You are on page 1of 18

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(2): 147-164 ISSN 0125 9830

PEMETAAN PADANG LAMUN


DI PERAIRAN TELUK TOLI-TOLI DAN PULAU SEKITARNYA,
SULAWESI BARAT
oleh
INDARTO HAPPY SUPRIYADI
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
Received 31 December 2009, Accepted 14 July 2010
ABSTRAK
Ekosistem padang lamun mempunyai fungsi dan manfaat ekologi bagi
suatu perairan dan nilai ekonomi sumberdaya yang tinggi bagi masyarakat
pesisir. Informasi data padang lamun di perairan Teluk Toli-Toli dan pulau-
pulau kecil sekitarnya seperti Pulau Latungan, Pulau Kabetan dan Pulau
Pangalisan masih jarang didiskusikan oleh para peneliti. Tujuan penelitian ini
adalah memetakan informasi secara spasial sebaran lamun, persentase tutupan
dan kondisi lamun dengan menggunakan data citra satelit. Dengan menggunakan
program ArcGIS 9.2 dan ENVI 4.3 dilakukan anlisis tumpang tindih dan
interpretasi sebaran padang lamun. Uji lapangan dilakukan pada frame kuadrat
0,5m x 0,5m. Data rinci yang dikumpulkan antara lain persentase tutupan dan
jenis lamun. Identifikasi jenis dan persentase lamun dilakukan dengan mengikuti
stndar monitoring kesehatan lamun. Metode skoring/bobot digunakan untuk
mengestimasikan kondisi lamun. Hasil penelitian diketahui bahwa ada delapan
jenis lamun di perairan Tanjung Keko sampai Tanjung Dede dan perairan Pulau
Kabetan serta tujuh jenis di perairan Teluk Toli-Toli. Presentase tutupan lamun
tertinggi terdapat di perairan Teluk Toli-Toli (68,6 %), sedangkan Pulau Kabitan
(67,1 %) dan Tanjung Keko sampai Tanjung Dede (46,4 %). Kondisi lamun pada
umumnya tergolong sedang. Kondisi bagus ditemukan di sekitar Tanjung
Keko, Tanjung Dede dan sisi selatan perairan Teluk Toli-Toli bagian dalam.
Kata kunci : Ekosistem padang lamun, kondisi lamun, pemetaan dan citra
satelit.
SUPRIYADI
148
ABSTRACT
SEAGRASS MAPPING AT TOLI-TOLI BAY WATERS AND
SURROUNDING ISLANDS, WEST SULAWESI. Seagrass ecosystem have
significant ecological function and high economical value for coastal
community. The spatial data on seagrass conditions in Toli-Toli Bay waters,
Latungan, Kabetan and Pangalisan Islands are rarely discussed by the
researchers. The purpose of this study was to map seagrass, coverage and
seagrass condition using satellite image. ArcGIS 9.2 and ENVI 4.3 programs
were used to overlay thematics map and interpretation of seagrass distribution.
The ground truth and more detail information were carried out within the
quadrat frame 0,5 m x 0,5 m. More detail data such as percentage of cover and
species were collected. Percentage of cover and species of seagrass identities
were based on standard of seagrass-health monitoring. The scoring method
was used to estmate the quality of seagrass condition. The results showed that
there are eight species of seagrass founded in Tanjung Keko to Tanjung Dede
and Kabetan Island waters and seven species in Toli-Toli Bay. The highest
percentage coverage found at Toli-Toli Bays (68,6 %), whereas in Kabetan
Island and Tanjung Keko to Tanjung Dede were (67,1 %) and (46,4 %)
respectively. Based on the result of seagrass condition analyses showed that they
are generally in moderate condition. Seagrass-bed in the good condition were
found in the Tanjung Keko, Tanjung Dede and in the inner Toli-Toli Bay of
southern waters.
Key words : Seagrass ecosystem, seagrass condition, mapping and satellite
image.
PENDAHULUAN
Teknologi satelit penginderaan jauh (Remote Sensing) mempunyai
kemampuan untuk mengidentifikasi dan memantau sumberdaya alam dan
lingkungan wilayah pesisir. Sumberdaya alam dan lingkungan yang dimaksud
diantaranya ekosistem lamun, mangrove, karang, ekosistem pantai, muara sungai
(estuary) dan juga perubahan pola tataguna lahan wilayah pesisir.
Penggunaan teknologi Remote Sensing untuk studi pemetaan padang
lamun, mangrove dan karang mempunyai banyak kelebihan, jika dibandingkan
dengan cara konvensional menggunakan metode survey in situ, yang secara
spasial hanya dapat mencakup wilayah sempit (HOCZKOVICH & ATKINSON
PEMETAAN PADANG LAMUN
149
2003). Teknologi Remote Sensing memiliki kelebihan yakni: Mampu merekam
data dan informasi secara luas, berulang dan lebih terinci mendeteksi perubahan
ekosistem (MUMBY et al. 2004), memiliki banyak saluran/kanal/band,
sehingga dapat digunakan untuk menganalisis berbagai pemanfaatan khusus
sumberdaya, dapat menjangkau daerah yang sulit didatangi manusia/kapal
(KUTSER et al. 2003), data diperoleh dalam bentuk/format digital, sehingga
mudah dianalisis menggunakan komputer dan harga dari informasi yang didapat
relatif lebih murah (MUMBY et al. 1999).
Data digital citra satelit saat ini telah berkembang dengan pesat, dengan
banyak pilihan data yang ditawarkan mulai dari resolusi spasial tinggi sampai
rendah antara lain Quickbird (0,6 m), ALOS (Advanced Land Observing
Satellite) (10 m), ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and
Reflection Radiometer) (15 m) dan Landsat (Land Satellite) (30 m).
Penelitian mengenai pemetaan dan monitoring ekosistem perairan
dangkal (karang, mangrove dan lamun) telah banyak dilakukan dengan
menggunakan data citra satelit (McKENZIE et al. 2001, YAMAMURO et al.
2004, LUCZKOVICH et al. 1993, ZAINAL et al. 1993). Namun di Indonesia,
khususnya pemetaan padang lamun menggunakan data citra satelit masih jarang
dilakukan, baru beberapa lokasi yang pernah dilakukan misalnya pemetaan
lamun di pesisir timur Pulau Bintan, Kepulauan Riau (KURIANDEWA &
SUPRIYADI 2006); Teluk Kotania dan Pelitajaya, Seram Barat, Maluku
(SUPRIYADI 2009); Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur (SUPRIYADI &
KURIANDEWA 2008); Lembeh-Bitung, Sulawesi Utara (SUPRIYADI 2008);
Kema, Minahasa Utara; Pulau Mapur, Kepulauan Riau; Tual, Maluku Tenggara
dan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (DKP dan P2O 2008 & 2009 unpublished
data).
Komunitas lamun merupakan komponen kunci dalam ekosistem pesisir
di seluruh dunia (HUTOMO & PERISTIWADI 1990). Selain nilai secara hakiki
tersebut, lamun sebagai penyedia makanan, sebagai tempat berlindung beberapa
jenis ikan dan krustase komersial penting (GRAY et al. 1996). Namun
keberadaan komunitas lamun hampir di setiap pesisir bervariasi, hal ini diduga
karena perbedaan karakteristik lingkungan perairan pantainya.
Penggunaan data citra satelit untuk mendeteksi keberadaan lamun di
masa lalu dan saat ini, pada jenis lamun yang berbeda dapat di interpretasi
dengan menggunakan data citra satelit melalui kenampakan dari perbedaan
warna (tone) dan tekstur substrat (LARKUM & WEST 1990). Pemetaan
ekosistem perairan dangkal dengan menggunakan penginderaan jarak jauh
(Remote Sensing) dapat memberikan manfaat yang besar dalam rencana
pengelolaan ekosistem pantai. Kombinasi antara Sistem Informasi Geografi
(SIG) dan metode skoring (pembobotan) dari komponen ekosistem lamun seperti
jumlah jenis, persentase tutupan lamun dan biota asosiasinya akan sangat
bermanfaat di dalam memetakan kesehatan ekosistem lamun, sumberdaya hayati
laut dan rencana dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu.
SUPRIYADI
150
Perairan Teluk Toli-Toli dan sekitarnya yang mempunyai potensi
ekosistem perairan dangkal yang tinggi diantaranya padang lamun. Namun
informasi secara spasial sebaran padang lamun masih belum cukup tersedia.
Oleh karena itu, penelitian pendahuluan pemetaan padang lamun di Teluk Toli-
Toli menjadi penting segera untuk dilakukan.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan waktu
Kegiatan pemetaan ekosistem padang lamun telah dilakukan di perairan
Teluk Toli-Toli dan pulau kecil sekitarnya (Pulau Kabetan), Sulawesi Barat pada
bulan Mei 2009. Penelitian ini merupakan kerjasama antara Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (DIKTI) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) dalam Ekspedisi Biodiversitas Selat Makasar. Lokasi kegiatan pemetaan
ekosistem padang lamun dimulai dari Tanjung Kekoh sampai pesisir selatan
Teluk Toli-Toli, sisi Timur Pulau Latungan dan perairan dangkal Pulau Kabetan.
Pengambilan data
Jumlah stasiun pengamatan lamun dirancang sebanyak 21 stasiun, yang
tersebar merata di seluruh rataan terumbu di peraian dangkal Teluk Toli-Toli,
Pulau Latungan dan Pulau Kabetan. Teknik penentuan stasiun penelitian dengan
menggunakan teknik purposive sampling yang sebelumnya telah dilakukan
klasifikasi tak teracu (unsupervised clasification) misalnya pasir, lamun,
terumbu dan karang. Identifikasi jumlah jenis, jenis dominan, tutupan lamun,
substrat dasar dan biota asosiasinya (algae) dilakukan dengan menggunakan
frame ukuran 0,5 x 0,5 meter dan snorkling pada area 15 meter x 15 meter sesuai
resolusi spasial dari data citra satelit ASTER yang digunakan. Dalam identifikasi
jenis dan tutupan lamun mengikuti standar monitoring kesehatan lamun
(McKENZIE 2003). Posisi titik sampling (Lintang dan Bujur) ditentukan dengan
menggunakan GPS (Global Position System) yang telah disesuaikan dengan
datum WGS84.
Analisis data
Citra Satelit
Data citra satelit yang digunakan dalam penelitian pemetaan lamun dan
interpretasi lamun di Teluk Toli-Toli yaitu ASTER (Advanced Spaceborne
Thermal Emission and reflection Radiometer) hasil rekaman tahun 2004 dengan
resolusi spasial 15 meter, sedangkan di perairan sekitar Pulau Kabetan
menggunakan data citra satelit LANDSAT (Land Satellite) rekaman tahun 2000
resolusi spasial 30 meter. Hasil interpretasi selanjutnya digunakan untuk
PEMETAAN PADANG LAMUN
151
memetakan ekosistem lamun (McKENZIE et al. 2001). Untuk keperluan analisis
obyek dasar perairan seperti lamun pada rataan terumbu digunakan kanal band 1,
band 2 dan band 3. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak
ArcGIS dan ENVI 4.3 yang ada di Laboratorium Remote Sensing, Pusat
Penelitian Oseanografi-LIPI. Interpretasi citra dengan melakukan digitasi garis
pantai, aliran sungai, pasir, rataan terumbu dan lamun. Analisis tumpang susun
(overlay) untuk mendapatkan peta tematik baru dengan menggunakan Sistem
Informasi Geografi (SIG).
Skoring
Untuk penilaian kondisi/kesehatan suatu ekosistem lamun secara
kuantitatif dapat dilakukan dengan cara skoring, cara ini juga diterapkan untuk
penentuan calon lokasi konservasi perairan (DKP 2008 unpublished). Metode ini
relatif mudah dalam menilai kondisi/kesehatan suatu ekosistem. Teknik skoring
yaitu dengan memberikan nilai/bobot tertentu pada komponen ekosistem lamun
seperti jumlah jenis, persentase tutupan dan jumlah jenis algae dengan skor 7, 5,
3 dan 1. Skor ini mencerminkan nilai setiap komponen ekosistem lamun. Total
skor kemudian diklasifikasikan menjadi empat peringkat yaitu kondisi lamun
sangat baik, baik, sedang dan jelek. Secara rinci tabel skoring dan
klasifikasi peringkat kesehatan lamun disajikan pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Pembobotan beberapa komponen ekosistem lamun.
Table 1. Scoring of components of seagrass ecosystem.
No. Components Range of
species number
Score
1. Number of seagrass species <= 2
3-4
5-6
>=7
1
3
5
7
2. Number of algae species 1-6
7-12
13-18
19-24
1
3
5
7
3. Seagrass coverage (%) 5-25
26-50
51-75
76-100
1
3
5
7

SUPRIYADI
152
Tabel 2. Klasifikasi kondisi ekosistem lamun.
Table 2. Classification of seagrass ecosystem condition.
Range of Seagrass condition
16 (very good)
12-15 (good)
8-11 (medium)
7 (worst)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Topografi wilayah pesisir Teluk Toli-Toli
Wilayah pesisir Teluk Toli-Toli sebagian dicirikan dengan topografi
berbukit dan dataran rendah. Terdapat dataran rendah yang relatif luas dan diapit
oleh perbukitan serta aliran sungai yang membelah dataran rendah Toli-Toli,
menjadi pusat pembangunan dan pengembangan Kota Toli-Toli. Dataran rendah
lainnya yang luas terdapat di wilayah utara Tanjung Dede sampai Tanjung Keko
dan di bagian selatan pesisir Teluk Toli-Toli (Gambar 1).
Gambar 1. Kondisi topografi wilayah pesisir Toli-Toli.
Figure 1. The topography of Toli-Toli coastal area condition.
PEMETAAN PADANG LAMUN
153
Bermuaranya beberapa sungai besar dan anak sungai kecil di perairan
Teluk Toli-Toli menyebabkan kondisi perairannya relatif keruh dan dangkal.
Morfologi perairan pantainya landai dan lebih dicirikan dengan tipe-tipe pantai
mangrove, pantai lumpur-berpasir dan pantai muara (estuary). Pada topografi
yang berbukit, yaitu di sekitar Tanjung Dede, morfologi pantainya dicirikan
dengan tipe pantai bertebing (cliff) yang umumnya mempunyai lebar rataan
terumbu (reef-flat) sempit dan berbatasan dengan perairan dalam.
Keberagaman morfologi perairan, topografi wilayah, aliran sungai
sebagai sumber material dapat membentuk pola sebaran dan karakteristik habitat
pertumbuhan ekosistem yang berbeda beda. Karakteristik sebaran lamun di
perairan daratan besar tentu akan berbeda dengan sebaran lamun yang berada di
pulau-pulau di lepas pantai (off-shore).
Sebaran lamun
Teluk Toli-Toli
Sebaran lamun yang berada di Teluk Toli-Toli cukup berbeda dengan
sebaran lamun di sebelah utara perairan Tanjung Dede. Hal menarik dari sebaran
lamun di perairan Teluk Toli-Toli yaitu rata-rata persentase tutupan lamun 68,6
% lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi di perairan Tanjung Kekoh
sampai Tanjung Dede dan Pulau Kabetan yang masing-masing yaitu 46,4 % dan
67,1 % serta tertinggi jika dibandingkan dengan 14 lokasi penelitian lainnya
(Tabel 3). Kondisi pertumbuhan lamun di Teluk Toli-Toli berada pada
lingkungan perairan dengan kedalaman 1,2 meter sampai 2,2 meter.
Jumlah jenis yang ditemukan ada tujuh jenis yaitu Thalassia hemprichii,
Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Halodule pinifolia,
Cymodocea serrulata dan Cymodocea rotundata. Tujuh jenis ini relatif sedikit,
jika dibandingkan dengan lokasi di perairan Tanjung Dede sampai Tanjung
Kekoh dan Pulau Kabetan yang masing-masing yaitu delapan jenis. Jumlah tujuh
jenis ini sama jumlahnya yang ditemukan di Teluk Kotania, Seram Bagian Barat
(SUPRIYADI 2009). Sebaran jumlah jenis lamun di setiap stasiun di peraian
Teluk Toli-Toli umumnya sekitar tiga-empat jenis, sedangkan jumlah antara
enam-tujuh jenis berada di sisi selatan Teluk Toil-Toli. Relatif sedikitnya
keragaman jenis lamun di perairan Teluk Toli-Toli dan tidak ditemukannya salah
satu jenis Syringodium isoetifolium, secara ekologis dapat diduga karena kondisi
lingkungan perairan yang keruh dan banyaknya aktifitas masyarakat di sekitar
pelabuhan Teluk Toli-Toli. Menurut ENGEMEN et al. (2008) tingginya lalu
lalang perahu dapat berdampak negatif terhadap keberadaan padang lamun,
sedangkan BARBER et al. (1985) dampak perubahan suhu di suatu perairan
dapat berpengaruh terhadap produktifitas Thalassia testudium dan Syringodium
filiforme. Lebih lanjut dikatakan bahwa ancaman yang paling besar bagi
keberadaan padang lamun yaitu faktor lingkungan seperti limbah berasal dari
aktifitas manusia. Sedimentasi dan sedimen terlarut juga merupakan penyebab
SUPRIYADI
154
terjadinya kekeruhan, sehingga berdampak besar terhadap keberadaan padang
lamun (DUARTE et al. 2008).
Jenis lamun yang mendominasi perairan Teluk Toli-Toli bersifat
monospesifik yaitu Enhalus acoroides. Jenis ini menurut (KURIANDEWA
komunikasi pribadi) dapat tumbuh di berbagai tipe sedimen mulai dari lanau
sampai pasir-kasar dan lumpur sampai pecahan karang (ISMAIL 1993) serta
lumpur sampai lumpur-berpasir (PHAM et al. 2006). Berdasarkan habitat
pertumbuhannya berada di lingkungan dengan substrat berlumpur (muddy)
diduga aliran sungai besar yang bermuara di Teluk Toli-Toli merupakan suplai
lumpur yang ada di perairan teluk tersebut.
Berdasarkan hasil interpretasi data citra ASTER diketahui bahwa luas
lamun mulai dari Tanjung Kekoh sampai Tanjung Dede dan perairan Teluk Toli-
Toli sekitar 266,73 ha. Sebaran padang lamun yang luas cenderung berada di
perairan Tanjung Kekoh sampai Tanjung Dede, jika dibandingkan sebaran
lamun di perairan Teluk Toli-Toli yang bersifat parsial (Gambar 2). Hasil
perhitungan luas ini hanya mencerminkan luasan pada batas area penelitian saja.
Gambar 2. Sebaran padang lamun di perairan Teluk Toli-Toli, Mei 2009.
Figure 2. Seagrass distribution in Toli-Toli Bay waters, May 2009.
PEMETAAN PADANG LAMUN
155
Tanjung Keko-Tanjung Dede
Morfologi perairan dangkal (shallow-water) di sepanjang pantai Tanjung
Kekoh sampai Tanjung Dede lebih dicirikan dengan rataan terumbu (reef-flat)
sempit, substrat didominasi pasir sampai pecahan karang, kedalaman berkisar
antara 0,3 meter sampai 1,5 meter dan bertipe pantai curam (cliff) terutama
sekitar Tanjung Dede dan pantai berpasir. Pada perairan dengan karakteristik
seperti ini ditemukan ada delapan jenis lamun antara lain Thalassia hemprichii,
Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Halodule pinifolia,
Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium.
Jumlah ini sama yang ditemukan di Selat Lembeh, Bitung-Sulawesi Utara dan
perairan timur Pulau Sanger, Sulawesi Utara (Tabel 1). Menurut SHORT et al.
(2007) ada 14 jenis ditemukan di wilayah Tropis. Di Indonesia terdapat 12 jenis
lamun dari 7 genus di Indonesia (KURIANDEWA et al. 2004), dengan
ditemukan jenis lamun Halophila sulawesii (KUO 2007), sehingga jumlah jenis
di Indonesia menjadi 13 jenis. Menurut KUANG (2006) 60 jenis lamun di dunia
jenis lamun paling banyak ditemukan yaitu di wilayah Indo-Pasifik. Dari delapan
jenis, jenis yang sering ditemukan antara lain Thalassia hemprichii, Enhalus
acoroides dan Halophila ovalis.
Gambar 3. Sebaran persentase tutupan lamun di perairan Teluk Toli-Toli,
Mei 2009.
Figure 3. Percentage cover of seagrass in Toli-Toli Bay waters, May 2009.
SUPRIYADI
156
Persentase tutupan lamun di perairan Tanjung Dede sampai Tanjung
Kekoh rata-rata 46,4 % relatif sama dengan yang ada di perairan Lembeh,
Bitung yaitu sekitar 47,4 %. Namun relatif tinggi, jika dibandingkan dengan
Nusa Dua-Denpasar, Bali dan Pulau Derawan, Kepulauan Derawan yang
masing-masing yaitu 23,4 % dan 26,7 % (Tabel 3). Tutupan lamun dengan
persentase tinggi 75 % hanya terdapat di Tanjung Keko dan di sisi selatan
perairan Teluk Toil-Toli (Gambar 3).
Pulau Kabetan
Pulau Kabetan dan Pulau Pangalisan terletak jauh dari daratan besar
Pulau Sulawesi dan pengaruh sedimen terlarut dari aliran sungai. Kondisi
perairannya jernih dan dalam, karena berbatasan langsung dengan laut lepas.
Kedalaman perairan pada rataan terumbu berkisar antara 0,3 meter sampai 1,5
meter. Sebaran lamun dan jumlah keragaman jenisnya hampir merata di seluruh
perairan rataan terumbu Pulau Kabetan yaitu rata-rata enam jenis di setiap
stasiunnya. Jumlah ini lebih banyak, jika dibandingkan dengan pulau kecil
lainnya seperti Pulau Uhuitir dan Pulau Ngaf, Maluku Tenggara yaitu lima jenis
(DKP dan P2O 2009, unpublished) serta Pulau Derawan sekitar tiga sampai
empat jenis per stasiun (SUPRIYADI & KURIANDEWA 2008). Hasil analisis
citra Landsat diketahui luas lamun seluruh Pulau Kabitan dan pulau kecil
sekitarnya yaitu 733,1 ha (Gambar 4).
Gambar 4. Sebaran padang lamun di Pulau Kabitan, Mei 2009.
Figure 4. Seagrass distribution in Kabetan Island, May 2009.
PEMETAAN PADANG LAMUN
157
Pulau Kabitan yang secara geografis berada di perairan lepas pantai,
mempunyai morfologi perairan pantai landai sampai terjal dan berbatasan
dengan perairan dalam. Pulau Kabitan merupakan salah satu lokasi yang kurang
mendapatkan tekanan dari aktifitas masyarakat dan pembangunan, sehingga
keberadaan padang lamun di Pulau Kabitan relatif labih baik dibandingkan
dengan perairan Teluk Toli-Toli. Menurut NAKAMURA (2009) dan HOSSAIN
(2005) penyebab kerusakan dan hilangnya padang lamun hampir di seluruh
dunia terutama disebabkan oleh dampak aktifitas manusia (Anthropogenic
impact) yaitu meningkatnya jumlah penduduk di pesisir pantai.
Tabel 3. Hasil observasi jumlah jenis dan rata-rata tutupan lamun di
beberapa lokasi di perairan Indonesia.
Table 3. The resulf of number of species and average of coverage at several
locations of Indonesia waters.
No. Locations Number of
species
Coverage
(%)
Source
1. Bintan Timur, Riau Archipelago 10 46,0 Kuriandewa & Supriyadi
(2006)
2. Nusa Dua, Denpasar-Bali 9 23,4 DKP & P2O-LIPI (2007
unpublished data)
4. Rote Island, South east Maluku 9 48,0 DKP & P2O-LIPI (2009
unpublished data)
5. Sebesi Island, Lampung 9 - Supriyadi (2007
unpublished data)
6. Tual, South east Maluku 9 48,3 DKP & P2O-LIPI (2009
unpublished data)
7. Kema, North Sulawesi 9 50,9 DKP &P2O- LIPI (2008
unpublished data)
8. Alor, Nusa Tenggara Timur 9 - DKP (2008 unpublished
data)
9. Lembeh Strait, Bitung 8 47,4 Supriyadi (2008)
10. Sanger Island, North Sulawesi 8 51,9 Supriyadi (2009
unpublished data)
11. Pari Island, Seribu Archipelgo 7 - Yusril (2007 unpublished
data)
12. Kotania, Western Part Seram 7 64,0 Supriyadi (2009)
13. Tobelo Archipelago, North Maluku 6 - DKP (2008 unpublished
data)
14. Derawan Archipelago, East
Kalimantan
6 26,7 Supriyadi & Kuriandewa
(2008)
Hasil identifikasi jenis lamun menunjukkan adanya delapan jenis lamun
antara lain Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis,
Syringodium isoetifolium, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, Halodule
pinifolia dan Cymodocea serrulata. Jenis yang selalu mendominasi di perairan
SUPRIYADI
158
Pulau Kabitan yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides dan Halophila
ovalis. Tiga jenis yang dominan ini lebih banyak dibandingkan dengan lokasi di
perairan Tanjung Kekoh-Tanjung Dede hanya dua jenis yaitu Thalassia
hemprichii dan Enhalus acoroides, sedangkan di perairan Teluk Toli-Toli hanya
jenis Enhalus acoroides. Dua jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii dan
Enhalus acoroides menurut (KISWARA dan KURIANDEWA komunikasi
pribadi) selalu ditemukan di perairan Indonesia. Tutupan lamun di Pulau
Kabetan (67,1 %) tidak jauh berbeda dengan perairan Teluk Toli-Toli (68,57 %),
persentase tutupan ini tertinggi dibandingkan dengan persentase tutupan lamun
di beberapa lokasi penelitian lainnya (Tabel 3).
Kondisi Lamun
Untuk mengetahui kondisi atau kesehatan lamun secara umum di suatu
perairan diantaranya dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran beberapa
komponen padang lamun. Kandungan biomasa, komposisi jenis dan persentase
tutupan (KURIANDEWA kumunikasi pribadi), kepadatan jenis dan kualitas
habitatnya (BJORK et al. 1999), luas area serta asosiasi flora dan fauna (SHORT
et al. 2004). Pada penelitian pendahuluan ini tidak semua data tersebut tersedia,
hanya data yang ada seperti jumlah jenis dan tutupan lamun serta algae yang
dapat digunakan dalam menilai kondisi lamun di perairan Teluk Toli-Toli.
Gambar 5. Kondisi padang lamun di perairan Teluk Toli-Toli, Mei 2009.
Figure 5. Seagrass condition in Toli-Toli Bay waters, May 2009.
PEMETAAN PADANG LAMUN
159
Tabel 4. Skor jumlah jenis, tutupan, alga dan klasifikasi kondisi lamun di
sekitar Teluk Toli-Toli, Mei 2009.
Table 4. Number of species, percentage of coverage, algae score and
seagrass condition classification at Toli-Toli Bay, May 2009.
St. N E Number
of species
Score Covarage Score Algae Score Total Seagrass
Condition
1
1,05257 120,80431
1 1 30 3 2 1 5 Worst
2
1,03154 120,80791
3 3 60 5 5 1 9 Medium
3
1,02889 120,80300
7 7 80 7 3 1 15 Good
4
1,03013 120,79189
4 3 85 7 4 1 11 Medium
5
1,03117 120,78671
3 3 85 7 3 1 11 Medium
6
1,04258 120,77695
3 3 70 5 4 1 9 Medium
7
1,04464 120,77726
6 5 70 5 3 1 11 Medium
8
1,05279 120,79609
6 5 75 5 8 3 13 Good
9
1,05809 120,79577
4 3 20 1 6 1 5 Worst
10
1,06522 120,79623
6 5 15 1 5 1 7 Medium
11
1,09299 120,79185
7 7 30 3 3 1 11 Medium
12
1,10656 120,77788
4 3 30 3 3 1 7 Medium
13
1,10542 120,78215
8 7 80 7 4 1 15 Good
14
1,04008 120,65527
6 5 75 5 3 1 11 Medium
15
1,04204 120,65947
6 5 80 7 6 1 13 Good
16
1,04711 120,66384
5 5 45 3 3 1 9 Medium
17
1,03877 120,66633
6 5 80 7 4 1 13 Good
18
1,02854 120,66547
6 5 35 3 2 1 9 Medium
19
1,01933 120,66838
6 5 70 5 4 1 11 Medium
20
1,01544 120,67499
7 7 85 7 5 1 15 Good
21
1,01460 120,67461
6 5 75 5 6 1 11 Medium
Hasil analisis pembobotan (Tabel 4) diketahui bahwa seluruh wilayah
perairan Teluk Toli-Toli, Tanjung Kekoh sampai Tanjung Dede dan perairan
Pulau Kabetan, umumnya memiliki kondisi lamun yang dapat dikatagorikan
jelek (9,5 %), sedang (61,9 %) dan bagus (28,6 %). Kategori bagus dengan
pengertian bahwa keanekaragaman jenis, persentase tutupan dan
keanekaragaman algae relatif masih tinggi. Kondisi lamun bagus dapat
ditemukan di lokasi sekitar Tanjung Keko, Tanjung Dede dan sisi selatan bagian
dalam Teluk Toli-Toli. Pada umumnya kondisi lamun di seluruh lokasi dapat
dikatagorikan kedalam kondisi lamun sedang (Gambar 5). Peta kondisi lamun di
perairan Teluk Toli-Toli dan pulau kecil sekitarnya dapat digunakan sebagai
dokumen status dan pengujian terhadap perubahan padang lamun dalam jangka
panjang terutama perubahan luas, keragaman dan sebaran jenisnya.
SUPRIYADI
160
KESIMPULAN
Kondisi morfologi perairan pantai lokasi Tanjung Kekoh sampai
Tanjung Dede dan Pulau Kabitan dicirikan dengan lebar rataan terumbu sempit,
tipe pantai terjal dan berpasir berbatasan dengan perairan dalam, sedangkan
Teluk Toli-Toli relatif landai dan dangkal dengan tipe pantai mangrove dan
berlumpur. Keanekaragaman jenis lamun relatif tinggi (8 jenis) ditemukan di
perairan Tanjung Keko sampai Tanjung Dede dan Pulau Kabetan, sedangkan di
Teluk Toli-Toli hanya teridentifkasi (7 jenis). Persentase tutupan lamun relatif
tinggi (68,6 %) dijumpai di perairan Teluk Toli-Toli dan Pulau Kabitan,
sedangkan terendah (46,4 %) di Tanjung Keko sampai Tanjung Dede. Kondisi
lamun di seluruh perairan Teluk Toli-Toli dan pulau kecil sekitarnya pada
umumnya tergolong sedang. Di sekitar Tanjung Keko, Tanjung Dede dan
perairan di sisi selatan bagian dalam Teluk Toli-Toli kondisinya relatif bagus.
SARAN
Informasi secara spasial tentang kondisi lamun saat ini masih jarang,
khususnya di Toli-Toli, sehingga penelitian ini perlu dilanjutkan dan
dikembangkan dengan menggunakan data citra satelit resolusi tinggi (misalnya
data citra ALOS). Informasi ini menjadi penting terkait isu perubahan iklim
global, karena padang lamun selain mempunyai fungsi dan manfaat seperti
disebutkan di atas juga berperan sebagai pengikat karbon (carbon sink).
PERSANTUNAN
Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas kepercayaan yang telah
diberikan oleh kepala P2O-LIPI sehingga penulis dapat terlibat dalam kerjasama
antara Departemen dan Pendidikan Tinggi (DIKTI) dengan Pusat Penelitian
Oseanografi (P2O)-LIPI Jakarta. Wujud kerjasama ini yaitu kegiatan Ekspedisi
Biodiversitas Selat Makasar pada bulan Mei tahun 2009. Ucapan terima kasih
disampaikan kepada Dr. Augy S., teman-teman dari Universitas yang terlibat dan
seluruh kru Kapal Riset Baruna Jaya VIII serta teman peneliti P2O - Jakarta atas
kerjasamanya yang baik.
PEMETAAN PADANG LAMUN
161
DAFTAR PUSTAKA
BARBER, B.J and P.J. BEHRENS 1985. Effects of elevation temperature on
seasonal in situ leaf productivity of Thalassia testudium Banks ex Konig
and Syringodium filiforme Kutzing. Aquatic Botany 22: 61-69.
BJORK, M., J. UKU, A. WEIL, E. McLEOD and S. BEER 1999.
Photosynthetic tolerances to desiccation of tropical intertidal seagrass.
Marine Ecology Progress Science 191:121-126.
DUARTE, C.M. and J.P. GATTUSO 2008. Seagrass meadows. In: C. J.
CLEVELAND (ed.) Encyclopedia of Earth. Washington, D.C.:
Environmental Information Coalition, National Council for Science and
the Environment. [First published in the Encyclopedia of Earth
December 11, 2006; Last revised April 18, 2008; Retrieved May 28,
2008]. http://www.eoearth.org/article/Seagrass_meadows
ENGEMAN, R.M., J.A. DUGNESNEL, E.M. COWAN, H.T. SMITH, S.A.
SHWIFF and M. KARLIN 2008. Assessing Boat damage to Seagrass
Bed habitat in a Florida Park Farm a Bioeconomic prospective. Journal
of Coastal Research 24(2): 527-532.
GRAY, C.A., D.J. McELLIGOTT and R.C. CHICK 1996. Intra and inter estuary
differences in a assemblages of fishes associated with shallow seagrass
and bare sand. Marine Freshwater Res. 47: 723-735.
HOCZKOVICH, J.J. and M.J. ATKINSON 2003. Capabilities of remote sense
sensors to classify coral, algae and sand as pure and mixed spectra.
Remote Sensing of Enviroment 85(2): 174-189.
HOSSAIN, M.K. 2005. An examination of seagrass monitoring protocols as
applied to two New South Wales estuaries settings. Thesis Master of
Philosophy. Faculty of Arts and Sciences. Australian Catholic
University: 57 pp.
HUTOMO, M. and T. PERISTIWADY 1990. Diversity, abundance and diet of
fish in the seagrass beds of Lombok Island, Indonesia. In: J. KUO, R.C.
PHILLIPS, D.I. WALKER and H. KIRKMAN (eds.). Seagrass Biology:
Proceedings of an International Workshop. University of Western
Australia, Perth : 385pp.
SUPRIYADI
162
ISMAIL N. 1993. Preliminary study of the seagrass flora of Sabah, Malaysia.
Pertanika Journal Tropical Agriculture Science 16(2): 111-118.
KUANG, C.C. 2006. SOS Volunters handbook
1st
edition. Available online at:
www.seagrasswatch.org.
KUO, J. 2007. A New Monoecious seagrass Halophila sulawesii
(Hydrocharitaceae) from Indonesia. Aquatic Botany (in press).
KURIANDEWA, T. E., W. KISWARA, M. HUTOMO and S.
SOEMARDIHARDJO 2004. The seagrass of Indonesia. In: E. P.
GREEN and F. T. SHORT (eds.).World Atlas of Seagrass. University of
California Press: 171-182.
KURIANDEWA, T.E. and I.H. SUPRIYADI 2006. Seagrass mapping in East
Bintan coastal area, Riau Archipelago, Indonesia. Coastal Marine
Science 30 (1): 154-161.
KUTSER, T., A.G. DEKKER and W. SKIRVING 2003. Modeling spectral
discrimination of Great Barier Reef Benthic Communities by Remote
Sensing Instruments. Limnology and Oceanography 48 (1-2): 497-510.
LARKUM, A.W.D. and R.J.WEST 1990. Long-term changes of seagrass
meadows in Botany Bay, Australia. Aquatic Botany 37: 55-70.
LUCZKOVICH, J.J., T.W. WAGNER, J.L. MICHALEK and R.W. STOFFLE
1993. Discrimination of coral reefs, seagrass meadows and sand bottom
types from space: A Dominican Republic Case Study. Photogrammetric
Enginering and Remote Sensing 59 (3), March: 385-389.
McKENZIE, L.J., M.A. FINKBEINER and H. LORLAM 2001. Methods for
mapping seagrass distribution. In: F.T. SHORT and R.G. COLES (eds.)
Global Seagrass Research Methods. Chapter 5: 101-121pp.
McKENZIE, L.J. 2003. Draft guideline for the rapid assessment of seagrass
habitat in the western Pasific (QFS, NFC, Cairns). Marine Plant
Ecology Group, QDPI, Northern Fisheries Centre, Cairn: 43 pp.
MUMBY, P. J., E.P. GREEN, A.J. EDWARD and C.D. CLARK 1999. The
cost-effectiveness of Remote Sensing for tropical coastal Resources
Assessment and Management. Journal of Environmental Managemen.
55 (3): 157-166.
PEMETAAN PADANG LAMUN
163
MUMBY, P.J., A.J. EDWARD, J.E. ARIAS-GONZAKZ, K.C. LINDERMAN,
P.G. BLACKWEL, A. GALL, M.I. GORCYNSKA, A.R. HARBORNE,
C.L. PESCOD, H.RENKEN, C.C.C. WABNITZ, and G. LLEWELLYN
2004. Mangrove enhance the biomass of coral reefs fish management
and mapping of Carbbean coral reefs. Biological Conservation 88: 155-
168.
NAKAMURA, Y. 2009. Status of seagrass ecosystem in the Kuroshio region-
Seagrass decline and challenges for future conservation. Kuroshio
Science 391: 39-44.
PHAM, M.T., H.D.NGUYEN, X.H. NGUYEN and T.L. NGUYEN 2006. Study
on the variation of seagrass population in coastal waters of khanh Hoa
Province, Vietnam. Coastal Marine Science 30 (1): 167-173.
SHORT, F.T., L.J. McKENZIE, R.G. COLES and J.L. GAECKLE 2004.
Seagrass Net manual for scientific monitoring of seagrass habitat-
Western Pasific edition. University of New Hampshire, USA, QDPI,
Northern Fisheries Centre, Australia: 71 pp.
SHORT, F.T., W.C. DENNISON, T.J.B. CARRUTHERS and M. WAYCOTT
2007. Global seagrass distribution and diversity: A bioregional model.
Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 350: 3-20.
SUPRIYADI, I.H. 2008. Pemetaan kondisi lamun dan bahaya ancamannya
dengan menggunakan citra satelit ALOS di pesisir selatan, Bitung
Manado, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 34(3):
556-459.
SUPRIYADI, I.H. 2008. Pemetaan padang lamun di perairan Indonesia: Kema-
Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Laporan Penelitian. P2O-LIPI, Jakarta
(unpublished).
SUPRIYADI, I.H. 2009. Pemetaan lamun dan biota asosiasi untuk identifikasi
daerah perlindungan lamun di Teluk Kotania dan Pelitajaya. Oseanologi
dan Limnologi di Indonesia 45(2): 167-183.
SUPRIYADI, I.H. 2009. Pemetaan padang lamun di perairan Indonesia: Tual-
Maluku Tenggara dan Pulau Rote-Nusa Tenggara Timur. Laporan
Penelitian. P2O-LIPI, Jakarta (unpublished).
SUPRIYADI
164
SUPRIYADI, I.H. and T.E. KURIANDEWA 2008. Seagrass distribution at
Small Islands: Derawan Archipelago, East Kalimantan Province,
Indonesia. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 34 (1): 83-99.
YAMAMURO, M., K. NISHIMURA, K. KISHIMOTO, K. NOZAKI, K.
KATO, A. NEGISHI, K. OTANI, H. SHIMIZU, T. HAYASHIBARA,
M. SANO, M. TAMAKI and K. FUKUOKA 2004. Mapping tropical
seagrass beds with an underwater remotely operated vehicle (ROV).
Available online at: (www.shallow water mapping .staff.iaist.go.jp/m-
Yamamuro/pdf%20 filed/project.pdf.
ZAINAL, A.J.M., D.H. DALBY and I.S. ROBINSON 1993. Monitoring marine
ecological changes on the east coast Bahrain with landsat TM.
Photogrammetric Engineering & Remote Sensing 59(3): 415-421.

You might also like