You are on page 1of 33

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang
sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung
lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya. kedua penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah :
Bronchitis kronis, dan emfisema paru-paru . Sering juga penyakit ini
disebut dengan Chronic Airflow Limitation (CAL) dan Chronic .
Prevelensi COPD di dunia diperkirakan bervariasi dari 7-19 %. pria
memiliki prevelensi yang lebih tinggi yaitu 11,8 % dan wanita 8.5%.
jumlah ini sangat bervariasi di berbagai Negara. prevelensi tertingi terdapat
padacape town , Afrika selatan.
Menurut Survei th 2001 Di US, kira-kira 12.1 jt pasien menderita PPOK,
juta menderita bronkitis kronis, dan sisanya menderita
emphysema, atau kombinasi keduanya. sedangkan The Asia Pacific CPOD
Roundtable Group memperkirakan, jumlah penderita PPOK sedang hingga
berat di negara-negara Asia Pasifik mencapai 56, 6 juta penderita dengan
angka prevalensi 6,3 per tahun dengan Angka prevalensi bagi masing-
masing negara berkisar 3,5-6,7% antara lain China dengan angka kasus
mencapai 38,160 juta ji
Jepang (5,014 juta orang), dan Vietnam (2,068 penderita).
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK.
Menurut SKRT Depkes RI menunjukkan angka
Kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat
ke - 6 dari 10 penyebab
Tersering kematian di Indonesia. di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta
penderita dengan prevalensi 5,6 persen.
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :
Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70
%). Kejadian meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok
(90% penderita COPD adalah smoker atau ex-smoker)


2

Pertambahan penduduk
Meningkatnya usia rata-rata penduduk
Industrialisasi
Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di
pertambangan.
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon
trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi
adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-
ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan ( The American
Thoracic Society ).
Asma merupakan penyakit yang data menyerang siapa saja, namun enderita
paling banyak adalah anak- anak.
menurut KEMENKES 2008 terdapat 100 hingga 150 juta orang menderita
asma, jumlah ini diperkirakan akan meningkat 18.000 kasus setiap
tahunnya. Menurut RISKESDAS penerita asma di indonesia sangat tinggi
sekitar 5,87 %. dari seluruh masyarakat indonesia
Asma dan ppok merupakan peyakit yang memiliki mekanisme yang hampir
sama namun berbeda dari segi imunitas , dan reversibilitas. kedua penyakit
ini memiliki prevelensi yang cukup tinggi di Indonesia.

1.2 Tujuan
1. Agar mahasiswa mampu memahami definisi, etiologi , patogenesis , klinis
, diagnosis dan penatalaksanaan ppok
2. Agar mahasiswa mampu memahami definisi, etiologi , patogenesis , klinis
, diagnosis dan penatalaksanaan asma bronchial
3. Agara mahasiswa mampu membedakan asma bronchial dan ppok







3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 ASMA BRONKIAL

a. Definisi
- Penyakit yang ditandai dengan bronkospasme episodic reversible yang
disebabkan karena bronkokosntriksi berlebihan akibat berbagai
rangsangan (Robbins, Kumar, Cotran).
- Suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus
terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan napas yang luas dan derajatmya dapat berubah-ubah baik secara
spontan maupun karena pengobatan (American Thoracic Society).
- Asma adalah adanya kombinasi keluhan sesak napas, rasa dada yang
terhimpit, suara napas wheezing dan batuk, ditambah dengan sifat
hilang timbul (SEARS)
b. Epidemiologi
Asma di jumpai hampir diseluruh dunia, menyerang baik pria
maupun wanita dan dari semua lapisan social ekonomi dengan prevalensi
sebesar 1-10%. Dari studi epidemiologis bahwa terjadi peningkatan
prevalensi asma diseluruh dunia.
Menurut KEMENKES 2008 terdapat 100 hingga 150 juta orang
menderita asma, jumlah ini diperkirakan akan meningkat 18.000 kasus
setiap tahunnya.
Menurut moil kasus asma di asaia tenggara mencapai 3,3 % , dengan
prevelensi paling banyak di Indonesia , Thailand, filiphina , dan singapura.
Menurut RISKESDAS penerita asma di indonesia sangat tinggi sekitar
5,87 %. dari seluruh masyarakat di Indonesia.

c. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi
3 tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)


4

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-
obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering
dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau
bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi.
Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.


5


d. Etiologi
Adapun etiologi dari penyakit asma bronchial dapat diklasifikasikan ke
dalam beberapa golongan besar, yaitu :
- Rangsangan alergi. Pada penderita asma alergi timbul dapat akibat
menghirup allergen atau setelah mengkonsumsi bahan alergik
tersebut.
- Rangsangan bahan toksik dan iritan. Kelompok ini meliputi asap
rokok, polutan, pembuangan pabrik, gasoline dan uap cat.
- Infeksi. Pada umunya infeksi virus, jamur dan bakteri dapat memicu
timbulnya serangan asma namun dapat pula bertindak sebagai
allergen. Sinusitis bacterial dan infeksi virus (common cold)
merupakan factor terjadinya serangan asma.
- Obat. Banyak obat yang dikonsumsi menimbulkan serangan asma.
Golongan terbanyak adalah penisilin dan golongan vaksen. Penderita
yang sensitive terhadap aspirin umumnya 20 menit setelah konsumsi
timbul serangan.


6

- Penyebab lainnya. Factor fisik dan psikologis. Misalnya kelelahan,
perubahan cuaca dan kesedihan.
Namun, sampai saat ini etiologi yang tepat dari asma bronkial belum
diketahui secara pasti. Berbagai teori sudah diajukan, akan tetapi yang
paling disepakati adalah adanya gangguan parasimpatis (hiperaktivitas
saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic
dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi, presipitasi dan
faktor resiko timbulnya serangan asma bronkial.
1. Faktor predisposisi
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya,
meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas.
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat
juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpapar
dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran
pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
a. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi)
Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-
obatan)
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
(perhiasan, logam dan jam tangan)
b. Perubahan cuaca


7

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk
bunga dan debu.
a. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita
asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya
belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
b. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya
serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja.
Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri
tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada
waktu libur atau cuti.
c. Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
3. Faktor Resiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor
pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini
termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi),


8

hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma
untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi
dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam
faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap
rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status
sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/ pejamu
dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :
pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu
dengan genetik asma.
baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.












Faktor Pejamu
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai
penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma
memberikan bakat/ kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip
yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif
(gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau
keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar
genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara
yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus,
alergik/ atopi, walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk
Asimptomatik atau
Asma dini

Manifestasi Klinis Asma
(Perubahan ireversibel pada
struktur dan fungsi jalan napas)


Bakat yang diturunkan:
Asma
Atopi/ Alergik
Hipereaktiviti bronkus
Faktor yang memodifikasi
penyakit genetik

Pengaruh lingkungan :
Alergen
Infeksi pernapasan
Asap rokok / polusi udara
Diet
Status sosioekonomi



9

asma. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa
kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma,
antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1, reseptor agonis
beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan asma
dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1,
ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan
sebagainya.

Faktor Lingkungan
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan
adalah penyebab utama asma, dengan pengertian faktor lingkungan
tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan
kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau
menyebabkan menetapnya gejala.

e. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel
inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag,
neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain
berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada
penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada
asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada
berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja
dan asma yang dicetuskan aspirin.


10

gambar 1 . patogenesis asma

Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara
lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut
yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti
reaksi asma tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated
mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.


Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.


11


Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel
tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel,
fibroblast dan otot polos bronkus.

Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe
Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas
dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-
CSF. IL-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-
sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta
GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan
hidup eosinofil.
Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti
molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme
terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi
plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-
cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi
tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita
asma adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor
dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF,
TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3,
IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang
ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein
ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP),
eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN)
yang toksik terhadap epitel saluran napas.
Sel Mast


12

Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-
linking reseptor IgE dengan factors pada sel mast mengaktifkan sel
mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator
seperti histamin dan protease serta newly generated mediators antara lain
prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara
lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik
pada orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan
seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai
mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan
dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway
remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting factors
untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-.

Airway Remodelling
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan
jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan
(healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian
selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut
melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis
sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan
jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua
proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi
yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai
mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan
airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses
yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel
sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami
sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan
remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling,
juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular


13

basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan
inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
o Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
o Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
o Penebalan membran reticular basal
o Pembuluh darah meningkat
o Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
o Perubahan struktur parenkim
o Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis














Penarikan sel
inflamasi

Sel-sel inflamasi
yang menetap

Aktivasi fibroblas
& makrofag

Edema &
permeabiliti
vaskular

Aktivasi sel
inflamasi

Penurunan
apoptosis

Penglepasan
mediator
inflamasi

Penglepasan
sitokin & faktor
pertumbuhan

Proliferasi otot
polos & kelenjar
mukus

Sekresi mukus &
bronkokonstriksi

Peningkatan
hipereaktiviti
bronkus

Aktivasi dan
kerusakan sel
epitel

Perbaikan
jaringan dan
remodeling



14


gambar 2. histopatologi asma
PENATALAKSANAAN ASMA BRONKIAL
Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agar penderita dapat hidup normal,
bebas dari serangan asma serta memiliki faal paru senormal mungkin, mengurangi
reaktifasi saluran napas, sehingga menurunkan angka perawatan dan angka
kematian akibat asma. Suatu kesalahan dalam penatalaksanaan asma dalam jangka
pendek dapat menyebabkan kematian , sedangkan jangka panjang dapat
mengakibatkan peningkatan serangan atau terjadi obstruksi paru yang menahun.
Untuk pengobatan asma perlu diketahui juga perjalanan penyakit, pemilihan obat
yang tepat, cara untuk menghindari faktor pencetus. Dalam penanganan pasien
asma penting diberikan penjelasan tentang cara penggunaan obat yang benar,
pengenalan dan pengontrolan faktor alergi. Faktor alergi banyak ditemukan dalam
rumah seperti tungau debu rumah, alergen dari hewan, jamur, dan alergen di
luar rumah seperti zat yang berasal dari tepung sari, jamur, polusi udara. Obat
aspirin dan anti inflamasi non steroid dapat menjadi factor pencetus asma.
Olahraga dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala
asma. Psikoterapi dan fisioterapi perlu diberikan pada penderita asma. Obat asma
digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi
saluran pernafasan. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua kelompok besar
yaitu reliever dan controller.
Reliever adalah obat yang cepat menghilangkan gejala asma yaitu obstruksi
saluran napas . Controller adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan asma
yang persisten. Obat yang termasuk golongan reliever adalah agonis beta-2,


15

antikolinergik, teofilin,dan kortikosteroid sistemik. Agonis beta-2 adalah
bronkodilator yang paling kuat pada pengobatan asma. Agonis Beta-2
mempunyai efek bronkodilatasi, menurunkan permeabilitas kapiler , dan
mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Golongan agonis beta-2
merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi obat golongan ini tidak dapat
mencegah respon lambat maupun menurunkan hiperresponsif bronkus. Obat
agonis beta-2 seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol dan isoprenalin,
merupakan obat golongan simpatomimetik . Efek samping obat golongan agonis
beta-2 dapat berupa gangguan kardiovaskuler, peningkatan tekanan darah, tremor,
palpitasi, takikardi dan sakit kepala . Pemakaian agonis beta-2 secara reguler
hanya diberikan pada penderita asma kronik berat yang tidak dapat lepas dari
bronkodilator. Antikolinergik dapat digunakan sebagai bronkodilator, misalnya
ipratropium bromide dalam bentuk inhalasi. Ipratropium bromide mempunyai
efek menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim guanilsiklase dan
menghambat pembentukan cGMP. Efek samping ipratropium inhalasi adalah rasa
kering di mulut dan tenggorokan. Mula kerja obat ini lebih cepat dibandingkan
dengan kerja obat agonis beta- 2 yang diberikan secara inhalasi. Ipratropium
bromide digunakan sebagai obat tambahan jika pemberian agonis beta-2 belum
memberikan efek yang optimal. Penambahan obat ini terutama bermanfaat untuk
penderita asma dengan hiperaktivitas bronkus yang ekstrem atau pada penderita
yang disertai dengan bronkitis yang kronis. Obat golongan xantin seperti teofilin
danaminofilin adalah obat bronkodilator yang lemah, tetapi jenis ini banyak
digunakan oleh pasien karena efektif, aman , dan harganya murah . Dosis teofilin
peroral 4 mg/kgBB/kali, pada orang dewasa biasanya diberikan 125-200
mg/kali. Efek samping yang ditimbulkan pada pemberian teofilin peroral
terutama mengenai sistem gastrointestinal seperti mual, muntah,rasa kembung dan
nafsu makan berkurang. Efek samping yang lain ialah diuresis. Pada pemberian
teofilin dengan dosis tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipotensi , takikardi
dan aritmia, stimulasi sistem saraf pusat .
Obat yang termasuk dalam golongan controller adalah obat anti inflamasi
sepertikortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium nedokromil , dan antihistamin
aksi lambat. Obat agonis beta-2 aksi lambat dan teofilin
lepas lambat dapat juga digunakan sebagaicontroller. Natrium kromoglikat dapat


16

mencegah bronkikonstriksi respon cepat atau lambat, dan mengurangi gejala
klinis penderita asma. Natrium kromoglikat lebih sering digunakan pada anak
karena dianggap lebih aman daripada kortikosteroid . Perkembangan terbaru
natrium kromoglikat menghasilkan natrium nedoksomil yang lebih poten. Obat
ini digunakan sebagai tambahan pada penderita asma yang sudah mendapat terapi
kortikosteroid tetapi belum mendapat hasil yang optimal.
Antihistamin tidak digunakan sebagai obat utama untuk mengobati asma.,
biasanya hanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit atopik
seperti rinitis alergi. pemberian antihistamin selama 3 bulan pada
sebagian penderita asma dengan dasar alergi.
Kortikosteroid merupakan anti inflamasi yang paling kuat . Kortikosteroid
menekan respons inflamasi dengan cara mengurangi kebocoran mikrovaskuler,
menghambat produksi dan sekresi sitokin, mencegah kemotaksis dan aktivitas sel
inflamasi, mengurangi sel inflamasi, dan menghambat sintesis leukotrin.
Kortikosteroid dapat meningkatkan sensitifitas otot pernafasan yang dipengaruhi
oleh stimulasi beta-2 melalui peningkatan reseptor beta adrenergik. Pemberian
steroid dianjurkan dengan dosis seminimal mungkin. Pemberian kortikosteroid
peroral dapat diberikan secara intermiten beberapa hari dalam sebulan atau dosis
tunggal pagi selang sehari (alternate day), atau dosis
tunggal pagi hari. Pemberian kortikosteroid peroral sering menimbulkan efek
samping pada saluran cerna seperti gastritis, penurunan daya tahan tubuh,
osteoporosis, peningkatan kadar gula darah dan tekanan darah, gangguan psikiatri,
hipokalemi, moonface, retensi natrium dan cairan, obesitas, cushing syndrom ,
bullneckdan yang paling ditakutkan adalah terjadinya
supresi kelenjar adrenal.
Penelitian dari
Agertoft dan Pedersen (13) menunjukkan bahwa pemakaian budesonide tidak
mengganggu pertumbuhan anak. Penggunaankortikosteroid inhalasi merupakan
pilihan pertama untuk menggantikan steroid sistemik
pada penderita asma kronik yang berat. Efek samping yang sering ditimbulkan
dapat berupa kandidiasis orofaring, refleks batuk, suara


17

serak, infeksi paru, dan kerusakan mukosa. Pernah dilaporkan efek samping
dispnoe dan bronkospasme pada penggunaan kortikosteroid
inhalasi. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa penggunaan kortikosteroid
secara inhalasi tidak menyebabkan terjadinya osteoporosis, gangguan
pertumbuhan, dan gangguan toleransi glukosa. Pemberian kortikosteroid
sistemik lebih sering menimbulkan efek samping, maka
sekarang dikembangkan pemberian obat secara inhalasi. Keuntungan pemberian
obat inhalasi yaitu mula kerja yang cepat karena obat
bekerja langsung pada target organ, diperlukan dosis yang kecil secara lokal, dan
efek samping yang minimal. Dengan demikian untuk mengatasi asma
kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan yang lebih baik

2.2 PPOK
Penyakit obstruksi saluran nafas kronis dan progresif yang
dikarakterisir oleh adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat
irreversibel, yang disebabkan oleh bronkitis kronis, emphysema atau
keduanya.

A. Bronkitis kronis
Penyakit dan gangguan saluran napas masih merupakan masalah
terbesar di Indonesia pada saat ini. Angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit saluran napas dan paru seperti infeksi saluran napas akut,
tuberkulosis asma dan bronkitis masih menduduki peringkat tertinggi.
Infeksi merupakan penyebab yang tersering.
Kemajuan dalam bidang diagnostik dan pengobatan menyebabkan
turunnya insidens penyakit saluran napas akibat infeksi. Di lain pihak
kemajuan dalam bidang industri dan transportasi menimbulkan masalah
baru dalam bidang kesehatan yaitu polusi udara. Bertambahnya umur rata-
rata penduduk, banyaknya jumlah penduduk yang merokok serta adanya
polusi udara meningkatkan jumlah penderita bronkitis kronik.
Penyakit paru obstruktif kronik ialah penyakit saluran napas yang
bersifat ireversibel dan progresif. Bila penyakit telah terjadi, maka akan
berlangsung seumur hidup dan memburuk dari waktu ke waktu.
Perburukan akan lebih cepat terjadi bila timbul fase-fase eksaserbasi akut.
Usaha untuk menegakkan diagnosis lebih dini, pencegahan eksaserbasi


18

akut, serta penatalaksanaan yang baik akan bermanfaat memperlambat
perjalanan penyakit sehingga penderita dapat hidup lebih baik.

Definisi
Penyakit ini mempunyai berbagai definisi tergantung dari penulis yang
mengemukakannya. Brinkman mendefinisikan penyakit ini sebagai suatu
gangguan batuk berdahak yang terjadi tiap hari selama paling kurang enam
bulan dan jumlah dahak minimal satu sendok teh. Definisi yang banyak
dipakai adalah definisi dari American Thoracic Society, yaitu penyakit
dengan gangguan batuk kronik dengan dahak yang banyak terjadi hampir
tiap hari minimal tiga bulan dalam setahun selama dua tahun berturut-
turut. Produksi dahak yang berlebihan ini tidak disebabkan oleh penyakit
tuberkulosis atau bronkiektasis. Penyakit bronkitis kronik sering terdapat
bersama-sama emfisema dan dikenal dengan nama bronkitis emfisema.
Bronchitis kronik dapat dibagi atas:
1) Simple chronic bronchitis: bila sputum bersifat mukoid.
2) Chronic atau recurrent mucopurulent bronchitis: bila sputum
bersifat mukopurulen.
3) Chronic obstructive bronchitis: bila disertai obstruksi saluran
napas yang timbul apabila terpajan zat iritan atau ada infeksi saluran napas
akut.

Epidemiologi
Bronchitis kronik lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada
wanita. Hal ini kemungkinan disebabkan karena penyebab utamanya
sampai saat ini adalah merokok, dan laki-laki lebih banyak yang merokok
dibandingkan dengan wanita. Di Indonesia jumlah perokok menurut
koalisi profesi kesehatan anti rokok terdapat 4,8 % perokok di dunia
yang berasal dari Indonesia. Konsumsi rokok tahun 1995 hanya 13,7 %
dan meningkat menjadi 37,3% pada tahun 2007.
Saat ini diperkirakan 20% laki-laki dewasa menderita bronchitis
kronik, dan pada wanita dewasa lebih sedikit. Namun karena wanita yang
merokok terus meningkat maka angka bronchitis kronik pada wanita akan
meningkat pula.


19


Patogenesis
Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara merupakan bahan-
bahan iritan dan oksidan yang menyebabkan terjadinya bronkitis kronik.
Dari semua ini, asap rokok merupakan penyebab yang paling penting.
Tidak semua orang yang terpapar zat ini menderita bronkitis kronik, hal ini
dipengaruhi oleh status imunologik dan kepekaan yang bersifat familial.
Hipereaktivitas bronkus memang ditemukan pada sebagian penderita
PPOK, dan persentasenya bervariasi.


gambar3 : rokok dan ppok

Di dalam asap rokok terdapat campuran zat yang berbentuk gas dan
partikel. Setiap hembusan asap rokok mengandung 10 radikal bebas yaitu
radikal hidroksida (OH
-
). Sebagian bebas radikal bebas ini akan sampai ke
alveolus. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru.
Kerusakan parenkim paru oleh oksidan ini terjadi karena:
1) Kerusakan dinding alveolus.
2) Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas.


20

Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan menyebabkan
fungsi ini terganggu sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial
alveolus.
Partikulat yang terdapat dalam asap rokok dan udara yang terpolusi
mempunyai dampak yang besar terhadap pembersihan oleh sistem
mukosilier. Sebagian besar partikulat tersebut mengendap di lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga mengharnbat aktivitas
silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa bronkus akan sangat
berkurang, mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa
bronkus. Kelenjar mukosa dan sel goblet dirangsang untuk menghasilkan
mukus yang lebih banyak, hal ini ditambah dengan gangguan aktivasi silia
menyebabkan timbulnya batuk kronik dan ekspektorasi. Produksi mukus
yang berlebihan memudahkan terjadinya infeksi dan memperlambat proses
penyembuhan. Keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat
terjadi hipersekresi. Di samping itu terjadi penebalan dinding saluran
napas sehingga dapat timbul mucous plug yang menyumbat jalan napas,
tetapi sumbatan ini masih bersifat reversibel.
Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi
erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Di samping itu terjadi pula
metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan submukosa. Keadaan ini
mengakibatkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat
ireversible.
Skema Patogenesis Bronkitis Kronik











Iritasi bronkus (asap rokok, polusi)
Paralisis silia Bronkospasme Hipertrofi, hiperplasi
kelenjar mukus
Produksi mucus
bertambah
Obstruksi saluran
napas yang reversible
Statis mukus
Infeksi kuman
(sekunder)
Erosi epitel, pembentukan jaringan parut, metaplasi skuamosa serta
penebalan lapisan skuamosa


21





Pada orang dewasa normal dengan bertambahnya umur akan terjadi
penurunan faal paru, yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1)
sebanyak rata-rata 28 ml per tahun. Pada penderita PPOK penurunan ini
lebih besar yaitu antara 5080 ml setiap tahun. Perburukan fungsi paru akan
cepat terjadi bila timbul fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor dapat
memperburuk perjalanan penyakit. Faktor itu adalah:
1) Faktor risiko, yaitu faktor yang dapat menimbulkan serta
memperburuk penyakit seperti merokok, polusi udara, polusi lingkungan,
infeksi dan perubahan cuaca.
2) Derajat obstruksi saluran napas yang terjadi dan identifikasi
komponen yang memungkinkan terdapatnya reversibilitas.
3) Tahap perjalanan penyakit.
4) Penyakit lain yang memudahkan timbulnya infeksi saluran napas
bawah seperti sinusitis dan faringitis kronik.
5) Keteraturan penderita berobat.

Patologi
Kelainan utama pada bronkus yaitu hipertrofi dan hyperplasia
kelenjar mucus bronkus. Terjadi sekresi mucus yang berlebihan dan lebih
kental. Secara histologist dapat dibuktikan dengan membandingkan
tebalnya kelenjar mucus dan dinding bronkus (indeks Reid).
Selain itu terdapat juga peradangan difus, penambahan sel
mononuclear di submukosa trakeobronkial, metaplasia epitel bronkus dan
silia berkurang. Pada pasien yang sering mengalami bronkospasme otot
polos saluran napas bertambah dan timbul fibrosis peribronkial. Yang
penting juga adalah perubahan pada saluran napas kecil (small airways)
yaitu hyperplasia sel goblet, sel radang di mukosa dan submukosa, edema
fibrosis peribronkial, penyumbatan mucus intraluminal dan penambahan
otot polos.
Manifestasi Klinis
Obstruksi saluran napas yang ireversible


22

Bronchitis kronik merupakan penyakit menahun, yang mana terjadi
sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun. Biasanya mulai pada seorang
pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun kemampuan
kerja beratnya mulai menurun dan mulai timbul perubahan pada saluran
napas kecil serta fungsi paru juga mulai berubah antara lain berupa
kenaikan closing volume. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif
dan VEP1 (volume ekspirasi paksa selama 1 detik) atau FEV1 (forced
expiratory volume 1 second) menurun. Sesak napas, hipoksemia dan
perubahan spirometri sudah terjadi pada umur 45-55 tahun. Pasien sering
sering mendapat infeksi saluran napas bagian atas berulang-ulang sehingga
sering atau sama sekali tidak dapat bekerja. Pada umur 55-65 tahun sudah
ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan napas dan
meninggal dunia.






Diagnosis
1) Anamnesis
Keluhan utama pada bronchitis kronik adalah batuk berdahak dan
sesak. Menurut Burrows dkk 75% bronchitis kronik dimulai dengan batuk,
22% dimulai dengan sesak.
Pasien dengan bronchitis kronik dominan mempunyai riwayat batuk-
batuk dengan sputum produktif yang sering dikatakannya karena merokok.
Pasien sendiri tidak menganggap sebagai keluhan, kecuali bila kita tanya
langsung. Makin lama batuk makin sering, berlangsung lama dan makin
berat, timbul siang maupun malam, sehingga pasien terganggu tidurnya.
Bila timbul infeksi saluran napas, batuk-batuk bertambah hebat dan
berkurang bila infeksi teratasi.
2) Pemeriksaan fisik
Pada stadium dini tidak ditemukan kelainan fisis. Hanya kadang
terdengar ronki pada waktu ekspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak,


23

akan terdengar ronki pada saat ekspirasi maupun inspirasi, kadang disertai
bising mengi. Selain itu, didapatkan juga tanda overinflasi paru seperti
barrel chest, kifosis, diameter anteroposterior dada bertambah, jarak
tulang rawan krikotiroid dengan lekukan supra sterna kurang dari 3 jari,
iga lebih horizontal dan sudut subcostal bertambah.
Pada perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru
hati lebih ke bawah, pekak jantung berkurang, suara napas dan suara
jantung lemah. Bila sudah ada kenaikan tekanan pulmonal, suara jantung
kedua akan lebih keras, terutama di ruang interkostal dua dan tiga sebelah
kiri.
Pasien dengan bronchitis kronik, pada stdium lanjut biasanya terlihat
gemuk dan sianosis. Sesak tidak begitu berat dan otot-otot pernapasan
tambahannya pun tidak digunakan. Sering disertai tanda payah jantung
kanan. PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau naik. Penurunan PaO2
menstimulasi eritropoesis dan vasokonstriksi pembuluh darah paru,
sehingga kor-pulmonalnya bertambah berat.
3) Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan radiologis
Menurut Fraser dan Pare > 50% pasien bronchitis kronik mempunyai
foto dada yang normal. Tetapi secara radiologis ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan:
a. Tubular shadows atau tram lines tarlihat bayangan garis-garis yang
parallel, keluar dari hilus menuju apex paru. Bayangan tersebut adalah
bayangan bronkus yang menebal.
b. Corak paru bertambah.
- Pemeriksaan faal paru
Terdapat VEP1 dan KV menurun, VR yang bertambah dan KTP yang
normal.
- Analisis gas darah
Pasien bronchitis kronik tidak dapat mempertahankan ventilasi dengan
baik, sehingga PaCO2 naik, saturasi Hb menurun dan timbul sianosis.
Terjadi juga vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penambahan
eritropoesis.



24

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki
kondisi tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari
faktor risiko dan mengenali sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk
dalam penatalaksanaan umum ini adalah pendidikan buat penderita untuk
mengenal penyakitnya lebih baik, menghindari polusi, menghentikan
kebiasaan merokok, menghindari infeksi saluran napas, hidup dalam
lingkungan yang lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi
kebutuhan cairan.
Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan
komplikasi. Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi
dan rehabilitasi.
Bronkodilator merupakan obat utama pada bronkitis kronik. Obat ini
tidak saja diberikan pada keadaan eksaserbasi akut tetapi juga untuk
memperbaiki obstruksi yang terjadi. Adanya respons sesudah pemberian
bronkodilator merupakan petunjuk penggunaan bronkodilator. Pemberian
bronkodilator hendaklah selalu dicoba pada penderita bronkitis kronik.
Obat yang diberikan adalah golongan antikolinergik agonis beta-2 dan
golongan xanthin.
Golongan antikolinergik merupakan pilihan pertama, obat ini diberikan
secara inhalasi yaitu preparat ipratropium bromid. Obat ini mempunyai
beberapa keuntungan dibandingkan go-
longan agonis beta-2, yaitu efek bronkodilatornya lebih besar, tidak
menimbulkan fenomena takifilaksis, tidak mempunyai efek samping
tremor dan palpitasi, tidak mempengaruhi sistem pembersihan mukosilier,
masa kerjanya cukup lama yaitu 68 jam dan theurapetic margin of safety
nya cukup panjang oleh karena obat ini tidak diabsorpsi.
Obat golongan agonis beta-2 yang diberikan secara oral bisa
menimbulkan efek samping tremor, palpitasi dan sakit kepala. Pemberian
obat secara inhalasi mengurangi efek samping ini, selain itu dapat
memobilisasi pengeluaran dahak. Obat ini bekerja dengan mengaktifkan
adenilsiklase dengan akibat meningkatnya produksi siklik AMP dan
menimbulkan relaksasi
otot polos saluran napas.


25

Golongan xanthin merupakan bronkodilator paling lemah, bekerja
dengan menghambat aksi enzim fosfodiesterase, yaitu enzim yang
menginaktifkan siklik AMP. Selain sebagai bronkodilator, obat ini
mempunyai efek yang kuat dan berlangsung lama dalam meningkatkan
daya kontraksi otot diafragma dan daya tahan terhadap kelelahan otot pada
penderita PPOK.
Bronkodilator hendaklah diberikan dalam bentuic kombinasi, tiga
macam obat lebih baik dari dua macam obat, oleh karena mereka
mempunyai efk sinergis. Pemberian secara kombinasi memberikan efek
yang optimal dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan pemberian
monoterapi, selain itu dosis yang rendah memberikan efek samping yang
minimal.
Bila terjadi perubahan warna sputum dengan peningkatan jumlah dahak
dan pertambahan sesak napas, diberikan antibiotika. Pada keadaan
demikian antibiotika diberikan walaupun tidak ada demam, leukositosis
dan infiltrat yang baru pada foto toraks. Diberikan antibiotika golongan
ampisilin, eritromisin atau kotrimoksasol selama 710 hari. Bila pemberian
antibiotika tidak memberi perbaikan perlu dilakukan pemeriksaan
mikroorganisme. Bila infeksi terjadi selama perawatan di rumah sakit
diberikan antibiotika untuk gram negatif.
Pada keadaan dekompensasi kordis diberikan digitalis. Pemberian
dilakukan secara hati-hati, oleh karena intoksikasi dapat terjadi pada
keadaan hipoksemi. Diuretik diberikan apabila terdapat edema paru.
Pemberian kortikosteroid secara oral manfaatnya masih diperdebatkan.
Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian steroid secara
inhalasi menunjukkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Pemberian steroid
inhalasi jangka lama memperlambat progresivitas penyakit. Pada serangan
akut pemberian steroid jangka pendek mempunyai manfaat. Diberikan
prednison 60 mg selama 47 hari, kemudian diturunkan secara bertahap
selama 710 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat
dihentikan tanpa menurunkan dosis secara bertahap.
Pemberian oksigen pada penderita PPOK yang mengalami hipoksemi
kronik dapat menghilangkan beberapa gejala akibat hipoksemi. Pada
eksaserbasi akut dengan hipoksemi sebagai gambaran yang karakteristik,


26

pemberian oksigen merupakan keharusan. Pada keadaan hipoksemi (PaQ
2

< 55 mmHg) pemberian oksigen konsentrasi rendah 13 liter/menit secara
terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi
beban kerja dan pola tidur.
Terdapatnya gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala merupakan
petunjuk dibutuhkannya oksigen pada waktu malam. Pada penderita
hipoksemi dan retensi CO
2
, pemberian oksigen konsentrasi tinggi dapat
berbahaya, karena pada penderita ini rangsangan terhadap pusat
pernapasan yang terjadi tidak lagi disebabkan oleh peninggian CO
2
di
dalam darah tetapi karena adanya hipoksemi. Pemberian oksigen tinggi
dapat menghilang-kan hipoksemi ini, sehingga rangsangan terhadap pusat
napas menurun dan akibatnya terjadi hipoventilasi dan diikuti oleh asidosis
respiratorik.
Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan
rehabilitasi pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk mobilisasi dahak,
latihan bernapas menggunakan otot-otot dinding perut sehingga
didapatkan kerja napas yang efektif. Latihan relaksasi berguna untuk
menghilangkan rasa takut dan cemas dan mengurangi kerja otot yang tidak
perlu. Rehabilitasi psikis perlu untuk menghilangkan rasa cemas dan takut.
Pemakaian obat-obat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan
pusat napas.
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan agar penderita dapat melakukan
pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. Program rehabilitasi bertujuan
mengembalikan penderita pada tingkat
yang paling optimal secara fisik dan psikis. Tindakan ini secara
subjektif bermanfaat buat penderita dan dapat mengurangi hari perawatan
di rumah sakit serta biaya perawatan dan pengobatan, tetapi tidak
mempengaruhi fungsi paru dan analisis gas darah.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan
penyakit adalah :
Menghentikan kebiasaan merokok.
Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko
terjadinya iritasi saluran napas.


27

Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak
terjadi eksaserbasi akut.
Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih
reversibel dapat dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari
penyakit berlanjut menjadi kelainan yang ireversibel dapat dilakukan.
Melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur agar dapat diberikan
obat-obat yang tepat sehingga didapatkan keadaan yang optimal.
Evaluasi faal paru secara berkala. Pemeriksaan faal paru pada PPOK
selain berguna sebagai penunjang diagnostik juga bermanfaat untuk
melihat laju penyakit serta meramalkan
prognosis penderita
.
Peranan N-Asetilsistein pada bronchitis kronik
Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara yang
terpolusi mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis kronik.
Anti oksidan melindungi dan mempertahankan paru dari radikal-radikal
anion superoksid, hidrogen peroksid, radikal hidroksil dan anion
hipohalida yang diproduksi oleh sel radang. Anti oksidan dapat mengubah
oksidan menjadi molekul yang tidak berbahaya terhadap jaringan paru dan
menekan efek radikal bebas dari asap rokok.
N-asetilsistein merupakan suatu antioksidan, yaitu sumber glutation.
Pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan
parenkim paru oleh efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di
samping sebagai anti oksidan, obat ini bersifat mukolitik yaitu
mengencerkan sekret bronkus sehingga mudah dikeluarkan.
Pemberian N-asetilsistein selama enam bulan pada penderita bronkitis
kronik memberikan perbaikan dalam hal jumlah sputum, purulensi sputum,
banyaknya eksaserbasi dan lamanya hari sakit secara bermakna.

B. Emfisema
Emfisema adalah suatu kelainan anatomik paru yang ditandai oleh
pelebaran secara abnormal saluran napas bagian distal bronkus terminalis,
disertai dengan kerusakan dinding alveolus yang ireversibel.


28

Berdasarkan tempat terjadinya proses kerusakan, emfisema dapat dibagi
menjadi tiga :
1. Sentri-asinar (sentrilobular/CLE)
Pelebaran dan kerusakan terjadi pada bagian bronkiolus respiratorius,
duktus alveolaris, dan daerah sekitar asinus.
2. Pan-asinar (panlobular)
Kerusakan terjadi merata di seluruh asinus. Merupakan bentuk yang
jarang, gambaran khas nya adalah tersebar merata di seluruh paru-paru,
meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang lebih parah. Tipe ini
sering timbul pada orang dengan defisiensi alfa-1 anti tripsin.
3. Asinar distal (paraseptal)
Kerusakan pada parenkim paru tanpa menimbulkan kerusakan pada
asinus.
Emfisema dapat bersifat kompensatorik atau obstruktif, yaitu:
a. Emfisema kompensatorik
Terjadi di bagian paru yang masih berfungsi, karena ada bagian paru
lain yang tidak atau kurang berfungsi, misalnya karena pneumonia,
atelektasis, pneumothoraks.
b. Emfisema obstruktif
Terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus yang tidak
menyeluruh, hingga terjadi mekanisme ventil.

Etiologi
Etiologi emfisema menurut Corwin.2000.hal 435 dan Ganong. 2002 .
hal 663 ; Bruner dan Suddarth. 2001. hal 602) adalah : merokok.
Emfisema adalah penyakit yang umum. Tetapi insidensipastinya sulit
diperkirakan karena diagnosis pasti, yang didasarkan pada morfologi,
hanya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan paru saat autopsy. Secara
umum disepakati bahwa emfisema terdapat pada 50% orang dewasa yang
diautopsi. Emfisema jauh lebih sering ditemukan dan lebih parah pada laki
laki. Terdapat keterkaitan yang jelas antara merokok dalam jumlah
besar dengan emfisema. Meskipun emfisema tidak menyebabkan
disabilitas sampai usia sekitar lima puluh hingga delapan puluh tahun,


29

deficit ventilasi sudah dapat bermanifestasi klinik beberapa decade
sebelumnya.

Patogenesis
Pendapat yang berlaku saat ini mengenai emfisema adalah itu terjadi
akibat ketidakseimbangan penting-yakni ketidakseimbangan protease-
antiprotease dan oksidan-antioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir
selalu terjadi bersamaan. Emfisema dipandang sebagai akibat efek
destruktif peningkatan aktivitas protease pada orang dengan aktivitas
antitrypsin yang rendah. Hipotesis ini didukung oleh penelitian pada
hewan percobaan yang mengalami degradasi elastin yang disertai dengan
timbulnya emfisema.
Hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease juga membantu
menjelaskan efek merokok dalam terjadinya emfisema. Secara singkat,
tumbukan partikel asap, terutama di percabangan bronkiolus respiratorik,
mungkin menyebabkan influx neutrofildan makrofag; kedua sel tersebut
mengeluarkan berbagai protease. Peningkatan aktivitas protease yang
terltak di region sentriasinar menyebabkan terbentuknya emfisema pola
sentriasinar. Kerusakan jaringan diperhebat oleh inaktivasi antiprotease
oleh oksigen reaktif yang terdapat dalam asap rokok
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya emfisema paru yaitu
rokok, polusi, infeksi, faktor genetik, obstruksi jalan napas.
1. Rokok
Secara patologis rokok dapat menyebabkan gangguan pergerakkan silia
pada jalan napas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan
hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mucus bronkus. Gangguan pada silia,
fungsi makrofag alveolar mempermudah terjadinya perdangan pada
bronkus dan bronkiolus, serta infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus
dan bronkiolus akan mengakibatkan obstruksi jalan napas, dinding
bronkiolus melemah dan alveoli pecah.
Disamping itu, merokok akan merangsang leukosit polimorfonuklear
melepaskan enzim protease (proteolitik), dan menginaktifasi antiprotease
(Alfa-1 anti tripsin), sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas
keduanya.


30

2. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya
emfisema. Insidensi dan angka kematian emfisema dapat lebih tinggi di
daerah yang padat industrialisasi. Polusi udara seperti halnya asap
tembakau juga menyebabkan gangguan pada silia, menghambat fungsi
makrofag alveolar.
3. Infeksi
Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat.
Penyakit infeksi saluran napas seperti pneumonia, bronkiolitis akut, asma
bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan napas, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
4. Faktor genetik
Defisiensi Alfa-1 anti tripsin. Cara yang tepat bagaimana defisiensi
antitripsin dapat menimbulkan emfisema masih belum jelas.
5. Obstruksi jalan napas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus,
sehingga terjadi mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus
pada waktu inspirasi akan tetapi tidak dapat keluar pada waktu ekspirasi.
Etiologinya ialah benda asing di dalam lumen dengan reaksi lokal, tumor
intrabronkial di mediastinum, kongenital. Pada jenis yang terakhir,
obstruksi dapat disebabkan oleh defek tulang rawan bronkus.

Patofisiologi
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai
perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat
menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru.
Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari
obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana
pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pada
pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara yang
bertambah di sebelah distal dari alveolus.
Pada Emfisema obstruksi kongenital bagian paru yang paling sering
terkena adalah belahan paru kiri atas. Hal ini diperkirakan oleh mekanisme
katup penghentian.


31

Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang rawan yang terdapat di
dalam bronkus-bronkus yang cacat sehingga mempunyai kemampuan
penyesuaian diri yang berlebihan.
Selain itu dapat juga disebabkan stenosis bronkial serta penekanan dari
luar akibat pembuluh darah yang menyimpang. Mekanisme katup
penghentian : Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat
dari obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus
dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari
pemasukannya dan penimbunan udara di alveolus menjadi bertambah di
sebelah distal dari paru.
Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan
elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi
keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke laur yaitu
disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan
yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru.
Bila terpapar iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-).
Sebagian besar partikel bebas ini akan sampai di alveolus waktu
menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak
paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya
dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi dari anti elastase pada
saluran napas. Sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus.
Partikel asap rokok dan polusi udara mengenap pada lapisan mukus yang melapisi
mukosa bronkus. Sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang
melapisi mukosa berkurang. Sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat.
Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan
gangguan aktivitas silia. Bila oksidasi dan iritasi di saluran nafas terus
berlangsung maka terjadi erosi epital serta pembentukanjaringan parut. Selain itu
terjadi pula metaplasi squamosa dan pembentukan lapisan squamosa. Hal ini
menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel
sehingga terjadi pelebaran alveolus yang permanen disertai kerusakan dinding
alveoli.


32


gambar 4. pathogenesis emfisema.

Gejala Klinis
Menurut Corwin. 2000. hal 436 dan Ganong. 2002. hal 663 tanda dan
gejala bronkhitis kronis antara lain adalah sebagai berikut :
a. Dada mengembang atau barrel chest
b. Hipoksia hiperkapnia
c. Takipnea
d. Pembentukan mucus

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan emfisema secara umum meliputi :
1. Penatalaksanaan umum.
2. Pemberian obat-obatan.
3. Terapi oksigen.
4. Latihan fisik.
5. Rehabilitasi.
6. Fisioterapi.



33

BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Asma bronkial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten,
reversible dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap
stimuli tertentu. Asma bronkial adalah suatu penyakit dengan ciri
meningkatnya respon bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya
dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan
(The American Thoracic Society). Umumnya prognosis baik dengan
penatalaksanaan yang tepat.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (disingkat PPOK, atau singkatan
bahasa Inggris COLD, COPD, CAO, CNSLD, CARA) dimaksudkan
pada sekelompok penyakit paru menahun yang mengakibatkan
obstruksi jalan nafas yang bersifat irreversibel oleh penyebab (etiologi)
yang tidak diketahui pasti . Hambatan udara biasanya progresif dan
ada hubungannya dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap
bahan-bahan berbahaya.
3.2 SARAN
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari makalah kami, baik dari
segi materi maupun penulisan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran dari berbagai pihak.

You might also like