You are on page 1of 28

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Tinjauan Pustaka
1. Selaput Ketuban dan Cairan Ketuban
Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas
amnion dan khorion yang sangat erat ikatannya. Pada hari keempat hasil
konsepsi mencapai stadium blastula disebut blastokista (blastocyst).
Massa padat sel-sel di salah satu kutub blastokista yang disebut massa
inner cell, adalah cikal bakal mudigah. Sedangkan massa sel luar akan
menjadi trofoblas (Gary Cunningham, 2006). Massa inner cell ini
berkembang menjadi janin dan trofoblas akan berkembang menjadi
plasenta. Dengan demikian, blastokista diselubungi oleh suatu simpai
yang disebut trofoblas. Trofoblas ini sangat penting dalam keberhasilan
kehamilan, proteksi imunitas bagi janin, peningkatan aliran darah maternal
ke dalam plasenta dan kelahiran bayi. Sejak trofoblas terbentuk, produksi
hormon human chorionic gonadotropin (hCG) dimulai, suatu hormon
yang memastikan bahwa endometrium akan menerima (reseptif) dalam
proses implantasi embrio (Gary Cunningham, 2006).


Gambar 1. Blastokista
(Samuel Parry, 2000)

Trofoblas yang mempunyai kemampuan menghancurkan
danmencairkan jaringan, menemukan endometrium dalam masa sekresi
berupa sel-sel desidua pada epitel endometrium bagian atas dan dinding
posterior uterus, dan pada umumnya blastokista masuk ke endometrium
dengan bagian dimana massa inner cell berlokasi. Sel-sel desidua ini
besar-besar dan lebih banyak mengandung glikogen serta mudah
dihancurkan oleh trofoblas. Keberhasilan nidasi dan plasentasi yang
normal adalah hasil keseimbangan proses antara trofoblas dan
endometrium (Gary Cunningham, 2006).
Setelah nidasi berhasil, selanjutnya hasil konsepsi akan tumbuh
dan berkembang di dalam endometrium. Embrio ini selalu terpisahkan
dari darah dan jaringan ibu oleh suatu lapisan sitotrofoblas di sisi bagian
dalam dan sebagian dari sitotrofoblas yang paling dalam bersambungan
dengan endometrium dan menginvasi endometrium untuk menyatu
menjadi suatu membran multinuklear amorf yang kontinu dan tidak
terputus oleh ruang antarsel disebut sinsiotrofoblas (multinuclear
trophoblast) (Gary Cunningham, 2006). Selanjutnya mulailah diferensiasi
sel-sel blastokista. Sitotrofoblas berproliferasi sangat pesat dan
menginvasi desidua disekitarnya. Seiring dengan tumbuh dan
membesarnya blastokista dan trofoblas disekitarnya yang seluruhnya
ditutupi oleh desidua, salah satu kutub di massa ini meluas ke rongga
endometrium dan kutub lainnya tetap terbenam di dalam endometrium.
Sitotrofoblas dan lapisan luar sinsiotrofoblas tumbuh ke arah rongga
endometrium ditutupi oleh khorion frondosum, dan seiring berlanjutnya
pertumbuhan jaringan embrionik, aliran darah ke jaringan ini berkurang
dan bagian membran ini menjadi avaskular yang menyentuh desidua
parietalis, yaitu khorion laeve atau khorion halus (Gary Cunningham,
2006).


Gambar 2. Blastokista terbenam di dalam endometrium
(Samuel Parry, 2000)

Diantara massa inner cell dan trofoblas di dekatnya terbentuk
suatu ruang. Sel-sel yang lebih kecil, yang dekat pada ruang eksoselom
membentuk entoderm dan berkembang menjadi yolk sac, sedangkan sel-
sel yang lebih besar merupakan sel amniogenik yang merupakan prekursor
epitel amnion menjadi ektoderm dan membentuk ruang amnion. Lapisan
yang meliputi ruang amnion disebut selaput amnion. Dengan ini di dalam
blastokista terdapat suatu embryonal plate yang dibentuk antara dua
ruangan, yakni ruang amnion dan yolk sac. Pada awalnya ruang amnion
ini berupa sebuah vesikel kecil lalu membentuk kantung kecil yang
menutupi permukaan dorsal mudigah. Karena amnion semakin membesar,
amnion secara bertahap menelan mudigah yang tumbuh, yang mengalami
prolaps ke dalam rongga amnion (Gary Cunningham, 2006). Peregangan
kantung amnion akhirnya menyebabkan amnion berkontak dengan
permukaan dalam khorion laeve. Amnion bersama dengan khorion laeve
membentuk selaput ketuban. Amnion merupakan membran janin yang
paling dalam dan berdampingan dengan cairan amnion, jaringan amnion
ini juga menentukan hampir semua kekuatan regang membran janin (Gary
Cunningham, 2006).
Pertumbuhan embrio terjadi di embryonal plate yang selanjutnya
terdiri atas tiga unsur lapisan, yakni sel-sel ektoderm, mesoderm, dan
entoderm. Lapisan ini terdiri atas beberapa sel seperti sel epitel, sel
mesenkim dan sel trofoblas yang terikat erat dalam matriks kolagen (Gary
Cunningham, 2006).
Selaput ketuban membentuk suatu kantong yang berisi cairan
amnion. Cairan amnion sudah dibentuk sejak awal kehamilan. Cairan
amnion merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi sekaligus
menunjang pertumbuhan dan perkembangan janin ke segala arah dengan
seimbang. Selain itu cairan amnion masih memiliki banyak fungsi yaitu
meratakan his ke seluruh dinding rahim sehingga terjadi pembukaan
serviks, sekaligus melicinkan jalan lahir sehingga berperan dalam proses
persalinan, sebagai disinfektan saat persalinan. Cairan ketuban juga
mengandung Epidermal Growth Factor Alfa (EGF) yang diisap dan
ditelan janin, sehingga akan meningkatkan pertumbuhan sistem
gastrointestinal dan paru janin. Selain itu cairan ketuban juga mengandung
parathyroid hormone related protein (PTH-rp) yang berfungsi untuk
pembentukan paru dan surfaktan paru sehingga mampu berkembang saat
lahir dan berfungsi dalam perukaran CO
2
dan O
2
(Manuaba, 2007).
Jumlah cairan amnion selama kehamilan sangat bervariasi dan
ditentukan oleh mekanisme yang mengatur produksi dan pengambilan
cairan amnion oleh janin. Sampai kehamilan 20 minggu cairan amnion
terutama diproduksi melalui transudasi plasma maternal melalui
khorioamnion atau transudasi dari kulit janin saat permeabilitasnya tinggi
waktu pembentukan keratinisasi (Manuaba, 2007). Sebagian lainnya,
cairan amnion dibentuk pada lempeng khorionik, tali pusat, paru, ginjal,
dan saluran pencernaan. Paru janin mengeluarkan cairan sekitar 300-
400cc/hari karena terdapat aktifitas pengeluaran klorida menuju lumen
paru yang diikuti air. Menjelang aterm, pengeluaran cairan paru berkurang
sebagai tanda maturitasnya (Manuaba, 2007).

Ginjal melalui pengeluaran
urin merupakan komponen penting dalam menentukan jumlah cairan
ketuban. Jumlah urin yang dikeluarkan janin 400-1200 cc/hari dan bersifat
hipotonik (Manuaba, 2007).

Variasi pengeluaran urin dan cairan paru janin
dapat dipengaruhi oleh beberapa hormon diantaranya arginin vasopresin,
arterial natriuretic factor, angiotensin II, aldosteron, dan prostaglandin
(Manuaba, 2007).
Regulasi cairan amnion sampai kehamilan 20 minggu terjadi
melalui selaput amnion, kulit, lempeng khorionik, tali pusat, paru, dan
saluran pencernaan (Abdul Bari, 2010). Setelah kehamilan 20 minggu,
jumlah cairan amnion terutama ditentukan oleh produksi melalui ginjal
dan pengambilan melalui saluran pencernaan melalui proses menelan.
Menelan sangat penting sebagai pengendalian sehingga air ketuban
berjumlah relatif tetap. Pada umur 18 minggu proses menelan janin sekitar
200-500 cc/hari dan akan makin meningkat sesuai dengan tuanya janin.
Dalam proses menelan ini, sebagian air ketuban akan dialirkan menuju
sirkulasi darah dan kulit tidak lagi berperan memproduksi cairan amnion,
karena kulit janin telah tertutup oleh lapisan tanduk sehingga cairan
amnion, terutama berasal dari urin janin (Abdul Bari, 2010).

Gambar 3. Distribusi cairan amnion pada kehamilan
(Gilbert, 2006)

Pada kehamilan 20 minggu jumlah cairan amnion sekitar 500 ml.
Kemudian jumlahnya terus meningkat hingga mencapai jumlah maksimal
sekitar 1000 ml pada kehamilan 34 minggu. Jumlah cairan amnion sekitar
800-900 ml pada kehamilan aterm, berkurang hingga 350 ml pada
kehamilan 42 minggu (Manuaba, 2007).


Tabel 1. Jumlah air ketuban pada kehamilan
(Manuaba, 2007)
Umur hamil Jumlah air ketuban
10 minggu 30-35 cc
15 minggu 125-150 cc
20 minggu 450-500 cc
36-37 minggu 700-800 cc
38-40 minggu 900-1500 cc
40-lebih 800-900 cc
42 inggu 700-800

Kandungan air pada cairan ketuban mencapai 98%. Cairan amnion
memiliki berat jenis sekitar 1007-1008, memiliki pH 7,2, berwarna putih
dan mengandung bahan organik sehingga keruh, berbau khas (amis).
Bahan organik pada cairan amnion terdiri dari rambut, lanugo, sel epitel
yang lepas, verniks kaseosa dan protein albumin sekitar 2,5%, selain itu
cairan amnion juga mengandung lesitin dan sfingomielin yang sangat
penting untuk menentukan tuanya paru janin. Makin tua paru makin tinggi
lesitinnya dan paru makin diliputi surfaktan yang sangat bermanfaat saat
pengembangan paru sewaktu lahir. Perbandingan lesitin/sfingomielin
harus >2, yang menunjukkan paru janin telah matang (Manuaba, 2007).


Makna klinis cairan amnion dapat bermanfaat untuk deteksi dini
kelainan kromosom dan kelainan DNA dari 12 minggu sampai 20 minggu.
Pemeriksaan alfa feto protein (AFP) pada cairan amnion dapat digunakan
untuk menentukan defek tabung saraf pada trimester 2 kehamilan. Kadar
AFP yang rendah, estriol dan kadar tinggi hCG merupakan pertanda
Sindrom Down bila diperkuat dengan usia ibu >35 tahun (Abdul Bari,
2010).

Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses
persalinan khususnya pada saat kala I hampir atau telah lengkap (Setya
Wandita, 2008).

2. Ketuban Pecah Dini
a. Definisi
Pengertian ketuban pecah dini adalah bila pecahnya selaput
ketuban sebelum persalinan (Abdul Bari, 2010).

Pengertian lain adalah
disebut ketuban pecah dini bila ketuban pecah sebelum dilatasi serviks
mencapai 5 cm (Abdul Bari, 2010). Ketuban pecah dini adalah
ketuban yang pecah spontan terjadi pada sembarang usia kehamilan
sebelum persalinan dimulai (Gary Cunningham, 2006).

Ketuban pecah
dini sebagai ketuban yang pecah spontan 1 jam atau lebih sebelum
dimulainya persalinan (Hakimi, 2003). Bila ketuban pecah dini terjadi
pada usia kehamilan sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut
sebagai ketuban pecah dini pada kehamilan prematur (Abdul Bari,
2010).
b. Etiologi dan Faktor Risiko Ketuban pecah Dini
Etiologi ketuban pecah dini disebabkan oleh berbagai jenis
faktor, yaitu infeksi vagina dan serviks, fisiologi selaput ketuban yang
abnormal, inkompetensi serviks, dan defisiensi zat gizi (asam askorbat
dan tembaga).
5
Pecahnya selaput ketuban berkaitan erat dengan
perubahan proses biokimia yang terjadi dalam kolagen matriks
ekstraseluler amnion, khorion, dan apoptosis membran janin. Hal ini
disebabkan karena membran janin dan desidua bereaksi terhadap
stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan
memproduksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein
hormon yang merangsang aktifitas matrix degrading enzyme
(Samuel Parry, 2000).

Selaput ketuban terdiri dari amnion dan khorion. Amnion
tersusun atas 5 lapisan. Amnion tidak memiliki jaringan vaskular dan
invasi serabut saraf, sehingga amnion mendapatkan nutrisi dari cairan
amnion. Lima lapisan amnion adalah lapisan epitelial, lapisan basal,
jaringan ikat, lapisan fibroblas, dan lapisan intermedia (dari lapisan
paling dekat sampai menjauhi fetus) (Samuel Parry, 2000).

Lapisan epitelial yang melapisi permukaaan bagian dalam dan
dibasahi oleh cairan amnion adalah berupa sel epitel kuboid. Lapisan
ini mensekresikan kolagen tipe I, III dan IV yang penting dalam
kekuatan regang selaput ketuban dan glikoprotein non kolagen
(laminin, nidogen, dan fibronektin) yang menghubungkan lapisan
epitelial dengan lapisan basal. Selain itu pada lapisan epitelial juga
diproduksi inhibitor metaloproteinase-1 (TIMP-1). Lapisan basal
merupakan lapisan kedua (Samuel Parry, 2000).
Lapisan yang ketiga, yaitu jaringan ikat padat bersama dengan
lapisan basal membentuk kerangka amnion. Kolagen tipe I dan tipe III
yang terdapat pada jaringgan ikat padat, yang diproduksi oleh sel
mesenkim lapisan fibroblas berfungsi menjaga integritas dari amnion.
Kolagen tipe V dan tipe VI membentuk suatu jaringan filamen yang
menghubungkan kolagen pada jaringan ikat padat dan lapisan basal
(Samuel Parry, 2000).

Gambar 4. Lapisan amnion dan khorion
(Samuel Parry, 2000)

Lapisan keempat yaitu lapisan fibroblas, yang merupakan
lapisan yang paling tebal terdiri dari sel mesenkim dan makrofag
dalam matriks ekstraseluler. Lapisan terakhir amnion dan yang
langsung berbatasan dengan khorion laeve adalah lapisan intermedia,
yang strukturnya seperti spons karena mengandung proteoglikan dan
glikoprotein. Lapisan intermedia berperan menyerap stres fisik.
Walaupun khorion laeve lebih tebal dari amnion, namun daya
regang amnion lebih besar. Khorion memiliki hubungan langsung
dengan desidua ibu. Khorion terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan
sitotrofoblas yang merupakan lapisan dimana terdapat vili trofoblas
serta lapisan basal dan jaringan ikat yang kaya akan serat-serat
kolagen (Samuel Parry, 2000).

Degradasi kolagen dimediasi oleh aktifitas matriks
metaloproteinase yang secara normal dihambat oleh inhibitor jaringan
spesifik dan inhibitor protease. Matriks metaloproteinase, merupakan
enzim yang menghidrolisis paling tidak satu dari komponen matriks
ekstraseluler. Matriks metalopreoteinase-1 (MMP-1) dan MMP-8,
membelah triple heliks pada struktur serabut kolagen tipe I dan tipe II,
yang dimana selanjutnya akan didegradasi lagi oleh gelatinase, MMP-
2 dan MMP-9. Gelatinase ini juga membelah triple heliks kolagen tipe
IV, fibronektin, dan proteoglikan. Pada membran fetal, MMP-1 dan
MMP-9 diproduksi di epitelial amnion dan khorion (Samuel Parry,
2000).

Pada saat kehamilan terjadi keseimbangan antara MMP-1 dan
MMP-3, dan MMP-9 dengan TIMP-1. Perbandingan TIMP-1 dengan
MMP-1,MMP-8,MMP-9 adalah 1:1. Namun pada saat persalinan
terjadi ketidakseimbangan, yaitu MMP-9 meningkat sedangkan TIMP-
1 menurun, sehingga terjadi degradasi proteolitik dari matriks
ekstraseluler dan membran janin (RCOG, 2001).

Pecahnya selaput
ketuban pada saat persalinan aterm, juga berhubungan dengan
pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin (Samuel Parry,
2000).

1) Faktor Infeksi

Ahli obstetri mengatakan bahwa infeksi intrauterin
(khorioamnionitis) akibat infeksi asenden dari traktus
urogenital bawah, sebagai penyebab dan atau akibat KPD.
Respon inflamasi dari wanita hamil terhadap infeksi akan
merekrut neutrofil polimorfonuklear dan makrofag pada tempat
infeksi dan memproduksi matriks metaloproteinase (MMP)
yang mendegradasi kolagen dan prostaglandin yang
menginduksi kontraksi pada persalinan. Sitokin-sitokin
inflamasi, termasuk IL-1 Dan TNF-a, diproduksi oleh monosit.
Sitokin-sitokin tersebut meningkatkan MMP-1 dan MMP-3
pada khorion (Samuel Parry, 2000).
Beberapa strain bakteri vagina juga memproduksi
fosfolipase A2, yang melepas asam arakidonat dari lapisan
fosfolipid amnion, yang dengan bantuan enzim siklooksigenase
dari sitokin-sitokin yang diproduksi oleh monosit yang
diinduksi proses inflamasi secara langsung juga membentuk
prostaglandin E2. Prostaglandin akan meningkatkan iritabilitas
uterus dan degradasi kolagen. Respon inflamasi juga
menginduksi sintesis glukokortikoid, yang meningkatkan
produksi prostaglandin juga menurunkan sintesis fibronektin
dan kolagen tipe III pada sel epitelial amnion.
2) Faktor Sosial : Rokok dan Sosioekonomi rendah

Kandungan tembakau pada rokok akan menurunkan
konsentrasi asam askorbat. Asam askorbat penting dalam
struktur triple heliks pada kolagen. Selain itu, kandungan
kadmium pada tembakau akan menyebabkan penempelan
protein metallothienein pada trofoblas sehingga menyebabkan
degradasi dari tembaga yang penting dalam kekuatan regang
amnion (Samuel Parry, 2000).
Sosioekonomi yang rendah, juga berperan pada status
gizi yang kurang terutama akibat terjadinya defisiensi tembaga.
Tembaga penting sebagai bahan dasar Lysil Oksidase yang
penting dalam menjaga sifat kekuatan regang dari serabut
kolagen.
3) Faktor Keturunan

Ehlers-Danlos syndrome, merupakan penyakit herediter
dimana terjadi gangguan pada jaringan ikat dimana adanya
gangguan pada struktur dan sintesis kolagen (Samuel Parry,
2000).
4) Faktor Obstetrik

a) Overdistensi uterus (kehamilan kembar, polihidroamnion)
b) Serviks inkompeten
c. Diagnosis Ketuban Pecah Dini
Diagnosis ketuban pecah dini sangat penting untuk
menentukan penanganan selanjutnya. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis ketuban pecah dini harus dilakukan secara
cepat dan tepat.
1) Riwayat pengeluaran cairan dalam jumlah besar secara
mendadak atau sedikit demi sedikit pervaginam.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan kesadaran dan tanda vital. Apakah adanya
tanda-tanda infeksi bermanifestasi sebagai suhu badan
meningkat, nadi cepat, respirasi meningkat setelah terjadinya
ketuban pecah dini terjadi.
3) Pemeriksaan obstetri
Pemeriksaan palpasi untuk menentukan umur
kehamilan dan mengetahui ada tidaknya kontraksi uterus.
Menentukan umur kehamilan dan mengetahui jumlah, letak,
presentasi dan taksiran berat badan janin. Melakukan
auskultasi denyut jantung janin untuk menilai apakah ada
gawat janin atau tidak dan apakah janin hidup atau mati.
4) Inspeksi vulva untuk menilai apakah ada cairan yang keluar
5) Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan:
a) Tes Nitrazin
Dengan menggunakan kertas lakmus sensitif pH
yang warnanya akan berubah dari merah menjadi biru,
bila cairan yang keluar pervaginam adalah cairan
amnion yang memiliki pH alkali (pH 7,1-7,3) (Gary
Cunningham, 2006).

b) Fern Test Cairan Amnion
Apusan cairan dari forniks posterior
dikeringkan, lalu dilakukan pemeriksaan mikroskopik,
bila terlihat gambaran seperti daun paku atau pakis
(ferning), hal tersebut menunjukkan cairan amnion
(Hakimi, 2003).

6) Kemungkinan infeksi dengan melakukan pemeriksaan
laboratorium, leukosit >15.000 m
m3
merupakan pertanda dini
komplikasi infeksi intrapartum pada ibu dengan ketuban pecah
dini, selain itu dapat dilakukan kultur pada sekret apusan
vagina.
7) Pemeriksaan USG untuk menilai :
a) Indeks Cairan Amnion
Untuk menilai ada tidaknya oligohidroamnion.
Pemeriksaan USG dengan penilaian semikuantitatif melalui
penggukuran Indeks Cairan Amnion (ICA). Pada
pengukuran indeks cairan amnion, uterus dibagi ke dalam 4
kuadran yang dibuat oleh garis mediana melalui linea nigra
dan garis horisontal setinggi umbilikalis. Pada setiap
kuadran uterus, dicari kantung amnion terbesar, bebas dari
bagian tali pusat dan ekstremitas janin, yang ditemukan
melalui transduser yang diletakkan tegak lurus terhadap
lantai. Indeks cairan amnion merupakan hasil penjumlahan
dari diameter vertikal terbesar kantung amnion pada setiap
kuadran. Nilai indeks cairan amnion yang normal adalah 5-
20 cm. Oligohidroamnion terjadi bila indeks cairan amnion
<5 cm (Abdul Bari, 2010).

Gambar di bawah ini menunjukkan kantung amnion.


Gambar 5. Gambaran ultrasonografi jumlah cairan
amnion normal
(RCOG, 2010)

Gambar 6. Gambaran ultrasonografi jumlah cairan amnion
yang kurang
(RCOG, 2010)


b) Penilaian aktifitas janin, berat badan janin, denyut jantung
janin menilai ada tidaknya keadaan gawat janin, kelainan
kongenital/deformitas, menentukan usia kehamilan.
Semakin muda usia kehamilan, makin perlu waktu untuk
menunggu mempertahankan janin lebih matur dan makin
meningkatkan risiko infeksi maternal dan janin.
8) Kardiotokografi
Kardiotokografi (KTG) merupakan salah satu alat
elektronik yang digunakan untuk mendeteksi gangguan yang
berkaitan dengan hipoksia janin yang secara tidak langsung
dapat menilai kesejahteraan janin, melalui penilaian pola
denyut jantung janin dalam hubungannya dengan adanya
kontraksi ataupun aktivitas janin (Gary Cunningham, 206).
Hasil rekaman kardiotokografi yang menunjukkan gawat janin
sebagai berikut:
a) Frekuensi dasar denyut jantung janin <100 dpm atau >170
dpm.
b) Variabilitas <6 dpm atau >25 dpm.
c) Tidak ada akselerasi dalam waktu lebih dari 40 menit.
d) Adanya deselerasi variabel atau lambat.
e) Adanya gambaran sinusoid (frekuensi 6 kali/menit,
amplitudo >10 dpm, durasi >20 menit).


Gambar 7. Gambaran denyut jantung yang menunjukkan hipoksia-
gawat janin
(National Institute for Cinical Excellence, 2003)

9) Membuktikan ada tidaknya infeksi cairan ketuban
a) Kultur cairan amnion
b) Pemeriksaan IL-6
d. Komplikasi Ketuban Pecah Dini
Komplikasi pada ketuban pecah dini adalah kegawatdaruratan
obstetrik yang dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi. Pengaruh
ketuban pecah dini terhadap ibu dan bayi adalah meningkatnya
morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal. Komplikasi yang dapat
terjadi adalah :
1) Terhadap ibu
Ketuban pecah dini dapat menggakibatkan infeksi intrapartum,
peritonitis, septikemia, dry-labour sehingga menyebabkan partus
lama, perdarahan post partum, meningkatnya persalinan dengan
tindakan seksio sesarea (Abdul Bari, 2010).
2) Terhadap janin
Walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi, tetapi
janin mungkin sudah terkena infeksi (sepsis). Sepsis neonatorum
adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai
dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah,
cairan sumsum tulang atau air kemih (Sholeh Kasim, 2010).
Pemeriksaan kadar CRP spesifik untuk sepsis neonatorum
(Esi Afriyanti, 2008).

CRP dalam plasma akan meningkat dan
dapat dideteksi 6-18 jam setelah terjadi respon inflamasi dan
mencapai maksimal dalam 48-72 jam serta kembali normal dalam
5-6 hari. Tempat lokal yang paling sering mengalami infeksi
adalah traktus respiratorius. Bayi yang mengalami hal demikian
biasanya memiliki nilai APGAR dibawah 7 (Midwifery, 2004).
e. Tatalaksana Pada Ketuban Pecah Dini
Wanita hamil yang mengalami KPD harus masuk Rumah Sakit
untuk diperiksa lebih lanjut. Jika pada perawatan, air ketuban berhenti
keluar, pasien dapat pulang untuk rawat jalan. Bila terdapat persalinan
dalam kala aktif, khorioamnionitis, gawat janin, usia kehamilan telah
di atas 34 minggu karena berat badan janin sudah cukup baik untuk
dapat hidup di luar kandungan, persalinan diterminasi. Bila pasien
KPD tidak dalam persalinan, tidak ada infeksi dan gawat janin,
penatalaksanaan bergantung usia kehamilan (Hakimi, 2003).
Penatalaksanaan ketuban pecah dini menurut ada tidaknya infeksi dan
umur kehamilan (Hakimi, 2003). Bila ada infeksi kehamilan segera
diakhiri dengan induksi dan pemberian antibiotika tanpa
mempertimbangkan usia kehamilan.
1) Kehamilan lebih dari 36 mingguKarena 80-90% pasien yang hamil
aterm akan mengalami partus spontan dalam waktu 24 jam, maka
pada periode ini sebagian dokter kebidanan lebih menyukai
menunggu terjadinya persalinan spontan. Namun bila persalinan
tidak maju, induksi dengan oksitosin, bila gagal dilakukan seksio
sesarea.
2) Kehamilan 34-36 mingguPada kelompok ini terdapat peningkatan
risiko morbiditas dan mortalitas bayi akibat respiratory distress
syndrome (RDS). Ada bukti-bukti bahwa apabila ketuban sudah
pecah lama maka insiden respiratory distress syndrome (RDS)
menurun. Jadi induksi partus ditunda selama 16-24 jam untuk
membiarkan paru janin mencapai maturitasnya dahulu.
3) Kehamilan kurang dari 30 mingguDilakukan tindakan konservatif
selama tidak ada infeksi atau tanda-tanda gawat janin.
a) Masuk rumah sakit untuk evaluasi dan tirah baring
b) Evaluasi :
Berat badan janin intrauteri
Kesejahteraan janin diperiksa setiap hari atau 3 kali
seminggu
Melakukan pemeriksaan khusus dan gejala umum yang
ikut serta menentukan kesejahteraan janin
c) Pemberian antibiotik dosis adekuat/tinggi berdasarkan
sensitivitas
d) Pemberian tokolitik yang sesuai untuk menghambat terjadinya
persalinan prematur
e) Kortikosteroid untuk mematangkan paru atau meningkatkan
tumbuh kembang organ vital. Diharapkan bahwa dengan
pemberian antibiotik dan tokolitik dapat menurunkan kontraksi
dan memberikan kesempatan tumbuh kembang janin intrauteri
yang lebih baik.



































Gambar 8. Alogaritma Tatalaksana Ketuban Pecah Dini Prematur
(Manuaba, 2007)

Pemeriksaan kepastian
Ketuban Pecah Dini
Pemeriksaan inspekulo
Tes : lakmus, fern
Kultur
Fibronektin
Kelainan kongenital Janin normal
Amniosentesis
Kultur ketuban
untuk menilai
tanda infeksi
Biologis paru
Pemeriksaan USG
Perkembangan paru sudah matur
Sikap Konservatif -aktif
Tirah baring
Tokolitik antibiotik
Kortikosteroid
Persiapan induksi persalinan
Interval waktu 6, 12, atau 24
jam
Sikap agresif seksio
sesarea
Prolaps tali pusat
Gawat janin
Tanda infeksi sepsis
Solusio plasenta

Perawatan post partum
Unit perawatan intensif neonatus
Perawatan maternal
o Hindari infeksi
o Perawatan pasca operasi
Perkembangan paru belum matur
Ketuban Pecah Dini Prematur





















Gambar 9. Alogaritma Tatalaksana Ketuban Pecah Dini Aterm
(Manuaba, 2007)

Pemeriksaan kepastian
Ketuban Pecah Dini
Pemeriksaan inspekulo
Tes : lakmus, fern
Kultur
Fibronektin
Kelainan kongenital Hasil USG
Kelainan letak
Bayi besar
Letak plasenta
Pemeriksaan USG
Sikap dalam terminasi kehamilan
Induksi persalinan
Interval waktu 6, 12, atau 24
jam disertai observasi ketat
Sikap agresif seksio
sesarea
Faktor sosial,
riwayat obstetri yang
buruk
Kelainan letak/bayi
besar
Prolaps tali pusat
Infeksi intrauteri
Kehamilan ganda
Solusio plasenta
Perawatan pascalahir/pasca operasi

Pemeriksaan dalam
Evaluasi Bishop
Prolaps tali pusat
Ketuban Pecah Dini Aterm
Penanganan mengalami kesulitan jika berada pada usia
kehamilan prematur. Keadaan janin prematur akan menghadapi
berbagai kendala umum akibat ketidakmampuannya beradaptasi
terhadap kehidupan di luar kandungan. Ketidakmampuan tersebut
semata-mata akibat organ vital yang belum siap untuk menghadapi
situasi yang sangat berbeda dengan keadaan intrauteri sehingga
menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Manuaba, 2007).

3. Asfiksia Neonatorum
a. Definisi
Asfiksia neonatorum merupakan ketidakmampuan bayi baru
lahir untuk bernapas pada waktu 60 detik pertama. Pada waktu menit
pertama harus sudah selesai untuk melakukan evaluasi menurut nilai
Apgar, apakah bayi baru lahir perlu resusitasi atau tidak (Manuaba,
2007).

Asfiksia neonatorum selain menyebabkan kematian pada
neonatus juga menyebabkan bermacam-macam komplikasi seperti
defisit kognitif dan motorik yang akan mengganggu tumbuh kembang
serta menurunkan kualitas hidup (Setya Wandita, 2008).
b. Etiologi dan Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum
1) Faktor Risiko Antepartum
Penyakit Kronik pada ibu (diabetes, hipertensi, penyakit jantung,
paru, ginjal, neurologi), kehamilan lewat waktu, kehamilan ganda,
berat badan janin tidak sesuai masa kehamilan, ibu pengguna obat
bius, malformasi kongenital
2) Faktor Risiko Intrapartum
Tindakan pada persalinan (seksio sesarea, kelahiran dengan
ekstraksi forsep atau vakum), kelahiran kurang bulan, kelainan
plasenta (plasenta previa, solusio plasenta), penggunaan anestesi
umum.


c. Penilaian Asfiksia Neonatorum
Asfiksia neonatorum perlu segera dikenali tingkatannya, untuk
dapat melakukan resusitasi dengan sempurna (Sholeh Kasim, 2010).
Untuk itu diperlukan penilaian dengan cara Apgar.
1
Penilaian Apgar
perlu untuk mengetahui apakah bayi menderita asfiksia dan menilai
bayi baru lahir memerlukan resusitasi atau tidak (Abdul Bari, 2010).

Nilai Apgar diperkenalkan pertama kali oleh Dr.Virginia
Apgar (1952) (Sholeh Kasim, 2010). Nilai Apgar untuk menilai
keadaan klinis bayi baru lahir pada usia 1, 5, dan 10 menit (Manuaba,
2007). Angka yang ditetapkan pada menit ke-1 setelah bayi lahir
berhubungan erat dengan pH arteri, merupakan indeks adanya asfiksia,
sedangkan angka yang didapat pada menit ke-5 setelah bayi lahir
merupakan indeks yang lebih tepat tentang kemungkinan kematian
bayi dan sekuele neurologik (Fahrudin, 2003). Metode evaluasi ini
dapat menggolongkan bayi baru lahir apakah vigorous baby, asfiksia
ringan sampai sedang atau asfiksia berat (Manuaba, 2007).

Komponen
yang dinilai pada Apgar adalah frekuensi jantung, usaha bernapas,
tonus otot, refleks pada rangsangan, dan warna kulit (Sholeh Kasim,
2010).

Masing-masing komponen pada nilai Apgar diberi skor masing-
masing 0,1, atau 2 (Gary Cunningham, 2006).










Tabel 2. Nilai Apgar
(Gary Cunningham, 2006)
TANDA/GEJALA 0 1 2
A. Appearance (warna
kulit)
Pucat
biru
seluru
h
tubuh
badan pink dan
eksremitas biru
Seluruh
tubuh pink
P.Pulse (denyut jantung) Tidak
ada
Lambat dan kurang
dari 100 kali/menit
Cepat
diatas 100
kali/menit

G. Grimace (reflek) Tidak
ada
reaksi
Menyeringai/sediki
t gerakan
Menangis
kuat
A. Activity (tonus otot) Lemas Reaksi fleksi
ekstremitas
reaksi aktif
dan
ekstremitas
dalam
keadaan
fleksi
R. Respiratory (Usaha
bernapas)
Tidak
ada
tangis lemah,
hipoventilasi, dan
tidak teratur
tangis kuat
dan keras
Dengan skor Apgar dapat digolongkan kelahiran bayi sebagai berikut.
1) Apgar 0-3, asfiksia berat
2) Apgar 4-6, asfiksia sedang
3) Apgar 7-10, vigorous baby (well born baby)
Jumlah total skor mengindikasikan status kesehatan bayi. Skor
7-10 pada menit pertama berarti bayi tidak membutuhkan bantuan
pernapasan dan berada dalam kondisi yang bagus. Skor 4-6 pada menit
pertama berarti ada gangguan moderat dan disarankan perawatan
khusus. Skor 0-3 pada menit pertama berarti adanya gangguan
pernapasan yang parah dan membutuhkan bantuan pernapasan
sesegera mungkin (Sunarto, 2008).


Tujuan penanganan asfiksia neonatorum adalah untuk
mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa
yang mungkin timbul di kemudian hari. Tindakan yang dikerjakan
pada bayi disebut resusitasi bayi baru lahir (Fahrudin, 2003).

Cara
resusitasi terbagi atas tindakan umum dan tindakan khusus. Tindakan
umum terdiri atas pengawasan suhu, pembersihan jalan napas,
rangsangan untuk menimbulkan pernapasan. Tindakan umum ini
dilakukan pada setiap bayi baru lahir. Bila tindakan ini tidak
memperoleh hasil yang memuaskan dilakukan tindakan khusus. Cara
yang dikerjakan disesuaikan dengan beratnya asfiksia yang timbul
yang tergambarkan dari nilai Apgar. Resusitasi aktif segera pada
asfiksia berat. Asfiksia sedang dapat dicoba dengan stimuli agar
timbul reflek pernapasan. Bila dalam 30-60 detik tidak timbul napas
spontan, ventilasi aktif harus segera dimulai (Fahrudin, 2003).

4. Hubungan Lama Ketuban Pecah Dini dengan Komplikasi Asfiksia
Neonatorum
Semakin panjang fase laten semakin besar kemungkinan terjadinya
infeksi (Manuaba, 2008). Lama ketuban pecah lebih dari 12 jam
meningkatkan risiko asfiksia neonatorum (Ana Setiyana, 2009).

Ketuban
pecah dini dapat menyebabkan asfiksia (Ketut Suwiyoga dan Raka
Budayasa, 2007). Terjadinya asfiksia seringkali diawali infeksi yang
terjadi pada bayi baik aterm atau prematur.

Infeksi dan oligohidroamnion
pada ketuban pecah dini merupakan beberapa penyebab dari sekian
banyak penyebab asfiksia neonatorum (Manuaba, 2007).

Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina
akan lebih berperan dalam infeksi janin (Manuaba, 2007). Pada keadaan
ini, kuman dari vagina naik ke kavum uteri, melekat pada desidua
(menimbulkan desidualitis), lalu terjadi penyebaran infeksi ke selaput
khorion dan amnion (menimbulkan khorioamnionitis) dan berkembang
menjadi khoriovaskulitis (infeksi pada pembuluh darah fetal) serta
amnionitis. Bila cairan amnion yang septik teraspirasi oleh janin akan
menyebabkan pneumonia kongenital, otitis, konjungtivitis sampai
bakterimia dan sepsis (Manuaba, 2008).

Keadaan infeksi pada bayi baru lahir, akan meningkatkan
kebutuhan metabolisme anaerob makin tinggi, sehingga ada kemungkinan
tidak dapat dipenuhi oleh aliran darah dari plasenta. Hal ini menimbulkan
aliran nutrisi dan O
2
tidak cukup, sehingga menyebabkan metabolisme
janin menuju metabolisme anaerob dan terjadi penimbunan asam laktat
dan piruvat yang merupakan hasil akhir dari metabolisme anaerob
(Manuaba, 2008). Keadaan ini akan menimbulkan kegawatan janin (fetal
distress) intrauteri yang akan berlanjut menjadi asfiksia neonatorum pada
bayi baru lahir (Manuaba, 2008).
Cairan amnion berfungsi sebagai sawar proteksi terhadap infeksi
asenden vagina, memungkinkan pergerakan bebas janin, tempat
mengapungnya tali pusat sehingga tidak terjadi kompresi tali pusat yang
menyebabkan terhambatnya aliran darah yang mengandung O
2
dari ibu ke
janin.
Kompresi tali pusat akan menimbulkan fetal distress. Tali pusat
penting dalam penyaluran pertukaran gas oksigen dan karbondioksida
antara janin dan plasenta, plasenta adalah tempat di mana terjadinya
pertukaran darah maternal dan janin (Manuaba, 2008). Dengan adanya
kompresi tali pusat, mengakibatkan penekanan pembuluh darah pada tali
pusat dan akan mengganggu aliran nutrisi dan oksigen ke janin sehingga
akan menimbulkan hipoksia dan pertumbuhan dan perkembangan janin
tidak optimal dan memicu fetal distress hingga akhirnya menjadi asfiksia
neonatorum (Halimah, 2009). Fetal distress menyebabkan makin
terangsangnya nervus vagus dan akan meningkatkan peristaltik saluran
pencernaan, sehingga mekoneum akan dikeluarkan karena sfingter ani
mengadakan relaksasi, sehingga semakin mengentalkan cairan amnion.
Cairan amnion yang mengental akan menimbulkan penekanan dada,
sehingga saat lahir terjadi kesulitan bernapas, karena paru mengalami
hipoplasia sampai atelektase paru, sehingga juga akan berujung terjadinya
asfiksia neonatorum bayi baru lahir (Manuaba, 2007).
Selain itu karena ketuban pecah dini akan segera disusul oleh
persalinan. Pada ketuban pecah dini yang terjadi pada kehamilan prematur
akan diikuti dengan persalinan prematur bila adanya indikasi terminasi.
Pada kondisi prematur, produksi surfaktan kurang dan fungsinya belum
sempurna, karena fungsi surfaktan sempurna pada usia 35 minggu
(Sholeh Kasim, 2010). Surfaktan merupakan suatu fosfolipid, yang
diproduksi oleh pneumosit alveolar tipe II dan mielin tubuler, berperan
penting dalam pengembangan paru (Hassan dan Alatas, 2007). Selama
ekspirasi terjadi stabilisasi dan pemeliharaan sisa volume paru, sehingga
saat ekspirasi alveoli tidak kolaps dan tidak membutuhkan tekanan yang
besar untuk mengembangkan alveoli saat inspirasi (Sholeh Kasim, 2010).
Hal ini karena adanya surfaktan yang berperan dalam menurunkan
tegangan permukaan alveoli yang dibentuk oleh gaya saling menarik antar
molekul air pada dinding alveoli, sehingga akan meningkatkan stabilisasi
alveoli, dengan begitu fungsi ventilasi (pertukaran O
2
dan CO
2
) antara
atmosfer dan alveoli optimal (Lauralee Sherwood, 2001). Pada keadaan
dimana produksi surfaktan tidak adekuat, hal ini akan meningkatkan
tegangan permukaan alveoli, sehingga stabilisasi alveoli terganggu,
akhirnya alveoli kolaps. Alveoli yang kolaps akan mengganggu proses
ventilasi, sehingga terjadi ketidakmampuan untuk memelihara pertukaran
gas agar dapat memenuhi kebutuhan tubuh dan akan mengakibatkan
hipoksemia dan/atau hiperkarbia. Hipoksia dimana disertai dengan PO
2

yang menurun akan berujung menjadi asfiksia neonatorum (Lauralee
Sherwood, 2001).

























II.2 Kerangka Teori
Berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan di atas, maka dapat disusun
kerangka teori dalam penelitian ini sebagai berikut:



















Ketuban Pecah Dini
Fase Laten >12 jam
Infeksi asenden
Neonatal
Khorioamnionitis
Sepsis neonatorum
Metabolism meningkat
Hambatan aliran darah ibu
ke janin
Kompresi tali pusat
Oligohidroamnion
Kebutuhan O
2
meningkat
Hipoksia
Fetal distress
Asfiksia neonatorum
Faktor Risiko Antepartum
- Penyakit kronik pada ibu
- Kehamilan postterm
- Kehamilan ganda
- Penggunaan anestesi sedativ
- Kelainan kongenital
Faktor Risiko Intrapartum
- Tindakan persalinan
(seksio sesarea,
ekstraksi forsep atau
vakum)
- Kelahiran kurang
bulan
- Perdarahan
intrapartum
- Kelainan plasenta

Secara teoritis ada hubungan dan diteliti
Secara teoritis ada hubungan tetapi tidak diteliti

BOLD
II.3 Kerangka Konsep
Dalam penelitian ini sampel yang diteliti yaitu wanita hamil yang
mengalami ketuban pecah dini serta bayi yang dilahirkannya. Variabel
dependen yang diteliti adalah kejadian asfiksia neonatorum dan variabel
independen adalah lama terjadinya ketuban pecah dini. Berdasarkan variabel-
variabel tersebut, kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Sampel Variabel Independen Variabel Dependen








II.4 Hipotesis
a. Ada hubungan antara lamanya KPD dengan Asfiksia Neonatorum di RS
Bhakti Yudha Depok periode 2008-2009.

LAMA
TERJADINYA
KETUBAN
PECAH DINI
WANITA HAMIL
YANG MENGALAMI
KETUBAN PECAH
DINI SERTA BAYI
BARU LAHIR DARI
WANITA YANG
MENGALAMI
KETUBAN PECAH
DINI
ASFIKSIA
NEONATORUM

You might also like