You are on page 1of 14

RINITIS

Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi di seluruh dunia. Rinitis dapat
didefinisikan sebagai inflamasi pada membran mukosa hidung yang dapat disebabkan oleh
beberapa proses patologis yang berbeda. Rinitis ditandai dengan adanya hidung tersumbat,
rinorea, bersin, gatal hidung, post nasal drip (PND), ataupun kombinasi dari gejala-gejala
tersebut.
RINITIS ALERGI
Definisi
Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung yang terjadi
setelah paparan alergen melalui inflamasi yang diperantarai IgE pada mukosa hidung.

Epidemiologi
Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada pasien dengan alergi. Rinitis
secara konsisten berada pada urutan enam penyakit kronis utama di Amerika Serikat.
Morbiditas dari rinitis menyebabkan kualitas hidup yang menurun dikarenakan sakit kepala,
mudah lelah, gangguan kognisi, dan efek samping obat-obatan. Rinitis alergi dapat menurunkan
kualitas hidup, antara lain fungsi fisik, problem bekerja, nyeri badan, vitalitas, fungsi sosial,
stabilitas emosi, bahkan kesehatan mental.
Prevalensi
Rinitis alergi telah menjadi masalah kesehatan global yang ditemukan di seluruh dunia,
sedikitnya terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang semakin meningkat sehingga
berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta produktivitas kerja. Diperkirakan
biaya yang dihabiskan baik secara langsung maupun tidak langsung akibat rinitis alergi ini
sekitar 5,3 miliar dolar amerika pertahun.
Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis alergi atau sekitar
20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi sekitar 15% pada laki-laki dan 14%
pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini mungkin diakibatkan karena perbedaan geografik,
tipe dan potensi alergen.
Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda tergantung
perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi. Dalam hubungannya
dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa kanak-kanak maka laki-laki lebih tinggi
daripada wanita namun pada masa dewasa prevalensinya sama antara laki-laki dan wanita.
Dilihat dari segi onset rinitis alergi umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja dan
dewasa muda. Dilaporkan bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada laki-
laki terjadi antara onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi pada semua
umur.

Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi.
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan.
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien
sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya
berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu
tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang
pengerat.. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat
tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan
faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke pegunungan
membantu identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang,
perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.

Klasifikasi
Rinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi rinitis alergi
musiman (seasonal), sepanjang tahun (perenial) dan akibat kerja (occasional). Rinitis alergi
musiman hanya ada di negara yang memiliki empat musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari dan spora jamur. Gejala ketiganya hampir sama, hanya sifat berlangsungnya yang
berbeda. Gejala rinitis alergi sepanjang tahun timbul terus menerus atau intermiten.
Namun sekarang klasifikasi rinitis alergi menggunakan parameter gejala dan kualitas
hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala 4 hari perminggu atau
4 minggu dan persisten dengan gejala >4 hari perminggu dan >4 minggu. Berdasarkan
beratnya penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-berat tergantung dari gejala dan kualitas
hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, olah raga, belajar, bekerja dan lain-lain yang mengganggu. Dikatakan sedang-berat
jika terdapat satu atau lebih gangguan tersebut di atas.

Intermiten
Gejala
4 hari per minggu
atau 4 minggu
Persisten
Gejala
> 4 hari per minggu
dan > 4 minggu

Ringan
tidur normal
aktivitas sehari-hari, saat olah
raga dan santai normal
bekerja dan sekolah normal
tidak ada keluhan yang
mengganggu
Sedang-Berat
Satu atau lebih gejala
tidur terganggu
aktivitas sehari-hari, saat olah
raga dan santai terganggu
masalah dalam sekolah dan
bekerja
ada keluhan yang mengganggu
Gambar 1. Klasifikasi Rinitis Alergi





Patofisiologi
Awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan alergen/antigen oleh
sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit dan atau sel dendrit. Sel-sel tersebut
berperan sebagai sel penyaji ( antigen presenting cell/sel APC), dan berada di mukosa saluran
pernafasan. Antigen yang menempel pada permukaan mukosa tersebut ditangkap oleh sel-sel
APC, kemudian dari antigen terbentuk fragmen peptida imunogenik. Fragmen pendek peptida
ini bergabung dengan MHC-II yang berada pada permukaan sel APC. Komplek peptida-MHC-II
ini akan dipresentasikan ke limfosit T yang diberi nama Helper-T cells (T
H0
). Apabila sel T
H0
memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptida-MHC-II tersebut, maka akan
terjadi penggabungan kedua molekul tesebut.
Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1 akan mengaktivasi T
H0
menjadi T
H1
dan T
H2.
Sel T
H2
melepas sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13
akan ditangkap resptornya pada permukaan limfosit-B, akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-
B. Limfosit-B aktif ini memproduksi IgE.


Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan ditangkap eleh
reseptor IgE pada permukaan sel mastosit atau sel basofil. Maka akan terjadi degranulasi sel
mastosit dengan akibat terlepasnya mediator alergis.Mediator yang terlepas terutama
histamin. Histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet mengalami hipersekresi,
sehingga hidung beringus. Efek lainnya berupa gatal hidung, bersin-bersin, vasodilatasi dan
penurunan permeabilitas pembuluh darah dengan akibat pembengkakan mukosa sehingga
terjadi gejala sumbatan hidung.


Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi fase
cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen dan berakhir
pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC mastosit juga melepas molekul-molekul
kemotaktik yang terdiri dari ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylatic) dan NCEA
(neutrophil chemotactic factor of anaphylatic). Kedua molekul tersebut menyebabkan
penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran.


Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL)
sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah terlihatnya pertambahan jenis
dan jumlah sel-sel inflamasi yangberakumulasi di jaringan sasaran dengan puncak akumulasi
antara 4-8 jam. Sel yang paling konstan bertambah banyak jumlahnya dalam mukosa hidung
dan menunjukkan korelasi dengan tingkat beratnya gejala pasca paparan adalah eosinofil.


Penilaian Klinis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dari anamnesis dengan adanya trias gejala
yaitu beringus (rinorea), bersin dan sumbatan hidung, ditambah gatal hidung. Perlu
diperhatikan juga gejala alergi di luar hidung (asma, dermatitis atopi, injeksi konjungtiva,
dan lain sebagainya).

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik untuk rinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi pemeriksaan wajah,
mata, telinga, leher, paru-paru, dan kulit juga penting.
a. Wajah
- Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan
vasodilatasi atau obstruksi hidung
- Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah
bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung keatas dengan
tangan.
b. Hidung
- Pada pemeriksaan hidung digunakan nasal speculum atau bagi spesialis dapat
menggunakan rhinolaringoskopi
- Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat, disertai
adanya sekret encer yang banyak.
- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis alergi mukus
encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis.
Namun, mukus yang kental, purulen dan berwarna dapat timbul pada rinitis
alergi.
- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi septum yang
dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit granulomatus.
- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip dan tumor.
Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan tangkai. Dengan
dekongestant topikal polip tidak akan menyusut. Sedangkan mukosa hidung
akan menyusut.
c. Telinga, mata dan orofaring
- Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-fluid level,
atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani dapat dilihat dengan
menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan tersebut dapat terjadi pada rinitis
alergi yang disertai dengan disfungsi tuba eustachius dan otitis media sekunder.
-
Pada pemeriksaan mata

- Akan ditemukan injeksi dan pembengkakkan konjungtiva palpebral yang disertai
dengan produksi air mata.


d. Leher. Perhatikan adanya limfadenopati
e. Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asma
f.
Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi.

Pemeriksaan sitologi hidung.
Tidak dapat memastikan diagnosis pasti, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalen.
Jika basofil mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.
Hitung eosinofil dalam darah tepi.
Jumlah eosinofil dapat meningkat atau normal. Begitu juga dengan pemeriksaan IgE
total seringkali menunjukkan nilai normal, Kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih
dari satu penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria.
Uji kulit.
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada beberapa cara, yaitu uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), uji
cukit (Prick Test), dan uji gores (Scratch Test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua
uji kulit (uji cukit dan uji gores) sama. SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekaannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab, juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.

Tes penunjang lainnya
Yang lebih bermakna namun tidak selalu dikerjakan adalah tes IgE spesifik dengan RAST
(Radio Immunosorbent test) atau ELISA (Enzyme linked immuno assay). IgE total > 200
IgE RAST untuk alergen alergen dengan tingkat skor 1+ s/d 4+.

Ko-Morbiditas
Inflamasi alergi tidak terbatas hanya pada rongga hidung. Berbagai komorbiditas telah
diketahui berhubungan dengan rinitis.
Asma
- Mukosa nasal dan bronkus mempunyai banyak kesamaan
- Banyak penderita rinitis rinitis alergi mengalami peningkatan hipereaktivitas
bronkus yang non-spesifi
- Banyak penderita rinitis juga menderita asma
- Saluran nafas atas dan bawah diduga diepngaruhi oleh suatu proses inflamasi
yang serupa yang mungkin dapat menetap dan diperberat oleh mekanisme yang
saling berhubungan ini.
- Penyakit alergi dapat bersifat sistemik.Provokasi bronkial menyebabkan
inflamasi nasal dan provokasi nasal menyebabkan inflamasi bronkial.
Sinusitis dan konjungtivitis
Hubungan antara rinitis alergi, polip nasal dan otitis media belum dipahami dengan baik.




Penatalaksanaan
Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :
a. Penghindaran alergen.
Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk mencegah
kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga degranulasi sel
mastosit tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari. Namun, dalam praktek
adalah sangat sulit mencegah kontak dengan alergen tersebut. Masih banyak data yang
diperlukan untuk mengetahui pentingnya peranan penghindaran alergen.
b. Pengobatan medikamentosa
Cara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau menetralisasi
kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi alergis dan atau
mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat dihilangkan. Obat-obat
yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan intranasal atau oral.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang
paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Antihistamin
diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala
pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk
mengatasi obstruksi hidung pada fase lambat.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin atau topikal. Namun
pemakaian secara topiukal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari
terjadinya rinitis alergi medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase lambat
tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi
jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari
eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.
Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas
inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk
rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.
Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya pada
penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.

Tabel 1. Efek terapi terhadap gejala-gejala rinitis
Bersin Rinorea Sumbatan
hidung
Gatal
hidung
Keluhan
mata
H1-antihistamin
- oral
- intranasal
- intaokular

++
++
0

++
++
0

+
+
0

+++
++
0

++
0
+++
Kortikosteroid
- intranasal

++++

+++

+++

++

++
Kromolin
-Intranasal
-Intraokular

+
0

+
0

+
0

+
0

0
++
Dekongestan
- Intranasal
- Oral

0
0


0
0

++++
+

0
0

0
0
Antikolinergik 0 ++ 0 0 0
Anti-leukotrin 0 + ++ 0 ++


c. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi subkutan masih
menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan. Oleh karena itu,
dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label dalam unit biologis atau
dalam ukuran masa dari alergen utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen
utama adalah 5 sampai 20 g. Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga
terlatih dan penderita harus dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan.
Indikasi imunoterapi spesifik subkutan
- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi konvensional
- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan antihistamin
H1 dan farmakoterapi
- Prnderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan
- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka panjang.
Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi spesifik oral
- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih besar dari
pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.
- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak imunoterapi
subkutan
- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan
Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak direkomendasikan
untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5 tahun.
d. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama seperti
pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama-sama mampu
menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler terdapat mekanisme
yang sangat berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di dalam
sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi DNA
sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya menghambat produksi sitokin
pro-inflammatory.

e. Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam
menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya terajadi pada peningkatan
populasi limfosit T
H
yang berguna pada penghambatan reaksi alergis, serta melalui
mekanisme imunopsikoneurologis.
f. Operatif
Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa penderita yang
sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Bebera pa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. Polip hidung biasanya
tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi utama akibat proses inflamasi kronis
yang menimbulkan sumbatan sekitar ostia sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda
patognomonis : inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa
banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet,
dan metaplasia skuamosa. Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5
yang berperan meningkatkan reaksi alergis.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia
sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia menyebabkan sumbatan
ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan penimbunan mukus sehingga terjadi
penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan
menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh
mediator-mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis
akan semakin parah.

Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan obstruksi ostia
sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral maupun
seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka pengobatab rasionalnya adalah
pemberian antihistamin, dekongestan, antiinflamasi, antibiotia adekuat, imunoterapi dan
bila perlu operatif.

Rinitis Vasomotor
Etiologi
Rinitis vasomotor adalah gangguan fisiologi mukosa hidung yang disebabkan oleh
bertambahnya aktivitas parasimpatis. Saraf otonom mukosa hidung berasal dari n. vidianus
yang mngandung serat saraf simpatis dan parasimpatis. Rangsangan pada saraf parasimpatis
menyebabkan dilatasi pembuluh darah dalam konka serta meningkatkan permeabilitas kapiler
dan sekresi kelenjar. Rangsangan simpatis sebaliknya. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi
berbagai faktor yang berlangsung temporer seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara,
perubahan suhu luar, latihan jasmani, dsb. Pada pasien rhinitis vasomotor, saraf parasimpatis
cenderung lebih aktif.

Gambaran Klinis
Gejala dari rinitis vasomotor adalah hidung tersumbat tergantung posisi pasien, rinore
yang mucus/serus, jarang disertai bersin dan gatal pada mata, gejala memburuk pada pagi hari
karena adanya perubahan suhu. Mukosa hidung edema, merah gelap, permukaan konka licin
atau berbenjol, sekret mukoid.


Terapi
Pengobatan yang tepat untuk rinitis vasomotor adalah dengan menghindari penyebab,
memberikan obat simtomatis (dekongestan oral, kauterisasi konka yang hipertrofi,
kortikosteroid topikal), konkotomi konka inferior, neurektomi n. Vidianus.


Rinitis Medikamentosa
Etiologi
Rinitis medikamentosa adalah kelainan hidung berupa gangguan respon normal
vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokontriktor topical dalam waktu lama dan berlebihan
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.

Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus
nasal terganggu dan dakan berfungsi kembali bila pemakaian dihentikan. Pemakaian
vasokontriktor topical yang berulang dan waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase
dilatasi ulang (rebound dilatation) setelah vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila
pemakaian obat diteruskan maka akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan, perttambahan
mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dan
produksi sekret berlebihan.


Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema mukosa
diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin, estrogen, fenotiazin, dan
guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan kekeringan pada mukosa hidung adalah
atropin, beladona, kortikosteroid dan derivat katekolamin.

Gambaran Klinis
Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus menerus, berair,
edema konka.

Terapi
Pengobatan rinitis medikamentosa adalah dengan menghentikan obat tetes/semprot hidung,
kortikosteroid secara penurunan bertahap untuk mengatasi sumbatan berulang, dekongestan
oral.

You might also like