You are on page 1of 20

Kajian Reguler

Al-Risâlah II
Selasa, 17 November 2009

Realitas Ijtihad dan Aplikasinya dalam Konsep Inferensi Hukum Manhaj


Tarjih Muhammadiyah

I. Pendahuluan

Syariat islam yang telah mengatur hidup manusia dengan aksis al-Quran dan
Sunnah, telah menjadikan semuanya norma-norma praksis dalam kehidupan
mereka. Nas al-Quran dan sunnah menjadi sakral dan konsepsi epistemik
bagi kaum muslimin khususnya ahli fikih dan ushul dalam beraktifitas
menformulasi (istinbath) hukum yang bersifat amali. Fikih, merupakan
kumpulan hukum-hukum islam yang difinitif walaupun secara hakekat masih
perlu kontekstualisasi yang memadahi dengan konteks zamanya. Imam
Ghozali (w. 505 H) mengatakan bahwa fikih pada mulanya bukan ilmu yang
membahas tentang talaq, li’ân, sewa menyewa dan ilmu muamalah lainya,
namun penamaan fikih itu adalah ilmu yang membahas tentang akhirat akan
nikmat-Nya, pengetahuan terhadap sebab-sebab perusak jiwa dan amal-amal
muslim, esensi kefanaan dunia, rasa tunduk pada-Nya sehingga semua ini
menjadi suatu peringatan kompleks.1 Selain fikih, usul fikih juga merupakan
kumpulan metodologi bagi para ahli fikih dan ushul ketika ingin beristinbâth
dan beristidlal (penetapan berdasarkan ‘illah) dari dalil nas (al-Quran dan
Sunnah) yang telah rinci pada sebuah permasalahan amali. Ushul fikih juga
bagaikan mantiq yang menjadi metodologinya dalam berfilsafat. Dalam
pembahasannya, ushul fikih mencakup hukum, dalil-dali hukum, cara
beristinbâth hukum dan kaidah-kaidahnya sehingga mencakup kaidah-kaidah
tarjih dan nâsikh mansûkh, ijitihad dan taklid. Kemudian maqasid syariah.
Namun bab yang terkhir ini masih kontras di antara para ulama’, apakah bab
maqosid bagian dari ushul fikih atau berdiri sendiri seperti cabang ilmu
lainnya?. Dari hirarki pembahasan ushul fikih di atas, yang menjadi menarik
adalah pembahsan ijitihad. Karena ijtihad setiap detik, menit, jam, hari,
minggu, bulan dan tahun tidak akan luput dari manusia. Dengan berbagai
kondisi sosio-kultur, geografis kehidupan mikrokosmis pun berbeda-beda
sehingga hukum yang dihasilkan pun harus sesuai dengan kondisi dan
zamannya dan tentunya berpacu pada ruh syariat (maqâsid syarîah). Dari
stimulan di atas tentunya sudah merucut yang ingin menjadi pembahasan di
dalam makalah ini. Penulis ingin membuka wacana dengan tema ijtihad dan
yang nantinya ada implikasinya pada proses inferensi hukum Majelis Tarjih
Muhammadiyah. Mudah-mudahan bermanfaat.

II. Definisi Ijtihad

Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan kata ijtihad baik itu secara
etimologi maupun terminologi. Namun, perbedaan itu hanya terletak pada
konstruk susunan bahasa tapi mengarah pada esensi yang sama. Tidak ada
pengelakan bahwa jika penamaan sebuah cabang ilmu itu saling berbeda-
1
Muhammad Ali Sayis, tafsîr âyatu al-Ahkâm, Dâr al-Bayân al-Khaditsah, Kairo, hal. 50, (diktat tafsir
ayat hukum tingkat tiga)

1
beda. Karena tabiat manusia yang berbeda-beda, baik dari pemahaman,
perbuatan, pemikiran dan landasan berargumetasi. 2 Adapun pemaknaan
ijtihad secara etimologi dan terminologi adalah sebagi berikut:

A. Secara Etimologi

Ijtihad secara etimologi atau bahasa mempunyai banyak penafsiran.


Misalnya, imam al-Isnawi (w. 772 H) mengatakan bahwa ijtihad secara
bahasa adalah: mencurahkan kekuatan (istifrâgu al-Was’i) dalam
menghasilkan sesuatu. Pemaknaan seperti itu tidak dipakai kecuali pada
pekerjaan yang berat dan susah. Dan ijtihad berasal dari kata (‫)الجهد‬ َ
dengan fathah dan (‫ )ال ُجهد‬dengan dhomah.3 Imam Syaukâni (w. 1250)
mengatakan secara bahasa ijtihad berasal dari kata (‫ )الجهد‬yang artinya
kesulitan (‫ )المشقه‬dan kemampuan (‫)الطاقه‬, tapi ijtihad terkhusus pada
kesulitan.4 Sedangkan Dr. Yusuf Qardawi mengatakan akar kata ijtihad
bersal dari jim, ha’ dan dal ( ‫ )ج ه د‬yang artinya mengerahkan segala
kemampuanya (badzlu al-Juhdi atau al-Jahdi). Maka ijtihad secara bahasa
menurut beliau adalah mencurahkan kekuatan pada segala perbuatan
(istifrâgu al-Was’i fî ai fi’lin kâna), pemakaian makna seperti ini tentunya
pada perbuatan yang sulit dan berbobot. 5 Dan Dr. Wahbah Zuhaili
mengatakan ijtihad secara bahasa adalah mengerahkan segala
kemampuanya (badzlu al-Majhûd) dan mencurahkan kekuatan (istifrâgu
al-Was’i) dalam mengaktualisasi sesuatu, dan ijtihad hanya berimplikasi
pada perbuatan yang menantang (berat). 6

B. Secara terminologi

Kata ijtihad secara terminologi menurut kesimpulan Dr. Wahbah Zuhaili


setelah melakukan preferentasi asumsi para ulama’ adalah sebuah
aktifitas dalam penformulasian (istinbâth) hukum-hukum syar’i dari dalil-
dalil agama (Syariah) yang telah rinci.7 Menurut al-Amidi (w. 631 H) ijtihad
adalah mencurahkan kekuatan dalam berasumsi terhadap sesuatu dari
hukum-hukum syar’i dengan merasakan lemah diri dalam berasumsi.8

Dari pengertian ijtihad secara etimologi dan terminologi tentunya bisa


diambil kesimpulan bahwa aktifitas ijtihad itu identik dengan pengerahan
tenaga atau kemampuan yang lebih, adapun entitasas ijtihad adalah
mengetahui hukum syar’i dalam artian yang sesuai dengan ruh syariat dan
maqâsid syarîah, objek ijtihadnya adalah dalil-dali yang telah rinci dari al-
Quran dan Sunnah, dan tidak boleh berijtihad pada sesuatu yang telah
Syeikh Ali Khafîf, asbâbu al-Ikhtilâfi al-Fuqahâ, Dâr al-Fikr al-'Arabi, Kairo, hal. 7 2
Imam al-Khafidh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukâni, irsyâdu al-Fuhûl ilâ tahqîqi al- 3
Haq min 'ilmi al-Ushûl, ditahkik oleh Dr. Sya'bân Muhammad Ismail, Dâr al-Salâm, Kairo, cet. II,
2006, hal. 394
Imam al-Hâfizh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukâni, op. Cit., hal. 715 4
Dr. Yusuf Qardhawi, al-Ijtihâd fî al-Syarî'ah al-Islâmiyah ma'a nadharâti tahliliyah fî al-Ijtihâd al- 5
Mu'âshir, Dâr al-Qalam li al-Nasr wa al-Tauzî', Kuwait, cet. III, 1999, hal. 11
Dr. Wahbah Zuhaili, ushûl fiqhi al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Suriah, cet. XV, 2007 .hal. 327 6
7
Dr. Wahbah Zuhaili, op. Cit., hal. 327. Dijelaskan di bab ini oleh beliau bahwa ijtihad menurut istilah
.ada tiga pendapat ulama kemuadian beliau melakukan preferentasi
Dr. Ahmad Bu'ud, al-Ijtihâd baina haqôiku al-târikh wa muthallibâtu al-Wâqi', Dâr al-Salâm, Kairo, 8
cet. I, 2005, hal. 7

2
pasti seperti ibadah-ibadah mahdhah, ketentuan hukum-hukum amali
yang telah pasti seperti larangan terhadap zina, minum khomer, ijma para
sahabat dan ahli fikih.9 Dan adapun penggunaan kata isytifrâhu al- was’i
atau juhdi, badzlu al-Juhdi atau jahdi, menurut penulis tidak berefek pada
kesimpulan berasumsi, semuanya mempunyai makna esensi yang sama.

III. Legalitas ijtihad dan urgensinya dalam islam

Setiap muslim dalam kehidupan sehari-hari tentunya dituntut untuk berpikir


dan mengambil hikmah dari alam sekitarnya. Analogi kritis pun menjadi
meanstream dalam menopang nas (al-Quran dan Sunnah) sehingga bisa
eksis pada setiap waktu dan tempat. Olah pikir manusia, lebih khususnya
ijtihad, sangat urgen dalam setiap aktifitas yang objeknya menelaah nas al-
Quran dan Sunnah. Ijtihad sendiri dianjurkan sehingga menjadi fardhu
kifayah10 terhadap aplikasinya bagi ulama’-ulama’ islam. legalitas terhadap
ijtihad termaktub dalam al-Quran, sunnah, konsensus fora kolektif (ijma’) dan
analogi. Adapun dalil-dalilnya sebagai berikut:

A. Dalil al-Quran

)83 : ‫ولو ردوه الي الرسول و الي أولي األمر منهم لعلمه الذين يستنبطونه منهم (النساء‬

Artinya: “dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri 11
diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil
amri.”) (QS Al-Nisa: 83).12

)38 : ‫و أمرهم شورى بينهم (الشوري‬

Artinya: "dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara


mereka.”(QS As-Syura: 38)

Yang dimaksud kata (‫ )الشوري‬menurut Dr. Yusuf Qardawi adalah mencari


kebenaran pada suatu perkara yang muncul bersesuaian dengan dalil
agama baik yang terlegalitas maupun tidak. Tentunya hal semacam ini,
menurut beliau tidak luput dari ijtihadnya para ahli ijtihad dalam beranalogi

Dr. Ahmad Bu'ud, op. Cit., hal 8 9


Menurut Dr. Yusuf Qardowi yang dimaksud fardhu kifayah di atas adalah jumlah ulama' yang 10
mencukupi sehingga mumpuni dalam berijtihad hukum pada sebuah permasalahan. Maka jika semua
ini terpenuhi akan aman alias gugurnya kewajiban pada individu yang lain namun jika sebaliknya
semuanya akan berdosa. Hal ini khususnya para Ulul Amri yang menjadi tugasnya. (baca; al-Ijtihâd fî
al-Syarî'ah al-Islâmiyah ma'a nadharâti tahliliyah fî al-Ijtihâd al-Mu'âshir hal 99)
Tokoh-tokoh sahabat dan para cendikiawan di antara mereka (Baca, al-Quran dan terjemahannya) 11
Menurut Mufassirin ayat di atas maksudnya adalah kalau suatu berita tentang keamanan dan 12
ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan Ulil Amri, tentulah Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat
menformulasikan konklusi dari berita itu.( al-Quran dan terjemahannya). Menurut penulis, jika
dilebarkan pemaknaan ayat di atas tentunya tidak hanya pada masalah keamanan dan ketakutan saja,
tapi mencakup pada polemik-polemik kolektif amali pada zaman itu. Tentunya, para ulama'-ulama'
zaman sekarang mendapat porsi kedudukan yang sama dalam menformulasikan hukum sebuah masalah
dari nas-nas aslinya (al-Quran dan Sunnah) seperti Rasul dan Ulil Amri, karena jelas al-Ulama'
.'warotsatu al-Anbiya

3
dengan corak mereka yang berbeda-beda,13 dan masih banyak ayat-ayat
lainnya yang interpretasinya secara umum menjurus pada perintah untuk
berijtihad.

B. Dalil Sunnah

Pertama, dalil yang digunakan Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam


menjustifikasi kebolehan berijtihad, dari Amru bin al-Âsh bahwa Rasullah
Saw., bersabda:

‫ و اذا حكم فا جتهد ثم أخطأ فله أجر‬، ‫اذا حكم الحاكم فأ جتهد فأ صاب فله أجران‬

Artinya: “jika seorang hakim berijtihad dan ia benar maka ia memperoleh


dua pahala, dan jika ia salah maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR.
Bukhori)

Dr. Ahmad Bu’ud secara eksplisit menyimpulkan dua esensi hadist di atas
sebagai berikut: pertama, ijtihad merupakan sebuah ritus islam yang
pelakunya akan mendapatkan pahala baik nanti hasilnya betul atau salah.
Kedua, kata al-Hâkim menurut beliau adalah orang yang di beri perkara
untuk menyelesaikan perkara itu, dan hadist ini juga melegalkan semua
individu bisa menyelesaikan sebuah hukum perkara jika ia mumpuni dan
mampu.14

Kedua, kisah tenar tentang Muadz bin Jabal ketika ia diperintah Rasullah
Saw., untuk menjadi qôdi (hakim) ke Yaman. Hadistnya sebagai berikut:

، ‫اب هللا‬cc‫ا في كت‬cc‫ بم‬: ‫ بم تقضي ؟ قال‬: ‫ فقال له‬, ‫حينما بعثه النبي صلي هللا عليه و سلم قلضيا الي اليمن‬
‫ه‬cc‫ي ب‬cc‫ا قض‬cc‫د فيم‬cc‫ان لم تج‬cc‫ ف‬: ‫ال‬cc‫ ق‬. ‫ أقضي بما قضي به رسول هللا‬: ‫ فان لم تجد فى كتاب هللا ؟ قال‬: ‫قال‬
.‫ الحمد هلل الذي وفق رسول رسوله لما يرضي رسول هللا‬: ‫ قال‬، ‫ أجتهد برأي وال الو‬: ‫رسول هللا ؟ قال‬

Artinya: “ketika Rasul mengutusnya ke Yaman untuk menjadi Qodi


(hakim), Rasul bertanya kepadanya, dengan apa kamu (Muadz) memutus
kan perkara?, ia menjawab: dengan apa yang ada di al-Quran, Rasul
bertanya kepadanya: JIka kamu tidak mendapati (sesuatu yang kamu
jadikan landasan) di al-Quran?, ia menjawab? Aku putuskan (suatu
perkara) seperti Rasul putuskan. Rasul bertanya kepadanya, jika kamu
tidak mendapati yang kamu cari pada Rasul?, ia menjawab: saya akan
beranalogi (berijtihad). Rasul bersabda: maha suci Allah yang telah
memberi petunjuk pada utusan Rasulnya.” (HR. Abu Dawud)

Ada sebuah aksentuasi kesimpulan hadis muadz yang menurut Dr. Ahmad
Bu’ud ada empat: pertama, menjelaskan metode dalam berijtihad yang
diridhoi oleh Rasul. Kedua: merupakan elanvital ruh dalam berijtihad
ketika tidak ditemukan hukum masalah di al-Quran dan Sunnah. Ketiga:
banyak permasalahan yang berbeda-beda dan tidak sama, maka kata (
‫ )اجتهد رأي وال ألو‬menunjukan eksistensi seorang mujtahid untuk berijtihad.
Keempat: Rasul tidak memberi peringatan salah kepada Muadz dalam
13
Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal 97
Dr. Ahmad Bu'ud, op. Cit., hal 24 14

4
berijtihad dan tidak mempersempitnya, bahkan rasul membolehkannya
untuk berijtihad selama tidak kontras dengan nas (al-Quran dan
Sunnah).15

Ijtihad sangat dibutuhkan pada setiap individu lebih khususnya ulama


yang mumpuni dalam hal ini. Karena itu progesifitas ijtihad merupakan ciri
gerak majunya fikih islam yang menjadi ladang ijtihad. Dan sekali lagi
bahwa ijtihad adalah sebuah monopoli hukum amali yang berupa asumsi
dari kesimpulan nas asli (al-Quran dan Sunnah). Tentunya, justifikasi dari
dalil Sunnah terhadap legalitas ijihad masih banyak sekali, dan menurut
penulis dua hadist di atas sudah mencover untuk mengetahui di
bolehkannya ijtihad.

C. Dalil Ijma’

Jumhur sahabat, ulama’ dan para pengikutnya mempunyai ekualitas


kesepakatan akan selalu dibudi lestarikan aktifitas ijtihad pada sebuah
permasalahan yang tidak ada landasan hukumnya dari al-Quran dan
Sunnah. Merupakan sunnatullah manusia diberi akal untuk selalu berpikir
dan berasumsi dengan akalnya pada setiap permasalahan yang kerap
mereka hadapi.

D. Dalil Analogi (akal)

Bukti analogi juga menjadikan realitas ijtihad, mengapa?, karena memang


mayoritas dalil-dali hukum syar’i amali itu semuanya dhonni sehingga
multi pemahaman pun ada di dalamnya. Ijtihad dalam hal ini tentunya
sangat urgen karena eksistensinya adalah sebagai preferentasi analogi
(ro’yun), dan bukan hanya itu, perkara amali (manusia) yang tidak ada
nasnya secara eksplisit juga membutuhkan perangkat ijtihad. 16

IV. Standarisasi Mekanisme ijtihad dan objek pembahasannya.

Dalam praktek ijtihad bukan berarti semua orang dengan sembarang bisa
mengaplikasikannya. Ada ketentuan yang telah dibakukan oleh para ulama’
salaf dan kontemporer. Tentunya, perbedaan kondisi geografis zaman dahulu
dengan zaman sekarang, kalau ketentuan yang ditetapkan oleh ulama’ salaf
seperti ini pastinya bagi ulama’ kontemporer berbeda dengan tidak
mendekontruksi ketentuan itu, seperti halnya permasalahan manusia
berkembang sesuai zaman, maka kecerdasan dan kosmopolitannya para
ulama dituntut untuk lebih progesif. Sebagai asumsi awal, minimal adalah
beragama Islam dan mukallaf (baligh dan berakal). Jika ada orang tahu dan
paham tentang hukum islam sedangkan ia bukan orang islam (orientalis dan
teman-temannya) maka tidak ada space bagi mereka dalam aktifitas ijtihad,
karena ulama’-ulama’ islam menolak hasil pemikiran mereka, sedangkan
yang dinamakan muslim adalah percaya (iman) kepada Allah dan Rasul-Nya
dan mereka pandowo-pandowo barat tidak percaya akan iman pada-Nya,17

Ibid. hal 23-24 15


16
Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal 98
Muhammad bin Ibrohim, al-Ijtihâd wa al-'Urf, Dâr al-salâm, Kairo, cet. I, 2009, hal. 35 17

5
walalaupun menurut penulis tidak mentah-mentah pemikiran mereka ditolak
dengan emosi, yang baik ya diambil yang buruk menjurus kontras dengan nas
(al-Quran dan Sunnah ya jelas ditolak atau dikoreksi lebih lanjut. Terhadap
ketentuan-ketentuan yang lain juga

Adapun penulis ingin mengkolaborasi ketentuan-ketentuan yang dilandaskan


oleh para ulama’-ulama’ salaf dan khalaf. Namun penulis hanya mengambil
hirarki syarat mekanisme ijtihad yang ditetapkan oleh Dr. Yusuf Qardawi di
dalam bukunya; al-Ijtihâd fî al-Syarî’ah al-Islâmiyah ma’a nadharâti tahliliyah
fî al-Ijtihâdi al-Mu’âshiri , yang nantinya penulis masukan asumsi-asumsi para
ulama’-ulama’ di dalamnya. Karena bagaimanapun juga mereka mempunyai
kesamaan syarat mekanisme dalam berijtihad. Adapun ketentuannya adalah
sebagai berikut:

A. Mengetahui al-Quran

Al-Quran merupakan aksis pertama bagi semua lini kehidupan manusia.


Menjadi pijakan yang sangat fundamental ketika orang ingin mengetahui
Islam, lebih khususnya berijtihad. Imam Syatibi (w. 790 H) mengatakan
bahwa orang yang tidak mengetahui al-Quran sama halnya tidak
mengetahui syariat islam.18 Adapun yang perlu dipelajari oleh mujtahid
dalam mengetahui al-Quran adalah sebagai berikut: pertama, mengetahui
asbâbu al-Nuzûl. Kedua: nâsikh mansûkh,19‘âm dan Khôs, mujmal dan
mubayyan, mutlak dan muqayyad, muhkam dan mutasyâbih, dan ilmu-
ilmu Qiroat.20 Imam Isnawi (w. 685 H) tidak mensyaratkan mujtahid hapal
al-Quran, tapi hanya mensyaratkan hapal ayat-ayat hukum yang
jumlahnya sekitar 500 ayat. Hal ini senada dengan Imam Ghozali dan Ibn
Arabi (w. 543 H). Mawaridi (w. 450 H) menjelaskan, mengapa ada
ketentuan 500 ayat hukum yang harus di hapal dan ketahui oleh mujtahid,
hal ini karena adanya Maqâtil bin Sulaiman (w. 150 H meninggal di
Basroh) yang mempunyai karangan tersendiri terhadap 500 ayat-ayat
hukum.21 Dan selain itu juga mengetahui tempat dan posisinya di dalam
al-Quran, sehingga mudah ketika dibutuhkan, hal sebaliknya Imam
Qirwâni di dalam mustau’ibnya mensyaratkan hafal al-Quran, postulat ini
Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal 18 18
19
Mengetahui asbabu al-Nuzul dan nâsikh mansûkh adalah urun rembuknya Dr. Yusuf Qardawi.
Terutama asbabu al-Nuzul, menurut beliau tujuannya adalah supaya mengetahui esensi nas al-Quran,
walaupun menurut ahli ushul bahwa kaidah (‫ )أن العبره بعموم اللفظ ال بخصوص السبسب‬itu lebih rajih
menurut mereka. Tetunya Yusuf Qardawi senada dengan Imam Syatibi, beliau mengatakan, mengetahui
asbabu al-Nuzul adalah sebuah keharusan bagi yang ingin mengetahui al-Quran. Imam Syatibi
mempunyai dua dalil tentang hal ini. Pertama, sesungguhnya mengetahui ilmu ma'âni dan bayân yang
termasuk dari i'jâz al-Quran lebih afdhol dari mempelajari tuturkata arab, karena tujuannya adalah
mengetahui hal ihwal pengkhitoban. Kedua: tidak mengetahui asbabu al-Nuzul berefek pada kerancuan
pemahaman terhadap nas. Walaupun Dr. Yusuf Qardhawi mengatakan kalau keoteintikan as-Babu al
Nuzûl itu secara dominan, relatif kebenarannya.
Mengenai nâsikh mansûkh sebagian ahli ushul menjadikan syarat tersendiri (mustaqîl), (baca, Dr. Yusuf
Qardawi, al-Ijtihâd fî al-Syarî'ah al-Islâmiyah ma'a nadharâti tahliliyah fî al-Ijtihâd al-Mu'âshir, hal.
24). Imam Syaukani juga mensyaratkan nâsikh mansûkh, yang menurut beliau tujuan mengetahuinya
adalah supaya jelas mana hukum yang mansûkh dan tidak (baca, , irsyâdu al-Fuhûl ilâ tahqîqi al-Haq
min 'ilmi al-Ushûl, hal 720), dan pengertian Imam Syaukaini sama dengan Imam Isnawi (baca, nihâyah
as-Sûl, hal. 398)
Muhammad bin Ibrahim, op. Cit., hal. 36 20
Imam al-Hâfizh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukâni, op. Cit., hal 716-717 21

6
didapat dari imam Syafi’i (w. 204 H). Menurut Imam Isnawi, mujtahid tidak
boleh mengekor mujtahid yang lain dalam hal ini, karena mereka
mempunyai karasteristik independen yang berbeda-beda dalam
menformulasikan hukum dari aksisnya (al-Quran dan Sunnah). 22

B. Mengetahui Sunnah Nabi Saw..

Sunnah merupakan interpreter al-Quran. Seperti firman Allah Swt., :

)44 : ‫(النحل‬.....‫و أنزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم‬

Artinya: "dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu


menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan lepada
mereka". (An-Nahl: 44)

Dalam pembahasan ini, Dr. Yusuf Qardawi menjelaskan bahwa yang


harus dimiliki oleh mujtahid adalah: pertama, mengetahui ilmu dirôyah
hadist. Imam ghozali menjadikan sayrat ini mustaqil (syarat khusus). Yang
dimaksud dengan ilmu dirôyah hadist menurut imam Ghozali adalah
mengetahui periwayatan, dan preferentasi mana yang shohih dan fasid,
maqbul dan mardud. Ringkasnya, jika ada hadist diterima oleh mayoritas
ulama’ maka tidak perlu menganalisa pada sanadnya. Namun jika ada
sebagian ulama’ yang tidak menerimanya maka harus ditelisik pada
perowi-perowinya dan keadilan mereka. Seperti sanad dalam
periwayatnnya yang diterima adalah, imam Syafi’i meriwayatkan dari Mâlik
dari nâfi’ dari Ibn Umar. Kedua, mengetahui nâsikh mansûkh hadist
sehingga tidak menjustifikasi hadist yang sudah dimansûkh untuk
dijadikan dalil sandaran. Ketiga: mengetahui asbâbul wurûd hadist. Ilmu ini
wajib bagi yang ingin mengetahui hadist rasul, karena hadist Rasul
asbabu al-Wurudnya tidak semuanya oteintik, berbeda dengan al-Quran
yang asbâbu al-Nuzûlnya Qot’i al-Tsubut. Mujtahid juga tidak dianjurkan
untuk mengahafal semua hadist, hanya cukup pada hadist-hadist hukum.
Para ulama’ berbeda dalam menentukan porsi yang harus dihapal maupun
diketahui. Imam Syaukani menyebutkan 500 hadist-hadist hukum bahkan
sampai ribuan hadist. Ibn Arobi di dalam al-Mahsûl mengatakan 3000
hadist.23

C. Mengetahui konstruk bahasa arab

Tujuan mempelajari dan mengetahui konstruk bahasa arab (nahwu, sorof,


balâghoh; ma’âni, badî’, bayâni) adalah supaya para mujtahid mampu

Imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi, nihâyah as-Sûl, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, cet. I, 22
1999, hal. 398
Imam Ahmad (164 H- 241 H) pun ketika ditanya Abu Ali al-Dhorir menjawabnya, 500 ribu hadist- 23
hadist hukum yang ia kehendaki. Namun menurut Abu Bakar al-Rozi, porsi yang ditawarkan para
ulama' itu tidak disyaratkan karena tidak mungkin. Dan menurut imam Syaukani para Ulama' dalam hal
ini ada yang tafrith dan ifroth, tapi realita yang harus dipenuhi para mujtahid adalah mengetahui, dan
paham kutubu al-Sittah ketika dibutuhkan dan tidak disyaratkan untukk menghafalnya; shohih Bukhori
dan Muslim, sunan Abu Dawud, Nasâi, Ibn Majah, shohih Tirmidzi. Dan tidak disyaratkan juga
menghafal kondisi para rijâlu al-Hadist akan tetapi mengalisanya lewat buku-buku jarh wa ta'dil (baca,
irsyâdu al-Fuhûl ilâ tahqîqi al-Haq min 'ilmi al-Ushûl , hal. 717-718-719)

7
menginterpretasikan rahasia-rahasia dan beristinbâth yang ada di nas (al-
Quran dan Sunnah). Dan tidak disyaratkan menghapal semuanya, akan
tetapi harus mampu menyimpulkan dari kitab-kitab ulama’ terdahulu dalam
bidang bahasa arab. Imam Syafi’i dan Mawaridi juga mewajibkan pada
setiap muslim mempelajari tutur kata arab (bahasa arab), lebih khususnya
para mujtahid.24

D. Mengetahui ijma’ para sahabat

Para mujtahid dituntut untuk mengeksplorasi konsensus kolektif sahabat


(ijma’). Tujuannya menurut Dr. Yusuf Qardhawi, imam Isnawi (w. 772 H)
dan Imam Syaukani ( w. 1250 H) adalah supaya mujtahid tidak berasumsi
hukum yang menyelisihi ijma’ sahabat. Bahkan imam Syaukani
menambahkan, jika mujtahid itu menganggap ijma’ sebagai landasan
syar’inya.25
Imam Isnawi tidak menganjurkan untuk menghapal semua permasalahan
fikih yang sudah diijma’kan para sahabat, berbeda dengan Ghozali yang
menganjurkan untuk menghapalnya. Dan imam Isnawi sederhananya
menganjurkan para mujtahid dalam berfatwa tidak menyelisihi fatwa yang
lain pada zamannya.26
Dan para mujtahid juga bisa mengkonsumsi pembukuan hasil-hasil ijma’
para sahabat di bidang fikih; marôtibul ijma’, karangan Ibn Hazm (w. 456
H), al-Ijma’, karangan Ibn Mundir (w. 319 H)

E. Mengetahui ilmu ushul fikih

Ilmu Ushul fikih merupakan ilmu yang harus dimiliki oleh mujtahid dalam
beristinbâth dan beristidlal terhadap permasalahan yang terlegitimasi oleh
nas maupun tidak. Karena ilmu ini mencakup kaidah-kaidah beristinbâth
dalam prektek ijtihad, ilmu ini juga membahas dalil-dalil yang menjadi
kesepakatan kolektif (al-Quran, Sunnah, ijma’ dan Qiyas) dan dalil yang
masih kontras di antara ulama’ (istihsân, isthishâb, Qoul shohâbi ...),
syarat-syarat istidlal (penetapan berdasarkan ‘illah), dalâlatul al-Fâdz (al-
Amr wa nahyu, âm dan khos, mutlaq dan muqayyad...).27 ilmu ishul fikih
juga menurut pengertiannya Fakhruddin al-Rozi (w. 606 H),yang
dielaborasi lebih lanjut oleh Dr. Ali Jum’ah sebagai ilmu standarisasi dalam
bermetodologi. 28

Imam al-Hâfizh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukâni, op. Cit., hal. 719 24
ibid. hal 719 25
Imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi, op. Cit., hal 398 26
Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 48 27
28
Adapun pengertian ushul fikih menurut imam Fakhruddin al-Rozi yang kemudian digetolkan oleh
imam Baidhowi (w. 685 H) adalah sebagai berikut;
‫معرفة دالئل الفقه اجماال و كيفية االستفادة منها و حال المستفيد‬
)‫ (اصول الفقه الحضاري‬Dr. Ali Jum'ah mengatakan di dalam muhadzarahnya tentang ushul fikih hadhori
bahwa pengertian ushul fikih diatas mengandung tiga tahapan; pertama: Mengetahui dalil-dali fikih
atau masyodiru al-Ma'rifah (sumber-sumber ilmu). Kedua: cara beristifadah dari ,)‫(معرفة دالئل الفقه اجماال‬
atau thurûq al-Bahs (metodologi riset). Ketiga: kondisi sikologi ) ‫ (كيفية االستفادة منها‬dalil-dali fikih
atau syurût al-Bahs (syarat-syarat riset). Ketiga tahapan di atas ) ‫ (حال المستفيد‬orang yang beristifadah
menurut Dr. Ali Jum'ah sudah menjadi patokan bagi para aktifis-aktifis intelektual dalam riset ilmiah,
.lebih khususnya dalam bidang ushul fikih

8
Fakhruddin al-Rozi dalam magnum opusnya al-Mahsul mengatakan; ilmu
yang paling urgen bagi mujtahid adalah imu ushul fikih. Imam Ghozali juga
mengatakan; ilmu ijtihad itu mencakup tiga ilmu besar yaitu hadist,
bahasa, dan ushul fikih.29
Imam Isnawi juga bertutur; ilmu yang paling urgen bagi mujtahid adalah
ushul fikih sehingga bisa menyimpulkan hukum dari dalil-dalilnya dan
mujtahid tidak butuh (dalam artian tidak dianjurkan, menurut penulis) pada
pada ilmu kalam.30Mungkin Imam Isnawi dalam artian ladang ijtihad, para
mujtahid tidak dianjurkan menggunakan ilmu kalam.

F. Mengetahui maqâsid syariah

Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, pensyaratan mengetahui maqâsid syarîah


adalah bukan syarat yang menjadikan mujtahid sampai pada derajat tinggi
dalam berijtihad, akan tetapi beliau mengatakan bahwa syarat ini adalah
untuk keotientikan (syahnya) ijtihad.31
menurut Imam Syatibi (w. 790 H), orang bisa dikatakan mempunyai
otoritas dalam berijtihad adalah mengetahui maqâsid syarîah dan
menformulasi hukum dengan orientasi maqosid. Disambung oleh imam
Ghozali menurutnya sosok mujtahid harus adil dan dengan keadilannya itu
ia harus menjauhi maksiat-maksiat yang dilarang. 32
Tentunya, paham utilitarianistik ini harus dipelajari oleh para aktivis ijitihad,
karena orientasi berijtihad adalah kemashlahatan, kemakmuran, dan
kebahagiaan bagi manusia lebih khususnya kulliaytul khomsah
(elementer, komplementer dan suplementer).

G. Mengetahui kondisi alam mikrokosmos dan mikrokosmis


sekitarnya.

Mujtahid harus mempunyai multi talenta terhadap lingkungan sekitar


(mikrokosmos dan mikrokosmis), individu-individu manusia dan adat
kebiasaan mereka, kondisi sosiologisnya dan politik dalam negri maupun
luar negri sehingga tidak bersifat konservatif eksklusif pada sesuatu hal
yang baru.33
Selain itu Dr. Yusuf Qardawi juga menambahkan seorang mujtahid harus
mengetahui peradaban pada zamannya, sperti dalam bidang kesehatan,
kimia, olah raga dan hal-hal yang sebelumnya telah disebut. Beliau juga
mengatakan, pengetahuan seperti ilmu humaniora dan sejenisnya sudah
ditanamkan sejak dini di dalam metode pembelajaran instasi al-Azhar,
karena kaidah (‫ )ما ال يتم الواجب اال به فهو واجب‬masih teraktualisasi sampai
sekrang dan juga kaidah; inna al-Fatwa tataghoiyaru bi taghoiyiru al-
Zaman wa al-Makan. Dan menurut Dr. Yusuf Qardhawi, syarat ini tidak
menjadikan mujtahid sampai para derajat ijtihadnya namun supaya
ijtihadnya itu relevan dengan zamannya.

Imam al-Hâfizh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukâni, op. Cit., hal. 720 29
Imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi, op. Cit., hal. 398 30
Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 57 31
32

Muhammad Tâjâ, al-Madzâhib al-Islâmiyah al-Islâmiyah wa al-T'ashub al-Madzhabi, Dâr al-Kotabia,


Suria, cet. I, 2004, hal. 151
Muhammad bin Ibrohim, op. Cit., hal 40 33

9
H. Adil dan bertaqwa

Tentunya wajib seorang mujtahid harus mempunyai sifat keadilan dan


bertaqwa pada dirinya. Jika mujtahid tidak beriman dan adil, pastilah
terlolak dan tidak diterima ijtihadnya karena mereka tidak takut pada-Nya,
dan bahkan minim akan kebenaran. Pastinya mujtahid semisal ini
penggiat maksiat, padahal maksiat dosa dan dilarang. Seperti keluhan
Imam Syafi’i kepada gurunya, Wâki’:

‫فأرشدني الي ترك المعاصي‬ ‫شكوت الي وكيع سوء حفظي‬


‫و نور هللا ال يهدي لعاص‬ ‫و أخبرني بأن العلم نور‬

Banyak hadist Rasul yang mengisyaratkan pada ibadah, ketakwaan dan


kebenaran ketika dalam berijtihad, salah satunya adalah sebagai berikut:

‫ا‬cc‫ فم‬، ‫ر و ال نهي‬cc‫ان أم‬cc‫ه بي‬cc‫ر ليس في‬cc‫ا ام‬cc‫زل بن‬cc‫ قلت يا رسول هللا ! ان ن‬:‫ قال‬، ‫عن علي رضي هللا عنه‬
‫رأي‬cc‫ وال تمضوا فيه ب‬، ‫ (شاوروا فيه الفقهاء و العابدين‬: ‫تأمرني ؟ فقال رسول هللا صلي هللا عليه وسلم‬
)‫خاصة‬

Artinya: "dari Ali semoga Allah Swt., meridhoinya berkata: wahai Rasullah
Saw.,! jika kami menuai masalah yang tidak ada penjelasan perintah dan
larangannya, maka harus bagaimana?, Rasullah Saw., bersabda:
bermusyawarahlah dengan para ahli fikih dan al-Âbidîn dalam
menyelasaikan masalah, dan jangan mengambil kesimpulan pada satu
pendapat".

Rasullah menjelaskan pada Ali r.a., untuk menyelesaikan suatu masalah


dengan bermusyawarah kepada ahli fikih dan ahli ibadah, dan bukan
hanya sekedar kesimpulan dengan pengetahuan dan pemahamannya
semata.34

Sebenarnya sebagian ulama’, imam Syaukani, Dr. Yusuf Qardhawi,


Muhammad bin Ibrohim dan yang lainya berasumsi masih ada syarat-
syarat ijtihad yang masih diperselisihkan antara keabsahannya dan tidak,
misal; mengetahui ilmu mantiq, ilmu ushuluddin, mengetahui cabang-
cabang fikih dan ilmu kalam. Namun penulis hanya menuliskan syarat-
syarat yang minimal sudah menjadi ketentuan dan kesepakatan para
ulama’-ulama’ untuk berijtihad.

V. Ruang lingkup ijtihad dan variannya dalam islam

A. Ruanglingkup ijithad

Sebagai mujtahid, aplikasi dari asumsi hukum syar’i yang telah dijithadkan
dari nas-nas (al-Quran dan Sunnah) yang bersifat amali tentunya menjadi
Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 63-64 34

10
sebuah realita jika ijtihadnya bagi mujtahid yang lain belum tentu taken of
granted begitu saja. Karena apa yang mereka ijithadkan merupakan
monopoli hukum atau fikih yang bersifat ijtihadiyah, jadi semuanya bersifat
asumsi yang dzonn. Betul memang, hal ini seperti yang dikatakan oleh
imam Syaukani, bahwa mujtahad fîhnya adalah hukum syar’i yang bersifat
amali, dan beliau juga mengatakan di magnum opusnya al-Rozi, al-
Mahsûl, bahwa hal-hal yang menjadi bahan ijtihad adalah setiap hukum
syar’i yang tidak ada difinitif legalnya.35
Menurut Dr. Yusuf Qardhawi ruanglingkup ijtihad itu mencakup polemik-
polemik syar’i yang tidak ada dalil difinitif legalnya dari segi al-Tsubut dan
dalâlahnya baik itu permasalahan teologis maupun cabang permasalahan
(al-Furû’iyah) amali. Al-Quran pun menjelaskan di dalam surat al-Imrôn
ayat 7, sebagai berikut:

)7 : ‫منه ايات محكمات هن أم الكتاب و أخر متشابهات (ألعمران‬

Artinya: "di antara isinyaada ayat-ayat yang muhkamât itulah pokok-pokok


isi al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât".

Kata al-Mutasyabihât merupakan dalil dari al-Quran atas perkara yang


harus diijtihadiyahkan sehingga menimbulkan multi interpretasi.36

B. Varian-varian ijtihad dalam islam

Pembagian varian ijtihad memerlukan konteks dalam aplikasinya. Hal ini


supaya bisa membedakan ruang dan zaman yang diijtihadinya. Dalam hal
ini tentunya Dr. Yusuf Qardhawi membagi ijtihad dalam dua konteks;
konteks lama (pembagian ijtihad lama) dan dan konteks kekinian atau
ijihad yang kita butuhkan pada zaman sekarang, yang pembagian itu
tentunya sangat urgen karena zaman dulu dan kini berbeda dalam aktifitas
ijtihad. Berikut ini pembagiannya:

1. Pembagian Ijtihad dalam islam (konteks lama)

1.1. Mujtahid mutlak

Karasteristik eksistensi ijtihad mutlak adalah ijtihad dalam ta’sîs hal-


hal ushuli, menformulasi cabang-cabang hukum dengan
berlandasan pada dalil syar’i, tidak mengekor pada satu paham
(madhab).37 Dan ijtihad ini menurut Dr. Yusuf Qardhawi dibagi
menjadi dua, yaitu:

a. Mujtahid mutlak mustaqîl

Mujtahid ini mempunyai tiga otoritas: pertama, bahawa


mujtahid ini langsung mengadopsi hal-hal yang
fundamental (al-Ushûl) sebagai landasan berasumsi.

Imam al-Hâfizh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukâni, op. Cit., hal 721 35
Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 86 36
Muhammad bin Ibrahim, op. Cit., hal. 75 37

11
Kedua, menganalisa hukum-hukum yang sudah terjawab
kemudian mengkomparasikan di antara dalil-dalil itu dan
mengadakan preferentasi dari dalil-dalil itu. Ketiga, objek
aktifitasnya adalah hal-hal yang belum terjawab dengan
dasar dalil-dalil nas (al-Quran dan Sunnah). Adapun yang
termasuk dari golongan mujtahid mutlak mustaqil yaitu;
para ahli fikih dari sahabat, tabi’în, dan empat imam
madhab dan yang sepantarannya seperti Zaid bin ‘Ali,
Ja’far al-Shôdiq, al-Tsauri, ‘Auza’i, al-Laist bin Sa’ad, al-
Thobari, Dawud bin Ali dan yang lainnya.

1.2. Mujtahid mutlak muntasîb atau muqayyad

Mujtahid ini adalah mujtahid yang mengekstradisi semuanya dari


pendahulunya (syeikhnya) dan berhujah dengan tuturkatanya
dalam analisa hukum dan juga mengetahui dengan pasti hukum-
hukum dalilnya sehingga dia juga mampu memformulasikannya.
Dan mujtahid ini juga berfatwa dalam madhab imamnya di bidang
fikih. Adapun yang termasuk dari golongan mujtahid mutlak
muntasib adalah sebagai berikut; pengikut-pengikut madhab seperti
dari madhab Hanafiyah; Abu Yusuf, Muhammad, Zufar. Pengikut
madhab Maliki; Ibn Qosim, Ashhab, dan Asbagh. Pengikut madhab
Syafi’i; Imam Muzanni, Za’farâni dan Buwaithi. Pengikut madhab
imam Ahmad; Kholal dan yang lainnya

Jadi bisa disimpulkan dari dua ijtihad mutlak diatas; ijtihad mutlak
mustaqîl dan ijitihad mutlak muntasîb atau muqayyad. Bahwa
mujtahid mutlak mustaqîl itu berfatwanya dalam semua ranah
istinbâth hukum (takhriju al-Manath, tahqiqu al-Manath dan
tangqîhu al-Manath). Sedangkan mujtahid mutlak muntasîb
berfatwanya pada hal-hal partikular bab permasalahan berdasarkan
kosmopolitan intelektualnya.38

1.3. Mujtahid fil madhab

Mujtahid ini adalah mujtahid di ruang lingkup madhabnya. Ia


mengekor pada hasil keputusan imamnya terhadap suatu
permasalahan dengan mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan
imamnya, namun jika ada permasalahan yang tidak ada jawaban
dari imamnya maka ia berijtihad.

1.4. Mujtahid al-fatayâ

Seorang mujtahid ini masuk dalam golongan orang yang mutabahîr


(menguasai ilmu) dalam madhab imamnya, atau bisa dibilang tokoh
intelektualnya. Dan mujtahid ini juga mampu mempreferentasikan
dua asumsi.
Muhammad bin Ibrohim, op. Cit., hal 76 38

12
2. Pembagian ijtihad dalam islam (konteks kekinian)

2.1. Ijtihad intiqâi

Ijtihad intiqâi adalah memilih satu pendapat dari ulama’-ulama’


turast untuk dijadikan dalil dalam berfatwa (atau ijtihad) sebagai
preferentasian (tarjihan) dari pendapat yang lain. Tentunya dalam
ijtihad ini tidak semata-mata taklid buta begitu saja, namun harus
melaluli prosedur dalam memilih dan memilah pendapat yang
paling kuat, yang lebih cocok pada zamanya, kontekstualisasinya
yang ramah dan egaliter, dan berorientasi maqâsid syarîah. 39 Dan
dalam ijtihad ini juga tidak ada larangan mengambil pendapatnya
dari para ahli fikih sahabat dan tabi’in. Contoh dari ijtihad ini adalah,
misalnya seorang mujtahid mentarjihkan pendapatnya Abu Hanifah
bahwa setiap pendapatan hasil bumi harus ada zakatnya,
pendapatnya Imam Syafi’i tentang pemberian zakat pada orang
fakir hanya sekali seumur hidup selama harta itu menyukupi
dengan berlandaskan perkataan Umar:

‫اذا اعطيتم فاغنوا‬


Artinya: "jika kamu memberi maka cukupkanlah",

atau mengambil pendapatnya Imam Malik dalam pengkonservasian


(pelestarian) zakat bagi al-Muallafah qulubuhum.40

2.2. Ijtihad insyâi

Ijtihad insyâi adalah ijtihad baru dalam sebuah hukum


permasalahan dulu maupun kini yang belum pernah dihasilkan oleh
ulama’-ulama’ sebelumnya.41
Di ranah ijtihad ini, tentunya merupakan ladang bebas bagi
mujtahid yang ingin mengaktualisasikan pendapat-pendapat
mereka yang sudah diijtihadkan. Tidak salah jika banyak pendapat
dalam konteks ijtihad insya’i. Karena memang sesuatu hukum
masalah jaman dulu dan sekarang berbeda. Dan tentunya hukum-
hukum baru dengan permaslahan baru pun banyak mencuat ke
permukaan dengan ijtihad insya’i ini. permasalahan-permasalahan
yang concern dalam konteks ini misalnya permasalahan zaman
sekarang dengan serba teknologi, misal; bayi tabung, aborsi, syatl
(penanaman atau pencangkokan) janin, bank janin, tranfusi darah,
ekonomi konvensional dalam negri maupun luar negri dan
permasalahan-permasalahan lainnya yang tidak digeluti oleh
ulama’-ulama’ sebelumnya,

VI. Ijtihad dan elanvitalnya di dalam Muhammadiyah; khusunya Manhaj


Tarjih Muhammadiyah.

Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 142 39


Muhammad bin Ibrohim, op. Cit., hal. 79 40
Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 157 41

13
A. Sejarah singkat Majlis Tarjih Muhammadiyah

Muhammadiyah lahir pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912


dengan pendirinya adalah KH. Ahmad Dahlan. Berdirinya Muhammadiyah
dalam ranah masyarakat tentunya mempunyai orientasi eksternal yaitu
berdakwah amal ma’ruf nahi mungkar. Pemikiran kyai ketika itu tentunya
tidak sendirian dalam menjadi founding fathernya persyarikatan ini,
banyak pengaruh dari para pembaharu-pembaharu islam klasik seperti Ibn
Taimyah, Ibn Qoyyim, Muhammad bin Abdul wahab, Jamalluddin al-
Afghani, Muhammad Abduh dan Rashid Ridho. Tentunya Kyai termasuk
penerus semangat tajdid yang digetolkan oleh ulama’-ulama’ sebelumnya.
Tidak lepas dari sejarah, Muhammadiyah semakin hari semakin
berkembang dan maju pesat. Susunan keorganisasiannya pun tertata rapi.
Sebagai organisasi islam mayoritas yang berdakwah amal ma’ruf nahi
mungkar tentunya eksistensinya dalam masyrakat sangat vital sekali,
terutama hal-hal yang berkaitan dengan ibadah, muamalah dan
penyelesasain polemik-polemik fora kolektif yang mencuat. Dalam hal ini
khususnya yang menggeluti adalah Majelis Tarjih Muhammadiyah dan
Pengembangan Pemikiran Islam. Majelis ini berdiri dan disahkan pada
tahun 1927. Sejak berdirinya, majelis ini telah menghasilkan sejumlah
keputusan, dan sealur dengan perjalanan waktu, keputusan-keputusan
Majlis Tarjih sejak kelahirannya mencakup persoalan yang berkembang di
tengah masyarakat yang meliputi bidang ibadah, mu’amalah, ekonomi,
sosial, politik, dan hal-hal lainnya yang muncul dalam dinamika
kehidupan,42 walaupun hari demi hari Majlis ini mengalami progesifitas.
Kata tarjih sendiri secara bahasa berasal dari rajjaha yang artinya
memberi pertimbangan lebih dari pada yang lain. Menurut istilah mayoritas
ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah tarjih itu adalah perbuatan
mujtahid, sehingga dalam kitab kashfu al-Asrar disebutkan bahwa tarjih itu
adalah; usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu
diantara dua jalan yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang
nyata untuk dilakukan tarjih itu.43 Sedangakan menurut tutur katanya Prof.
Dr. Syamsul Anwar, bahwa tarjih dalam konteks Muhammadiyah ternyata
tidak hanya sekedar pilih-memilih pendapat yang sudah ada. Menurut
beliau tarjih hampir senada sengan sinonim ijtihad, karena tarjih dalam
praktik Muhammadiyah merupakan suatu upaya menjawab dan merespon
berbagai masalah baru yang belum pernah disinggung atau difatwakan
oleh ahli fikih klasik atau juga melakukan pengkajian kembali terhadap
berbagai pendapat yang ada untuk direinterpretasi. 44

B. Ijtihad di dalam Muhammadiyah

Baca buku wacana fikih perempuan dalam perspekstif Muhammadiyah, kerjasama Majelis Tarjih 42
Muhammadiyah dan pengembangan pemikiran Islam PP Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jakarta, cet. I, 2005, bab, sambutan Prof. Dr. Syamsul Anwar
Prof. Dr. H. Asjmuni Abdurrahman, manhaj tarjih Muhammadiyah, pustaka pelajar offset, 43
Yogyakarta, cet. I, 2000, hal. 3
Baca buku wacana fikih perempuan dalam perspekstif Muhammadiyah, op. Cit., hal. Bab sambutan 44
Prof. Dr. Syamsul Anwar

14
Dalam penyelesaian masalah, majelis ini tidak lepas dari konsep berpikir,
metode aplikasinya, dan penggunaan nalar logis lebih khususnya dalam
berijtihad (berasumsi). Ijtihad sendiri yang secara terminologi adalah
mencurahkan segala tenaga (berpikir dengan landasan syar’i) untuk
berasumsi dalam penyelesaian hukum masalah, merupakan hal yang
wajib bagi para kyai dan tokoh intelektual di dalam majelis ini, tentunya
dengan prosedur individual yang memadai sehingga memenuhi syarat
ketika bermain nalar (ijtihad). Sedang kata ijtihad tidak lepas dari adanya
sebuah pekerjaan yang sulit. Majelis Tarjih sendiri tentunya menjadi cikal
bakalnya persyarikatan atau bisa dikatakan yang banyak mempunyai
tanggung jawab terhadap masyarakat, karena apa, Majelis ini menjadi
penjawab ketika ada orang yang tanya. Menurut pak Amin Rais dalam
aplikasinya baik tajdid maupun tarjih, tentunya tidak hanya pada satu
bidang sektoral saja tapi juga harus komprehensif. Pak Amin Rais bertutur,
memang perlu kita memikirkan apa yang dikatakan oleh pak Mukti Ali,
bahwa Majelis Tarjih itu ibarat sekedar majelis yang hanya menunggu
pesan atau kalau ada pertanyaan.45

Sedangkan dalam ranah organisasi atau persyarikatan, ciri ijtihad yang


digunakan tentunya ada dua; individu (fardhi) dan organisatoris (jamâ’i).
Tentunya Muhammadiyah tericirikan dengan ijtihad yang kedua yaitu
ijtihad jamâ’i (organisatoris), karena Majelis Tarjih bisa dikatakan dengan
muassasah ijtihad. Dalam prakteknya ijtihad ini tentunya mempunyai
benang merah atau prosedur umum yang harus diikuti sehingga ijtihad
kolektif atau organisatoris ini terjamin dan terakreditasi produk-produk
ijtihadnya. Sangat urgen tentunya ijtihad kolektif ini di dalam
Muahmmadiyah. Salah satu kepentingan ijtihad kolektif menurut Dr. Abdul
Majid Asy-Syarafi adalah menerapka prinsip syuro, ijtihad kolektif lebih
seksama dan akurat, ijtihad ini menggantika posisi ijma’, ijtihad kolektif
mengatur prosedur ijtihad dan menghindari kebuntuannya, ijtihad kolektif
melindungi ijtihad dari berbagai ancaman, ijtihad kolektif merupakan solusi
bagi permasalahan baru, ijtihad kolektif merupakan jalan untuk
menyatukan umat, ijtihad kolektif mewujudkan sikap saling melengkapi. 46

Dalam praktek ijtihad kolektif tentunya Majelis Tarjih menghimpun semua


ulama’-ulama’ yang spesialisasinya pada bidang yang masih
dipermasalahkan, majelis ini juga tidak terlalu eksklusif, tentunya ulama’-
ulama’ dari organisasi lainya pun ikut berafiliasi dalam proses ijtihad
kolektif itu.

VII. Pokok-pokok dan metodologi Majelis Tarjih Muhammadiyah

A. Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih.47

Dr. M. Amien Rais, visi dan misi Muhammadiyah, pustaka SUARA MUHAMMADIYAH, 45
Yogyakarta, cet. II, 1998, hal. 10-11
Dr. Abdul Majid Asy-Syarafi, diterjemahkan oleh Syamsuddin TU, ijtihad kolektif, pustaka al- 46
.Kautsar, Jakarta, cet. I, 2002, hal. 53
Prof. Dr. H. Asjmuni Abdurrahman, op. Cit., hal. 12-13-14 47

15
Muhammadiyah sebagai instasi lebih khususnya Majelis Tarjih
Muhammadiyah tentunya dalam praktek ijtihad mempunyai landasan atau
hirarki pokok-pokok ketika beraktifitas ijtihad. Dalam hal ini, tentunya
Muhammadiyah beraksis paling utama dengan nas (al-Quran dan
Sunnah) kemudian dengan landasan-landasan sekunder lainnya. Adapun
pokok-pokok atau landasannya adalah sebagai berikut:

1. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Quran dab Sunnah


al-Shohihah. Ijtihad dan istinbâth atas dasar ‘illah terhadap hal-hal
yang tidak terdapat di dalam nas, dapat dilakukan. Sepanjang tidak
menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang merupakan hal yang
diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan
perkataan lain, Majelis Tarjih menerima ijtihad, termasuk Qiyas,
sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nasnya
secara langsung
2. Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara
musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan
sistem ijtihad jama’i (kolektif). Dengan demikian pendapat
perorangan dari anggota majelis tidak dapat dipandang kuat.
3. Tidak mengikatkan diri pada suatu madhab, tetapi pendapat-
pendapat madhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan ruh al-Quran dan
Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
4. Berprnsip terbuka dan toleran, tidak beranggapan bahwa Majelis
Tarjih paling benar. Keputusan diambil atas dasar dalil-dalil yang
dipandang paling kuat. Dan koreksi dari siapapun akan diterima,
sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan
demikian, Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang
pernah ditetapkan.
5. Di dalam masalah akidah, hanya dipergunakan dalil-dalil yang
mutawatir.
6. Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar sesuatu keputusan.
7. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudh digunakan
cara al-Jam’u wa al-Taufiq, dan kalau tidak dapat baru dilakukan
tarjih.
8. Menggunakan asas saddu al-Dzara’i untuk menghindari terjadinya
fitnah dan mafsadah.
9. Menta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-
dalil al-Quran dan Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syar’i.
Adapun kaidah "al-Hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa
adaman" dalam hal-hal tertentu, dapat berlaku.
10. Penggunaan dalil-dalil utnuk menetapkan sesuatu hukum,
dilakukan dengan cara komprenhensif, utuh dan bulat. Tidak
terpisah.
11. Dalil-dalil umum dalam al-Quran dapat di takhsis dengan hadist
ahad, kecuali dalam bidang akidah
12. Dalam mengamalkan agama islam menggunakan prinsip al-Taisyir
13. Dalam bidang ibadah diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-
Quran dan Sunnah pemahamannya dapat dengan akal sepanjang
diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui

16
bahwa akal bersifat nisbi sehingga prinsip mendahulukan nas dari
pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan
situasi dan kondisi
14. Dalam hal-hal yang termasuk perkara duniawi yang tidak termasuk
tugas para nabi penggunaan akal sangat diperlukan demi
kemashlahatan umat
15. Untuk memahami nas yang musytarak faham sahabat dapat
diterima
16. Dalam memahami nas, makna dhohir didahulukan dari ta’wil dalam
bidang akidah. Dan ta’wil sahabat dalam hal itu tidak harus
diterima.

B. Metodolodi ijtihad Majelis Tarjih

Metodologi Manhaj Tarjih Muhammadiyah yang tertera didalam buku;


Manhaj Tarjih Muhammadiyah karangan Prof. Dr. Asjmuni Abdurrahman,
ada sembilan belas pokok metodologi dan disertai dengan aplikasinya.
Mungkin disadari karena dhuruf dan makan, penulis hanya mengambil
salah satu dari kesembilan belas metodolodi itu yaitu khususnya dalam
diskursus ijtihad. Didalam aplikasi ijtihad, Muhammadiyah tampak
menggunakan tiga ijtihad; bayâni, qiyasi, dan istishlahi,48 yang mana
ketiganya itu saling menopang di dalam me-reinterpretasi nas (al-Quran
dan Sunnah). Ketiga ijtihad ini di interpretasikan oleh ulama’-ulama’
kontemporer semisal Abdul Wahal Kholaf, Dr. Muhammad Ma’ruf
Dawalibi, Dr. Muhammad Salam Madkur. 49 Dalam pembahasan ijtihad
bayani tentunya bergelutnya hanya pada nas, yang mana metode dan
model-model nas bermacam-macam dari segi makna dan dalalahnya.
Adapun dari segi kontruks pembagian lafadnya seperti, pertama:
dalalahnya terhadap makna yang dimaksud (al-dalalah al-Lughowiyah ‘ala
al-Ma’na al-Murâdah) mencakup khos, ‘âm, musytarak, dan muawwal.
Kedua: kejelasan eksistensi maknanya (wudhûhu al-Ma’na al-Mathlub)
mencakup dhôhir, nas, mufassar, dan muhkam. Ketiga: eksistensi makna
yang masih belum jelas (wujûh khifâu al-Ma’na al-Maksud) mencakup
khofi, musykal, mujmal, mutasyâbih. Keempat: dalalah al-fâdh terhadap
makna yang dimaksud mencakup haqiqah, majâz, shôrih, dan kinâyah.
Sedangkan dari dalalah al-aFâdhnya terbagi menjadi dua kubu; kubu
Hanafiyah membaginya ada empat yaitu dalalah isyâroh, dalalah i’bâroh,
dalalah iqtidhô’, dalalah nas. Dan kubu Syafi’iyah membagi menjadi dua
yaitu dalalah mantûq dan dalalah mafhûm.

Pembahasan ijtihad qiyasi dalam oprasionalnya menitik beratkan pada


ekualitasnya causa hukum (‘illah) pada al-Ashlu dan furû’. Sehingga dalam
beristinbâth dengan dasar ‘illah ada dua metode ‘illah (masâlik al-’Illah);

Pengetian ketiga ijtihad itu adalah sebgai berikut: pertama: ijtihad bayani adalah usaha mendapatkan 48
hukum dari nas dhonni dengan mencari dasar-dasar interpretasi atau tafsir. Kedua: ijtihad Qiyasi: usaha
yang sungguh-sungguh untuk menentukan sesuatu masalah yang belum ada ketentuan nasnya
berdasarkan kesamaan 'illah. Ketiga: ijtihad istishlahi adalah mencari ketentuan hukum suatu masalah
yang tidak ada ketentuan nasnya dengan berdasarkan pada kemashlahatan yang dicapai. (baca: Manhaj
.Tarjih Muhammadiyah. Hal: 113)
Dr. Nuruddin 'Abasi, al-Ijtihad al-Istishlâhi; mafhûmuhu, hujjiyatuhu, majâluhu, dhowâbituhu, Dâr 49
Ibn Hazm, Beirut, cet. I, 2007, hal. 67

17
pertama: metode teks seperti nas dan ijma’. Kedua: metode analogi atau
ijtihadiyah seperti îmâ’ dan tanbîh, munâsabah dan ikhôlah, sibru wa
taqsîm, syibhu, thardu dan al-’aksu. Sedangkan dalam pembahasan ijtihad
istishlahi itu hanya berkutat pada ruh utilitarianistik. Ijtihad ini tidak ada
kaitannya dengan teks. Jika ijtihad yang sebelumnya; bayani dan qiyasi
masih bersinggungan dengan teks maka ijtihad istishlahi tidak. Sehingga
solusi para ahli ushul dalam menformulasikan hukum pasti jalan akhir atau
jalan satu-satunya jika tidak menemukan suatu hukum permasalahan
adalah melihat dengan metode maqosid umum. 50

VIII. Penutup

Dalam permaslahan ijtihad, jika kita menengok pada study kasus sejarah,
tentunya para mujtahid klasik pada zaman Umawi sampai sistem ke
khilafahan digeser dengan sistem imperium, menjadi dianakronitiskan.
Karena otoritas ijtihad ketika itu dimotori oleh orang-orang yang bukan
bidangnya atau raja-raja kerajaan. Dalam hal ini kecuali pada zaman kholifah
rasyid Umar bin Abdul Aziz, yang mana beliau juga berijtihad dalam bidang
fikih sehingga ada kontribusinya pada bidang fikih dan ushûl dan lebih
umumnya pada kehidupan manusia dalam bidang amali. 51 Namun jika dilihat
dari segi tingaktan pertumbuhan fikih, ijtihad memang merupakan
pembahasan yang banyak menuai sejarah. Ijtihad dalam kontek sekarang
tentunya berbeda dengan masa silam yang sangat bebal. Para ulama’-ulama’
zaman sekarang sudah mudah dan bahkan gampang ketika ingin
mengkonsumsi hasil jerih payah ulama’ klasik tentang manuskrip turast ushul
fikih. Tentunya dalam hal ini, praktek ijtihad, lebih khususnya pada konteks
Majelis Tarjih Muhammadiyah tentunya para mujtahidnya harus kristis dan
mumpuni sehingga proses imitasi, total doubt tidak terjadi pada produk-
produk ijtihadnya apa lagi ditambah produk-produk buku dari ulama’-ulama’
klasik maupun kontemporer mereka lebih enjoy dalam berijtihad. kesimpulan
dari uraian di atas, pastinya penulis hanya ingin berharap bahwa ijtihad
tentunya harus tetap eksis pada setiap zaman dimanapun berada. Hal ini
senada dengan tuturkatanya Imam Ahmad bin Hambal, "seyogyanya pada
setiap fora kehidupan itu harus ada mujtahid".52 Memang benar permasalahan
hari demi hari selalu bertambah dan berkecamuk, maka para mujtahid tidak
boleh lari dari kenyataan. Dan asumsi yang mengatakan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup itu adalah asumsi pada masa kejumudan sehingga progesifitas
nalar kolektif pada waktu itu mati. Pembantahan asumsi ini pertama kali
dibantah oleh tokoh neo-pembaharu pada waktu yaitu Ibn Taimiyah dan
dipartisani oleh muridnya Ibn Qoyyim kemudian Jamaluddin al-Aghani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho.

Wal akhir, makalah ini minim keobjektifan, penulis hanya bermaksud, makalah
ini menjadi stimulan atau rangsangan dalam berdialektika ketika berdiskusi.
Dan makalah ini juga masih banyak yang belum tertulis karena waktu dan
tempat, namun insyaallah masih ada jenjang revisi, nah ketika waktu revisi

Dr. Nuruddin 'Abasi, op. Cit., hal. 67-73 50


51
Dr. Toha Jâbir 'Alwâni, ushûl fiqh al-Islâmi; manhaju bahsin wa ma'rifah, al-Ma'had al-'Âlami lil
fikri al-Islâmi, Amerika Serikat, cet. II, 1995, hal. 77
Muhammad Tâja, op. Cit., hal. 151 52

18
penulis elaborasi dan perbaiki dengan semampunya. Mudah-mudahan
makalah ini menjadi sumbang sih dalam berpikir dan berwacana. "jangan
berpatok pada makalah ini, mohon kritikan pada isi dan subtansi materi
dengan dibarengi temen-temen untuk membaca diskursus ijtihad".

"berjuang, maju terus, dan berproseslah sampai menemukan hikmah-Nya"

Muhammad Ariawan Suputro


Mahasiswa Fak. Syariah Islamiyah

19
Referensi:

1. Al-Quran dan terjemahannya


2. Abdurrahman, Asjmuni, Prof. Dr. H, Manhaj Tarjih Muhammadiyah,
Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, cet. I, 2000
3. Ali Khafîf, Syeikh, Asbâbu Al-Ikhtilâfi Al-Fuqahâ, Dâr al-Fikr al-’Arabi, Kairo
4. Al-Isnawi, Jamaluddin Abdurrahim, Imam, Nihâyah As-Sûl, Dâr al-Kutub
al-’Ilmiyah, Beirut, cet. I, 1999
5. Al-Syaukâni, Imam al-Khafidh, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad,
Irsyâdu Al-Fuhûl ilâ Tahqîqi Al-Haq min ‘Ilmi Al-Ushûl, ditahkik oleh Dr.
Sya’bân Muhammad Ismail, Dâr al-Salâm, Kairo, cet. II, 2006
6. Amien Rais, M, Dr., Visi dan Misi Muhammadiyah, Pustaka SUARA
MUHAMMADIYAH, Yogyakarta, cet. II, 1998
7. Asy-Syarafi, Abdul Majid, Dr., diterjemahkan oleh Syamsuddin TU, Ijtihad
Kolektif, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cet. I, 2002
8. ‘Abasi, Nuruddin, Dr., Al-Ijtihad Al-Istishlâhi; Mafhûmuhu, Hujjiyatuhu,
Majâluhu, Dhowâbituhu, Dâr Ibn Hazm, Beirut, cet. I, 2007
9. Bu’ud, Ahmad, Dr., Al-Ijtihâd Baina Haqôiku Al-Târikh wa Muthallibâtu Al-
Wâqi’, Dâr al-Salâm, Kairo, cet. I, 2005
10. Ibrohim, Muhammad bin, Al-Ijtihâd wa Al-’Urf, Dâr al-salâm, Kairo, cet. I,
2009
11. Jâbir ‘Alwâni, Toha, Dr., Ushûl Fiqh Al-Islâmi; Manhaju Bahsin wa Ma’rifah,
al-Ma’had al-’Âlami lil fikri al-Islâmi, Amerika Serikat, cet. II, 1995
12. Kerjasama Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Pengembangan Pemikiran
Islam PP Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah
Prof. Dr. HAMKA Jakarta, Wacana Fikih Perempuan dalam Perspekstif
Muhammadiyah, cet. I, 2005
13. Qardhawi, Yusuf, Dr., Al-Ijtihâd fî Al-Syarî’ah Al-Islâmiyah ma’a Nadharâti
Tahliliyah fî Al-Ijtihâd Al-Mu’âshir, Dâr al-Qalam, Kuwait, cet. III, 1999
14. Tâjâ, Muhammad, Al-Madzâhib Al-Islâmiyah Al-Islâmiyah wa Al-T’ashub
Al-Madzhabi, Dâr al-Kotabia, Suriah, cet. I, 2004
15. Sayis, Muhammad Ali, Tafsîr Âyatu Al-Ahkâm, Dâr Al-Bayân Al-Khaditsah,
Kairo
16. Zuhaili, Wahbah, Dr., Ushûl Fiqhi Al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Suriah, cet. XV,
2007.

20

You might also like