You are on page 1of 14

1

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Lanjut usia merupakan istilah bagi individu yang sudah memasuki periode
dewasa akhir atau usia tua. Batasan lanjut usia menurut Organisasi Kesehatan
Dunia atau World Health Organization (WHO) adalah usia 60 tahun atau lebih.
Batasan ini sesuai dengan batasan lanjut usia yang ditetapkan di Indonesia yang
tercantum dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan
lansia yaitu lebih dari 60 tahun (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan,
1998).
Penduduk lansia dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2000,
jumlah lansia di dunia sekitar 600 juta (11%), diperkirakan akan ada 1,2 milyar
(22%) pada tahun 2025, menjadi 2 milyar pada tahun 2050. Di negara
berkembang pada tahun 2000, jumlah lansia akan mencapai 400 juta, tahun 2025
diperkirakan mencapai 800 juta, dan tahun 2050 akan mencapai 1,49 milyar
(WHO, 2002).
Di Indonesia sendiri, pada tahun 2000 terdapat 14.439.967 jiwa lansia
(7,18 %), tahun 2006 terdapat > 19 juta jiwa (8,90 %), pada tahun 2007 terdapat
18,7 juta jiwa (8,42 %), kemudian tahun 2009 mencapai 18,7 juta jiwa (8,5 %),
tahun 2010 terdapat > 23,9 juta jiwa (9,77%). Diperkirakan pada tahun 2020 akan
terdapat 28,8 juta jiwa lansia (11,34 %) dan tahun 2050 akan menjadi dua kali
lipatnya (Mentri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2010; Ronawulan,
2

2009; Soewono, 2009). Peningkatan jumlah penduduk lansia ini telah menjadikan
Indonesia salah satu negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia
(aging structured population) dan menempati urutan ke-4 terbanyak negara
berpopulasi lansia setelah Cina, India, dan Amerika (Ronawulan, 2009).
Peningkatan jumlah lansia ini tentunya akan memberikan dampak pada pelayanan
bagi lansia khususnya pelayanan kesehatan, dimana setiap pemberi pelayanan
kesehatan (termasuk pelayanan keperawatan) harus meningkatkan kualitas dan
kuantitas pelayanannya.
Proses menjadi lansia merupakan proses alamiah sesuai dengan
peningkatan usia seseorang. Dalam proses menua ini terjadi beberapa perubahan
yang menyangkut biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Perubahan-perubahan
ini pada setiap individu dapat berbeda-beda, namun tetap mengalami proses
perubahan yang sama. Kemunduran fisik dan psikis ini dikenal dengan istilah
menua (aging), dan merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh manusia
karena sudah kodratnya manusia (Darmojo dan Martono, 2004).
Perubahan psikologis lansia berkaitan erat dengan perubahan biologis
yang dialaminya. Adanya perubahan biologis atau fisik pada lansia akan
berdampak pada kemampuan sensasi, persepsi, dan penampilan psikomotor yang
sangat penting bagi fungsi individu sehari-hari (Atchley & Barusch, 2004).
Penurunan fungsi ini akan memberikan efek pada kemampuan belajar, daya ingat,
berpikir, menyelesaikan masalah, daya kreativitas, intelegensi, keahlian, dan
kebijaksanaan. Lansia yang tidak siap dengan perubahan tersebut akan sangat
berdampak pada perubahan psikologisnya.
3

Permasalahan psikologis yang umum terjadi pada lansia adalah
kecemasan, kesepian, rasa bersalah, depresi, keluhan somatik, reaksi paranoid,
demensia, dan delirium (Shives, 2005). Depresi merupakan salah satu masalah
kesehatan umum dan terbesar ditemukan pada lansia (Hitchcock, Schubert dan
Thomas, 1999; Allender dan Spradley, 2005).
Depresi adalah gangguan mental berupa gangguan alam perasaan yang
ditunjukkan dengan perasaan yang sangat tertekan, kehilangan terhadap hal-hal
yang menarik, perasaan bersalah, penilaian terhadap diri yang rendah, gangguan
tidur, gangguan nafsu makan, lemah dan kehilangan daya konsentrasi (WHO,
2010). Sedangkan menurut Frisch & Frisch (2006), depresi adalah suatu keadaan
hilangnya aktivitas umum yang menyenangkan. Depresi terjadi sebagai dampak
beragam perubahan dan kehilangan dalam hidup (multiple loss), seperti:
perubahan sosiodemografi dan konsekuensinya, pensiun, penurunan kesehatan,
kurangnya hubungan sosial, dan kehilangan orang yang dicintai (Friedman,
Bowden dan Jones, 2003; Allender dan Spradley, 2005). Faktor-faktor penyebab
depresi menurut Nevid dkk (2003) adalah usia, status sosioekonomi, status
pernikahan, jenis kelamin, genetik, peristiwa kehidupan stressful, learned
helplessness, negative cognitive styles, dan dukungan sosial.
Adapun tanda dan gejala depresi ialah berupa keluhan fisik dan psikis.
Keluhan fisik antara lain nafsu makan berubah; mengeluh sulit tidur, dan
sebaliknya ada juga yang tidur terus dan tidak mempunyai keinginan apa-apa; ada
yang mengeluh sakit kepala, punggung, pinggang pegal, dan rasa nyeri umum
yang berkepanjangan.; biasanya mereka mengeluh lelah sepanjang waktu, merasa
tidak bertenaga atau kekuatannya hilang. Umumnya keluhan fisik ini tidak dapat
4

dibuktikan kaitannya dengan kelainan fungsi organ tubuh. Sedangkan gangguan
psikis yang terlihat antara lain suasana hati yang murung, sedih, kecewa, resah,
gelisah, takut, emosinya labil, mudah marah, cepat tersinggung, merasa tertekan,
mudah menangis tanpa alasan yang jelas, merasa kesepian, tidak berharga, tidak
berdaya, perasaan hampa, rasa bersalah yang berlebihan sehingga kadang-kadang
mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk bunuh diri. Mereka juga
kehilangan minat, gairah, dan kesenangan (Santoso dan Ismail, 2009).
Prevalensi depresi pada lansia di dunia sekitar 8 15 %. Hasil meta
analisis dari berbagai negara di dunia diperoleh prevalensi rata-rata depresi pada
lansia adalah 13,5 % dengan perbandingan wanita dan pria adalah 14,1 : 8,6. Dari
data berikut juga ditemukan bahwa depresi merupakan masalah utama pada lansia.
Prevalensi depresi pada lansia yang menjalani perawatan di RS dan panti
perawatan sebesar 30 45 % (Dharmono, 2008). Rahardjo (2010) mengatakan
bahwa di Indonesia sendiri, sekitar 74 % lansia usia 60 tahun ke atas menderita
penyakit kronis yaitu hipertensi, diabetes, osteoporosis, rematik dan jantung yang
harus makan obat terus selama hidupnya. Angka ini dapat mengindikasikan
bahwa ada kemungkinan sebanyak 74 % lansia di Indonesia berpotensi untuk
mengalami depresi.
Menurut Gallo dan Gonzales (2001), penelitian-penelitian pada komunitas
di seluruh dunia menunjukkan bahwa angka depresi mayor pada lansia adalah
berkisar dari 3 15%. Insidensi depresi paling rendah terdapat pada lansia yang
menetap di masyarakat dan paling tinggi pada lansia yang menjadi penghuni panti
rawat werdha (Futterman, Thompson, Gallagher-Thompson, dan Ferris, 1995)
dalam (Hoyer & Roodin, 2003). Di unit komunitas, prevalensi depresi pada lansia
5

lebih bervariasi antara 1 35 % (Frazer, Christensen & Griffith, 2005). Meskipun
tidak terlalu signifikan, namun tanda dan gejala depresi akan sangat berdampak
pada kualitas hidup lansia dan juga dapat menjadi gangguan jiwa yang lebih berat
jika tidak diintervensi secara tepat. Bahkan dapat mengakibatkan keinginan untuk
bunuh diri pada lansia.
Walaupun demikian, depresi dapat diatasi dengan berbagai terapi, baik
terapi farmakologis maupun nonfarmakologis. Terapi nonfarmakologis biasanya
didahulukan sebelum memulai terapi farmakologis (Setiati, 2000). Terapi
nonfarmakologis diantaranya adalah terapi suportif, terapi kognitif, terapi musik,
biblioterapi, life review therapy, terapi rekreasi, dan lain-lain (Setyoadi dan
Kushariyadi, 2011).
Pelaksanaan terapi suportif, kognitif, life review therapy, dan kebanyakan
terapi nonfarmakologis lainnya memerlukan pelatihan khusus dan hanya dapat
dilakukan oleh tenaga yang telah tersertifikasi. Bibliografi sendiri cukup sulit
dilakukan karena kebanyakan lansia memiliki masalah dengan penglihatannya
sehingga akan sulit untuk menerima terapi dengan membaca (Setyoadi dan
Kushariyadi, 2011). Berbeda dengan terapi lainnya, terapi musik merupakan
terapi suplemen yang paling efektif, terutama untuk terapi jangka panjang karena
dapat dilakukan oleh siapa saja dengan biaya terjangkau dan tanpa menimbulkan
efek samping (Djohan, 2006; Salempessy, 2001).
Terapi musik adalah penggunaan musik dalam lingkup klinis, pendidikan,
dan sosial bagi klien atau pasien yang membutuhkan pengobatan, pendidikan atau
intervensi pada aspek sosial dan psikologis (Wigram, 2000 dalam Djohan, 2006).
Secara fisiologis, musik akan meningkatkan aktivitas hemisphere nondominan
6

yang akan meningkatkan proses relaksasi (Djohan, 2009). Musik merupakan
getaran udara harmonis yang ditangkap oleh telinga kemudian diteruskan oleh
syaraf pusat otak, yang menimbulkan kesan tertentu pada lansia. Harmoni musik
yang setara dengan irama internal tubuh akan memberikan kesan menyenangkan
pada lansia (Salempessy, 2001).
Penggunaan musik yang tepat juga selain membuat tubuh kita menjadi
rileks, dapat meningkatkan kekebalan tubuh kita (Salempessy, 2001). Hal tersebut
dikarenakan saat mendengarkan musik, tubuh mengeluarkan zat-zat seperti
serotonin, hormon pertumbuhan, endorfin, dan Salivatory Immunoglobulin A
(Djohan, 2009). Dalam hal ini, yang berperan dalam penurunan depresi adalah
serotonin dan norepinefrin, dimana pada penderita depresi ditemukan keadaan
serotonin dan norepinefrin menurun. Menurunnya kadar serotonin dan
norepinefrin ini yang menimbulkan gejala depresi seperti berkurangnya tidur,
selera makan, dorongan seks, dan aktivitas motor yang sering dihubungkan
dengan depresi (Semiun, 2006). Serotonin dilepaskan saat otak mengalami
kejutan positif. Contohnya jika kita melihat gambar yang indah, alunan melodi
flute yang indah, atau menikmati makanan yang enak. Otak akan melepaskan
sejumlah serotonin dalam jumlah tertentu yang meningkatkan perasaan yang
menyenangkan (Djohan, 2006). Terapi musik juga dapat dilakukan dalam waktu
10 15 menit, karena dalam waktu 15 menit dapat membuat rileks tubuh kita
(Djohan, 2009).
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk membuktikan efektifitas
dari terapi musik. Baharati dan Brinda Jayaraman, psikolog dari India telah
melakukan penelitian tentang penggunaan terapi musik melalui headphone dalam
7

waktu 30 menit selama seminggu dan ditemukan dapat menurunkan tekanan
darah, memperbaiki metabolisme dasar dan pernafasan sehingga mengurangi
tekanan terhadap respon fisiologis. Terapi musik juga dapat dilakukan dalam
waktu 10 15 menit, karena dalam waktu 15 menit dapat membuat rileks tubuh
kita (Djohan, 2009). Sementara itu, Ashida (2000) dalam penelitiannya tentang
efek sesi terapi musik reminisans terhadap perubahan gejala depresi pada lansia
dengan dimensia menemukan bahwa terdapat penurunan signifikan gejala depresi
setelah lansia mendapatkan sesi musik pada terapi reminisans selama 5 hari
berturut-turut. Selain itu, terapi musik juga terbukti menurunkan tingkat stres pada
mahasiswa yang sedang menyusun skripsi di PSIK Undip Semarang (Primadita,
2011). Masih banyak penelitan lain yang telah dilakukan mengenai efek terapi
musik pada kesehatan, seperti pada penderita penyakit jantung, stres, cemas,
skizofrenia, dan lain sebagainya.
Samuel Halim (2003) dalam Djohan (2006) menyatakan bahwa efek
musik yang menenangkan dapat memperbaiki kondisi kesehatan, khususnya
jantung dan pembuluh darah. Karena itu jenis musik yang dianjurkan adalah
musik yang lembut, yang memiliki tempo stabil, tekstur musik yang konsisten,
modulasi harmoni terprediksi (biasanya memiliki tempo kisaran 60 80) (Djohan,
2006; Chan, 2009). Walaupun demikian, setiap manusia memiliki irama internal
tubuh yang berbeda, hal ini yang menyebabkan pemberian terapi musik terkadang
harus disesuaikan dengan irama internal tubuh manusia tersebut. Dalam artian,
pemberian terapi musik yang diperdengarkan terkadang harus sesuai dengan jenis
musik yang disukai karena irama jenis musik yang disukai biasanya sesuai dengan
irama internal tubuh (Djohan, 2006). Pada British Journal of Health Psychology
8

dalam jurnal Music Can Facilitate Blood Pressure Recovery from Stress juga
dinyatakan bahwa pada Studi oleh Gerdner (1999) menemukan dalam
penelitiannya orang yang menderita Alzheimer mengalami lebih sedikit agitasi
ketika diberikan program musik pilihan sendiri dibandingkan dengan yang
diberikan program musik klasik (Chaffin, 2004).
Terapi musik terhadap lansia yang mengalami depresi juga sudah pernah
dilakukan sebelumnya oleh Swara pada tahun 2012 di Yogyakarta, namun terapi
musik yang diberikan oleh Swara adalah musik langgam jawa keroncong.
Demikian juga dengan Shalehuddin (2010), Shalehuddin memberikan terapi
musik gamelan jawa terhadap lansia yang mengalami depresi di Pasuruan.
Berbeda dengan kedua penelitian tersebut, penelitian kali ini akan memberikan
terapi musik sesuai dengan jenis musik dan lagu kesukaan lansia masing-masing,
karena hal tersebut akan lebih efektif dampaknya pada tubuh lansia.
Panti werdha merupakan unit pelaksana teknis di bidang pembinaan
kesejahteraan sosial bagi para lansia di panti, berupa pemberian penampungan
jaminan hidup seperti makanan, pakaian, pemeliharaan, pengisian waktu luang
seperti rekreasi, bimbingan sosial, mental, serta agama (Departemen Sosial RI,
1997 dalam Darmodjo et all, 2006). Badan Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Ciparay Jawa Barat merupakan salah satu panti bagi para lansia yang berasal
dari berbagai daerah di jawa barat. Terdapat 150 orang lansia yang terdaftar
menerima pelayanan di BPSTW ini, dengan jumlah lansia laki-laki sebanyak 56
orang dan 94 lansia perempuan. Sedangkan jumlah lansia yang tinggal di BPSTW
ini ada 144 orang dan 6 orang lansia lainnya masih tinggal bersama keluarga
9

mereka masing-masing di daerah sekitar panti, namun mengikuti kegiatan yang
diadakan di BPSTW Ciparay dan terdaftar di tempat ini.
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada 2 4 Mei 2013
di BPSTW Ciparay, ditemukan bahwa 8 dari 14 orang lansia yang diwawancarai
menderita depresi, mulai dari depresi ringan sampai depresi berat. Ada juga lansia
yang mengatakan bahwa mereka sulit tidur, ada yang merasakan rindu untuk
bertemu keluarganya namun tidak bisa. Beberapa lansia juga mengatakan bahwa
mereka sudah lama tidak berkomunikasi dengan keluarga mereka. Dari penelitian
yang dilakukan sebelumnya di BPSTW Ciparay tahun 2008 oleh Juniarni terhadap
35 orang lansia, didapatkan bahwa sebagian besar lansia mengalami depresi
ringan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah responden 26 orang (74,29 %)
mengalami depresi ringan, 9 orang (25,71 %) sedang, dan tidak ada seorangpun
responden yang tidak mengalami depresi. Sementara itu pada penelitian Febi
Yulianti pada tahun 2011 dari 38 orang yang diteliti, ditemukan 32 lansia
mengalami depresi ringan dan 6 lansia depresi berat.
Meskipun rata-rata lansia berada pada tingkat depresi ringan, namun hal
ini harus menjadi perhatian pemberi pelayanan kesehatan. Karena apabila tidak
segera diintervensi, depresi yang diderita lansia akan menjadi semakin berat,
bahkan dapat mengarah pada keinginan untuk bunuh diri. Selain itu, depresi dapat
memperburuk kondisi kesehatan lansia. Berdasarkan uraian fenomena depresi
yang terjadi pada lansia tersebut dan belum pernahnya dilakukan penelitian
mengenai pengaruh terapi musik pada lansia yang mengalami depresi di BPSTW
Ciparay hingga saat ini, peneliti tertarik untuk meneliti Pengaruh Terapi Musik
10

terhadap Depresi pada Lansia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Ciparay Bandung.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perumusan masalah pada
penelitian ini adalah Bagaimana Pengaruh Terapi Musik terhadap Depresi
pada Lansia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay
Bandung.

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan lingkupnya, terdapat 2 garis besar tujuan penelitian, yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana perbedaan depresi
sebelum dan sesudah diberikan terapi musik pada lansia yang mengalami depresi.

1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui depresi lansia sebelum dilakukan terapi musik di
BPSTW Ciparay
2. Untuk mengetahui depresi lansia setelah dilakukan terapi musik di
BPSTW Ciparay
11

3. Untuk mengetahui pengaruh terapi musik terhadap depresi pada lansia di
BPSTW Ciparay
4. Untuk mengetahui pengaruh terapi musik selama 2 kali follow up di
BPSTW Ciparay

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi karya ilmiah
keperawatan gerontik. Selain itu, dapat menjadi informasi pada usaha pelayanan
keperawatan gerontik dalam menjadikan terapi musik sebagai salah satu
intervensi terhadap depresi pada lansia. Penelitian ini diharapkan juga dapat
menjadi langkah awal guna pertimbangan dalam penelitian lebih lanjut mengenai
jenis musik yang tepat pada lansia. Peneliti selanjutnya juga dapat menjadikan
penelitian ini sebagai data awal dalam meneliti terapi modalitas lainnya yang
dinilai dapat menurunkan tingkat depresi pada lansia. Dapat juga menjadi
pertimbangan awal untuk meneliti efektifitas terapi musik terhadap depresi pada
lansia jika dibandingkan dengan terapi modalitas lainnya.

1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk
memilih terapi musik sebagai intervensi yang tepat untuk menangani kasus
depresi pada lansia di BPSTW Ciparay dan Panti Werdha lainnya.

12

1.5 Kerangka Pemikiran
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.
Lansia terus-menerus mengalami kemunduran fisik maupun psikis (aging). Aging
atau penuaan merupakan proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Keadaan seperti ini cenderung membuat lansia lebih berpotensi untuk
mendapatkan masalah-masalah kesehatan (Nugroho, 2008).
Salah satu masalah kesehatan yang sangat sering terjadi pada lansia adalah
depresi. Adapun faktor-faktor penyebab depresi menurut Nevid dkk (2003) yaitu
usia, status sosioekonomi, status pernikahan, jenis kelamin, genetik, peristiwa
kehidupan stressful, learned helplessness, negative cognitive styles, dan dukungan
sosial. Salah satu terapi nonfarmakologis yang dapat dilakukan untuk mencegah
dan mengatasi depresi lebih lanjut adalah terapi musik.
Terapi musik merupakan hal yang penting yang dapat dilakukan pada
lansia yang mengalami depresi. Musik bermanfaat sebagai audioanalgesik
(penenang) dan menimbulkan pengaruh biomedis yang positif, sebagai penguat
untuk kesehatan dalam hal keterampilan fisiologis, emosi, dan gaya hidup,
mereduksi stres pada pikiran dan meningkatkan kesehatan tubuh (Djohan, 2006).
Dalam hal ini yang berperan menurunkan tingkat depresi adalah serotonin dan
norepinefrin, dimana pada penderita depresi ditemukan keadaan serotonin dan
norepinefrin menurun. Menurunnya kadar serotonin dan norepinefrin ini yang
menimbulkan gejala depresi seperti berkurangnya tidur, selera makan, dorongan
seks, dan aktivitas motor yang sering dihubungkan dengan depresi (Semiun,
13

2006). Dengan diberikannya terapi musik, serotonin dilepaskan dalam jumlah
tertentu yang kemudian meningkatkan perasaan yang menyenangkan (Djohan,
2006) dan diharapkan dapat mengurangi gejala depresi.
Baharati dan Brinda Jayaraman melakukan penelitian tentang penggunaan
terapi musik melalui headphone dalam waktu 30 menit selama seminggu
ditemukan menurunkan tekanan darah, memperbaiki metabolisme dasar dan
pernafasan sehingga mengurangi tekanan terhadap respon fisiologis. Tamaroh dan
Puspitosari dalam penelitiannya menemukan bahwa mendengar bacaan Alquran
selama 8 hari menurunkan tingkat depresi pada lansia di PSTW Budi Luhur
Yogyakarta. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dalam waktu 30 menit
selama 8 hari pada lansia depresi. Walaupun demikian, terdapat beberapa hal yang
dapat menjadi faktor perancu dalam pelaksanaan terapi musik pada lansia depresi
ini. Diantaranya jika lansia tidak mengikuti keseluruhan pelaksanaan sesi terapi
musik, lansia sedang menggunakan obat-obatan anti depresan (Setiati, 2000), dan
lansia yang melakukan konseling dengan penurus panti (hal ini juga merupakan
bagian dari terapi modalitas lain) (Setyoadi dan Kushariyadi, 2011). Maka untuk
mencegah biasnya data, selama pelaksanaan terapi musik (30 menit) peserta tidak
diperkenankan untuk meninggalkan ruangan. Demikian pula untuk obat-obatan
antidepresan, akan diminta kesediaan peserta untuk tidak mengonsumsi
antidepresan selama masa penelitian. Kalaupun tetap mengonsumsi, waktu
pelaksanaan akan disesuaikan dengan efek dosis obat masing-masing
antidepresan.
14

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Pengaruh Terapi Musik pada Lansia yang Mengalami Depresi di BPSTW Ciparay











: Variabel yang diteliti
Sumber: Modifikasi teori Nevid dkk. (2003), Durand & Barlow (2006), Djohan (2006), WHO (2010), Sheikh dan Yesavage (1986)
FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB DEPRESI
Internal:
Usia
Jenis kelamin
Genetik
Learned helplessness
Negative cognitive styles
Eksternal:
Status sosioekonomi
Status pernikahan
Peristiwa kehidupan stressful
Dukungan Sosial

LANSIA
DEPRESI
TERAPI MUSIK
(30 menit 1 x sehari selama 8
hari)
DEPRESI SEBELUM TERAPI
MUSIK:
Depresi ringan (5-9)
Depresi sedang sampai berat (10-15)
DEPRESI SETELAH TERAPI MUSIK:
Tidak depresi (0-4)
Depresi ringan (5-9)
Depresi sedang sampai berat (10-15)
Faktor perancu/ confounding:
- Bila lansia sedang dalam
penggunaan obat-obatan
antidepresan
- Bila lansia melakukan
konseling dengan pengurus
panti selama penelitian
berlangsung
- Bila lansia sedang dalam
terapi modalitas lain selama
penelitian

You might also like