SECARA INHALASI KELOMPOK 4: Ganesha Eka (1043050001) Yunita (1043050003) Bonifasius Ray (1043050027) Veni Tambunan (1043050078) TUJUAN PERCOBAAN : 1. Memahami perbedaan mula kerja dan lama kerja dari obat-obat anestesi secara inhalasi. 2. Mampu menjelaskan hal-hal yang mempengaruhi toksisitas suatu obat. TEORI
Pengertian Anestesi: Hilangnya sebagian atau seluruh bentuk sensasi yang disebabkan oleh patologi pada sistem saraf. Suatu teknik menggunakan obat (inhalasi, intravena, atau oral) yang menyebabkan keseluruhan atau bagian dari organisme menjadi mati rasa untuk berbagai periode waktu.
Sejarah Anestesi Inhalasi
Eter digunakan sebagai zat anestesi selama bertahun- tahun. Zat tersebut dapat menyebabkan ketidaksadaran dengan menekan kegiatan sistem syaraf pusat. Kelemahan utama dietil eter adalah efek iritasinya pada sistem pernafasan dan terjadinya rasa mual dan muntah setelah pembiusan. Pada tahun 1842, Crawford W. long dari Georgia pertama menggunakan eter sebagai zat anestesi inhalasi dalam tindakan bedah terencana dalam eksisi suatu lipoma leher. Pada tahun 1846, William T.E. Morton memberikan zat anestesi eter di Boston untuk ahli bedah John Collins Warren yang membuktikan keberhasilan penggunaannya dan dipublikasikan. Setelah itu penggunaan anestesi eter menyebar cepat. Dampak anestesi umum jelas diperlihatkan oleh penggunaan kloroform segera setelah itu bagi Ratu Victoria selama melahirkan, yang menimbulkan istilah chloroform a lapeine (untuk ratu). Untuk penggunaan kloroform semakin dikendalikan karena toksis pada hati. Toksisitas obat anestesi antara lain : hepatoksisitas, refratoksisitas, hipertermi, mutagenisitas, karsinogenesitas, efek merugikan pada reproduksi seperti keguguran. PENGGOLONGAN OBAT ANESTESI 1. ANESTESI LOKAL Berdasarkan struktur kimia: Golongan Ester (Amino Ester) Contoh: kokain, prokain, klorprokain, tetrakain benzokain Golongan Amida (Amino Amida) Contoh: lidokain, etidokain, mepivakain, supivakain, prilokain, ropivakain
2. ANESTESI UMUM Anestesi Inhalasi Contoh : N2O, halotar, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran Anestesi Intravena Contoh : barbiturat, benzodiazepin, ketamin, propofol. STADIUM ANESTESI Stadium I Stadium analgetik yang berjalan dari awal induksi inhalasi sampai dengan menghilangnya kesadaran. Penderita tetap dalam kontak verbal dan dapat dibujuk dan diberikan petunjuk sepanjang stadium anestesi. Penderita dapat melakukan gerakan- gerakan bermakna dan refleks laringofaringeal tetap ditemukan, walaupun sadar rasa nyerinya menghilang. Pada stadium ini menunjukkan adanya penekanan bertahap pada persepsi nyeri krisis tertinggi oleh korteks frontalis.
Stadium II Disebut Stadium Kegembiraan penderita mulai hilang kesadaran, hubungan verbal menghilang, dan juga pengendalian volunter, penderita menjadi seperti seekor burung yang tidak terkendalikan, meledak-ledak, dan mempunyai respon tipe penarikan diri terhadap hampir semua rangsangan. Pernafasan menjadi tidak teratur, dan timbulnya penahanan nafas.
Stadium III Stadium anestesi bedah, penderita menjadi tidak sadar dan tidak mampu menimbulkan refleks, perubahan pergerakan mata, dan ukuran pupil, pernafasan teratur dan berlanjut sampai henti nafas.
Stadium IV Stadium henti nafas, yang meliputi penghentian respirasi spontan sampai dengan titik anoksia, dan pengaruh langsung zat anestesi yang menyebapkan henti jantung. BAHAN DAN ALAT Eter Kloroform Mencit Kapas Beaker glass Plastik Karet gelang Semprit tuberkulin CARA KERJA 1. Menyiapkan beaker glass dan meletakkan sepotong kapas di dalamnya. 2. Memasukkan seekor mencit ke dalam tiap beaker glass lalu tutup beaker glass dengan selembar plastik. 3. Menandai tiap beaker glass sesuai anestesi yang digunakan. 4. Dengan interval 5 menit, suntikkan 0,2 ml anestesi tersebut menggunakan semprit tuberkulin menembus plastik di atas sepotong kapas di dalam beaker glass 5. Observasi mencit secara teliti DATA Jenis anestesi: Chloroform Tikus I Menit ke Gejala Fase Total volume pemberian 0-17 Oleng, tubuh tidak seimbang tetapi masih lincah I 17-28 Tubuh oleng parah, tidak seimbang, kejang, kaki depan kejang, badan berguling-guling, kaki belakang kejang-kejang, kaki depan menggaruk-garuk kaca, tergeletak tapi masih sadar. II 28-42 - Kepala kejang-kejang, tidak sadar, denyut jantung 150/menit - Menit ke-30 denyut jantung menjadi 180/menit - Kaki tidak bergerak, denyut terlihat diperut meningkat - Menit ke-33 denyut diperut menurun, keluar busa dimulut, kaki belakang kejang-kejang. - Menit ke-35 gerak kaki berkurang, ekor membiru, mata hitam. III 90,2 ml= 1,8ml 42 Mata menonjol, mati IV Jenis anestesi: chloroform Tikus II Menit ke Gejala Fase Total volume pemberian 0-7 Hiperaktif I 7-10 Badan oleng,kejang, mulai tidak sadar, kaki kejang II 30,2=0,6 ml 10-12 Mulai tidak sadar, kaki tidk bergerak tapi berdenyut. III 12 Jantung 140/menit,mati IV Jenis anestesi : eter Tikus I Menit ke Gejala Fase Total pemberian pemberian 0-13 Gelisah, denyut jantung cepat I 13-44 Tubuh mulai tidak seimbang, kejang-kejang, mulai tertidur pada menit ke-17 (denyut 138/menit).
Menit ke-31 tikus bangun, kejang- kejang, mulai tidak sadar
Menit ke-35 mulai tidak sadar, denyut menurun 100/menit
Menit ke-38 mulut keluar aitr liur
II 90,2=1,8 ml 44-47 Menit ke-44 mata mulai keluar dan tidak sadar III 47 Mati IV Jenis anestesi : eter Tikus III Menit ke Gejala Fase Total volume pemberian 0-12 Gelisah, denyut jantung cepat I 12-15 Tubuh mulai tidak seimbang, kejang-kejang, susah bernafas, denut 147/menit II 60,2=1,2 ml 15-32 Kolaps (mulai tidur, tetapi denyut jantung lebih cepat) III 32 Mati IV Tabel Perbandingan Anestesi Inhalasi Jenis anestesi Mula kerja menit ke Waktu yang dibutuhkan sd.fase IV Total/volume pemberian Kloroform Tikus I Tikus II
11 5
42 Menit 12 Menit
18 ml 0,6 ml Eter Tikus I Tikus II
7 9
47 menit 32 menit
1,8 ml 1,2 ml Grafik Fase Anestesi Pada Inhalasi Kloroform 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4 A x i s
T i t l e
Chart Title Tikus 1 Tikus 2 Fase Anestesi Pada Inhalasi Eter 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4 Tikus 1 Tikus 2 Grafik Perbandingan Anestesi Inhalasi Menuju Fase IV(Empat) Tikus 1 Tikus 2 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Kloroform Eter Tikus 1 Tikus 2 Grafik Perbandingan Mula Kerja obat Anestesi Inhalasi Tikus 1 Tikus 2 0 2 4 6 8 10 12 Kloroform Eter Tikus 1 Tikus 2 PEMBAHASAN Pada stadium penghentian respirasi spontan (iv), sampai dengan titik aroksia, yang dapat menyebapkan hati jantung, resiko lebih besar pada penggunaan eter dibanding kloroform. (Thomas, 1989) Pada data praktikum tikus yang lebih cepat mati adalah pada saat diberikan kloroform yaitu pada tikus II dalam waktu 12 menit, total pemberian 0,6 ml. Berarti hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan eter lebih besar menyebapkan resiko henti jantung dibandingkan kloroform. Ini dikarenakan faktor kondisi tikus yang sudah tidak sehat, sehingga tidak dapat menahan akibat toksisitas dari kloroform.
Walaupun beresiko menyebapkan henti jantung, induksi dan peningkatan kedalaman anestesi dengan eter merupakan proses bertahap yang mudah diamati. Eter menjadi mudah larut dalam darah walaupun demikian lambat dilepaskan ke dalam otak. (Thomas, 1989) Pada praktikum tikus I mati pada menit ke-47 dengan volume eter 1,8, tikus II mati pada menit ke- 32 volume eter 1,2 ml, waktu tersebut lebih lama dibandingkan pemberian anestesi kloroform dengan waktu 42 menit dan 12 menit untuk mencapai fase IV. Hal itu dapat disebapkan karena faktor pelepasan eter yang lambat ke dalam otak. KESIMPULAN Anestesi kloroform lebih cepat dibandingkan anestesi eter untuk mencapai fase IV. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori karena efek lebih beresiko menyebapkan henti jantung dibanding kloroform. Obat anestesi memiliki toksisitas yang berbahaya, bahkan menyebapkan kematian sehingga penggunaannya harus dilakukan oleh ahli. DAFTAR PUSTAKA Thomas B. Boulton calm E. Blogg. Anestesiologi Edisi 10. penerbit ECC