You are on page 1of 29

LAPORAN KASUS

OBSTRUKSI JAUNDICE
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepanitraan Klinik
Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Program Studi Pendidikan Dokter
Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum
Cut Meutia Aceh Utara









Nama : Putri Azka Rinanda, S.Ked
NIM : 090610041
Preseptor : Dr. Suhaemi, SpPD, Finasim
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS
MALIKUSSALEH BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA TAHUN AJARAN
2013/2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya penyusunan Laporan
Kasus yang berjudul Obstruksi Jaundice dapat saya selesaikan penulisannya
dalam rangka memenuhi salah satu tugas sebagai ko-asisten yang sedang
menjalani kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit
Umum Cut Meutia.
Dalam menyelesaikan tugas ini, saya mengucapkan terima kasih kepada
Dr. Suhaemi, Sp.PD, Finasim selaku pembimbing dalam penulisan referat dan
sebagai pembimbing selama menjalani kepaniteraan ini. Apabila terdapat
kekurangan dalam menyusun referat ini, saya akan menerima kritik dan saran.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.





Lhokseumawe, Mei 2014



Putri Azka Rinanda, S. Ked

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
STATUS PASIEN .......................................................................................... 1
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................ 14
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 14
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Hepatobilier ................................... 17
2.2 Jaundice .......................................................................................... 24
2.2.1 Definisi .................................................................................. 24
2.2.2 Klasifikasi ............................................................................. 24
2.3 Obtruksi Jaundice ........................................................................... 25
2.3.1 Definisi dan Etiologi ............................................................ 25
2.3.2 Manifestasi Klinis ................................................................ 27
2.3.3 Patofisiologi .......................................................................... 28
2.3.4 Diagnosa ................................................................................ 29
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang ........................................................ 32
2.3.6 Penatalaksanaan .................................................................... 39
2.3.7 Komplikasi ............................................................................ 40
BAB 3. PENUTUP ................................................................... ...................... 42
3.1 Kesimpulan .................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai
akibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolisme sel darah
merah. Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Prancis jaune yang berarti
kuning. Ikterus sebaiknya diperiksa dibawah cahaya terang siang hari, dengan
melihat sklera mata, dan kalau ini terjadi konsentrasi bilirubin sudah berkisar
antara 2-2,5 mg/dL (34 sampai 43 umol/L). Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat
dengan nyata maka bilirubin mengkin sebenarnya sudah mencapai angka 7
mg%.
1

Munculnya jaundice (ikterus) pada pasien adalah sebuah kejadian yang
dramatis secara visual. Jaundice selalu berhubungan dengan penyakit penting,
meskipun hasil akhir jangka panjang bergantung pada penyebab yang mendasari
jaundice. Jaundice adalah gambaran fisik sehubungan dengan gangguan
metabolisme bilirubin. Kondisi ini biasanya disertai dengan gambaran fisik
abnormal lainnya dan biasanya berhubungan dengan gejala-gejala spesifik.
Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan pencitraan, memberikan perbaikan
lebih lanjut pada diagnosa banding. Umumnya, jaundice non-obstruktif tidak
membutuhkan intervensi bedah, sementara jaundice obstruktif biasanya
membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk
pengobatan.
2

Ada 3 tipe ikterus yaitu ikterus pre hepatika (hemolitik), ikterus hepatika
(parenkimatosa) dan ikterus post hepatika (obstruksi). Ikterus obstruksi (post
hepatika) adalah ikterus yang disebabkan oleh gangguan aliran empedu antara
hati dan duodenum yang terjadi akibat adanya sumbatan (obstruksi) pada saluran
empedu ekstra hepatika. Ikterus obstruksi disebut juga ikterus kolestasis dimana
terjadi stasis sebagian atau seluruh cairan empedu dan bilirubin ke dalam
duodenum.
2

Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus
biliaris, dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan
yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5
1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan
bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan,
adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari perubahan awal
yang terlihat pada tubuh pasien.
3

Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang
dihasilkan dari sel darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak
terkonjugasi yang tidak larut ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin.
Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid hepatosit kedalam
sitoplasma. Enzim uridine diphosphateglucuronyl transferase
mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam
glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin
monoglucuronide dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian
secara aktif disekresikan kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan
kolon, bilirubin dirubah menjadi urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam
sirkulasi portal. Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam empedu atau
diekskresikan oleh ginjal didalam urin.
4

Umumnya diagnosis ikterus obstruktif secara klinik ditegakkan dengan
cara imaging. Pemeriksaan ultrasonografi mudah membedakan penyebab ikterus
ekstra hepatik atau intra hepatik dengan melihat pelebaran dari saluran empedu
dengan ketepatan 95%. Tindakan biopsi umumnya hanya dilakukan untuk
evaluasi dari ikterus intra hepatik. Pada kasus tertentu tidak selalu mudah untuk
menegakkan diagnosis ikterus obstruktif ektrahepatik atau intra hepatik. Kadang-
kadang saluran empedu tidak terlihat jelas pada pemeriksaan USG untuk
menentukan letak obstruksi, karena bagian distal saluran empedu sukar terlihat
pada 30-50% kasus, sehingga dibutuhkan pemeriksaan patologi anatomi dengan
tindakan biopsi hepar dalam memastikan diagnosis ikterus obstruktif
ekstrahepatik.8,13-16 Berikut ini dilaporkann sebuah kasus ikterus obstruktif yang
mula-mula tidak bisa ditegakkan diagnosisnya dengan imaging, tetapi kemudian
akhirnya diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi.
1






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Hepatobilier
a. Anatomi Kandung Empedu
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk bulat lonjong seperti
buah alpukat dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu.
Kandung empedu terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu
terdiri atas fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus berbentuk bulat dan
biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan
dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung tulang rawan costa IX kanan.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati dan ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum inter
lobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan
dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran
ini sebelum mencapai duodenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu
duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum.
1

b. Histologi
Saluran empedu dilapisi epitel toraks dengan bentuk seperti kriptus, yang
didalamnya terdapat sel mukus yang berselang-seling. Sel otot polos yang jarang
akan ditemukan di dalam dinding fibrosa duktus utama. Dinding vesika biliaris
memiliki empat lapisan. Daerah fundus, korpus dan infundibulum ditutupi oleh
peritoneum viseralis. Perimuskularis dibawahnya merupakan jaringan lapisan ikat
dengan penonjolan yang bervariasi dan kaya pembuluh darah dan pembuluh limfe.
Tunika muskularis mengandung serabut otot longitudinalis. Tunika mukosa
dilapisi epitel toraks tinggi, yang bila terjadi peradangan, bisa berinvaginasi secara
dalam untuk membentuk sinus Rokitansky-Aschoff. Sel yang mensekresi mukus
hanya menonjol pada daerah kollum.
1

c. Vaskularisasi
Suplai arteri ke batang saluran empedu ekstrahepatik proksimal muncul
dari cabang kecil yang berasal dari arteri hepatika lobaris, dan vaskularisasi
duktus koledokus distal oleh cabang dari arteri gastroduodenalis dan arteri
pankreatikoduodenalis superior. Arteri sistika yang ke vesika biliaris biasanya
berasal dari arteri hepatika dekstra yang terletak posterior lateral terhadap duktus
heaptikus komunis. Selama kolesistektomi, arteri sistika ditemukan pada basis
duktus sistikus dalam segitiga Calot, tiga sisiya dibatasi oleh duktus hepatikus
komunis, duktus sistikus, dan hati. Drainase vena ke batang saluran empedu
ekstrahepatik dan vesika biliaris langsung ke vena porta.
1

d. Sistem Limfatik
Drainase pembuluh limfe batang hepatobiliaris bersifat sentrifugal.
Pembuluh dari parenkim hati dan batang saluran empedu intrahepatik
berkonvergensi pada porta hepatis dan berjalan sepanjang duktus hepatikus
komunis di dalam ligamentum hepatoduodenale untuk memasuki sisterna khili
dan kemudian duktus torasikus. Limfe vesika biliaris berdrainsase sepanjang
duktus sistikus ke dalam jalinan ini. Pada kolesistisis, kelenjar limfe yang
membesar khas bisa ditemukan pada kollum vesika biliaris (nodus limfatikus
duktus sistikus) maupun pada sambungan duktus sistikus dengan koledokus serta
sepanjang bagian supraduodenal distal dari duktus koledokus.
1

e.. Persyarafan Sistem Saluran Empedu
Persyarafan otonom batang saluran empedu terdiri dari serabut saraf
simpatis nervus vagus) dan simpatis (torasika) yang mengikuti jalannya suplai
vaskular. Persyarafan vagus muncul dari vagus anterior serta penting dalam
mempertahankan tonus dan kontraktilitas vesika biliaris. Serabut simpatis aferen
memperantarai nyeri kolik biliaris. Sebagian produksi empedu dipengaruhi oleh
kendali otonom.


Gambar 1 anatomi sistem hepatobilier

f. Fisiologi
Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya
antara 600- 1200 ml/hari. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml
empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam
kandung empedu, dan di akan mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer
dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan
natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang
terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volume nya 80-90%.
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung
empedu.
1

Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam
duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum, hormone kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung
empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung
distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya
empedu yang kental ke dalam duodenum.
1

Garam garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi
lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Proses
koordinasi dari kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal berikut ini yaitu :
a. Hormonal :Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum
akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
1

b. Neurogen :Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan
kontraksi dari kandung empedu.
(3)

Empedu
Empedu secara primer terdiri dari air, lemak organic dan elektrolit yang
secara normal disekresi oleh hepatosit. Garam empedu, lesitin, dan kolesterol
merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin,
asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh
hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi
mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal
kalau diperlukan.
Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting
yaitu:
a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang
besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pancreas serta asam empedu membantu transpor dan
absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa
intestinal.
b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari
penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel
hati.
Metabolisme bilirubin
Bilirubiin merupakan pigmen tetrapirol yang larut dalam lemak yang
berasal dari pemecahan sel-sel eritrosit tua dalam sistem monosit makrofag. Masa
hidup rata-rata eritrosit adalah 120 hari. Setiap hari sekitar 50 cc darah
dihancurkan menghasilkan 200 250 mg bilirubin. Kini diketahui juga bahwa
pigmen empedu sebagian juga berasal dari destruksi eritrosit matang dalam sum-
sum tulang dan dari hemoprotein lain terutama hati. Sebagian besar bilirubin
berasal dari pemecahan hemoglobin di dalam sel-sel fagosit mononuclear dari
sistem retikulo-endotelial terutama dalam lien. Cincin hem setelah dibebaskan
dari Fe dan globin diubah menjadi biliverdin yang berwarna hijau oleh enzim
heme oksigenase.
1
Enzim reduktase akan merubah biliverdin menjadi bilirubin
yang berwarna kuning. Bilirubin ini akan berikatan dengan protein sitosolik
spesifik membentuk kompleks protein-pigmen dan ditransportasikan melalui
darah ke dalam sel hati. Bilirubin ini dikenal sebagai bilirubin yang belum
dikonyugasi (bilirubin I) atau bilirubin indirek berdasarkan reaksi diazo Van den
Berg. Bilirubin indirek ini tidak larut dalam air dan tidak diekskresi melalui urine.
Di dalam sel hati albumin dipisahkan dan bilirubin dikonyugasi dengan asam
glukoronik dan dikeluarkan ke saluran empedu
. Bilirubin ini disebut bilirubin terkonyugasi (bilirubin II) yang larut dalam
air atau bilirubin direk yang memberikan reaksi langsung dengan diazo Van den
Berg. Didalam hati kira-kira 80% bilirubin terdapat dalam bentuk bilirubin direk
(terkonyugasi atau bilirubin II). Melalui saluran empedu, bilirubin direk akan
masuk ke usus halus sampai ke kolon. Oleh aktivitas enzim-enzim bakteri dalam
kolon glukoronid akan pecah dan bilirubin dirubah menjadi mesobilirubinogen,
stercobilinogen dan urobilinogen yang sebagian besar diekskresikan ke dalam
feses. Urobilinogen akan dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna feses.
Bila terjadi obstruksi total saluran empedu maka tidak akan terjadi pembentukan
urobilinogen dalam kolon sehingga warna feses seperti dempul (acholic).
Urobilinogen yang terbentuk akan direabsorbsi dari usus , dikembalikan ke hepar
yang kemudian langsung diekskresikan ke dalam empedu. Sejumlah kecil yang
terlepas dari ekskresi hepar mencapai ginjal dan diekskresi melalui urine.

knx

gambar 2. Metabolisme Bilirubin

2.2 Jaundice
2.2.1 Definisi
Ikterus (icterus) berasal dari bahasa Greek yang berarti kuning. Nama lain
ikterus adalah jaundice yang berasal dari bahasa Perancis jaune yang juga
berarti kuning. Dalam hal ini menunjukan peningkatan pigmen empedu pada
jaringan dan serum. Jadi ikterus adalah warna kuning pada sclera, mukosa dan
kulit yang disebabkan oleh akumulasi pigmen empedu di dalam darah dan
jaringan (> 2 mg / 100 ml serum).
1.4

2.2.2 Klasifikasi Jaundice
Klasifikasi umum jaundice: pre-hepatik, hepatik dan post-hepatik. Jaundice
obstruktif selalu ditunjuk sebagai post-hepatik sejak defeknya terletak pada jalur
metabolisme bilirubin melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice ditunjuk sebagai
jaundice non-obstruktif. Bentuk ini akibat defek hepatosit (jaundice hepatik) atau
sebuah kondisi pre-hepatik.
2

2.3 Obstruksi Jaundice
2.3.1 Definisi dan Etiologi
Obstruksi jaundice dapat terjadi akibat adanya hambatan saluran empedu.
Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran
misalnya adanya tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik). Batu
empedu dan cacing askaris sering dijumpai sebagai penyebab sumbatan di dalam
lumen saluran. Pankreatitis, tumor kaput pankreas, tumor kandung empedu atau
anak sebar tumor ganas di daerah ligamentum hepatoduodenale dapat menekan
saluran empedu dari luar menimbulkan gangguan aliran empedu.
5
Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai penyebab sumbatan antara
lain kista koledokus, abses amuba pada lokasi tertentu, divertikel
duodenum dan striktur sfingter papila vater.
6
Penyebab terjadinya jaundice obstruktif adalah adanya obstruktif
post hepatik yang antara lain disebabkan oleh
6
:
1. Obstruksi dalam lumen saluran empedu:
Batu
Parasit (ascaris)
2. Kelainan di dinding saluran empedu
Atresia bawaan
Striktur traumatic
Tumor saluran empedu
3. Penekanan saluran empedu dari luar
Tumor caput pancreas
Tumor ampula Vateri
Pankreatitis
Metastasis di dalam ligamentum hepaoduodenale

Gambar 3. Etiologi Obstruksi Jaundice
2.3.2 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul antara lain:
a. Ikterus, hal ini disebabkan penumpukkan bilirubin terkonjugasi yang
ada dalam darah yang merupakan pigmen warna empedu.
b. Nyeri perut kanan atas, nyeri yang dirasakan tergantung dari penyebab
dan beratnya obstruktif. Dapat ditemui nyeri tekan pada perut kanan
atas maupun kolik bilier.
c. Warna urin gelap (Bilirubin terkonjugasi). Urin yang berwarna gelap
karena adanya bilirubin dalam urin.
d. Feces seperti dempul (pucat/akholis). Hal ini disebabkan karena
adanya sumbatan aliran empedu ke usus yang mengakibatkan bilirubin
di usus berkurang atau bahkan tidak ada sehingga tidak terbentuk
urobilinogen yang membuat feces berwarna pucat.
e. Pruritus yang menetap. Adanya pruritus menunjukkan terakumulasinya
garam empedu di subkutan yang menyebabkan rasa gatal.
f. Anoreksia, nausea dan penurunan berat badan. Gejala ini menunjukkan
adanya gangguan pada traktus gastrointestinal.
g. Demam
h. Pembesaran hepar dan kandung empedu (Courvoisier sign).
7

2.3.3 Patofisiologi Obstruksi Jaundice
Empedu merupakan sekresi multi-fungsi dengan susunan fungsi, termasuk
pencernaan dan penyerapan lipid di usus, eliminasi toksin lingkungan, karsinogen,
obat-obatan, dan metabolitnya, dan menyediakan jalur primer ekskresi beragam
komponen endogen dan produk metabolit, seperti kolesterol, bilirubin, dan
berbagai hormon.
2

Pada obstruksi jaundice, efek patofisiologisnya mencerminkan ketiadaan
komponen empedu (yang paling penting bilirubin, garam empedu, dan lipid) di
usus halus, dan cadangannya, yang menyebabkan tumpahan pada sirkulasi
sistemik. Feses biasanya menjadi pucat karena kurangnya bilirubin yang mencapai
usus halus. Ketiadaan garam empedu dapat menyebabkan malabsorpsi,
mengakibatkan steatorrhea dan defisiensi vitamin larut lemak (A, D, K); defisiensi
vitamin K bisa mengurangi level protrombin. Pada kolestasis berkepanjangan,
seiring malabsorpsi vitamin D dan Ca bisa menyebabkan osteoporosis atau
osteomalasia.
2

Retensi bilirubin menyebabkan hiperbilirubinemia campuran. Beberapa
bilirubin terkonjugasi mencapai urin dan menggelapkan warnanya. Level tinggi
sirkulasi garam empedu berhubungan dengan, namun tidak menyebabkan,
pruritus. Kolesterol dan retensi fosfolipid menyebabkan hiperlipidemia karena
malabsorpsi lemak (meskipun meningkatnya sintesis hati dan menurunnya
esterifikasi kolesterol juga punya andil); level trigliserida sebagian besar tidak
terpengaruh.
3

Penyakit hati kolestatik ditandai dengan akumulasi substansi hepatotoksik,
disfungsi mitokondria dan gangguan pertahanan antioksidan hati. Penyimpanan
asam empedu hidrofobik mengindikasikan penyebab utama hepatotoksisitas
dengan perubahan sejumlah fungsi sel penting, seperti produksi energi
mitokondria. Gangguan metabolisme mitokondria dan akumulasi asam empedu
hidrofobik berhubungan dengan meningkatnya produksi oksigen jenis radikal
bebas dan berkembangnya kerusakan oksidatif.
1

2.3.4. Diagnosa Obstruksi Jaundice
Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati.
1. Anamnesis
Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan
feses, rasa gatal, keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan berkurang,
pekerjaan, adanya kontak dengan pasien ikterus lain, alkoholisme, riwayat
transfusi, obat-obatan, suntikan atau tindakan pembedahan.
2


2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa,
mencari tanda-tanda stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, eritema
palmaris, bekas garukan di kulit karena pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan
limpa yang membesar dapat dijumpai pada pasien dengan anemia hemolitik.
Kandung empedu yang membesar menunjukkan adanya sumbatan pada saluran
empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan oleh tumor (dikenal hukum
Courvoisier).
5

Hukum Courvoisier : Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak
mungkin disebabkan oleh batu kandung empedu.
Hal ini biasanya menunjukkan adanya striktur neoplastik tumor (tumor pankreas,
ampula, duodenum, CBD), striktur pankreatitis kronis, atau limfadenopati portal.
7

Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan
oleh gangguan pada sel-sel hati atau disebabkan adanya hambatan pada saluran
empedu.
1

Diagnosa klinis untuk pemeriksaan jaundice obstruktif antara lain :
2

a. Peningkatan level bilirubin direk (terkonjugasi) (> 0,4 mg/ml), Normal
= 0,1-0,3 mg/ml.
b. Peningkatan level bilirubin indirek (tak terkonjugasi) (> 0,8 mg/ml),
Normal = 0,2-0,8 mg/ml.
c. Tidak adanya bilirubin dalam urin atau peningkatan bilirubin urin
(konsentrasi tinggi dalam darah).
d. Peningkatan urobilinogen (> 4 mg/24 jam) tergantung pada kemampuan
hati untuk mengabsorbsi urobilinogen dari sistem portal, Normal = 0-4
mg/hari.
e. Menurunnya urobilinogen fekal (< 40 mg/24 jam), Normal = 40-280
mg/hari, karena tidak mencapai usus.
f. Peningkatan alkalin fosfat dan level kolesterol karena tidak dapat
diekskresi ke kandung empedu secara normal.
g. Pada kasus penyakit hati yang sudah parah, penurunan level kolesterol
mengindikasikan ketidakmampuan hati untuk mensintesisnya.
h. Peningkatan garam empedu yang menyebabkan deposisi di kulit,
sehingga menimbulkan pruritus.
i. Pemanjangan waktu PTT (Prothrombin Time) (> 40 detik) dikarenakan
penurunan absorbsi vitamin K.


2.3.5. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk
serum bilirubin direk dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan
hitung sel darah lengkap. Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi
ketika ada peningkatan produksi bilirubin atau menurunnya ambilan dan
konjugasi hepatosit. Kegagalan pada ekskresi bilirubin (kolestasis intrahepatik)
atau obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan hiperbilirubinemia (direk)
terkonjugasi mendominasi. Elevasi tertinggi pada bilirubin serum biasanya
ditemukan pada pasien dengan obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya
meluas sampai 15 mg/dL yang diamati. Batu kandung empedu umumnya biasanya
berhubungan dengan peningkatan lebih menengah pada bilirubin serum (4 8
mg/dL). Alkali fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif pada obstruksi
bilier dan mungkin meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan obstruksi bilier
parsial.
1
Bilirubin direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin
disebabkan oleh sumbatan saluran empedu dibanding bila bilirubin indirek yang
jelas meningkat. Pada keadaan normal bilirubin tidak dijumpai di dalam urin.
Bilirubin indirek tidak dapat diekskresikan melalui ginjal sedangkan bilirubin
yang telah dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena itu adanya bilirubin
lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran empedu daripada kerusakan sel-
sel hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya perubahan warna feses
menjadi akolis menunjukkan terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen
usus (pigmen tidak dapat mencapai usus).
8

2. Hematologi
Meningkatnya level serum bilirubin dengan kelebihan fraksi bilirubin
terkonjugasi. Serum gamma glutamyl transpeptidase (GGT) juga meningkat pada
kolestasis. Umumnya, pada pasien dengan penyakit batu kandung empedu
hiperbilirubinemia lebih rendah dibandingkan pasien dengan obstruksi maligna
ekstra-hepatik. Serum bilirubin biasanya < 20 mg/dL. Alkali fosfatase meningkat
10 kali jumlah normal. Transaminase juga mendadak meningkat 10 kali nilai
normal dan menurun dengan cepat begitu penyebab obstruksi dihilangkan.

Meningkatnya leukosit terjadi pada kolangitis. Pada karsinoma pankreas dan
kanker obstruksi lainnya, bilirubin serum meningkat menjadi 35-40 mg/dL, alkali
fosfatase meningkat 10 kali nilai normal, namun transamin tetap normal.
1
Penanda tumor seperti CA 19-9, CEA dan CA-125 biasanya meningkat
pada karsinoma pankreas, kolangiokarsinoma, dan karsinoma peri-ampula, namun
penanda tersebut tidak spesifik dan mungkin saja meningkat pada penyakit jinak
percabangan hepatobilier lainnya.
3
2. Pencitraan
1

Tujuan dibuat pencitraan adalah:
a. memastikan adanya obstruksi ekstrahepatik (yaitu membuktikan apakah
jaundice akibat post-hepatik dibandingkan hepatik),
b. untuk menentukan level obstruksi,
c. untuk mengidentifikasi penyebab spesifik obstruksi,
d. memberikan informasi pelengkap sehubungan dengan diagnosa yang
mendasarinya (misal, informasi staging pada kasus malignansi).
I. USG
Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan
penunjang pencitraan yang pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan
lainnya. Dengan sonografi dapat ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang
melebar, adanya batu atau massa tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan
sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu empedu, pembesaran
kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali. Tidak
ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan penyebab
ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran
empedu memperkuat diagnosis ikterus obstruktif.
1
Pada pemeriksaan USG akan memperlihatkan ukuran duktus biliaris,
mendefinisikan level obstruksi, mengidentifikasi penyebab dan memberikan
informasi lain sehubungan dengan penyakit (mis, metastase hepatik, kandung
empedu, perubahan parenkimal hepatik). Identifikasi obstruksi duktus dengan
akurasi 95%, memperlihatkan batu kandung empedu dan duktus biliaris yang
berdilatasi, namun tidak dapat diandalkan untuk batu kecil atau striktur. Juga
dapat memperlihatkan tumor, kista atau abses di pankreas, hepar dan struktur yang
mengelilinginya.
1

II. Pemeriksaan Radiologi
1,5

a. Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian
besar batu empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien
ikterus karena zat kontras tidak diekskresikan oleh sel hati yang sakit.
b. CT-scan : memberi viasualisasi yang baik untuk hepar, kandung empedu,
pankreas, ginjal dan retroperitoneum; membandingkan antara obstruksi intra-
dan ekstrahepatik dengan akurasi 95%. CT dengan kontras digunakan untuk
menilai malignansi bilier.
c. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography) dan PTC
(Percutaneus Transhepatic Cholangiography) : menyediakan visualisasi
langsung level obstruksi. Namun prosedur ini invasif dan bisa menyebabkan
komplikasi seperti kolangitis, kebocoran bilier, pankreatitis dan perdarahan.
d. EUS (endoscopic ultrasound) : memiliki beragam aplikasi, seperti staging
malignansi gastrointestinal, evaluasi tumor submukosa dan berkembang menjadi
modalitas penting dalam evaluasi sistem pankreatikobilier. EUS juga berguna
untuk mendeteksi dan staging tumor ampula, deteksi mikrolitiasis,
koledokolitiasis dan evaluasi striktur duktus biliaris benigna atau maligna. EUS
juga bisa digunakan untuk aspirasi kista dan biopsi lesi padat.
e. MRCP (Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography): merupakan
teknik visualisasi terbaru, non-invasif pada bilier dan sistem duktus pankreas.
Hal ini terutama berguna pada pasien dengan kontraindikasi untuk dilakukan
ERCP. Visualisasi yang baik dari anatomi bilier memungkinkan tanpa sifat
invasif dari ERCP. Tidak seperti ERCP, MRCP adalah murni diagnostik.
2.3.6. Penatalaksanaan Obstruksi Jaundice
Pengobatan ikterus sangat bergantung penyakit dasar penyebabnya.
Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan
kolestasis intrahepatik, pengobatan penyakit dasarnya sudah mencukupi. Pruritus
pada keadaan irreversibel (seperti sirosis bilier primer) biasanya responsif
terhadap kolestiramin 4-16 g/hari PO dalam dosis terbagi dua yang akan mengikat
garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat,
hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin
K1) 5-10 mg/hari SK untuk 2-3 hari.
1

Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis
yang ireversibel, namun pencegahan penyakit tulang metabolik mengecewakan.
Suplemen vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini
dan steatorrhea yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian lemak
dalam diet dengan medium chain trigliceride.
1

Selama ini titik berat jaundice obstruktif ditujukan kepada eradikasi
bakteri dengan pemberian antibiotika empedu pengganti, pemberian laktulosa dan
terapi pembedahan. Penatalaksanaan terapi ini sangat efektif bila dilakukan pada
fase dini dari ikterus obstruktif, akan tetapi hasilnya terbukti menjadi kurang
efektif bila dilakukan pada penderita yang sudah berlangsung lama, karena adanya
pengingkatan risiko gangguan fungsi ginjal.
6

Terapi pembedahan untuk mengembalikan fungsi aliran empedu dari hepar
ke duodenum adalah melakukan drenase interna yang dilakukan secara langsung
dengan menyambungkan kembali saluran empedu ke usus halus. Bila hal ini tidak
memungkinkan karena keadaan penderita terlalu lemah untuk dilakukan
pembedahan besar, maka dalam keadaan darurat dapat dilakukan drainase
eksterna dengan melakukan pemasangan pipa saluran melalui kulit ditembuskan
ke hepar sampai ke saluran empedu (Percutaneous Transhepatal Drainage).
Apabila keadaan penderita sudah stabil kembali, maka ppenderita harus segera
dilakukan pembedahan interna (DI).
6

2.3.7. Komplikasi
Salah satu penyulit dari drainase interna pada ikterus obstruktif adalah
gagal ginjal akut (GGA). GGA pada penderita ikterus obstruktif lanjut pasca
drenase interna sampai saat ini masih merupakan komplikasi klinis yang
mempunyai risiko kematian tinggi. Pada penderita ikterus obstruktif lanjut yang
mengalami tindakan pembedahan sering mengalami komplikasi pasca operatif.
Komplikasi ini berhubunga dengan endoktoksemia sistemik terjadi melalui 2
mekanisme yang pertama, tidak adanya empedu pada traktus gastrointestinal yang
bersifat detergen like sehingga terjadi transolakasi endotoksin melalui mukosa
usus. Dengan tidak adanya empedu dan cinjugated bilirubin di traktus
gastrointestinal akan menganggu funngsi barier usus sehingga terjadi over growth
bakteri, terutama bakteri gram negatif, yang dapat menyebabkan translokasi
bakteri maupun endotoksinnya kedalam sirkulasi. Mekanisme kedua, ikterus
obstruktif menyebabkan menurunnya fungsi kupffer sebagai clearance of
endotoxin sehingga endotoksin semakin meningkat di dalam sirkulasi.
6

Perubahan hemodinamika ginjal yang terjadi pada pasien denga ikterus
obstruktif bersifat reversible. Oleh karena itu harus segera dilakukan intervensi
optimal untuk mencegah semakin memburuknya fungsi ginjal. Pencegahan
terjadinya gagal ginjal akut pada pembedahan ikterus obstruktif dengan
melakukan ekspansi volume cairan dari intaseluler menuju ekstraseluler dan
menurunkan terjadinya endotoksinemia.
6

Komplikasi yang terjadi pada ikterus obstruktif adalah sepsis primer,
perdarahan gastrointestinal, koagulopati, gangguan penyembuhan luka bedah dan
gagal ginjal akut (GGA).
6








BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara umumnya, obstruksi jaundice adalah perubahan warna kulit, sclera
mata atau jaringan lainnya (mebran mukosa) yang menjadi kuning karena
pewarnaan bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah.
Obstruksi jaundice dapat terjadi akibat adanya hambatan saluran empedu.
Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran
empedu misalnya adanya tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik).
Manifestasi klinis dari obtruksi jaundice dapat berupa mata, badan menjadi
kuning, urine berwarna pekat seperti teh, badan terasa gatal (pruritus), disertai
atau tanpa kenaikan suhu badan, disertai atau tanpa kolik perut kanan atas,
kadang-kadang feses berwarna keputih-putihan seperti dempul. Tergantung dari
penyebab ikterus obstruksi. Untuk diagnosis dari obetruksi jaundice bisa
dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dilakukan pemeriksaan labolatorium yang meliputi pemeriksaan darah, urine dan
feses rutin. Pemeriksaan fungsi hati bisa dijumpai adanya kenaikan dari bilirubin
direct (tekonjugasi), alkali fosfatase meningkat 2-3 kali diatas normal. Serum
transminase (SGOT, SGPT) dan Gamma GT sedikit meninggi. Selain itu juga bisa
dilakukan pencitraan untuk menentukan penyebab obstruksi seperti pemeriksaan
USG, CT Scan abdomen, ERCP (Endoskopic Retrograde Cholangio
Pancreatography) dll.
Pengobatan ikterus sangat bergantung penyakit dasar penyebabnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana L.: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380-384.

2. I J Beckingham. 2001. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary
System Gallstone Disease. Dalam: British Medical Journal Vol 13, Januari
2001: 322 (7278): 9194. Available from :
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1119388 [diakses
pada tanggal 10 April 2014].

3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-579.

4. Price, Sylvia Anderston. Patofisiologi Konsep Klinis Preose-Proses Penyakit.
Jilid 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994. Schwartz S, Shires G,
Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.

5. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of
Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.

6. Kasper Dennis, Harrison Tinsley Randolph. 2005. Harrison Principles of
Internal Medicine 16
th
. New York: Mc Graw Hills Publishing. 1880-1890

7. Sujono Hadi. 1983. Nyeri Epigastrik Penyebab dan Pengelolaannya. Dalam:
Cermin Dunia Kedokteran No. 4, 1983: 29. Available From:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/03_NyeriEpigastrik.pdf/03_NyeriEpigas
trik.html [diakses pada tanggal 10 April 2014.

You might also like