You are on page 1of 3

SILA KE 1

Marilah kita mengutip makna ketuhanan menurut pancasila, bersumber dari yang telah
dikemukakan oleh yang berkompeten dalam hal kepancasilaannya: “Ke-tuhanan
mempunyai pengertian tersendiri dan tidak identik dengan agama. Ali Murtopo,
“Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 tahun”, hal. 20 Jadi sila pertama
mengatakan adanya theisme, bukan theisme theokratis, tetapi theisme demokratis. Ibid,
hal. 21

Pernyataan diatas itu kita simpulkan maknanya, bahwa yang dimaksud dengan
Ketuhanan yang Maha Esa di dalam pancasila itu adalah ketuhanan dari pengakuannya
masing-masing yang mengakui adanya Tuhan yang maha esa. Jelasnya yaitu dari
pengakuan yang kombinasi. Atau satu kumpulan pengertian tentang Tuhan dari segala
yang dianggap sebagai tuhan oleh masing-masing yang mempercayainya. Jadi,
pengertian “esanya” pun hanya menurut pengertiannya masing-masing. Umpamanya :
Menurut si A bahwa Tuhan itu “esa” serta begitu dan seterusnya….. Adapun pendapat si
B : Tuhan itu “esa” hanya tidak “begitu”, tetapi “begini”. Yang akhirnya si C juga boleh
saja mengatakan bahwa tuhan itu “esa”, dan tidak “begini” tidak “begitu”. Dengan
demikian bahwa Ketuhanan di situ rupa-rupa keadaannya. Dan sesuai dengan kata
“Ketuhanan”, menurut arti bahasa ialah “kumpulan tuhan”. Tegas sekali, bahwa “esa”
dalam pancasila itu bukan menurut Islam, melainkan dari theisme demokratis.

KESIMPULAN:

PENGERTIAN KETUHANAN DALAM PANCASILA TIDAK ADA


SANGKUTANNYA DENGAN ISLAM
Sila ke 2

Buah dari pemikiran tentang kemanusiaan menurut kaum pancasilais, bila pemerintah
menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa, maka harus sesuai dengan kemanusiaan
menurut masing-masing hakim yang akan memutuskannya, bahwa vonis hukuman itu
telah dianggap sesuai dengan kemanusiaan meski berlawanan dengan hukum Al-Qur’an.
Kemanusiaan sedemikian itu adalah kemanusiaan yang dapat ditentukan oleh otak yang
senantiasa dipengaruhi berbagai godaan. Sehingga berubah-ubah, tidak ada ketentuannya.
Umpamanya saja kita uraikan di bawah ini.Menurut si A bahwa adanya hukuman 18
tahun bagi terpidana pembunuhan, hal itu sesuai dengan kemanusiaan. Akan tetapi,
menurut si B bahwa hukuman yang sesuai dengan kemanusiaan itu harus 15 tahun. Dan
mungkin lagi menurut si C bahwa kedua vonis (18 tahun dan 15 tahun) itu belum sesuai
dengan kemanusiaan. Sehingga si C itu mengajukan tuntutan yang berlainan dari yang
dikemukakan oleh si A dan si B tadi.Memperhatikan perumpamaan diatas itu, maka tidak
asing lagi bahwa dalam pamerintahan yang bersendikan hukum jahiliyah, sering terjadi
hal yang dialami oleh pencuri sesuatu barang yang nilainya tidak lebih dari seekor ayam,
tetapi menjalani hukuman yang melebihi dari hukuman seorang koruptor berkaliber
besar. Sebagaimana halnya dalam kasus Wasdri dibanding dengan kasus Robby
Cahyadi. Mengenai kasus Wasdri dibanding Robby Cahyadi saduran dari artikel
yang dimuat pada “Sinar Harapan”, Minggu ketiga Juli 1977Sungguh bahwa vonis
berbeda-beda itu, karena berdasarkan perikemanusiaan yang diukur oleh otak benak yang
berbeda-beda pula. Bukti dari kejadian lainnya kita ungkapkan disini : “….seorang yang
telah dijatuhi hukuman sebelas tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Tonsia, Menado,
dari hal pemerkosaan. Bersamaan dengan itu terdapat pula delapan orang yang disidang
untuk perkara yang sama yakni pemerkosaan pula, tetapi mereka itu rata-rata hanya
dihukum 1,5 tahun penjara. Majalah, “Detektiv Romantika” No. 0318 hal. 29, 15
Desember 1974

KESIMPULAN:

TIDAK GANDRUNG TERHADAP ISTILAH KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN


BERADAB

Sila ke 3

You might also like