You are on page 1of 20

Alfiandri, Harahap, SR.

2012:1 (1)

Kajian Kualitas Air di Sekitar Penambangan Pasir Laut
Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat
Kabupaten Bengkalis


Alfiandri
Alumni Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Riau
dan Pegawai Negeri Sipil Dinas Pertambangan Kabupaten Bengkalis


Syaiful Ramadhan Harahap
Dosen Tetap Program Studi Budidaya Perikanan, Fakultas Pertanian Universitas
Islam Indragiri Tembilahan


Study of Water Quality around The Sea Sand Mining at Dusun Sungai Injap
Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat District of Bengkalis


Abstract

The research on water quality assessment around the sea of sand mining from
Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat District of Bengkalis
was carried out for three months (June to August 2011) using the survey method.
Results showed that sand mining activities have an impact on water quality
degradation based on the concentration parameter Brightness, Turbidity, TSS and
Heavy Metals (Pb and Zn) which are not in accordance with quality standards
Kep.Men.LH. No. 51 Tahun 2004. While the parameters of temperature, pH, COD
and BOD
5
was still at the threshold established quality standards. These results
show that the sea sand mining activities have resulted in contamination in the
surrounding waters of Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat
District of Bengkalis. Required effort and control of marine sand mining activities
of Local Government and the Office concerned, given the impacts of marine sand
mining activities can be very harmful to people's lives around. The discovery of
the concentration of heavy metals (Pb and Zn) in excess of standard quality and
are very dangerous both for ecological and aquatic biota as well as very
dangerous to the health of people who consume marine life that has been
contaminated heavy metals.

Keywords: mining activity, marine sand, water quality, heavy metal.





PENDAHULUAN


Pasir laut adalah salah satu sumber daya alam yang bersifat tidak dapat
pulih (non renewable resource) yang telah lama dimanfaatkan dan akhir-akhir ini
menjadi hal penting baik pada skala nasional maupun daerah. Pasir laut adalah
bahan galian pasir yang terletak pada wilayah perairan Indonesia yang tidak
mengandung unsur mineral golongan A atau B dalam jumlah yang berarti ditinjau
dari segi ekonomi pertambangan (Keppres No. 33 Tahun 2002).

Wilayah Kabupaten Bengkalis terdiri dari daratan dan pulau, serta
kawasan perairan cukup luas. Potensi yang terkandung di kawasan perairan dan
kelautan Kabupaten Bengkalis sangat melimpah, diantaranya sektor perikanan
dan sumber daya alam (SDA) seperti migas dan sumber mineral lainnya seperti
pasir laut. Pada dasarnya potensi ini menjadi penopang perekonomian masyarakat
Kabupaten Bengkalis, khususnya masyarakat pesisir yang menggantungkan
hidupnya dari sektor kelautan dan perairan.

Potensi pasir laut yang ada di Kabupaten Bengkalis di antaranya terdapat
di perairan Pulau Rupat terutama di Kecamatan Rupat dan Kecamatan Rupat
Utara dengan potensi cadangan sebesar 105.575.000 m
3
untuk pasir laut dan
5.026.000 m
3
untuk pasir pantai (Distamben Kabupaten Bengkalis, 2009). Potensi
pasir laut dengan jumlah yang besar tersebut sebagian besar terdapat di kelurahan
Tanjung Kapal Kecamatan Rupat dengan besaran potensi sebesar 42.000.000 m
3

atau sebesar 39,78% dari potensi cadangan pasir laut di Pulau Rupat (Bappeda
Kabupaten Bengkalis, 2010). Potensi pasir laut yang besar ini belum digali
secara maksimal, hanya baru sebatas penambangan secara tradisional oleh
masyarakat pesisir di kawasan itu dengan sitem sedot menggunakan pompa
Domfeng dengan jumlah penambang berdasarkan mesin Domfeng yang
digunakan yaitu sebanyak 9 orang (Distamben Kabupaten Bengkalis, 2009).

Pemanfaatan maupun pengelolaan sumber daya alam (SDA) berupa pasir
laut ini harus mempertimbangkan dampak lingkungan yang mungkin terjadi.
Mengingat selama ini pengelolaan SDA terkadang mengabaikan aspek
berkelanjutan dan dampak lingkungan. Akibatnya, menimbulkan degradasi mutu
lingkungan yang berlangsung dalam waktu yang lama yang tentu saja akan
menjadi harga mahal yang harus dibayar sebagai implikasi dari
eksploitasi/penambangan pasir tersebut. Karena tidak dipungkiri akibat
penambangan pasir laut yang tak terkendali, telah berpengaruh terhadap
kerusakan lingkungan dan ekosistem biota laut.

Aktivitas penambangan pasir laut di Rupat saat ini menimbulkan dilema,
dari aspek ekonomi, masyarakat pesisir berupaya meningkatkan taraf hidup
dengan cara menambang pasir. Tetapi sebaliknya jika dilihat dari sudut pandang
aspek lingkungan, aktivitas penambangan pasir sangat berpotensi menurunkan
kualitas perairan dan kerusakan ekosistem (biota) laut.

Kekhawatiran akan menurunnya kualitas perairan dan terdegradasinya
ekosistem akibat dampak penambangan pasir laut ini sangat beralasan mengingat
aktivitas penambangan pasir laut di kawasan Kepulauan Riau (Kepri) beberapa
waktu lalu, mengakibatkan menurunnya kualitas air baik secara fisika, kimia
maupun biologi, berkurangnya daerah penangkapan ikan dan hilangnya gugusan
pulau-pulau kecil.

Penambangan pasir laut menghasilkan debu-debu halus yang disebut debri
dan akan mengikuti arus laut. Debri bisa berkelana hingga 20-30 mil jauhnya dan
dapat menutupi terumbu karang, serta mengganggu kehidupan biota laut. Jelas
sekali dampak debri ini pada hutan bakau, garis pantai, dan keberlangsungan
terumbu karang. Jika terumbu karang rusak, dampaknya langsung ke populasi
ikan dan akan berpengaruh pada pendapatan nelayan. Kerusakan paling nyata
pada penambangan pasir laut di pulau Rupat adalah terjadinya abrasi pantai dan
kekeruhan air laut. Terjadinya abrasi akan menyebabkan kerusakan ekosistem dan
populasi hutan bakau serta hilangnya daerah asuhan ikan. Sementara itu,
meningkatnya kekeruhan akan menyebabkan bermigrasinya populasi ikan dan
rusaknya ekosistem terumbu karang (Delinom, 2004).

Mengingat besar dan luasnya kemungkinan dampak yang ditimbulkan dari
kegiatan penambangan pasir laut di Rupat Kabupaten Bengkalis, maka diperlukan
sebuah kajian untuk mengetahui parameter apa saja yang telah mencemari
perairan sekitar kegiatan penambangan pasir laut di perairan Dusun Sungai Injap
Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat sehingga dapat diketahui status kualitas
perairan di sekitar lokasi penambangan pasir laut di perairan Dusun Sungai Injap
Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat ditinjau dari parameter fisika dan kimia
perairan.

Tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk memberikan gambaran dan
informasi tentang dampak lingkungan yang terjadi akibat kegiatan penambangan
pasir laut di perairan Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat
Kabupaten Bengkalis dengan cara mengidentifikasi parameter apa saja yang telah
mencemari perairan sekitar kegiatan penambangan pasir laut di perairan Dusun
Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis sehingga
diketahui gambaran mengenai status kualitas perairan di sekitar lokasi
penambangan pasir laut di perairan Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul
Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis ditinjau dari parameter fisika dan kimia
perairan.


METODE PENELITIAN


Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juni hingga Agustus 2011 di perairan
Dusun Sungai Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat. Dusun Sungai Injap
Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat dipilih sebagai lokasi penelitian karena
memiliki potensi pasir laut yang sangat besar yaitu 42 juta m
3
atau sebesar
39,78% dari total potensi pasir laut yang ada di Pulau Rupat. Besarnya potensi ini
tentu saja memicu kegiatan penambangan pasir laut yang saat ini telah dilakukan
masyarakat sekitar yang jumlahnya cenderung terus bertambah, sehingga
dikhawatirkan dapat berdampak terhadap menurunnya kualitas perairan disekitar
Pulau Rupat.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air, sampel sedimen
pasir, aquades, H
2
SO
4
pekat, larutan hydrogen peroksida (H
2
O
2
), HNO
3
, HgCl,
dan HCl larutan standar Pb dan Zn.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas 2 (dua) yaitu : 1) alat yang
digunakan dalam pengambilan dan pengukuran sampel di lapangan (in situ), 2)
alat yang digunakan untuk analisis sampel di laboratorium (ex-situ). Alat yang
digunakan dalam pengambilan dan pengukuran sampel in situ meliputi: GPS
(Global Positioning System) merek Garmin untuk menentukan posisi stasiun
pengamatan, pH meter merek Scott and myron L Multimeter II untuk mengukur
derajat keasaman, thermometer raksa untuk mengukur suhu, secchi disk untuk
mengukur kecerahan, Secci disk untuk mengukur kecerahan, kertas label,
kemmerer water sampler kapasitas 1 liter untuk media penyimpanan air sampel
dan coolpack sebagai media pendingin untuk menyimpan botol sampel yang berisi
sampel air guna di analisis di laboratorium (ex-situ). Sedangkan alat yang
digunakan untuk analisis sampel di laboratorium meliputi : gelas ukur, gelas
beaker, pipet tetes, Freezer, timbangan analitik, alat pemanas (hot plate), labu
takar, oven Atomic Adsorbtion Spectroscopy (AAS) merek Perkin Elmer 3110,
buret untuk titrasi, shaker dan pengaduk.

Analisis ex-situ untuk parameter fisika dan kimia dilakukan di Laboratorium
Ekologi Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
Sedangkan untuk sampel logam berat dilakukan di laboratorium jurusan Ilmu
Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.

Prosedur Penelitian

Pengambilan sampel parameter fisika, kimia perairan ditetapkan secara purporsive
(sengaja) dengan frekwensi pengambilan sampel sebanyak 1 (satu) kali ulangan
pada 6 titik sampel yang terdiri atas 5 stasiun sampling kualitas air laut
permukaan dan 1 stasiun sampling sedimen dasar. Pengambilan sampel air laut
permukaan lebih diarahkan pada pusat-pusat kegiatan penambangan pasir di
perairan. Sampel air yang diambil mengacu pada SNI 6989.57:2008 tentang
Metoda Pengambilan Air Permukaan. Lokasi sampling adalah sebanyak enam (6)
lokasi yang dianggap dapat mewakili hasil penelitian ini dengan keadaan yang
sebenarnya, yaitu St. 1 (berada di muara), St. 2 (di perairan laut 200 meter dari
St. 1 lokasi penambangan pasir laut), St. 3 (di perairan laut 200 meter dari St. 2
lokasi penambangan pasir laut), St. 4 (di perairan laut 400 meter dari St. 3), St.
5 (badan sungai 800 meter dari St. 4) dan St. 6 (Sedimen yang terdapat di pantai
tempat penimbunan Pasir Laut). Untuk melihat keterkaitan antara prameter
pencemar pada sedimen pasir dengan yang terdapat di perairan maka pada stasiun
2, 3 dan 4 yang merupakan pusat kegiatan penambangan pasir diambil juga
sampel sedimen pasir.

Pengambilan sampel dilakukan pada sekitar pukul 9.00 hingga 11.00 WIB dimana
rentang waktu tersebut intensitas kegiatan penambangan pasir yang dilakukan
cenderung tinggi. Selanjutnya untuk pengamatan suhu, kecerahan, pH dilakukan
langsung di lokasi sampling (in situ). Sedangkan sampel untuk parameter
kekeruhan, TSS, BOD
5
, COD, logam berat Fe, Pb dan Zn dibawa ke laboratorium
untuk dianalisis (ex-situ).

Untuk mengatahui kondisi kualitas perairan Selat Rupat disekitar kegiatan
penambangan pasir Dusun Sungai Injap, data-data yang diperoleh dibandingkan
dengan baku mutu menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun
2004 tentang Baku Mutu yang diperuntukkan untuk biota laut.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter lingkungan yaitu pengukuran kualitas air di sekitar kegiatan
penambangan pasir laut Dusun Sungai Injap yang dilakukan, meliputi parameter
fisika, kimia dan logam berat. Parameter yang diukur antara lain Suhu,
Kecerahan, Kekeruhan, TSS, pH, COD BOD
5
, logam berat (Fe, Pb dan Zn). Baku
mutu menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004
untuk kehidupan organisme akuatik. Namun akibat kerusakan sensor AAS untuk
parameter Fe maka pada penelitian ini logam Fe tidak terdeteksi. Hasil
pengukuran kualitas air dan sedimen pada masing-masing lokasi penelitian
disajikan pada pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Kualitas Air Perairan Dusun Sungai Injap Sekitar Kegiatan
Penambangan Pasir

Parameter Satuan
Stasiun
Rerata
Baku
1 2 3 4 5 Mutu
*)

I. Parameter Fisika
Suhu
0
C 30 30 30 30 30 30 28-32
Kecerahan Cm 60 50 50 65 70 59 300
Kekeruhan NTU 15 16 16,5 14,4 13 14,98 <5
TSS mg/L 90 91 93 88 85 89,40 80
II. Parameter Kimia
pH - 8,5 8 8 8 8 8,10 7-8,5
COD mg/L 41,36 33,84 37,6 30,08 33,84 35,3440 -
BOD
5
mg/L 13,8 13 13,6 13,6 12,18 13,2360 20
III. Logam Berat Perairan
Pb mg/L 0,01368 0,01421 0,01705 0,01155 0,01048 0,0134 0,008
Zn mg/L 0,1575 0,2323 0,2953 0,1535 0,063 0,1803 0,05



Tabel 2. Logam Berat yang Terkandung dalam Sedimen Pasir Dusun
Sungai Injap

No Parameter Satuan
Stasiun
Rerata
Baku
Mutu
*)
2 3 4 6
1 Pb mg/L 0,0663 0,0694 0,0661 0,05888 0,0434 0,008
2 Zn mg/L 0,3231 0,3572 0,3124 0,2953 0,2147 0,05

Keterangan :
*)
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004
tentang Baku Mutu yang diperuntukkan untuk biota laut

Berdasarkan hasil analisa dari parameter fisika, kimia dan logam berat perairan
dan sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan maka dapat diperoleh
gambaran bahwa perairan Dusun Sungai Injap di sekitar lokasi kegiatan
penambangan pasir laut telah mengalami penurunan kualitas perairan yang relatif
besar bila merujuk pada Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 tentang baku mutu
untuk kehidupan biota laut. Hal ini terlihat dari beberapa parameter yang
kandungannya masih terlalu tinggi, melebihi batas kadar maksimum yang
diperbolehkan. Parameter kualitas air yang tidak memenuhi ataupun melampaui
baku mutu berdasarkan Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 di perairan Dusun
Sungai Injap adalah parameter fisika berupa Kecerahan, Kekeruhan, TSS dan
parameter kimia berupa DO dan Logam Berat (Pb dan Zn).

Penurunan kualitas perairan pada masing-masing stasiun pengamatan relatif
berfluktuasi antara stasiun yang satu dengan stasiun lainnya. Kecuali untuk
parameter suhu yang menunjukkan nilai yang seragam yaitu 30
0
C. Seragamnya
suhu dalam penelitian ini tidak terlepas dari sifat laut tropik yang memiliki massa
air permukaan yang cenderung hangat yang disebabkan oleh adanya pemanasan
yang terjadi secara terus menerus sepanjang tahun. Pemanasan tersebut
mengakibatkan terbentuknya stratifikasi di dalam kolom perairan yang disebabkan
oleh adanya gradien suhu. Berdasarkan gradien suhu secara vertikal di dalam
kolom perairan, Wyrtki (1961) menyatakan bahwa suhu permukaan perairan atau
disebut juga lapisan permukaan tercampur pada laut tropik akan cenderung
membentuk lapisan yang homogen. Hal ini analog dengan proses pengambilan
sampel air untuk parameter suhu yang dilakukan pada permukaan perairan. Selain
itu waktu pengukuran parameter suhu perairan yang dilakukan pada kisaran waktu
yang hampir sama yaitu antara pukul 09.00 11.00 wib juga sebagai faktor
penyebab seragamnya suhu pada seluruh stasiun penelitian. Stasiun penelitian
yang terletak pada lintang yang sama, sehingga menyebabkan radiasi yang
diterima perairan sama di setiap stasiunnya juga merupakan faktor lainnya yang
menyebabkan keseragaman suhu perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahuri
et al dalam Purba (2005) yang menyatakan bahwa suhu perairan sangat
dipengaruhi oleh radiasi matahari dan posisi matahari serta letak geologis, kondisi
awan, proses interaksi air dan udara, kenaikan panas, penguapan dan hembusan
angin.

Kemungkinan adanya pengaruh dari kegiatan penambangan pasir terhadap
keseragaman suhu dan relatif tingginya suhu permukaan perairan pada setiap
stasiun penelitian dapat dilihat dari nilai tingginya nilai kekeruhan dan TSS dan
rendahnya kecerahan perairan. Tingginya nilai kekeruhan dan TSS dapat
menyebabkan intensitas cahaya matahari tidak dapat menembus badan air dan
hanya terkonsentrasi pada lapisan permukaan sehingga cenderung menyebabkan
suhu lapisan permukaan menjadi lebih tinggi. Karena suhu perairan yang relatif
tinggi juga dapat dipengaruhi oleh aktivitas antropogenik yang berasal dari
kegiatan manusia berkaitan dalam hal ini yaitu kegiatan penambangan pasir.

Karakteristik lokasi penelitian yang merupakan Selat yang relatif luas juga
sebagai faktor pendorong terjadinya keseragaman suhu pada seluruh stasiun
pengamatan. Hal ini didukung oleh pendapat Lapan (2003) yang menyatakan
bahwa perairan yang relatif luas seperti selat cendrung memiliki suhu yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perairan sempit seperti sungai atau muara sungai
karena interaksi perairan sempit dengan daratan lebih kuat daripada perairan luas.
Hal ini analog dengan lokasi pengambilan sampel yang dilakukan di Selat Rupat
yang relatif luas yaitu disekitar daerah penambangan pasir.

Kecerahan pada setiap stasiun penelitian berkisar antara 50 70 cm. Dengan
kecerahan terendah terdapat pada stasiun 2 dan 3 sedangkan kecerahan tertinggi
terdapat pada stasiun 5. Rendahnya nilai kecerahan pada stasiun 2 dan 3 sangat
terkait erat dengan kegiatan penambangan pasir laut yang dilakukan, dimana
stasiun 2 dan 3 merupakan stasiun yang berada pada lokasi penambangan pasir
laut. Sedangkan rendahnya nilai kecerahan pada stasiun 1 lebih disebabkan oleh
transport sedimen dari hulu menuju hilir yang dibawa oleh sungai yang terdapat di
Dusun Sungai Injap. Hal ini disebabkan oleh lokasi stasiun 1 yang berada pada
muara sungai Dusun Sungai Injap. Dimana pada muara sungai terjadi proses
turbulensi (pengadukan) antara air yang berasal dari daratan dengan air yang
berasal dari laut yang menyebabkan rendahnya nilai kecerahan pada stasiun 1. Hal
ini juga dapat dilihat dari tingginya nilai kekeruhan dan TSS di kedua stasiun ini.
Proses penyedotan pasir laut yang dilakukan akan menyebabkan terjadinya
pengadukan substrat dasar/sedimen sehingga terjadi suspensi substrat ke dalam
kolom air. Nilai kecerahan pada lokasi penelitian akan berangsur-angsur tinggi
sejalan dengan semakin jauhnya lokasi kegiatan penambangan pasir dengan lokasi
pengambilan sampel seperti yang terlihat pada stasiun 5.

Kecerahan sangat berkaitan erat dengan sinar matahari dan mempunyai arti
penting dalam hubungannya dengan beraneka gejala termasuk penglihatan,
fotosintesis dan pemanasan. Sinar matahari merupakan sumber energi bagi
kehidupan jasad hidup di perairan. Sinar matahari sangat dibutuhkan oleh
tumbuhan air untuk proses asimilasi. Terganggunya proses fotosintesis dan
asimilasi dari tumbuhan air akan menyebabkan terganggunya produktifitas primer
perairan yang tentunya juga akan berdampak kepada hilangnya sumber energi dari
biota laut. Hilangnya sumber energi akan berdampak pada hilangnya sumberdaya
biota disekitar kegiatan penambangan pasir yang tentunya akan merugikan
perekonomian masyarakat nelayan dan hilangnya sumber asupan gizi masyarakat.
Bila merujuk pada Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 tentang pedoman baku
mutu air laut untuk biota, kecerahan yang diinginkan adalah lebih besar dari 3 m.
Maka kecerahan perairan diseluruh lokasi pengamatan tidak memenuhi baku mutu
untuk produktifitas biota.

Perairan Dusun Sungai Injap sekitar kegiatan penambangan pasir secara kasat
mata terlihat berwarna kuning kecokelatan dan cenderung keruh. Air yang keruh
lebih disebabkan adanya padatan tersuspensi dalam jumlah yang tinggi. Hal ini
sebagai akibat adanya proses pengadukan sedimen dasar perairan akibat kegiatan
penambangan pasir. Hal ini dapat dilihat dari tingginya nilai kekeruhan dan TSS
pada stasiun 2, 3 dan 4 yang merupakan pusat kegiatan penambangan pasir laut.
Selain itu tingginya nilai kekeruhan dan TSS yang tinggi juga disebabkan oleh
transport sedimen dari hulu menuju hilir yang dibawa oleh sungai yang terdapat di
Dusun Sungai Injap . Hal ini dapat dilihat dari tingginya nilai kekeruhan dan TSS
pada stasiun 1, yaitu muara Sungai Dusun Sungai Injap. Proses turbulensi
(pengadukan) antara air yang berasal dari daratan dengan air yang berasal dari laut
di sekitar muara juga menjadi faktor penyebab tingginya nilai kekeruhan dan TSS
pada stasiun 1. Pada saat pasang maupun surut, terjadi pertemuan dua massa air
yang berbeda dan saling mendesak. Hal ini berdampak pada terjadinya turbulensi
yang dapat menyebabkan terjadinya proses percampuran dua massa air yang
berbeda salinitasnya. Penelitian ini juga menunjukkan adanya kecenderungan nilai
kekeruhan dan TSS mulai dari lokasi sampling disekitar kegiatan penambangan
pasir laut dan muara sungai (stasiun 1 sampai 4) dengan stasiun yang berada jauh
dari kegiatan penambangan (stasiun 5).

Kekeruhan pada seluruh stasiun penelitian menunjukkan angka yang relatif tinggi
yaitu berkisar antara 13 16,5 NTU. Kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun 3
yang merupakan stasiun yang paling dekat dengan kegiatan penambangan pasir
laut Dusun Sungai Injap. Sedangkan kekeruhan terendah terdapat pada stasiun 5
yang merupakan stasiun yang terjauh dari lokasi penambangan dan merupakan
stasiun yang memiliki kedalaman yang paling dalam dibandingkan stasiun-stasiun
penelitian yang lain. Bila merujuk pada baku mutu parameter kekeruhan menurut
Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004, maka kekeruhan perairan belum memenuhi
baku mutu yang ditetapkan yaitu lebih kecil dari 5 NTU. Tingginya nilai
kekeruhan pada stasiun 3 analog dengan tingginya nilai TSS dan berbanding
terbalik dengan kecerahan pada stasiun ini. Dimana nilai TSS pada stsiun 3 ini
mencapai 93 mg/L sedangkan kecerahan perairan hanya 50 cm. Tingginya nilai
kekeruhan pada seluruh stasiun pengamatan sangat terkait erat dengan kegiatan
penyedotan dan pencucian pasir laut dilokasi penambangan. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya proses penyedotan pasir laut dengan menggunakan mesin
domfeng telah menyebabkan terjadinya pengadukan substrat dasar dan tersuspensi
ke dalam tubuh perairan. Proses pencucian pasir yang dilakukan di atas kapal
pengumpul juga memperparah kekeruhan perairan. Dimana sisa air proses
pencucian akan kembali masuk ke dalam perairan bersama substrat yang
dibawanya. Selain itu kegiatan bongkar muat di pelabuhan Dumai dan intensitas
pelayaran yang tinggi juga mempengaruhi dan memberikan kontribsi terhadap
tingginya tingkat kekeruhan yang terjadi di Selat Rupat. Secara visual kekeruhan
disekitar perairan Dusun Sungai Injap dapat dilihat dari warna perairan yang
kuning kecoklatan dan cenderung bertekstur kasar. Sehingga dapat dipastikan
tingginya nilai kekeruhan pada perairan dominan disebabkan oleh kegiatan
penambangan pasir.

Kekeruhan yang tinggi tentunya akan menghambat intensitas cahaya matahari ke
dalam perairan yang kemudian akan mengganggu proses fotosintesis dan asimilasi
oleh produsen primer perairan. Terganggunya proses fotosintesis tidak hanya
berpengaruh terhadap produktifitas primer perairan bahkan bisa berdampak
kepada kematian biota secara massal akibat kekurangan oksigen akibat
terganggunya proses fotosintesis. Kematian biota secara massal tentunya tidak
hanya merugikan secara ekonomi tetapi juga berdampak pada ekologi akibat
terganggunya rantai makanan.

Analog dengan kekeruhan, nilai TSS pada seluruh stasiun pengamatan tergolong
sangat tinggi yaitu berkisar 85 93 mg/L. Sama dengan parameter lainnya, nilai
TSS tertinggi terdapat di stasiun 3 yaitu 93 mg/L. Sedangkan nilai TSS terendah
terdapat di stasiun 5 yaitu 85 mg/L. Nilai TSS pada seluruh stasiun pengamatan
dapat dipastikan berasal dari kegiatan penambangan pasir laut di perairan Dusun
Sungai Injap. Hal ini dapat dibuktikan secara visual dan fisik, dimana apabila kita
memasukkan tangan ke dalam perairan akan terasa butiran-butiran pasir halus
dengan warna air kecoklatan. Hal ini sejalan dengan pendapat Effendi (2003)
yang menyatakan bahwa Padatan tersuspensi total (total suspended solid) adalah
bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 m) yang tertahan pada saringan millipore
dengan diameter pori 0,45 m. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-
jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang
terbawa ke badan air. Berangsur-angsur semakin rendahnya nilai TSS seiring
dengan semakin jauhnya lokasi stasiun penelitian dengan lokasi penambangan
pasir laut juga menjadi bukti bahwa kegiatan penambangan pasir laut telah
berdampak pada penurunan kualitas lingkungan terutama parameter TSS.
Merujuk pada baku mutu Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 untuk parameter
TSS. Maka nilai TSS untuk seluruh stasiun pengamatan telah melebihi ambang
batas yang ditetapkan untuk biota laut yaitu 80 mg/L.

TSS (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah
liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa komponen
hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, ataupun komponen
mati (abiotik) seperti detritus dan partikel-partikel anorganik. TSSmerupakan
tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai
bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan
produksi zat organik di suatu perairan. Tinggi rendahnya masukan TSS
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jumlah dan aktivitas di sepanjang perairan,
kelerengan dan curah hujan (Harijogja et al, 2002).

Penetrasi cahaya matahari ke permukaan dan bagian yang lebih dalam tidak
berlangsung efektif akibat terhalang oleh TSS, sehingga fotosintesis tidak
berlangsung sempurna. Sebaran TSS di laut antara lain dipengaruhi oleh masukan
yang berasal dari darat melalui aliran sungai, ataupun dari udara dan perpindahan
karena resuspensi endapan akibat pengikisan serta kegiatan penambangan
(Permana, 1994).
Beberapa sumber dan komposisi beberapa partikulat pencemar yang umum berada
di suatu perairan antara lain erosi tanah, lumpur merah dari pabrik aluminium
oksida, padatan dari pencucian batubara, lubang tanah liat, kegiatan penimbunan
sisa pengerukan, penyulingan pasir-pasir mineral, dan pabrik pencucian, kerikil
dan kegiatan-kegiatan lainnya (Connel, 1995). Komposisi dan sifat partikulat
pencemar dari erosi tanah berupa mineral tanah, pasir, tanah liat dan lumpur,
sedangkan mineral sedimen, pasir, tanah liat, lumpur, detritus organik dihasilkan
dari kegiatan penimbunan sisa pengerukan maupun penambangan.

Menurut US-EPA (1972) pengaruh TSS sangat beragam, tergantung pada sifat
kimia alamiah bahan tersuspensi tersebut, khususnya bahan toksik. Untuk zat
padat tanpa bagian toksik yang nyata seperti tanah liat, pemisahan bahan
tersuspensi serta penutupan oleh tanaman bentik dan hewan tidak bertulang
belakang dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi. Tanaman menderita
abrasi dan kerusakan mekanik, hewan yang tidak bertulang belakang yang lebih
kecil mati tercekik, dan hewan tidak bertulang belakang besar yang mempunyai
insang akan mengalami penyumbatan pada alat penglihatan dan permukaan tubuh
lainnya. Pengaruh yang berbahaya pada ikan, zooplankton, dan makhluk hidup
lainnya pada prinsipnya adalah penyumbatan insang oleh partikel.

Hasil penelitian Tarigan (2003) menunjukkan bahwa telur makhluk hidup air yang
terdapat pada sedimen menderita angka kematian yang tinggi. Partikel terlarut
juga dapat menyebabkan kematian pada telur non bentik dengan melalui
penyerapan pada permukaan telur. Kedua pengaruh tersebut mengakibatkan
penurunan aliran air dan oksigen terlarut ke dalam telur. Pengaruh keduanya
terhadap perilaku ikan terjadi dalam bentuk penolakan ikan terhadap air keruh,
hambatan makan dan peningkatan pencarian tempat terlindung. Selain itu
kekeruhan juga mengurangi aktivitas dan mempengaruhi jalur migrasi ikan.

Umumnya tingkat kekeruhan atau kecerahan suatu perairan sangat dipengaruhi
oleh kandungan TSS. Pada perairan pantai, kekeruhan air sangat dipengaruhi oleh
kontribusi suspensi dari sungai yang dibawa arus sepanjang pantai (longshore
current). Selain itu dipengaruhi pengadukan gelombang terhadap sedimen pantai.
Namun kandungan zat padat tersuspensi di perairan ini tampaknya sudah
menyebabkan rendahnya tingkat kecerahan air laut karena adanya intervensi
kegiatan penambangan pasir laut yang menyebabkan terjadinya proses
pengadukan yang lebih besar.

Nilai pH perairan pada seluruh lokasi pengamatan menunjukkan nilai yang
cenderung sama yaitu 8. Kecuali pada stasiun 1 yang menunjukkan nilai pH 8,5.
Jika merujuk pada baku mutu Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 untuk parameter
pH. Maka nilai pH pada seluruh lokasi sampling penelitian menunjukkan kisaran
yang relatif normal dan sesuai baku mutu yang ditetapkan yaitu 7 8,5.

Nilai derajat keasaman (pH) suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam
dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam
larutan (Saeni, 1989). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan
pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi, 2003). Air laut sebenarnya
mempunyai kemampuan untuk menyangga dan mencegah perubahan pH.
Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan memberikan petunjuk terganggunya
sistem penyangga. Hal ini dapat menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan
kadar CO
2
yang dapat membahayakan kehidupan laut.

Ada 2 fungsi dari pH yaitu sebagai faktor pembatas, setiap organisme mempunyai
toleransi yang berbeda terhadap pH maksimal, minimal serta optimal dan sebagai
indeks keadaan lingkungan. Selanjutnya Nurdjanto (2000) menambahkan bahwa
derajat keasaman di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
oleh aktifitas fotosintesis, suhu, anion, dan kation. Nilai pH sangat mempengaruhi
proses bio-kimiawi perairan, misalnya porses nitrifikasi akan berakhir jika pH
rendah dan akan terjadi peningkatan toksisitas logam pada pH rendah (Novotny
dan Olem, 1994). Selain itu larutan yang memiliki nilai pH rendah dapat menjadi
bersifat korosif. Hasil analisa pH pada seluruh lokasi pengamatan masih
mendukung kehidupan biota perairan.

Kisaran nilai konsentrasi COD pada masing-masing stasiun penelitian berkisar
antara 30,08 41,36 mg/L. Sedangkan kisaran konsentrasi BOD
5
pada seluruh
stasiun pengamatan berkisar antara 12,18 13,8 mg/L. Jika merujuk pada
Kep.Men.LH. No. 51. Tahun 2004 untuk biota laut maka parameter COD dan
BOD
5
pada seluruh stasiun pengamatan masih dibawah ambang batas yang
ditentukan yaitu 80 mg/L untuk parameter COD dan 20 mg/L untuk parameter
BOD
5
.

Menurut Lee et al (1978) perairan yang mengandung BOD lebih dari 10 mg/l
berarti perairan tersebut telah tercemar oleh bahan organik, sedangkan apabila
dibawah 3 mg/l berarti perairan tersebut masih cukup bersih. Nilai BOD
5
ini juga
dapat bermakna adanya kemungkinan dominasi bahan-bahan pencemar toksik di
Perairan Lobam yang dapat menghambat aktivitas mikroba perombak bahan
organik. Pada perairan yang banyak mengandung bahan-bahan toksik dapat
mengakibatkan nilai BOD
5
yang diperoleh kurang akurat karena bahan-bahan
toksik yang terdapat dalam air sampel dapat menghambat bahkan mematikan
mikroorganisme perombak bahan organic (Effendi, 2003).

Secara alamiah logam berat terdapat di seluruh alam, namun dalam kadar yang
sangat rendah. Asal masuknya unsur logam berat kedalam perairan secara alami
dibagi tiga antara lain a) berasal dari pantai termasuk sungai-sungai serta hasil
pengikisan oleh gelombang dan pelapukan batuan, b) berasal dari lautan akibat
aktivitas vulkanik yang berada di dalam laut, c) berasal dari atmosfir dalam
bentuk partikel atau debu yang jatuh ke dalam laut (Bryan dalam Supriharyono,
2000).

Ubbe (1992) menyatakan bahwa bahan pencemar logam berat dalam perairan
dapat dipengaruhi oleh parameter oseanografi antara lain suhu, salinitas, pH,
kecepatan arus, turbelensi dan gelombang. Peningkatan kandungan logam berat
dalam air laut selain diduga oleh peningkatan aktivitas disekitar perairan, dapat
juga diduga oleh rendahnya pH dan salinitas, tingginya suhu dan masuknya
nutrien dari muara sungai ke dalam laut.

Logam berat yang diteliti pada penelitian ini adalah logam Fe, Pb dan Zn yang
terakumulasi dalam perairan maupun yang terendap pada sedimen dasar. Namun
logam Fe tidak terdeteksi akibat terjadinya kerusakan sensor Fe pada AAS yang
digunakan sehingga logam berat yang dibahas pada penelitian ini terbatas pada
loam Pb dan Zn. Logam Pb merupakan salah satu logam non essensial yang
sangat berbahaya dan dapat menyebabkan keracunan (toksisitas) pada makhluk
hidup. Racun ini bersifat komulatif, artinya sifat racunnya akan muncul apabila
terakumulasi cukup besar dalam tubuh makhluk hidup. Timbal terdapat dalam air
karena adanya kontak antara air dengan tanah atau udara tercemar timbal, air yang
tercemar oleh limbah industri atau akibat korosi pipa dan alat-alat logam yang
digunakan pada industri dan kegiatan penambangan (Ulfin dalam Purnomo,
2007).

Kisaran logam Pb yang terakumulasi pada perairan pada seluruh lokasi sampling
adalah 0,01048 0,01705mg/L. Dimana konsentrasi Pb pada perairan lebih kecil
dibandingkan dengan konsentrasi Pb yang terdapat pada sedimen pasir yang
berkisar antara 0,0694 0,05888 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
logam Pb yang terakumulasi pada perairan terkait erat dengan keberadaan logam
Pb pada sedimen pasir. Hal ini dapat dilihat dari linearnya konsentrasi logam Pb
di perairan dengan konsentrasi logam Pb yang ada pada sedimen pasir. Dimana
tingginya konsentrasi logam Pb pada sedimen akan diikuti dengan tingginya
konsentrasi logam Pb pada perairan seperti yang terjadi pada stasiun 2, 3 dan 4.
Dengan kata lain kegiatan penambangan pasir pada stasiun 2, 3 dan 4 telah
memberikan kontribusi yang nyata terhadap tingginya konsentrasi logam Pb pada
perairan Dusun Sungai Injap. Jika merujuk pada baku mutu Kep.Men.LH. No. 51.
Tahun 2004 untuk parameter logam Pb. Maka konsentrasi logam Pb perairan
Dusun Sungai Injap sekitar kegiatan penambangan pasir laut telah jauh
melampaui ambang batas baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,008 mg/L sehingga
sangat berbahaya bagi kehidupan biota laut.

Sumber keberadaan logam berat Pb pada perairan Dusun Sungai Injap ini dapat
dipastikan berasal dari kegiatan penambangan pasir laut. Hal ini dapat dilihat dari
tingginya kandungan logam Pb dalam sedimen yang diikuti dengan tingginya
konsentrasi logam Pb pada perairan. Konsentrasi logam Pb pada sedimen yang
tertinggi terdapat pada stasiun 3 yang merupakan stasiun yang berada pada
kegiatan penambangan pasir laut yang analog dengan konsentrasi logam Pb yang
tertinggi pada perairan. Kesimpulan mengenai tingginya pengaruh dari kegiatan
penambangan pasir laut di Desa Sungai Injap terhadap tingginya konsentrasi
logam Pb baik pada sedimen maupun perairan dapat dilihat dari tingginya
konsentrasi logam Pb pada stasiun 2, 3 dan 4 yang merupakan stasiun yang berada
di daerah penambangan pasir laut yang secara berangsur-angsur turun seiring
dengan jauhnya jarak stasiun dengan kegiatan penambangan pasir seperti yang
dapat dilihat pada konsentrasi logam Pb yang terdapat pada stasiun 4. Stasiun 6
yang berlokasi pada daerah pengumpulan pasir yang berada di pinggir pantai
merupakan stasiun dengan konsentrasi logam Pb yang terendah dibandingkan
dengan stasiun yang lain. Rendahnya konsentrasi Pb pada stasiun 6 diprediksi
akibat peluruhan logam pada saat proses pencucian pasir dilakukan di lokasi
penambangan. Selain itu terbukanya tempat penimbunan pasir di pinggir pantai
pada stasiun 6 menyebabkan sedimen pasir mengalami proses pemanasan oleh
sinar matahari langsung yang dapat menyebabkan memuainya senyawa-senyawa
logam dan luruhnya senyawa logam tersebut apabila terjadi hujan.

Selain berasal dari kegiatan penambangan pasir, keberadaan logam berat Pb pada
perairan sekitar Dusun Sungai Injap juga diduga berasal dari kawasan pemukiman
di daerah pesisir pantai Kota Dumai yaitu berasal dari aktivitas yang dilakukan
oleh manusia yang menghasilkan limbah rumah tangga yang menyumbangkan
logam Pb melalui sampah - sampah metabolik dan korosi pipa-pipa air yang
masuk perairan Rupat melalui sungai. Palar (1994) menyatakan bahwa logam
logam berat yang masuk ke dalam perairan berupa ion - ion logam, mengalami
interaksi dengan ion-ion logam lainnya. Disini terjadi reaksi hidrolisis,
pengomplekan ion-ion logam dan kemudian mengalami reaksi reduksi oksidasi,
kemudian logam ini membentuk persenyawaan seperti persenyawaan hidroksida,
senyawa oksida, senyawa karbonat dan senyawa sulfida. Dalam kondisi perairan
yang stabil, senyawa senyawa ini mudah sekali membentuk ikatan ikatan
permukaan dengan partikel partikel yang terdapat pada badan perairan.

Aktifitas pelayaran yang tinggi dan kegiatan industri serta bongkar muat disekitar
areal pelabuhan Dumai juga akan mempengaruhi peningkatan konsentrasi Pb
yang terdapat di perairan Rupat. Bukan saja berasal dari peluruhan atau korosi
kapal dan industri, logam Pb juga dapat berasal dari udara melalui hasil
pembakaran bahan bakar fosil baik dari kegiatan industri maupun transportasi.
Emisi merupakan hasil samping dari pembakaran yang terjadi dari mesin-mesin
industri, kapal maupun kendaraan bermotor. Timbal pada lapisan udara dalam
bentuk tetrametil-Pb dan tetraetil-Pb yang berfungsi sebagai anti ketuk pada
kendaraan bermotor. Semua senyawa uraian dari tetraetil-Pb tersebut sulit larut
dalam minyak, namun dapat larut baik dalam air dan Pb (Timbal) masuk ke
perairan melalui pengkristalan di udara berupa hasil pembakaran bensin dan jatuh
melalui hujan, proses korosi batuan mineral, pertambangan dan limbah industri
baterai (Palar, 1994).

Logam Pb bersifat toksis terhadap biota laut, kadar Pb sebesar 0.1 0.2 mg/L
telah dapat menyebabkan keracunan pada jenis ikan tertentu (Thamzil, 1980), dan
pada kadar 188 mg/L dapat membunuh ikan-ikan (Palar, 1994). Berdasarkan
penelitian yang pernah dilakukan oleh Murphy (1979) diketahui bahwa biota-
biota perairan seperti crustacea akan mengalami kematian setelah 245 jam, bila
pada badan perairan di mana biota itu berada terlarut Pb pada konsentrasi 2.75-49
mg/L. Sedangkan biota perairan lainnya, yang dikelompokkan dalam golongan
insecta akan mengalami kematian dalam rentang waktu yang lebih panjang yaitu
antara 168-336 jam, bila pada badan perairan tempat hidupnya terlarut 3.5-64
mg/L Pb.

Kisaran logam Zn yang terakumulasi pada perairan pada seluruh lokasi sampling
adalah 0,063 0,2953 mg/L. Dimana konsentrasi Zn pada perairan lebih kecil
dibandingkan dengan konsentrasi Pb yang terdapat pada sedimen pasir yang
berkisar antara 0,2953 0,3572 mg/L. Hal ini analog dengan konsentrasi logam
Pb yang terdapat di lokasi penelitian, dimana keberadaan logam Zn yang
terakumulasi pada perairan juga terkait erat dengan keberadaan logam Zn pada
sedimen pasir. Hal ini dapat dilihat dari linearnya konsentrasi logam Zn di
perairan dengan konsentrasi logam Zn yang ada pada sedimen pasir. Dimana
tingginya konsentrasi logam Zn pada sedimen akan diikuti dengan tingginya
konsentrasi logam Zn pada perairan seperti yang terjadi pada stasiun 2, 3 dan 4.
Dengan kata lain kegiatan penambangan pasir pada stasiun 2, 3 dan 4 telah
memberikan kontribusi yang nyata terhadap tingginya konsentrasi logam Zn pada
perairan Dusun Sungai Injap. Jika merujuk pada baku mutu Kep.Men.LH. No. 51.
Tahun 2004 untuk parameter logam Zn. Maka konsentrasi logam Zn perairan
Dusun Sungai Injap sekitar kegiatan penambangan pasir laut telah jauh
melampaui ambang batas baku mutu yang ditetapkan yaitu 0,05 mg/L sehingga
sangat berbahaya bagi kehidupan biota laut.

Analog dengan konsentrasi logam Pb, sumber keberadaan logam berat Zn pada
perairan Dusun Sungai Injap ini juga dapat didominasi dari kegiatan
penambangan pasir laut. Hal ini dapat dilihat dari tingginya kandungan logam Zn
dalam sedimen yang diikuti dengan tingginya konsentrasi logam Zn pada
perairan. Konsentrasi logam Zn pada sedimen yang tertinggi terdapat pada stasiun
3 yang merupakan stasiun yang berada pada kegiatan penambangan pasir laut
yang analog dengan konsentrasi logam Zn yang tertinggi pada perairan.
Kesimpulan mengenai tingginya pengaruh dari kegiatan penambangan pasir laut
di Desa Sungai Injap terhadap tingginya konsentrasi logam Zn baik pada sedimen
maupun perairan dapat dilihat dari tingginya konsentrasi logam Zn pada stasiun 2,
3 dan 4 yang merupakan stasiun yang berada di daerah penambangan pasir laut
yang secara berangsur-angsur turun seiring dengan jauhnya jarak stasiun dengan
kegiatan penambangan pasir seperti yang dapat dilihat pada konsentrasi logam Pb
yang terdapat pada stasiun 4. Stasiun 6 yang berlokasi pada daerah pengumpulan
pasir yang berada di pinggir pantai merupakan stasiun dengan konsentrasi logam
Zn yang terendah dibandingkan dengan stasiun yang lain. Rendahnya konsentrasi
Zn pada stasiun 6 diprediksi akibat peluruhan logam pada saat proses pencucian
pasir dilakukan di lokasi penambangan. Selain itu terbukanya tempat penimbunan
pasir di pinggir pantai pada stasiun 6 menyebabkan sedimen pasir mengalami
proses pemanasan oleh sinar matahari langsung yang dapat menyebabkan
memuainya senyawa-senyawa logam dan luruhnya senyawa logam tersebut
apabila terjadi hujan. Hasil penelitian ini analog dengan pendapat Darmono
(1995) bahwa sumber logam berat Zn di perairan adalah berupa deposit-deposit
yang terbawa atau ada pada sungai-sungai, estuaria dan perairan lepas pantai,
penambangan, pengerukan dan pemanfaatan logam akan mengangkat material
sedimen yang juga mengandung Logam Zn disekitar sungai dan estuaria yang
menuju laut itu sendiri.

Selain diduga berasal dari kegiatan penambangan pasir, logam Zn diduga juga
berasal dari kegiatan industri dan pelayaran di sekitar perairan Rupat. Selain itu
faktor pengenceran juga turut mempengaruhi, sebagaimana menurut Hutagalung
(1984), logam yang masuk ke perairan akan mengalami pengenceran,
pengendapan dan dispersi. Tingginya kandungan logam Zn di perairan
kemungkinan diduga oleh sifat logam Zn dalam lingkungan perairan dan sangat
dipengaruhi oleh bentuk senyawanya. Effendi (2003) menyatakan bahwa logam
Zn di perairan umumnya berbentuk persenyawaan sphalerite (ZnS), calamine
(ZnCO
3
), oksida seng (ZnO) dan milemite (Zn2SiO
4
).

Logam Zn juga bersifat racun dalam kadar tinggi, namun dalam kadar rendah
dibutuhkan oleh organisme sebagai ko-enzim. Hasil percobaan LC50 selama 96
jam menunjukkan bahwa Zn pada kadar 60 ppm telah dapat menyebabkan
kematian 50 hewan uji (ikan) (Connel, 1995), pada kadar 310 ppb telah dapat
mematikan 50% emberio kerang C. virginica (LC50, 24 jam), dan pada kadar 166
ppb dan 195,4 ppb telah dapat mematikan embrio dan larva kerang M. marcenaria
sebanyak 50% (LC50, 24 jam) (Calabrese, 1977).


KESIMPULAN

Parameter Kecerahan, Kekeruhan, TSS, serta Logam Berat Pb dan Zn sudah tidak
mendukung kehidupan biota laut sesuai dengan baku mutu Kep.Men.LH. No. 51
Tahun 2004. Sedangkan parameter Suhu, pH, COD dan BOD
5
masih berada pada
ambang batas baku mutu yang ditetapkan Kep.Men.LH. No. 51 Tahun 2004.
Melihat kondisi ini, maka dapat disimpulkan bahwa status perairan Dusun Sungai
Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis saat ini dalam
kondisi tercemar akibat kegiatan penambangan pasir laut yang dilakukan.

Dampak nyata dari kegiatan penambangan pasir laut di perairan Dusun Sungai
Injap Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis adalah rendahnya
kecerahan perairan, tingginya TSS dan kekeruhan serta kontaminasi logam berat
yang tinggi pada perairan yang berasal dari pengadukan sedimen pasir laut. Selain
itu dampak lainnya berupa tingginya rambatan gelombang dan perubahan pola
arus akibat kegiatan penambangan pasir laut diprediksi akan merubah pola
sebaran sedimen pantai. Perubahan pola faktor-faktor eksternal dari kegiatan
penambangan juga dapat memberikan dampak negatif terhadap ekologi dan
lingkungan di sekitar kegiatan penambangan pasir laut Dusun Sungai Injap
Kelurahan Terkul Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis.














DAFTAR PUSTAKA


Alaerts, G dan Santika, S.S., 1997. Metoda Penelitian Air. Surabaya. Penerbit
Usaha Nasional. 309 hal.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Bengkalis.
2010. Kegiatan Perencanaan dan Pemanfaatan Potensi Bahan Tambang
Galian C (Pasir Laut) di Kecamatan Rupat dan Kecamatan Rangsang
Barat Kabupaten Bengkalis.

Boniska, F.A, 2008. Kajian Dampak Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan
Galian Golongann C ( Studi Kasus daerah Sendangmulyo) Tesis MIL
UNDIP. (Tidak diterbitkan),

Boyd, G. E. and F.Koppler. 1990. water Quality Management in Fish Pond
Culture. International Centre Agriculture Experiment Station Auburn
Univercity, Aurburn. 359 pp.

Brian C. Batchelor, 1983. Late Cainozoic Coastal and Offshore Stratigraphy in
Western Malaysia and Indonesia, thesis Ph D, Dept. of Geology,
University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.

Connell, D.W., and G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Y.
Koestoer [Penerjemah]; Terjemahan dari: Chemistry and Ecotoxicology
of Pollution. UI-Press. Jakarta.

Dahuri R., Rais Y., Putra S.,G., Sitepu, M.J., 2001. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita,
Jakarta.

Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Universitas
Indonesia. Jakarta.

Dinas Pertambangan dan Energi (DISTAMBEN) Kabupaten Bengkalis. 2009.
Laporan Pemetaan Potensi Pertambangan Kabupaten Bengkalis.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Hutagalung. 1984. Metode Pengolahan Zn. http://smk3ae.wordpress.com/2009/02
/18/metode-pengolahan-seng-zn-suatu-tinjauan-pada-instalasi-
pengolahan-air/ (23 November 2011, 15.34 wib)

Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2004. Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No.Kep-51/2004 Tentang Pedoman Penetapan Baku
Mutu Air Laut. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.

Lee, C.D., S.B. Wang, and C.L. Kuo. 1978. Bhentich and fish as biological
indicator of water quality with references of water pollution in
developing countries. Bangkok.

Lili, Sarmili, Noor C., Aryanto., D dan Setiady, D. 2011. Keberadaan Pasir Laut
di Perairan Kepulauan Riau dan Sekitarnya. Artikel Puslitbang Geologi
Kelautan. Http://mgi.esdm.go.id. (Dikunjungi 14 Februari 2011).

Nontji, A. 2001. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.

Novonty, V., and H. Olem. 1994. Water Quality, Prevention, Identification and
Management of Diffuse Pollution. Van Nostrans Reinhold. New York.

Nurdijanto. 2000. Kimia Lingkungan. Pati. Yayasan peduli Lingkungan.857 hal.

Palar, H., 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Bhineka Cipta,
Jakarta. 50 hal.

Republik Indonesia, 2007. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sekretariat Negara,
Jakarta.

Riley, Peter. 2005. 100 Pengetahuan tentang Planet Bumi. Cetakan ke 3. Alih
bahasa oleh Evi Janu Kusumawati. Penerbit Pakar Raya, Bandung.

Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ditjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Siska, M. 2009. Kandungan Logam Berat (Cd, Cu, Pb Dan Zn) Pada Sedimen
Dasar dan Siput Gonggong (Strombus canarium) di Pantai Pulau Bintan
Kepulauan Riau. Thesis Program Studi Ilmu Lingkungan Program
Pascasarjana Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak diterbitkan)

Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis, PT. Gramedia, Jakarta.

Wardoyo, S.T.H. 1989. Kriteria Kualitas Air untuk Pertanian dan Perikanan.
Makalah pada Seminar Pengendalian Pencemaran Air. Dirjen Pengairan
Departemen Pekerjaan Umum. Bandung.

Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of Southheast Asian Waters. Naga
Report Vol 2. The Univ. California, Scrips. Ins of Oceanography.

You might also like