Fadini Rizki Inawati 10 2009 153 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta Barat
BAB I Pendahuluan Sejak ditemukan kasus AIDS pertama di Amerika Serikat pada tahun 1981 hingga saat ini penyakit ini selalu menarik perhatian dunia kedokteran maupun masyarakat luas. Hal ini disebabkan oleh penyakit ini menyebabkan angka kematian yang tinggi dan jumlah penderita yang meningkat dalam waktu singkat. Sejak itu pula penelitian dan pengetahuan mengenai AIDS dan virus HIV pun berkembang dengan sangat pesat.
BAB II Pembahasan Anamnesis Untuk mendapatkan informasi yang penting, terutama pada waktu menanyakan riwayat seksual, perlu hati-hati dan dengan cara tertentu. Hal yang harus dijaga ialah kerahasiaan. Pertanyaan diajukan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien. Anamnesis pada pasien dengan dugaan IMS meliputi : - Keluhan dan riwayat penyakit saat ini. - Keadaan umum yang dirasakan - Pengobatan yang telah diberikan, baik topikal ataupun sistemik, dengan penekanan pada antibiotika. - Riwayat seksual : o Kontak seksual, baik di dalam maupun di luar pernikahan (bergantii-ganti pasangan atau banyak kontak seksual). o Kontak seksual dengan pasangannya setelah mengalami gejala penyakit. o Frekuensi dan jenis kontak seksual (homo- atau heteroseksual) o Cara melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital, anogenital) o Apakah pasangannya juga merasakan keluhan / gejala yang sama - Riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan IMS atau penyakit di daerah genital lain. - Riwayat penyakit berat lainnya - Riwayat keluarga : pada dugaan IMS yang ditularkan lewat ibu kepada bayinya. - Keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan komplikasi IMS, misalnya erupsi kulit, nyeri sendi, dan pada wanita tentang nyeri perut bawah, gangguan haid, kehamilan dan hasilnya. - Riwayat alergi obat. Pemeriksaan Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan pada pasien wanita paling mudah dilakukan bila dalam posisi litotomi. Dapat dimengerti, bila banyak wanita merasa kurang nyaman dan malu. Oleh karena itu, sangat penting memberi penjelasan tentang apa yang akan dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan, sebaiknya dokter ditemani oleh seorang perawat. Pemeriksaan meliputi inspeksi dan palpasi. Pemeriksaan dimulai dari daerah inguinal dan sekitarnya, seperti pada pasien pria, kemudian baru memperhatikan genital eksterna dan introitus. Bersihkan duh tubuh dengan kain kasa, dan dengan hati-hati buka dan periksa labia mayora, kemudian labia minora. Pada saat yang bersamaan, lakukan palpasi pada kelenjar Bartolini, lihat muara duktusnya, adakah duh tubuh. Setelah menjelaskan kepada pasien, baru masukan spekulum yang telah dibasahi dengan air. Lihat ektoserviks, adakah duh tubuh. Kadang-kadang dijumpai pula benang AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim). Kemudian, lihat dinding vagina, adakah lesi, bagaimana kuantitas dan kualitas duh tubuh. Uretra sebaiknya diperiksa setelah spekulum dikeluarkan. Akhirnya, dilakukan pemeriksaan bimanual, untuk menilai ukuran, bentuk, posisi, mobilitas, konsistensis, dan kontur uterus, serta mendeteksi kelainan pada adneksa. Raba dan goyangkan serviks, seharusnya dalam keadaan bebas dan tidak nyeri. Dalam keadaan normal serviks harus bebas dan tidak ada nyeri. Pemeriksaan Penunjang Prosedur Skrining Serologi Strategi dalam pemilihan uji laboratorium untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV di dalam serum manusia, didasarkan atas kriteria (i) objektif dari uji yang akan dilakukan, (ii) sensitifitas dan spesifisitas uji yang digunakan, (iii) prevalensi infeksi HIV pada populasi yang akan diuji. Berikut ini adalah beberapa uji serologi yang bisa digunakan untuk diagnosis infeksi HIV : 1. Uji immuno-enzimatik (EIA) Uji immuno-enzimatik (EIA) untuk deteksi antibodi HIV-1 dan HIV-2 dapat menggunakan antigen lisat virus utuh, rekombinan DNA dari protein, dan peptida yang disintesis secara kimia. Deteksi kombinasi HIV-1 dan HIV-2 juga dapat dilakukan, berupa rekombinan DNA dari protein yang mewakili antigen envelop dan inti dari HIV-1 dan antigen envelop HIV-2 atau menggunakan peptida sintetik atau kombinasi protein rekombinan dan peptida sintetik. Uji immuno-enzimatik bisa dilakukan dengan teknik tidak langsung (indirect) atau uji kompetisi. 1
2. Uji agglutinasi Uji aglutinasi lebih mudah dilakukan dibanding EIA dan tidak membutuhkan peralatan laboratorium khusus. Uji agglutinasi sesuai untuk pengujian spesimen dalam jumlah banyak. Antigen digunakan secara pasif dengan mengabsorpsi-kan ke eritrosit, lateks, gelatin, atau microbead. Uji dilakukan dengan cara mencampurkan 25 l dari 1 : 4 dilusi serum dengan 75 l suspensi partikel gelatin yang dilapisi dengan antigen HIV yang dipurifikasi. Setelah inkkubasi selama 2 jam pada suhu ruang, hasil akan dapat dibaca. Adanya partikel yang teragglutinasi pada dasar sumur menggambarkan hasil yang positif, sedangkan bila terjadi endapan sedimen menggambarkan hasil yang negatif. 1 3. Western blot Western Blot (WB) merupakan uji yang banyak digunakan untuk konfirmasi serum yang mengandung antibodi HIV yang memberikan hasil positif melalui uji skrining. WB menggunakan protein virus, yang dipisahkan melalui elektroforesis gel dan diimmobilisasi pada kertas nitroselulosa dengan cara blot. Setelah dilakukan bloking dan pencucian, lembar nitroselulosa digunting menjadi strip. Kemudian ditambahkan dilusi serum dan diinkubasi, yang akan menyebabkan terjadinya ikatan antibodi HIV dengan protein HIV yang berbeda. Kemudian dilakukan tahap pencucian dan ditambahkan human IgG yang akan berikatan dengan antibodi yang dilabel enzim, dan selama masa inkubasi akan terjadi ikatan konjugat dengan komplek imun antigen- antibodi. Setelah pencucian, penambahan substrat akan menhasilkan bentuk pita yang berwarna yang menggambarkan ikatan human IgG dengan protein virus. 1 Anti HIV Tes antibodi HIV bertujuan untuk mendeteksi dan mengukur keberadaan / kadar imunoglobulin (IgG tipe 1-4, IgA, IgM, IgD), IgM muncul pertama kali dengan masa hidup pendek (6 bulan), IgG, muncul kemudian dengan masa hidup lama sampai beberapa tahun, IgA merupakan imunoglobulin yang dominan berada di kelenjar ludah, bronkus, dan bagian tubuh yang menghasilkan mukus dan positif (+) pada pemaparan pertama. Tes antibodi dan antigen HIV dapat dilakukan beberapa cara antara lain : 2 a) Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA), hasil + berarti terjadi ikatan antigen dan anti bodi HIV pada serum dan berarti anti-HIV +. 2
b) Anti HIV immunoblot / western blot, merupakan pemeriksaan konfirmatif (Anti HIV konfirmatif) setelah ELISA dinyatakan positif. Apabila anti HIV ELISA + dan Anti HIV konfirmasi (negatif) tidak berarti positif palsu, tetapi dirujuk untuk pemantauan terus. 2
c) Anti Env dan Anti core secara ELISA. Perubahan atau reaksi warna dan intensitasnya pada pemeriksaan berkaitan dengan keberadaan anti HIV dalam serum. 2
d) Anti HIV-immunofluoresensi. Terjadinya fluoresensi yang terlihat dengan mikroskop fluoresens menandakan adanya Anti HIV. 2
e) Anti HIV-radioimunopresipitasi. Adanya radioaktifitas yang tinggi pada presipitat menandakan adanya anti-HIV. 2
f) Tes HIV recombinant neutralization assay. Merupakan tes alternatif konfirmasi, tambahan dari ELISA dan Western blot setelah ditemukan hasil +. Penurunan absorbance lebih dari 50% dipastikan hasil positif. 2
g) Immunoassay dengan peptide sintetik. Pemeriksaan spesifik untuk membedakan HIV- 1 dan HIV-2 dengan menggunakan polipeptida 12 asam amino dari GP 41. Tes penetapan adanya antigen HIV (HIV-Ag), dengan cara : 2
a. Tes Inhibisi antigen HIV b. Kultur HIV Deteksi Antigen HIV Strategi dalam deteksi antigen HIV dilakukan terhadap antigen p24 inti virus yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada virion dan sel yang terinfeksi. Uji konfirmasi yang direkomendasikan adalah uji neutralisasi. Deteksi antigen bermanfaat untuk : (i) kontrol pertumbuhan virus dalam kultur sel, (ii) penanda prognostik, (iii) uji diagnostik untuk infeksi HIV pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi, (iv) penilaian efikasi obat antivirus. 1 Uji DNA Proviral Limfosit yang terinfeksi HIV bisa mengandung DNA proviral dalam waktu yang lama tanpa adanya virion yang infektif. Metode yang dapat digunakan untuk infeksi HIV dalam masa laten adalah polymerase chain reaction (PCR). PCR cukup menjanjikan untuk menjadi uji yang akurat dalam diagnosis dini dan penentuan prognosis infeksi HIV pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi. 1
Diagnosis Diagnosis Kerja - HIV-AIDS Definisi AIDS atau Sindrom Kehilangan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannnya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. Selain itu penderita AIDS sering sekali menderita keganasan, khususnya sarkoma Kaposi dan limfoma yang hanya menyerang otak. 6 Etiologi HIV ialah retrovirus yang disebut Lymphadenopathy Associated Virus (LAV) atau Human T- Cell Leukemia Virus III (HTLV-III) yang juga disebut Human T-Cell Lymphotrophic Virus (retrovirus). LAV ditemukan oleh Montagnier dkk. pada tahun 1983 di Prancis, sedangkann HTLV-III ditemukan oleh Gallo di Amerika Serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama ini ternyata banyak ditemukan di Afrika Tengah. Sebuah penelitian pada 200 monyet hijau Afrika, 70% dalam darahnya mengandung virus tersebut tanpa menimbulkan penyakit. Nama lain virus tersebut ialah HIV. 6
HIV terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 terbanyak karena HIV-1. Partikel HIV terdiri atas dua untaian RNA dalam inti protein yang dilindungi envelop lipid asal sel hospes. 6
Patogenesis Cara penularan terutama melalui darah, cairan tubuh, dan hubungan seksual. Virus HIV ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan sperma dan darah, sedangkan dalam jumlah kecil ditemukan dalam air liur dan air mata. 6
HIV menginfeksi sistem imun terutama sel CD4 dan menimbulkan destruksi sel tersebut. HIV dapat laten dalam sel imun dan dapat aktif kembali yang menimbulkan infeksi. Produksi virus menimbulkan kematian sel dan juga limfosit yang tidak terinfeksi, defisiensi imun, dan AIDS. 6 Sistem imun dikuasai oleh virus yang berproliferasi cepat di seluruh tubuh. Bila sel CD4 turun di bawah 100/l, infeksi oportunistik dan keganasan meningkat. Demensia HIV dapat terjadi akibat bertambahnya virus di otak. 6
Epidemiologi Setelah kasus dini yang ditemukan oleh Gottlieb dkk. pada musim semi tahun 1981, CDC antara 1 juni 1981 sampai dengan September 1982 menerima laporan sejumlah 593 kasus sarkoma Kaposi, pneumonia Pneumocystis carinii dan lain-lain infeksi oportunistik yang membahayakan jiwa penderitanya. Penderita pada umumnya berumur antara 15-60 tahun tanpa penyakit imunodefisiensi maupn mendapat terapi obat imunosupresi. Sejumlah 41% atau 243 penderita telah meninggal dunia. Jumlah penderita meningkat demikian cepat sehingga sampai bulan mei 1985 diperkirakan sudah mencapai 12.000 kasus. Menurut laporan pada bulan September 1985, di AS kasus penyakit ini sudah mencapai 13.000. Di Eropa peningkatan kasus juga sangat cepat. Pada akhir tahun 1984 di Perancis ditemukan 3 kasus baru per minggu. Di Jerman Barat dan Inggris angka ini 2 kasus tiap minggu, sedangkan di Swiss dan Belanda tiap minggu ditemukan 1 kasus AIDS. 6
Penderita AIDS di negeri Barat umumnya ditemukan pada golongan masyarakat tertentu sesuai dengan tabel 1. 6
Tabel 1. Jumlah Kumulatif Kasus AIDS / HIV (+) di Indonesia Menurut Faktor Risiko s.d. 31 Agustus 1998 No Faktor Risiko s/d 31 Juli 1998 Agustus 1998 Jumlah AIDS HIV (+) AIDS HIV (+) 1. Homo/biseksual 60 35 5 0 100 2. Heteroseksual 111 392 8 15 526 3. I.U.D. 3 3 0 0 6 4. Tranfusi Darah 2 0 0 0 2 5. Hemofilia 1 1 0 0 2 6. Transmisi Perintal 3 3 0 0 6 7. Tidak Diketahui 14 78 0 10 102 Jumlah 194 512 13 25 744 2 kasus AIDS akibat transfusi darah di luar negeri. Sumber : Direktorat Jenderal PPM & PLP, Dep Kes R.I. Di beberapa negara Afrika Tengah, misalnya Zaire, Rwanda, dan Burundi penyakit ini merupakan penyakit heteroseksual. Jumlah penderita pria sama dengan penderita wanita. Jumlah kasus AIDS di berbagai negeri sampai 31 Desember 1990 sejak ditemukan AIDS, menurut laporan WHO tercantum di tabel 2. Tabel 2. Jumlah kasus AIDS di berbagai negeri menurut laporan WHO sejak AIDS ditemukan sampai dengan 31 Desember 1990. 6
Negeri Asal Laporan Jumlah Kasus Afrika 81.019 USA 154.191 Benua Amerika kecuali USA 33.420 Asia 872 Eropa 41.947 Oseania 2.582 Sumber : Weekly Epidemiological Record 66 : 1 2 (1991). Menurut perkiraan WHO jumlah kasus AIDS jauh lebih banyak. Jumlah ini sampai 31 Desember 1990 ialah 800.000 kasus dewasa dan 400.000 kasus anak. Di samping ini masih terdapat 8 10 juta orang yang seropositif HIV tanpa gejala klinis. Menurut perkiraan para pakar epidemiologi WHO, sebagian besar kasus seropositif WHO ini berada di benua Afrika. 6
Di Indonesia jumlah AIDS dan seropositif HIV sampai Agustus 1998 masing-masing 207 sampai 537 kasus. Dengan perincian dapat dilihat pada tabel 3, 4, dan 5. 6
Pada waktu ini keadaan tentu sudah banyak berubah. Kasus-kasus HIV dan AIDS sudah sangat meningkat. Hal ini disebabkan oleh deteksi yang makin canggih termasuk diagnosis laboratorik yang lebih mudah dilakukan di daerah, dan yang terpenting ada kesadaran penderita dan para pelayan kesehatan. 6
Menurut catatan hingga 31 Maret 2006 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di seluruh Indonesia ialah HIV 4332, AIDS 5822, semuanya 10.154. Kasus HIV/AIDS yang terbanyak di DKI Jakarta 3601, peringkat II Papua 1633, peringkat III Jawa Timur 1031. Di seluruh dunia lebih dari 40 juta orang terkena AIDS pada tahun 2004. 6
Gejala Klinis dan Kriteria Diagnosis Gejala penderita AIDS dapat ringan sampai berat. Di AS ditemukan ratusan ribu orang yang dalam darahnya mengandung virus AIDS tanpa gejala klinis (carrier). Pembagian tingkat klinis penyakit infeksi HIV. Dibagi sebagai berikut (ceramah AIDS Zubairi Djoerban, di BLKM Departemen Kesehatan RI, 19 Januari 1994). 6
I. Tingkat klinis 1 (asimptomatik / Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP)) 1. Tanpa gejala sama sekali. 2. LGP. Pada tingkat ini penderita belum mengalami kelainan dan dapat melakukan aktivitas normal. II. Tingkat klinis 2 (dini) 1. Penurunan berat badan kurang dari 10%. 2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seborok, prurigo, onikomikosis, ulkus pada mulut yang berulang dan keilitis angularis. 3. Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir. 4. Infeksi saluran nafas bagian atas berulang, misalnya sinusitis. Pada tingkat ini penderita sudah menunjukan gejala, tetapi aktivitas tetap normal. III. Tingkat klinis 3 (menengah) 1. Penurunan berat badan lebih dari 10%. 2. Diare kronik lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui sebabnya. 3. Demam yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang timbul maupun terus menerus. 4. Kandidosis mulut. 5. Bercak putih berambut di mulut (Hairy leukoplakia). 6. Tuberkulosis paru setahun terakhir. 7. Infeksi bakterial berat, misalnya pneumonia. IV. Tingkat klinis 4 (lanjut) 1. Badan menjadi kurus HIV wasting syndrome, yaitu berat badan turun lebih dari 10% dan diare kronik tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan atau kelemahan kronik dan demam tanpa diketahui sebabnya lebih dari 1 bulan. 2. Pnemonia Pneumocystis carinii. 3. Toksoplasmosis otak. 4. Kriptokokosis dengan diare lebih dari 1 bulan. 5. Kriptokokosis di luar paru. 6. Infeksi sitomegalo virus pada organ tubuh kecuali di limpa, hati, atau kelenjar getah bening. 7. Infeksi virus herpes simpleks di mukokutan lebih dari 1 bulan atau di alat dalam (viseral) lamanya tidak dibatasi. 8. Mikosis apa saja (misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis) yang endemik, menyerang banyak organ tubuh (diseminata). 9. Kandidosis esofagus, trakea, bronkus, atau paru. 10. Mikobakteriosis atipik diseminata. 11. Septikemia salmonella non tifoid. 12. Tuberkulosis di luar paru. 13. Limfoma. 14. Sarkoma Kaposi. 15. Ensefalopati HIV, sesuai kriteria CDC, yaitu gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari, progresif sesudah beberapa minggu atau bulan, tanpa dapat ditemukan penyebab lain kecuali HIV. Setiap tingkat klinis kemudian dibagi lagi bergantung pada jumlah sel CD4 atau jumlah limfosit total. Usulan staging WHO tersebut pada prinsipnya berdasarkan kriteria klinis tersebut di atas. Kriteria klinis ini diajukan oleh penulis buku Membidik AIDS, Iktiar Memahami HIV dan ODHA halaman 133-135, yang dasarnya usulan sesudah WHO mengadakan pertemuan di Jenewa bulan Juni 1989 dan bulan Februari 1990. Usulan tersebut berdasarkan penelitian terhadap 907 penderita seropositif HIV dari 26 pusat perawatan yang berasal dari 5 benua. Data-data ini dikutip oleh penulis dengan sedikit perubahan dari buku tersebut. Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu diagnosis staging adalah sebagai berikut : jumlah penurunan CD4, penurunan rasio CD4/CD8 (nilai normal 1,1 : 1,8), anemia, leukopenia, trombositopenia, atau limfositopenia, hipergamaglobulinemia, penurunan respons limfosit terhadap mitogen dan antigen, alergi terhadap uji kulit tipe lambat dan peningkatan kompleks imun dalam darah. 6
Amstrong mengajukan kriteria AIDS berdasarkan faktor predisposisi dan menderita salah satu penyakit infeksi yang tercantum dalam tabel 6 atau lebih penyakit yang sesuai dengan tabel 7 dan yang menderita salah satu keganasan sesuai dengan tabel 8. 6
Selain gejala klinis dan laboratorium ada golongan yang ditemukan termasuk high-risk group (tabel 1). Menurut CDC orang Haiti sudah dapat digolongkan berisiko tinggi. Bila sindrom ditemukan pada penderita yang termasuk golongan berisiko tinggi, maka akan memperkuat diagnosis. 6
Pembantu Diagnosis Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi HIV, yang rutin dikerjakan di Kelompok Studi Khusus AIDS (Pokdisus AIDS) Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) ialah pemeriksaan anti-HIV yang baru reaktif setelah 12 minggu sejak infeksi. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan 3 jenis Elisa yang berbeda. Bila hasilnya non-reaktif tetapi klinis diduga menderita AIDS perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk konfirmasi dengan metode Western blot. 6
Penatalaksanaan Bila dahulu pengobatan HIV/AIDS sangat tidak memberikan banyak harapan, pada waktu sekarang sudah dapat memberikan harapan khususnya pada penderita HIV dan awal tingkat klinis AIDS. Semua infeksi oportunistik pada penderita AIDS umumnya diobati terutama bila dimulai sedini mungkin. 6
Mengenal orang dengan HIV-AIDS (ODHA) sendiri pengobatan kombinasi penghambat reverse transcriptase dan penghambat protease. Beberapa penelitian terakhir membuktikan bahwa obat-obat antivirus yaitu indinavir, retrovir, dan lamivudin yang diberikan sebagai kombinasi dapat meningkatkan CD4 dan menghilangkan HIV pada 24/26 sampai di tingkat unmeasurable genes of HIV. Namun setelah pengobatan beberapa waktu, mungkin HIV akan bermutasi menjadi resisten dan toksisitas obat akan muncul sehingga perlu obat baru. Obat- obat yang sedang diteliti adalah antisense therapy, gene therapy dengan penghambat HIV yang ditujukan ke CD4 dan sel induk (stem cell). Penelitian lain tentang cara pengobatan dan obat baru anti HIV masih banyak dibutuhkan oleh karena penyakit ini banyak menelan jiwa penderita dan sangat merugikan sosio-ekonomi masyarakat luas terutama pada negara berkembang. 6 Di RSCM Jakarta pengobatan HIV/AIDS dilakukan oleh Pokdisus RSCM. Obat yang digunakan ialah kombinasi 3 obat antiretroviral, yakni : 1. Zidovudin (AZT) Dosis : 500 600 mg sehari per os. 2. Lamivudin (3TC) Dosis : 150 mg sehari dua kali 3. Neviropin Dosis : 200 mg sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg sehari dua kali. Sedangkan penatalaksanaan yang dilakukan di UPIPI RSU Dr. Soetomo Surabaya meliputi : 1. Terappi antiretroviral 2. Terapi infeksi sekunder atau infeksi oportunistik serta malignansi 3. Dukungan nutri berbasis makronutrien dan mikronutrien 4. Konseling terhadap penderita maupun keluarga 5. Membudayakan pola hidup sehat dan senam 12
Komplikasi Infeksi Oportunistik yang Lazim Ditemukan pada AIDS dan Keganasan Sarkoma Kaposi
Pendahuluan Kaposi pada tahun 1872 melaporkan lima kasus tumor yang lazim, yang terutama mengenai kulit ekstremias bawah dan bersifat multifokal dan simetris. Sejak laporan tersebut para ahli terkesan akan perjalanan penyakit ini yang bersifat timbul dan hilang, sehingga mereka berfikir, mungkin bukan suatu neoplasma melainkan penyakit infeksi. Kelainan patologik awal yang berupa proses radang yang menyolok dan disertai unsur sel berbentuk kumparan, menyokong dugaan tersebut. Sekarang telah diterima secara umum bahwa sarkoma Kaposi adalah suatu neoplasma yang perangai histologiknya bervariasi bergantung pada lamanya perjalanan penyakit dan perkembangannya dipengaruhi oleh faktor genetik dan reaksi kekebalan tuan rumah. Telah dikumpulkan bukti-bukti bahwa sarkoma Kaposi berhubungan dengan virus. Di afrika distribusi penyakit ini menyerupai limfoma Burkitt yang berhubungan dengan status Carrie virus Epstein-Barr. 7 Dugaan akan hubungannya dengan faktor virus juga dilihat dari adanya, walaupun jarang, kemungkinan regresi spontan, yang dikaitkan dengan reaksi imunologik pada tumor eksperimental yang diinduksi dengan virus. Di samping itu, perkembangan penyakit yang bersifat multifokal tanpa tumor primer yang jelas juga cenderung berhubungan dengan infeksi virus. Pada sel tumor dapat ditemukan antigen dan DNA virus CMV (cytomegalo virus). Selanjutnya diketahui juga bahwa sarkoma kaposi dapat ditemukan pada pria homoseks yang dikenal banyak terkena infeksi virus seperti virus hepatitis dan HIV. Gambaran Klinis Sarkoma Kaposi mempunyai gambaran geografik dan distribusi seks yang khas. Sekitar 90% terjadi pada pria. Walaupun sangat jarang pada sebagian besar tempat di dunia, namun lebih sering ditemukan di Polandia, Rusia, Italia, dan daerah ekuator pusat, Afrika. Di Afrika tengah terdapat endemik dan mencapai 9% dari semua keganasan. Penyakit ini menunjukan dua bentuk klinis, yaitu yang berjangkit di Afrika dan yang berjangkit di bagian lain dunia. Pada bentuk yang terakhir, penyakit terutama timbul pada akhir usia dewasa (puncak insidens pada dekade keenam dan ketujuh) dan berhubungan dengan keganasan lain atau kelainan imunologik. Sebagai contoh dilaporkan bahwa sepertiga dari penderita sarkoma kaposi kemudian terjangkit oleh keganasan lain, dan separuh dari neoplasma tersebut adalah mieloma multipel. Sarkoma Kaposi ditemukan juga berhubungan dengan aplasia eritrosit, anemia hemolitik autoimun dan penurunan reaksi kekebalan pada transplantasi organ. Akhir- akhir ini secara khusus diperhatikan hubungannya dengan AIDS. Penyakit ini berawal dengan timbulnya lesi multipel pada kulit, biasanya pada bagian distal ekstremitas bawah. Kurang banyak ditemukan pada ekstremitas atas dan jarang ditemukan pada organ dalam (viscera) tanpa kelainan pada kulit. Lesi permulaan berupa nodul biru- merah, yang sering disertai sembab ekstremitas. Hal ini dianggap sebagai petunjuk terlibatnya jaringan lunak yang lebih dalam atau jaringan limfatik. Lesi lambat laun bertambah besar dan bertambah banyak, menyebar ke sekitarnya dan bergabung menjadi pertumbuhan plak atau polipoid yang menyerupai granuloma piogenik. Kadang-kadang lesi mengalami ulserasi. Lesi yang dini mungkin mengalami regresi pada beberapa kasus, namun yang lain dapat berkembang, sehingga dapat ditemukan berbagai stadium lesi; perjalanan penyakit berlangsung lama. Berbeda dengan bentuk tersebut di atas, sarkoma Kaposi yang terjadi di Afrika adalah khas penyakit pada usia lebih muda. Tidak dijumpai hubungan kuat dengan keganasan limforetikular, hanya dilaporkan 1% di Uganda. Puncak insidens pada dekade keempat. Walaupun kebanyakan penderita mengalami lesi pada ekstremitas bawah, namun dalam perjalanan penyakit lebih cenderung terjangkitnya pada organ dalam (viscera) dan kelenjar getah bening. Pada anak-anak Afrika yang muda biasanya kelenjar getah bening terjangkit secara lokal atau secara umum. Perjalanan penyakit lebih cepat dan berat (fulminant) dan lebih cenderung menjangkiti organ dalam. Gambaran Histologik Stadium dini sarkoma Kaposi sering sukar dibedakan dari jaringan granulasi. Lesi-lesi dini terdiri atas banyak pembuluh kapiler yang berproliferasi pada bagian tengah dan dalam daripada dermis. Di sekitar kapiler ditemukan proliferasi sel kumparan yang tidak matanng dan sel-sel epiteloid. Sel-sel kumparan perivaskular ini mewakili unsur pertama perubahan neoplastik tetapi seringkali terselubung oleh reaksi radang dengan sel-sel polimorf yang menyolok, ekstravasasi eritrosit, dan deposit hemosiderin dalam stroma yang sembab. Apabila lesi berkembang maka bertambah selular dan komponen radang menghilang. Pada stadium ini lesi terdiri atas kombinasi antara daerah sel kumparan dan daerah yang bercorak angioma yang terletak lebih perifer. Daerah sel kumparan bersifat diagnostik untuk sarkoma Kaposi yang matang dan menyerupai fibrosarkoma kecuali adanya rongga-rongga vaskular sempit yang berisi eritrosit dan tampak lumen yang dilapisi endotel. Daerah bercorak angioma menyerupai hemangioma dan mengandung kanal-kanal vaskular yang jelas dilapisi oleh satu lapis sel endotel dan dikelilingi oleh sel mirip fibroblas. Deposit metastatik menyerupai lesi matang yang terlihat pada kulit tetapi umumnya tidak menunjukan deposit hemosiderin yang menyolok. Kadang- kadang terjadi regresi lesi dan dianggap karena perubahan obliteratif pembuluh yang besar. Semua lesi sarkoma Kaposi mempunyai potensi untuk tumbuh progresif dan mengadakan metastasis dan tumor-tumor yang secara histologik berdiferensiasi baik dapat ditemukan pada tempat-tempat metastatik. Pada beberapa kasus, tumor menunjukan diferensiasi histologik dan berakhir dengan tumor yang menyerupai angiosarkoma dan fibrosarkoma berderajat keganasan tinggi. Pemeriksaan ultrastruktur menetapkan asal vaskular dari sarkoma Kaposi dan menemukan tiga jenis sel: endotel, peritel, dan fibroblas. Sel endotel membentuk rongga vaskular dan mengandung hanya sedikit lisosom dan feritin. Sel peritel yang mempunyai lebih banyak lisosom dan feritin tampak bersifat fagositik. Di samping itu terdapat transisi antara endotel dan peritel, yang mungkin menunjukan bahwa tumor berasal dari sel peritel primitif yang masih mempertahankan kemampuannya untuk berdiferensiasi ke arah sel endotel. Demikian pula, ekstravasasi eritrosit merupakan stimulus primer untuk fagositosis dan mungkin berperan pada transformasi sel peritel ke arah fibroblas yang memproduksi kolagen. Di samping itu dalam tumor ditemukan miofibroblas. Profil enzim yang ditemukan: fosfatase asam positif tetapi fosfatase lindi negatif, menyerupai endotel limfatik normal; walaupun demikian hal semacam ini juga dapat ditemukan pada tumor yang berasal dari unsur mesenkim. 7
Kandidosis
Pendahuluan Infeksi Candida pertama kali didapatkan di dalam mulut sebagai thrush yang dilaporkan oleh Francois Valleix (1836). Langernach (1839) menemukan jamur penyebab thrush, kemudian berhout (1923) memberi nama organisme tersebut sebagai Kandida. Definisi Kandidosis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut disebabkan oleh spesies Candida, biasanya oleh spesies Candida albicans dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronki, atau paru, kadang-kadang dapat menyebabkan septikemia, endokarditis, atau meningitis. Sinonim Kandidiasis, moniliasis. Epidemiologi Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Jamur penyebabnya terdapat pada orang sehat sebagai saprofit. Gambaran klinisnya bermacam-macam sehingga tidak diketahui data-data penyebarannya dengan tepat. Etiologi Yang tersering sebagai penyebab ialah Candida albicans yang dapat diisolasi dari kulit, mulut, selaput mukosa vagina, dan feses orang normal. Sebagai penyebab endokarditis kandidosis ialah C. parapsitosis dan penyebab kandidosis septikemia adalah C. tropicalis. Klasifikasi Berdasarkan tempat yang terkena Conant dkk. (1971), membaginya sebagai berikut : 1. Kandidosis selaput Lendir : a. Kandidosis oral (thrush) b. Perleche c. Vulvovaginitis d. Balanitis atau balanopostitis e. Kandidosis mukokutan kronik f. Kandidosis bronkopulmonar dan paru 2. Kandidosis kutis : a. Lokalisata : i. Daerah intertriginosa ii. Daerah perianal b. Generalisata c. Paronikia dan onikomikosis d. Kandidosis kutis granulomatosa 3. Kandidosis sistemik : a. Endokarditis b. Meningitis c. Pielonefritis d. Septikemia 4. Reaksi id. (kandidid) Patogenesis Infeksi kandida dapat terjadi, apabila ada faktor predisposisi baik endogen maupun eksogen. Faktor endogen : 1) Perubahan fisiologik : a. Kehamilan, karena perubahan pH dalam vagina b. Kegemukan, karena banyak keringat c. Debilitas d. Latrogenik e. Endokrinopati, gangguan gula darah kulit. f. Penyakit kronik : tuberkulosis, lupus eritematosus dengan keadaan umum yang buruk. 2) Umur : orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena status imunologiknya tidak sempurna. 3) Imunologik : penyakit genetik Faktor eksogen : 1) Iklim, panas, dan kelembaban menyebabkan perspirasi meningkat. 2) Kebersihan kulit. 3) Kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur. 4) Kontak dengan penderita, misalnya pada thrush, balanopostitis. Gejala Klinis I. Kandidosis Selaput Lendir a. Thrush Biasanya mengenai bayi, tampak pseudomembran putih coklat muda kelabu yang menutup lidah, palatum mole, pipi bagian dalam, dan permukaan rongga mulut yang lain. Lesi dapat terpisah-pisah, dan tampak seperti kepala susu pada rongga mulut. Bila pseudomembran terlepas dari dasarnya tampak daerah yang basah dan merah. Pada glositis kronik, lidah tampak halus dengan papila atrofik atau lesi berwarna putih di tepi atau di bawah permukaan lidah. Bercak putih ini tidak tampak jelas bila penderita sering merokok. b. Perleche Lesi berupa fisur pada sudut mulut; lesi ini mengalami maserasi, erosi, basah, dan dasarnya eritematosa. Faktor predisposisinya ialah defisiensi riboflavin. c. Vulvovaginitis Biasanya sering terdapat pada penderita diabetes melitus karena kadar gula darah dan urin yang tinggi dan pada wanita hamil karena penimbunan glikogen dalam epitel vagina. Keluhan utama ialah gatal di daerah vulva. Pada yang berat terdapat pula rasa panas, nyeri sesudah miksi, dan dispaneuria. Pada pemeriksaan yang ringan tampak hiperemia di labia menora, introitis vagina, dan vagina terutama 1/3 bagian bawah. Sering pula terdapat kelainan yang khas ialah bercak-bercak putih kekuningan. Pada kelainan yang berat juga terdapat edema pada labia menora dan ulkus-ulkus yang dangkal pada labia menora dan di sekitar introitus vaginal. Fluor albus pada kandidosis vagina berwarna kekuningan. Tanda yang khas ialah disertai gumpalan-gumpalan sebagai kepala susu berwarna putih kekuningan. Gumpalan tersebut berasal dari massa yang terlepas dari dinding vulva atau vagina terdiri atas bahan nekrotik, sel-sel epitel, dan jamur. d. Balanitis atau balanopostitis Penderita mendapat infeksi karena kontak seksual dengan wanitanya yang menderita vulvovaginitis, lesi berupa erosi, pustula dengan dindingnya yang tipis, terdapat pada glans penis dan sulkus koronarius glandis. e. Kandidosis mukokutan kronik Penyakit ini timbul karena adanya kekurangan fungsi leukosit atau sistem hormonal, biasanya terdapat pada penderita dengan bermacam-macam defisiensi yang bersifat genetik, umumnya terdapat pada anak-anak. Gambaran klinisnya mirip penderita dengan defek poliendokrin. II. Kandidosis Kutis a. Kandidosis intertriginosa Lasi di daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glans penis, dan umbilikus, berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah erosif, dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer. b. Kandidosis perianal Lesi berupa masorasi seperti infeksi dermatofit tipe basah. Penyakit ini menimbulkan pruritus ani. c. Kandidosis kutis generalisata Lesi terdapat pada glabrous skin, biasanya juga di lipat payudara, intergluteal, dan umbilikus. Sering disertai glositis, stomatitis, dan paronikia. Lesi berupa ekzematois, dengan vesikel-vesikel dan pustul-pustul. Penyakit ini sering terdapat pada bayi, mungkin karena ibunya menderita kandidosis vagina atau mungkin karena gangguan imunologik. d. Paronikia dan onikomikosis Sering diderita oleh orang-orang yang pekerjaanya berhubungan dengan air, bentuk ini tersering didapat. Lesi berupa kemerahan, pembengkakan yang tidak bernanah, kuku menjadi tebal, mengeras dan berlekuk-lekuk, kadang-kadang berwarna kecoklatan, tidak rapuh, tetap berkilat dan tidak terdapat sisa jaringan di bawah kuku seperti pada tinea unguium. e. Diaper-rash Sering terdapat pada bayi yang popoknya selalu basah dan jarang diganti yang dapat menimbulkan dermatitis iritan, juga sering diderita neonatus sebagai gejala sisa dermatitis oral dan perianal. f. Kandidosis granulomatosa Houser dan Rothman melaporkan bahwa penyakit ini sering menyerang anak-anak, lesi berupa papul kemerahan tertutup krusta tebal berwarna kuning kecoklatan dan melekat erat pada dasarnya. Krusta ini dapat menimbulkan seperti tanduk sepanjang 2 cm, lokalisasinya sering terdapat di muka, kepala, kuku, badan, tungkai, dan farings. III. Kandidosis Sistemik a. Endokarditis Sering terdapat pada penderita morfinis sebagai akibat komplikasi penyuntikan yang dilakukan sendiri, juga dapat diderita oleh penderita sesudah operasi jantung. b. Meningitis Terjadi karena penyebaran hematogen jamur, gejalanya sama dengan meningitis tuberkulosis atau karena bakteri lain. IV. Reaksi id (Kandidid) Reaksi terjadi karena adanya metabolit kandida, klinisnya berupa vesikel-vesikel yang bergerombol, terdapat pada sela jari tangan atau bagian badan yang lain, mirip dermatofitid. Di tempat tersebut tidak ada elemen jamur. Bila lesi kandidosis diobati, kandidid akan menyembuh. Jika dilakukan uji kulit dengan kandidin (antigen kandida) memberi hasil positif. 8
Herpes Genital
Etiologi Herpes genitalis disebabkan oleh HSV atau herpes virus hominis (HVH), yang merupakan anggota dari famili herpesviridae. Adapun tipe-tipe dari HSV : 1. Herpes simplex virus tipe I : pada umunya menyebabkan lesi atau luka pada sekitar wajah, bibir, mukosa mulut, dan leher. 2. Herpes simplex virus tipe II : umumnya menyebabkan lesi pada genital dan sekitarnya (bokong, daerah anal dan paha). Herpes simplex virus tergolong dalam famili herpes virus, selain HSV yang juga termasuk dalam golongan ini adalah Epstein Barr (mono) dan varisela zoster yang menyebabkan herpes zoster dan varicella. Sebagian besar kasus herpes genitalis disebabkan oleh HSV-2, namun tidak menutup kemungkinan HSV-1 menyebabkan kelainan yang sama. Pada umumnya disebabkan oleh HSV-2 yang penularannya secara utama melalui vaginal atau anal seks. Beberapa tahun ini, HSV-1 telah lebih sering juga menyebabkan herpes genital. HSV-1 genital menyebar lewat oral seks yang memiliki cold sore pada mulut atau bibir, tetapi beberapa kasus dihasilkan dari vaginal atau anal seks. Epidimiologi Prevalensi anti bodi dari HSV-1 pada sebuah populasi bergantung pada faktor-faktor seperti negara, kelas sosial ekonomi dan usia. HSV-1 umumnya ditemukan pada daerah oral pada masa kanak-kanak, terlebih lagi pada kondisi sosial ekonomi terbelakang. Kebiasaan, orientasi seksual dan gender mempengaruhi HSV-2. HSV-2 prevalensinya lebih rendah dibanding HSV-1 dan lebih sering ditemukan pada usia dewasa yang terjadi karena kontak seksual. Prevalensi HSV-2 pada usia dewasa meningkat dan secara signifikan lebih tinggi Amerika Serikat dari pada Eropa dan kelompok etnik kulit hitam dibanding kulit putih. Seroprevalensi HSV-2 adalah 5 % pada populasi wanita secara umum di inggris, tetapi mencapai 80% pada wanita Afro-Amerika yang berusia antara 60-69 tahun di USA. Herpes genital mengalami peningkatan antara awal tahun 1960-an dan 1990-an. Di inggris laporan pasien dengan herpes genital pada klinik PMS meningkat enam kali lipat antara tahun 1972-1994. Kunjungan awal pada dokter yang dilakukan oleh pasien di Amerika Serikat untuk episode pertama dari herpes genital meningkat sepuluh kali lipat mulai dari 16.986 pasien di tahun 1970 menjadi 160.000 di tahun 1995 per 100.000 pasien yang berkunjung. Disamping itu lebih banyaknya golongan wanita dibandingkan pria disebabkan oleh anatomi alat genital (permukaan mukosa lebih luas pada wanita), seringnya rekurensi pada pria dan lebih ringannya gejala pada pria. Walaupun demikian, dari jumlah tersebut di atas hanya 9% yang menyadari akan penyakitnya. 8 HSV-2 juga kadang-kadang menyebabkan kelainan oral, diduga karena meningkatnya kasus hubungan seks oral. Jarang didapatkan kelainan oral karena VHS-2 tanpa infeksi genital. Di Indonesia, sampai saat ini belum ada angka yang pasti, akan tetapi dari 13 RS pendidikan Herpes genitalis merupakan PMS (Penyakit Menular Seksual) dengan gejala ulkus genital yang paling sering dijumpai. Patofisiologi Herpes genital adalah suatu infeksi menular seksual yang sering terjadi, disebabkan oleh virus herpes simpleks. Herpes genitalia merupakan penyebab paling sering terjadinya ulkus genital. Dari dua subtipe, HVS-2 merupakan penyebab penyakit herpes genital tersering. HVS-1, menyebabkan penyakit herpes labialis, menyebabkan 15-30% infeksi genitalis. Virus dapat menyebar melalui kontak oral atau genital. Jangkitan pertama terjadi 3hari sampai 2 minggu setelah pajanan. Setelah infeksi primer virus menjadi laten pada ganglia sensorik sakralis. Pelepasan virus dapat terjadi meskipun lesi tidak ada. Gejala klinis Infeksi awal dari 63% HSV-2 dan 37% HSV-1 adalah asimptomatik. Simptom dari infeksi awal (saat inisial episode berlangsung pada saat infeksi awal) simptom khas muncul antara 3 hingga 9 hari setelah infeksi, meskipun infeksi asimptomatik berlangsung perlahan dalam tahun pertama setelah diagnosa di lakukan pada sekitar 15% kasus HSV-2. Inisial episode yang juga merupakan infeksi primer dapat berlangsung menjadi lebih berat. Infeksi HSV-1 dan HSV-2 agak susah dibedakan. Tanda utama dari genital herpes adalah luka di sekitar vagina, penis, atau di daerah anus. Kadang-kadang luka dari herpes genital muncul di skrotum, bokong atau paha. Luka dapat muncul sekitar 4-7 hari setelah infeksi.(6,15) Gejala dari herpes disebut juga outbreaks, muncul dalam dua minggu setelah orang terinfeksi dan dapat saja berlangsung untuk beberapa minggu. Adapun gejalanya sebagai berikut : Nyeri dan disuria Uretral dan vaginal discharge Gejala sistemik (malaise, demam, mialgia, sakit kepala) Limfadenopati yang nyeri pada daerah inguinal Nyeri pada rektum, tenesmus
Tanda : Eritem, vesikel, pustul, ulserasi multipel, erosi, lesi dengan krusta tergantung pada tingkat infeksi. Limfadenopati inguinal Faringitis Cervisitis a. Herpes genital primer Infeksi primer biasanya terjadi seminggu setelah hubungan seksual (termasuk hubungan oral atau anal). Tetapi lebih banyak terjadi setelah interval yang lama dan biasanya setengah dari kasus tidak menampakkan gejala. Erupsi dapat didahului dengan gejala prodormal, yang menyebabkan salah diagnosis sebagai influenza. Lesi berupa papul kecil dengan dasar eritem dan berkembang menjadi vesikel dan cepat membentuk erosi superfisial atau ulkus yang tidak nyeri, lebih sering pada glans penis, preputium, dan frenulum, korpus penis lebih jarang terlihat.(1) b. Herpes genital rekuren Setelah terjadinya infeksi primer klinis atau subklinis, pada suatu waktu bila ada faktor pencetus, virus akan menjalani reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah lagi rekuren, pada saat itu di dalam hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan yang timbul dan gejala tidak seberat infeksi primer. Faktor pencetus antara lain: trauma, koitus yang berlebihan, demam, gangguan pencernaan, kelelahan, makanan yang merangsang, alkohol, dan beberapa kasus sukar diketahui penyebabnya. Pada sebagian besar orang, virus dapat menjadi aktif dan menyebabkan outbreaks beberapa kali dalam setahun. HSV berdiam dalam sel saraf di tubuh kita, ketika virus terpicu untuk aktif, maka akan bergerak dari saraf ke kulit kita. Lalu memperbanyak diri dan dapat timbul luka di tempat terjadinya outbreaks (1,4,12). Mengenai gambaran klinis dari herpes progenitalis : gejaia klinis herpes progenital dapat ringan sampai berat tergantung dari stadium penyakit dan imunitas dari pejamu. Stadium penyakit meliputi : Infeksi primer - stadium laten - replikasi virus - stadium rekuren Manifestasi klinik Manifestasi klinis dari infeksi HSV tergantung pada tempat infeksi, dan status imunitas host. Infeksi primer dengan HSV berkembang pada orang yang belum punya kekebalan sebelumnya terhadap HSV-1 atau HSV -2, yang biasanya menjadi lebih berat, dengan gejala dan tanda sistemik dan sering menyebabkan komplikasi. 10 Berbagai macam manifestasi klinis: 1. infeksi oro-fasial 2. infeksi genital 3. infeksi kulit lainnya 4. infeksi ocular 5. kelainan neurologist 6. penurunan imunitas 7. herpes neonatal Pencegahan Berbagai cara yang dapat ditempuh untuk mengurangi penularan penyakit. 1. Kontak seksual harus dihindari dengan orang yang diketahui menderita AIDS dan orang yang sering menggunakan obat bius secara intravena. 2. Mitra seksual multipel atau hubungan seksual dengan orang yang mempunyai banyak teman kencan seksual, memberikan kemungkinan lebih besar mendapat AIDS. 3. Cara hubungan seksual yang dapat merusak selaput lendir rektal, dapat memperbesar kemungkinan mendapat AIDS. Sanggama anal pasif yang pernah dilaporkan pada beberapa penelitian menunjukan korelasi tersebut. Walaupun belum terbukti, kondom dianggap salah satu untuk menghindari penyakit kelamin, cara ini masih merupakan anjuran. 4. Kasus AIDS pada orang yang menggunakan obat bius intravena dapat dikurangi dengan cara memberantas kebiasaan buruk tersebut dan melarang penggunaan jarum suntik bersama. 5. Semua orang yang tergolong berisiko tinggi AIDS seharusnya tidak menjadi donor. Di AS soal ini sudah dipecahkan dengan adanya penentuan zat anti-AIDS dalam darah melalui cara Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA). Di RSCM Divisi Hematologi Departemen Penyakit Dalam uji ini sudah dapat dikerjakan. 6. Para dokter harus ketat mengenai indikasi medis transfusi darah autolog yang dianjurkan untuk dipakai. Prognosis Sepuluh tahun setelah infeksi HIV 50% penderita mengalami AIDS. Prognosis AIDS buruk karena HIV menginfeksi sistem imun terutama sel CD4 dan akan menimbulkan destruksi sel tersebut, akibatnya banyak sekali penyakit yang dapat menyertainya. Di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta hasil penelitian pada tahun 2005 kematian berjumlah 34% pada tahun I. 6
Diagnosis Banding - Limfogranuloma Venereum Definisi Limfogranuloma venereum (L.G.V.) ialah penyakit venerik yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang, bentuk tersering ialah sindrom inguinal. Sindrom tersebut berupa limfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala konstitusi, kemudian akan mengalami perlunakan yang tak serentak. 3
Sinonim L.G.V. disebut juga limfopatia venereum yang dilukiskan pertama kali oleh Nicolas, Durand, dan Favre pada tahun 1913, karena itu juga disebut penyakit Nicolas-Favre. 3
Etiologi Penyebabnya ialah Chlamydia trachomatis. Penyakit yang segolongan ialah psitakosis, trakoma, dan inclusion conjunctivitis. 3 Epidemiologi Penyakit ini terutama terdapat di negeri tropik dan subtropik, penderita pria pada sindrom inguinal lebih banyakk daripada wanita, sebenarnya hal itu disebabkan karena perbedaan patogenesis yang akan diterangkan kemudian. Kini penyakit ini jarang ditemukan. 3
Patogenesis dan Gejala Klinis Masa tunas penyakit ini ialah 1-4 minggu. Gejala konstitusi timbul sebelum penyakitnya mulai dan biasanya menetap selama sindrom inguinal. Gejala tersebut berupa malese, nyeri kepala, artralgia, anoreksia, nausea, dan demam. 3
Gambaran klinisnya dapat dibagi menjadi bentuk dini, yang terdiri atas afek primer serta sindrom inguinal, dan bentuk lanjut yang terdiri atas sindrom genital, anorektal, dan uretral. Waktu terjadi afek primer hingga sindrom inguinal 3-6 minggu, sedangkan dari bentuk dini hingga bentuk lanjut satu tahun hingga beberapa tahun. 3
Afek Primer Afek primer berbentuk tak khas dan tak nyeri, dapat berupa erosi, papul miliar, vesikel, pustul, dan ulkus. Umumnya solitar dan cepat hilang karena itu penderita biasanya tidak datang berobat pada waktu timbul afek primer, tetapi pada waktu terjadi sindrom inguinal. 3 Pada pria umumnya afek primer berlokasi di genitalia eksterna, terutama di sulkus koronarius, dapat pula di uretra meskipun sangat jarang. Pada wanita biasanya afek primer tidak terdapat pada genitalia eksterna, tetapi pada vagina bagian dalam dan serviks. 3
Sindrom Inguinal Sindrom inguinal merupakan sindrom yang tersering dijumpai karena itu akan diuraikan secara luas. Sindrom tersebut terjadi pada pria, jika afek primernya di genitalia eksterna, umumnya unilateral, kira-kira 80%. Pada wanita terjadi, jika afek primernya pada genitalia eksterna dan vagina 1/3 bawah. Itulah sebabnya sindrom tersebut lebih sering terdapat pada pria daripada wanita, karena pada umumnya afek primer pada wanita di tempat yang lebih dalam, yakni di vagina 2/3 atas dan serviks. Jika afek primer pada tempat tersebut, maka yang mengalami peradangan bukan kelenjar inguinal medial, tetapi kelenjar Gerota. 3
Pada sindrom ini yang terserang ialah kelenjar getah bening inguinal medial, karena kelenjar tersebut merupakan kelenjar regional nagi genitalia eksterna. Kelenjar yang dikenal ialah beberapa dan dapat diketahui karena permukaannya berbenjol-benjol, kemudian akan berkonfluensi. Karena L.G.V. merupakan penyakit subakut, maka kelima tanda radang akut terdapat, yakni dolor, rubor, tumor, kalor, dan fungsio lesa. Selain limfadenitis terjadi pula periadenitis yang menyebabkan perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian terjadi perlunakan yang tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacam- macam, yakni keras, kenyal, dan lunak (abses). Perlunakan biasanya di tengah, dapat terjadi abses dan fistel yang multipel. 3
Sering terlihat pula 2 atau 3 kelompok kelenjar yang berdekatan dan memanjang seperti sosis di bagian proksimal dan distal ligamentum Pouparti dan dipisahkan oleh lekuk (sulkus). Gejala tersebut oleh Greenblatt disebut stigma og groove. Pada stadium lanjut terjadi penjalaran ke kelenjar getah bening di fossa iliaka dan dinamai bubo bertingkat (etage bubonen), kadang-kadang dapat pula ke kelenjar di fosa femoralis. Ada kalanya terdapat limfangitis yang tampak sebagai tali yang keras dan bubonuli. 3
Sindrom Genital Jika sindrom inguinal tidak diobati, maka terjadi fibrosis pada kelenjar inguinal medial, sehingga aliran getah bening terbendung serta terjadi edema dan elefantiasis. Elefantiasis tersebut dapat bersifat vegetatif, dapat berbentuk fistel-fistel, dan ulkus-ulkus. 3
Pada pria, elefantiasis terdapat di penis dan skrotum, sedangkan pada wanita di labia dan klitoris, disebut estiomen. Jika meluas terbentuk elefantiasis genito-anorektalis dan disebut sindrom Jersild. 3 Sindrom Anorektal Sindrom tersebut dapat terjadi pada pria homoseksual, yang melakukan sanggama secara genitoanal. Pada wanita dapat terjadi dengan dua cara. Pertama, jika sanggama dilakukan dengan cara genito-anal. Kedua, jika afek primer terdapat pada vagina 2/3 atas atau serviks, sehingga terjadi penjalaran ke kelenjar perirektal (kelenjar Gerota) yang terletak antara uterus dan rektum. Pembesaran kelenjar tersebut hanya dapat diketahui dengan palpasi secara bimanual. Proses berikutnya hampir sama dengan sindrom inguinal, yakni terjadi limfadenitis dan periadenitis, lalu mengalami perlunakan hingga terbentuk abses. Kemudian abses memecah sehingga menyebabkan gejala keluarnya darah dan pus pada waktu defekasi, kemudian terbentuk fistel. Abses-abses dan fistel-fistel dapat berlokasi di perianal dan perirektal. 3
Selanjutnya muara fistel meluas menjadi ulkus, yang kemudian menyembuh dan menjadi sikatriks, terjadilah retraksi hingga mengakibatkan striktura rekti. Kelainan tersebut umumnya mengenai seluruh lingkaran rekstum sepanjang 4 10 cm dan berlokasi 3 8 cm atau lebih di atas anus. Keluhannya ialah obstipasi, tinja kecil-kecil disertai perdarahan waktu defekasi. Akibat lain ialah terjadinya proktitis yang menyebabkan gejala tenesmus dan keluarnya darah dan pus dari rektum. Kecuali kelenjar Gerota, dapat pula terjadi penjalaran ke kelenjar iliaka dan hipogastrika. 3
Sindrom Uretral Sindrom tersebut terjadi, jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian menjadi abses, lalu memecah dan menjadi fistel. Akibatnya ialah terjadi striktur hingga orifisium uretra eksternum berubah bentuk seperti mulut ikan dan disebut fish mouth urethra dan penis melengkkung seperti pedang turki. Kelainan Lain Kelainan tersebut lebih sering terdapat pada manifestasi dini daripada manifestasi lanjut dan jarang ditemukan. Pada kulit dapat timbul eksantem, berupa eritema nodosum dan eritema multiformis. Fotosensitivitas dapat terjadi pada 10 30 % kasus pada bentuk dini dan 50 % pada bentuk lanjut. Kelainan pada mata dapat berupa konjungtivitis, biasanya unilateral disertai edema dan ulkus-ulkus pada palpebra. Sering pula bersama-sama dengan pembesaran kelenjar getah bening regional dan demam. Sindrom tersebut disebut sindrom okuloglandular Parinaud. Selain itu dapat pula menimbulkan kelainan pada fundus, berupa pelebaran pembuluh darah yang berliku-liku dan disertai edema peripapilar. 3
Susunan saraf pusat dapat pula mengalami kelainan berupa meningoensefalitis. Kelainan lain ialah hepatosplenomegali, peritonitis, dan uretritis. Uretritis tersebut dapat disertai ulkus- ulkus pada mukosa, dapat pula bersama-sama dengan sistitis dan epididimitis. 3
- Sifilis Pendahuluan Meskipun insidens sifilis kian menurun, penyakit ini tidak dapat diabaikan, karena merupakan penyakit berat. Hampir semua alat tubuh dapat diserang, termasuk sistem kardiovaskular dan saraf. Selain itu wanita hamil yang menderita sifilis dapat menularkan penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan sifilis kongenital yang dapat menyebabkan kelainan bawaan dan kematian. Istilah kita untuk penyakit ini yaitu raja singa sangat tepat karena keganasan. 4 Definisi Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum; sangat kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. 4
Sinonim Menurut sejarahnya terdapat banyak sinonim sifilis yang tak lazim dipakai. Sinonim yang umum ialah lues venerea atau biasanya disebut lues saja. Dalam istilah Indonesia disebut raja singa. 4
Etiologi Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 m, lebar 0,15 m, terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam. 4
Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar badan. Di luar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam. Epidemiologi Asal penyakit ini tak jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa. Ada yang menganggap penyakit ini berasal dari penduduk Indian yang dibawa oleh anak buah Columbus waktu mereka kembali ke Spanyol pada tahun 1492. Pada tahun 1494 terjadi epidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis dan gonore disebabkan oleh sanggama dan keduanya dianggap disebabkan oleh infeksi yang sama. 4
Pada abad ke-15 terjadi wabah di Eropa, sesudah tahun 1860 morbilitas sifilis di Eropa menurun cepat, mungkin karena perbaikan sosioekonomi. Selama Perang Dunia kedua insidensnya meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1946, kemudian makin menurun. 4
Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar antara 0,04 0,52 %. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia insidensnya 0,61%. Di bagian kami penderita yang terbanyak ialah stadium laten, disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II. 4
Klasifikasi Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat). Sifilis kongenital dibagi menjadi: dini (sebelum dua tahun), lanjut (sesudah dua tahun), dan stigmata. Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara, secara klinis dan epidemiologik. Menurut cara pertama sifilis dibagi menjadi tiga stadium: stadium I (SI), stadium II (SII), dan stadium III (SIII). Secara epidemiologik menurut WHO dibagi menjadi : 4
Patogenesis Stadium Dini Pada sifilis yang didapat, T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivaskular, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan perivaskuler di sekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofik endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S I. 4
Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai S II, yang terjadi enam sampai delapan minggu sesudah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. S II juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang. 4
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi dengan sifilis kongenital. Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga T. pallidum membiak lagi pada tempat S I dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi berupa dengan lesi rekuren S II, yang terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut padat timbul berulang-ulanng, tetapi pada umumnya tidak melebihi dua tahun. 4
Stadium Lanjut Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita. Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-konyong berubah, sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu muncullah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T. pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat lain. 4
Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan terjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya tidak mendapat gangguan saraf dan kardiovaskular, demikian pula sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi gejala. 4
Gejala Klinis Secara umum manifestasi klinis dari Penyakit Sifilis, yaitu : 5
- Keluarnya cairan dari vagina, penis, atau dubur yang berbeda dari biasanya. Dapat berwana putih susu, kekuningan, kehijauan, atau disertai berak darah dan bau yang tidak enak. - Perih, nyeri, atau panas saat BAK atau setelah BAK atau menjadi sering BAK. - Adanya luka terbuka (luka basah disekitar alat kemaluan atau mulut). Dapat terasa nyeri atau tidak. - Tumbuh sesuatu seperti jengger ayam atau kutil di sekitar kemaluan. - Pada pria, skrotum menjadi bengkak dan nyeri. - Sakit perut bagian bawah, terkadang timbul, terkadang hilang. - Secara umum merasa enak badan atau demam. Manifestasi klinis dari Penyakit Sifilis secara khusus, antara lain : 5
a. Sifilis Stadium I Terjadi efek primer berupa papul, tidak nyeri (indolen). Sekitar 3 minggu kemudian terjadi penjalaran ke kelenjar inguinal medial.Timbul lesi pada alat kelamin, ekstragenital seperti bibir, lidah, tonsil, puting susu, jari dan anus, misalnya pada penularan ekstrakoital. 5 b. Sifilis Stadium II Gejala konstitusi seperti nyeri kepala, subfebris, anoreksia, nyeri pada tulang, leher, timbul macula, papula, pustul, dan rupia. Kelainan selaput lendir, dan limfadenitis yang generalisata. 5
c. Sifilis Stadium III Terjadi guma setelah 3 7 tahun setelah infeksi.Guma dapat timbul pada semua jaringan dan organ, membentuk nekrosis sentral juga ditemukan di organ dalam, yaitu lambung, paru-paru, dll. Nodus di bawah kulit (dapat berskuma), tidak nyeri. 5 d. Sifilis Kongenital Sifilis Kongenital Dini Dapat muncul beberapa minggu (3 minggu) setelah bayi dilahirkan. Kelainan berupa vesikel, bula, pemfigus sifilitika, papul, skuma, secret hidung yang sering bercampur darah, adanya osteokondritis pada foto roentgen. 5
Sifilis Kongenital Lanjut Terjadi pada usia 2 tahun lebih. Pada usia 7 9 tahun dengan adanya keratitis intersial (menyebabkan kebutaan), ketulian, gigi Hutchinson, paresis, perforasi palatum durum, serta kelainan tulang tibia dan frontalis. 5
e. Sifilis Stigmata Terdapat garis-garis pada sudut mulut yang jalannya radier, gigi Hutchinson, gigi molar pertama berbentuk murbai dan penonjolan tulang frontal kepala (frontal bossing). 5
f. Sifilis Kardiovaskular Umumnya bermanifestasi selama 10 20 tahun setelah infeksi. Biasanya disebabkan oleh nekrosis aorta yang berlanjut ke arah katup dan ditandai oleh insufisiensi aorta atau aneureksma, berbentuk kantong pada aorta torakal. 5
g. Neurosifilis Neurosifilis asimtomatik. Pada sifilis ini tidak ada tanda dan gejala kerusakan susunan saraf pusat. Pemeriksaan sumsum tulang belakang menunjukan kenaikan sel, protein total dan tes serologis reaktif. 5 Neurosifilis meningovaskuler. Adanya tanda kerusakan susunan saraf pusat yakni kerusakan pembuluh darah serebru, infark dan ensefalomalasia. Pemeriksaan sumsum tulang belakang menunjukan kenaikan sel, protein total dan tes serologis reaktif. 5
BAB III Penutup HIV merupakan penyakit yang disebabkan adanya virus ang menyerang sistem kekebalan tubuh, oleh karena orang penderita akan mudah terinfeksi oleh bakteri, jamur, dan virus lainnya. Oleh karena itu penderita HIV-AIDS harus dapat menjaga supaya dirinya tidak mudah terinfeksi.
Daftar Pustaka 1. Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Infeksi menular seksual. Jakarta:FKUI;2007. 2. Sutedjo AY. Buku saku mengenal penyakit melalui pemeriksaan laboratorium. Sleman, Yogyakarta:Amara Books;2009. 3. Adhi Djuanda. Limfogranuloma venereum. Dalam : Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta : FKUI ; 2007. h. 414-7. 4. Natahusada EC, Djuanda A. Sifilis. Dalam : Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta : FKUI ; 2007. h. 393-5. 5. Mandal BK, Wilkin EGL, Dunbar EM,dkk. Lecture Note Penyakit Infeksi. Edisi vi. Jakarta ; 2008. Erlangga Medicine Series. p,188-91. 6. Unandar Budimulja, Sjaiful Fahmi Daili. Human immunodeficiency virus (HIV) dan aquired immune deficiency syndrome (AIDS). Dalam : Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta : FKUI ; 2007. h. 427-32. 7. Santoso Cornain. Infeksi oportunistik yang lazim ditemukan pada AIDS dan keganasan. Dalam : Seluk beluk AIDS yang perlu anda ketahui. Tjjokronegoro A, Djoerban Z, Matondang CS, editors. Jakarta : FKUI ; 1992. h. 458. 8. Kuswadji. Kandidosis. Dalam : Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta : FKUI ; 2007. h. 106-9. 9. Corey L, Wald A, Genital herpes. In Sexually Transmitted Disease, Holmes K.K, Mardh PA, Sparling PF, Lemon SM, Stamn WE, Piot P, etc (ed) Third edition 2000. New York:McGraw-Hill, p 285-305. 10. Greenberg I M, Silverberg Hendrikson, Silverberg Mark. Teks Atlas Kedokteran. Jilid II. Jakarta; 2005. Erlangga Medical Series.p, 366. 11. Djuanda Adhi. Hamzah Mochtar. Aisah Siti,dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid vi. Universitas Indonesia; 2010. 12. Barakbah J. HIV & AIDS pendekatan biologi molekuler klinis, dan sosial. Surabaya:Airlangga;2007.