Professional Documents
Culture Documents
Al-Risâlah II
Selasa, 17 November 2009
I. Pendahuluan
Syariat islam yang telah mengatur hidup manusia dengan aksis al-Quran dan
Sunnah, telah menjadikan semuanya norma-norma praksis dalam kehidupan
mereka. Nas al-Quran dan sunnah menjadi sakral dan konsepsi epistemik
bagi kaum muslimin khususnya ahli fikih dan ushul dalam beraktifitas
menformulasi (istinbath) hukum yang bersifat amali. Fikih, merupakan
kumpulan hukum-hukum islam yang difinitif walaupun secara hakekat masih
perlu kontekstualisasi yang memadahi dengan konteks zamanya. Imam
Ghozali (w. 505 H) mengatakan bahwa fikih pada mulanya bukan ilmu yang
membahas tentang talaq, li’ân, sewa menyewa dan ilmu muamalah lainya,
namun penamaan fikih itu adalah ilmu yang membahas tentang akhirat akan
nikmat-Nya, pengetahuan terhadap sebab-sebab perusak jiwa dan amal-amal
muslim, esensi kefanaan dunia, rasa tunduk pada-Nya sehingga semua ini
menjadi suatu peringatan kompleks.1 Selain fikih, usul fikih juga merupakan
kumpulan metodologi bagi para ahli fikih dan ushul ketika ingin beristinbâth
dan beristidlal (penetapan berdasarkan ‘illah) dari dalil nas (al-Quran dan
Sunnah) yang telah rinci pada sebuah permasalahan amali. Ushul fikih juga
bagaikan mantiq yang menjadi metodologinya dalam berfilsafat. Dalam
pembahasannya, ushul fikih mencakup hukum, dalil-dali hukum, cara
beristinbâth hukum dan kaidah-kaidahnya sehingga mencakup kaidah-kaidah
tarjih dan nâsikh mansûkh, ijitihad dan taklid. Kemudian maqasid syariah.
Namun bab yang terkhir ini masih kontras di antara para ulama’, apakah bab
maqosid bagian dari ushul fikih atau berdiri sendiri seperti cabang ilmu
lainnya?. Dari hirarki pembahasan ushul fikih di atas, yang menjadi menarik
adalah pembahsan ijitihad. Karena ijtihad setiap detik, menit, jam, hari,
minggu, bulan dan tahun tidak akan luput dari manusia. Dengan berbagai
kondisi sosio-kultur, geografis kehidupan mikrokosmis pun berbeda-beda
sehingga hukum yang dihasilkan pun harus sesuai dengan kondisi dan
zamannya dan tentunya berpacu pada ruh syariat (maqâsid syarîah). Dari
stimulan di atas tentunya sudah merucut yang ingin menjadi pembahasan di
dalam makalah ini. Penulis ingin membuka wacana dengan tema ijtihad dan
yang nantinya ada implikasinya pada proses inferensi hukum Majelis Tarjih
Muhammadiyah. Mudah-mudahan bermanfaat.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan kata ijtihad baik itu secara
etimologi maupun terminologi. Namun, perbedaan itu hanya terletak pada
konstruk susunan bahasa tapi mengarah pada esensi yang sama. Tidak ada
pengelakan bahwa jika penamaan sebuah cabang ilmu itu saling berbeda-
1
Muhammad Ali Sayis, tafsîr âyatu al-Ahkâm, Dâr al-Bayân al-Khaditsah, Kairo, hal. 50, (diktat tafsir
ayat hukum tingkat tiga)
1
beda. Karena tabiat manusia yang berbeda-beda, baik dari pemahaman,
perbuatan, pemikiran dan landasan berargumetasi. 2 Adapun pemaknaan
ijtihad secara etimologi dan terminologi adalah sebagi berikut:
A. Secara Etimologi
B. Secara terminologi
2
pasti seperti ibadah-ibadah mahdhah, ketentuan hukum-hukum amali
yang telah pasti seperti larangan terhadap zina, minum khomer, ijma para
sahabat dan ahli fikih.9 Dan adapun penggunaan kata isytifrâhu al- was’i
atau juhdi, badzlu al-Juhdi atau jahdi, menurut penulis tidak berefek pada
kesimpulan berasumsi, semuanya mempunyai makna esensi yang sama.
A. Dalil al-Quran
)83 : ولو ردوه الي الرسول و الي أولي األمر منهم لعلمه الذين يستنبطونه منهم (النساء
Artinya: “dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri 11
diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil
amri.”) (QS Al-Nisa: 83).12
3
dengan corak mereka yang berbeda-beda,13 dan masih banyak ayat-ayat
lainnya yang interpretasinya secara umum menjurus pada perintah untuk
berijtihad.
B. Dalil Sunnah
و اذا حكم فا جتهد ثم أخطأ فله أجر، اذا حكم الحاكم فأ جتهد فأ صاب فله أجران
Dr. Ahmad Bu’ud secara eksplisit menyimpulkan dua esensi hadist di atas
sebagai berikut: pertama, ijtihad merupakan sebuah ritus islam yang
pelakunya akan mendapatkan pahala baik nanti hasilnya betul atau salah.
Kedua, kata al-Hâkim menurut beliau adalah orang yang di beri perkara
untuk menyelesaikan perkara itu, dan hadist ini juga melegalkan semua
individu bisa menyelesaikan sebuah hukum perkara jika ia mumpuni dan
mampu.14
Kedua, kisah tenar tentang Muadz bin Jabal ketika ia diperintah Rasullah
Saw., untuk menjadi qôdi (hakim) ke Yaman. Hadistnya sebagai berikut:
، اب هللاccا في كتcc بم: بم تقضي ؟ قال: فقال له, حينما بعثه النبي صلي هللا عليه و سلم قلضيا الي اليمن
هccي بccا قضccد فيمccان لم تجcc ف: الcc ق. أقضي بما قضي به رسول هللا: فان لم تجد فى كتاب هللا ؟ قال: قال
. الحمد هلل الذي وفق رسول رسوله لما يرضي رسول هللا: قال، أجتهد برأي وال الو: رسول هللا ؟ قال
Ada sebuah aksentuasi kesimpulan hadis muadz yang menurut Dr. Ahmad
Bu’ud ada empat: pertama, menjelaskan metode dalam berijtihad yang
diridhoi oleh Rasul. Kedua: merupakan elanvital ruh dalam berijtihad
ketika tidak ditemukan hukum masalah di al-Quran dan Sunnah. Ketiga:
banyak permasalahan yang berbeda-beda dan tidak sama, maka kata (
)اجتهد رأي وال ألوmenunjukan eksistensi seorang mujtahid untuk berijtihad.
Keempat: Rasul tidak memberi peringatan salah kepada Muadz dalam
13
Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal 97
Dr. Ahmad Bu'ud, op. Cit., hal 24 14
4
berijtihad dan tidak mempersempitnya, bahkan rasul membolehkannya
untuk berijtihad selama tidak kontras dengan nas (al-Quran dan
Sunnah).15
C. Dalil Ijma’
Dalam praktek ijtihad bukan berarti semua orang dengan sembarang bisa
mengaplikasikannya. Ada ketentuan yang telah dibakukan oleh para ulama’
salaf dan kontemporer. Tentunya, perbedaan kondisi geografis zaman dahulu
dengan zaman sekarang, kalau ketentuan yang ditetapkan oleh ulama’ salaf
seperti ini pastinya bagi ulama’ kontemporer berbeda dengan tidak
mendekontruksi ketentuan itu, seperti halnya permasalahan manusia
berkembang sesuai zaman, maka kecerdasan dan kosmopolitannya para
ulama dituntut untuk lebih progesif. Sebagai asumsi awal, minimal adalah
beragama Islam dan mukallaf (baligh dan berakal). Jika ada orang tahu dan
paham tentang hukum islam sedangkan ia bukan orang islam (orientalis dan
teman-temannya) maka tidak ada space bagi mereka dalam aktifitas ijtihad,
karena ulama’-ulama’ islam menolak hasil pemikiran mereka, sedangkan
yang dinamakan muslim adalah percaya (iman) kepada Allah dan Rasul-Nya
dan mereka pandowo-pandowo barat tidak percaya akan iman pada-Nya,17
5
walalaupun menurut penulis tidak mentah-mentah pemikiran mereka ditolak
dengan emosi, yang baik ya diambil yang buruk menjurus kontras dengan nas
(al-Quran dan Sunnah ya jelas ditolak atau dikoreksi lebih lanjut. Terhadap
ketentuan-ketentuan yang lain juga
A. Mengetahui al-Quran
6
didapat dari imam Syafi’i (w. 204 H). Menurut Imam Isnawi, mujtahid tidak
boleh mengekor mujtahid yang lain dalam hal ini, karena mereka
mempunyai karasteristik independen yang berbeda-beda dalam
menformulasikan hukum dari aksisnya (al-Quran dan Sunnah). 22
Imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi, nihâyah as-Sûl, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, cet. I, 22
1999, hal. 398
Imam Ahmad (164 H- 241 H) pun ketika ditanya Abu Ali al-Dhorir menjawabnya, 500 ribu hadist- 23
hadist hukum yang ia kehendaki. Namun menurut Abu Bakar al-Rozi, porsi yang ditawarkan para
ulama' itu tidak disyaratkan karena tidak mungkin. Dan menurut imam Syaukani para Ulama' dalam hal
ini ada yang tafrith dan ifroth, tapi realita yang harus dipenuhi para mujtahid adalah mengetahui, dan
paham kutubu al-Sittah ketika dibutuhkan dan tidak disyaratkan untukk menghafalnya; shohih Bukhori
dan Muslim, sunan Abu Dawud, Nasâi, Ibn Majah, shohih Tirmidzi. Dan tidak disyaratkan juga
menghafal kondisi para rijâlu al-Hadist akan tetapi mengalisanya lewat buku-buku jarh wa ta'dil (baca,
irsyâdu al-Fuhûl ilâ tahqîqi al-Haq min 'ilmi al-Ushûl , hal. 717-718-719)
7
menginterpretasikan rahasia-rahasia dan beristinbâth yang ada di nas (al-
Quran dan Sunnah). Dan tidak disyaratkan menghapal semuanya, akan
tetapi harus mampu menyimpulkan dari kitab-kitab ulama’ terdahulu dalam
bidang bahasa arab. Imam Syafi’i dan Mawaridi juga mewajibkan pada
setiap muslim mempelajari tutur kata arab (bahasa arab), lebih khususnya
para mujtahid.24
Ilmu Ushul fikih merupakan ilmu yang harus dimiliki oleh mujtahid dalam
beristinbâth dan beristidlal terhadap permasalahan yang terlegitimasi oleh
nas maupun tidak. Karena ilmu ini mencakup kaidah-kaidah beristinbâth
dalam prektek ijtihad, ilmu ini juga membahas dalil-dalil yang menjadi
kesepakatan kolektif (al-Quran, Sunnah, ijma’ dan Qiyas) dan dalil yang
masih kontras di antara ulama’ (istihsân, isthishâb, Qoul shohâbi ...),
syarat-syarat istidlal (penetapan berdasarkan ‘illah), dalâlatul al-Fâdz (al-
Amr wa nahyu, âm dan khos, mutlaq dan muqayyad...).27 ilmu ishul fikih
juga menurut pengertiannya Fakhruddin al-Rozi (w. 606 H),yang
dielaborasi lebih lanjut oleh Dr. Ali Jum’ah sebagai ilmu standarisasi dalam
bermetodologi. 28
Imam al-Hâfizh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukâni, op. Cit., hal. 719 24
ibid. hal 719 25
Imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi, op. Cit., hal 398 26
Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 48 27
28
Adapun pengertian ushul fikih menurut imam Fakhruddin al-Rozi yang kemudian digetolkan oleh
imam Baidhowi (w. 685 H) adalah sebagai berikut;
معرفة دالئل الفقه اجماال و كيفية االستفادة منها و حال المستفيد
) (اصول الفقه الحضاريDr. Ali Jum'ah mengatakan di dalam muhadzarahnya tentang ushul fikih hadhori
bahwa pengertian ushul fikih diatas mengandung tiga tahapan; pertama: Mengetahui dalil-dali fikih
atau masyodiru al-Ma'rifah (sumber-sumber ilmu). Kedua: cara beristifadah dari ,)(معرفة دالئل الفقه اجماال
atau thurûq al-Bahs (metodologi riset). Ketiga: kondisi sikologi ) (كيفية االستفادة منهاdalil-dali fikih
atau syurût al-Bahs (syarat-syarat riset). Ketiga tahapan di atas ) (حال المستفيدorang yang beristifadah
menurut Dr. Ali Jum'ah sudah menjadi patokan bagi para aktifis-aktifis intelektual dalam riset ilmiah,
.lebih khususnya dalam bidang ushul fikih
8
Fakhruddin al-Rozi dalam magnum opusnya al-Mahsul mengatakan; ilmu
yang paling urgen bagi mujtahid adalah imu ushul fikih. Imam Ghozali juga
mengatakan; ilmu ijtihad itu mencakup tiga ilmu besar yaitu hadist,
bahasa, dan ushul fikih.29
Imam Isnawi juga bertutur; ilmu yang paling urgen bagi mujtahid adalah
ushul fikih sehingga bisa menyimpulkan hukum dari dalil-dalilnya dan
mujtahid tidak butuh (dalam artian tidak dianjurkan, menurut penulis) pada
pada ilmu kalam.30Mungkin Imam Isnawi dalam artian ladang ijtihad, para
mujtahid tidak dianjurkan menggunakan ilmu kalam.
Imam al-Hâfizh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukâni, op. Cit., hal. 720 29
Imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi, op. Cit., hal. 398 30
Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 57 31
32
9
H. Adil dan bertaqwa
اcc فم، ر و ال نهيccان أمccه بيccر ليس فيccا امccزل بنcc قلت يا رسول هللا ! ان ن: قال، عن علي رضي هللا عنه
رأيcc وال تمضوا فيه ب، (شاوروا فيه الفقهاء و العابدين: تأمرني ؟ فقال رسول هللا صلي هللا عليه وسلم
)خاصة
Artinya: "dari Ali semoga Allah Swt., meridhoinya berkata: wahai Rasullah
Saw.,! jika kami menuai masalah yang tidak ada penjelasan perintah dan
larangannya, maka harus bagaimana?, Rasullah Saw., bersabda:
bermusyawarahlah dengan para ahli fikih dan al-Âbidîn dalam
menyelasaikan masalah, dan jangan mengambil kesimpulan pada satu
pendapat".
A. Ruanglingkup ijithad
Sebagai mujtahid, aplikasi dari asumsi hukum syar’i yang telah dijithadkan
dari nas-nas (al-Quran dan Sunnah) yang bersifat amali tentunya menjadi
Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 63-64 34
10
sebuah realita jika ijtihadnya bagi mujtahid yang lain belum tentu taken of
granted begitu saja. Karena apa yang mereka ijithadkan merupakan
monopoli hukum atau fikih yang bersifat ijtihadiyah, jadi semuanya bersifat
asumsi yang dzonn. Betul memang, hal ini seperti yang dikatakan oleh
imam Syaukani, bahwa mujtahad fîhnya adalah hukum syar’i yang bersifat
amali, dan beliau juga mengatakan di magnum opusnya al-Rozi, al-
Mahsûl, bahwa hal-hal yang menjadi bahan ijtihad adalah setiap hukum
syar’i yang tidak ada difinitif legalnya.35
Menurut Dr. Yusuf Qardhawi ruanglingkup ijtihad itu mencakup polemik-
polemik syar’i yang tidak ada dalil difinitif legalnya dari segi al-Tsubut dan
dalâlahnya baik itu permasalahan teologis maupun cabang permasalahan
(al-Furû’iyah) amali. Al-Quran pun menjelaskan di dalam surat al-Imrôn
ayat 7, sebagai berikut:
Imam al-Hâfizh Muhammad bin 'Ali bin Muhammad al-Syaukâni, op. Cit., hal 721 35
Dr. Yusuf Qardhawi, op. Cit., hal. 86 36
Muhammad bin Ibrahim, op. Cit., hal. 75 37
11
Kedua, menganalisa hukum-hukum yang sudah terjawab
kemudian mengkomparasikan di antara dalil-dalil itu dan
mengadakan preferentasi dari dalil-dalil itu. Ketiga, objek
aktifitasnya adalah hal-hal yang belum terjawab dengan
dasar dalil-dalil nas (al-Quran dan Sunnah). Adapun yang
termasuk dari golongan mujtahid mutlak mustaqil yaitu;
para ahli fikih dari sahabat, tabi’în, dan empat imam
madhab dan yang sepantarannya seperti Zaid bin ‘Ali,
Ja’far al-Shôdiq, al-Tsauri, ‘Auza’i, al-Laist bin Sa’ad, al-
Thobari, Dawud bin Ali dan yang lainnya.
Jadi bisa disimpulkan dari dua ijtihad mutlak diatas; ijtihad mutlak
mustaqîl dan ijitihad mutlak muntasîb atau muqayyad. Bahwa
mujtahid mutlak mustaqîl itu berfatwanya dalam semua ranah
istinbâth hukum (takhriju al-Manath, tahqiqu al-Manath dan
tangqîhu al-Manath). Sedangkan mujtahid mutlak muntasîb
berfatwanya pada hal-hal partikular bab permasalahan berdasarkan
kosmopolitan intelektualnya.38
12
2. Pembagian ijtihad dalam islam (konteks kekinian)
13
A. Sejarah singkat Majlis Tarjih Muhammadiyah
Baca buku wacana fikih perempuan dalam perspekstif Muhammadiyah, kerjasama Majelis Tarjih 42
Muhammadiyah dan pengembangan pemikiran Islam PP Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jakarta, cet. I, 2005, bab, sambutan Prof. Dr. Syamsul Anwar
Prof. Dr. H. Asjmuni Abdurrahman, manhaj tarjih Muhammadiyah, pustaka pelajar offset, 43
Yogyakarta, cet. I, 2000, hal. 3
Baca buku wacana fikih perempuan dalam perspekstif Muhammadiyah, op. Cit., hal. Bab sambutan 44
Prof. Dr. Syamsul Anwar
14
Dalam penyelesaian masalah, majelis ini tidak lepas dari konsep berpikir,
metode aplikasinya, dan penggunaan nalar logis lebih khususnya dalam
berijtihad (berasumsi). Ijtihad sendiri yang secara terminologi adalah
mencurahkan segala tenaga (berpikir dengan landasan syar’i) untuk
berasumsi dalam penyelesaian hukum masalah, merupakan hal yang
wajib bagi para kyai dan tokoh intelektual di dalam majelis ini, tentunya
dengan prosedur individual yang memadai sehingga memenuhi syarat
ketika bermain nalar (ijtihad). Sedang kata ijtihad tidak lepas dari adanya
sebuah pekerjaan yang sulit. Majelis Tarjih sendiri tentunya menjadi cikal
bakalnya persyarikatan atau bisa dikatakan yang banyak mempunyai
tanggung jawab terhadap masyarakat, karena apa, Majelis ini menjadi
penjawab ketika ada orang yang tanya. Menurut pak Amin Rais dalam
aplikasinya baik tajdid maupun tarjih, tentunya tidak hanya pada satu
bidang sektoral saja tapi juga harus komprehensif. Pak Amin Rais bertutur,
memang perlu kita memikirkan apa yang dikatakan oleh pak Mukti Ali,
bahwa Majelis Tarjih itu ibarat sekedar majelis yang hanya menunggu
pesan atau kalau ada pertanyaan.45
Dr. M. Amien Rais, visi dan misi Muhammadiyah, pustaka SUARA MUHAMMADIYAH, 45
Yogyakarta, cet. II, 1998, hal. 10-11
Dr. Abdul Majid Asy-Syarafi, diterjemahkan oleh Syamsuddin TU, ijtihad kolektif, pustaka al- 46
.Kautsar, Jakarta, cet. I, 2002, hal. 53
Prof. Dr. H. Asjmuni Abdurrahman, op. Cit., hal. 12-13-14 47
15
Muhammadiyah sebagai instasi lebih khususnya Majelis Tarjih
Muhammadiyah tentunya dalam praktek ijtihad mempunyai landasan atau
hirarki pokok-pokok ketika beraktifitas ijtihad. Dalam hal ini, tentunya
Muhammadiyah beraksis paling utama dengan nas (al-Quran dan
Sunnah) kemudian dengan landasan-landasan sekunder lainnya. Adapun
pokok-pokok atau landasannya adalah sebagai berikut:
16
bahwa akal bersifat nisbi sehingga prinsip mendahulukan nas dari
pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan
situasi dan kondisi
14. Dalam hal-hal yang termasuk perkara duniawi yang tidak termasuk
tugas para nabi penggunaan akal sangat diperlukan demi
kemashlahatan umat
15. Untuk memahami nas yang musytarak faham sahabat dapat
diterima
16. Dalam memahami nas, makna dhohir didahulukan dari ta’wil dalam
bidang akidah. Dan ta’wil sahabat dalam hal itu tidak harus
diterima.
Pengetian ketiga ijtihad itu adalah sebgai berikut: pertama: ijtihad bayani adalah usaha mendapatkan 48
hukum dari nas dhonni dengan mencari dasar-dasar interpretasi atau tafsir. Kedua: ijtihad Qiyasi: usaha
yang sungguh-sungguh untuk menentukan sesuatu masalah yang belum ada ketentuan nasnya
berdasarkan kesamaan 'illah. Ketiga: ijtihad istishlahi adalah mencari ketentuan hukum suatu masalah
yang tidak ada ketentuan nasnya dengan berdasarkan pada kemashlahatan yang dicapai. (baca: Manhaj
.Tarjih Muhammadiyah. Hal: 113)
Dr. Nuruddin 'Abasi, al-Ijtihad al-Istishlâhi; mafhûmuhu, hujjiyatuhu, majâluhu, dhowâbituhu, Dâr 49
Ibn Hazm, Beirut, cet. I, 2007, hal. 67
17
pertama: metode teks seperti nas dan ijma’. Kedua: metode analogi atau
ijtihadiyah seperti îmâ’ dan tanbîh, munâsabah dan ikhôlah, sibru wa
taqsîm, syibhu, thardu dan al-’aksu. Sedangkan dalam pembahasan ijtihad
istishlahi itu hanya berkutat pada ruh utilitarianistik. Ijtihad ini tidak ada
kaitannya dengan teks. Jika ijtihad yang sebelumnya; bayani dan qiyasi
masih bersinggungan dengan teks maka ijtihad istishlahi tidak. Sehingga
solusi para ahli ushul dalam menformulasikan hukum pasti jalan akhir atau
jalan satu-satunya jika tidak menemukan suatu hukum permasalahan
adalah melihat dengan metode maqosid umum. 50
VIII. Penutup
Dalam permaslahan ijtihad, jika kita menengok pada study kasus sejarah,
tentunya para mujtahid klasik pada zaman Umawi sampai sistem ke
khilafahan digeser dengan sistem imperium, menjadi dianakronitiskan.
Karena otoritas ijtihad ketika itu dimotori oleh orang-orang yang bukan
bidangnya atau raja-raja kerajaan. Dalam hal ini kecuali pada zaman kholifah
rasyid Umar bin Abdul Aziz, yang mana beliau juga berijtihad dalam bidang
fikih sehingga ada kontribusinya pada bidang fikih dan ushûl dan lebih
umumnya pada kehidupan manusia dalam bidang amali. 51 Namun jika dilihat
dari segi tingaktan pertumbuhan fikih, ijtihad memang merupakan
pembahasan yang banyak menuai sejarah. Ijtihad dalam kontek sekarang
tentunya berbeda dengan masa silam yang sangat bebal. Para ulama’-ulama’
zaman sekarang sudah mudah dan bahkan gampang ketika ingin
mengkonsumsi hasil jerih payah ulama’ klasik tentang manuskrip turast ushul
fikih. Tentunya dalam hal ini, praktek ijtihad, lebih khususnya pada konteks
Majelis Tarjih Muhammadiyah tentunya para mujtahidnya harus kristis dan
mumpuni sehingga proses imitasi, total doubt tidak terjadi pada produk-
produk ijtihadnya apa lagi ditambah produk-produk buku dari ulama’-ulama’
klasik maupun kontemporer mereka lebih enjoy dalam berijtihad. kesimpulan
dari uraian di atas, pastinya penulis hanya ingin berharap bahwa ijtihad
tentunya harus tetap eksis pada setiap zaman dimanapun berada. Hal ini
senada dengan tuturkatanya Imam Ahmad bin Hambal, "seyogyanya pada
setiap fora kehidupan itu harus ada mujtahid".52 Memang benar permasalahan
hari demi hari selalu bertambah dan berkecamuk, maka para mujtahid tidak
boleh lari dari kenyataan. Dan asumsi yang mengatakan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup itu adalah asumsi pada masa kejumudan sehingga progesifitas
nalar kolektif pada waktu itu mati. Pembantahan asumsi ini pertama kali
dibantah oleh tokoh neo-pembaharu pada waktu yaitu Ibn Taimiyah dan
dipartisani oleh muridnya Ibn Qoyyim kemudian Jamaluddin al-Aghani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho.
Wal akhir, makalah ini minim keobjektifan, penulis hanya bermaksud, makalah
ini menjadi stimulan atau rangsangan dalam berdialektika ketika berdiskusi.
Dan makalah ini juga masih banyak yang belum tertulis karena waktu dan
tempat, namun insyaallah masih ada jenjang revisi, nah ketika waktu revisi
18
penulis elaborasi dan perbaiki dengan semampunya. Mudah-mudahan
makalah ini menjadi sumbang sih dalam berpikir dan berwacana. "jangan
berpatok pada makalah ini, mohon kritikan pada isi dan subtansi materi
dengan dibarengi temen-temen untuk membaca diskursus ijtihad".
19
Referensi:
20