You are on page 1of 12

Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu


RT 03 RW 22, Jalan Belimbing atau Jalan Asmaradana

Ada tragic sense of life, ada comic sense of life. Mereka yang menganggap hidup sebagai
tragedi, memandang dunia serba suram, diwakili oleh teman saya Nurhasan. Dia yang tinggi
akan melonjok sedikit dan mencapai langit-langit kamar tamu rumah bertingkat yang kami
banggakan, Lha betul to, Perumnas itu ya begini. Tinggi setidaknya empat meter supaya
ruangan sejuk. Mengenai genteng dikatakannya, Kok dari asbes. Mereka ingin semua
penghuni Perumnas kena kanker. Mengenai dunia dikatakannya-menirukan dalang. Jaman
sudah tua, perempuan jual badan, anak lahir tanpa bapak, orang suci dibenci, orang jahat
diangkat, orang jujur hancur. Melihat ada rumah mewah di Perumnas, dia akan bilang, Lihat
orang-orang kaya mendepak keluar orang-orang miskin. Mendengar ngong-ngong mobil
pejabat, dia akan berkomentar, Dengar itu sang menteri korup lewat.
Lain lagi teman saya Kaelani yang memandang hidup sebagai komedi, sebuah lelucon. Dia
adalah pemborong: SD Inpres, jalan aspal, talud sungai. Di mana-mana: mantenan, tirakatan 17
Agustusan, katanya sambil ketawa, Pemborong itu harus jadi pembohong. Gedung retak, aspal
mengelupas, tanah longsor, semua ditertawakannya. Ya, kalau rusak diproyekkan. Semua
senang, DPRD, kepala dinas, dan tentu saja pembohongnya, eh, pemborongnya. Katanya lagi,
Pemborong itu masuk sorga tanpa dihisap. Dihisap artinya dihitung baik-buruk amalnya.
Sambungnya, Apa sebab? Karena ia suka berbohong untuk menyenangkan orang.
Akan tetapi, keduanya sangat lain dengan kasus Pak Dwiyatmo versus Said Tuasikal di Jalan
Belimbing (keluarga kami menyebutnya sebagai Jalan Asmaradana. Asmara artinya cinta,
dana singkatan dari dahana artinya api). Itu adalah tragi-comedy yang mengganggu karier saya
sebagai Ketua RT.
Mohon diketahui bahwa selepas tugas belajar saya tinggal di Perumnas, bagian perumahan
dosen. Sebagai orang paling terpelajar, saya didaulat teman-teman jadi Ketua RT, menggantikan
Pak Trono yang pindah. Tentu saja saya menolak dengan banyak alasan: sering tak di rumah,
mengajar di sana-sini, pekerjaan kantor bermacam-macam, masyarakat besar membutuhkan
tenaga saya. Tentu saja tidak saya katakan bahwa akan segera dipromosikan ke Jakarta.
Bapak tidak usah repot, Ketua RT itu hanya kedudukan simbolis, kata seorang pemondok
dengan bahasa sekolahan. Dia sedang sekolah S2.
Dia pasti tidak tahu bahwa pekerjaan Ketua RT itu jabatan paling konkret di dunia: mengurus
PBB, semprotan DB, kerja bakti membersihkan selokan, menjenguk orang sakit, pidato manten,
dan banyak lagi. Presiden bisa diam, Ketua RT tidak.
Jangan khawatir, urusan RT adalah urusan bersama, kata seseorang.
Gotong-royong kita sangat bagus.
Kita masih punya semangat empat-lima.
Setelah semua mendesak, kata saya, Saya terima pekerjaan ini, dengan satu syarat. Ketua RT itu
tugas kolektif keluarga. Saya dan istri. Kalau saya di rumah, saya akan aktif, kalau tidak, istri
yang mengerjakan.
Semua setuju. Jadilah saya Pak RT. Maka Indonesia punya Ketua RT berijazah S3 dari
universitas papan atas di Amerika. Dan Ibu Pertiwi punya pengganti Pak RT, istri saya, lulusan
universitas Kota New York. Sekali-sekali rapat bulanan RT saya pimpin, sekali-sekali istri saya.
Test-case yang pertama-apakah doktor luar negeri bisa jadi Ketua RT-ialah mengurus perkara
Pak Dwiyatmo dan Said Tuasikal. Mereka tinggal satu kupel, dinding dari asbes menyekat RS
mereka yang masih asli itu. Pak Dwiyatmo adalah penghuni lama, Said dan istri menyewa rumah
sebelahnya untuk lima tahun sampai selesainya program S3. Said berasal dari Ambon, dibiayai
APBD untuk sekolah.
Pasangan Said orangnya baik. Said ikut ronda, dan istrinya ikut arisan. Dari poskamling dan
arisan itulah warga tahu keluhan-keluhan mereka tentang Pak Dwiyatmo yang secara tidak
sengaja dikatakan. Sebagai warga yang baik, mereka berdua datang untuk mengenalkan diri
kepada Ketua RT yang baru secara formal.
Beta orang Ambon, istri beta orang Jawa.
Dan anak Mas Said jadi Jambon. Itu warna pink, warna cinta. Jadi ada Jadel, ada Jamin, ada
Jambon.
Memang kami cinta Indonesia, katanya serius, tidak tahu kalau saya hanya berkelakar.
Setidaknya kamu cinta perempuan Jawa.
Bukan setiap perempuan Jawa, Bapak, tapi Jawa yang ini. Terlihat istrinya menyikut suami.
Singkatnya, Pak Dwiyatmo dianggap membuat bising. Sebab, larut malam malah dia bekerja,
memaku, membenarkan dipan atau apa begitu, thok-thok-thok. Tak seorang pun tahu apa yang
dikerjakannya. Siang hari pintu rumahnya tertutup karena pergi. Malam hari juga tertutup,
karena itu saran dokter puskesmas. Maka ia absen di semua kegiatan kampung. Tapi bunyi
malam-malam itu! Dan Said berdua yang pasangan pengantin baru perlu malam yang sepi! Entah
untuk apa.
Namun, wong sabrang yang biasanya thok-leh dan bernama Said itu, tak pernah menegur secara
langsung Pak Dwiyatmo perihal kelakuannya. Istrinya melarang dia. Katanya, Orang Jawa itu
jalma limpat, dapat menangkap isyarat. Ya kalau iya, kalau tidak, bagaimana? bantah
suaminya. Tunggu saja. Mereka menunggu, tapi tiap larut malam thok-thok itu masih
terdengar, membuyarkan harapan indah mereka di tempat tidur. Maka, perseteruan diam-diam itu
berjalan terus.
Memang, para tetangga bilang kalau ada yang aneh pada Pak Dwiyatmo setelah istrinya
meninggal. Dia, yang dulu rajin, tidak lagi ke masjid. Sebagian orang masjid mengatakan ia tidak
qana-ah, artinya tidak ikhlas menerima takdir Tuhan, itu sebabnya ia protes kepada-Nya
(Allahumaghfirlahu, semoga Allah mengampuninya. Semoga dipanjangkan umurnya sehingga ia
sempat bertaubat). Sebagian lain mengatakan bahwa ia selalu sembahyang di sungai dekat
pemakaman Tegalboyo, sudah itu membuka bungkusan dan makan. Sebagian lagi mengatakan
setiap Jumat ia pergi sembahyang di masjid Ploso Kuning. Ada yang mengatakan bahwa ke
masjid di Perumnas akan melukai hatinya, sebab ia selalu pergi jamaah bersama istrinya dulu.
Saya tidak tahu mana yang benar.
Pagi hari dia akan terlihat membawa cangkul. Kabarnya ia sudah memesan rumah masa depan
di pekuburan Tegalboyo, di samping kuburan istrinya. Soal liang kubur itu urusan Pak
Dwiyatmo, itu HAM. Dan saya sebagai Ketua RT tak pernah punya waktu untuk menegur Pak
Dwiyatmo tentang thok-thok itu. Hari Minggu pun pagi-pagi sekali ia akan memikul cangkul,
mengunci pintu, siang pulang, mengunci pintu, dan tidur sampai sore.
Paling mudah ialah mendatangi Said, Mas Said, di Jawa ini orang perlu hidup rukun. Pandai
menyesuaikan diri seperti kalian berdua. Ajur-ajer. Tampak Said tidak tahu arah pembicaraan
saya. Istrinya yang menjawab.
Orang sebelah itu pasti punya kelainan, Pak.
O ya, Bapak. Suara-suara itu sungguh mengganggu! timpal suaminya.
Ya pindah rumah, to. Kok sulit-sulit.
Ininya, Bapak, katanya sambil menggosokkan ibu jari ke telunjuk.
Suatu pagi saya bersama istri jalan-jalan. Di pintu gerbang RT kami bertemu Said berdua,
berdandan rapi.
Pagi-pagi sekali, dari mana?
Ala Bapak ini bagaimana, Proyek Jambon, tentu.
Lho, kok?
Kami selalu ke hotel, tenang. Tapi tidak tahu sampai kapan kami tahan.
Kami baru saja tahu apa yang dikerjakan Pak Dwiyatmo di malam hari. Pasalnya begini. Anak-
anak Perumnas sedang main sembunyi-sembunyian. Kebetulan pintu rumah Pak Dwiyatmo
terbuka, dia tertidur di kamar karena kelelahan mencangkul itu. Beberapa anak laki-laki masuk
rumah dan bersembunyi di dalam meja-mejaan Pak Dwiyatmo yang ditutup dengan kayu. Aman.
Di mana kalian? Kami kalah.
Mereka membuka tutup meja-mejaan, Sini! Lalu menutupnya kembali.
Di mana?
Sini!
Berulang-ulang.
Tiba-tiba seorang mengerti arah suara itu. Lalu lari tunggang langgang sambil menjerit-jerit.
Anak-anak dalam meja-mejaan itu keluar dan ikut lari dan menjerit-jerit. Orang-orang di gang itu
pun keluar. Mereka pergi ke rumah Pak Dwiyatmo. Masya Allah! Keranda! Keranda! Suami-istri
Said ikut keluar. Keranda! Sejak itu keluarga Said menghilang.
Beberapa hari kemudian Ketua RT dapat panggilan dari Pengadilan Negeri. Saya berhalangan,
yang datang Bu RT alias istri saya. Di kantor pengadilan istri saya menunjukkan surat panggilan
itu.
Panggilan itu untuk Ketua RT. Tidak bisa diwakilkan begitu saja.
Saya penggantinya. Ini Surat Kuasa.
Kalau begitu, tunggu. Ia masuk ruangan.
Ketua Pengadilan atau yang mewakili keluar.
Begini, Bu. Ini ada gugatan untuk Pak Dwiyatmo karena ia mengganggu ketertiban. Tolong
diselesaikan dengan damai, tanpa melalui pengadilan.
Melihat keranda itu rupanya Said atau istrinya jadi betul-betul tidak tahan. Pantas mereka kabur
dan menggugat lewat pengadilan. Mereka berpikir bahwa paling-paling Ketua RT menyarankan
agar mereka menyesuaikan diri, karena saya tidak juga menegur Pak Dwiyatmo. Saya merasa
bersalah. Sungguh mati, saya tidak tahu kalau Pak Dwiyatmo sedang membuat keranda.
Saya sedang mencari waktu luang untuk bertemu Pak Dwiyatmo, ketika tiba-tiba ada perubahan
besar. Masalah keranda yang sudah diketahui umum itu membuatnya berhenti bekerja sama
sekali. Dia tidak lagi thok-thok di waktu malam, tidak lagi memanggul pacul di siang hari.
Pekerjaannya ialah menyapu-nyapu halaman, lalu leyeh-leyeh di lincak di depan rumahnya.
Saya menghubungi Pascasarjana UGM dan mendapat alamat Said. Saya menghubungi Said,
mengatakan bahwa tidak ada lagi gangguan ketertiban. Dengan malu-malu Said jadi warga RT
kembali. Ketika minta maaf kepada saya karena telah merepotkan, dia membawa sebotol minyak
kayu putih.
Pak Dwiyatmo sedang menyapu-nyapu halaman ketika lewat seorang perempuan setengah baya.
Kok menyapu sendiri, Pak?
He-eh, tidak ada yang disuruh.
Lain hari perempuan itu lewat lagi.
Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti lelah, lho.
He-eh, habis bagaimana lagi.
Lain hari perempuan itu sengaja lewat.
Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti kalau lelah yang mijiti siapa?
Ya tidak ada.
Lain hari perempuan itu sengaja lewat lagi. Tangannya menggenggam balsem. Pak Dwiyatmo
juga sedang menyapu.
Kok menyapu sendiri, Pak. Kalau lelah, apa mau saya pijit?
Mau saja.
Singkatnya, mereka berdua lalu pergi ke KUA untuk menikah. Mereka jalan-jalan bulan madu
kedua ke Sarangan. Saya tahu karena suami-istri minta titip rumah pada Ketua RT. Tumben, ada
keceriaan di wajah Pak Dwiyatmo yang selama ini belum pernah saya lihat. Mau kuda-kudaan,
ya? maksudnya, naik kuda keliling danau. Ah, Bapak ini kok tahu saja, kata istri sambil
menjawil suami. Sesudah mereka pergi, saya menemui Said. Selamat, kamu bebas, kata saya.
Terima kasih, Bapak, kata Said. Istrinya senyum-senyum malu.
Damailah RT, damailah Indonesia! Seminggu kemudian Pak Dwiyatmo berdua pulang. Tapi, apa
yang terjadi? Petugas Siskamling yang menjemput jimpitan beras mengatakan bahwa mereka
mendengar suara aneh di rumah (tepatnya di kamar) Pak Dwiyatmo. Siang hari Pak Dwiyatmo
menggergaji keranda itu dan menjadikannya meja-kursi. Ini saya tahu karena saya datang untuk
mengunjungi mereka yang temanten baru. Saya juga tahu yang lain. Istri baru itu sedang
memotong-motong kain putih calon kain kafan Pak Dwiyatmo. Ya, itulah yang terjadi, kata
Pak Dwiyatmo membenarkan pikiran saya. Lho! Saya sembunyikan keheranan bahwa dia tahu
pikiran saya.
Seminggu kemudian Said datang ke rumah. Coba, Bapak. Kami sedang mau tidur, tiba-tiba dari
kamar sebelah, kami mendengar suara-suara. Ah, beta malu mengatakannya. Sementara itu,
petugas Siskamling melaporkan bahwa suara aneh itu pindah ke kamar tamu yang
berdempetan dengan kamar tidur di rumah sebelah. Klop!
Saya mencoba menyarankan Said untuk melapisi dinding-dinding dengan gipsum yang kedap
suara. Ala, Bapak ini bagaimana. Kalau beta kaya pasti sudah menyewa rumah di luar
Perumnas. Istrinya menyambung, Maaf, kalau kata-kata suami saya menyinggung Bapak.
Saya usul, Kalau begitu, bagaimana kalau kamar tamu diubah jadi tempat tidur? Katanya, Ya,
besoknya lagi Bapak akan menyarankan kami tidur di halaman. Lagi istrinya memintakan maaf
suaminya. Kemudian lain hari keluarga Said pergi lagi, meninggalkan surat. Tolong beri tahu
beta kalau tetangga sebelah sudah dipanggil Allah.
Lain dari biasanya, pagi-pagi saya dapat pergi berjamaah ke masjid. Di sana saya bertemu Pak
Dwiyatmo. Subhanallah! Saya terkejut. Ia menoleh dan berkata, Betul saya Dwiyatmo.
Katanya lagi, Saya berdosa, saya khilaf, saya bertaubat. Ia melanjutkan sambil sama-sama
jalan pulang, Orang hidup ini harus seperti iklan. Ia berenang-renang di laut, tapi tak pernah jadi
asin. Saya sedang berpikir mungkin sudah waktu untuk mencari Said dan minta dia kembali ke
Jalan Asmaradana, ketika orang-orang Siskamling mengatakan bahwa suara-suara aneh itu
berjalan terus. Itukah berenang-renang? Wallahualam. Saya mau menegur Pak Dwiyatmo,
tetapi rasanya tidak pas. Menyuruh keduanya berunding untuk menyelesaikan perseteruan diam-
diam itu, jangan-jangan malah jadi perseteruan terbuka. Jadi saya hanya bagaimana-bagaimana
sendiri.
Walhasil, saya gagal jadi Ketua RT, gagal mendamaikan Pak Dwiyatmo dan Said. Saya, doktor
ilmu politik berijazah luar negeri! Entah apa yang akan saya katakan pada Said kalau kebetulan
ketemu di kampus. Saya juga menghindar setiap mau ketemu orang yang saya persangkakan dari
Ambon, nyata atau khayalan, hidup atau mati, di mana saja. Saya sangat malu. Leiriza,
Luhulima, Tuhuleley, Patirajawane, Raja Hitu, sepertinya semua berwajah Said Tuasikal.
Saya juga gagal memahami Pak Dwiyatmo. Saya sudah pergi ke empat benua untuk belajar,
riset, seminar, dan mengajar. Tetapi, bahkan tentang tetangga saya, Pak Dwiyatmo, saya tidak
tahu apa-apa. Pak Dwiyatmo, Pak Dwiyatmo. Manusia itu misteri bagi orang lain.
Tiba-tiba saya merasa bodoh, sangat bodoh. *
Yogyakarta, 23 Februari 2004






Kumpulan Cerpen Kompas
arsip cerita pendek kompas minggu
Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi
with one comment







Kisah jang soenggoe2 soeda kedjadian dimasa laloe ini berasal dari zaman pemerintahan
Presiden Soeharto dan Pangkopkamtib-nya dipegang Sudomo. Ceritanya ialah tentang micro-
level politics, bukan national-level politics atau local-level politics yang menyangkut ideologi
dan partai-partai. Tapi, sekadar peristiwa di tingkat desa di pinggiran Kota Yogyakarta. Namun,
akan ternyata bahwa politik kecil-kecilan itu tidak kalah memusingkannya daripada politik yang
gede-gede. Pelakunya harus putar otak, pandai mengotak-atik kenyataan bagaimanapun kecilnya.
Dimulai ketika Sutarjo (37), pengusaha konveksi, mencalonkan diri jadi kepala desa alias lurah
di desanya. Pesaing terkuatnya adalah mantan seorang kapten TNI yang baru-baru ini pensiun,
yang kabarnya akan menggunakan senjata pamungkas, yaitu asal-usul Sutarjo yang tidak bersih
lingkungan karena almarhum bapak Sutarjo dulu terlibat G30S. Ujian tertulis dan lisan sudah
bisa dipastikan bahwa dia akan lulus. Sebab, ia mengantongi ijazah SMA, pernah duduk sebagai
mahasiswa, dan camat yang sangat menentukan kelulusannya amat berutang budi padanya.
Camat itu telah dibantunya dalam mencatut uang sewa Dolog yang kebetulan tanahnya adalah
milik Sutarjo.
Negara memerlukan tanahmu, kata Camat. Jangan jual mahal.
Tapi, Pak, tanah ini rencananya untuk ruko. Tempatnya strategis, pinggir jalan besar.
Ini demi pembangunan, lho.
Pada waktu itu kata pembangunan jadi hantu politik yang membuat Sutarjo berpikir dua kali
untuk menolak permintaan camat. Maka, ia pun menyewakan tanahnya dengan harga sangat
murah. Camat masih minta supaya ia menggelembungkan uang sewa (cara sekarangnya disebut
mark up).
Coba tanda tangani kuitansi ini, pinta Camat.
Lha kok besar betul, katanya.
Sst, tidak demikian. Indonesia itu kaya: punya bukit, punya hutan, punya laut, punya tambang.
Apa salahnya saya ikut andarbeki? Negara membeli pegawainya dengan harga sangat murah.
Saya kira cara ini sah-sah saja. Daripada diberikan Cina. Kapan lagi mengambil hak kalau tidak
mumpung ada kesempatan. Dan kesempatan hanya datang sekali seumur hidup. Boleh ambil asal
jangan terlalu banyak. Banyak juga boleh asal bisa merahasiakan.
Maka, semua permintaan Camat diturutinya. Camat juga menjadi pemborong pembangunan
gudang Dolog, yang ia tahu bukannya Camat sendiri yang mengerjakan. Tentu saja harga
bangunan itu juga digelembungkan. Ia tahu semuanya soal kongkalikong itu, jadi mustahil ia
tidak lulus.
Sutarjo menggunakan tanda gambar padi, sedangkan pensiunan kapten menggunakan tanda
gambar senapan. Keduanya yakin pasti lulus. Sutarjo sudah diketahui alasannya, sedangkan
kapten, ya, karena ia bekas tentara, dan siapa berani tidak meluluskan tentara? Orang mesti
berpikir tiga kali menghadapi tentara. Maka, jauh-jauh sebelum hari-hari kampanye dan hari-H,
keduanya sudah mengadakan rapat-rapat dengan para kader. (Kader artinya juru kampanye).
Sutarjo yang juga sudah mendengar soal tidak bersih lingkungan menjadi panik. Maka, ia
pergi pada seorang tokoh yang dulu Ketua Masjumi di desanya yang kemudian jadi Ketua MDI,
dan sekarang anggota DPRD II mewakili Golkar. Pendek kata, tidak diragukan lagi kelihaian
politiknya. (Bekas Masjumi kok tidak ke PPP, tapi ke Golkar? Orang itu jangan jadi
pecundang terus, sekali-sekali jadilah pemenang.)
Gampang saja, katanya. Yakinkan para pemilih bahwa kau adalah cucu Lurah. Kunjungi
kuburan kakekmu, buat fotonya, syukur ada video tape, sebar luaskan. Kalau ada video tape,
putarlah pada semua kesempatan jagongan: bayen, midodareni, bahkan takziyah. Kakeknya
dulu adalah lurah yang terkenal pemurah, rendah hati, suka menolong, dan sakti mandraguna.
Sutarjo merasa lega.
Ia mengundang tukang foto, dengan biaya besar ["jer basuki mawa beya"] ia juga mengundang
kameraman dari TVRI, dan membeli peralatan untuk memutar. Namun, ketika ia mengunjungi
kuburan kakeknya, lhadalah!
Haram, syirik, teriaknya.
Kuburan itu penuh kemenyan dan bunga mawar. Ia menyuruh orang membersihkan kemenyan
dan bunga itu. Kalau tidak, bagaimana meyakinkan para pemilih bahwa ia Muhammadiyah
tulen? Setelah bersih, baru jepret-jepret dan terrr.
Beres. Ia pun lapor pada tokoh penasihatnya.
Itu kesalahan, komentarnya.
Lho! Ia seperti disambar petir.
Kata penasihat, Politik itu the art of the possible. Tidak harus lurus, tapi boleh bengkok-
bengkok. Jangan lugu begitu. Politik itu seperti silat, balikkan kelemahan jadi kekuatan. Kata
penasihat lagi, Adanya kemenyan itu justru menguntungkan, untuk menunjukkan bahwa
sekalipun kau Muhammadiyah, tapi Muhammadiyah yang penuh toleransi. Karena itu, pergilah
tiap malam ke kuburan kakekmu, bawa orang, baca surat Yasin. Kuburan kakekmu perlu
direnovasi. Buatlah emper-emperan sehingga orang duduk lebih nyaman. Perkara syirik itu bisa
diatur kemudian.
Perlu diketahui bahwa waktu itu orang sedang demam SDSB (Sumbangan Dana Sosial
Berhadiah, yang oleh masyarakat [mahasiswa, sopir taksi, pedagang, dan para jurnalis]
dipelesetkan jadi Sudomo Datang Semua Beres), efemisme dari lotere. Orang menyepi di
kuburan kakeknya yang dianggap keramat untuk mendapat nomor. Hal yang membuat dia
pusing, orang-orang yang mencari nomor ke kuburan kakeknya, kabarnya, dibekingi oleh
pesaingnya, kapten itu.
Menuruti anjuran penasihatnya, ia pergi dengan rombongan ke kuburan kakeknya tiap malam,
dan merenovasi kuburan itu. Ia juga menyuruh orang untuk membakar kemenyan dan menabur
bunga. Dan setelah kemenyan dan bunga menggunung lagi, ia mengundang tukang foto dan
kameraman. Ia sudah bertekad: berapa pun habisnya, akan ia bayar. Tujuannya satu: menjadi
lurah desa.
Minggu kampanye ditandai dengan kelilingnya dokar, penumpang dengan megafon, dan
pengumuman supaya penduduk yang berhak memilih mendatangi TPS. TPS itu ada di lima
dusun.
Halo, halo. Pengumuman, pengumuman. Datanglah ke TPS untuk pilihan lurah, hari [anu],
pukul [anu sampai anu].
Kusir dokar dan pemegang megafon sudah hafal betul jalan-jalan desa yang harus dilalui sebab
mereka juga yang mengumumkan sepak bola, bola voli, bioskop misbar (gerimis bubar, layar
tancep), komidi putar, dan ketoprak di lapangan desa.
Mulailah kampanye. Para kader kedua pihak mengunjungi rumah-rumah penduduk. Mereka akan
memulai dengan, Apa panjenengan sudah punya calon? Kalau belum, sebaiknya pilih Padi.
Atau, Kalau belum, inilah calon terbaik, tanda gambar Senapan.
Sutarjo mengadakan tahlil, yasinan, pengajian akbar, dan sarasehan tentang toleransi. (Dengan
makanan kecil keluar dari kantongnya). Semuanya dimaksud untuk menunjukkan bahwa dia
orang Muhammadiyah yang toleran. Dengan perbuatan nyata, tidak dengan pidato-pidatoan.
Lihatlah, misalnya, untuk pengajian akbar, ia juga mengundang seorang kiai NU dan bukan
ustadz Muhammadiyah. Demikian juga untuk konsumsi pemilih muda, ia mengadakan sarasehan
tentang toleransi. Tidak usah diceritakan bahwa ia selalu berpidato dan berfoto dengan orang
yang dipandangnya tokoh.
Perintahnya pada seorang kader, Cetak banyak-banyak yang 45 menit jadi. Buat papan
pengumuman di tempat-tempat strategis, lalu tempelkan gambar-gambar itu. Jaga, jangan sampai
Senapan mencopot gambar-gambar itu. Buatlah Padi banyak-banyak, tempel di tembok-
tembok, tiang listrik, dan pohon. Pendek kata, dia sudah merasa puas dan yakin memenangkan
pilihan.
Pesaingnya, Senapan, menggunakan strategi dan taktik lain yang mungkin dipelajarinya dari
masa dinasnya. Satu, ia mengundang tayub dari Rembang untuk berjoget bersama penduduk.
Dua, wayangan dengan waranggana yang cantik-cantik untuk jadi tontonan penduduk. Tiga, apa
yang kemudian disebut money politics. Ia menjanjikan sejumlah uang kepada para pemilih. Uang
ini didapat dari dua buah perusahaan real estate dengan janji izin mendirikan perumahan di
bantaran sebuah sungai dan izin membangun perumahan di atas tanah desa dengan hak
bangunan. Empat, tidak hanya itu. Tesisnya, Aman dulu, baru membangun desa, didukung
oleh fakta. Karena, kebetulan ada dua peristiwa yang menguntungkan, yaitu tawur antarpemuda
dan petrus (penembak misterius).
Tawur antardesa itu berasal dari omong-omong sekenanya di warung bakmi. Orang indekos itu
tidak punya moral. Kalau tidak ndemeni teman seindekos, ya ibu kosnya, kata penduduk asli
kepada seseorang yang mondok. Kontan para mahasiswa dan pelajar yang indekos di rumah-
rumah penduduk dan yang tinggal di asrama daerah di desa Senapan marah. Malam hari
mereka mendatangi pertigaan tempat para pemuda asli berkongko-kongko dan terjadilah tawur
antarpemuda asli dengan pemuda mondok. Adapun mengenai petrus itu ceritanya begini.
Pemerintah Kodya Yogyakarta selama ini tidak berdaya menangani para Gali (Gabungan Anak
Liar) di kota yang mengadakan pungli (pungutan liar) terhadap Colt, toko, warung, pedagang di
pasar, dan pedagang kaki lima. Pemerintah Kodya lalu pasrah pada Korem untuk bertindak apa
saja. Dasar tentara yang punyanya cuma bedil, senapan menyalak. Mereka menembak mati Gali-
Gali. Dan, banyak Gali yang melarikan diri ke desa di pinggiran kota itu yang didor. Malam hari
orang akan mendengar bedil berbunyi, kemudian mobil ambulans milik tentara.
Tibalah hari-H. Di setiap TPS disediakan tiga kotak, dua kotak untuk cakades dan satu kotak
kosong untuk menjamin pilihan yang demokratis. Padi yakin menang karena dia selalu ada di
tempat, mendapat konsultan yang benar-benar politikus, dan sudah bekerja secara benar dan
pener. Senapan juga yakin menang karena telah bekerja sesuai dengan strategi dan taktik yang
dipelajarinya. Lagi pula semboyannya tentang prioritas pada keamanan cocok dengan semboyan
Orde Baru.
Tibalah waktu yang paling membuat sport jantung dari dua cakades: penghitungan suara. (Tentu,
tak ada orang tahu bahwa kartu pilihannya diberi nomor oleh panitia. Dan, ada daftar nama dan
nomor pada panitia. Karena setelah dihitung, kotak-kotak akan dibawa ke kecamatan, Senapan
tinggal pergi ke kecamatan, dan tahulah dia siapa memilih siapa. Para pemilih dan panitia
pencatat akan mendapat imbalan sepatutnya. Rapi jali, halus, dan tak bisa bocor). Setelah
dihitung, ternyata Padi kalah telak.
Ketika sudah nyata-nyata kalah, ia pergi pada penasihat politiknya.
Jangan menyesal. Benar engkau kalah, tapi itu karena engkau jujur, agamis, bersih, dan
kesatria. Senapan telah memanfaatkan nafsu rendah manusia dengan waranggana yang cantik
dan tayuban. Sini saya beri tahu.
Kemudian dengan bisik-bisik dikatakan bahwa Senapan itu curang dengan cara obral uang,
tawur, dan petrus.
Ketahuilah, tawur dan petrus itu hasil rekayasanya juga. Jadi dikalahkan oleh kecurangan itu
pahlawan. Saya bangga dengan engkau. Engkau memburu akhirat, dia memburu dunia.
Sesampai di rumah, Sutarjo menceritakan pembicaraannya dengan sang penasihat kepada
istrinya.
Saya kira engkau dhedhel-dhuwel luar dalam, Mas. Akhirat tidak, dunia gagal. NU bukan,
Muhammadiyah mboten. Politikus bengkok-bengkok meleset, orang agama jalan lurus urung,
komentar istrinya.
Pokoknya bukan itu semua.
Sutarjo suka menghibur diri. Saya kalah karena memburu akhirat, meninggalkan dunia. Sak
beja-bejaning wong kang lali, isih beja wong kang eling lan waspada. Sebesar-besarnya
keuntungan orang yang lupa diri, masih beruntung orang yang ingat dan menjaga diri.
Ia tetap bangga kalau teringat kisahnya jadi cakades.
Ia yakin benar, Saya dikalahkan oleh kecurangan. Dan, Alhamdulillah, tidak jadi lurah, tidak
usah korupsi.
Dia sudah berusaha keras menghibur diri: dari kecurangan orang lain, politik secara nasional
berpihak pada lawan, terhindar dari kejahatan korupsi, sampai tidak jadi lurah itu memang sudah
takdir. Tapi tetap saja ia tidak dapat menyembunyikan kemurungan. Makan tak enak, tidur tak
nyenyak, minum tak segar, mimpi dikejar-kejar maling. Istri yang sehari-harinya mengamatinya
ikut prihatin. Istri menemui penasihatnya, politikus tulen itu. Begitu saja kok repot. Kalah dan
menang dalam politik itu lumrah, komentar sang penasihat. Saya pikirnya dulu.
Bola ada di tangan penasihat. Penasihat memutar otak. Pertanyaannya ialah ia ingin menjadikan
kekalahan sebagai sebuah kemenangan. Sepertinya mustahil. Semua sudah terjadi. Penduduk
desa terbagi dua. Mereka menggerombol pada kelompoknya sendiri: Padi dan Senapan.
Pesta kawin, jagong bayen, siskamling, rapat-rapat LMD dan LKMD, bahkan takziyah.
Pikir punya pikir, sang penasihat dapat ilham cemerlang, Eureka!
Penasihat menemui cakades gagal kita.
Jangan sedih. Ada caranya membalikkan sebuah kekalahan menjadi sebuah kemenangan.
O, ya? Mukanya jadi cerah, byar!
Iya. Begini, lho. Kau harus ambil inisiatif untuk rujuk desa, berupa pidato dan makan-makan
seadanya. Di tempatmu, jangan di Balai Desa. Kumpulkan kader-kader kedua belah pihak,
wakil-wakil pemuda, mahasiswa, dan pelajar yang tawur. Undang pimpinan kecamatan Muspika
untuk hadir dan memberi sambutan.
Ia pun bekerja, mengunjungi sana-sini, menjual gagasannya. Ia juga mendapat dukungan dalam
rapat-rapat LMD dan LKMD. Jadilah. Istri dimintanya memasak, seekor kambing besar
disembelih. Rumahnya akan jadi rumah bersejarah di desanya.
Undangan diedarkan. Pada hari yang ditentukan, semuanya sudah lengkap: meja-kursi, mikrofon,
dan hidangan. Orang-orang berdatangan. Muspika datang. Lurah baru datang meski agak
terlambat. Tapi, lho! Yang datang hanya orang-orang Padi. (Sutarjo tidak tahu bahwa kubu
Senapan mengadakan pesta kemenangan di Balai Desa). Tunggu punya tunggu tidak ada lagi
yang datang. Minum teh gelas keluar. Tak juga bertambah. Akhirnya, acara dimulai. Pidato-
pidato. Sutarjo mau menangis, tapi ditahannya. Selesai. Hidangan keluar. Muspika pamit. Lurah
baru pamit. Semua pulang. (Orang Senapan sudah menanti untuk mendaulat supaya Muspika
kemudian hadir di Balai Desa).
Sukses! kata Camat ketika bersalaman dengan Sutarjo.
Sukses! kata Danramil waktu pamitan.
Sukses! kata Kapolsek.
Hati Sutarjo seperti diiris-iris.
Tidak dapat menyembunyikan kekecewaan, ia menemui penasihat.
Bagaimana, Pak. Jadinya kok malah runyam begitu?
Ya, itulah politik. Sekali menang, sekali kalah. Sekali timbul, sekali tenggelam. Sekali datang,
sekali pergi. Begitu ritmenya, tanpa henti. Hadapi ritme itu dengan humor tinggi. Jangan kalau
menang senang, kalau kalah susah. Jangan. Berbuatlah sesuatu hanya pada waktu yang tepat.
Ketika momentumnya datang, pada sangatnya. Kalau bisa ciptakan momentum itu. Tetapi,
jangan nggege mangsa [terlalu cepat], tapi juga jangan terlambat, komentar sang penasihat
enteng.
Sutarjo tak kunjung mengerti. Kepalanya menggeleng-geleng. Ck, ck, kata mulutnya,
kemudian melongo.
Yogyakarta, 1 Maret 2003

You might also like