:
1. Robekan tingkat I yang mengenai mukosa vagina dan jaringan ikat
2. Robekan tingkat II mengenai alat-alat dibawahnya
3. Robekan tingkat III mengenai m. sfingter ani
Tingkat III a. Robekan yang mengenai < 50 % ketebalan sfingter ani.
Tingkat III b. Robekan yang mengenai > 50% ketebalan sfinter ani
Tingkat III c. Robekan hingga sfingter ani interna
4. Robekan tingkat IV mengenai mukosa rektum
II.2.1 Robekan Vagina dan Perineum Tingkat I
Robekan tingkat I umumnya dapat sembuh sendiri, tidak perlu dijahit.
Perlu dilakukan penilaian ulang robekan, jika robekan panjang dan dalam,
periksa apakah robekan itu tingkat III atau IV dengan cara memasukkan jari
yang bersarung tangan ke anus, lalu identifikasi sfingter, rasakan tonus dari
sfingter.
2

II.2.2 Robekan Vagina dan Perineum Tingkat II
Robekan tingkat II mengenai alat-alat dibawahnya perlu dilakukan
penjahitan. Teknik penjahitan adalah sebagai berikut:
Masukkan jarum suntik pada ujung atau pojok laserasi atau luka dan dorong
masuk sepanjang luka mengikuti garis tempat jarum jahitnya akan masuk atau
keluar. Aspirasikan dan kemudian suntikkan sekitar 10 ml lignokain 0,5% di
bawah mukosa vagina, di bawah kulit perineum, dan pada otot-otot perineum.
Aspirasi untuk meyakinkan suntikan lignokain tidak masuk dalam pembuluh
darah. Jika ada darah pada aspirasi, pindahkan jarum ke tempat lain. Aspirasi
kembali. Kejang dan kematian bisa terjadi bila diberikan lewat pembuluh darah
(I.V). Anastesi ditunggu 2 menit agar efektif.
2

Jahit Mukosa Vagina
Jahit mukosa vagina secara jelujur dengan catgut kromik 2-0. Jahit
dimulai dari sekitar 1 cm di atas puncak luka di dalam vagina sampai pada
batas vagina.
2

Jahit Otot Perineum
Setelah menjahit mukosa vagina lanjutkan jahitan pada daerah otot
perineum sampai ujung luka pada perineum sampai ujung luka pada perineum
secara jelujur dengan catgut kromik 2-0. Lihat ke dalam luka untuk mengetahui
letak ototnya. Penting sekali untuk menjahit otot ke otot, agar tidak ada rongga
di antaranya.
2

Jahit Kulit
Setelah jahit otot mulai menjahit kulit carilah lapisan subkutikuler persis
di bawah lapisan kulit. Lanjutkan dengan jahitan subkutikuler kembali ke arah
batas vagina, akhiri dengan simpul mati pada bagian dalam vagina. Untuk
membuat simpul mati benar-benar kua, buatlah 1 simpul mati. Potong kedua
ujung benang, dan hanya disisakan masing-masing 1 cm. Jika robekan cukupan
luas dan dalam, lakukan colok rectal, dan pastikan tidak ada bagian rectum
terjahit.
2
II.2.3 Robekan Vagina dan Perineum Tingkat III
Robekan tingkat III apabila tidak diperbaiki dengan baik, pasien dapat
menderita gangguan defekasi dan flatus. Robekan tingkat III diklasifikasikan
menjadi 3.
5
Klasifikasinya yaitu:
Tingkat III a. Robekan yang mengenai < 50 % ketebalan sfingter ani.
Tingkat III b. Robekan yang mengenai > 50% ketebalan sfinter ani
Tingkat III c. Robekan hingga sfingter ani interna
Jika robekan rectum tidak diperbaiki, dapat terjadi infeksi dan fitula
rektovaginal.
2
Berikut cara penanganan robekan tingkat III
Penilaian robekan, kemudian lakukan blok pudendal atau ketamin.
2

Minta asisten menahan fundus dan melakukan masase uterus.
2

Antisepsis pada daerah robekan, pastikan tidak ada alergi terhadap obat
tersebut.
2

Masukkan jarum pada ujung atau pojok laserasi atau luka dan dorong masuk
sepanjang luka mengikuti garis tempat jarum jahitnya akan masuk atau
keluar.
2

Aspirasi dan kemudian suntikkan sekitar 10 ml lignokain 0,5% di bawah
mukosa vagina, di bawah kulit perineum, dan pada otot-otot perineum.
Aspirasi untuk menyakinkan suntikkan lignokain tidak masuk dalam
pembuluh darah. Kejang dan kematian dapat terjadi jika lignokain diberikan
lewat pembuluh darah (I.V.). Tunggu 2 menit agar anesthesia efektif.
2

Tautkan mukosa rectum dengan benang kromik 3-0 atau 4-0 secara interuptus
dengan 0,5 cm antara jahitan. Jahitlah otot-otot dengan rapih lapis demi lapis
dengan jahitan satu-satu.
2

Jahitan Sfingter Ani
Jepit otot sfingter dengan klem allis atau pinset. Tautkan ujung otot sfingter
ani dengan 2-3 jahitan benang kromik 2-0 angka 8 secara interuptus. Larutan
antiseptis dinerikan pada daerah robekan dan jahitan.
2

II.2.4 Robekan Vagina dan Perineum Tingkat IV
Apabila terjadi robekan tingkat IV (robekan sampai mukosa rektum),
berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal ampisilin 500 mg per oral dan
metronidazol 500 mg per oral. Observasi tanda-tanda infeksi. Jangan lakukan
pemeriksaan rectal atau enema selama 2 minggu. Berikan pelembut feses
selama seminggu per oral. Observasi tanda-tanda infeksi. Jangan lakukan
pemeriksaan rectal atau enema selama 2 minggu. Berikan pelembut feses
selama seminggu per oral.
2

II.2.5 Komplikasi Robekan Vagina dan Perineum
Jika terdapat hemtoma, darah dikeluarkan. Jika tidak ada tanda infeksi
dan perdarahan sudah berhenti, lakukan penjahitan. Jika terdapat infeksi, buka
dan drain luka. Jika infeksi berat, berikan ampisilin 4 x 500 mg per oral selama
5 hari dan metronidazol 3 x 400 mg per oral selama 5 hari. Jika infeksi
mencapai otot dan terdapat nekrosis, berikan antibiotika secara kombinasi
sampai nekrosis sudah dikeluarkan dan pasien sudah bebas demam selama 48
jam, penisilin G 2 juta unit setiap 6 jam I.V.; ditambah gentamisin 5 mg/kg
berat badan setiap 24 jam I.V.; ditambah metronidazol 500 mg setiap 8 jam
I.V.; sesudah pasien bebas demam 48 jam, berikan ampisilin 4 x 500 mg per
oral selama 5 hari, ditambah metronidazol 3 x 400 mg per oral selama 5 hari.
Lakukan debridement jaringan nekrosis dan jahitan ulang 2 minggu kemudian
jika perlu.
2

You might also like