You are on page 1of 29

1. Anatomi, fisiologi, dan histologi faring dan tonsil?

Anatomi pharynx
Pharynx atau Faring merupakan organ berbentuk corong sepanjang 15cm
yg tersusun atas jaringan fibromuscular yg berfungsi sbg saluran
pencernaan dan juga sbg saluran pernafasan. Pharynx terletak setinggi
Bassis cranii (bassis occipital dan bassis sphenoid) sampai cartilage cricoid
setinggi Vertebrae Cervical VI. Bagian terlebar dr pharynx terletak setinggi
os. Hyoideum dan bagian tersempitnya terletak pd pharyngoesophageal
junction. Pharynx sbg organ pencernaan menghubungkan antara cavum
oris dan Oesophagus. Sedangkan sbg organ pernafasan berfungsi utk
menghubungkan antara cavum nasi dan Larynx.

Pembentuk dinding Pharynx
- Membrane mucosa yg tersusun atas epitel squamos pseudokompleks
bersilia pd bagian atas dan epitel squamos kompleks di bagian bawah.
- Submucosa
- Jaringan fibrosa, membentuk fascia pharyngobasillaris yg melekat pd
bassis crania
- Jaringan muscular yg terdiri atas otot sirkular dan longitudinal
- Jaringan ikat longgar yg membentuk fascia buccopharyngeal



Otot2 Pharynx
Otot2 pd pharynx terdiri atas 3 otot konstriktor pharyngeus dan 3 otot yg
berorigo pd proc. Styloideus. Otot2 ini berperan dalam proses deglutition
atau menelan.

Hubungan Pharynx
Cavum pharyngeum berhubungan dg organ2 disekitarnya antara lain mll :
- Choanae (nares posterior) menghubungkan dg cavum nasi
- Ostium pharyngeum tuba auditiva eustachii dg cavum tympani
- Isthmus faucium dg cavum oris propia
- Additus laryngis dg larynx
- Portae oesophagus dg oesophagus

Vaskularisasi Pharynx
Perdarahan faring sebagian besar berasal dr cab a. carotis externa, a.
faringeal ascendens, R.dorsal a. lingualis, R. tonsillaris a. fascialis, dan R.
palatine a. maksillaris

Innervasi Pharynx
utk persarafan motorik berasal dr n. XI sedangkan utk persarafan sensorik
berasal dr n. IX dan n. X



Pembagian Pharynx
Pharynx dibagi menjadi :

Nasopharynx (Epipharynx)
Nasopharynx merupakan bagian dr pharynx yg terletak di bagian atas,
maka dr itu nasopharynx jg disebut dg epipharynx. Nasopharynx memiliki
skeletopi setinggi Bassis cranii sampai Vertebrae cervical I.

Syntopi Nasopharynx(Nasofaring)/ Epifaring (Epipharynx)
Nasopharynx memiliki syntopi :
- ventral : choanae (nares posterior), menghubungkan pharynx dg cavum
nasi
- superior : bassis crania
- belakang : vertebrae cervical yg dipisahkan oleh fascia prevertebrae dan
m. capitis
- lateral : dinding medial leher
- inferior : palatum mole

Bangunan pd Nasopharynx (Nasofaring)/ Epipharynx (Epifaring)
terdapat beberapa bangunan yang terletak pd nasopharynx, antara lain :
- ostium pharyngeum tuba auditiva eustachii, menghubungakn pharynx
dg caum tympani
- adenoid (tonsilla pharyngea/ tonsillo luscha), merupakan kelenjer limfe
submucosa
- recessus pharynx (fossa rosenmulleri), di belakang torus tubarius
- isthmus nasopharynx, batas antara nasopharynx dan oropharynx yg
akan tertutup oleh pallatum molle saat proses deglutition/ menelan

Oropharynx/ Orofaring
Merupakan bagian dr pharynx yg terletak di tengah. Memiliki skeletopi
setinggi Vertebrae cervical II sampai Vertebrae Cervical III.

Syntopi Oropharynx
Oropharynx memiliki syntopi sbg berikut :
- superior : nasopharynx (isthmus nasopharynx, palatum mole)
- ventral : cavum oris propia dg arcus palatopharynx dan uvulae
- dorsal : Vertebrae Cervical II III
- Lateral : dinding medial leher
- Inferior : tepi atas epiglottis, basis linguae



Bangunan pd Oropharynx/Orofaring
Ada beberapa bangunan yg terdapat pd oropharynx, antara lain :
- Tonsilla palatine (faucial tonsil/ amandel), di dinding lateral dextra et
sinistra di recessus tonsillaris antara arcus palatoglossus dan arcus
palatopharyngeus
- Fossa supratonsilaris, mucosa di atas tonsil berbentuk segitiga di antara
arcus palatoglossus dan arcus palatopharyngeus
- Tonsila lingualis, pd basis linguae (1/3 posterior linguae)

Laringopharynx (Hipopharynx)
Merupakan bagian bawah dr pharynx. Maka dr itu, juga disebut dg
hipopharynx. Laringopharynx terletak setinggi Vertebrae Cervical IV
sampai Vertebrae Cervical VI.

Syntopi Laringofaring (Laringopharynx)/ Hipofaring (Hipopharynx)
Laringopharynx memiliki syntopi :
- Superior : oropharynx (setinggi tepi atas epiglottis)
- Ventral : tepi belakang epiglottis, additus laryngis
- Dorsal : vertebrae cervical III - VI
- Lateral : dinding lateral leher
- Inferior : portae esophagus

Anatomi Dan Fisiologi Tonsil


Gambar 2.1 Anatomi Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran
di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil
lingual, dan tonsil tubal (Ruiz JW, 2009).
A) Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior
(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil
berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai
10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu
mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal
sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
muskulus konstriktor faring superior
muskulus palatoglosus
muskulus palatofaringeus
palatum mole
tonsil lingual (Wanri A, 2007)

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga
melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di
bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam
di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus.
Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh
yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli
sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal
(Anggraini D, 2001).
Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral
atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior (Shnayder, Y,
2008). Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar
dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal (Wiatrak
BJ, 2005).
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan
cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya
arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil
bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri
faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran
balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus
faringeal (Wiatrak BJ, 2005).
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah
muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh
getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada
(Wanri A, 2007).
Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerves.
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit
B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T
pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang
(Wiatrak BJ, 2005). Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.
Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon,
lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar (Eibling DE, 2003).
Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid
dan pusat germinal pada folikel ilmfoid (Wiatrak BJ, 2005).
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan
sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik (Hermani B, 2004).
B) Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk
dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi
daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa
faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding
belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan
pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi
pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai
ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami
regresi (Hermani B, 2004).
C) Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh
papilla sirkumvalata (Kartosoediro S, 2007).

Mekanisme menelan
Menelan adalah mekanisme yang kompleks, terutama karena faring pada
hampir setiap saat melakukan fungsi lain di samping menelan dan hanya
diubah dalam bebrapa detik ke dalam traktus digestivus utnuk mendorong
makanan.

Yang terutama penting adalah bahwa respirasi tidak terganggu akibat
menelan. Menelan merupakan rangkaian gerakan otot yang sangat
terkoordinasi, mulai dari pergerakan volunteer lidah dan dilanjutkan
serangkaian refleks dalam faring dan esophagus. Bagian aferen lengkung
refleks ini merupakan serabut-serabut yang terdapat dalam saraf V, IX dan
X. Pusat menelan (deglutisi) ada di medulla oblongata. Di bawah
koordinasi pusat ini, impuls-impuls berjalan ke luar dalam rangkaian
waktu yang sempurna melalui saraf cranial V,X dan XII menuju ke otot-
otot lidah, faring, laring dan esophagus.

Pada umumnya menelan dapat dibagi menjadi :
1. Tahap volunter, yang mencetuskan proses menelan
2. Tahap faringeal, yang bersifat involunter dan membantu jalannya
makanan melalui faring ke dalam esofagus
3. Tahap esofageal, fase involunter lain yang mempermudah jalannya
makanan dari faring ke lambung.
Selama proses menelan, otot-otot diaktifkan secara berurutan dan secara
teratur dipicu dengan dorongan kortikal atau input sensoris perifer. Begitu
proses menelan dimulai, jalur aktivasi otot beruntun tidak berubah dari
otot-otot perioral menuju kebawah. Jaringan saraf, yang bertanggung
jawab untuk menelan otomatis ini, disebut dengan pola generator pusat.
Batang otak, termasuk nucleus tractus solitarius dan nucleus ambiguus
dengan formatio retikularis berhubungan dengan kumpulan motoneuron
kranial, diduga sebagai pola generator pusat.
Tiga Fase Menelan
Deglutition adalah tindakan menelan, dimana bolus makanan atau cairan
dialirkan dari mulut menuju faring dan esofagus ke dalam lambung.
Deglutition normal adalah suatu proses halus terkoordinasi yang
melibatkan suatu rangkaian rumit kontraksi neuromuskuler valunter dan
involunter dan dan dibagi menjadi bagian yang berbeda: (1) oral, (2)
faringeal, dan (3) esophageal. Masing-masing fase memiliki fungsi yang
spesifik, dan, jika tahapan ini terganggu oleh kondisi patologis, gejala
spesifik dapat terjadi.

Fase Oral
Fase persiapan oral merujuk kepada pemrosesan bolus sehingga
dimungkinkan untuk ditelan, dan fase propulsif oral berarti pendorongan
makanan dari rongga mulut ke dalam orofaring. Prosesnya dimulai dengan
kontraksi lidah dan otot-otot rangka mastikasi. Otot bekerja dengan cara
yang berkoordinasi untuk mencampur bolus makanan dengan saliva dan
dan mendorong bolus makanan dari rongga mulut di bagian anterior ke
dalam orofaring, dimana reflek menelan involunter dimulai.
Cerebellum mengendalikan output untuk nuklei motoris nervus kranialis V
(trigeminal), VII (facial), dan XII (hypoglossal).
Dengan menelan suatu cairan, keseluruhan urutannya akan selesai dalam
1 detik. Untuk menelan makanan padat, suatu penundaaan selama 5-10
detik mungkin terjadi ketika bolus berkumpul di orofaring.
Fase Faringeal
Fase faringeal adalah sangat penting karena, tanpa mekanisme
perlindungan faringeal yang utuh, aspirasi paling sering terjadi pada fase
ini. Fase inimelibatkan rentetan yang cepat dari beberapa kejadian yang
saling tumpang tindih. Palatum mole terangkat. Tulang hyoid dan laring
bergerak keatas dan kedepan. Pita suara bergerak ke tengah, dan epiglottis
melipat ke belakang untuk menutupi jalan napas. Lidah mendorong
kebelakang dan kebawah menuju faring untuk meluncurkan bolus
kebawah. lidah dubantu oleh dinding faringeal, yang melakukan gerakan
untuk mendorong makanan kebawah.
Sphincter esophageal atas relaksasi selama fase faringeal untuk menelan
dan dan membuka oleh karena pergerakan os hyoid dan laring kedepan.
Sphincter akan menutup setelah makanan lewat, dan struktur faringeal
akan kembali ke posisi awal.

Fase faringeal pada proses menelan adalah involunter dan kesemuanya
adalah reflek, jadi tidak ada aktivitas faring\eal yang ter jadi sampai reflek
menelan dipicu. Reflek ini melibatkan traktus sensoris dan motoris dari
nervus kranialis IX (glossofaringeal) dan X (vagus).
Fase Esophageal
Pada fase esophageal, bolus didorong kebawah oleh gerakan peristaltik.
Sphincter esophageal bawah relaksasi pada saat mulai menelan, relaksasi
ini terjadi sampai bolus makanan mecapai lambung. Tidak seperti shincter
esophageal bagian atas, sphincter bagian bawah membuka bukan karena
pengaruh otot-otot ekstrinsik.
Medulla mengendalikan reflek menelan involunter ini, meskipun menelan
volunter mungkin dimulai oleh korteks serebri.
Suatu interval selama 8-20 detik mungkin diperlukan untuk kontraksi
dalam menodorong bolus ke dalam lambung.




Kepustakaan
Ganong WF, 2003, Review of Med. Phys, 21sd Ed.,
Guyton AC and Hall JE, 2000, Textbook of Med. Phys, 10
th
Ed, Saunders
Philadelphia

Price, SA and Wilson, LM., 1995, Patofisiologi Konsep klinis Proses-proses
Penyakit, edisi 4 buku 1, EGC

2. Mengapa pasien merasakan seperti sensasi terbakar dan nyeri telan pada
tenggorokan?
Bakteri atau virus menginfeksi pada lapisan epitel. Bila epitel terkikis, maka
jaringan limpofid superficial menandakan reaksi, terdapat pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonukuler. Proses ini secara klinis
tampak pada kriptus tonsil yang berisi bercak kuning disebut detritus.
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas.
Akibat dari proses ini akan terjadi pembengkakan atau pembesaran tonsil
ini, nyeri menelan, disfalgia. Kadang apabila terjadi pembesaran melebihi
uvula dapat menyebabkan kesulitan bernafas.
Apabila kedua tonsil bertamu pada garis tengah yang disebut kidding tonsil
dapat terjadi penyumbatan pengaliran udara dan makana. Komplikasi
yang sering terjadi akibat disflagia dan nyeri saat menelan, akan
mengalami malnutrisi yang ditandai dengan gangguan tumbuh kembang,
malaise, mudah mengantuk.
Pembesaran adenoid mungkin dapat menghambat ruang samping
belakang hidungyang membuat kerusakan lewat udara dari hidung ke
tenggorokan, sehingga akan bernafas melalui mulut. Bila bernafas terus
lewat mulut maka mukosa membarne dari orofaring menjadi kering dan
teriritasi, adenoid yang mendekati tuba eustachus dapat meyumbat saluran
mengakibatkan berkembangnya otitis media (Nanda, 2008 ).

Gangguan pada proses menelan dapat digolongkan tergantung dari fase
menelan yang dipengaruhinya.
Fase Oral
Gagguan pada fase Oral mempengaruhi persiapan dalam mulut dan fase
pendorongan oral biasanya disebabkan oleh gangguan pengendalian lidah.
Pasien mungkin memiliki kesulitan dalam mengunyah makanan padat dan
permulaan menelan. Ketika meminum cairan, psien mungki kesulitan
dalam menampung cairan dalam rongga mulut sebelum menelan. Sebagai
akibatnya, cairan tumpah terlalu cepat kadalam faring yang belum siap,
seringkali menyebabkan aspirasi.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase oral sebagai
berikut:
Tidak mampu menampung makanna di bagian depan mulut karena tidak
rapatnya pengatupan bibir
Tidak dapat mengumpulkan bolus atau residu di bagian dasar mulut
karena berkurangnya pergerakan atau koordinasi lidah
Tidak dapat menampung bolus karena berkurangnya pembentukan oleh
lidah dan koordinasinya
Tidak mampu mengatupkan gigi untukmengurangi pergerakan madibula
Bahan makanan jatuh ke sulcus anterior atau terkumpul pada sulcus
anterior karena berkurangnya tonus otot bibir.
Posisi penampungan abnormal atau material jatuh ke dasar mulut karena
dorongan lidah atau pengurangan pengendalian lidah
Penundaan onset oral untuk menelan oleh karena apraxia menelan atau
berkurangnya sensibilitas mulut
Pencarian gerakan atau ketidakmampuan unutkmengatur gerakan lidah
karena apraxia untuk menelan
Lidah bergerak kedepan untuk mulai menelan karena lidah kaku.
Sisa-sisa makanan pada lidah karena berkurangnya gerakan dan
kekuatan lidah
Gangguan kontraksi (peristalsis) lidah karena diskoordinasi lidah
Kontak lidah-palatum yang tidaksempurna karena berkurangnya
pengangkatan lidah
Tidak mampu meremas material karena berkurangnya pergerakan lidah
keatas
Melekatnya makanan pada palatum durum karena berkurangnya elevasi
dan kekuatan lidah
Bergulirnya lidah berulang pada Parkinson disease
Bolus tak terkendali atau mengalirnya cairan secara prematur atau
melekat pada faring karena berkurangnya kontrol lidah atau penutupan
linguavelar
Piecemeal deglutition
Waktu transit oral tertunda
Fase Faringeal
Jika pembersihan faringeal terganggu cukup parah, pasienmungkin tidak
akan mampu menelan makanan dan minuman yang cukup untuk
mempertahankan hidup. Pada orang tanpa dysphasia, sejumlah kecil
makanan biasanya tertahan pada valleculae atau sinus pyriform setelah
menelan. Dalam kasus kelemahan atau kurangnya koordinasi dari otot-
otot faringeal, atau pembukaan yang buruk dari sphincter esofageal atas,
pasien mungkin menahan sejumlah besar makanan pada faring dan
mengalami aspirasi aliran berlebih setelah menelan.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase faringeal sebagai
berikut:
Penundaan menelan faringeal
Penetrasi Nasal pada saat menelan karena berkurangnya penutupan
velofaringeal
Pseudoepiglottis (setelah total laryngectomy) lipata mukosa pada dasar
lidah
Osteofit Cervical
Perlengketan pada dinding faringeal setelah menelan karena
pengurangan kontraksi bilateral faringeal
Sisa makanan pada Vallecular karena berkurangnya pergerakan posterior
dari dasar lidah
Perlengketan pada depresi di dinding faring karena jaringan parut atau
lipatan faringeal
Sisa makanan pada puncak jalan napas Karena berkurangnya elevasi
laring
penetrasi dan aspirasi laringeal karena berkurangnya penutupan jalan
napas
Aspirasi pada saat menelan karena berkurangnya penutupan laring
Stasis atau residu pada sinus pyriformis karena berkurangnya tekanan
laringeal anterior
Fase Esophageal
Gangguan fungsi esophageal dapat menyebabkan retensi makanan dan
minuman didalam esofagus setelah menelan. Retensi ini dapat disebabka
oleh obstruksi mekanis, gangguan motilitas, atau gangguan pembukaan
Sphincter esophageal bawah.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan pada fase esophageal
sebgai berikut:
Aliran balik Esophageal-ke-faringeal karena kelainan esophageal
Tracheoesophageal fistula
Zenker diverticulum
Reflux
PENYEBAB DYSPHAGIA
Manifestasi klinis yang paling umum dari gangguan esofagus adalah
disfagia (susah menelan) yang bermanifestasi bila terdapat gangguan
gerakan-gerakan pada otot menelan dan gangguan transportasi makanan
dari mulut ke lambung . Jika saat menelan terasa sakit ( painfull ), itu
disebut sebagai odynophagia. Disfagia dapat disebabkan oleh akibat
kelainan orofaring, respirasi, neurologik, dan kolagen atau karena
pengaruh toksin atau pengobatan . Gangguan obstruktif, termasuk tumor
esofagus sedangkan motor dosorders berhubungan dengan achalasia dan
gangguan neuromuskuler seperti diabetes mellitus, penyakit parkinson,
dan stroke. disfagia sering disertai dengan ragu-ragu menelan, kebutuhan
untuk berulang kali mencoba untuk menelan dan kliring tenggorokan.
tersedak dan muntah juga dapat terjadi. manifestasi lainnya termasuk
regurgitasi, nyeri (yang mungkin terkait dengan spasme), dan peyrosis
mulas.

disfagia
Disfagia dapat disebabkan oleh gangguan kerongkongan. Penyebab
spesifik termasuk kerusakan neuromotor, obstruksi mekanik, kelainan
kardiovaskular, dan penyakit neurologis.

Disfagia disebabkan oleh Obstruksi Mekanik
Penghalang mekanik menyebabkan disfagia termasuk cacat bawaan,
kanker dan kondisi yang diperoleh seperti hernia hiatus. Ketika gangguan
obstruksi mempersempit lumen esofagus, klien dyusphagia pengalaman
pertama menjadi terkait dengan makanan semipadat dan cairan. Akhirnya,
klien tidak dapat menelan ludah mereka sendiri. Obstruktif disertai dengan
penurunan berat badan dan cachexia.

Disfagia Disebabkan oleh Kelainan Kardiovaskular
Disfagia dapat dihasilkan dari kelainan kardiovaskular, terutama pada
orang tua. Kondisi tertentu yang menyebabkan pembuluh darah disfagia
termasuk pembesaran jantung, dan aneurisma aorta, dan pengapuran
aorta turun (meninjau anatomi arteri jantung dan besar untuk
kerongkongan).

Disfagia yang disebabkan oleh Penyakit neurilogic
Disfagia juga dapat disebabkan oleh penyakit neurologis tertentu, seperti
stroke, multiple sclerosis, poliomielitis, dan amyotrophic lateral sclerosis
(ALS). Stroke adalah penyebab paling frecuent disfagia.

Disfagia akibat penyebab lain
Disfagia dapat dialami setelah menelan, jika makanan tertangkap di
kerongkongan. Klien dapat memperoleh bantuan dengan minum cairan
untuk memaksa bolus berdampak melalui segmen sempit atau dengan
muntah-muntah untuk mengusir makanan. Jika muntah tidak succed,
endoskopi dapat digunakan untuk menghapus makanan tersangkut di
kerongkongan
REFLEKS SALIVA
Refleks terkondisi: membayangkan, melihat, mencium makanan korteks
serebri Pusat salivasi medula neuron parasimpatik kel. Saliva
sekresi saliva
Refleks tak terkondisi : makanan dalam mulut, rangsangan lain
reseptor mulut dan lidah Pusat saliva medula dan seterusnya idem




Kepustakaan
Ganong WF, 2003, Review of Med. Phys, 21sd Ed.,
Guyton AC and Hall JE, 2000, Textbook of Med. Phys, 10
th
Ed, Saunders
Philadelphia

Price, SA and Wilson, LM., 1995, Patofisiologi Konsep klinis Proses-proses
Penyakit, edisi 4 buku 1, EGC

3. Mengapa pasien demam dan mengalami penurunan nafsu makan?
Demam
Substansi penyebab demam disebut pirogen. Pirogen eksogen berasal dari
luar tubuh, baik dari produk proses infeksi maupun non
infeksi.Lipopolysaccharyde (LPS) pada dinding bakteri gram negatif atau
peptidoglikan dan teichoic acid pada bakteri gram positif, merupakan
pirogen eksogen. Substansi ini merangsang makrofag, monosit, limfosit,
dan endotel untuk melepaskan IL1, IL6, TNF-, dan IFN-, yang bertindak
sebagai pirogen endogen.8,12,14 Sitokinsitokin proinflamasi ini akan
berikatan dengan reseptornya di hipotalamus dan fofsolipase-A2. Peristiwa
ini akan menyebabkan pelepasan asam arakidonat dari membran fosfolipid
atas pengaruh enzim siklooksigenase-2 (COX-2). Asam arakidonat
selanjutnya diubah menjadi prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 baik secara
langsung maupun melalui adenosin monofosfat siklik (c- AMP), akan
mengubahsett ing termostat (pengatur suhu tubuh) di hipotalamus pada
nilai yang lebih tinggi. Selanjutnya terjadi peningkatan produksi dan
konservasi panas sesuai setting suhu tubuh yang baru tersebut. Hal ini
dapat dicapai melalui refleks vasokonstriksi
pembuluh darah kulit dan pelepasan epinefrin dari saraf simpatis, yang
menyebabkan peningkatan metabolisme tubuh dan tonus otot.
Makmuri MS, Retno A, Landia S. Patofisiologi batuk. Continuing education
ilmu kesehatan anak.
4. Apa interpretasi dari pemeriksaan orofaringeal : tonsil : T4/T4, mukosa
hiperemis, kripte melebar +/+, detritus +/+ dan pada faring ditemukan
mukosa hiperemis dan terdapat granul di posterior?
Hiperemis mukosa ada peradangan, dilatasi pemb darah
Kripte dan detritus : Bila epitel terkikis, maka
jaringan limpofid superficial menandakan reaksi, terdapat pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonukuler. Proses ini secara klinis
tampak pada kriptus tonsil yang berisi bercak kuning disebut detritus. Detritus
merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas. Akibat dari
proses ini akan terjadi pembengkakan atau pembesaran tonsil ini, nyeri menelan,
disfalgia. Kadang apabila terjadi pembesaran melebihi uvula dapat menyebabkan
kesulitan bernafas.
Derajat tonsil


T1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar
anterior uvula
T2 = batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai
jarak pilar anterior-uvula
T3 = batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai
jarak pilar anterior-uvula
T4 = batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula atau lebih.

5. Obat warung apa yang kira-kira sudah dikonsumsi untuk mengurangi
gejala?
Jika penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik per oral selama 10 hari.
Jika anak mengalami kesulitan menelan bisa diberikan dalam bentuk
suntikan.
Penisilin V 1,5 juta IU 2 x sehari selama 5 hari atau 500 mg 3 x sehari.
Pilihan lain adalah eritromisin 500 mg 3 x sehari atau amoksisilin 500
mg 3 x sehari yang diberikan selama 5 hari. Dosis pada anak : eritromisin 40
mg/kgBB/ hari, amoksisilin 30 50 mg/kgBB/hari.
- Tak perlu memulai antibiotik segera, penundaan 1 3 hari tidak
meningkatkan komplikasi atau menunda penyembuhan penyakit.
- Antibiotik hanya sedikit memperpendek durasi gejala dan mengurangi
risiko demam rematik.
- Bila suhu badan tinggi, penderita harus tirah baring dan dianjurkan
untuk banyak minum. Makanan lunak diberikan selama penderita masih
nyeri menelan.
- Analgetik (parasetamol dan ibuprofen adalah yang paling aman) lebih
efektif daripada antibiotik dalam menghilangkan gejala. Nyeri faring bahkan
dapat diterapi dengan spray lidokain.
- Pasien tidak lagi menularkan penyakit sesudah pemberian 1 hari
antibiotik.
- Bila dicurigai adanya tonsilitis difteri, penderita harus segera diberi
serum anti difteri (ADS), tetapi bila ada gejala sumbatan nafas, segera rujuk ke
rumah sakit.
- Pada tonsilitis kronik, penting untuk memberikan nasihat agar menjauhi
rangsangan yang dapat menimbulkan serangan tonsilitis akut, misalnya
rokok, minuman/makanan yang merangsang, higiene mulut yang buruk, atau
penggunaan obat kumur yang mengandung desinfektan.
- Bila terapi medikamentosa tidak berhasil dianjurkan terapi radikal
dengan tonsilektomi. Indikasi tonsilektomi
Relatif
o Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi antibiotik
adekuat.
o Halitosis (nafas bau) akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis.
o Tonsilitis kronis atau berulang pada linier Streptokokkus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik
Mutlak (Absolut)
o Pembengkakan tonsil menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,
gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonal.
o Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
o Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
o Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan tempat yang
dicurigai limfoma (keganasan)
o Hipertropi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnoe waktu tidur.

Prognosis
Gejala tonsilitis akibat radang biasanya menjadi lebih baik sekitar 2 atau 3
hari setelah pemberian antibiotik. Dapat berulang hingga menjadi kronis bila
faktor predisposisi tidak dihindari.

Referensi
1. Bahan Kuliah Sistem Indera Khusus, Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin, Makassar, 2005.
2. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas,
Ditjen Binfar & Alkes, Jakarta, 2007.
3. Mansjoer Arif, dkk, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1, Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
4. Mubin Halim Prof. dr., Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam (Diagnosis
dan Terapi), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2008.
5. Staf Pengajar Ilmu Penyakit THT FKUI. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tengorok Kepala Leher Edisi ke 6 Cetakan ke 1, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 1990.
6. http://medicastore.com/penyakit/57/Tonsilitis_Radang_Amandel.html

6. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis?
7. Penatalaksanaan yang tepat untuk pasien tersebut?
8. DD?
. Tonsilitis Akut
- Merupakan radang pada tonsil yang timbulnya (onset) cepat, atau
berlangsung dalam waktu pendek (tidak lama), dalam kurun waktu jam, hari
hingga minggu.
- Lebih disebabkan oleh kuman streptokokus beta hemolitikus grup A,
pneumokokus, streptokokus viridian, dan streptokokus piogenes.
- Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk
detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan
epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kripte tonsil dan tampak
sebagai bercak kekuningan.
2. Tonsilitis Kronik
- Tonsilitis yang berlangsung lama (bulan atau tahun) atau dikenal
sebagai penyakit menahun.
- Bakteri penyebab tonsillitis kronik sama halnya dengan tonsillitis akut,
namun kadang-kadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram
negatif.
- Faktor predisposisi tonsillitis kronis antara lain rangsangan kronis rokok,
makanan tertentu, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik,
dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.
- Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan
jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok
melebar yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas hingga menembus
kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.
- Saat pemeriksaan ditemukan tonsil membesar dengan permukaan tidak
rata, kripte membesar dan terisi detritus.

Tabel 1
Perbedaan Tonsilitis Akut dan Tonsilitis Kronik

Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronik
Onset cepat, terjadi dalam
beberapa hari, hingga
Onset lama, beberapa bulan
hingga beberapa tahun
beberapa minggu (menahun)
Penyebab kuman
streptokokus beta
hemolitikus grup A,
pneumokokus,
streptokokus viridian, dan
streptokokus piogenes.
Penyebab tonsillitis kronik sama
halnya dengan tonsillitis akut,
namun kadang-kadang bakteri
berubah menjadi bakteri
golongan gram negatif
Tonsil hiperemis & edema Tonsil membesar / mengecil
tidak edema
Kripte tidak melebar Kripte melebar
Detritus + / - Detritus +

Tosilitis merupakan lanjutan dari faringitis
Faringitis kronis hiperplastik faring hiperemis, dind post bergranular

You might also like