You are on page 1of 31

TERIMA KASIH TELAH MENJADI BAGIAN HIDUPKU SELAMA INI

TERIMA KASIH TELAH MEWARNAI HIDUOKU


TERIMAKASIH DAN TRERIMAKASIH



Keutamaan Ali bin Abi Thalib
BY EDITOR JANUARY 2, 2014
3
Imam Ali bin Abi Thalib adalah khalifah rasyid yang keempat. Keutamaan dan
keistimewaannya adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi kecuali oleh orang-
orang Khawarij (Ibnu Muljam dan komplotannya) yang lancang memerangi
bahkan menumpahkan darahnya.
Berbeda dengan tiga khalifah sebelumnya, dimana sebagian orang terjebak dalam
kesalahan dengan merendahkan kedudukan mereka, Ali bin Abi Thalib sebaliknya,
orang-orang terjebak dalam kekeliruan, penyimpangan dan kesesatan bahkan
kekufuran karena berlebih-lebihan dalam mengagungkannya. Sebagaimana
Abdullah bin Saba dan orang-orang yang mengikutinya.
Suwaid bin Ghafalah datang menemui Ali radlhiallaahu anhu di masa
kepemimpinannya. Lalu Suwaid berkata, Aku melewati sekelompok orang
menyebut-nyebut Abu Bakr dan Umar (dengan kejelekan). Mereka berpandangan
bahwa engkau juga menyembunyikan perasaan seperti itu kepada mereka berdua.
Di antara mereka adalah Abdullah bin Saba dan dialah orang pertama yang
mengampanyekan hal tersebut. Ali menjawab, Aku berlindung kepada Allah
menyembunyikan sesuatu terhadap mereka berdua kecuali kebaikan. Kemudian
beliau mengirim utusan kepada Abdullah bin Saba dan mengusirnya ke al-Madain.
Ia juga berkata, Jangan sampai engkau tinggal satu negeri bersamaku selamanya.
Kemudian ia berdiri menuju mimbar dan orang-orang pun berkumpul Ali
berkata, Ketahuilah, jangan pernah sampai kepadaku dari seorang pun yang
mengutamakan aku dari mereka berdua melainkan aku akan mencambuknya
sebagai hukuman untuk orang yang berbuat dusta.
Ali bin Abi Thalib mengatakan, Sesungguhnya mengikuti hawa nafsu
menghalangi dapat seseorang dari kebenaran dan panjangan angan-angan dapat
membuatnya lupa akhirat.
Nasabnya
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay
bin Kilab bin Murrah bin Kaab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-
Nadhar bin Kinanah. Rasulullah memberinya kun-yah Abu Turab. Ia adalah
sepupu sekaligus menantu Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam.
Ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Qushay bin Kilab. Ali
memiliki beberapa orang saudara laki-laki yang lebih tua darinya, mereka adalah:
Thalib, Aqil, dan Jafar. Dan dua orang saudara perempuan; Ummu Hani dan
Jumanah.
Ayahnya, Abu Thalib yang nama aslinya adalah Abdu Manaf. Abu Thalib adalah
paman kandung Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang sangat menyayangi
Nabi, namun ia wafat dalam agama jahiliyah.
Sifat Fisiknya
Ali bin Abi Thalib adalah laki-laki berkulit sawo matang, bola mata beliau besar
dan agak kemerah-merahan. Untuk ukuran orang Arab, beliau termasuk pendek,
tidak tinggi dan berjanggut lebat. Dada dan kedua pundaknya putih. Rambut di
dada dan pundaknya cukup lebat, berwajah tampan, memiliki gigi yang rapi, dan
ringan langkahnya (ath-Thabaqat al-Kubra, 3: 25)
Keutamaan Ali bin Abi Thalib
- Termasuk Seseorang Yang Dijamin Surga
Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallambersabda,
Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di
surga, az-Zubair di surga, Saad (bin Abi Waqqash) di surga, Said (bin Zaid) di
surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga. (HR.
at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Albani).
- Rasulullah Mengumumkan di Khalayak Bahwa Allah dan Rasul-Nya
Mencintai Ali
Saat Perang Khaibar, Rasulullah hendak memberikan bendera komando perang
kepada seseorang. Diriwayatkan dari Sahl bin Saadi, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
Demi Allah, akan aku serahkan bendera ini esok hari kepada orang yang
mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dia dicintai Allah dan Rasul-Nya. Semoga
Allah memberikan kemenangan melalui dirinya. Maka semalam suntuk orang-
orang (para sahabat) membicarakan tentang siapakah di antara mereka yang akan
diberikan bendera tersebut. Keesokan harinya, para sahabat mendatangi
Rasulullah, lalu beliau bersabda, Dimanakah Ali bin Abi Thalib? Dijawab,
Kedua matanya sedang sakit. Rasulullah memerintahkan, Panggil dan bawa dia
kemari. Dibawalah Ali ke hadapan Rasulullah, lalu beliau meludahi kedua
matanya yang sakit seraya berdoa untuknya. Seketika Ali sembuh total seolah-olah
tidak tertimpa sakit sebelumnya. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam menyerahkan bendera kepadanya. Lalu Ali berkata, Wahai Rasulullah, aku
memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita. Rasululah bersabda,
Majulah dengan tenang, sampai engkau tiba di tempat mereka. Kemudian ajaklah
mereka kepada Islam dan sampaikanlah hak-hak Allah yang wajib mereka
tunaikan. Demi Allah, sekiranya Allah member petunjuk kepada seseorang melalui
dirimu, sungguh lebih berharga bagimu daripada memiliki onta-onta merah. (HR.
Muslim no. 4205).
- Kedudukan Ali di Sisi Rasulullah
Ibrahim bin Saad bin Abi Waqqash meriwayatkan dari ayahnya, dari
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda kepada Ali, Apakah
engkau tidak ridha kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa.
(Muttafaq alaihi).
Hadis ini Rasulullah sampaikan kepada Ali saat beliau tidak menyertakan Ali bin
Abi Thalib dalam pasukan Perang Tabuk. Beliaushallallahu alaihi wa
sallam memerintahkannya agar menjadi wakil beliau di kota Madinah. Ali yang
merasa tidak nyaman hanya tinggal bersama wanita, anak-anak, dan orang tua yang
udzur tidak ikut perang dihibur Rasulullah dengan sabda beliau di atas.
Sad bin Abi Waqqash radlhiallahu anhu membawakan hadits semisal dalam ash-
Shahihain:


Dari Saad bin Abi Waqqash ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam pernah memberi tugas Ali bin Abi Thalib saat perang Tabuk (untuk
menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). Ali pun berkata, Wahai
Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di
rumah ? Maka beliau menjawab, Tidakkah engkau rela mendapatkan kedudukan
di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku
? (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 4416 dan Muslim no. 2404).
Hadis ini dipakai oleh orang-orang yang berlebihan dalam mengagungkan Ali bin
Abi Thalib sebagai legitimasi bahwa Ali lebih mulia dari Abu Bakar dan Umar.
Padahal hadis ini adalah pembelaan Rasulullah terhadap Ali yang dituduh oleh
orang-orang munafik bahwa dia merasa berat untuk berangkat perang.
Ali berkata, Wahai Rasulullah, orang-orang munafik mengatakan bahwa engkau
menugaskan aku karena engkau memandang aku berat untuk berangkat jihad dan
kemudian memberikan keringanan. Beliau shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, Mereka telah berdusta! Kembalilah, aku menugaskanmu untuk
mengurus keluargaku dan keluargamu. Tidakkah engkau rela mendapatkan
kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada
nabi setelahku?. Maka Ali pun akhirnya kembali ke Madinah (Taariikhul-Islaam,
1: 232).
Ayah Dari Pemimpin Pemuda Surga
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu adalah ayah dari dua orang cucu kesayangan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yakni Hasan dan Husein. Kedua cucu
beliau ini adalah pemimpin para pemuda di surga.
Rasulullah bersabda,

al-Hasan dan al-Husain adalah pemimpin pemuda ahli Surga. (HR. at-Tirmidzi,
no. 3781)
Penutup
Ali bin Abi Thalib mengatakan,

- -

Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan melepaskan angin. Sesungguhnya Nabi
telah berjanji kepadaku bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali ia seorang
mukmin, dan tidak ada yang membenciku kecuali ia seorang munafik. (HR.
Muslim, no. 249)
Tentu saja, mencintai Ali bukan hanya klaim semata. Mencintainya adalah dengan
mengikuti perintahnya, tidak melebih-lebihkannya dari yang semestinya, dan
mencintai orang-orang yang ia cintai. Ali mengutamakan Abu Bakar dan Umar
atas dirinya, demikian juga semestinya orang-orang yang mengaku mencintainya,
mengikuti keyakinannya.
Sumber: al-Bidayah wa an-Nihayah dl


Kisah Teladan Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu Anhu
Ali bin Abi Thalib dilahirkan pada tahun (599-661 M), satu-satunya manusia yang dilahirkan di bawah naungan
Kabah. Dengan nama asli Haidar, nama ini diharapkan oleh keluarganya mempunyai penerus yang dapat
menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Makkah. Nama Ali ini, merupakan panggilan
Rasulullah. Ali yang berarti tinggi.
Ali dilahirkan dari pasangan Abu Thalib dan Fatimah bin Asad, keduanya merupakan keturunan Bani Hasyim
dan termasuk sepupu dari Rasulullah. Ketika Abu Thalib mengalami kebangkrutan dalam usahanya, ia
mengirim putra-putranya ke tempat saudara-saudaranya. Ali bin Abi Thalib di asuh oleh Rasulullah bersama
istrinya Khadijah Al-Kubra. Karena Rasulullah tidak mempunyai anak laki-laki, Nabi sering memperlakukan
Ali bin Abi Thalib sangat istimewa.
Ketika Rasulullah menerima wahyu Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau lebih
tepatnya orang kedua yang percaya setelah istri Nabi yaitu Khadijah. Pada waktu itu usia Ali masih sekitar 10
tahun.
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah Ali dinikahkan oleh Rasulullah dengan putri kesayangannya
Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Rasulullah menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak
hal salah satunya dari kalangan Bani Hasyim, dan Ali pula yang paling dulu mempercayai kenabian Muhammad
setelah Khadijah. Ali bin Abi Thalib selalu belajar di bawah bimbingan Rasulullah langsung dalam banyak hal
lain.
Ali bin Abi Thalib merupakan panglima perang yang gagah berani dengan pedangnya yang bernama Dzulfikar
menebas musuh-musuhnya di medan pertempuran melawan kafir Quraisy. Ali bin Abi Thalib telah banyak
mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah kecuali pada perang Tabuk, dia terkenal dalam ketangguhan
menunggang kuda dan keberaniannya, dia merupakan salah seorang yang di jamin masuk surga oleh Rasulullah,
pada saat dirinya masih hidup, dialah kesatria umat Islam.
Para sejarah Islam berpendapat bahwa kulit Ali berwarna hitam manis, berjenggot tebal, lelaki kekar, berbadan
besar, berwajah tampan, dan di beri nama kunyah oleh Rasulullah dengan sebutan Turab.
Sahabat yang satu ini memiliki citra kepahlawanan yang sangat cemerlang sebagai bukti atas keberaniannya
dalam membela agama Islam. Di antaranya, dia menginap di ranjang Rasulullah pada saat peristiwa hijrah, dia
mempersembahkan dirinya untuk sebuah kematian demi membela Rasulullah, dialah orang pertama bersama
Hamzah dan Ubaidah bin Al-harits yang memenuhi panggilan perang tanding. Dan dia juga termasuk kelompok
kecil yang tetap tegar bersama Rasulullah pada perang Uhud.
Pada perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam, Ali bin Abi Thalib menjadi pahlawan di samping
Hamzah. Banyak dari kalangan kaum kafir Quraisy tewas di tangan Ali, dalam usia yang masih mudah yaitu
sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq merupakan saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud.
Amar bin Abdi Wud mengajak duel kepada tentara Islam sebelum peperangan dimulai. Dia berkata: Di
manakah surga yang kalian klaim bahwa jika mati kalian pasti memasukinya? Apakah kalian tidak memberikan
aku seorang lelaki untuk berperang melawanku? Maka Ali bin Abi Thalib keluar menghadapinya. Kemudian
Amar bin Abdi Wud berkata: Kembalilah wahai anak saudaraku, dan siapakah paman-pamanmu yang lebih tua
darimu, sesungguhnya aku tidak suka menumpahkan darah seorang lelaki sepertimu. Maka Ali bin Abi Thalib
berkata: Demi Allah, aku tidak sedikit pun merasa banci menumpahkan darahmu. Maka Amar pun marah dan
turun dengan menghunus pedangnya seperti kilatan api, lalu bergegas menantang Ali dengan emosi yang
meluap. Maka Ali pun menghadapinya dengan sebuah perisai lalu Amru menyabetkan pedangnya hingga
menancap pada perisai dan melukai kepala Ali, kemudian Ali memukulkan pedangnya ke pundak musuhnya
sehingga, Amar tersungkur hingga terdengarlah suara gaduh para prajurit Islam, Kemudian setelah Rasulullah
mendengar suara takbir, maka beliau mengetahui bahwa Ali telah menewaskan musuhnya. Ketika Ali bin Abi
Thalib kembali, Rasulullah mencium Ali dengan berurai air mata.
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, di
kemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan
di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu
membuka benteng Khaibar, Rasulullah bersabda: Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang
tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan
baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, ternyata Ali bin
Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil
membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga
terbelah menjadi dua bagian.
Ali merupakan salah seorang yang dididik langsung oleh nabi sejak kecil, sehingga pengetahuan ilmunya sangat
luas, baik pemahaman tentang Islam, dalam memerintah, dan bergaul antar sesama. Sehingga Rasulullah
bersabda tentang keilmuan Ali bin Abi Thalib, Ana Madinatul ilmi wa Aliyyun babuha. Faman Aradal
madinah fa yatihamin babihi- Akulah kota ilmu dan Ali-lah pintunya Barang siapa yang mau memasuki kota,
hendaklah ia datang melalui pintunya. Hadits ini sanadnya bersambung langsung sampai Rasulullah.
Ada satu peristiwa yang menandakan bahwa Ali cerdas dalam ilmunya, datang seorang wanita kepada Umar bin
Khathab dan telah melahirkan seorang anak lelaki yang telah berumur enam bulan lalu diperintahkan agar
wanita tersebut di rajam.
Maka Ali berkata kepada Umar: Wahai Amirul Mukminin tidakkah engkau mendengar firman Allah Taala: Ali
berkata: Masa kehamilan adalah enam bulan dan menyapihnya dalam masa dua tahun.
Maka Umar pun menggagalkan eksekusi rajam dan dia berkomentar: Sebuah perkara yang seandainya Ali bin
Abi Thalib tidak memberikan pendapat padanya maka niscaya aku binasa.
Di antara perkataan Ali bin Abi Thalib adalah, ambillah lima perkara dariku janganlah seorang hamba
mengharap kecuali kepada Tuhannya, tidak khawatir kecuali terhadap dosa-dosanya, janganlah orang yang tidak
mengetahui merasa malu bertanya tentang apa yang tidak diketahuinya, dan janganlah orang yang alim merasa
malu mengatakan: Allah yang lebih mengetahui jika dia ditanya tentang perkara yang tidak diketahuinya,
kedudukan sabar terhadap keimanan sama seperti kedudukan kepala dalam jasad dan tidak ada keimanan tanpa
kesabaran.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, dalam
pemerintahannya Ali bin Abi Thalib mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar
biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumnya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena di bunuh oleh
Abdurrahman bin Muljam, seseorang yang bersal dari golongan Khawarij saat mengimami shalat subuh di
masjid Kufah, pada tahun 19 Ramadhan, dan Ali pun menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 13
Rmadhan tahun 40 Hijriah. Ali kuburkan secara Rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang
mengatakan bahwa Ali dikubur di tempat lain. Akan tetapi yang jelas seorang Ali bin Abi Thalib merupakan
kesatria panglima Islam dalam menumpas kafir Quraisy demi tegaknya kalimah Laaila ha illlah Muhammadar
Rasulullah
Kisah Ali Bin Abi Thalib Sampai Terbunuh

Ali bin Abi Thalib seorang Khalifah yang
pemberani, kisah lengkap Ali bin Abi Thalib ditulis kembali agar pembaca bisa mengetahui sejarah yang
sebenarnya mulai Ali bin Abi Thalib sebelum menjadi khalifah sampai akhir hayatnya terbunuh.

Ali bin Abi Thalib adalah menantu Rasulillah yang mendapat nama kehormatan (kuniyyah) Abu Turab
(Bapaknya tanah) dari Rasulillah. Abu Turab adalah panggilan yang paling disenangi oleh Ali karena nama
kehormatan ini kenang-kenangan berharga dari Nabi yang mulia. Ia dibaiat menjadi Khalifah pada hari Jumat
tanggal 25 Dzul-Chijjah tahun 35 Hijriyyah (4 Juni 656 M).

Sabda Nabi :


"Niscaya besok pagi bendera ini akan saya berikan pada seorang lelaki yang telah diberi kemenangan karena
usahanya. Ia dicintai Allah dan Utusan Allah dan utusan Allah juga mencintainya".

Pada masa perang Khaibar bulan Shafar tahun tujuh Hijriyah dia telah menjadi tokoh utama bagi umat Islam
pada umumnya. Setelah sabda yang menggiurkan tersebut terucap, para shahabat membicarakan siapa orang
beruntung yang akan mendapatkan kehormatan tersebut. Setelah itu mereka semua berambisi menjadi tokoh
agung tersebut.


Di suatu pagi yang indah semua sahabat termasuk Umar yang tidak pernah ingin menjadi pemimpin,
berkeinginan untuk terpilih. Ternyata Ali bin Abi Taliblah yang menerima kesempatan besar tersebut. Ali bin
Abi Talib juga dianugerahi karena telah membunuh Talha ibn' Uthman di perang Uhud pada bulan Syawal
tahun 3 (tiga) Hijriyyah (Januari 625 M)
:


: :

Talha bin 'Uthman pembawa bendera kaum musyrik berkata," Wahai para golongan sahabat Muhammad,
engkau yang berkeyakinan bahwa Tuhan akan mempercepat kami ke neraka dengan pedang kalian, dan
mempercepat kamu ke surga melalui pedang kami. Sekarang siapakah yang sanggup mempercepat diri kalian ke
Surga karena pedang kami atau mempercepat kami ke neraka dengan pedang kalian? Ali akhirnya menerima
tantangan tersebut, bergerak cepat memukul mematahkan kakinya. Ia jatuh hingga terlihat auratnya karena kain
yang ia kenakan tersingkap, dan memohon kepada Ali agar takut kepada Allah dan meminta-minta menjadi
sahabatnya, lalu Ali meninggalkannya. Tiba-tiba Nabi memekikan takbir demi melihat pemandangan tersebut
dan bertanya,"Apa yang membuatmu tidak menghabisinya? Ali menjawab,"Ia memohon-mohon padaku untuk
memperhatikan Allah dan keluarga kami, sehingga saya merasa enggan".[Al-Kamil fit-Tarikh 1 / 294]

Thabrani murid Achmad bin 'Ali Abu al-Abbar murid Umayyad murid Uthman ibn' Abdir-Rahman murid
Isma'il ibn Rashid bercerita tentang kematian 'Ali ibn' Abi Talib, yang bertepatan dengan hari Jum'at 17
Ramadan tahun 40 Hijriyyah (24 January 661M): Konon termasuk Hadits Ibnu Muljam dan shahabat-shabatnya
yang dilaknat Allah ialah: Memang Abdur-Rahman bin Muljam, Al-Barku bin Abdillah dan Amer bin Bakr
At-Taimi mengadakan pertemuan di Makkah untuk membahas tentang ihwal masyarakat umum dan mencela
perbuatan tokoh-tokoh besar Muslimiin. Pembicaraan tersebut berkembang ke arah pembahasan kepedulian
mereka pada penduduk kota Nahar yang dulu pernah diperangi Ali. Mereka berkata, Demi Allah kita ini
belum berjasa sebanyak tokoh-tokoh (Khawarij) yang telah mendahului kita. Tokoh-tokoh pendahulu kita telah
menjadi dai yang mengajak orang-orang agar beribadah pada Tuhan mereka, dan di dalam beribadah mereka
tidak takut caci-makian orang mencaci-maki. Hendaklah kita-kita ini mengorbankan diri-kita dengan cara
mendatangi dan memastikan tokoh-tokoh besar Muslimin terbunuh, sebagai upaya agar penduduk-kota kita
tidak dendam dan agar dendam pendahulu kita terbalas. Ibnu Muljam yang konon sebagai penduduk Mesir
berkata, Sayalah yang membereskan urusan kalian berupa menghabisi Ali. Al-Barku bin Abdillah berkata,
Sayalah yang akan membereskan urusan kalian berupa menghabisi Muawiyyah bin Abi Sufyan. Amer bin
Bakr At-Tamimi berkata, Sayalah yang akan membereskan urusan kalian berupa menghabisi Amer bin Ash.
Tiga orang yang terancam kematiannya ini tokoh besar ummat Islam yang saat itu namanya menggetarkan dunia
karena saat itu zaman kejayaan Islam:
1. Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang sangat agung.
2. Muawiyyah sebagi Gubernur yang sangat berpengaruh karena pernah menjadi sekretaris Rasulillah.
3. Amer bin Ash orang yang pernah diangkat sebagai panglima perang oleh Abu Bakr, bahkan tergolong
Umaraul-Ajnad (semacam jendral besar).
Mereka bertiga membuat persekongkolan dan perjanjian rahasia yang diikat dengan sumpah demi Allah tak
seorangpun dari mereka mem-batalkan rencananya sehingga berhasil membunuh sasaran mereka masing-masing
atau mati karena rencana gila tersebut. Mereka bertiga mengambil pedang untuk diberi racun, dan membulatkan
perjanjian bahwa masing-masing mereka bertiga akan menyerang korban mereka tanggal 17 Ramadhan. Mereka
bertiga pergi ke kota yang dihuni oleh sasaran mereka masing-masing.

Ibnu Muljam Al-Muradi mendatangi sahabat-sahabatnya berada di kota Kufah, namun ia menyembunyikan
rencananya karena takut akan ada yang mengetahuinya. Ibnu Muljam juga mendatangi teman-temannya dari
keluarga besar Taimir-Rabab, yaitu sebuah keluarga besar yang pada zaman perang An-Nahar banyak yang mati
terbunuh. Keluarga besar Taimir-Rabab membicarakan dan mengasihani keluarga mereka yang meninggal
dalam peperangan tersebut. Kebetulan saat itu muncul seorang wanita bernama Qatham binti Sachnah dari
keluarga besar Taimir-Rabab yang memendam dendam pada Ali karena telah membunuh ayah dan saudara
laki-lakinya dalam perang Nahar tersebut. Konon kecantikan Qatham binti Sachnah luar biasa (sempurna).
Karena kecantikan Qatham binti Sachnah lah maka ia lupa dengan tujuan semula (tersihir). Ibnu Muljam
melamar Qatham binti Sachnah. Qatham binti Sachnah menjawab, Saya tidak akan menikah sehingga kau bisa
mengobati sakit-hatiku. Ibnu Muljam bertanya, Sebetulnya apa yang kau inginkan?. Ia menjawab, Tiga ribu
dinar dan budak laki-laki dan biduanita dan bunuhlah Ali !. Ibnu Muljam berkata, Berarti ini sebagai
maskawin untukmu. Namun apa betul kamu ingin Ali dibunuh?.

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi Ayyasy Al-Muradi berkata,

(Sebetulnya tidak ada


maskawin yang lebih mahal dari pada membunuh Ali bin Abi Thalib ).

Ia menjawab, Betul!. Pastikan pembunuhan tersebut pada waktu-bulan-ghurrah (sekitar tanggal 15)!. Jika kau
berhasil maka kita berdua puas, selanjutnya kita berdua hidup berbahagia penuh manfaat. Namun jika kau yang
mati terbunuh, maka yang di sisi Allah jauh lebih baik dari pada dunia dan perhiasan penghuninya. Ibnu
Muljam berkata, Sebetulnya kedatanganku kemari memang bertujuan membunuh dia. Ia menjawab, Jika
tekadmu telah bulat kabarilah saya, saya akan menyuruh orang agar membantu dan mendukungmu. Akhirnya
Qatham perintah lelaki dari keluarganya yang menyanggupinya bernama Wardan. Ibnu Muljam mendatangi
lelaki (shahabat karibnya) dari keluarga besar Asyja bernama Syabib bin Najdah untuk berkata, Bukankah kau
mau mendapatkan kejayaan dunia dan akhirat?. Ia menjawab, Apa maksudmu?. Ibnu Muljam menjawab,
Membunuh Ali . Ia menjawab, Kau ini gila.

Niscaya kau telah melakukan kegilaan yang nyata. Apa mungkin kau bisa membunuh
dia?. Ibnu Muljam berkata, Saya akan bersembunyi di waktu sahur. Jika ia telah keluar rumah untuk
mengimami shalat shubuh, maka saat itu juga kita serang dan kita bunuh. Jika dalam rencana ini kita selamat
maka kita puas dan dendam kita telah terbalas, namun jika kita mati maka pahala di sisi Allah jauh lebih baik
dari pada dunia dan perhiasan penghuninya. Ia berkata, Kau memang harus kubantu. Tapi kalau rencana ini
ditujukan pada selain Ali niscaya urusannya lebih ringan bagiku. Karena saya tahu sepenuhnya bahwa jasa dia
di dalam Islam sangat besar. Ia juga termasuk shahabat Nabi yang awal. Terus terang dalam hal ini saya merasa
keberatan. Ibnu Muljam berkata, Bukanakah kau sendiri tahu bahwa dia yang memerangi penduduk Nahar
yang tekun beribadah dan shalat?. Ia menjawab, Betul. Ibnu Muljam berkata, Kita membunuh dia karena
membalaskan saudara-saudara kita yang dia bunuh saat itu. Setelah Syabib bin Najdah menyetujuinya, mereka
bertiga segera berpamitan, Kami semua telah mufakat akan membunuh Ali, pada Qatham yang saat itu
sedang itikaf di dalam Masjid Agung. Qatham menjawab, Jika kalian telah siap berangkat datanglah kemari
lagi!. Ibnu Muljam datang untuk berkata pada Qatham, Saya dan dua teman saya telah berjanji akan bahwa
masing-masing kami akan membunuh seorang tokoh besar. Tak lama kemudian Qatham minta kain sutra untuk
dibalutkan pada mereka bertiga, (mungkin untuk memberi mereka support).

Mereka bertiga mengambil pedang mereka masing-masing lalu selanjutnya berangkat menuju depan pintu yang
biasanya dipergunakan keluar oleh Ali. Akhirnya Ali keluar untuk mengimami shalat shubuh sambil berkata,
Shalat shalat. Syabib bin Najdah bergerak cepat menyerang Ali dengan pedang, namun pedangnya
menghantam gawan pintu atau ornament. Ibnu Muljam bergerak cepat memukul ujung kepala Ali dengan
pedang.

Wardan berlari cepat pulang ke rumahnya; dikejar anak laki-laki ibunya. Lelaki tersebut memasuki rumah
Wardan di saat Wardan sedang melepas kain sutra dan meletakkan pedangnya. Lelaki tersebut bertanya, Ada
apa dengan kain sutra dan pedang ini?. Wardan terpaksa berterus terang padanya. Lelaki tersebut bergegas
pulang ke rumah untuk mengambil dan menebaskan pedangnya hingga Wardan mati.

Syabib melarikan diri ke arah pintu-gerbang-pintu-gerbang kota Kindah dikejar masya. Syabib roboh bersimbah
darah karena kakinya dipedang dan dibanting oleh Uwaimir dari Chadhramaut. Ketika masya pengejar Syabib
telah makin dekat; saat itu Syabib telah menguasai pedangnya. Uwaimir membiarkan Syabib kabur dan
memasuki kerumunan masya dari pada dirinya terkena serangannya.

Ibnu Muljam jatuh saat melarikan diri dari kejaran lelaki dari Hamdan yang biasa dipanggil Aba Adama karena
kakinya dipatahkan dengan pedang oleh lelaki tersebut. Ali mendorong punggung

(Jadah bin Hubairah bin Abi Wahb) agar mewakili mengimami jamaah shalat shubuh; sebagaian jamaah
berlarian dari segala penjuru untuk menyerang Ibnu Muljam.

Sejumlah orang melaporkan bahwa Muhammad bin Chunaif berkata: Demi Allah, di malam Ali bin Abi
Thalib dipedang; saat itu saya shalat bersama lelaki-lelaki kota tersebut di dalam Masjid Agung tersebut, yaitu
di dekat pintu-keluar rumah Ali menuju Masjid. Di antara mereka ada yang sedang berdiri, ada yang sedang
rukuk, ada yang sedang sujud. Mereka tak bosan-bosan melakukan shalat sejak awal hingga akhir malam. Tiba-
tiba Ali keluar pintu untuk mengimami shalat shubuh sambil menyerukan, Shalat shalat. Saya sendiri tidak
tahu apakah lebih dulu ia mengucapkan kalimat tersebut ataukah duluan kulihat pedang-pedang mengkilap.
Saya mendengar,

(Tiada hukum kecuali kekuasaan Allah, bukan


hakmu ya Ali, dan bukan hak shahabat-shahabatmu). Lalu kulihat pedang berkelebat. Lalu kulihat masya
berdatangan. Saya mendengar Ali perintah, Jangan sampai lelaki itu lepas!. Sejenak kemudian masya dari
segala penjuru berlari cepat mengejarnya. Saya berada di dalam lokasi tersebut hingga Ibnu Muljam tertangkap
dan dimasukkan ke rumah Ali bin Abi Thalib.

Saya memasuki rumah Ali mengikuti orang-orang. Tiba-tiba saya mendengar Ali bin Abi Thalib
berkata,

(Jiwa dibalas dengan jiwa. Jika saya mati maka bunuhlah


dia sebagaimana memedangku)!. Namun jika saya masih hidup, maka telah punya pandangan sebaiknya dia
diapakan?. Di saat Ibnu Muljam dibawa masuk ke rumah Ali; Ali bertanya, Ya musuh Allah, bukankah saya
telah berbuat baik padamu?, bukankah saya telah memperlakukan kamu dengan baik?. Ia menjawab, Betul.
Ali bertanya, Lalu apa yang mendorongmu melakukan ini?. Saya telah mengasah pedangku selama empat
puluh shubuh lalu berdoa agar Allah membunuh sejelek-jelek makhluq-Nya dengan pedang ini. Ali berkata,
Saya yakin kamu akan mati terbunuh dengan pedang ini, dan kamu termasuk makhluq Allah paling jelek.
Konon dua tangan Ibnu Muljam diikat erat hingga belikat di depan Chasan.

Tiba-tiba putri Ali bernama Ummu Kultsum menangis, Hai musuh Allah, ayahku tidak apa-apa; sementara
kamu akan dihinakan oleh Allah. Ibnu Muljam menjawab, Kenapa kau menangis?. Demi Allah pedang itu
kubeli seharga seribu (dinar), dan telah kuberi seribu racun. Kalau pukulan pedangku ini melukai seluruh
penduduk kota ini pasti mereka tidak mampu bertahan hidup satu jam pun. Namun ayahmu masih juga hidup
hingga saat ini. Ali berkata pada Chasan, Jika aku bertahan hidup, aku telah mempunyai perhitungan. Namun
jika aku mati karena pukulan pedang ini, maka pukullah dengan pedang sekali saja, jangan kau siksa. Sebab
sungguh aku pernah mendengar Rasulallah melarang menyiksa meskipun pada anjing buas. Sebuah riwayat
menjelaskan bahwa Jundub bin Abdillah memasuki rumah Ali untuk memohon, Jika kami kehilangan tuan,
maka kami akan berbaiat pada Chasan. Ali bin Abi Thalib menjawab, Yang ini saya tidak perintah dan tidak
melarang, kalian yang lebih tahu.

Ketika Ali bin Abi Thalib telah wafat; Chasan perintah agar Ibnu Muljam dibawa masuk ke rumahnya. Ibnu
Muljam berkata ketika telah masuk ke rumah Chasan, Bolehkah saya minta sesuatu?, demi Allah sejak dulu
jika saya bersumpah pada Allah pasti saya laksanakan. Saya pernah bersumpah pada Allah akan membunuh Ali
dan Muawiyyah, atau saya mati saat menyerang mereka berdua. Jika kau setuju lepaskanlah saya agar
membunuh dia. Saya bersumpah pada Allah jika saya gagal membunuhnya, saya akan menyerahkan tanganku
pada tanganmu.

Sepertinya Ibnu Muljam yakin sepenuhnya bahwa Chasan sangat benci Muawiyyah bin Abi Sufyan, sehingga
ia menawarkan jasa membunuh Muawiyyah agar Chasan mau melepaskannya.

Chasan menjawab, Demi Allah tidak bisa, atau kamu akan menyaksikan neraka. Chasan perintah agar Ibnu
Muljam diajukan untuk dibabat kepalanya dengan pedang. Selanjutnya mayat tersebut dimasukkan dalam
bawari (tempat). Tak lama kemudian masya membakarnya dengan api. Sebelum itu Ali bin Abi Thalib telah
berpesan, Ya keluarga besar Abdul-Muthalib, jangan sampai terjadi suatu saat nanti saya menjumpai kalian
berkecimpung dalam darahnya Muslimiin hanya karena beralasan ini kami lakukan karena Amirul-Muminiin
dibunuh, ini kami lakukan karena Amirul-Muminiin dibunuh. Ingat, tidak boleh ada yang dibunuh kecuali
orang yang telah membabatkan pedangnya padaku!.
Luar biasa, di saat kemarahan Ali bin Abi Thalib di puncak, ia masih bisa berbicara dengan arif dan bijaksana.
Sebetulnya wasiat terakhir sebelum wafatnya panjang dan indah luar biasa. Pantaslah jika Rasulullah pernah
bersabda,

(Ia cinta Allah dan Rasul-Nya; Allah dan Rasul-Nya cinta


dia).


Ali bin Abi Thalib seorang Khalifah yang pemberani, kisah lengkap Ali bin Abi Thalib ditulis kembali agar
pembaca bisa mengetahui sejarah yang sebenarnya mulai Ali bin Abi Thalib sebelum menjadi khalifah sampai
akhir hayatnya terbunuh.

Ali bin Abi Thalib adalah menantu Rasulillah yang mendapat nama kehormatan (kuniyyah) Abu Turab
(Bapaknya tanah) dari Rasulillah. Abu Turab adalah panggilan yang paling disenangi oleh Ali karena nama
kehormatan ini kenang-kenangan berharga dari Nabi yang mulia. Ia dibaiat menjadi Khalifah pada hari Jumat
tanggal 25 Dzul-Chijjah tahun 35 Hijriyyah (4 Juni 656 M).

Sabda Nabi :


"Niscaya besok pagi bendera ini akan saya berikan pada seorang lelaki yang telah diberi kemenangan karena
usahanya. Ia dicintai Allah dan Utusan Allah dan utusan Allah juga mencintainya".

Pada masa perang Khaibar bulan Shafar tahun tujuh Hijriyah dia telah menjadi tokoh utama bagi umat Islam
pada umumnya. Setelah sabda yang menggiurkan tersebut terucap, para shahabat membicarakan siapa orang
beruntung yang akan mendapatkan kehormatan tersebut. Setelah itu mereka semua berambisi menjadi tokoh
agung tersebut.


Di suatu pagi yang indah semua sahabat termasuk Umar yang tidak pernah ingin menjadi pemimpin,
berkeinginan untuk terpilih. Ternyata Ali bin Abi Taliblah yang menerima kesempatan besar tersebut. Ali bin
Abi Talib juga dianugerahi karena telah membunuh Talha ibn' Uthman di perang Uhud pada bulan Syawal
tahun 3 (tiga) Hijriyyah (Januari 625 M)
:


: :

Talha bin 'Uthman pembawa bendera kaum musyrik berkata," Wahai para golongan sahabat Muhammad,
engkau yang berkeyakinan bahwa Tuhan akan mempercepat kami ke neraka dengan pedang kalian, dan
mempercepat kamu ke surga melalui pedang kami. Sekarang siapakah yang sanggup mempercepat diri kalian ke
Surga karena pedang kami atau mempercepat kami ke neraka dengan pedang kalian? Ali akhirnya menerima
tantangan tersebut, bergerak cepat memukul mematahkan kakinya. Ia jatuh hingga terlihat auratnya karena kain
yang ia kenakan tersingkap, dan memohon kepada Ali agar takut kepada Allah dan meminta-minta menjadi
sahabatnya, lalu Ali meninggalkannya. Tiba-tiba Nabi memekikan takbir demi melihat pemandangan tersebut
dan bertanya,"Apa yang membuatmu tidak menghabisinya? Ali menjawab,"Ia memohon-mohon padaku untuk
memperhatikan Allah dan keluarga kami, sehingga saya merasa enggan".[Al-Kamil fit-Tarikh 1 / 294]

Thabrani murid Achmad bin 'Ali Abu al-Abbar murid Umayyad murid Uthman ibn' Abdir-Rahman murid
Isma'il ibn Rashid bercerita tentang kematian 'Ali ibn' Abi Talib, yang bertepatan dengan hari Jum'at 17
Ramadan tahun 40 Hijriyyah (24 January 661M): Konon termasuk Hadits Ibnu Muljam dan shahabat-shabatnya
yang dilaknat Allah ialah: Memang Abdur-Rahman bin Muljam, Al-Barku bin Abdillah dan Amer bin Bakr
At-Taimi mengadakan pertemuan di Makkah untuk membahas tentang ihwal masyarakat umum dan mencela
perbuatan tokoh-tokoh besar Muslimiin. Pembicaraan tersebut berkembang ke arah pembahasan kepedulian
mereka pada penduduk kota Nahar yang dulu pernah diperangi Ali. Mereka berkata, Demi Allah kita ini
belum berjasa sebanyak tokoh-tokoh (Khawarij) yang telah mendahului kita. Tokoh-tokoh pendahulu kita telah
menjadi dai yang mengajak orang-orang agar beribadah pada Tuhan mereka, dan di dalam beribadah mereka
tidak takut caci-makian orang mencaci-maki. Hendaklah kita-kita ini mengorbankan diri-kita dengan cara
mendatangi dan memastikan tokoh-tokoh besar Muslimiin terbunuh, sebagai upaya agar penduduk-kota kita
tidak dendam dan agar dendam pendahulu kita terbalas. Ibnu Muljam yang konon sebagai penduduk Mesir
berkata, Sayalah yang membereskan urusan kalian berupa menghabisi Ali. Al-Barku bin Abdillah berkata,
Sayalah yang akan membereskan urusan kalian berupa menghabisi Muawiyyah bin Abi Sufyan. Amer bin
Bakr At-Tamimi berkata, Sayalah yang akan membereskan urusan kalian berupa menghabisi Amer bin Ash.
Tiga orang yang terancam kematiannya ini tokoh besar ummat Islam yang saat itu namanya menggetarkan dunia
karena saat itu zaman kejayaan Islam:
1. Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang sangat agung.
2. Muawiyyah sebagi Gubernur yang sangat berpengaruh karena pernah menjadi sekretaris Rasulillah.
3. Amer bin Ash orang yang pernah diangkat sebagai panglima perang oleh Abu Bakr, bahkan tergolong
Umaraul-Ajnad (semacam jendral besar).
Mereka bertiga membuat persekongkolan dan perjanjian rahasia yang diikat dengan sumpah demi Allah tak
seorangpun dari mereka mem-batalkan rencananya sehingga berhasil membunuh sasaran mereka masing-masing
atau mati karena rencana gila tersebut. Mereka bertiga mengambil pedang untuk diberi racun, dan membulatkan
perjanjian bahwa masing-masing mereka bertiga akan menyerang korban mereka tanggal 17 Ramadhan. Mereka
bertiga pergi ke kota yang dihuni oleh sasaran mereka masing-masing.

Ibnu Muljam Al-Muradi mendatangi sahabat-sahabatnya berada di kota Kufah, namun ia menyembunyikan
rencananya karena takut akan ada yang mengetahuinya. Ibnu Muljam juga mendatangi teman-temannya dari
keluarga besar Taimir-Rabab, yaitu sebuah keluarga besar yang pada zaman perang An-Nahar banyak yang mati
terbunuh. Keluarga besar Taimir-Rabab membicarakan dan mengasihani keluarga mereka yang meninggal
dalam peperangan tersebut. Kebetulan saat itu muncul seorang wanita bernama Qatham binti Sachnah dari
keluarga besar Taimir-Rabab yang memendam dendam pada Ali karena telah membunuh ayah dan saudara
laki-lakinya dalam perang Nahar tersebut. Konon kecantikan Qatham binti Sachnah luar biasa (sempurna).
Karena kecantikan Qatham binti Sachnah lah maka ia lupa dengan tujuan semula (tersihir). Ibnu Muljam
melamar Qatham binti Sachnah. Qatham binti Sachnah menjawab, Saya tidak akan menikah sehingga kau bisa
mengobati sakit-hatiku. Ibnu Muljam bertanya, Sebetulnya apa yang kau inginkan?. Ia menjawab, Tiga ribu
dinar dan budak laki-laki dan biduanita dan bunuhlah Ali !. Ibnu Muljam berkata, Berarti ini sebagai
maskawin untukmu. Namun apa betul kamu ingin Ali dibunuh?.

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi Ayyasy Al-Muradi berkata,

(Sebetulnya tidak ada


maskawin yang lebih mahal dari pada membunuh Ali bin Abi Thalib ).

Ia menjawab, Betul!. Pastikan pembunuhan tersebut pada waktu-bulan-ghurrah (sekitar tanggal 15)!. Jika kau
berhasil maka kita berdua puas, selanjutnya kita berdua hidup berbahagia penuh manfaat. Namun jika kau yang
mati terbunuh, maka yang di sisi Allah jauh lebih baik dari pada dunia dan perhiasan penghuninya. Ibnu
Muljam berkata, Sebetulnya kedatanganku kemari memang bertujuan membunuh dia. Ia menjawab, Jika
tekadmu telah bulat kabarilah saya, saya akan menyuruh orang agar membantu dan mendukungmu. Akhirnya
Qatham perintah lelaki dari keluarganya yang menyanggupinya bernama Wardan. Ibnu Muljam mendatangi
lelaki (shahabat karibnya) dari keluarga besar Asyja bernama Syabib bin Najdah untuk berkata, Bukankah kau
mau mendapatkan kejayaan dunia dan akhirat?. Ia menjawab, Apa maksudmu?. Ibnu Muljam menjawab,
Membunuh Ali . Ia menjawab, Kau ini gila.

Niscaya kau telah melakukan kegilaan yang nyata. Apa mungkin kau bisa membunuh
dia?. Ibnu Muljam berkata, Saya akan bersembunyi di waktu sahur. Jika ia telah keluar rumah untuk
mengimami shalat shubuh, maka saat itu juga kita serang dan kita bunuh. Jika dalam rencana ini kita selamat
maka kita puas dan dendam kita telah terbalas, namun jika kita mati maka pahala di sisi Allah jauh lebih baik
dari pada dunia dan perhiasan penghuninya. Ia berkata, Kau memang harus kubantu. Tapi kalau rencana ini
ditujukan pada selain Ali niscaya urusannya lebih ringan bagiku. Karena saya tahu sepenuhnya bahwa jasa dia
di dalam Islam sangat besar. Ia juga termasuk shahabat Nabi yang awal. Terus terang dalam hal ini saya merasa
keberatan. Ibnu Muljam berkata, Bukanakah kau sendiri tahu bahwa dia yang memerangi penduduk Nahar
yang tekun beribadah dan shalat?. Ia menjawab, Betul. Ibnu Muljam berkata, Kita membunuh dia karena
membalaskan saudara-saudara kita yang dia bunuh saat itu. Setelah Syabib bin Najdah menyetujuinya, mereka
bertiga segera berpamitan, Kami semua telah mufakat akan membunuh Ali, pada Qatham yang saat itu
sedang itikaf di dalam Masjid Agung. Qatham menjawab, Jika kalian telah siap berangkat datanglah kemari
lagi!. Ibnu Muljam datang untuk berkata pada Qatham, Saya dan dua teman saya telah berjanji akan bahwa
masing-masing kami akan membunuh seorang tokoh besar. Tak lama kemudian Qatham minta kain sutra untuk
dibalutkan pada mereka bertiga, (mungkin untuk memberi mereka support).

Mereka bertiga mengambil pedang mereka masing-masing lalu selanjutnya berangkat menuju depan pintu yang
biasanya dipergunakan keluar oleh Ali. Akhirnya Ali keluar untuk mengimami shalat shubuh sambil berkata,
Shalat shalat. Syabib bin Najdah bergerak cepat menyerang Ali dengan pedang, namun pedangnya
menghantam gawan pintu atau ornament. Ibnu Muljam bergerak cepat memukul ujung kepala Ali dengan
pedang.

Wardan berlari cepat pulang ke rumahnya; dikejar anak laki-laki ibunya. Lelaki tersebut memasuki rumah
Wardan di saat Wardan sedang melepas kain sutra dan meletakkan pedangnya. Lelaki tersebut bertanya, Ada
apa dengan kain sutra dan pedang ini?. Wardan terpaksa berterus terang padanya. Lelaki tersebut bergegas
pulang ke rumah untuk mengambil dan menebaskan pedangnya hingga Wardan mati.

Syabib melarikan diri ke arah pintu-gerbang-pintu-gerbang kota Kindah dikejar masya. Syabib roboh bersimbah
darah karena kakinya dipedang dan dibanting oleh Uwaimir dari Chadhramaut. Ketika masya pengejar Syabib
telah makin dekat; saat itu Syabib telah menguasai pedangnya. Uwaimir membiarkan Syabib kabur dan
memasuki kerumunan masya dari pada dirinya terkena serangannya.

Ibnu Muljam jatuh saat melarikan diri dari kejaran lelaki dari Hamdan yang biasa dipanggil Aba Adama karena
kakinya dipatahkan dengan pedang oleh lelaki tersebut. Ali mendorong punggung

(Jadah bin Hubairah bin Abi Wahb) agar mewakili mengimami jamaah shalat shubuh; sebagaian jamaah
berlarian dari segala penjuru untuk menyerang Ibnu Muljam.

Sejumlah orang melaporkan bahwa Muhammad bin Chunaif berkata: Demi Allah, di malam Ali bin Abi
Thalib dipedang; saat itu saya shalat bersama lelaki-lelaki kota tersebut di dalam Masjid Agung tersebut, yaitu
di dekat pintu-keluar rumah Ali menuju Masjid. Di antara mereka ada yang sedang berdiri, ada yang sedang
rukuk, ada yang sedang sujud. Mereka tak bosan-bosan melakukan shalat sejak awal hingga akhir malam. Tiba-
tiba Ali keluar pintu untuk mengimami shalat shubuh sambil menyerukan, Shalat shalat. Saya sendiri tidak
tahu apakah lebih dulu ia mengucapkan kalimat tersebut ataukah duluan kulihat pedang-pedang mengkilap.
Saya mendengar,

(Tiada hukum kecuali kekuasaan Allah, bukan


hakmu ya Ali, dan bukan hak shahabat-shahabatmu). Lalu kulihat pedang berkelebat. Lalu kulihat masya
berdatangan. Saya mendengar Ali perintah, Jangan sampai lelaki itu lepas!. Sejenak kemudian masya dari
segala penjuru berlari cepat mengejarnya. Saya berada di dalam lokasi tersebut hingga Ibnu Muljam tertangkap
dan dimasukkan ke rumah Ali bin Abi Thalib.

Saya memasuki rumah Ali mengikuti orang-orang. Tiba-tiba saya mendengar Ali bin Abi Thalib
berkata,

(Jiwa dibalas dengan jiwa. Jika saya mati maka bunuhlah


dia sebagaimana memedangku)!. Namun jika saya masih hidup, maka telah punya pandangan sebaiknya dia
diapakan?. Di saat Ibnu Muljam dibawa masuk ke rumah Ali; Ali bertanya, Ya musuh Allah, bukankah saya
telah berbuat baik padamu?, bukankah saya telah memperlakukan kamu dengan baik?. Ia menjawab, Betul.
Ali bertanya, Lalu apa yang mendorongmu melakukan ini?. Saya telah mengasah pedangku selama empat
puluh shubuh lalu berdoa agar Allah membunuh sejelek-jelek makhluq-Nya dengan pedang ini. Ali berkata,
Saya yakin kamu akan mati terbunuh dengan pedang ini, dan kamu termasuk makhluq Allah paling jelek.
Konon dua tangan Ibnu Muljam diikat erat hingga belikat di depan Chasan.

Tiba-tiba putri Ali bernama Ummu Kultsum menangis, Hai musuh Allah, ayahku tidak apa-apa; sementara
kamu akan dihinakan oleh Allah. Ibnu Muljam menjawab, Kenapa kau menangis?. Demi Allah pedang itu
kubeli seharga seribu (dinar), dan telah kuberi seribu racun. Kalau pukulan pedangku ini melukai seluruh
penduduk kota ini pasti mereka tidak mampu bertahan hidup satu jam pun. Namun ayahmu masih juga hidup
hingga saat ini. Ali berkata pada Chasan, Jika aku bertahan hidup, aku telah mempunyai perhitungan. Namun
jika aku mati karena pukulan pedang ini, maka pukullah dengan pedang sekali saja, jangan kau siksa. Sebab
sungguh aku pernah mendengar Rasulallah melarang menyiksa meskipun pada anjing buas. Sebuah riwayat
menjelaskan bahwa Jundub bin Abdillah memasuki rumah Ali untuk memohon, Jika kami kehilangan tuan,
maka kami akan berbaiat pada Chasan. Ali bin Abi Thalib menjawab, Yang ini saya tidak perintah dan tidak
melarang, kalian yang lebih tahu.

Ketika Ali bin Abi Thalib telah wafat; Chasan perintah agar Ibnu Muljam dibawa masuk ke rumahnya. Ibnu
Muljam berkata ketika telah masuk ke rumah Chasan, Bolehkah saya minta sesuatu?, demi Allah sejak dulu
jika saya bersumpah pada Allah pasti saya laksanakan. Saya pernah bersumpah pada Allah akan membunuh Ali
dan Muawiyyah, atau saya mati saat menyerang mereka berdua. Jika kau setuju lepaskanlah saya agar
membunuh dia. Saya bersumpah pada Allah jika saya gagal membunuhnya, saya akan menyerahkan tanganku
pada tanganmu.

Sepertinya Ibnu Muljam yakin sepenuhnya bahwa Chasan sangat benci Muawiyyah bin Abi Sufyan, sehingga
ia menawarkan jasa membunuh Muawiyyah agar Chasan mau melepaskannya.

Chasan menjawab, Demi Allah tidak bisa, atau kamu akan menyaksikan neraka. Chasan perintah agar Ibnu
Muljam diajukan untuk dibabat kepalanya dengan pedang. Selanjutnya mayat tersebut dimasukkan dalam
bawari (tempat). Tak lama kemudian masya membakarnya dengan api. Sebelum itu Ali bin Abi Thalib telah
berpesan, Ya keluarga besar Abdul-Muthalib, jangan sampai terjadi suatu saat nanti saya menjumpai kalian
berkecimpung dalam darahnya Muslimiin hanya karena beralasan ini kami lakukan karena Amirul-Muminiin
dibunuh, ini kami lakukan karena Amirul-Muminiin dibunuh. Ingat, tidak boleh ada yang dibunuh kecuali
orang yang telah membabatkan pedangnya padaku!.
Luar biasa, di saat kemarahan Ali bin Abi Thalib di puncak, ia masih bisa berbicara dengan arif dan bijaksana.
Sebetulnya wasiat terakhir sebelum wafatnya panjang dan indah luar biasa. Pantaslah jika Rasulullah pernah
bersabda,

(Ia cinta Allah dan Rasul-Nya; Allah dan Rasul-Nya cinta


dia).




Yang aku tahu, hanya Muhammad bin al-Hanafiyyah yang banyak menimba ilmu dari Ali. (Ibn al-Junaid)
Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Thalib, beliau lebih dikenal dengan Muhammad Ibn al-Hanafiah, sedang terjadi percekcokan
dengan saudaranya al-Hasan ibn Ali, maka Ibn al-Hanafiah mengirim surat kepada saudaranya itu, isinya,
Sesungguhnya Allah telah memberikan kelebihan kepadamu atas dirikuIbumu Fathimah binti Muhammad ibn
Abdullah SAW, sedangkan ibuku seorang wanita dari Bani Haniifah. Kakekmu dari garis ibu adalah utusan Allah dan
makhluk pilihannya, sedangkan kakekku dari garis ibu adalah Jafar ibn Qais. Apabila suratku ini sampai kepadamu,
kemarilah dan berdamailah denganku, sehingga engkau memiliki keutamaan atas diriku dalam segala hal.

Begitu surat itu sampai ke tangan al-Hasania segera ke rumahnya dan berdamai dengannya. Siapakah Muhammad
ibn al-Hanafiyyah, seorang adib (ahli adab/pujangga), seorang yang pandai dan berakhlak lembut ini?
Marilah, kita membuka lembaran hidupnya dari awal.
Kisah ini bermula sejak akhir kehidupan Rasulullah SAW.
Pada suatu hari, Ali ibn Abi Thalib duduk bersama Nabi SAW, maka ia berkata, Wahai Rasulullahapa pendapatmu
apabila aku dikaruniani seorang anak setelah engkau meninggal, (bolehkah) aku menamainya dengan namamu dan
memberikan kun-yah (sapaan yang biasanya diungkapkan dengan Abu fulan) dengan kunyah-mu?.
Ya jawab beliau.
Kemudian hari-hari pun berjalan terus. Dan Nabi yang mulia SAW bertemu dengan ar-Rafiiqul al-Alaa (berpulang ke sisi
Allah)dan setelah hitungan beberapa bulan Fathimah yang suci, Ibunda al-Hasan dan al-Husain menyusul beliau
(wafat).
Ali lalu menikahi seorang wanita Bani Haniifah. Ia menikahi Khaulah binti Jafar ibn Qais al-Hanafiyyah, yang kemudian
melahirkan seorang anak laki-laki untuknya. Ali menamainya Muhammad dan memanggilnya dengan kun-yah Abu al-
Qaasim atas izin Rasulullah SAW. Hanya saja orang-orang terlanjur memanggilnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah,
untuk membedakannya dengan kedua saudaranya al-Hasan dan al-Husain, dua putra Fathimah az-Zahra. Kemudian
iapun dikenal dalam sejarah dengan nama tersebut.
Muhammad ibn al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khilafah ash-Shiddiq (Abu Bakar) RA. Ia tumbuh dan terdidik di bawah
perawatan ayahnya, Ali bin Abi Thalib, ia lulus di bawah didikannya.
Ia belajar ibadah dan kezuhudan dari ayahnyamewarisi kekuatan dan keberaniannyamenerima kefasihan dan
balaghoh darinya. Hingga ia menjadi pahlawan perang di medan pertempuransinga mimbar di perkumpulan
manusiaseorang ahli ibadah malam (Ruhbaanullail) apabila kegelapan telah menutup tirainya ke atas alam dan saat
mata-mata tertidur lelap.
Ayahnya RA telah mengutusnya ke dalam pertempuran-pertempuran yang ia ikuti.
Dan ia (Ali) telah memikulkan di pudaknya beban-beban pertempuran yang tidak ia pikulkan kepada kedua saudaranya
yang lain; al-Hasan dan al-Husain. Ia pun tidak terkalahkan dan tidak pernah melemah keteguhannya.
Pada suatu ketika pernah dikatakan kepadanya, Mengapakah ayahmu menjerumuskanmu ke dalam kebinasaan dan
membebankanmu apa yang kamu tidak mampu memikulnya dalam tempat-tempat yang sempit tanpa kedua
saudaramu al-Hasan dan al-Husain?
Ia menjawab, Yang demikian itu karena kedua saudaraku menempati kedudukan dua mata ayahkusedangkan aku
menempati kedudukan dua tangannyasehingga ia (Ali) menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.
Dalam perang Shiffin yang berkecamuk antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan RA. Adalah Muhammad
ibn al-Hanafiyyah membawa panji ayahnya.
Dan di saat roda peperangan berputar menggilas pasukan dari dua kelompok, terjadilah sebuah kisah yang ia
riwayatkan sendiri. Ia menuturkan, Sungguh aku telah melihat kami dalam perang Shiffin, kami bertemu dengan
para sahabat Muawiyah, kami saling membunuh hingga aku menyangka bahwa tidak akan tersisa seorang pun dari
kami dan juga dari mereka. Aku menganggap ini adalah perbuatan keji dan besar.
Tidaklah berselang lama hingga aku mendengar seseorang yang berteriak di belakangku, Wahai kaum
Muslimin(takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada Allah)wahai kaum Muslimin
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*
Wahai kaum Muslimintakutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dan sisakan kaum muslimin, wahai masyarol
muslimin.
Maka sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk tidak mengangkat pedangku di wajah seorang Muslim.
Kemudian Ali RA mati syahid di tangan pendosa yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam )
Kekuasaan pun berpindah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan. Maka, Muhammad ibn al-Hanafiyyah membaiatnya untuk
selalu taat dan patuh dalam keadaan suka maupun benci karena keinginannya hanya untuk menyatukan suara dan
mengumpulkan kekuatan serta untuk menggapai izzah bagi Islam dan Muslimin.
Muawiyah RA merasakan ketulusan baiat ini dan kesuciannya. Ia merasa benar-benar tentram kepada sahabatnya, hal
mana menjadikannya mengundang Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk mengunjunginya.
Maka, ia pun mengunjunginya di Damaskus lebih dari sekalidan lebih dari satu sebab.
Di antaranya, bahwa kaisar Romawi menulis surat kepada Muawiyah. Ia mengatakan, Sesungguhnya raja-raja di sini
saling berkoresponden dengan raja-raja yang lain. Sebagian mereka bersenang-senang dengan yang lainnya dengan
hal-hal aneh yang mereka milikisebagin mereka saling berlomba dengan sebagian yang lain dengan keajaiban-
keajaiban yang ada di kerajaan-kerajaan mereka. Maka, apakah kamu mengizinkan aku untuk mengadakan
(perlombaan) antara aku dan kamu seperti apa yang terjadi di antara mereka?
Maka, Muawiyah mengiyakannya dan mengizinkannya.
Kaisar Romawi mengirim dua orang pilih-tandingnya. Salah seorang darinya berbadan tinggi dan besar sekali sehingga
seakan-akan ia ibarat pohon besar yang menjulang tinggi di hutan atau gedung tinggi nan kokoh. Adapun orang yang
satu lagi adalah seorang yang begitu kuat, keras dan kokoh seakan-akan ia ibarat binatang liar yang buas. Sang kaisar
menitipkan surat bersama keduanya, ia berkata dalam suratnya, Apakah di kerajaanmu ada yang menandingi kedua
orang ini, tingginya dan kuatnya?.
Muawiyah lalu berkata kepada Amr ibn al-Aash, Adapun orang yang berbadan tinggi, aku telah menemukan orang
yang sepertinya bahkan lebih darinyaia Qais ibn Sad ibn Ubadah. Adapun orang yang kuat, maka aku membutuhkan
pendapatmu.
Amr berkata, Di sana ada dua orang untuk urusan ini, hanya saja keduanya jauh darimu. Mereka adalah Muhammad
ibn al-Hanafiyyah dan Abdullah ibn az-Zubair.
Sesungguhnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidaklah jauh dari kita, kata Muawiyyah.
Akan tetapi apakah engkau mengira ia akan ridla bersama kebesaran kemuliaannya dan ketinggian kedudukannya
untuk mengalahkan kekuatan orang dari Romawi ini dengan ditonton manusia,? tanya Amr.
Muawiyah berkata, Sesungguhnya ia akan melakukan hal itu dan lebih banyak dari itu, apabila ia menemukan izzah
bagi Islam padanya.
Kemudian Muawiyah memanggil keduanya, Qais ibn Sad dan Muhammad ibn al-Hanafiyyah.
Ketika majelis telah dimulai, Qais ibn Sad berdiri dan melepaskan sirwal-sirwal-nya (celana yang lebar) lalu
melemparkannya kepada al-Ilj** dari Romawi dan menyuruhnya untuk memakainya. Ia pun memakainyamaka,
sirwalnya menutupi sampai di atas kedua dadanya sehingga orang-orang ketawa dibuatnya.
Adapun Muhammad ibn al-Hanafiyyah, ia berkata kepada penterjemahnya, Katakan kepada orang Romawi iniapabila
ia mau, ia duduk dan aku berdiri, lalu ia memberikan tangannya kepadaku. Entah aku yang akan mendirikannya atau
dia yang mendudukkankuDan bila ia mau, dia yang berdiri dan aku yang duduk
Orang Romawi tadi memilih duduk.
Maka Muhammad memegang tangannya, dan (menariknya) berdiridan orang Romawi tersebut tidak mampu
(menariknya) duduk
Kesombongan pun merayap dalam dada orang Romawi, ia memilih berdiri dan Muhammad duduk. Muhammad lalu
memegang tangannya dan menariknya dengan satu hentakan hampir-hampir melepaskan lengannya dari
pundaknyadan mendudukkannya di tanah.
Kedua orang kafir Romawi tersebut kembali kepada rajanya dalam keadaan kalah dan terhina.
Hari-hari berputar lagi
Muawiyah dan putranya Yazid serta Marwan ibn al-Hakam telah berpindah ke rahmatullahKepemimpinan Bani
Umayyah berpindah kepada Abdul Malik ibn Marwan, ia mengumumkan dirinya sebagai khalifah muslimin dan
penduduk Syam membaiatnya.
Sementara penduduk Hijaz dan Irak telah membaiat Abdullah ibn az-Zubair***.
Setiap dari keduanya mulai menyeru orang yang belum membaiatnya untuk membaiatnyadan mendakwakan kepada
manusia bahwa ia yang paling berhak dengan kekhalifahan daripada sahabatnya. Barisan kaum muslimin pun terpecah
lagi
Di sinilah Abdullah ibn az-Zubair meminta kepada Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk membaiatnya sebagaimana
penduduk Hijaz telah membaiatnya.
Hanya saja Ibn al-Hanafiyyah memahami betul bahwa baiat akan menjadikan hak-hak yang banyak di lehernya bagi
orang yang ia baiat. Di antaranya adalah menghunus pedang untuk menolongnya dan memerangi orang-orang yang
menyelisihinya. Dan para penyelisihnya hanyalah orang-orang muslim yang telah berijtihad, lalu membaiat orang yang
tidak ia baiat.
Tidaklah orang yang berakal sempurna lupa akan kejadian di hari Shiffin.
Tahun yang panjang belum mampu menghapus suara yang menggelegar dari kedua pendengarannya, kuat dan penuh
kesedihan, dan suara itu memanggil dari belakangnya, Wahai kaum Muslimin(takutlah kepada) Allah, (takutlah
kepada) Allahwahai kaum Muslimin
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan? Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-
Dailami...
Ya, ia belum lupa sedikitpun dari itu semua.
Maka, ia berkata kepada Abdullah ibn az-Zubair, Sesungguhnya engkau mengetahui dengan sebenar-benarnya, bahwa
dalam perkara ini aku tidak memiliki tujuan dan tidak pula permintaanhanyalah aku ini seseorang dari kaum muslimin.
Apabila kalimat (suara) mereka berkumpul kepadamu atau kepada Abdul Malik, maka aku akan membaiat orang yang
suara mereka berkumpul padanya. Adapun sekarang, aku tidak membaiatmujuga tidak membaiatnya.
Mulailah Abdullah mempergaulinya dan berlemah lembut kepadanya dalam satu kesempatan. Dan dalam kesempatan
yang lain ia berpaling darinya dan bersikap keras kepadanya.
Hanya saja, Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak berselang lama hingga banyak orang yang bergabung dengannya
ketika mereka mengikuti pendapatnya. Dan mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepadanya, hingga jumlah
mereka sampai tujuh ribu orang dari orang-orang yang memilih untuk memisahkan diri dari fitnah. Dan mereka enggan
untuk menjadikan diri mereka kayu bakar bagi apinya yang menyala.
Setiap kalii pengikut Ibn al-Hanafiyyah bertambah jumlahnya, bertambahlah kemarahan Ibn az-Zubair kepadanya dan
ia terus mendesaknya untuk membaiatnya.
Ketika Ibn az-Zubair telah putus asa, ia memerintahkannya dan orang-orang yang bersamanya dari Bani Hasyim dan
yang lainnya untuk menetap di Syib (celah di antara dua bukit) mereka di Mekkah, dan ia menempatkan mata-mata
untuk mengawasi mereka.
Kemudian ia berkata kepada mereka, Demi Allah, sungguh-sungguh kalian harus membaiatku atau benar-benar aku
akan membakar kalian dengan api
Kemudian ia menahan mereka di rumah-rumahnya dan mengumpulkan kayu bakar untuk mereka, lalu mengelilingi
rumah-rumah dengannya hingga sampai ujung tembok. Sehingga seandainya ada satu kayu bakar menyala niscaya
akan membakar semuanya.
Di saat itulah, sekelompok dari para pengikut Ibn al-Hanafiyyah berdiri kepadanya dan berkata, Biarkan kami
membunuh Ibn az-Zubair dan menenangkan manusia dari (perbuatan)nya.
Ia berkata, Apakah kita akan menyalakan api fitnah dengan tangan-tangan kita yang karenanya kita telah menyepi
(memisahkan diri)dan kita membunuh seorang sahabat Rasulullah SAW dan anak-anak dari sahabatnya?! Tidak, demi
Allah kita tidak akan melakukan sedikitpun apa yang manjadikan Allah dan Rasul-Nya murka.
Berita tentang apa yang diderita oleh Muhammad ibn al-Hanafiyah dan para pengikutnya dari kekerasan Abdullah ibn
az-Zubair sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan. Ia melihat kesempatan emas untuk menjadikan mereka condong
kepadanya.
Ia lantas mengirim surat bersama seorang utusannya, yang seandainya ia menulisnya untuk salah seorang anaknya
tentunya dialeknya tidak akan sehalus itu dan redaksinya tidak selembut itu.
Dan di antara isi suratnya adalah, Telah sampai berita kepadaku bahwa Ibn az-Zubair telah mempersempit gerakmu
dan orang-orang yang bersamamuia memutus tali persaudaraanmudan merendahkan hakmu. Ini negeri Syam
terbuka di depanmu, siap menjemputmu dan orang-orang yang bersamamu dengan penuh kelapangan dan
keluasansinggahlah di sana dimana engkau mau, niscaya engkau akan menemukan penduduknya mengucapkan
selamat kepadamu dan para tetangga yang mencintaimudan engkau akan mendapatkan kami orang-orang yang
memahami hakmumenghormati keutamaanmudan menyambung tali persaudaraanmu Insya Allah
Muhammad ibn al-Hanafiyah dan orang-orang yang bersamanya berjalan menuju negeri Syamsesampainya di
Ublah, mereka menetap di sana.
Penduduknya menempatkan mereka di tempat yang paling mulia dan menjamu mereka dengan baik sebaga tetangga.
Mereka mencitai Muhammad ibn al-Hanafiyah dan mengagungkannya, karena apa yang mereka lihat dari kedalaman
(ketekunan) ibadahnya dan kejujuran zuhudnya.
Ia mulai menyuruh mereka kepada yang maruf dan mencegah mereka dari yang munkar. Ia mendirikan syiar-syiar di
antara mereka dan mengadakan ishlah dalam perselisihan mereka. Ia tidak membiarkan seorang pun dari manusia
mendzalimi orang lain.
Di saat berita itu sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan, hal tersebut memberatkan hatinya. Ia kemudian
bermusyawarah dengan orang-orang terdekatnya. Mereka berkata kepadanya, Kami tidak berpendapat agar engkau
memperbolehkannya tinggal di kerajaanmu. Sedangkan sirahnya sebagaimana yang engkau ketahuientah ia
membaiatmuatau ia kembali ke tempatnya semula.
Maka, Abdul Malik menulis surat untuknya dan berkata, Sesungguhnya engkau telah mendatangi negeriku dan engkau
singgah di salah satu ujungnya. Dan ini peperangan yang terjadi antara diriku dan Abdullah ibn az-Zubair. Dan engkau
adalah seseorang yang memiliki tempat dan nama di antara kaum Muslimin. Dan aku melihat agar engkau tidak tinggal
di negeriku kecuali bila engkau membaiatku. Bila engkau membaiatku, aku akan memberimu seratus kapal yang datang
kepadaku dari al-Qalzom kemarin, ambillah beserta apa yang ada padanya. Bersama itu engkau berhak atas satu juta
dirham ditambah dengan jumlah yang kamu tentukan sendiri untuk dirimu, anak-anakmu, kerabatmu, budak-budakmu
dan orang-orang yang bersamamu. Bila engkau menolaknya maka pergilah dariku ke tempat yang aku tidak memiliki
kekuasaan atasnya.
Muhammad ibn al-Hanafiyah kemudian menulis balasan, Dari Muhammad ibn Ali, kepada Abdul Malik ibn Marwan.
Assalamu alaikaSesungguhnya aku memuji kepada Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia, (aku
berterima kasih) kepadamu. Amma baduBarangkali engkau menjadi ketakutan terhadapku. Dan aku mengira engkau
adalah orang yang paham terhadap hakikat sikapku dalam perkara ini. Aku telah singgah di Mekkah, maka Abdullah ibn
az-Zubair menginginkan aku untuk membaiatnya, dan tatkala aku menolaknya ia pun berbuat jahat terhadap
pertentanganku. Kemudian engkau menulis surat kepadaku, memanggilku untuk tinggal di negeri Syam, lalu aku
singgah di sebuah tempat di ujung tanahmu di karenakan harganya murah dan jauh dari markaz (pusat)
pemerintahanmu. Kemudian engkau menulis kepadaku apa yang telah engkau tuliskan. Dan kami Insya Allah akan
meninggalkanmu.
Muhammad ibn al-Hanafiyyah beserta orang-orangnya dan kelurganya meninggalkan negeri Syam, dan setiap kali ia
singgah di suatu tempat ia pun di usir darinya dan diperintahkan agar pergi darinya.
Dan seakan-akan kesusahan belum cukup atasnya, hingga Allah berkehendak mengujinya dengan kesusahan lain yang
lebih besar pengaruhnya dan lebih berat tekanannya
Yang demikian itu, bahwa sekelompok dari pengikutnya dari kalangan orang-orang yang hatinya sakit dan yang lainnya
dari kalangan orang-orang lalai. Mereka mulai berkata, Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menitipkan di hati Ali dan
keluarganya banyak sekali rahasia-rahasia ilmu, qaidah-qaidah agama dan perbendaharaan syariat. Beliau telah
mengkhususkan Ahlul Bait dengan apa yang orang lain tidak mengetahuinya.
Orang yang alim, beramal dan mahir ini memahami betul apa yang diusung oleh ucapan ini dari penyimpangan, serta
bahaya-bahaya yang mungkin diseretnya atas Islam dan Muslimin. Ia pun mengumpulkan manusia dan berdiri
mengkhutbahi merekaia memuji Allah AWJ dan menyanjungnya dan bershalawat atas Nabi-Nya Muhammad
SAWkemudian berkata, Sebagian orang beranggapan bahwa kami segenap Ahlul Bait mempunyai ilmu yang
Rasulullah SAW mengkhususkan kami dengannya, dan tidak memberitahukan kepada siapapun selain kami. Dan kami
demi Allah- tidaklah mewarisi dari Rasulullah melainkan apa yang ada di antara dua lembaran ini, (dan ia menunjuk ke
arah mushaf). Dan sesungguhnya barangsiapa yang beranggapan bahwa kami mempunyai sesuatu yang kami baca
selain kitab Allah, sungguh ia telah berdusta.
Adalah sebagian pengikutnya mengucapkan salam kepadanya, mereka berkata, Assalamualaika wahai Mahdi.
Ia menjawab, Ya, aku adalah Mahdi (yang mendapat petunjuk) kepada kebaikandan kalian adalah para Mahdi
kepada kebaikan Insya Allahakan tetapi apabila salah seorang dari kalian mengucapkan salam kepadaku, maka
hendaklah menyalamiku dengan namaku. Hendaklah ia berkata, Assalamualaika ya Muhammad.
Tidak berlangsung lama kebingungan Muhammad ibn al-Hanafiyyah tentang tempat yang akan ia tinggali beserta
orang-orang yang bersamanyaAllah telah berkehendak agar al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi menumpas Abdullah ibn
az-Zubairdan agar manusia seluruhnya membaiat Abdul Malik ibn Marwan.
Maka, tidaklah yang ia lakukan kecuali menulis surat kepada Abdul Malik, ia berkata, Kepada Abdul Malik ibn Marwan,
Amirul Mukminin, dari Muhammad ibn Ali. Amma baduSesungguhnya setelah aku melihat perkara ini kembali
kepadamu, dan manusia membaiatmu. Maka, aku seperti orang dari mereka. Aku membaiatmu untuk walimu di Hijaz.
Aku mengirimkan baiatku ini secara tertulis. Wassalamualaika.
Ketika Abdul Malik membacakan surat tersebut kepada para sahabatnya, mereka berkata, Seandainya ia ingin
memecah tongkat ketaatan (baca: keluar dari ketaatan) dan membikin perpecahan dalam perkara ini, niscaya ia
mampu melakukannya, dan niscaya engkau tidak memiliki jalan atasnyaMaka tulislah kepadanya dengan perjanjian
dan keamanan serta perjanjian Allah dan Rasul-Nya agar ia tidak diusir dan diusik, ia dan para sahabatnya.
Abdul Malik kemudian menulis hal tersebut kepadanya. Hanya saja Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak hidup lama
setelah itu. Allah telah memilihnya untuk berada di sisi-Nya dalam keadaan ridla dan diridlai.
Semoga Allah memberikan cahaya kepada Muhammad ibn al-Hanafiyah di kuburnya, dan semoga Allah mengindahkan
ruhnya di surgaia termasuk orang yang tidak menginginkan kerusakan di bumi tidak pula ketinggian di antara
manusia.
CATATAN KAKI:
* Ad-Dailami adalah masyarakat besar yang berada di utara Qazwain, muslimin memerangi mereka kemudian mereka
memeluk Islam
** Al-Ilj adalah orang yang kuat dan besar dari orang-orang kafir non Arab
*** Ia adalah putra Asma binti ash-Shiddiq yamg berhasil menaklukkan kawasan Afrika
SUMBER BACAAN:
Sebagai tambahan tentang kisah Muhammad Ibn al-Hanafiyyah, lihat:
- Hilyah al-Auliyaa oleh Abu Nuaim, III: 174
- Tahdziib at-Tahdziib, IX:354
- Shifah ash-Shafwah oleh Ibnul Jauzi (cet. Halab), II: 77-79
- Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sad, V:91
- Al-Waafi bi al-Wafayaat (terjemah): 1583
- Wafayaat al-Ayaan oleh Ibnu Kholaqan, IV:169
- Al-Kamil, III:391 dan IV:250 pada kejadian-kejadian tahun 66 H
- Syadzarat adz-Dzahab, I:89
- Tahdziib al-Asma Wa al-Lughaat, I:88-89
- Al-Badu Wa at-Tarikh, V:75-76
- Al-Maarif oleh Ibnu Qutaibah: 123
- Al-Iqd al-Farid oleh Ibnu Abdi Rabbih, tahqiq al-Urayyan, Juz II,III,V dan VI





Kisah Fathimah Az_zahra r.a & Sayyidina Ali
Di pos kan ol eh Hamba Al l ah

Powered by Translate

Cerita Sahabat Nabi
Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang,
namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut
agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita
Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta

Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut
disekitar kita saat ini
Walaupun bukan tidak ada..
barangkali, kita saja yang tidak mengetahui saking rapatnya dikendalikan

Tapi,
kebanyakan justru yang tampak ke permukaan adalah yang justru seharusnya tidak kita
contoh
Kekurangan teladan?
Mungkin..

Dan inilah fragmen dari Khalifah ke-4, Suami dari Putri kesayangan Rasulullahtentang
membingkai perasaan dan
Bertanggung jawab akan perasaan tersebut
Bukan janj-janji

Kisah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah
chapter aslinya berjudul Mencintai sejantan Ali

Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh
memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan
kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn Abdullah
Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Kabah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada
Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang
itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.

Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan
Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu Anhu.

Allah mengujiku rupanya, begitu batin Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya...
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berdawah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena
sentuhan Abu Bakr; Utsman, Abdurrahman ibn Auf, Thalhah, Zubair, Sad ibn Abi
Waqqash, Mushab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu
Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, Abdullah ibn Masud..
Dan siapa budak yang dibebaskan Ali?Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar,
insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

Inilah persaudaraan dan cinta, gumam Ali.
Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas
cintaku.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang
sempat layu.
Lamaran Abu Bakar ditolak.
Dan Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,seorang lelaki
yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk
lutut.
Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar dan Hamzah yang
mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,
Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
Aku datang bersama Abu Bakr dan Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan Umar, aku
masuk bersama Abu Bakr dan Umar..
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar melakukannya.
Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi
karena tak menemukan beliau Shallallaahu Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Kabah.
Wahai Quraisy, katanya.
Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung
tanpa henti, silakan hadang Umar di balik bukit ini!
Umar adalah lelaki pemberani.
Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap
menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
Umar jauh lebih layak.
Dan Ali ridha..

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan..
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.Yang ini pengorbanan.

Maka Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul Ash ibn Rabi kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya Abdurrahman ibn Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan
dengan mereka?
Sad ibn Muadz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sad ibn Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?, kalimat teman-teman Ansharnya itu
membangunkan lamunan.
Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Baginda Nabi..
Aku?, tanyanya tak yakin.
Ya. Engkau wahai saudaraku!
Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?
Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!

Ali pun menghadap Sang Nabi.Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya
keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
Engkau pemuda sejati wahai Ali!, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, Ahlan wa sahlan!
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau
penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih riDan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban
tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.

Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?
Entahlah..
Apa maksudmu?
Menurut kalian apakah Ahlan wa Sahlan berarti sebuah jawaban!
Dasar tolol! Tolol!, kata mereka,
Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan!
Dua-duanya berarti ya!

Dan Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar
ia membayar cicilannya.
Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, Umar, dan Fathimah..
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
Laa fatan illa Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!

Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti Ali.
Ia mempersilakanAtau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri S`ng Nabi,

dalam suatu riwayat dikisahkan

bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)

Fathimah berkata kepada Ali,

Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh
cinta pada seorang pemuda

Ali terkejut dan berkata, kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan
Siapakah pemuda itu

Sambil tersenyum Fathimah berkata, Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu

Kisah ini disampaikan disini,bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau
romantis-romantis-an

Kisah ini disampaikan

agar kita bisa belajar lebih jauh dari Ali dan Fathimah

bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum
menikah tetapi

dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu

Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba..
- See more at: http://ceritasahabatnabi.blogspot.com/2012/02/kisah-fathimah-azzahra-ra-
sayyidina-ali.html#sthash.S00BhUsd.dpuf



Sebuah Teladan Dari Ali bin Abi Thalib
07AGU2010 Tinggalkan komentar
by scorpio in Kisah-Kisah Para Khalifah
Ini adalah sebuah kisah tentang kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dalam
Khulafaurrasyidin yang sangat patut kita teladani.
Tidak ada khalifah yang paling mencintai ukhuwwah, ketika orang berusaha
menghancurkannya, seperti Ali ibn Abi Thalib. Baru saja dia memegang tampuk
pemerintahan, beberapa orang tokoh sahabat melakukan pemberontakan. Dua orang di
antara pemimpin Muhajirin meminta izin untuk melakukan umrah. Ternyata mereka
kemudian bergabung dengan pasukan pembangkang. Walaupun menurut hukum Islam
pembangkang harus diperangi, Ali memilih pendekatan persuasif. Dia mengirim
beberapa orang utusan untuk menyadarkan mereka. Beberapa pucuk surat dikirimkan.
Namun, seluruh upaya ini gagal. Jumlah pasukan pemberontak semakin membengkak.
Mereka bergerak menuju Basra.
Dengan hati yang berat, Ali menghimpun pasukan. Ketika dia sampai di perbatasan
Basra, di satu tempat yang bernama Alzawiyah, dia turun dari kuda. Dia melakukan
shalat empat rakaat. Usai shalat, dia merebahkan pipinya ke atas tanah dan air matanya
mengalir membasahi tanah di bawahnya. Kemudian dia mengangkat tangan dan
berdoa: Ya Allah, yang memelihara langit dan apa-apa yang dinaunginya, yang
memelihara bumi dan apa-apa yang ditumbuhkannya. Wahai Tuhan pemilik arasy nan
agung. Inilah Basra. Aku mohon kepada-Mu kebaikan kota ini. Aku berlindung kepada-
Mu dari kejahatannya. Ya Allah, masukkanlah aku ke tempat masuk yang baik, karena
Engkaulah sebaik-baiknya yang menempatkan orang. Ya Allah, mereka telah
membangkang aku, menentang aku dan memutuskan bayah-ku. Ya Allah, peliharalah
darah kaum Muslim.
Ketika kedua pasukan sudah mendekat, untuk terakhir kalinya Ali mengirim Abdullah
ibn Abbas menemui pemimpin pasukan pembangkang, mengajak bersatu kembali dan
tidak menumpahkan darah. Ketika usaha ini pun gagal, Ali berbicara di hadapan
sahabat-sahabatnya, sambil mengangkat Al-Quran di tangan kanannya: Siapa di antara
kalian yang mau membawa mushaf ini ke tengah-tengah musuh. Sampaikanlah pesan
perdamaian atas nama Al-Quran. Jika tangannya terpotong peganglah Al-Quran ini
dengan tangan yang lain; jika tangan itu pun terpotong, gigitlah dengan gigi-giginya
sampai dia terbunuh.
Seorang pemuda Kufah bangkit menawarkan dirinya. Karena melihat usianya terlalu
muda, mula-mula Ali tidak menghiraukannya. Lalu dia menawarkannya kepada
sahabat-sahabatnya yang lain. Namun, tak seorang pun menjawab. Akhirnya Ali
menyerahkan Al-Quran kepada anak muda itu, Bawalah Al-Quran ini ke tengah-
tengah mereka. Katakan: Al-Quran berada di tengah-tengah kita. Demi Allah, janganlah
kalian menumpahkan darah kami dan darah kalian.
Tanpa rasa gentar dan penuh dengan keberanian, pemuda itu berdiri di depan pasukan
Aisyah. Dia mengangkat Al-Quran dengan kedua tangannya, mengajak mereka untuk
memelihara ukhuwwah. Teriakannya tidak didengar. Dia disambut dengan tebasan
pedang. Tangan kanannya terputus. Dia mengambil mushaf dengan tangan kirinya,
sambil tidak henti-hentinya menyerukan pesan perdamaian. Untuk kedua kalinya
tangannya ditebas. Dia mengambil Al-Quran dengan gigi-giginya, sementara tubuhnya
sudah bersimbah darah. Sorot matanya masih menyerukan perdamaian dan mengajak
mereka untuk memelihara darah kaum Muslim. Akhirnya orang pun menebas lehernya.
Pejuang perdamaian ini rubuh. Orang-orang membawanya ke hadapan Ali ibn Abi
Thalib. Ali mengucapkan doa untuknya, sementara air matanya deras membasahi
wajahnya. Sampai juga saatnya kita harus memerangi mereka. Tetapi aku nasihatkan
kepada kalian, janganlah kalian memulai menyerang mereka. Jika kalian berhasil
mengalahkan mereka, janganlah mengganggu orang yang terluka, dan janganlah
mengejar orang yang lari. Jangan membuka aurat mereka. Jangan merusak tubuh orang
yang terbunuh. Bila kalian mencapai perkampungan mereka janganlah membuka yang
tertutup, jangan memasuki rumah tanpa izin, janganlah mengambil harta mereka sedikit
pun. Jangan menyakiti perempuan walaupun mereka mencemoohkan kamu. Jangan
mengecam pemimpin mereka dan orang-orang saleh di antara mereka.
Sejarah kemudian mencatat kemenangan di pihak Ali. Seperti yang dipesankannya,
pasukan Ali berusaha menyembuhkan luka ukhuwwah yang sudah retak. Ali sendiri
memberikan ampunan massal. Sejarah juga mencatat bahwa tidak lama setelah
kemenangan ini, pembangkang-pembangkang yang lain muncul. Muawiyah
mengerahkan pasukan untuk memerangi Ali. Ketika mereka terdesak dan kekalahan
sudah di ambang pintu, mereka mengangkat Al-Quran, memohon perdamaian. Ali, yang
sangat mencintai ukhuwwah, menghentikan peperangan. Seperti kita ketahui bersama,
Ali dikhianati. Karena kecewa, segolongan dari pengikut Ali memisahkan diri. Golongan
ini, kelak terkenal sebagai Khawarij, berubah menjadi penentang Ali. Seperti biasa, Ali
mengirimkan utusan untuk mengajak mereka berdamai. Seperti biasa pula, upaya
tersebut gagal.

You might also like