You are on page 1of 23

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meninngkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai
akibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolisme sel darah
merah. Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Prancis jaune yang berarti
kuning. Ikterus sebaiknya diperiksa dibawah cahaya terang siang hari, dengan
melihat sklera mata, dan kalau ini terjadi konsentrasi bilirubin sudah berkisar
antara 2-2,5 mg/dL (34 sampai 43 umol/L). Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat
dengan nyata maka bilirubin mengkin sebenarnya sudah mencapai angka 7 mg%.
1

Munculnya jaundice (ikterus) pada pasien adalah sebuah kejadian yang
dramatis secara visual. Jaundice selalu berhubungan dengan penyakit penting,
meskipun hasil akhir jangka panjang bergantung pada penyebab yang mendasari
jaundice. Jaundice adalah gambaran fisik sehubungan dengan gangguan
metabolisme bilirubin. Kondisi ini biasanya disertai dengan gambaran fisik
abnormal lainnya dan biasanya berhubungan dengan gejala-gejala spesifik.
Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan pencitraan, memberikan perbaikan
lebih lanjut pada diagnosa banding. Umumnya, jaundice non-obstruktif tidak
membutuhkan intervensi bedah, sementara jaundice obstruktif biasanya
membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk
pengobatan.
2
Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus
biliaris, dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan
yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5
1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan
bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan,
adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari perubahan awal yang
terlihat pada tubuh pasien.
3

2

Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang
dihasilkan dari sel darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak
terkonjugasi yang tidak larut ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin.
Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid hepatosit kedalam
sitoplasma. Enzim uridine diphosphateglucuronyl transferase mengkonjugasikan
bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam glukoronat untuk
membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide dan
bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan
kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah
menjadi urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal.
Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh
ginjal didalam urin.
4

Umumnya diagnosis ikterus obstruktif secara klinik ditegakkan dengan
cara imaging. Pemeriksaan ultrasonografi mudah membedakan penyebab ikterus
ekstra hepatik atau intra hepatic dengan melihat pelebaran dari saluran empedu
dengan ketepatan 95%. Tindakan biopsi umumnya hanya dilakukan untuk
evaluasi dari ikterus intra hepatik. Pada kasus tertentu tidak selalu mudah untuk
menegakkan diagnosis ikterus obstruktif ektrahepatik atau intra hepatik. Kadang-
kadang saluran empedu tidak terlihat jelas pada pemeriksaan USG untuk
menentukan letak obstruksi, karena bagian distal saluran empedu sukar terlihat
pada 30-50% kasus, sehingga dibutuhkan pemeriksaan patologi anatomi dengan
tindakan biopsi hepar dalam memastikan diagnosis ikterus obstruktif
ekstrahepatik.8,13-16 Berikut ini dilaporkann sebuah kasus ikterus obstruktif yang
mula-mula tidak bisa ditegakkan diagnosisnya dengan imaging, tetapi kemudian
akhirnya diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi.
1

3

BAB 2
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. RH
Umur : 56 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Meunasah Mee. Muara 2.
Agama : Islam
Suku Bangsa : Aceh
Status : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal masuk RSMS : 08 Februari 2014
Tanggal periksa : 12 Februari 2014
No.RM : 05.50.01

I. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : Nyeri perut kanan atas
2. Keluhan tambahan : Mual, muntah, tidak nafsu makan, tidak ada
nafsu makan kurang lebih 5 hari.
3. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Cut Meutia pada tanggal 08 Februari
2014, dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas. Keluhan tersebut
dirasakan sejak 1 bulan yang lalu dan memberat 2 jam SMRS. Setelah di
rawat 3 hari pasien mengeluh sekujur tubuh serta matanya menguning.
Pasien selama ini hanya mengeluh rasa sakit pada perut kanan atas dan
menjalar sampe kebelakang, sakit bertambah terutama jika pasien makan
makanan yang mengandung banyak lemak. Pasien juga mengeluh mual,
lemas, muntah, BAK ( coklat seperti teh), BAB (-) selama 8 hari.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama : 1 minggu yang lalu
4

b. Riwayat Hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit hati : 20 tahun yang lalu pernah
mengalami kulit kuning
g. Riwayat Alergi : disangkal
h. Riwayat Asthma : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
e. Riwayat penyakit hati : disangkal
f. Riwayat penyakit stroke : disangkal
g. Riwayat Alergi : disangkal
h. Riwayat Asthma : disangkal

II. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sedang, Kooperatif
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign : TD : 120/80 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36,6
0
C
A. Status Generalis
1. Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : Mesocephal, Simetris, Venektasi Temporal (+/+)
Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata.
Mata : Simetris, Konjungtiva Anemis -/-, Sklera Ikterik
+/+, Refleks Pupil +/+ Normal, Isokor, diameter
5

3/3 mm, Edema Palpebra +/+
Telinga : discharge -/-, deformitas -/-
Hidung : discharge -/-, deformitas -/-, NCH -/-
Mulut : bibir kering -/-, bibir pucat -/-, Lidah Sianosis -/-
2. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), tidak teraba pembesaran kelenjar tyroid dan kelenjar
lymponodi, JVP 5+2 cm, Hepato jugular refluks +
3. Pemeriksaan Toraks
a. Paru
Inspeksi : Dinding dada simetris, ketinggalan gerak (-),
Retraksi (-), Pulsasi Epigastrium (-), Pulsasi
Parasternal (-)
Palpasi : Vokal Fremitus paru kanan = paru kiri
Ketinggalan gerak (-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler, RBH -/-, RBK -/-, Wh -/-
b. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak nampak
Palpasi : Ictus Cordis tampak SIC VI
Perkusi : Redup
Auskultasi : S1>S2, Iregular, Murmur (-), Gallop (-)
4. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut datar, Venektasi (-), Spider Nevi (-)
Auskultasi : Bising Usus
Perkusi : Pekak hepar
Palpasi : Hepar/Lien tidak teraba, NT tekan pada
Perut kanan atas , murphy sign (+)
5. Pemeriksaan ekstermitas
Superior : Edema (-/-), Jari Tabuh (-/-), Pucat (-/-),
Sianosis -/-
Inferior : Edema (-/-), Jari Tabuh (-/-), Pucat (-/-),
Sianosis -/-
6



III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil laboratorium tanggal 9 Februari 2014
Darah lengkap
Hb : 10,7 g% (13-18 g%)
LED : 22 mm/Jam ( < 15 mm/Jam)
Leukosit : 5,6 x 10
3
/mm
3
( 4-11 x 10
3
/mm
3
)
Hematokrit : 34,8 % (37 47 %)
Eritrosit : 4,1 x 10
6
/mm
3
(4,5 6,5 x 10
6
/mm
3
)
Trombosit : 375 x 10
3
/mm
3
(150 450 x 10
3
/mm
3
)
MCV : 85 fL (76 96 fL)
MCH : 26,3 pg (27 31 pg)
MCHC : 30,8 % (30 35 %)
RDW : 13,5 % (11,5 14,5 %)
Kimia Klinik
SGOT : 41 U/L ( < 33 U/L )
SGPT : 26 U/L ( < 40 U/L )
Bilirubin Total : 13,24 mg/dL ( < 1,3 mg/dL )
Bilirubin Direk : 11,27 mg/dL ( < 0,5 mg/dL )
Sero Imunologi
HBsAg : negatif (negatif)

IV. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Cut Meutia pada tanggal 08 Februari
2014, dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas. Keluhan tersebut
dirasakan sejak 1 bulan yang lalu dan memberat 2 jam SMRS. Setelah
di rawat 3 hari pasien mengeluh sekujur tubuh serta matanya
menguning. Pasien selama ini hanya mengeluh rasa sakit pada perut
kanan atas dan menjalar sampe kebelakang, sakit bertambah terutama
jika pasien makan makanan yang mengandung banyak lemak. Pasien
juga mengeluh mual, lemas, muntah, BAK (coklat seperti teh), BAB (-
7

) selama 8 hari. Dari pemeriksaan fisik di dapatkan nyeri tekan pada
perut kanan atas dan murphy sign (+),

V. FOLLOW UP
09/02/2014 S:
nyeri perut kanan atas,
mual, muntah, tidak
nafsu makan, BAK
seperti air teh, BAB
tidak ada selama 5
hari
O:
TD 120/80 mmHg
N 80 /menit
RR 24 /menit
S 36,3 C
IVFD RL 20 gtt/i
Cairan Nutrisi 1 flash/ hari
Inj. Ranitidine 50 mg / 12jam
Inj. Ondancentron 4mg/ 12jam
Mucogard Syrp 3 x C1
10/02/2014 S:
nyeri perut kanan atas,
mual, muntah, tidak
nafsu makan, BAK
seperti air teh, BAB
tidak ada selama 6
hari
TD 120/80 mmHg
N 84 /menit
RR 20 /menit
S 36,6 C

Hb : 10,7 g%
LED : 22 mm/jam
Eritrosit : 4,1 x 10
6
/mm
3

Hematokrit : 34,8 %
MCH : 26,3 pg
IVFD RL 20 gtt/i
Cairan Nutrisi 1 flash/ hari
Inj. Ranitidine 50 mg / 12jam
Inj. Ondancentron 4mg/ 12jam
Mucogard Syrp 3 x C1
11/02/2014 S:
nyeri perut kanan atas,
mual, muntah, tidak
nafsu makan, BAK
seperti air teh, BAB
tidak ada selama 7
hari, mata dan kulit
kuning
O:
TD 120/80 mmHg
N 88 /menit
RR 24 /menit
S 36,5 C

IVFD RL 20 gtt/i
Cairan Nutrisi 1 flash/ hari
Inj. Ranitidine 50 mg / 12jam
Inj. Ondancentron 4mg/ 12jam
Mucogard Syrp 3 x C1
12/10/2011 S:
nyeri perut kanan atas,


IVFD RL 20 gtt/i
8

mual, muntah, tidak
nafsu makan, BAK
seperti air teh, BAB
tidak ada selama 8
hari, mata dan kulit
kuning
O
TD 125/85 mmHg
N 72 /menit
RR 20 /menit
S 36 C

SGOT: 41 U/L
Bilirubin total:
13,24 mg/dL
Bilirubin direct:
11,27 mg/dL
Cairan Nutrisi 1 flash/ hari
Inj. Ranitidine 50 mg / 12jam
Inj. Ondancentron 4mg/ 12jam
Mucogard Syrp 3 x C1

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis
Obstruksi Jaundice ec.
- Ca Caput Pancreas
- CBD Stone
- Ca Ampulla Vateri

VII. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium darah rutin, elektrolit, glukosa darah
sewaktu, ureum, dan kreatinin serial untuk monitoring
2. Foto Toraks PA
3. EKG
4. USG
5. CT-scan
6. ERCP
7. MRCP

VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada kasus ini yang dianjurkan adalah :
1. Non Farmakologis
a. Bed rest : batasi aktivitas fisik
b. Pengaturan kalori harian 40-45 kkal/kgBB/hari.
c. Protein 1,25 - 1,/kgBB/hari
d. Diet rendah lemak
9

2. Farmakologi
a. IVFD RL 20 gtt/i
b. Cairan Nutrisi 1 flash/ hari
c. Inj. Ranitidine 50 mg / 12jam
d. Inj. Ondancentron 4mg/ 12jam
e. Mucogard Syrp 3 x C1
3. Tindakan Bedah
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad bonam





a. Sklera Ikterik b. Rontgen Thorax
b.







c. EKG
Interprestasi
- CTR : 48%, tidak kardiomegali
- EKG : Sinus Rhytme
10

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Jaundice (Ikterik)

3.1.1 Definisi Jaundice
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan
sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Jaundice
(berasal dari bahasa Perancis jaune artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin
untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran
mukosa oleh deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan
tersebut.
1
Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus
biliaris, dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan
yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5
1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan
bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan,
adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari perubahan awal yang
terlihat pada tubuh pasien.
2


3.1.2. Klasifikasi Jaundice
Klasifikasi umum jaundice: pre-hepatik, hepatik dan post-hepatik.
Jaundice obstruktif selalu ditunjuk sebagai post-hepatik sejak defeknya terletak
pada jalur metabolisme bilirubin melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice
ditunjuk sebagai jaundice non-obstruktif. Bentuk ini akibat defek hepatosit
(jaundice hepatik) atau sebuah kondisi pre-hepatik.
2


3.2. Obstruksi Jaundice
Obstruksi jaundice dapat terjadi akibat adanya hambatan saluran empedu.
Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran
misalnya adanya tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik). Batu
empedu dan cacing askaris sering dijumpai sebagai penyebab sumbatan di dalam
11

lumen saluran. Pankreatitis, tumor kaput pankreas, tumor kandung empedu atau
anak sebar tumor ganas di daerah ligamentum hepatoduodenale dapat menekan
saluran empedu dari luar menimbulkan gangguan aliran empedu.
5
Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai penyebab sumbatan antara
lain kista koledokus, abses amuba pada lokasi tertentu, divertikel duodenum dan
striktur sfingter papila vater.
6
3.2.1 Etiologi Obstruksi Jaundice
Penyebab terjadinya jaundice obstruktif adalah adanya obstruktif post
hepatik yang antara lain disebabkan oleh
6
:
1. Obstruksi dalam lumen saluran empedu
* Batu
* Parasit (ascaris)

2. Kelainan di dinding saluran empedu
* Atresia bawaan
* Striktur traumatic
* Tumor saluran empedu

3. Penekanan saluran empedu dari luar
* Tumor caput pancreas
* Tumor ampula Vateri
* Pankreatitis
* Metastasis di dalam ligamentum hepaoduodenale
12


Penyebab dari jaundice obstruktif dibedakan menjadi 3 macam seperti yang
tampak pada gambar di atas, yaitu :
1. Sering
* Batu CBD
* Ca caput pancreas
* Malignant porta hepatic lymph nodes

2. Infrequent
* Ca ampuler
* Pankreatitis
* Liver secondaries

3. Jarang
* Benign striktur iatrogenic, trauma
* Kolangitis berulang
* Sindroma Mirizzi
* Sclerosing cholangitis
* Atresia bilier
* Choloedochal cyste
13


3.2.2. Manifestasi Klinik
1,2,6

Tanda dan gejala yang timbul antara lain:
* Ikterus
Hal ini disebabkan penumpukkan bilirubin terkonjugasi yang ada dalam
darah yang merupakan pigmen warna empedu.
* Nyeri perut kanan atas
Nyeri yang dirasakan tergantung dari penyebab dan beratnya obstruktif.
Dapat ditemui nyeri tekan pada perut kanan atas maupun kolik bilier.
* Warna urin gelap (Bilirubin terkonjugasi)
Urin yang berwarna gelap karena adanya bilirubin dalam urin.
* Feces seperti dempul (pucat/akholis)
Hal ini disebabkan karena adanya sumbatan aliran empedu ke usus yang
mengakibatkan bilirubin di usus berkurang atau bahkan tidak ada sehingga
tidak terbentuk urobilinogen yang membuat feces berwarna pucat.
* Pruritus yang menetap
Adanya pruritus menunjukkan terakumulasinya garam empedu di
subkutan yang menyebabkan rasa gatal.
* Anoreksia, nausea dan penurunan berat badan
Gejala ini menunjukkan adanya gangguan pada traktus gastrointestinal.
* Demam dan rigors
* Pembesaran hepar dan kandung empedu (Courvoisier sign)

3.2.3. Patofisiologi Obstruksi Jaundice
Empedu merupakan sekresi multi-fungsi dengan susunan fungsi, termasuk
pencernaan dan penyerapan lipid di usus, eliminasi toksin lingkungan, karsinogen,
obat-obatan, dan metabolitnya, dan menyediakan jalur primer ekskresi beragam
komponen endogen dan produk metabolit, seperti kolesterol, bilirubin, dan
berbagai hormon.
2

Pada obstruksi jaundice, efek patofisiologisnya mencerminkan ketiadaan
komponen empedu (yang paling penting bilirubin, garam empedu, dan lipid) di
usus halus, dan cadangannya, yang menyebabkan tumpahan pada sirkulasi
14

sistemik. Feses biasanya menjadi pucat karena kurangnya bilirubin yang mencapai
usus halus. Ketiadaan garam empedu dapat menyebabkan malabsorpsi,
mengakibatkan steatorrhea dan defisiensi vitamin larut lemak (A, D, K); defisiensi
vitamin K bisa mengurangi level protrombin. Pada kolestasis berkepanjangan,
seiring malabsorpsi vitamin D dan Ca bisa menyebabkan osteoporosis atau
osteomalasia.
2

Retensi bilirubin menyebabkan hiperbilirubinemia campuran. Beberapa
bilirubin terkonjugasi mencapai urin dan menggelapkan warnanya. Level tinggi
sirkulasi garam empedu berhubungan dengan, namun tidak menyebabkan,
pruritus. Kolesterol dan retensi fosfolipid menyebabkan hiperlipidemia karena
malabsorpsi lemak (meskipun meningkatnya sintesis hati dan menurunnya
esterifikasi kolesterol juga punya andil); level trigliserida sebagian besar tidak
terpengaruh.
3

Penyakit hati kolestatik ditandai dengan akumulasi substansi hepatotoksik,
disfungsi mitokondria dan gangguan pertahanan antioksidan hati. Penyimpanan
asam empedu hidrofobik mengindikasikan penyebab utama hepatotoksisitas
dengan perubahan sejumlah fungsi sel penting, seperti produksi energi
mitokondria. Gangguan metabolisme mitokondria dan akumulasi asam empedu
hidrofobik berhubungan dengan meningkatnya produksi oksigen jenis radikal
bebas dan berkembangnya kerusakan oksidatif.
1


3.2.4. Diagnosa Obstruksi Jaundice
Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati.
1. Anamnesis
Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan
feses, rasa gatal, keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan
berkurang, pekerjaan, adanya kontak dengan pasien ikterus lain,
alkoholisme, riwayat transfusi, obat-obatan, suntikan atau tindakan
pembedahan.
2



15

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa,
mencari tanda-tanda stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, eritema
palmaris, bekas garukan di kulit karena pruritus, tanda-tanda asites. Anemi
dan limpa yang membesar dapat dijumpai pada pasien dengan anemia
hemolitik. Kandung empedu yang membesar menunjukkan adanya
sumbatan pada saluran empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan
oleh tumor (dikenal hukum Courvoisier).
5

Hukum Courvoisier : Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak
mungkin disebabkan oleh batu kandung empedu.
Hal ini biasanya menunjukkan adanya striktur neoplastik tumor (tumor
pankreas, ampula, duodenum, CBD), striktur pankreatitis kronis, atau
limfadenopati portal.
7

Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang timbul
disebabkan oleh gangguan pada sel-sel hati atau disebabkan adanya
hambatan pada saluran empedu.
1

Diagnosa klinis untuk pemeriksaan jaundice obstruktif antara lain :
2

a. Peningkatan level bilirubin direk (terkonjugasi) (> 0,4 mg/ml), Normal
= 0,1-0,3 mg/ml.
b. Peningkatan level bilirubin indirek (tak terkonjugasi) (> 0,8 mg/ml),
Normal = 0,2-0,8 mg/ml.
c. Tidak adanya bilirubin dalam urin atau peningkatan bilirubin urin
(konsentrasi tinggi dalam darah).
d. Peningkatan urobilinogen (> 4 mg/24 jam) tergantung pada kemampuan
hati untuk mengabsorbsi urobilinogen dari sistem portal, Normal = 0-4
mg/hari.
e. Menurunnya urobilinogen fekal (< 40 mg/24 jam), Normal = 40-280
mg/hari, karena tidak mencapai usus.
f. Peningkatan alkalin fosfat dan level kolesterol karena tidak dapat
diekskresi ke kandung empedu secara normal.
g. Pada kasus penyakit hati yang sudah parah, penurunan level kolesterol
mengindikasikan ketidakmampuan hati untuk mensintesisnya.
16

h. Peningkatan garam empedu yang menyebabkan deposisi di kulit,
sehingga menimbulkan pruritus.
i. Pemanjangan waktu PTT (Prothrombin Time) (> 40 detik) dikarenakan
penurunan absorbsi vitamin K.



3.2.5. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk
serum bilirubin direk dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan
hitung sel darah lengkap. Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi
ketika ada peningkatan produksi bilirubin atau menurunnya ambilan dan
konjugasi hepatosit. Kegagalan pada ekskresi bilirubin (kolestasis intrahepatik)
atau obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan hiperbilirubinemia (direk)
terkonjugasi mendominasi. Elevasi tertinggi pada bilirubin serum biasanya
ditemukan pada pasien dengan obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya
meluas sampai 15 mg/dL yang diamati. Batu kandung empedu umumnya biasanya
17

berhubungan dengan peningkatan lebih menengah pada bilirubin serum (4 8
mg/dL). Alkali fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif pada obstruksi
bilier dan mungkin meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan obstruksi bilier
parsial.
1
Bilirubin direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin
disebabkan oleh sumbatan saluran empedu dibanding bila bilirubin indirek yang
jelas meningkat. Pada keadaan normal bilirubin tidak dijumpai di dalam urin.
Bilirubin indirek tidak dapat diekskresikan melalui ginjal sedangkan bilirubin
yang telah dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena itu adanya bilirubin
lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran empedu daripada kerusakan sel-
sel hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya perubahan warna feses
menjadi akolis menunjukkan terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen
usus (pigmen tidak dapat mencapai usus).
8

2. Hematologi
Meningkatnya level serum bilirubin dengan kelebihan fraksi bilirubin
terkonjugasi. Serum gamma glutamyl transpeptidase (GGT) juga meningkat pada
kolestasis. Umumnya, pada pasien dengan penyakit batu kandung empedu
hiperbilirubinemia lebih rendah dibandingkan pasien dengan obstruksi maligna
ekstra-hepatik. Serum bilirubin biasanya < 20 mg/dL. Alkali fosfatase meningkat
10 kali jumlah normal. Transaminase juga mendadak meningkat 10 kali nilai
normal dan menurun dengan cepat begitu penyebab obstruksi dihilangkan.

Meningkatnya leukosit terjadi pada kolangitis. Pada karsinoma pankreas dan
kanker obstruksi lainnya, bilirubin serum meningkat menjadi 35-40 mg/dL, alkali
fosfatase meningkat 10 kali nilai normal, namun transamin tetap normal.
1
Penanda tumor seperti CA 19-9, CEA dan CA-125 biasanya meningkat
pada karsinoma pankreas, kolangiokarsinoma, dan karsinoma peri-ampula, namun
penanda tersebut tidak spesifik dan mungkin saja meningkat pada penyakit jinak
percabangan hepatobilier lainnya.
3

3. Pencitraan
1

Tujuan dibuat pencitraan adalah:
a. memastikan adanya obstruksi ekstrahepatik (yaitu membuktikan apakah
jaundice akibat post-hepatik dibandingkan hepatik),
18

b. untuk menentukan level obstruksi,
c. untuk mengidentifikasi penyebab spesifik obstruksi,
d. memberikan informasi pelengkap sehubungan dengan diagnosa yang
mendasarinya (misal, informasi staging pada kasus malignansi).
I. USG
Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan
penunjang pencitraan yang pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan
lainnya. Dengan sonografi dapat ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang
melebar, adanya batu atau massa tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan
sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu empedu, pembesaran
kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali. Tidak
ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan penyebab
ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran
empedu memperkuat diagnosis ikterus obstruktif.
1
Pada pemeriksaan USG akan memperlihatkan ukuran duktus biliaris,
mendefinisikan level obstruksi, mengidentifikasi penyebab dan memberikan
informasi lain sehubungan dengan penyakit (mis, metastase hepatik, kandung
empedu, perubahan parenkimal hepatik). Identifikasi obstruksi duktus dengan
akurasi 95%, memperlihatkan batu kandung empedu dan duktus biliaris yang
berdilatasi, namun tidak dapat diandalkan untuk batu kecil atau striktur. Juga
dapat memperlihatkan tumor, kista atau abses di pankreas, hepar dan struktur
yang mengelilinginya.
1

II. Pemeriksaan Radiologi
1,5

a. Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena
sebagian besar batu empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat
digunakan pada pasien ikterus karena zat kontras tidak diekskresikan
oleh sel hati yang sakit.
b. CT-scan : memberi viasualisasi yang baik untuk hepar, kandung
empedu, pankreas, ginjal dan retroperitoneum; membandingkan
antara obstruksi intra- dan ekstrahepatik dengan akurasi 95%. CT
dengan kontras digunakan untuk menilai malignansi bilier.
19

c. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography) dan
PTC (Percutaneus Transhepatic Cholangiography) : menyediakan
visualisasi langsung level obstruksi. Namun prosedur ini invasif dan
bisa menyebabkan komplikasi seperti kolangitis, kebocoran bilier,
pankreatitis dan perdarahan.
d. EUS (endoscopic ultrasound) : memiliki beragam aplikasi, seperti
staging malignansi gastrointestinal, evaluasi tumor submukosa dan
berkembang menjadi modalitas penting dalam evaluasi sistem
pankreatikobilier. EUS juga berguna untuk mendeteksi dan staging
tumor ampula, deteksi mikrolitiasis, koledokolitiasis dan evaluasi
striktur duktus biliaris benigna atau maligna. EUS juga bisa
digunakan untuk aspirasi kista dan biopsi lesi padat.
e. MRCP (Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography):
merupakan teknik visualisasi terbaru, non-invasif pada bilier dan
sistem duktus pankreas. Hal ini terutama berguna pada pasien
dengan kontraindikasi untuk dilakukan ERCP. Visualisasi yang baik
dari anatomi bilier memungkinkan tanpa sifat invasif dari ERCP.
Tidak seperti ERCP, MRCP adalah murni diagnostik.

3.2.6. Penatalaksanaan Obstruksi Jaundice
Pengobatan ikterus sangat bergantung penyakit dasar penyebabnya.
Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan
kolestasis intrahepatik, pengobatan penyakit dasarnya sudah mencukupi. Pruritus
pada keadaan irreversibel (seperti sirosis bilier primer) biasanya responsif
terhadap kolestiramin 4-16 g/hari PO dalam dosis terbagi dua yang akan mengikat
garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat,
hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin
K1) 5-10 mg/hari SK untuk 2-3 hari.
1

Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis
yang ireversibel, namun pencegahan penyakit tulang metabolik mengecewakan.
Suplemen vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini
20

dan steatorrhea yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian lemak
dalam diet dengan medium chain trigliceride.
1

Selama ini titik berat jaundice obstruktif ditujukan kepada eradikasi
bakteri dengan pemberian antibiotika empedu pengganti, pemberian laktulosa dan
terapi pembedahan. Penatalaksanaan terapi ini sangat efektif bila dilakukan pada
fase dini dari ikterus obstruktif, akan tetapi hasilnya terbukti menjadi kurang
efektif bila dilakukan pada penderita yang sudah berlangsung lama, karena adanya
pengingkatan risiko gangguan fungsi ginjal.
6

Terapi pembedahan untuk mengembalikan fungsi aliran empedu dari hepar
ke duodenum adalah melakukan drenase interna yang dilakukan secara langsung
dengan menyambungkan kembali saluran empedu ke usus halus. Bila hal ini tidak
memungkinkan karena keadaan penderita terlalu lemah untuk dilakukan
pembedahan besar, maka dalam keadaan darurat dapat dilakukan drainase
eksterna dengan melakukan pemasangan pipa saluran melalui kulit ditembuskan
ke hepar sampai ke saluran empedu (Percutaneous Transhepatal Drainage).
Apabila keadaan penderita sudah stabil kembali, maka ppenderita harus segera
dilakukan pembedahan interna (DI).
6

3.2.7. Komplikasi
Salah satu penyulit dari drainase interna pada ikterus obstruktif adalah
gagal ginjal akut (GGA). GGA pada penderita ikterus obstruktif lanjut pasca
drenase interna sampai saat ini masih merupakan komplikasi klinis yang
mempunyai risiko kematian tinggi. Pada penderita ikterus obstruktif lanjut yang
mengalami tindakan pembedahan sering mengalami komplikasi pasca operatif.
Komplikasi ini berhubunga dengan endoktoksemia sistemik terjadi melalui 2
mekanisme yang pertama, tidak adanya empedu pada traktus gastrointestinal yang
bersifat detergen like sehingga terjadi transolakasi endotoksin melalui mukosa
usus. Dengan tidak adanya empedu dan cinjugated bilirubin di traktus
gastrointestinal akan menganggu funngsi barier usus sehingga terjadi over growth
bakteri, terutama bakteri gram negatif, yang dapat menyebabkan translokasi
bakteri maupun endotoksinnya kedalam sirkulasi. Mekanisme kedua, ikterus
21

obstruktif menyebabkan menurunnya fungsi kupffer sebagai clearance of
endotoxin sehingga endotoksin semakin meningkat di dalam sirkulasi.
6

Perubahan hemodinamika ginjal yang terjadi pada pasien denga ikterus
obstruktif bersifat reversible. Oleh karena itu harus segera dilakukan intervensi
optimal untuk mencegah semakin memburuknya fungsi ginjal. Pencegahan
terjadinya gagal ginjal akut pada pembedahan ikterus obstruktif dengan
melakukan ekspansi volume cairan dari intaseluler menuju ekstraseluler dan
menurunkan terjadinya endotoksinemia.
6

Komplikasi yang terjadi pada ikterus obstruktif adalah sepsis primer,
perdarahan gastrointestinal, koagulopati, gangguan penyembuhan luka bedah dan
gagal ginjal akut (GGA).
6















22

BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Secara umumnya, ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau
jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh
bilirubin yang meninngkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Obstruksi
jaundice dapat terjadi akibat adanya hambatan saluran empedu. Sumbatan saluran
empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran misalnya adanya
tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik).Pengobatan ikterus sangat
bergantung penyakit dasar penyebabnya.

4.2 Saran
Disarankan pasien dengan Obstruktif Jaundice agar sentiasa mengamalkan
cara hidup yang sehat dengan memakan makanan sesuai diet untuk usia dan tidak
mengkonsumsi alcohol dan rokok yang berlebihan. Pasien juga harus merujuk
lebih awal lagi ke rumah sakit jika terdapat kelainan pada mereka.










23

DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana L.: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380-384.

2. I J Beckingham. 2001. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary
System Gallstone Disease. Dalam: British Medical Journal Vol 13, Januari
2001: 322 (7278): 9194. Available from :
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1119388 [diakses
pada tanggal 10 April 2011].

3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-579.

4. Price, Sylvia Anderston. Patofisiologi Konsep Klinis Preose-Proses Penyakit.
Jilid 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994. Schwartz S, Shires G,
Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.

5. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of
Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.

6. Kasper Dennis, Harrison Tinsley Randolph. 2005. Harrison Principles of
Internal Medicine 16
th
. New York: Mc Graw Hills Publishing. 1880-1890

7. Sujono Hadi. 1983. Nyeri Epigastrik Penyebab dan Pengelolaannya. Dalam:
Cermin Dunia Kedokteran No. 4, 1983: 29. Available From:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/03_NyeriEpigastrik.pdf/03_NyeriEpigas
trik.html [diakses pada tanggal 10 April 2011].

You might also like