You are on page 1of 28

Makalah PBL

Human Imunodeficiency Virus (HIV)


dan
Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Fadini Rizki Inawati 10 2009 153
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta Barat


BAB I
Pendahuluan
Sejak ditemukan kasus AIDS pertama di Amerika Serikat pada tahun 1981 hingga saat ini
penyakit ini selalu menarik perhatian dunia kedokteran maupun masyarakat luas. Hal ini
disebabkan oleh penyakit ini menyebabkan angka kematian yang tinggi dan jumlah penderita
yang meningkat dalam waktu singkat. Sejak itu pula penelitian dan pengetahuan mengenai
AIDS dan virus HIV pun berkembang dengan sangat pesat.

BAB II
Pembahasan
Anamnesis
Untuk mendapatkan informasi yang penting, terutama pada waktu menanyakan riwayat
seksual, perlu hati-hati dan dengan cara tertentu. Hal yang harus dijaga ialah kerahasiaan.
Pertanyaan diajukan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien.
Anamnesis pada pasien dengan dugaan IMS meliputi :
- Keluhan dan riwayat penyakit saat ini.
- Keadaan umum yang dirasakan
- Pengobatan yang telah diberikan, baik topikal ataupun sistemik, dengan penekanan
pada antibiotika.
- Riwayat seksual :
o Kontak seksual, baik di dalam maupun di luar pernikahan (bergantii-ganti
pasangan atau banyak kontak seksual).
o Kontak seksual dengan pasangannya setelah mengalami gejala penyakit.
o Frekuensi dan jenis kontak seksual (homo- atau heteroseksual)
o Cara melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital, anogenital)
o Apakah pasangannya juga merasakan keluhan / gejala yang sama
- Riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan IMS atau penyakit di daerah
genital lain.
- Riwayat penyakit berat lainnya
- Riwayat keluarga : pada dugaan IMS yang ditularkan lewat ibu kepada bayinya.
- Keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan komplikasi IMS, misalnya erupsi kulit,
nyeri sendi, dan pada wanita tentang nyeri perut bawah, gangguan haid, kehamilan
dan hasilnya.
- Riwayat alergi obat.
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada pasien wanita paling mudah dilakukan bila dalam posisi litotomi. Dapat
dimengerti, bila banyak wanita merasa kurang nyaman dan malu. Oleh karena itu, sangat
penting memberi penjelasan tentang apa yang akan dilakukan sebelum melakukan
pemeriksaan, sebaiknya dokter ditemani oleh seorang perawat. Pemeriksaan meliputi inspeksi
dan palpasi.
Pemeriksaan dimulai dari daerah inguinal dan sekitarnya, seperti pada pasien pria, kemudian
baru memperhatikan genital eksterna dan introitus. Bersihkan duh tubuh dengan kain kasa,
dan dengan hati-hati buka dan periksa labia mayora, kemudian labia minora. Pada saat yang
bersamaan, lakukan palpasi pada kelenjar Bartolini, lihat muara duktusnya, adakah duh
tubuh.
Setelah menjelaskan kepada pasien, baru masukan spekulum yang telah dibasahi dengan air.
Lihat ektoserviks, adakah duh tubuh. Kadang-kadang dijumpai pula benang AKDR (Alat
Kontrasepsi Dalam Rahim). Kemudian, lihat dinding vagina, adakah lesi, bagaimana
kuantitas dan kualitas duh tubuh. Uretra sebaiknya diperiksa setelah spekulum dikeluarkan.
Akhirnya, dilakukan pemeriksaan bimanual, untuk menilai ukuran, bentuk, posisi, mobilitas,
konsistensis, dan kontur uterus, serta mendeteksi kelainan pada adneksa. Raba dan
goyangkan serviks, seharusnya dalam keadaan bebas dan tidak nyeri. Dalam keadaan normal
serviks harus bebas dan tidak ada nyeri.
Pemeriksaan Penunjang
Prosedur Skrining Serologi
Strategi dalam pemilihan uji laboratorium untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV di dalam
serum manusia, didasarkan atas kriteria (i) objektif dari uji yang akan dilakukan, (ii)
sensitifitas dan spesifisitas uji yang digunakan, (iii) prevalensi infeksi HIV pada populasi
yang akan diuji. Berikut ini adalah beberapa uji serologi yang bisa digunakan untuk diagnosis
infeksi HIV :
1. Uji immuno-enzimatik (EIA)
Uji immuno-enzimatik (EIA) untuk deteksi antibodi HIV-1 dan HIV-2 dapat
menggunakan antigen lisat virus utuh, rekombinan DNA dari protein, dan peptida yang
disintesis secara kimia. Deteksi kombinasi HIV-1 dan HIV-2 juga dapat dilakukan,
berupa rekombinan DNA dari protein yang mewakili antigen envelop dan inti dari
HIV-1 dan antigen envelop HIV-2 atau menggunakan peptida sintetik atau kombinasi
protein rekombinan dan peptida sintetik. Uji immuno-enzimatik bisa dilakukan dengan
teknik tidak langsung (indirect) atau uji kompetisi.
1

2. Uji agglutinasi
Uji aglutinasi lebih mudah dilakukan dibanding EIA dan tidak membutuhkan peralatan
laboratorium khusus. Uji agglutinasi sesuai untuk pengujian spesimen dalam jumlah
banyak. Antigen digunakan secara pasif dengan mengabsorpsi-kan ke eritrosit, lateks,
gelatin, atau microbead. Uji dilakukan dengan cara mencampurkan 25 l dari 1 : 4
dilusi serum dengan 75 l suspensi partikel gelatin yang dilapisi dengan antigen HIV
yang dipurifikasi. Setelah inkkubasi selama 2 jam pada suhu ruang, hasil akan dapat
dibaca. Adanya partikel yang teragglutinasi pada dasar sumur menggambarkan hasil
yang positif, sedangkan bila terjadi endapan sedimen menggambarkan hasil yang
negatif.
1
3. Western blot
Western Blot (WB) merupakan uji yang banyak digunakan untuk konfirmasi serum
yang mengandung antibodi HIV yang memberikan hasil positif melalui uji skrining.
WB menggunakan protein virus, yang dipisahkan melalui elektroforesis gel dan
diimmobilisasi pada kertas nitroselulosa dengan cara blot. Setelah dilakukan bloking
dan pencucian, lembar nitroselulosa digunting menjadi strip. Kemudian ditambahkan
dilusi serum dan diinkubasi, yang akan menyebabkan terjadinya ikatan antibodi HIV
dengan protein HIV yang berbeda. Kemudian dilakukan tahap pencucian dan
ditambahkan human IgG yang akan berikatan dengan antibodi yang dilabel enzim, dan
selama masa inkubasi akan terjadi ikatan konjugat dengan komplek imun antigen-
antibodi. Setelah pencucian, penambahan substrat akan menhasilkan bentuk pita yang
berwarna yang menggambarkan ikatan human IgG dengan protein virus.
1
Anti HIV
Tes antibodi HIV bertujuan untuk mendeteksi dan mengukur keberadaan / kadar
imunoglobulin (IgG tipe 1-4, IgA, IgM, IgD), IgM muncul pertama kali dengan masa hidup
pendek (6 bulan), IgG, muncul kemudian dengan masa hidup lama sampai beberapa tahun,
IgA merupakan imunoglobulin yang dominan berada di kelenjar ludah, bronkus, dan bagian
tubuh yang menghasilkan mukus dan positif (+) pada pemaparan pertama. Tes antibodi dan
antigen HIV dapat dilakukan beberapa cara antara lain :
2
a) Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA), hasil + berarti terjadi ikatan antigen
dan anti bodi HIV pada serum dan berarti anti-HIV +.
2

b) Anti HIV immunoblot / western blot, merupakan pemeriksaan konfirmatif (Anti HIV
konfirmatif) setelah ELISA dinyatakan positif. Apabila anti HIV ELISA + dan Anti
HIV konfirmasi (negatif) tidak berarti positif palsu, tetapi dirujuk untuk pemantauan
terus.
2

c) Anti Env dan Anti core secara ELISA. Perubahan atau reaksi warna dan intensitasnya
pada pemeriksaan berkaitan dengan keberadaan anti HIV dalam serum.
2

d) Anti HIV-immunofluoresensi. Terjadinya fluoresensi yang terlihat dengan mikroskop
fluoresens menandakan adanya Anti HIV.
2

e) Anti HIV-radioimunopresipitasi. Adanya radioaktifitas yang tinggi pada presipitat
menandakan adanya anti-HIV.
2

f) Tes HIV recombinant neutralization assay. Merupakan tes alternatif konfirmasi,
tambahan dari ELISA dan Western blot setelah ditemukan hasil +. Penurunan
absorbance lebih dari 50% dipastikan hasil positif.
2

g) Immunoassay dengan peptide sintetik. Pemeriksaan spesifik untuk membedakan HIV-
1 dan HIV-2 dengan menggunakan polipeptida 12 asam amino dari GP 41. Tes
penetapan adanya antigen HIV (HIV-Ag), dengan cara :
2

a. Tes Inhibisi antigen HIV
b. Kultur HIV
Deteksi Antigen HIV
Strategi dalam deteksi antigen HIV dilakukan terhadap antigen p24 inti virus yang ditemukan
dalam konsentrasi tinggi pada virion dan sel yang terinfeksi. Uji konfirmasi yang
direkomendasikan adalah uji neutralisasi. Deteksi antigen bermanfaat untuk : (i) kontrol
pertumbuhan virus dalam kultur sel, (ii) penanda prognostik, (iii) uji diagnostik untuk infeksi
HIV pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi, (iv) penilaian efikasi obat antivirus.
1
Uji DNA Proviral
Limfosit yang terinfeksi HIV bisa mengandung DNA proviral dalam waktu yang lama tanpa
adanya virion yang infektif. Metode yang dapat digunakan untuk infeksi HIV dalam masa
laten adalah polymerase chain reaction (PCR). PCR cukup menjanjikan untuk menjadi uji
yang akurat dalam diagnosis dini dan penentuan prognosis infeksi HIV pada bayi yang lahir
dari ibu yang terinfeksi.
1

Diagnosis
Diagnosis Kerja
- HIV-AIDS
Definisi
AIDS atau Sindrom Kehilangan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit
yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannnya dirusak oleh virus HIV.
Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi
bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. Selain itu penderita
AIDS sering sekali menderita keganasan, khususnya sarkoma Kaposi dan limfoma yang
hanya menyerang otak.
6
Etiologi
HIV ialah retrovirus yang disebut Lymphadenopathy Associated Virus (LAV) atau Human T-
Cell Leukemia Virus III (HTLV-III) yang juga disebut Human T-Cell Lymphotrophic Virus
(retrovirus). LAV ditemukan oleh Montagnier dkk. pada tahun 1983 di Prancis, sedangkann
HTLV-III ditemukan oleh Gallo di Amerika Serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama
ini ternyata banyak ditemukan di Afrika Tengah. Sebuah penelitian pada 200 monyet hijau
Afrika, 70% dalam darahnya mengandung virus tersebut tanpa menimbulkan penyakit. Nama
lain virus tersebut ialah HIV.
6

HIV terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 terbanyak karena HIV-1. Partikel HIV terdiri atas dua
untaian RNA dalam inti protein yang dilindungi envelop lipid asal sel hospes.
6

Patogenesis
Cara penularan terutama melalui darah, cairan tubuh, dan hubungan seksual. Virus HIV
ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan sperma dan darah, sedangkan dalam jumlah
kecil ditemukan dalam air liur dan air mata.
6

HIV menginfeksi sistem imun terutama sel CD4 dan menimbulkan destruksi sel tersebut.
HIV dapat laten dalam sel imun dan dapat aktif kembali yang menimbulkan infeksi. Produksi
virus menimbulkan kematian sel dan juga limfosit yang tidak terinfeksi, defisiensi imun, dan
AIDS.
6
Sistem imun dikuasai oleh virus yang berproliferasi cepat di seluruh tubuh. Bila sel CD4
turun di bawah 100/l, infeksi oportunistik dan keganasan meningkat. Demensia HIV dapat
terjadi akibat bertambahnya virus di otak.
6

Epidemiologi
Setelah kasus dini yang ditemukan oleh Gottlieb dkk. pada musim semi tahun 1981, CDC
antara 1 juni 1981 sampai dengan September 1982 menerima laporan sejumlah 593 kasus
sarkoma Kaposi, pneumonia Pneumocystis carinii dan lain-lain infeksi oportunistik yang
membahayakan jiwa penderitanya. Penderita pada umumnya berumur antara 15-60 tahun
tanpa penyakit imunodefisiensi maupn mendapat terapi obat imunosupresi. Sejumlah 41%
atau 243 penderita telah meninggal dunia. Jumlah penderita meningkat demikian cepat
sehingga sampai bulan mei 1985 diperkirakan sudah mencapai 12.000 kasus.
Menurut laporan pada bulan September 1985, di AS kasus penyakit ini sudah mencapai
13.000. Di Eropa peningkatan kasus juga sangat cepat. Pada akhir tahun 1984 di Perancis
ditemukan 3 kasus baru per minggu. Di Jerman Barat dan Inggris angka ini 2 kasus tiap
minggu, sedangkan di Swiss dan Belanda tiap minggu ditemukan 1 kasus AIDS.
6

Penderita AIDS di negeri Barat umumnya ditemukan pada golongan masyarakat tertentu
sesuai dengan tabel 1.
6

Tabel 1. Jumlah Kumulatif Kasus AIDS / HIV (+) di Indonesia Menurut Faktor Risiko s.d. 31
Agustus 1998
No Faktor Risiko
s/d 31 Juli 1998 Agustus 1998
Jumlah
AIDS
HIV
(+)
AIDS
HIV
(+)
1. Homo/biseksual 60 35 5 0 100
2. Heteroseksual 111 392 8 15 526
3. I.U.D. 3 3 0 0 6
4. Tranfusi Darah 2 0 0 0 2
5. Hemofilia 1 1 0 0 2
6. Transmisi Perintal 3 3 0 0 6
7. Tidak Diketahui 14 78 0 10 102
Jumlah 194 512 13 25 744
2 kasus AIDS akibat transfusi darah di luar negeri.
Sumber : Direktorat Jenderal PPM & PLP, Dep Kes R.I.
Di beberapa negara Afrika Tengah, misalnya Zaire, Rwanda, dan Burundi penyakit ini
merupakan penyakit heteroseksual. Jumlah penderita pria sama dengan penderita wanita.
Jumlah kasus AIDS di berbagai negeri sampai 31 Desember 1990 sejak ditemukan AIDS,
menurut laporan WHO tercantum di tabel 2.
Tabel 2. Jumlah kasus AIDS di berbagai negeri menurut laporan WHO sejak AIDS
ditemukan sampai dengan 31 Desember 1990.
6

Negeri Asal Laporan Jumlah Kasus
Afrika 81.019
USA 154.191
Benua Amerika kecuali USA 33.420
Asia 872
Eropa 41.947
Oseania 2.582
Sumber : Weekly Epidemiological Record 66 : 1 2 (1991).
Menurut perkiraan WHO jumlah kasus AIDS jauh lebih banyak. Jumlah ini sampai 31
Desember 1990 ialah 800.000 kasus dewasa dan 400.000 kasus anak. Di samping ini masih
terdapat 8 10 juta orang yang seropositif HIV tanpa gejala klinis. Menurut perkiraan para
pakar epidemiologi WHO, sebagian besar kasus seropositif WHO ini berada di benua
Afrika.
6

Di Indonesia jumlah AIDS dan seropositif HIV sampai Agustus 1998 masing-masing 207
sampai 537 kasus. Dengan perincian dapat dilihat pada tabel 3, 4, dan 5.
6

Pada waktu ini keadaan tentu sudah banyak berubah. Kasus-kasus HIV dan AIDS sudah
sangat meningkat. Hal ini disebabkan oleh deteksi yang makin canggih termasuk diagnosis
laboratorik yang lebih mudah dilakukan di daerah, dan yang terpenting ada kesadaran
penderita dan para pelayan kesehatan.
6

Menurut catatan hingga 31 Maret 2006 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di seluruh
Indonesia ialah HIV 4332, AIDS 5822, semuanya 10.154. Kasus HIV/AIDS yang terbanyak
di DKI Jakarta 3601, peringkat II Papua 1633, peringkat III Jawa Timur 1031. Di seluruh
dunia lebih dari 40 juta orang terkena AIDS pada tahun 2004.
6

Gejala Klinis dan Kriteria Diagnosis
Gejala penderita AIDS dapat ringan sampai berat. Di AS ditemukan ratusan ribu orang yang
dalam darahnya mengandung virus AIDS tanpa gejala klinis (carrier). Pembagian tingkat
klinis penyakit infeksi HIV. Dibagi sebagai berikut (ceramah AIDS Zubairi Djoerban, di
BLKM Departemen Kesehatan RI, 19 Januari 1994).
6

I. Tingkat klinis 1 (asimptomatik / Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP))
1. Tanpa gejala sama sekali.
2. LGP.
Pada tingkat ini penderita belum mengalami kelainan dan dapat melakukan aktivitas
normal.
II. Tingkat klinis 2 (dini)
1. Penurunan berat badan kurang dari 10%.
2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seborok, prurigo,
onikomikosis, ulkus pada mulut yang berulang dan keilitis angularis.
3. Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir.
4. Infeksi saluran nafas bagian atas berulang, misalnya sinusitis.
Pada tingkat ini penderita sudah menunjukan gejala, tetapi aktivitas tetap normal.
III. Tingkat klinis 3 (menengah)
1. Penurunan berat badan lebih dari 10%.
2. Diare kronik lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui sebabnya.
3. Demam yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang timbul
maupun terus menerus.
4. Kandidosis mulut.
5. Bercak putih berambut di mulut (Hairy leukoplakia).
6. Tuberkulosis paru setahun terakhir.
7. Infeksi bakterial berat, misalnya pneumonia.
IV. Tingkat klinis 4 (lanjut)
1. Badan menjadi kurus HIV wasting syndrome, yaitu berat badan turun lebih dari 10%
dan diare kronik tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan atau kelemahan
kronik dan demam tanpa diketahui sebabnya lebih dari 1 bulan.
2. Pnemonia Pneumocystis carinii.
3. Toksoplasmosis otak.
4. Kriptokokosis dengan diare lebih dari 1 bulan.
5. Kriptokokosis di luar paru.
6. Infeksi sitomegalo virus pada organ tubuh kecuali di limpa, hati, atau kelenjar getah
bening.
7. Infeksi virus herpes simpleks di mukokutan lebih dari 1 bulan atau di alat dalam
(viseral) lamanya tidak dibatasi.
8. Mikosis apa saja (misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis) yang endemik,
menyerang banyak organ tubuh (diseminata).
9. Kandidosis esofagus, trakea, bronkus, atau paru.
10. Mikobakteriosis atipik diseminata.
11. Septikemia salmonella non tifoid.
12. Tuberkulosis di luar paru.
13. Limfoma.
14. Sarkoma Kaposi.
15. Ensefalopati HIV, sesuai kriteria CDC, yaitu gangguan kognitif atau disfungsi
motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari, progresif sesudah beberapa minggu
atau bulan, tanpa dapat ditemukan penyebab lain kecuali HIV.
Setiap tingkat klinis kemudian dibagi lagi bergantung pada jumlah sel CD4 atau jumlah
limfosit total. Usulan staging WHO tersebut pada prinsipnya berdasarkan kriteria klinis
tersebut di atas. Kriteria klinis ini diajukan oleh penulis buku Membidik AIDS, Iktiar
Memahami HIV dan ODHA halaman 133-135, yang dasarnya usulan sesudah WHO
mengadakan pertemuan di Jenewa bulan Juni 1989 dan bulan Februari 1990. Usulan tersebut
berdasarkan penelitian terhadap 907 penderita seropositif HIV dari 26 pusat perawatan yang
berasal dari 5 benua. Data-data ini dikutip oleh penulis dengan sedikit perubahan dari buku
tersebut. Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu diagnosis staging
adalah sebagai berikut : jumlah penurunan CD4, penurunan rasio CD4/CD8 (nilai normal 1,1
: 1,8), anemia, leukopenia, trombositopenia, atau limfositopenia, hipergamaglobulinemia,
penurunan respons limfosit terhadap mitogen dan antigen, alergi terhadap uji kulit tipe lambat
dan peningkatan kompleks imun dalam darah.
6

Amstrong mengajukan kriteria AIDS berdasarkan faktor predisposisi dan menderita salah
satu penyakit infeksi yang tercantum dalam tabel 6 atau lebih penyakit yang sesuai dengan
tabel 7 dan yang menderita salah satu keganasan sesuai dengan tabel 8.
6

Selain gejala klinis dan laboratorium ada golongan yang ditemukan termasuk high-risk group
(tabel 1). Menurut CDC orang Haiti sudah dapat digolongkan berisiko tinggi. Bila sindrom
ditemukan pada penderita yang termasuk golongan berisiko tinggi, maka akan memperkuat
diagnosis.
6

Pembantu Diagnosis
Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi HIV, yang rutin dikerjakan di
Kelompok Studi Khusus AIDS (Pokdisus AIDS) Rumah Sakit Umum Dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) ialah pemeriksaan anti-HIV yang baru reaktif setelah 12 minggu
sejak infeksi. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan 3 jenis Elisa yang berbeda. Bila
hasilnya non-reaktif tetapi klinis diduga menderita AIDS perlu pemeriksaan lebih lanjut
untuk konfirmasi dengan metode Western blot.
6

Penatalaksanaan
Bila dahulu pengobatan HIV/AIDS sangat tidak memberikan banyak harapan, pada waktu
sekarang sudah dapat memberikan harapan khususnya pada penderita HIV dan awal tingkat
klinis AIDS. Semua infeksi oportunistik pada penderita AIDS umumnya diobati terutama
bila dimulai sedini mungkin.
6

Mengenal orang dengan HIV-AIDS (ODHA) sendiri pengobatan kombinasi penghambat
reverse transcriptase dan penghambat protease. Beberapa penelitian terakhir membuktikan
bahwa obat-obat antivirus yaitu indinavir, retrovir, dan lamivudin yang diberikan sebagai
kombinasi dapat meningkatkan CD4 dan menghilangkan HIV pada 24/26 sampai di tingkat
unmeasurable genes of HIV. Namun setelah pengobatan beberapa waktu, mungkin HIV akan
bermutasi menjadi resisten dan toksisitas obat akan muncul sehingga perlu obat baru. Obat-
obat yang sedang diteliti adalah antisense therapy, gene therapy dengan penghambat HIV
yang ditujukan ke CD4 dan sel induk (stem cell). Penelitian lain tentang cara pengobatan dan
obat baru anti HIV masih banyak dibutuhkan oleh karena penyakit ini banyak menelan jiwa
penderita dan sangat merugikan sosio-ekonomi masyarakat luas terutama pada negara
berkembang.
6
Di RSCM Jakarta pengobatan HIV/AIDS dilakukan oleh Pokdisus RSCM. Obat yang
digunakan ialah kombinasi 3 obat antiretroviral, yakni :
1. Zidovudin (AZT)
Dosis : 500 600 mg sehari per os.
2. Lamivudin (3TC)
Dosis : 150 mg sehari dua kali
3. Neviropin
Dosis : 200 mg sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg sehari dua kali.
Sedangkan penatalaksanaan yang dilakukan di UPIPI RSU Dr. Soetomo Surabaya meliputi :
1. Terappi antiretroviral
2. Terapi infeksi sekunder atau infeksi oportunistik serta malignansi
3. Dukungan nutri berbasis makronutrien dan mikronutrien
4. Konseling terhadap penderita maupun keluarga
5. Membudayakan pola hidup sehat dan senam
12

Komplikasi
Infeksi Oportunistik yang Lazim Ditemukan pada AIDS dan Keganasan
Sarkoma Kaposi


Pendahuluan
Kaposi pada tahun 1872 melaporkan lima kasus tumor yang lazim, yang terutama mengenai
kulit ekstremias bawah dan bersifat multifokal dan simetris. Sejak laporan tersebut para ahli
terkesan akan perjalanan penyakit ini yang bersifat timbul dan hilang, sehingga mereka
berfikir, mungkin bukan suatu neoplasma melainkan penyakit infeksi. Kelainan patologik
awal yang berupa proses radang yang menyolok dan disertai unsur sel berbentuk kumparan,
menyokong dugaan tersebut. Sekarang telah diterima secara umum bahwa sarkoma Kaposi
adalah suatu neoplasma yang perangai histologiknya bervariasi bergantung pada lamanya
perjalanan penyakit dan perkembangannya dipengaruhi oleh faktor genetik dan reaksi
kekebalan tuan rumah. Telah dikumpulkan bukti-bukti bahwa sarkoma Kaposi
berhubungan dengan virus. Di afrika distribusi penyakit ini menyerupai limfoma Burkitt yang
berhubungan dengan status Carrie virus Epstein-Barr.
7
Dugaan akan hubungannya dengan faktor virus juga dilihat dari adanya, walaupun jarang,
kemungkinan regresi spontan, yang dikaitkan dengan reaksi imunologik pada tumor
eksperimental yang diinduksi dengan virus. Di samping itu, perkembangan penyakit yang
bersifat multifokal tanpa tumor primer yang jelas juga cenderung berhubungan dengan
infeksi virus. Pada sel tumor dapat ditemukan antigen dan DNA virus CMV (cytomegalo
virus). Selanjutnya diketahui juga bahwa sarkoma kaposi dapat ditemukan pada pria
homoseks yang dikenal banyak terkena infeksi virus seperti virus hepatitis dan HIV.
Gambaran Klinis
Sarkoma Kaposi mempunyai gambaran geografik dan distribusi seks yang khas. Sekitar 90%
terjadi pada pria. Walaupun sangat jarang pada sebagian besar tempat di dunia, namun lebih
sering ditemukan di Polandia, Rusia, Italia, dan daerah ekuator pusat, Afrika. Di Afrika
tengah terdapat endemik dan mencapai 9% dari semua keganasan. Penyakit ini menunjukan
dua bentuk klinis, yaitu yang berjangkit di Afrika dan yang berjangkit di bagian lain dunia.
Pada bentuk yang terakhir, penyakit terutama timbul pada akhir usia dewasa (puncak insidens
pada dekade keenam dan ketujuh) dan berhubungan dengan keganasan lain atau kelainan
imunologik. Sebagai contoh dilaporkan bahwa sepertiga dari penderita sarkoma kaposi
kemudian terjangkit oleh keganasan lain, dan separuh dari neoplasma tersebut adalah
mieloma multipel. Sarkoma Kaposi ditemukan juga berhubungan dengan aplasia eritrosit,
anemia hemolitik autoimun dan penurunan reaksi kekebalan pada transplantasi organ. Akhir-
akhir ini secara khusus diperhatikan hubungannya dengan AIDS.
Penyakit ini berawal dengan timbulnya lesi multipel pada kulit, biasanya pada bagian distal
ekstremitas bawah. Kurang banyak ditemukan pada ekstremitas atas dan jarang ditemukan
pada organ dalam (viscera) tanpa kelainan pada kulit. Lesi permulaan berupa nodul biru-
merah, yang sering disertai sembab ekstremitas. Hal ini dianggap sebagai petunjuk
terlibatnya jaringan lunak yang lebih dalam atau jaringan limfatik. Lesi lambat laun
bertambah besar dan bertambah banyak, menyebar ke sekitarnya dan bergabung menjadi
pertumbuhan plak atau polipoid yang menyerupai granuloma piogenik. Kadang-kadang lesi
mengalami ulserasi. Lesi yang dini mungkin mengalami regresi pada beberapa kasus, namun
yang lain dapat berkembang, sehingga dapat ditemukan berbagai stadium lesi; perjalanan
penyakit berlangsung lama.
Berbeda dengan bentuk tersebut di atas, sarkoma Kaposi yang terjadi di Afrika adalah khas
penyakit pada usia lebih muda. Tidak dijumpai hubungan kuat dengan keganasan
limforetikular, hanya dilaporkan 1% di Uganda. Puncak insidens pada dekade keempat.
Walaupun kebanyakan penderita mengalami lesi pada ekstremitas bawah, namun dalam
perjalanan penyakit lebih cenderung terjangkitnya pada organ dalam (viscera) dan kelenjar
getah bening. Pada anak-anak Afrika yang muda biasanya kelenjar getah bening terjangkit
secara lokal atau secara umum. Perjalanan penyakit lebih cepat dan berat (fulminant) dan
lebih cenderung menjangkiti organ dalam.
Gambaran Histologik
Stadium dini sarkoma Kaposi sering sukar dibedakan dari jaringan granulasi. Lesi-lesi dini
terdiri atas banyak pembuluh kapiler yang berproliferasi pada bagian tengah dan dalam
daripada dermis. Di sekitar kapiler ditemukan proliferasi sel kumparan yang tidak matanng
dan sel-sel epiteloid. Sel-sel kumparan perivaskular ini mewakili unsur pertama perubahan
neoplastik tetapi seringkali terselubung oleh reaksi radang dengan sel-sel polimorf yang
menyolok, ekstravasasi eritrosit, dan deposit hemosiderin dalam stroma yang sembab.
Apabila lesi berkembang maka bertambah selular dan komponen radang menghilang. Pada
stadium ini lesi terdiri atas kombinasi antara daerah sel kumparan dan daerah yang bercorak
angioma yang terletak lebih perifer.
Daerah sel kumparan bersifat diagnostik untuk sarkoma Kaposi yang matang dan menyerupai
fibrosarkoma kecuali adanya rongga-rongga vaskular sempit yang berisi eritrosit dan tampak
lumen yang dilapisi endotel. Daerah bercorak angioma menyerupai hemangioma dan
mengandung kanal-kanal vaskular yang jelas dilapisi oleh satu lapis sel endotel dan
dikelilingi oleh sel mirip fibroblas. Deposit metastatik menyerupai lesi matang yang terlihat
pada kulit tetapi umumnya tidak menunjukan deposit hemosiderin yang menyolok. Kadang-
kadang terjadi regresi lesi dan dianggap karena perubahan obliteratif pembuluh yang besar.
Semua lesi sarkoma Kaposi mempunyai potensi untuk tumbuh progresif dan mengadakan
metastasis dan tumor-tumor yang secara histologik berdiferensiasi baik dapat ditemukan pada
tempat-tempat metastatik. Pada beberapa kasus, tumor menunjukan diferensiasi histologik
dan berakhir dengan tumor yang menyerupai angiosarkoma dan fibrosarkoma berderajat
keganasan tinggi. Pemeriksaan ultrastruktur menetapkan asal vaskular dari sarkoma Kaposi
dan menemukan tiga jenis sel: endotel, peritel, dan fibroblas. Sel endotel membentuk rongga
vaskular dan mengandung hanya sedikit lisosom dan feritin. Sel peritel yang mempunyai
lebih banyak lisosom dan feritin tampak bersifat fagositik. Di samping itu terdapat transisi
antara endotel dan peritel, yang mungkin menunjukan bahwa tumor berasal dari sel peritel
primitif yang masih mempertahankan kemampuannya untuk berdiferensiasi ke arah sel
endotel. Demikian pula, ekstravasasi eritrosit merupakan stimulus primer untuk fagositosis
dan mungkin berperan pada transformasi sel peritel ke arah fibroblas yang memproduksi
kolagen. Di samping itu dalam tumor ditemukan miofibroblas. Profil enzim yang ditemukan:
fosfatase asam positif tetapi fosfatase lindi negatif, menyerupai endotel limfatik normal;
walaupun demikian hal semacam ini juga dapat ditemukan pada tumor yang berasal dari
unsur mesenkim.
7

Kandidosis

Pendahuluan
Infeksi Candida pertama kali didapatkan di dalam mulut sebagai thrush yang dilaporkan oleh
Francois Valleix (1836). Langernach (1839) menemukan jamur penyebab thrush, kemudian
berhout (1923) memberi nama organisme tersebut sebagai Kandida.
Definisi
Kandidosis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut disebabkan oleh spesies
Candida, biasanya oleh spesies Candida albicans dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit,
kuku, bronki, atau paru, kadang-kadang dapat menyebabkan septikemia, endokarditis, atau
meningitis.
Sinonim
Kandidiasis, moniliasis.
Epidemiologi
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik laki-laki maupun
perempuan. Jamur penyebabnya terdapat pada orang sehat sebagai saprofit. Gambaran
klinisnya bermacam-macam sehingga tidak diketahui data-data penyebarannya dengan tepat.
Etiologi
Yang tersering sebagai penyebab ialah Candida albicans yang dapat diisolasi dari kulit,
mulut, selaput mukosa vagina, dan feses orang normal. Sebagai penyebab endokarditis
kandidosis ialah C. parapsitosis dan penyebab kandidosis septikemia adalah C. tropicalis.
Klasifikasi
Berdasarkan tempat yang terkena Conant dkk. (1971), membaginya sebagai berikut :
1. Kandidosis selaput Lendir :
a. Kandidosis oral (thrush)
b. Perleche
c. Vulvovaginitis
d. Balanitis atau balanopostitis
e. Kandidosis mukokutan kronik
f. Kandidosis bronkopulmonar dan paru
2. Kandidosis kutis :
a. Lokalisata :
i. Daerah intertriginosa
ii. Daerah perianal
b. Generalisata
c. Paronikia dan onikomikosis
d. Kandidosis kutis granulomatosa
3. Kandidosis sistemik :
a. Endokarditis
b. Meningitis
c. Pielonefritis
d. Septikemia
4. Reaksi id. (kandidid)
Patogenesis
Infeksi kandida dapat terjadi, apabila ada faktor predisposisi baik endogen maupun eksogen.
Faktor endogen :
1) Perubahan fisiologik :
a. Kehamilan, karena perubahan pH dalam vagina
b. Kegemukan, karena banyak keringat
c. Debilitas
d. Latrogenik
e. Endokrinopati, gangguan gula darah kulit.
f. Penyakit kronik : tuberkulosis, lupus eritematosus dengan keadaan umum
yang buruk.
2) Umur : orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena status imunologiknya
tidak sempurna.
3) Imunologik : penyakit genetik
Faktor eksogen :
1) Iklim, panas, dan kelembaban menyebabkan perspirasi meningkat.
2) Kebersihan kulit.
3) Kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan
memudahkan masuknya jamur.
4) Kontak dengan penderita, misalnya pada thrush, balanopostitis.
Gejala Klinis
I. Kandidosis Selaput Lendir
a. Thrush
Biasanya mengenai bayi, tampak pseudomembran putih coklat muda kelabu yang
menutup lidah, palatum mole, pipi bagian dalam, dan permukaan rongga mulut
yang lain. Lesi dapat terpisah-pisah, dan tampak seperti kepala susu pada rongga
mulut. Bila pseudomembran terlepas dari dasarnya tampak daerah yang basah dan
merah.
Pada glositis kronik, lidah tampak halus dengan papila atrofik atau lesi berwarna
putih di tepi atau di bawah permukaan lidah. Bercak putih ini tidak tampak jelas
bila penderita sering merokok.
b. Perleche
Lesi berupa fisur pada sudut mulut; lesi ini mengalami maserasi, erosi, basah, dan
dasarnya eritematosa. Faktor predisposisinya ialah defisiensi riboflavin.
c. Vulvovaginitis
Biasanya sering terdapat pada penderita diabetes melitus karena kadar gula darah
dan urin yang tinggi dan pada wanita hamil karena penimbunan glikogen dalam
epitel vagina.
Keluhan utama ialah gatal di daerah vulva. Pada yang berat terdapat pula rasa
panas, nyeri sesudah miksi, dan dispaneuria.
Pada pemeriksaan yang ringan tampak hiperemia di labia menora, introitis vagina,
dan vagina terutama 1/3 bagian bawah. Sering pula terdapat kelainan yang khas
ialah bercak-bercak putih kekuningan.
Pada kelainan yang berat juga terdapat edema pada labia menora dan ulkus-ulkus
yang dangkal pada labia menora dan di sekitar introitus vaginal.
Fluor albus pada kandidosis vagina berwarna kekuningan. Tanda yang khas ialah
disertai gumpalan-gumpalan sebagai kepala susu berwarna putih kekuningan.
Gumpalan tersebut berasal dari massa yang terlepas dari dinding vulva atau vagina
terdiri atas bahan nekrotik, sel-sel epitel, dan jamur.
d. Balanitis atau balanopostitis
Penderita mendapat infeksi karena kontak seksual dengan wanitanya yang
menderita vulvovaginitis, lesi berupa erosi, pustula dengan dindingnya yang tipis,
terdapat pada glans penis dan sulkus koronarius glandis.
e. Kandidosis mukokutan kronik
Penyakit ini timbul karena adanya kekurangan fungsi leukosit atau sistem
hormonal, biasanya terdapat pada penderita dengan bermacam-macam defisiensi
yang bersifat genetik, umumnya terdapat pada anak-anak. Gambaran klinisnya
mirip penderita dengan defek poliendokrin.
II. Kandidosis Kutis
a. Kandidosis intertriginosa
Lasi di daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara
jari tangan atau kaki, glans penis, dan umbilikus, berupa bercak yang berbatas
tegas, bersisik, basah, dan eritematosa.
Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil
atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah erosif, dengan pinggir yang kasar
dan berkembang seperti lesi primer.
b. Kandidosis perianal
Lesi berupa masorasi seperti infeksi dermatofit tipe basah. Penyakit ini
menimbulkan pruritus ani.
c. Kandidosis kutis generalisata
Lesi terdapat pada glabrous skin, biasanya juga di lipat payudara, intergluteal, dan
umbilikus. Sering disertai glositis, stomatitis, dan paronikia.
Lesi berupa ekzematois, dengan vesikel-vesikel dan pustul-pustul. Penyakit ini
sering terdapat pada bayi, mungkin karena ibunya menderita kandidosis vagina
atau mungkin karena gangguan imunologik.
d. Paronikia dan onikomikosis
Sering diderita oleh orang-orang yang pekerjaanya berhubungan dengan air, bentuk
ini tersering didapat. Lesi berupa kemerahan, pembengkakan yang tidak bernanah,
kuku menjadi tebal, mengeras dan berlekuk-lekuk, kadang-kadang berwarna
kecoklatan, tidak rapuh, tetap berkilat dan tidak terdapat sisa jaringan di bawah
kuku seperti pada tinea unguium.
e. Diaper-rash
Sering terdapat pada bayi yang popoknya selalu basah dan jarang diganti yang
dapat menimbulkan dermatitis iritan, juga sering diderita neonatus sebagai gejala
sisa dermatitis oral dan perianal.
f. Kandidosis granulomatosa
Houser dan Rothman melaporkan bahwa penyakit ini sering menyerang anak-anak,
lesi berupa papul kemerahan tertutup krusta tebal berwarna kuning kecoklatan dan
melekat erat pada dasarnya. Krusta ini dapat menimbulkan seperti tanduk
sepanjang 2 cm, lokalisasinya sering terdapat di muka, kepala, kuku, badan,
tungkai, dan farings.
III. Kandidosis Sistemik
a. Endokarditis
Sering terdapat pada penderita morfinis sebagai akibat komplikasi penyuntikan
yang dilakukan sendiri, juga dapat diderita oleh penderita sesudah operasi jantung.
b. Meningitis
Terjadi karena penyebaran hematogen jamur, gejalanya sama dengan meningitis
tuberkulosis atau karena bakteri lain.
IV. Reaksi id (Kandidid)
Reaksi terjadi karena adanya metabolit kandida, klinisnya berupa vesikel-vesikel yang
bergerombol, terdapat pada sela jari tangan atau bagian badan yang lain, mirip
dermatofitid.
Di tempat tersebut tidak ada elemen jamur. Bila lesi kandidosis diobati, kandidid akan
menyembuh. Jika dilakukan uji kulit dengan kandidin (antigen kandida) memberi hasil
positif.
8

Herpes Genital

Etiologi
Herpes genitalis disebabkan oleh HSV atau herpes virus hominis (HVH), yang
merupakan anggota dari famili herpesviridae. Adapun tipe-tipe dari HSV :
1. Herpes simplex virus tipe I : pada umunya menyebabkan lesi atau luka pada sekitar
wajah, bibir, mukosa mulut, dan leher.
2. Herpes simplex virus tipe II : umumnya menyebabkan lesi pada genital dan sekitarnya
(bokong, daerah anal dan paha).
Herpes simplex virus tergolong dalam famili herpes virus, selain HSV yang juga
termasuk dalam golongan ini adalah Epstein Barr (mono) dan varisela zoster yang
menyebabkan herpes zoster dan varicella. Sebagian besar kasus herpes genitalis disebabkan
oleh HSV-2, namun tidak menutup kemungkinan HSV-1 menyebabkan kelainan yang sama.
Pada umumnya disebabkan oleh HSV-2 yang penularannya secara utama melalui
vaginal atau anal seks. Beberapa tahun ini, HSV-1 telah lebih sering juga menyebabkan
herpes genital. HSV-1 genital menyebar lewat oral seks yang memiliki cold sore pada mulut
atau bibir, tetapi beberapa kasus dihasilkan dari vaginal atau anal seks.
Epidimiologi
Prevalensi anti bodi dari HSV-1 pada sebuah populasi bergantung pada faktor-faktor
seperti negara, kelas sosial ekonomi dan usia. HSV-1 umumnya ditemukan pada daerah oral
pada masa kanak-kanak, terlebih lagi pada kondisi sosial ekonomi terbelakang.
Kebiasaan, orientasi seksual dan gender mempengaruhi HSV-2. HSV-2 prevalensinya
lebih rendah dibanding HSV-1 dan lebih sering ditemukan pada usia dewasa yang terjadi
karena kontak seksual. Prevalensi HSV-2 pada usia dewasa meningkat dan secara signifikan
lebih tinggi Amerika Serikat dari pada Eropa dan kelompok etnik kulit hitam dibanding kulit
putih. Seroprevalensi HSV-2 adalah 5 % pada populasi wanita secara umum di inggris, tetapi
mencapai 80% pada wanita Afro-Amerika yang berusia antara 60-69 tahun di USA.
Herpes genital mengalami peningkatan antara awal tahun 1960-an dan 1990-an. Di
inggris laporan pasien dengan herpes genital pada klinik PMS meningkat enam kali lipat
antara tahun 1972-1994. Kunjungan awal pada dokter yang dilakukan oleh pasien di Amerika
Serikat untuk episode pertama dari herpes genital meningkat sepuluh kali lipat mulai dari
16.986 pasien di tahun 1970 menjadi 160.000 di tahun 1995 per 100.000 pasien yang
berkunjung.
Disamping itu lebih banyaknya golongan wanita dibandingkan pria disebabkan oleh
anatomi alat genital (permukaan mukosa lebih luas pada wanita), seringnya rekurensi pada
pria dan lebih ringannya gejala pada pria. Walaupun demikian, dari jumlah tersebut di atas
hanya 9% yang menyadari akan penyakitnya.
8
HSV-2 juga kadang-kadang menyebabkan kelainan oral, diduga karena meningkatnya
kasus hubungan seks oral. Jarang didapatkan kelainan oral karena VHS-2 tanpa infeksi
genital. Di Indonesia, sampai saat ini belum ada angka yang pasti, akan tetapi dari 13 RS
pendidikan Herpes genitalis merupakan PMS (Penyakit Menular Seksual) dengan gejala
ulkus genital yang paling sering dijumpai.
Patofisiologi
Herpes genital adalah suatu infeksi menular seksual yang sering terjadi, disebabkan
oleh virus herpes simpleks. Herpes genitalia merupakan penyebab paling sering terjadinya
ulkus genital. Dari dua subtipe, HVS-2 merupakan penyebab penyakit herpes genital
tersering. HVS-1, menyebabkan penyakit herpes labialis, menyebabkan 15-30% infeksi
genitalis. Virus dapat menyebar melalui kontak oral atau genital. Jangkitan pertama terjadi
3hari sampai 2 minggu setelah pajanan. Setelah infeksi primer virus menjadi laten pada
ganglia sensorik sakralis. Pelepasan virus dapat terjadi meskipun lesi tidak ada.
Gejala klinis
Infeksi awal dari 63% HSV-2 dan 37% HSV-1 adalah asimptomatik. Simptom dari
infeksi awal (saat inisial episode berlangsung pada saat infeksi awal) simptom khas muncul
antara 3 hingga 9 hari setelah infeksi, meskipun infeksi asimptomatik berlangsung perlahan
dalam tahun pertama setelah diagnosa di lakukan pada sekitar 15% kasus HSV-2. Inisial
episode yang juga merupakan infeksi primer dapat berlangsung menjadi lebih berat. Infeksi
HSV-1 dan HSV-2 agak susah dibedakan.
Tanda utama dari genital herpes adalah luka di sekitar vagina, penis, atau di daerah
anus. Kadang-kadang luka dari herpes genital muncul di skrotum, bokong atau paha. Luka
dapat muncul sekitar 4-7 hari setelah infeksi.(6,15)
Gejala dari herpes disebut juga outbreaks, muncul dalam dua minggu setelah orang
terinfeksi dan dapat saja berlangsung untuk beberapa minggu. Adapun gejalanya sebagai
berikut :
Nyeri dan disuria
Uretral dan vaginal discharge
Gejala sistemik (malaise, demam, mialgia, sakit kepala)
Limfadenopati yang nyeri pada daerah inguinal
Nyeri pada rektum, tenesmus

Tanda :
Eritem, vesikel, pustul, ulserasi multipel, erosi, lesi dengan krusta tergantung pada
tingkat infeksi.
Limfadenopati inguinal
Faringitis
Cervisitis
a. Herpes genital primer
Infeksi primer biasanya terjadi seminggu setelah hubungan seksual (termasuk
hubungan oral atau anal). Tetapi lebih banyak terjadi setelah interval yang lama dan biasanya
setengah dari kasus tidak menampakkan gejala.
Erupsi dapat didahului dengan gejala prodormal, yang menyebabkan salah diagnosis
sebagai influenza. Lesi berupa papul kecil dengan dasar eritem dan berkembang menjadi
vesikel dan cepat membentuk erosi superfisial atau ulkus yang tidak nyeri, lebih sering pada
glans penis, preputium, dan frenulum, korpus penis lebih jarang terlihat.(1)
b. Herpes genital rekuren
Setelah terjadinya infeksi primer klinis atau subklinis, pada suatu waktu bila ada
faktor pencetus, virus akan menjalani reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah
lagi rekuren, pada saat itu di dalam hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan
yang timbul dan gejala tidak seberat infeksi primer.
Faktor pencetus antara lain: trauma, koitus yang berlebihan, demam, gangguan
pencernaan, kelelahan, makanan yang merangsang, alkohol, dan beberapa kasus sukar
diketahui penyebabnya. Pada sebagian besar orang, virus dapat menjadi aktif dan
menyebabkan outbreaks beberapa kali dalam setahun. HSV berdiam dalam sel saraf di tubuh
kita, ketika virus terpicu untuk aktif, maka akan bergerak dari saraf ke kulit kita. Lalu
memperbanyak diri dan dapat timbul luka di tempat terjadinya outbreaks (1,4,12).
Mengenai gambaran klinis dari herpes progenitalis : gejaia klinis herpes progenital
dapat ringan sampai berat tergantung dari stadium penyakit dan imunitas dari pejamu.
Stadium penyakit meliputi :
Infeksi primer - stadium laten - replikasi virus - stadium rekuren
Manifestasi klinik
Manifestasi klinis dari infeksi HSV tergantung pada tempat infeksi, dan status
imunitas host. Infeksi primer dengan HSV berkembang pada orang yang belum punya
kekebalan sebelumnya terhadap HSV-1 atau HSV -2, yang biasanya menjadi lebih berat,
dengan gejala dan tanda sistemik dan sering menyebabkan komplikasi.
10
Berbagai macam manifestasi klinis:
1. infeksi oro-fasial
2. infeksi genital
3. infeksi kulit lainnya
4. infeksi ocular
5. kelainan neurologist
6. penurunan imunitas
7. herpes neonatal
Pencegahan
Berbagai cara yang dapat ditempuh untuk mengurangi penularan penyakit.
1. Kontak seksual harus dihindari dengan orang yang diketahui menderita AIDS dan orang
yang sering menggunakan obat bius secara intravena.
2. Mitra seksual multipel atau hubungan seksual dengan orang yang mempunyai banyak
teman kencan seksual, memberikan kemungkinan lebih besar mendapat AIDS.
3. Cara hubungan seksual yang dapat merusak selaput lendir rektal, dapat memperbesar
kemungkinan mendapat AIDS. Sanggama anal pasif yang pernah dilaporkan pada
beberapa penelitian menunjukan korelasi tersebut. Walaupun belum terbukti, kondom
dianggap salah satu untuk menghindari penyakit kelamin, cara ini masih merupakan
anjuran.
4. Kasus AIDS pada orang yang menggunakan obat bius intravena dapat dikurangi dengan
cara memberantas kebiasaan buruk tersebut dan melarang penggunaan jarum suntik
bersama.
5. Semua orang yang tergolong berisiko tinggi AIDS seharusnya tidak menjadi donor. Di AS
soal ini sudah dipecahkan dengan adanya penentuan zat anti-AIDS dalam darah melalui
cara Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA). Di RSCM Divisi Hematologi
Departemen Penyakit Dalam uji ini sudah dapat dikerjakan.
6. Para dokter harus ketat mengenai indikasi medis transfusi darah autolog yang dianjurkan
untuk dipakai.
Prognosis
Sepuluh tahun setelah infeksi HIV 50% penderita mengalami AIDS. Prognosis AIDS buruk
karena HIV menginfeksi sistem imun terutama sel CD4 dan akan menimbulkan destruksi sel
tersebut, akibatnya banyak sekali penyakit yang dapat menyertainya. Di Rumah Sakit Kanker
Dharmais Jakarta hasil penelitian pada tahun 2005 kematian berjumlah 34% pada tahun I.
6


Diagnosis Banding
- Limfogranuloma Venereum
Definisi
Limfogranuloma venereum (L.G.V.) ialah penyakit venerik yang disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang, bentuk tersering ialah sindrom inguinal.
Sindrom tersebut berupa limfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar getah bening
inguinal medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala konstitusi, kemudian
akan mengalami perlunakan yang tak serentak.
3

Sinonim
L.G.V. disebut juga limfopatia venereum yang dilukiskan pertama kali oleh Nicolas, Durand,
dan Favre pada tahun 1913, karena itu juga disebut penyakit Nicolas-Favre.
3

Etiologi
Penyebabnya ialah Chlamydia trachomatis. Penyakit yang segolongan ialah psitakosis,
trakoma, dan inclusion conjunctivitis.
3
Epidemiologi
Penyakit ini terutama terdapat di negeri tropik dan subtropik, penderita pria pada sindrom
inguinal lebih banyakk daripada wanita, sebenarnya hal itu disebabkan karena perbedaan
patogenesis yang akan diterangkan kemudian. Kini penyakit ini jarang ditemukan.
3

Patogenesis dan Gejala Klinis
Masa tunas penyakit ini ialah 1-4 minggu. Gejala konstitusi timbul sebelum penyakitnya
mulai dan biasanya menetap selama sindrom inguinal. Gejala tersebut berupa malese, nyeri
kepala, artralgia, anoreksia, nausea, dan demam.
3

Gambaran klinisnya dapat dibagi menjadi bentuk dini, yang terdiri atas afek primer serta
sindrom inguinal, dan bentuk lanjut yang terdiri atas sindrom genital, anorektal, dan uretral.
Waktu terjadi afek primer hingga sindrom inguinal 3-6 minggu, sedangkan dari bentuk dini
hingga bentuk lanjut satu tahun hingga beberapa tahun.
3

Afek Primer
Afek primer berbentuk tak khas dan tak nyeri, dapat berupa erosi, papul miliar, vesikel,
pustul, dan ulkus. Umumnya solitar dan cepat hilang karena itu penderita biasanya tidak
datang berobat pada waktu timbul afek primer, tetapi pada waktu terjadi sindrom inguinal.
3
Pada pria umumnya afek primer berlokasi di genitalia eksterna, terutama di sulkus
koronarius, dapat pula di uretra meskipun sangat jarang. Pada wanita biasanya afek primer
tidak terdapat pada genitalia eksterna, tetapi pada vagina bagian dalam dan serviks.
3

Sindrom Inguinal
Sindrom inguinal merupakan sindrom yang tersering dijumpai karena itu akan diuraikan
secara luas. Sindrom tersebut terjadi pada pria, jika afek primernya di genitalia eksterna,
umumnya unilateral, kira-kira 80%. Pada wanita terjadi, jika afek primernya pada genitalia
eksterna dan vagina 1/3 bawah. Itulah sebabnya sindrom tersebut lebih sering terdapat pada
pria daripada wanita, karena pada umumnya afek primer pada wanita di tempat yang lebih
dalam, yakni di vagina 2/3 atas dan serviks. Jika afek primer pada tempat tersebut, maka
yang mengalami peradangan bukan kelenjar inguinal medial, tetapi kelenjar Gerota.
3

Pada sindrom ini yang terserang ialah kelenjar getah bening inguinal medial, karena kelenjar
tersebut merupakan kelenjar regional nagi genitalia eksterna. Kelenjar yang dikenal ialah
beberapa dan dapat diketahui karena permukaannya berbenjol-benjol, kemudian akan
berkonfluensi. Karena L.G.V. merupakan penyakit subakut, maka kelima tanda radang akut
terdapat, yakni dolor, rubor, tumor, kalor, dan fungsio lesa. Selain limfadenitis terjadi pula
periadenitis yang menyebabkan perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian terjadi
perlunakan yang tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacam-
macam, yakni keras, kenyal, dan lunak (abses). Perlunakan biasanya di tengah, dapat terjadi
abses dan fistel yang multipel.
3

Sering terlihat pula 2 atau 3 kelompok kelenjar yang berdekatan dan memanjang seperti sosis
di bagian proksimal dan distal ligamentum Pouparti dan dipisahkan oleh lekuk (sulkus).
Gejala tersebut oleh Greenblatt disebut stigma og groove. Pada stadium lanjut terjadi
penjalaran ke kelenjar getah bening di fossa iliaka dan dinamai bubo bertingkat (etage
bubonen), kadang-kadang dapat pula ke kelenjar di fosa femoralis. Ada kalanya terdapat
limfangitis yang tampak sebagai tali yang keras dan bubonuli.
3

Sindrom Genital
Jika sindrom inguinal tidak diobati, maka terjadi fibrosis pada kelenjar inguinal medial,
sehingga aliran getah bening terbendung serta terjadi edema dan elefantiasis. Elefantiasis
tersebut dapat bersifat vegetatif, dapat berbentuk fistel-fistel, dan ulkus-ulkus.
3

Pada pria, elefantiasis terdapat di penis dan skrotum, sedangkan pada wanita di labia dan
klitoris, disebut estiomen. Jika meluas terbentuk elefantiasis genito-anorektalis dan disebut
sindrom Jersild.
3
Sindrom Anorektal
Sindrom tersebut dapat terjadi pada pria homoseksual, yang melakukan sanggama secara
genitoanal. Pada wanita dapat terjadi dengan dua cara. Pertama, jika sanggama dilakukan
dengan cara genito-anal. Kedua, jika afek primer terdapat pada vagina 2/3 atas atau serviks,
sehingga terjadi penjalaran ke kelenjar perirektal (kelenjar Gerota) yang terletak antara uterus
dan rektum. Pembesaran kelenjar tersebut hanya dapat diketahui dengan palpasi secara
bimanual. Proses berikutnya hampir sama dengan sindrom inguinal, yakni terjadi limfadenitis
dan periadenitis, lalu mengalami perlunakan hingga terbentuk abses. Kemudian abses
memecah sehingga menyebabkan gejala keluarnya darah dan pus pada waktu defekasi,
kemudian terbentuk fistel. Abses-abses dan fistel-fistel dapat berlokasi di perianal dan
perirektal.
3

Selanjutnya muara fistel meluas menjadi ulkus, yang kemudian menyembuh dan menjadi
sikatriks, terjadilah retraksi hingga mengakibatkan striktura rekti. Kelainan tersebut
umumnya mengenai seluruh lingkaran rekstum sepanjang 4 10 cm dan berlokasi 3 8 cm
atau lebih di atas anus. Keluhannya ialah obstipasi, tinja kecil-kecil disertai perdarahan waktu
defekasi. Akibat lain ialah terjadinya proktitis yang menyebabkan gejala tenesmus dan
keluarnya darah dan pus dari rektum. Kecuali kelenjar Gerota, dapat pula terjadi penjalaran
ke kelenjar iliaka dan hipogastrika.
3

Sindrom Uretral
Sindrom tersebut terjadi, jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian menjadi
abses, lalu memecah dan menjadi fistel. Akibatnya ialah terjadi striktur hingga orifisium
uretra eksternum berubah bentuk seperti mulut ikan dan disebut fish mouth urethra dan penis
melengkkung seperti pedang turki.
Kelainan Lain
Kelainan tersebut lebih sering terdapat pada manifestasi dini daripada manifestasi lanjut dan
jarang ditemukan. Pada kulit dapat timbul eksantem, berupa eritema nodosum dan eritema
multiformis. Fotosensitivitas dapat terjadi pada 10 30 % kasus pada bentuk dini dan 50 %
pada bentuk lanjut.
Kelainan pada mata dapat berupa konjungtivitis, biasanya unilateral disertai edema dan
ulkus-ulkus pada palpebra. Sering pula bersama-sama dengan pembesaran kelenjar getah
bening regional dan demam. Sindrom tersebut disebut sindrom okuloglandular Parinaud.
Selain itu dapat pula menimbulkan kelainan pada fundus, berupa pelebaran pembuluh darah
yang berliku-liku dan disertai edema peripapilar.
3

Susunan saraf pusat dapat pula mengalami kelainan berupa meningoensefalitis. Kelainan lain
ialah hepatosplenomegali, peritonitis, dan uretritis. Uretritis tersebut dapat disertai ulkus-
ulkus pada mukosa, dapat pula bersama-sama dengan sistitis dan epididimitis.
3

- Sifilis
Pendahuluan
Meskipun insidens sifilis kian menurun, penyakit ini tidak dapat diabaikan, karena
merupakan penyakit berat. Hampir semua alat tubuh dapat diserang, termasuk sistem
kardiovaskular dan saraf. Selain itu wanita hamil yang menderita sifilis dapat menularkan
penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan sifilis kongenital yang dapat menyebabkan
kelainan bawaan dan kematian. Istilah kita untuk penyakit ini yaitu raja singa sangat tepat
karena keganasan.
4
Definisi
Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum; sangat kronik dan
bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat
menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin.
4

Sinonim
Menurut sejarahnya terdapat banyak sinonim sifilis yang tak lazim dipakai. Sinonim yang
umum ialah lues venerea atau biasanya disebut lues saja. Dalam istilah Indonesia disebut raja
singa.
4

Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah Treponema
pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan genus
Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 m, lebar 0,15 m, terdiri
atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan
maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium
aktif terjadi setiap tiga puluh jam.
4

Pembiakan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar badan. Di luar badan kuman tersebut
cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam.
Epidemiologi
Asal penyakit ini tak jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa. Ada yang
menganggap penyakit ini berasal dari penduduk Indian yang dibawa oleh anak buah
Columbus waktu mereka kembali ke Spanyol pada tahun 1492. Pada tahun 1494 terjadi
epidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis dan gonore
disebabkan oleh sanggama dan keduanya dianggap disebabkan oleh infeksi yang sama.
4

Pada abad ke-15 terjadi wabah di Eropa, sesudah tahun 1860 morbilitas sifilis di Eropa
menurun cepat, mungkin karena perbaikan sosioekonomi. Selama Perang Dunia kedua
insidensnya meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1946, kemudian makin
menurun.
4

Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar antara 0,04
0,52 %. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di Amerika Selatan. Di
Indonesia insidensnya 0,61%. Di bagian kami penderita yang terbanyak ialah stadium laten,
disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II.
4

Klasifikasi
Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat). Sifilis kongenital dibagi
menjadi: dini (sebelum dua tahun), lanjut (sesudah dua tahun), dan stigmata. Sifilis akuisita
dapat dibagi menurut dua cara, secara klinis dan epidemiologik. Menurut cara pertama sifilis
dibagi menjadi tiga stadium: stadium I (SI), stadium II (SII), dan stadium III (SIII). Secara
epidemiologik menurut WHO dibagi menjadi :
4

Patogenesis
Stadium Dini
Pada sifilis yang didapat, T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput
lendir, biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi dengan
membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di
perivaskular, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan
sel-sel radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan
perivaskuler di sekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan
hipertrofik endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans).
Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S
I.
4

Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen
dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan menyebar ke semua
jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh
reaksi jaringan sebagai S II, yang terjadi enam sampai delapan minggu sesudah S I. S I akan
sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian
terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. S II juga mengalami
regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang.
4

Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih terdapat.
Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi dengan sifilis kongenital.
Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga T. pallidum membiak lagi
pada tempat S I dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut menyebar melalui
jaringan menyebabkan reaksi berupa dengan lesi rekuren S II, yang terakhir ini lebih sering
terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut padat timbul berulang-ulanng, tetapi
pada umumnya tidak melebihi dua tahun.
4

Stadium Lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam keadaan dorman.
Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita. Keseimbangan antara
treponema dan jaringan dapat sekonyong-konyong berubah, sebabnya belum jelas, mungkin
trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu muncullah S III berbentuk
guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T. pallidum, reaksinya hebat
karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten
yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat lain.
4

Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi
kerusakan terjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk
menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya tidak mendapat gangguan saraf
dan kardiovaskular, demikian pula sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium
laten tidak memberi gejala.
4

Gejala Klinis
Secara umum manifestasi klinis dari Penyakit Sifilis, yaitu :
5

- Keluarnya cairan dari vagina, penis, atau dubur yang berbeda dari biasanya. Dapat berwana
putih susu, kekuningan, kehijauan, atau disertai berak darah dan bau yang tidak enak.
- Perih, nyeri, atau panas saat BAK atau setelah BAK atau menjadi sering BAK.
- Adanya luka terbuka (luka basah disekitar alat kemaluan atau mulut). Dapat terasa nyeri
atau tidak.
- Tumbuh sesuatu seperti jengger ayam atau kutil di sekitar kemaluan.
- Pada pria, skrotum menjadi bengkak dan nyeri.
- Sakit perut bagian bawah, terkadang timbul, terkadang hilang.
- Secara umum merasa enak badan atau demam.
Manifestasi klinis dari Penyakit Sifilis secara khusus, antara lain :
5

a. Sifilis Stadium I
Terjadi efek primer berupa papul, tidak nyeri (indolen). Sekitar 3 minggu kemudian terjadi
penjalaran ke kelenjar inguinal medial.Timbul lesi pada alat kelamin, ekstragenital seperti
bibir, lidah, tonsil, puting susu, jari dan anus, misalnya pada penularan ekstrakoital.
5
b. Sifilis Stadium II
Gejala konstitusi seperti nyeri kepala, subfebris, anoreksia, nyeri pada tulang, leher, timbul
macula, papula, pustul, dan rupia. Kelainan selaput lendir, dan limfadenitis yang
generalisata.
5

c. Sifilis Stadium III
Terjadi guma setelah 3 7 tahun setelah infeksi.Guma dapat timbul pada semua jaringan dan
organ, membentuk nekrosis sentral juga ditemukan di organ dalam, yaitu lambung, paru-paru,
dll. Nodus di bawah kulit (dapat berskuma), tidak nyeri.
5
d. Sifilis Kongenital
Sifilis Kongenital Dini
Dapat muncul beberapa minggu (3 minggu) setelah bayi dilahirkan. Kelainan berupa vesikel,
bula, pemfigus sifilitika, papul, skuma, secret hidung yang sering bercampur darah, adanya
osteokondritis pada foto roentgen.
5

Sifilis Kongenital Lanjut
Terjadi pada usia 2 tahun lebih. Pada usia 7 9 tahun dengan adanya keratitis intersial
(menyebabkan kebutaan), ketulian, gigi Hutchinson, paresis, perforasi palatum durum, serta
kelainan tulang tibia dan frontalis.
5

e. Sifilis Stigmata
Terdapat garis-garis pada sudut mulut yang jalannya radier, gigi Hutchinson, gigi molar
pertama berbentuk murbai dan penonjolan tulang frontal kepala (frontal bossing).
5

f. Sifilis Kardiovaskular
Umumnya bermanifestasi selama 10 20 tahun setelah infeksi. Biasanya disebabkan oleh
nekrosis aorta yang berlanjut ke arah katup dan ditandai oleh insufisiensi aorta atau
aneureksma, berbentuk kantong pada aorta torakal.
5

g. Neurosifilis
Neurosifilis asimtomatik.
Pada sifilis ini tidak ada tanda dan gejala kerusakan susunan saraf pusat. Pemeriksaan
sumsum tulang belakang menunjukan kenaikan sel, protein total dan tes serologis reaktif.
5
Neurosifilis meningovaskuler.
Adanya tanda kerusakan susunan saraf pusat yakni kerusakan pembuluh darah serebru, infark
dan ensefalomalasia. Pemeriksaan sumsum tulang belakang menunjukan kenaikan sel,
protein total dan tes serologis reaktif.
5

BAB III
Penutup
HIV merupakan penyakit yang disebabkan adanya virus ang menyerang sistem kekebalan
tubuh, oleh karena orang penderita akan mudah terinfeksi oleh bakteri, jamur, dan virus
lainnya. Oleh karena itu penderita HIV-AIDS harus dapat menjaga supaya dirinya tidak
mudah terinfeksi.

Daftar Pustaka
1. Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Infeksi menular seksual.
Jakarta:FKUI;2007.
2. Sutedjo AY. Buku saku mengenal penyakit melalui pemeriksaan laboratorium.
Sleman, Yogyakarta:Amara Books;2009.
3. Adhi Djuanda. Limfogranuloma venereum. Dalam : Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah,
Siti Aisah, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta : FKUI ; 2007.
h. 414-7.
4. Natahusada EC, Djuanda A. Sifilis. Dalam : Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti
Aisah, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta : FKUI ; 2007. h.
393-5.
5. Mandal BK, Wilkin EGL, Dunbar EM,dkk. Lecture Note Penyakit Infeksi. Edisi vi.
Jakarta ; 2008. Erlangga Medicine Series. p,188-91.
6. Unandar Budimulja, Sjaiful Fahmi Daili. Human immunodeficiency virus (HIV) dan
aquired immune deficiency syndrome (AIDS). Dalam : Adhi Djuanda, Mochtar
Hamzah, Siti Aisah, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta :
FKUI ; 2007. h. 427-32.
7. Santoso Cornain. Infeksi oportunistik yang lazim ditemukan pada AIDS dan
keganasan. Dalam : Seluk beluk AIDS yang perlu anda ketahui. Tjjokronegoro A,
Djoerban Z, Matondang CS, editors. Jakarta : FKUI ; 1992. h. 458.
8. Kuswadji. Kandidosis. Dalam : Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah, editors.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Jakarta : FKUI ; 2007. h. 106-9.
9. Corey L, Wald A, Genital herpes. In Sexually Transmitted Disease, Holmes K.K,
Mardh PA, Sparling PF, Lemon SM, Stamn WE, Piot P, etc (ed) Third edition 2000.
New York:McGraw-Hill, p 285-305.
10. Greenberg I M, Silverberg Hendrikson, Silverberg Mark. Teks Atlas Kedokteran. Jilid
II. Jakarta; 2005. Erlangga Medical Series.p, 366.
11. Djuanda Adhi. Hamzah Mochtar. Aisah Siti,dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid vi. Universitas Indonesia; 2010.
12. Barakbah J. HIV & AIDS pendekatan biologi molekuler klinis, dan sosial.
Surabaya:Airlangga;2007.

You might also like