Professional Documents
Culture Documents
Oleh
TSABIT AZINAR AHMAD
NIM S860209113
PENDAHULUAN
Pada masa pemerintahan kolonial, terjadi diferensiasi masyarakat yang
diadasarkan pada warna kulit (color line). Golongan yang secara politik dan
ekonomi menduduki tempat teratas dalam susuna masyarakat itu adalah orang-
orang Belanda. Golongan Belanda dan Eropa merupakan salah satu kelompok
sosial baru yang ada setelah berkembangnya imperialisme dan kolonialisme di
Indoesia. Bangsa Eropa ini menempati posisi-posisi yang penting pada saat terjadi
imperlialisme di Indonesia. Golongan-golongan ini terdiri atas (1) Bangsa
Belanda dan keturunannya, (2) bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Portugis,
Perancis, Inggris, dan lain sebagainya, serta (3) orang-orang bangsa lain (bukan
Eropa) yang telah dipersamakan dengan Eropa karena kekayaan, keturunan
bangsawan, pendidikan. Selain itu, ada pula golongan timur asing. Golongan
timur asing pada saat kekuasaan pemeritah kolonial ini terdiri atas masayarakat
yang berasal dari bangsa Cina, India, dan Arab. Golongan timur asing ini telah
datang ke kawasan Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa dan telah
melakukan interaksi dengan masyarakat pribumi dalam bidang perekonomian,
khususnya perdagangan. Pada saat pemerintahan kolonial, mereka memiliki
kedudukan yang istimewa. Mereka memegang posisi yang strategis dalam bidang
perekonomian. Golongan ketiga adalah golongan pribumi. Golongan pribumi
pada dasarnya adalah golongan yang memiliki hak atas kepemilikan negeri. Hal
ini disebabkan golongan pribumi telah turun-temurun mendiami dan mengolah
alam di Nusantara. Pada saat penguasaan kolonial di Nusantara, golongan
pribumi menjadi korban penindasan. Golongan ini memiliki status sosial yang
lebih rendah dibandingkan dengan golongan-golongan lainnya.
Diferensiasi yang disebabkan oleh warna kulit ini memunculkan
konsekuensi adanya perbedaan dalam sistem birokrasi yang mengatur kehidupan
masyarakat masa kolonial. Pada kuartal kedua abad XIX mucul dualisme birokras
di daerah kolonial. Di satu sisi terdapat sistem politik yang berpusat pada seorang
3
Gubernur Jenderal di Batavia yang dibantu oleh suatu Dewan Hindia membawahi
berbagai departemen. Di bawah Gubernur Jenderal terdapat berbagai pejabat
administrasi dan kedinasan seperti Residen, Asisten Residen, Controleur, dan
Aspirant Controleur. Elite birokrasi itulah yang dinamakan Binnenlands Bestuur
(BB), yang dalam praktiknya hanya berkaitan dengan masyarakat eropa dan timur
asing (Leirissa, 1985: 9-10). Sementara itu masyarakat pribumi diatur oleh sistem
birokrasi tradisional yang berada di bawah BB, yang dinamakan Inlandsche
Bestuur atau Pangreh Praja (PP). Adanya pejabat-pejabat pribumi yang terdiri atas
para bupati, patih, wedana, camat, dan lain-lain merupakan bagian dari indirect
rule dari pemerintahan kolonial, yang berarti sebuah strategi pemeritahan yang
masih tetap menggunakan penguasa-penguasa lokal untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu ketika sistem baru yang disusun ternyata tidak dapat sampai pada tingkat
rakyat bawah.
Adanya dualisme birokrasi masa kolonial merupakan hal yang menarik.
Karena di satu sisi terdapat sistem birokrasi yang modern, tetapi di satu sisi masih
terdapat satu sistem birokrasi yang bersifat tradisional, baik dari susunan
hierarkisnya maupun dari sistem rekruitmennya. Susunan hierarkis dari PP berada
di tangan para penguasa lokal meliputi Bupati dan jajarannya sampai pada tingkat
desa. Ditinjau dari sisi rekruitmen, pola rekruitmen sebagian pangreh praja masih
menggunakan pola rekruitmen lama yang didasari pada konsep ngenger dan
magang. Dari latar belakang pemikiran di atas, tulisan ini secara ringkas berupaya
untuk menjelaskan sistem rekruitmen korps pangreh praja, terutama pada konsep
magang sebagai satu sarana untuk masuk dalam jajaran birokrasi.
pemisahan antara kepentingan pribadi dan jabatan yang pada mulanya berbaur
menjadi satu (Sutherland, 1983).
Untuk melaksanakan maksudnya Daendels menghapus Gubernemen
Pantai Jawa Timur Laut. Demikian puula Residen yang berkedudukan di Kerajaan
Jawa yang berada di bawah Gubernur diambilalih langsung di bawah pemerintah
pusat di Batavia. Daerah Jawa di luar kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dibagi
menjadi sembilan daerah administratif yang disebut dengan Perfectur , yang kelak
pada masa pemerintahan Raffles diubah dengan nama Karesidenan yang
kemudian terkenal dengan nama Gewest . Tiap Perfectur dikuasasi oleh seorang
Perfect yang berada di bawah perintah langsung pemerintah pusat di Batavia
(Soegijanto Padmo, 2007).
Namun karena pemerintahan Daendels yang singkat, perubahan-perubahan
dalam sistem birokrasi masih belum sepenuhnya diimplementasikan. Perubahan
yang sebenarnya baru terjadi da terwujud pada pemerintahan Raffles (1811-1816)
dengan landrent system-nya, yang merupakan defeodalisasi terhadap seluruh
aristrokrasi lokal (Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, & Suhardjo Hatmosuprobo,
1993: 17). Pada perkembangannya, Bupati dan kerabatnya bergeser menjadi
birokrat-birokrat pribumi pada sistem administrasi pemerintahan kolonial.
Birokrat-birokrat ini merupakan satu korps yang disebut dengan korps pangreh
praja (PP).
Pangreh praja secara istilah berarti penguasa kerajaan. Namun demikian
makna tersebut tidak dipahami secara mentah, tetapi kemudian dimaknai sebagai
sebuah pemerintahan pribumi (Inlandsche bestuur). Para pangreh praja menurut
H. Sutherland (1983) merupakan suatu elite birokrasi dengan sistem cara kerja
dengan etos dan juga dengan hubungan-hubungan sosial, ekerabatan yang saling
jalin-menjalin. Pemerintahan ini oleh Belanda dianggap satu tingkat lebih rendah
daripada pemerintahan Binnenlands Bestuur.
Inlandsche Bestuur dapat dibedakan antara yang berada di bawah langsung
dan yang tidak berada di bawah langsungPemerintah Hindia Belanda. Di daerah
yang di bawah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda dapat dibedakan antara
Inheemsche Gouvernemen Bestuur atau Pemerintahan Bumi Putera dan
Inlandsche Gemeentelijk Bestuur atau Pemerintahan masyarakat Hukum Bumi
6
ada yang tidak diberi gaji. Yang disebut terakhir ini biasanya adalah kerja magang
yang dilakukan oleh priyayi di rumah keluarga pejabat tinggi (orang Pribumi atau
Belanda) (Sudarmo, 2006: 6-7).
Sistem magang ini telah menjadi satu sistem yang secara turun temurun.
Salah seorang pejabat di Solo pada masa kolonial di penghujung abad XIX pernah
menulis bahwa barang siapa ingin mencapai pangkat tinggi, mulailah dengan
mengabdi kepada seorang terkemuka, kalau dapat kepada seorang pangeran atau
seorang perdana menteri, sekurang-kurangnya seorang bupati, ia harus
beranggapan tidak ada kesulitan yang terlalu besar, atau pekerjaan yang terlalu
hina, untuk merebut perhatian tuannya, ia harus selalu memperhatikan perubahan
wajah tuannya dan menyusun jawaban atas pertanyaan sepatutnya, bertujuan
untuk senantiasa menyenangkan tuannya. Kemudian ia harus selalu ringan tangan
dan menyenangkan setiap orang yang dihubunginya. Dengan berlaku demikian,
lamat laun ia bukan saja akan memperoleh perhatian dari tuannya, melainkan juga
mendapat nama yang baik di antara priyayi lainnya. Apabila akhirnya ia berhasil
diterima ke dalam kalangan pejabat, ia harus mempertahankan kehormatan
pangkat yang diperolehnya, dan melalui perbuatannya membuktikan bahwa
dirinya pantas bagi kedudukan tersebut. Dengan cara demikian, dalam jangka
panjang ia akan naik ke kedudukan yang pantas dan mencapai tingkat tertinggi
yang akan dicapai (Sutherland, 1983).
Berkaitan dengan sistem magang, Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, &
Suhardjo Hatmosuprobo (1993: 18) menjelaskan bahwa sejak usia dewasa, anak-
anak priyayi dimagangkan di ligkungan pangreh praja sebagai persiapan
menduduki jabatan-jabatan pemreintahan pribumi. Khusus bagi anak bupati,
magang dilakukan sebagai persiapan untuk menggantikan posisi ayahnya. Bagi
kelompok masyarakat luas, saluran langsung untuk magang dapat dikatakan tidak
ada. Bagi masyarakat luas, ketika ingin magang menjadi priyayi sebelumnya sejak
usia muda mengabdikan diri pada seorang priyayi. Proses ini disebut dengan
ngenger agar di kemudian hari dapat magang menjadi priyayi dengan perantaraan
priyayi yang diabdinya itu. Kesempatan magang diberikan jika selama mengabdi
menunjukkan kelakuan yang baik, rajin, cakap, dan sebagainya.
10
PENUTUP
Sistem birokrasi yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang
bersifat dualistik mengakibatkan terjadinya paradoks. Di satu sisi terdapat sistem
birokrasi yang disaring berdasarkan kriteria modern, di satu sisi masih tetap
dipertahankannya system tradisional melalui magang. Magang merupakan salah
satu upaya yang diakukan untuk rekruitmen korps pangreh praja. Melalui magang
yang masih bersifat feodalistik diharapkan akan muncul para pejabat yang
memiliki loyalitas tinggi terhadap atasan. Hal ini boleh jadi merupakan suatu
strategi yang sengaja untuk tetap diselenggarakan pada masa colonial untuk
mendukung terwujudnya uatu beamtenstaat, yakni sebuah negara apolitis di mana
politik adalah pertama-tama sebagai sebuah alat untuk benar-benar mewujudkan
suatu pemerintahan yang kokoh, bukannya alat untuk mewujudkan tuntutan-
tututan sosial yang bersaingan.
12
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo. 2003. “Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi, dan Wong Cilik Biasa di
Kasunanan Surakarta 1900-1915”. Dalam Humaniora Volume XV, No.
2/2003. Hlm. 200-211.
Ong Hok Ham. 1984. “Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan
Pengaruhnya terhadap Penguasaan Tanah”. Dalam Sediono M.P.
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.). 1984. Dua Abad
Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari
Masa ke Masa. Jakata: Yayasan Obor Indonesia dan Penerbit PT
Gramedia. Hlm. 3-27.
Sudarno. 2006. “Kerja Magang: Dari Juru Tulis sampai Bupati di Hindia Belanda
Menjelang Abad XX”. Makalah. Disampaikan dalam Konferensi Nasional
Sejarah VIII di Jakarta pada 13-16 November 2006.
Wasino. 2005. Tanah, Desa, dan Penguasa: Sejarah Pemilikan dan Penguasaan
Tanah di Pedesaan Jawa. Semarang: Unnes Press