Rufaidah Al-Asalmiya adalah perawat muslim pertama di dunia yang hidup pada abad ke-7 Masehi. Ia belajar ilmu keperawatan dari ayahnya yang seorang dokter dan membantunya merawat orang sakit. Rufaidah kemudian mendirikan rumah sakit lapangan dan melatih perawat wanita untuk merawat korban perang. Ia dianggap sebagai pionir keperawatan modern dan memberikan kontribusi besar dalam perkembangan
Rufaidah Al-Asalmiya adalah perawat muslim pertama di dunia yang hidup pada abad ke-7 Masehi. Ia belajar ilmu keperawatan dari ayahnya yang seorang dokter dan membantunya merawat orang sakit. Rufaidah kemudian mendirikan rumah sakit lapangan dan melatih perawat wanita untuk merawat korban perang. Ia dianggap sebagai pionir keperawatan modern dan memberikan kontribusi besar dalam perkembangan
Rufaidah Al-Asalmiya adalah perawat muslim pertama di dunia yang hidup pada abad ke-7 Masehi. Ia belajar ilmu keperawatan dari ayahnya yang seorang dokter dan membantunya merawat orang sakit. Rufaidah kemudian mendirikan rumah sakit lapangan dan melatih perawat wanita untuk merawat korban perang. Ia dianggap sebagai pionir keperawatan modern dan memberikan kontribusi besar dalam perkembangan
pertama di dunia Rufaidah Al-Asalmiya atau Siti Rufaidah adalah perawat muslim pertama didunia, ia sudah ada jauh sebelum Pioneer of Modern Nurse lahir kedunia. Semoga sekelumit kisah ini bisa menambah pengetahuan kita tentang orang-orang yang berjasa dalam bidang keperawatan. Di Indonesia, nama Rufaidah sendiri masih terasa asing dibandingkan dengan tokoh-tokoh keperawatan dunia yang berasal dari golongan barat. Namun dikalangan Negara arab dan timur tengah, nama Florence Nightingale tidak lebih terkenal dari Rufaidah Binti Saad / Rufaidah Al-Asalmiya. Rufaidah Al-Asalmiya memiliki nama lengkap Rufaidah Binti Saad Al-Bani Aslam Al-Khazraj. Ia lahir di Yatrhrib, Madinah pada tahun 570 M dan wafat pada tahun 632 M. Rufaidah hidup pada masa Rasulullah SAW pada abad pertama Hijriah atau abad ke-8 Masehi. Ia termasuk golongan kaum Anshor (Golongan pertama yang menganut agama Islam di Madinah). Ayah Rufaidah adalah seorang dokter, Rufaidah mempelajari ilmu keperawatan saat ia bekerja membantu ayahnya. Saat kota madinah berkembang, ia mengabdikan diri merawat kaum muslimin yang sakit. Saat tidak terjadi peperangan, Rufaidah membangun tenda diluar Masjid Nabawi untuk merawat kaum muslimin yang sakit. Pada saat perang Badar, Uhud, Khandaq, dan perang Khaibar Rufaidah menjadi sukarelawan dan merawat korban yang terluka akibat perang. Ia mendirikan rumah sakit lapangan, sehingga Rasulullah SAW memerintahkan korban yang terluka dirawat oleh Rufaidah. Rufaidah Al-Asalmiya melatih beberapa kelompok wanita untuk menjadi perawat, dan dalam perang Khaibar mereka meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk ikut di garis belakang pertempuran untuk merawat para mujahid yang terluka. Tugas ini digambarkan mulia oleh Rufaidah, dan merupakan pengakuan awal untuk pekerjaannya dibidang keperawatan dan medis. Selain berkontribusi dalam merawat mereka yang terluka saat peperangan, Rufaidah Al-Asalmiya juga terlibat dalam aktifitas sosial dikomunitasnya. Dia memberi perhatian kepada setiap muslim, orang miskin, anak yatim, atau penderita cacat mental. Dia merawat anak yatim dan memberi bekal pendidikan. Rufaidah digambarkan memiliki kepribadian yang luhur dan empati sehingga memberikan pelayanan keperawatan kepada pasiennya dengan baik dan teliti. Ia digambarkan sebagai pemimpin dan pencetus sekolah keperawatan pertama didunia islam meskipun lokasinya tidak dapat dilaporkan. Ia juga merupakan penyokong advokasi pencegahan penyakit atau yang lebih dikenal dengan Preventive Care serta menyebarkan pentingnya penyuluhan kesehatan (Health Education). Rufaidah adalah seorang pemimpin, organisatoris, mampu memobilisasi dan memotivasi orang lain. Ia digambarkan memiliki pengalaman klinik yang dapat diajarkan kepada perawat lain yang dilatih dan bekerja dengannya. Dia tidak hanya melaksanakan peran perawat dalam hal klinikal saja, ia juga melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Sehingga Rufaidah sering juga disebut sebagai Public Health Nurse dan Social Worker yang menjadi inspirasi bagi perawat di dunia islam. Sejarah islam memcatat beberapa nama yang bekerja bersama Rufaidah Al-Asalmiya seperti: Ummu Ammara, Aminah, Ummu Ayman, Safiat, Ummu Sulaiman, dan Hindun. Sedangkan beberapa wanita musim yang terkenal sebagai perawat saat masa Rasulullah SAW saat perang dan damai adalah: Rufaidah binti Saad Al-Aslamiyyat, Aminah binti Qays Al-Ghifariyat, Ummu Atiyah Al-Anasaiyat, Nusaibat binti Kaab Al Amziniyat, Zainab dari kaum Bani Awad yang ahli dalam penyakit dan bedah mata). Sebagai tambahan pengetahuan, perkembangan keperawatan didunia islam atau lebih tepatnya lagi di negara Arab Saudi dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Masa penyebaran islam /The Islamic Periode ( 570 632 M). pada masa ini keperawatan sejalan dengan peperangan yang terjadi pada kaum muslimin (Jihad). Rufaidah Al-Asalmiya adalah perawat yang pertama kali muncul pada mas ini. 2. Masa setelah Nabi / Post Prophetic Era (632 1000 M). pada masa ini lebih didominasi oleh kedokteran dan mulai muncul tokoh-tokoh kedokteran islam seperti Ibnu Sinna, Abu Bakar Ibnu Zakariya Ar-Razi (dr. Ar-Razi). 3. Masa pertengahan/ Late to Middle Age (1000 1500 M). pada masa ini negara-negara arab membangun rumah sakit dengan baik, pada masa ini juga telah dikenalkan konsep pemisahan antara ruang rawat laki-laki dan ruang rawat perenpuan. Juga telah dikenalkan konsep pasien laki-laki dirawat oleh perawat laki-laki dan pasien perempuan dirawat oleh perempuan. Masa modern (1500 sekarang). Pada masa ini perawat-perawat asing dari dunia barat mulai berkembang dan mulai masuk kenegara arab. Namun, pada masa ini salah seorang perawat bidan muslimah pada tahun 1960 yang bernama Lutfiyyah Al-Khateeb yang merupakan perawat bidan arab Saudi pertama yang mendapatkan Diploma Keperawatan di Kairo, ia mendirikan institusi keperawatan di Arab Saudi.
Shafiyyah adalah salah seorang dari bibi Nabi SAW dan bersaudara dengan Hamzah bin Abdul Muththalib. Ibunya adalah Halah binti Wahab, termasuk keturunan bangsawan yang disegani di Mekah.
Suami pertamanya adalah Al Harits bin Harb bin Umayyah. Setelah suaminya meninggal, ia dinikahi oleh Al Awwam bin Khuwalid bin Asad. Dari hasil pernikahannya inilah lahir Zubair bin Awwam, As-Saaib, dan Abdul Kabah.
Setelah Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi dan Zubair masuk Islam, Shafiyyah berkata, Pertahankanlah keIslamanmu. Sesungguhnya yang paling berhak engkau bela dan engkau dukung adalah putra pamanmu. Demi Allah, seandainya kami memiliki kekuatan sebagaimana layaknya kaum lelaki, tentulah kami mengikuti dan membelanya.
Nabi SAW mengajak kaumnya untuk masuk Islam. Beliau berseru, Wahai sekalian orang Quraisy, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai sekalian bani Hasyim, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai sekalian bani Abdul Muththalib, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Fatimah binti Muhammad, Selamatkanlah dirimu dari api neraka. Wahai Shafiyyah binti Abdul Muththalib, selamatkanlah dirimu dari api neraka. Aku tidak bisa menjamin apa pun untuk kalian di hadapan Allah. Mintalah hartaku sebanyak yang kalian mau.
Ketika Hamzah bin Abdul Muththalib mau masuk Islam, syetan menggodanya. Untung Hamzah bertemu Shafiyyah dan menasehatinya, Temuilah keponakanmu dan teguhkanlah hatimu. Hamzah kemudian menemui Muhammad SAW. Akhirnya Hamzah masuk Islam dengan bersyahadat. Hamzah termasuk orang yang memuliakan Islam dengan keislamannya. Sedangkan Shafiyyah binti Abdul Muththalib masuk Islam dan hijrah ke Madinah bersama putranya (Zubair bin Awwam).
Dalam perang Uhud, Rasulullah meninggalkan istri-istrinya dan Shafiyyah di sebuah bangunan tinggi bernama Fari di samping masjid. Mereka dimasukkan ke dalamnya, bersama mereka ada Hassan binTsabit.
Salah seorang Yahudi lalu naik ke tempat tersebut dan mengawasi mereka. Melihat itu, Shafiyyah berkata kepada Hassan binTsabit, Mengapa kamu diam saja, wahai Ibnu Al Fariah. Bangkitlah dan bunuhlah Yahudi itu! Hassan bin Tsabit berkata, Tidak, demi Allah, aku tidak bisa berperang.
Si Yahudi naik lagi, sehingga Shafiyyah berkata, Bangkitlah dan bunuhlah ia! Hassan lalu berkata, Waduh..kalau begini jadinya, lebih baik aku tadi ikut Rasulullah. Shafiyyah kemudian berkata, Kalau kamu tidak mau maka serahkan pedang itu kepadaku.
Hassan pun menyerahkan pedangnya kepadanya, Shafiyyah lalu langsung bangkit dan memenggal kepala orang Yahudi tersebut, setelah itu ia berkata kepada Hassan, Ambil kepalanya dan lemparkan kepada mereka.
Hassan pun mengambil kepala tersebut dan melemparkannya kepada orang-orang Yahudi. Melihat itu, orang-orang Yahudi berkata, Kami kira Muhammad hanya meninggalkan mereka dan tidak ada laki-laki di sana.
Ketika kaum muslim kalah pada perang Uhud, Shafiyyah datang dengan membawa tombak seraya memukul wajah-wajah kaum muslim dan berkata, Mengapa kalian kalah?
Dalam perang ini, saudaranya (Hamzah bin Abdul Muththalib) terbunuh secara mengenaskan. Saat Nabi SAW melihat kedatangannya, ia berkata kepada Zubair bin Awwam, Temui ibumu dan bawalah ia pulang, jangan sampai ia melihat keadaan saudaranya.
Zubair pun menemuinya dan berkata kepadanya, Wahai ibuku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyuruhmu untuk pulang. Shafiyyah berkata, Memangnya kenapa? Kudengar saudaraku mati secara mengenaskan. Ini adalah kehendak Allah dan aku akan ridha, sekalipun keadaan yang sedemikian rupa. Aku akan tetap tabah dan bersabar, Insya Allah.
Shafiyyah kemudian melihat saudaranya yang mati secara mengenaskan dengan perut yang terkoyak dan alat kelamin yang terpotong. Ia pun mengucapkan istirja dan memintakan ampunan untuknya.
Dalam perang Khandaq, Shafiyyah berhasil membunuh seorang Yahudi yang mengintip benteng tempat para muslimah berlindung. Shafiyyah termasuk wanita yang pertama kali membunuh orang musyrik, yaitu pada perang Uhud dan Khandaq. Shafiyyah juga ikut bergabung bersama Nabi SAW pada perang Khaibar.
Dalam perang Khaibar, Zubair bin Awwam (putra Shafiyyah) berduel dengan Yahudi Yasir. Maka Shafiyyah berkata, Ya Rasulullah, orang itu akan membunuh anakku. Nabi lalu bersabda, Justru anakmulah yang akan membunuhnya. Akhirnya Zubair memang berhasil membunuh Yasir.
Ketika Allah SWT telah menaklukkan Khaibar, Rasulullah SAW memberi makan Shafiyyah dengan empat puluh wasaq kurma. Shafiyyah meninggal pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab. Ia dimandikan di Baqi, di halaman rumah Al Mughirah bin Syubah dan dimakamkan di pekuburan Baqi'. BELAJAR DARI SHAFIYYAH BINTI ABDUL MUTHALIB Shahabiyah adalah sahabat Rasulullah saw dari kalangan Muslimah, mereka adalah wanita wanita tangguh di medan jihad dan dakwah. Ujian demi ujian, mereka senantiasa menghadapinya dengan penuh kesabaran. Mereka mujahidah sejati sepanjang masa, yang tidak pernah lekang oleh waktu dan zaman. Mereka juga ikut terjun ke medan jihad bersama Rasulullah saw, menyiapkan logistik dan obat obatan untuk para pasukan Muslimin yang terluka. Subhanallah.
Muslimah seperti halnya para shahabiyah tidak mudah mengeluh, tidakcengeng, mampu menjaga kehormatan diri dan izzah Islam, yang melahirkan generasi mujahid yang senantiasa membela Islam di medan jihad sampai titik darah penghabisan serta senantiasa tegar menghadapi penindasan yang dilancarkan oleh musuh musuh Islam. Bahkan, tidak jarang menjadi barisan paling belakang saat di medan jihad. Tujuannya untuk menghadang pasukan Muslimin yang lari dari medan jihad.
Shafiyyah binti Abdul Muthalib merupakan salah satu dari para shahabiyah yang harum namanya sepanjang sejarah kehidupan, beliau adalah bibi Rasulullah saw yang dilahirkan dari suku Quraisy. Quraisy adalah bangsa yang paling dihormati oleh para kabilah di Jazirah Arab ketika itu, keturunan paling mulia diantara suku suku lain. Ayahnya, Abdul Muthalib, seorang petinggi di tanah Jazirah Arab pada masanya. Suaminya, Awwam bin Khuwailid adalah saudara kandung dari Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid. Dari suaminya inilah lahir seorang anak yang bernama Zubair bin Awwam, yang dijuluki sebagai hawari Rasulullah saw. Di tengah keluarga yang sangat dihormati, keturunan yang dihormati dan bersama orang orang yang dihormati. Sehingga membentuk kepribadiannya yang tangguh dan kuat, tidak lemah serta berani. Bahkan beliau lihai memainkan pedang, menunggang kuda seperti mujahid yang sedang berperang. Tidak hanya itu, beliau termasuk orang yang intelektual, karena beliau suka membaca.
Shafiyyah binti Abdul Muthalib juga seorang ibu, kepribadiannya yang tangguh dan kuat ia wariskan kepada anaknya yang bernama Zubair bin Awwam, hingga Zubair menjadi seorang mujahid yang tangguh seperti ibunya. Zubair dididik dengan keras oleh ibunya, sejak usia dini Zubair sudah diajarkan memanah dan menunggang kuda, terkadang ibunya tidak segan segan ibunya memukul Zubair saat ragu ragu. Cara Shafiyyah mendidik anak seperti ini pernah dikritik oleh banyak orang, tetapi Shafiyyah terus membantahnya. Alasan Shafiyyah adalah agar kelak Zubair menjadi anak yang tangguh dan pemberani ketika di medan jihad, dan itu terbukti.
Bagaimana kiprahnya di medan jihad? Shafiyyah binti Abdul Muthalib ketika di medan Uhud ikut membantu menyiapkan air, logistik dan obat obatan bersama Muslimah lain untuk para pasukan Muslimin yang terluka. Di tengah kesibukannya menyiapkan air, logistik dan obat obatan, Shafiyyah tetap memegang panah untuk berjaga jaga. Saat Muslimin terpukul mundur, Shafiyyah memegang tombak untuk diacungkan kepada para pasukan Muslimin. Saat saudaranya Hamzah bin Abdul Muthalib meninggal dengan tubuh yang tidak utuh lagi di medan Uhud, Shafiyyah tetap tabah dan sabar.
Meletus peperangan di medan Khandak, para muslimah dan anak anak diungsikan ke sebuah benteng yang bernama Fari, benteng ini milik Hassan salah satu sahabat Rasulullah saw. Ketika perang berkecamuk, seorang intelejen pihak musuh diam diam mengamati benteng tersebut. Hal ini segera diketahui oleh Shafiyyah, segera saja ia mengambil tongkat sebagai senjata untuk menghantam intelejen tersebut bertubi tubi. Bahkan, Shafiyyah bisa memenggal leher orang tersebut dan melemparkan kepalanya di perkampungan orang tersebut tinggal.
Itulah riwayat hidup singkat dari seorang Mujahidah, Shafiyyah binti Abdul muthalib. Saya belajar dari kehidupan beliau, dari kepribadian beliau yang tangguh. Saya juga harus tangguh, kuat, berani dan intelektual. Agar bisa membela diri dari ancaman kejahatan, bisa melawan serta dipersiapkan untuk menghadapi medan dakwah yang banyak rintangan. Tidak cengeng, tidak lemah dan pula tidak manja. Muslimah tipe seperti ini tidak cocok untuk di tempatkan di medan dakwah, karena di medan dakwah di perlukan Muslimah Muslimah yang tangguh dan berintelektual dengan banyak banyak membaca. Fenomena yang terjadi saat ini masih banyak para Muslimah yang masih kurang minat membaca.
Ketika saya mencoba untuk berdiskusi kepada merekia, tapi mereka seperti menunjukkan rasa tidak nyambung saat saya memulai wancana berdiskusi. Malah yang dibicarakan adalah film atau lagu kesukaan mereka, bukan membicarakan hal hal yang bermanfaat untuk menambah keilmuan. Cukup sedih, ternyata masih banyak yang awam tentang sirah shahabiyah. Padahal, dari sirah shahabiyah itulah dapat mengambil teladan.
Kembali lagi pada biografi Shafiyyah. Shafiyyah juga seorang ibu, untuk mencetak anak yang tangguh diperlukan ibu yang tangguh pula. Saya bisa meneladani bagaimana Shafiyyah binti Abdul Muthalib mendidik anaknya, Zubair bin Awwam. Shafiyyah membentuk kepribadian Zubair sejak usia dini. Ketika menginginkan anak yang berjiwa mujahid, tangguhkan dulu diri sendiri menjadi ibu yang berjiwa mujahidah. Apa jadinya saat menginginkan anak yang berjiwa mujahid tetapi diri sendiri tidak tangguh, kuat dan berani serta menjadi Muslimah yang senantiasa taat kepada Allah dan Rasul Nya? Jangan mengkhayal bisa menjadikan anak seperti Zubair bin Awwam.
Ketabahan Shafiyyah sungguh luar bisa, peristiwa yang sangat memilukan di medan Uhud, yaitu syahidnya Hamzah bin Abdul Muthalib, saudara kandugnya sendiri. Hamzah syahid dengan keadaan tubuh yang tidak utuh lagi. Hamzah dibunuh oleh Wahsyi, budak dari Hindun binti Utbah. Hindun dendam dengan Hamzah karena telah membunuh saudara Hindun di perang Badar. Setelah Hamzah mati, Hindun memakan jantung Hamzah kemudian dikeluarkan kembali karena pahit, selanjutnya mayat Hamzah dipotong potong oleh musuh. Saya mencoba mempelajari para Muslimah disekitar saya, masih banyak yang meratapi kepergian orang orang tercinta. Artinya terus menerus dalam kesedihan, perbuatan seperti ini tidak boleh dilakukan Muslimah sejati.
Yang membuat saya tambah kagum pada shahabiyah Shafiyyah binti Abdul Muthalib, adalah ketika beliau membunuh intelejen dari pihak musuh bahkan sampai dipenggal kepalanya. Saya mencoba merenung sejenak, jika saya berposisi jalan sendirian dan saya dihadang oleh orang jahat yang ingin mencoba mencelakai saya. Apakah saya bisa melawan orang tersebut, walau hanya menghajarnya dengan payung yang ada di dalam tas? Apalagi sampai mengikatnya? Saya jadi ragu dapat melakukan hal itu. Saya sadar, bahwa saya ini masih lemah. Jadi tidak mungkin melakukan seberani itu.
Sebenarnya, tidak perlu menunggu generasi Shafiyyah, tetapi membuat generasi Shafiyyah pada diri sendiri. Medan dakwah membutuhkan para Muslimah seperti ini, yang berjiwa mujahidah sejati. Tidak ada kata malas dalam kamus kehidupan, tidak ada kata gentar dalam kitab sejarah kehidupan, tidak ada kata takut dalam celah kehidupan, dan tidak ada lemah pada zhahirnya. Seperti bunga anggrek yang kokoh, menanti siraman ruhiyah dari Sang Khaliq. Lembut, namun perkasa di balik tabir parasnya yang elok dan cantik.
Shafiyyah sangat layak untuk menjadi teladan para Muslimah, namun sangat disayangkan, banyak Muslimah yang belum mengetahui biografi Shafiyyah yang begitu mulia ini. Ikut mengharumkan perjalanan dakwah Islam hingga saat ini serta ikut berjuang di medan jihad. Saya adalah wanita Muslimah, tidaklah pantas jika saya meneladani bahkan memuja muja para wanita yang tidak taat pada dinullah. Layaknya para selebriti yang gemar berzina. Naudzubillah.
Wallahualam bishawwab
Mujahidah: Ummu Waraqah, Kisah Sang Syahidah (1) Selasa, 06 Maret 2012, 13:10 WIB
Komentar : 0
photographyblogger.net
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Asy-Syahidah. Begitulah Rasulullah SAW menjuluki Ummu Waraqah. Sejarah Islam mencatatnya sebagai salah seorang Muslimah mulia dan yang paling mulia pada zamannya. Nabi Muhammad SAW pun sempat mengunjunginya beberapa kali.
Sejatinya, ia bernama lengkap Ummu Waraqah binti Abdullah atau dikenal dengan Ummu Waraqah binti Naufal. Sang Mujahidah adalah putri dari Abdullah bin Al- Haris bin Uwaimar bin Naufal Al-Anshariyah, dinisbahkan kepada kakeknya.
Hidupnya didedikasikan untuk kemajuan agama Allah SWT. Tak heran jika ia memiliki semangat yang begitu tinggi untuk menegakkan agama Islam. Bahkan, ia selalu bermimpi dan bercita-cita untuk mati syahid di jalan Sang Khalik. Ummu Waraqah pun tak pernah gentar dan takut selama berjuang di jalan kebenaran.
Ia rela membertaruhkan nyawanya untuk membela agama Allah SWT. Ketika pasukan tentara Muslim hendak bertempur dalam Perang Badar, Ummu waraqah langsung terpanggil.
Ia lalu berkata kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, izinkanlah aku berangkat bersamamu, sehingga aku dapat mengobati orang-orang yang terluka di antara kalian, merawat orang yang sakit di antara kalian, dan agar Allah mengaruniai diriku mati syahid."
Mendengar permintaan itu, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah akan mengaruniai dirimu syahadah, tapi tinggallah kamu di rumahmu, karena sesungguhnya engkau adalah syahidah (orang yang akan mati syahid)."
Ummu Waraqah pun mendedikasikan hidupnya untuk agama Islam. Ia turut mengumpulkan Alquran Al-Karim. Ia adalah seorang wanita yang ahli dalam membaca Alquran. Karena itu, Nabi SAW memerintahkannya agar menjadi imam bagi para wanita di daerahnya. Rasulullah SAW pun menyiapkan seorang muadzin baginya.
Dalam Al-Musnad dan As-Sunan dari hadits Abdurrahman bin Khalad dari Ummu Waraqah, bahwa Rasulullah SAW mengunjunginya, kemudian memberikan seorang muadzin untuknya. Abdurrahman berkata, "Aku melihat muadzin tersebut seorang laki-laki yang sudah tua."
Ummu Waraqah menjadikan kediamannya sebagai rumah Allah. Di tempat itu, ia menegakkan shalat lima waktu. Alangkah terhormatnya seorang wanita yang menduduki posisi sebagaimana seorang wanita mukminah seperti Ummu Waraqah.
Ummu Waraqah senantiasa istiqamah dengan keadaannya, yaitu menjaga syariat-syariat Allah. Ia mengisi kehidupannya dengan menegakkan syiar Islam. Sungguh mulia akhlak Ummu Waraqah. Ia telah menjadikan rumahnya sebagai masjid. Menghiasinya dengan ibadah. Seluruh waktunya diisi dengan sangat amanah. Tiada waktu dilalui tanpa Kitabullah. Seorang mukminah shalihah.
Mujahidah: Ummu Waraqah, Kisah Sang Syahidah (2-habis) Selasa, 06 Maret 2012, 13:15 WIB
Komentar : 0
photographyblogger.net
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Ummu Waraqah termasuk salah seorang penduduk Kota Madinah yang sangat bersyukur dan berbahagia dengan kehadiran Nabi Muhammad SAW.
Kebahagian itu merasuk ke relung-relung hatinya. Karena kepribadian Rasulullah SAW sudah lama didengar, dan risalahnya telah lama diimani.
Ummu Waraqah tidak hanya pandai membacanya, melainkan juga memahami dan menghafalnya dengan baik. Ia juga turut berjasa menghimpun dan menuliskan ayat-ayat Alquran pada tulang, kulit, pelepah kurma dan lain-lain. Ia berhasil menghimpun ayat-ayat Allah di rumahnya.
Setelah Rasulullah SAW wafat, dan Abu Bakar RA berencana menghimpun Alquran, Ummu Waraqah ditunjuk Khalifah untuk menjadi salah seorang rujukan penting bagi Zaid bin Tsabit sebagai pelaksana proyek. Hingga pada suatu hari, budak laki-laki dan perempuannya yang telah dijanjikan akan dimerdekakan setelah ia wafat ternyata membunuhnya.
Tatkala pagi, Umar bin Khathab berkata, "Demi Allah, aku tidak mendengar suara bacaan Alquran dari bibiku (Ummu Waraqah) semalam." Kemudian Umar memasuki rumahnya, namun tidak melihat suatu apa pun. Kemudian Umar memasuki kamarnya, ternyata Ummu Waraqah telah terbungkus dengan kain di samping rumah (yakni telah wafat).
Umar lalu berkata, "Alangkah benar sabda Rasulullah SAW ketika bersabda, "Marilah pergi bersama kami untuk mengunjungi wanita yang syahid."
Lalu Umar naik mimbar dan menyampaikan berita tersebut lantas berkata, "Hadapkanlah dua budak tersebut kepadaku!"
Maka, datanglah dua orang budak tersebut dan ia menanyai keduanya. Mereka mengakui telah membunuh Ummu Waraqah. Umar Lalu memerintahkan agar kedua orang budak tersebut disalib, dan mereka berdualah orang yang pertama kali disalib di Madinah. Seluruh penduduk Madinah pun berduka atas meninggalnya sang mujahidah.
Mujahidah: Ummu Fadhl, Teladan Para Muslimah (1) Kamis, 08 Maret 2012, 18:54 WIB
Komentar : 0
fizzyenergy.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Ia adalah salah seorang dari empat wanita yang keimanannya dipersaksikan oleh Rasulullah SAW.
Muslimah yang sangat beruntung itu bernama Lubabah binti Al-Haris bin Huzn bin Bajir bin Hilaliyah. Ia juga dikenal dengan nama Lubabah Al-Kubra serta akrab dipanggil Ummu Fadhl.
Ummu Fadhl adalah istri Abbas, paman Rasulullah SAW. Ia dikaruniai enam orang anak yang mulia dan pandai. Dan belum ada seorang wanita pun yang melahirkan laki-laki semisal mereka. Mereka adalah Fadhl, Abdullah Al- Faqih, Ubaidullah Al-Faqih, Ma'bad, Qatsam dan Abdurrahman.
"Tak pernah ada wanita mulia yang melahirkan dari bibit suaminya, baik yang hidup di pegunungan maupun di dataran rendah, sebagaimana enam anak yang terlahir dari rahim Ummul Fadhl," ungkap Abdullah bin Yazid mengisahkan kemuliaan Ummu Fadhl.
Ummu Fadhl masuk Islam sebelum peristiwa hijrah. Ia adalah wanita pertama yang masuk Islam setelah Khadijah (Ummul Mukminin RA) sebagaimana yang dituturkan oleh putranya, Abdullah bin Abbas RA, "Aku dan Ibuku adalah termasuk orang-orang yang tertindas dari wanita dan anak-anak. "
Ummu Fadhl termasuk wanita yang berkedudukan tinggi dan mulia di kalangan para wanita. Rasulullah SAW terkadang mengunjunginya dan terkadang tidur siang di rumahnya.
Ia juga dikenal sebagai seorang mujahidah yang pemberani. Ia bahkan berani memerangi Abu Lahab si musuh Allah SWT dan membunuhnya. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishak dari Ikrimah, ia berkata, "Abu Rafi budak Rasulullah SAW berkata, 'Aku pernah menjadi budak Abbas, ketika Islam datang maka Abbas masuk Islam disusul oleh Ummu Fadhl, namun Abbas masih disegani kaumnya."
Ketika pasukan tentara Quraisy dikalahkan dalam Perang Badar, Abu Rafi sempat disiksa oleh Abu Lahab ketika menjelaskan tentang kehebatan pasukan tentara Rasulullah SAW. "Demi Allah, itu adalah malaikat. Tiba-tiba Abu Lahab mengepalkan tangannya dan memukul aku dengan pukulan yang keras. Aku telah membuatnya marah, kemudian dia menarikku dan membantingku ke tanah, selanjutnya dia dudukkan aku dan memukuliku sedangkan aku adalah laki-laki yang lemah," tutur Abu Rafi. Mujahidah: Ummu Fadhl, Teladan Para Muslimah (2-habis) Kamis, 08 Maret 2012, 18:59 WIB
Komentar : 0
fizzyenergy.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Melihat tindakan keji Abu Lahab itu, berdirilah Ummu Fadhl mengambil sebuah tiang dari batu kemudian dipukulkannya kepada Abu Lahab, sehingga melukainya dengan parah.
Ummu Fadhl lalu berkata, "Kamu beraninya memukul orang lemah, ketika tak ada majikannya."
Abu Lahab pun terhina. Hanya berselang tujuh hari dari peristiwa itu, Abu Lahab mati karena penyakit bisul yang dideritanya.
Ummu Fadhl adalah sosok Muslimah yang pemberani. Ia Tak takut berhadapan dengan musuh-musuh Allah. Bahkan dengan keberaniannya, ia dapat menghantam serta meruntuhkan kesombongan dan kehormatan musuh-musuh Allah SWT.
Sejarah Islam mencatat Ummu Fadhl adalah teladan bagi para Muslimah. Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thabaqat al-Kubra, menyatakan bahwa Ummu Fadhl suatu hari bermimpi dengan mimpi yang menakjubkan, sehingga ia bersegera untuk mengadukannya kepada Rasulullah SAW.
"Wahai Rasulullah, saya bermimpi seolah-olah sebagian dari anggota tubuhmu berada di rumahku," tutur Ummu Fadhl.
Rasulullah SAW bersabda, "Mimpimu bagus, kelak Fatimah melahirkan seorang anak laki-laki yang nanti akan engkau susui dengan susu yang engkau berikan buat anakmu (Qatsam)."
Tidak berselang lama, Fatimah RA melahirkan Hasan bin Ali yang kemudian diasuh oleh Ummu Fadhl. "Suatu ketika, aku mendatangi Rasulullah dengan membawa Hasan. Rasulullah segera menggendong dan mencium bayi tersebut, namun tiba-tiba bayi tersebut mengencingi Rasulullah," tuturnya.
Lalu Nabi SAW bersabda, "Wahai Ummu Fadhl peganglah anak ini karena dia telah mengencingiku."
Ummu Fadhl berkata, "Maka aku ambil bayi tersebut dan aku cubit sehingga dia menangis."
Ketika melihat bayi tersebut menangis, Rasulullah berkata, "Wahai Ummu Fadhl, justru engkau yang menyusahkanku karena telah membuat anakku menangis."
Kemudian Rasulullah SAW meminta air dan dipercikkannya ke tempat yang terkena air kencing.
"Jika bayi laki-laki maka percikilah dengan air, akan tetapi apabila bayi wanita maka cucilah," sabda Rasulullah SAW.
Ummu Fadhl pun termasuk Muslimah yang turut berjasa meriwayatkan hadits. Ia mempelajari hadis asy-Syarif dari Rasulullah. Ia meriwayatkan sebanyak tiga puluh hadits.
Ummu Fadhl wafat pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Ia telah meninggalkan teladan yang layak ditiru para Muslimah.
Mujahidah: Halimah Sa'diyah, Ibu Susuan Rasulullah SAW (2-habis) Selasa, 14 Februari 2012, 20:19 WIB
Komentar : 0
Blogspot.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Selama empat tahun Rasulullah SAW bersama Halimah. Halimah itu orang miskin, seperti Siti Aminah yang juga miskin. Tapi semenjak dapat anak angkat Rasulullah, rezkinya berlimpah.
Dalam sekejap, kehidupan rumah tangga Halimah berubah total. Dan itu menjadi buah bibir di kampungnya. Mereka melihat, keluarga yang tadinya miskin tersebut hidup penuh kedamaian, kegembiraan, dan serba kecukupan.
Domba-domba yang mereka pelihara menjadi gemuk dan semakin banyak air susunya, walaupun rumput di daerah mereka tetap gersang. Peternakan domba milik Halimah berkembang pesat, sementara domba-domba milik tetangga mereka tetap saja kurus kering. Padahal rumput yang dimakan sama.
Karena itulah, mereka menyuruh anak-anak menggembalakan domba-domba mereka di dekat domba-domba milik Halimah. Namun hasilnya tetap saja sama, domba para tetangga itu tetap kurus kering.
Semenjak dengan Halimah, Rasulullah SAW tak pernah minta makanan, diberi atau tidak diberi makan, beliau tidak minta. Tidak seperti anak-anak lainnya yang jika lapar akan meminta makan.
Selain itu, saat mengambil Rasulullah SAW sebagai anak susuan, air susu Halimah bertambah banyak. Ia pun heran. Sebab, selama ini air susunya bukan tidak ada tapi tidak begitu banyak. Namun, semenjak muncul Nabi SAW, air susunya berlimpah.
Anehnya lagi, ketika sudah menyusu di susu sebelah dan hendak diberikan sebelah lain lagi, Nabi Muhammad tutup mulut kuat-kuat. Halimah paham Rasulullah SAW ajar dia yang sebelah ini untuk saudaranya, Damrah.
Sejak kecil Allah SWT sudah menganugerahkan sifat keadilan pada Rasulullah SAW. Nabi SAW tidak ingin mengambil bagian yang bukan untuknya. Rasulullah pun tak pernah menangis, tidak seperti anak kecil lainnya yang pasti menangis.
Muhammad cilik dikembalikan ke Makkah setelah terjadi peristiwa pembelahan dada. Dua malaikat datang menghampirinya dengan membawa bejana dari emas berisi es. Mereka membelah dada Rasulullah SAW dan mengeluarkan hatinya.
Hati itu dibedah dan dikeluarkan gumpalan darah yang berwarna hitam. Kemudian dicuci dengan es. Setelah itu dikembalikan seperti semula. Halimah khawatir dengan keselamatan Muhammad cilik. Ia dan suaminya sepakat mengembalikan Muhammad kepada ibunya.
Ketika diserahkan, Halimah tidak tahu apa yang terjadi pada Rasulullah SAW, sebab untuk mendapat informasi di zaman itu sangatlah susah. Tiba- tiba ketika umur Rasulullah SAW 40 tahun, terdengarlah berita oleh Halimah, rupanya anak susuannya menjadi rasul.
Namun demikian, untuk berjumpa dengan Rasulullah SAW begitu susah. Halimah memeluk Islam di tangan orang lain dan bukan di tangan Rasulullah SAW. Hanya suatu hari Halimah dapat berjumpa dengan Rasulullah SAW. Halimah pun merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Selepas itu Halimah pun meninggal dunia. Itulah terakhir kalinya dia berjumpa dengan Rasulullah SAW.
Mujahidah: Halimah Sa'diyah, Ibu Susuan Rasulullah SAW (1) Selasa, 14 Februari 2012, 20:07 WIB
Komentar : 0
Blogspot.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah tangis bayi yang baru lahir terdengar dari sebuah rumah di kampung Bani Hasyim di Makkah pada 12 Rabiul Awwal 571 M.
Bayi itu lahir dari rahim Aminah dan langsung dibopong seorang bidan yang bernama Syifa, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf. Bayimu laki-laki!
Aminah tersenyum lega. Tetapi seketika ia teringat kepada mendiang suaminya, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang telah meninggal enam bulan sebelumnya. Bayi yang kemudian oleh kakeknya diberi nama Muhammad(Yang Terpuji) itu lahir dalam keadaan yatim.
Ayahnya meninggal di Yatsrib ketika dia berusia tiga bulan dalam kandungan ibundanya. Kelahiran yang yatim ini dituturkan dalam Al-Quran, Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? (QS. Adh-Dhuha: 6).
Aminah, janda beranak satu itu, hidup miskin. Suaminya hanya meninggalkan sebuah rumah dan seorang budak, Barakah Al-Habsyiyah (Ummu Aiman). Sementara sudah menjadi kebiasaan bangsawan Arab waktu itu, bayi yang dilahirkan disusukan kepada wanita lain. Khususnya kepada wanita dusun, supaya hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang baku.
Ada hadits yang mengatakan, kebakuan bahasa warga Arab yang dusun lebih terjaga. Menunggu jasa wanita yang menyusui, Aminah menyusui sendiri Muhammad kecil selama tiga hari. Lalu dilanjutkan oleh Tsuwaibah, budak Abu Lahab, paman Nabi Muhammad, yang langsung dimerdekakan karena menyampaikan kabar gembira atas kelahiran Nabi, sebagai ungkapan rasa senang Abu Lahab.
Kemudian Muhammad dan bayi kalangan terpandang Arab akan disusui oleh murdiat (para wanita yang menyusui bayi). Rasulullah SAW ditawarkan kepada murdiat dari Bani Saad yang sengaja datang ke Makkah mencari bayi- bayi yang masih menyusu dengan harapan mendapat bayaran dan hadiah.
Namun, mereka menolak karena Rasulullah SAW adalah anak yatim. Meski demikian, Halimah Sadiyah tidak mendapatkan seroang bayi yang akan disusui. Karena itu, agar pulang tanpa tangan hampa, ia mengambil Rasulullah SAW yang yatim itu sebagai anak susuannya.
Keberadaan Muhammad kecil memberi berkah kepada keluarga Halimah, bahkan bagi kabilahnya. Setelah dua tahun, Halimah membawa Muhammad kecil mengunjungi ibunya. Karena sadar bahwa keberadaan Muhammad kecil memberi berkah kepada kampungnya, Halimah memohon Aminah agar Muhammad kecil diizinkan tinggal kembali bersama Bani Saad. Aminah pun menyetujuinya.
Halimah itu bermakna lemah lembut, berkasih sayang ataupun orang baik. Halimah berasal dari Bani Sa'ad. Halimah Sadiyah berarti Halimah yang lemah lembut yang bahagia.
Ummu Habibah: Keteguhan Iman Sang Ummu Mukminin (1) Senin, 12 Maret 2012, 06:45 WIB
Komentar : 0
Blogspot.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Agama dan akidah merupakan priotitas utama dalam hidup Ummu Habibah. Dengan lantang, sang Muslimah memproklamirkan diri bahwa loyalitasnya hanya dipersembahkan untuk Allah SWT dan Rasulullah SAW.Ujian dan penderitaan hidup yang dialaminya, tak sedikit pun menggoyahkan imannya.
Sejatinya, sang mujahidah itu bernama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin Abdi Syams. Ia dilahirkan 13 tahun sebelum Muhammad SAW diutus menjadi nabi dan rasul. Ummu Habibah berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya bernama Abu Sufyan dan ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams.
Sejak belia, Ummu Habibah dikenal sebagai anak yang berkpribadian kuat, fasih bicaranya, encer otaknya dan cantik parasnya. Ia dipersunting seorang pemuda bernama Ubaidillah bin Jahsy. Suaminya terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahim AS, yang tak menyembah berhala dan tak suka mabuk serta berjudi.
Sempat terbesit dalam hati Ummu Habibah untuk mengikuti agama sang suami. Pada zaman itu, mayoritas penduduk Makkah menyembah berhala yang mereka buat sendiri. Tak lama setelah menjadi istri Ubaidillah, Muhammad diutus sebagai Nabi dan Rasulullah. Gemparlah penduduk Makkah mendengar datangnya agama samawi bernama Islam itu.
Sang suami, Ubaidillah memilih memeluk agama baru itu. Ia lalu mengajak Ummu Habibah untuk memeluk Islam bersamanya. Kaum kafir Quraisy murka dan marah besar dengan datangnya Islam. Mereka pun melakukan terror dan mengintimidasi siapapun yang memeluk agama Allah SWT itu.
Rasulullah SAW lalu memerintahkan Kaum Muslimin untuk berhijrah ke Habasyah (Etopia). Ummu Habibah bersama suaminya termasuk dalam kelompok umat Islam yang turut berhijrah.
Saat itu, ia sedang mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, Ummu Habibah melahirkan seorang putri bernama Habibah. Orang-orang kemudian memanggilnya Ummu Habibah. Setelah beberapa lama tinggal di Etopia, umat Muslim yang hijrah itu mendengar bahwa Islam telah menguat dan menyebar di Makkah.
Banyak di antara mereka yang kemudian memutuskan kembali ke tanah kelahirannya di Makkah. Namun, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk tetap tinggal di benua Afrika.
Mereka yang akan kembali ke Makkah, di tengah perjalanan mendengar bahwa kaum kafir Quraisy makin gencar menebar terror dan menindas pemeluk agama Islam. Akhirnya, mereka kembali ke Habasyah. Bertahun-tahun, umat Islam yang tinggal di Afrika itu menunggu kabar baik dari Makkah.
Keimanan Ummu Habibah pun mulai diuji. Ubaidillah yang mengajaknya masuk Islam justru menjadi pesimis dan putus asa bahwa agama yang dibawa Muhammad SAW akan berkembang. Ia pun memilih murtad dari Islam dan memeluk agama orang-orang Habasyah, yakni nasrani.
"Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani," ujar Ubaidillah kepada istrinya
Ummu Habibah: Keteguhan Iman Sang Ummu Mukminin (2-habis) Senin, 12 Maret 2012, 07:01 WIB
Komentar : 0
Blogspot.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Ubaidillah yang dulunya tak pernah mabuk pun menjadi peminum. Sang suami pun akhirnya tewas karena terlalu banyak menenggak minuman keras.
Ummu Habibah pun sempat diajak sang suami meninggalkan Islam. Namun, dengan tegas ia menolaknya. Ummu Habibah memilih tinggal di Habasyah. Ia tak mungkin kembali ke Makkah, karena ayahnya adalah orang yang paling memusuhi Islam.
Suatu malam Ummu Habibah bermimpi. "Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul- Mukminin. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku," tuturnya. Mimpi itu akhirnya menjadi kenyataan.
Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW. "Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata, Raja berkata kepadamu, Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.
Sungguh gembira hati Ummu Habibah. Ia lalu berkata, "Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan."
Abrahah lalu berkata, "Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak rnengawinkanmu." Ummu Habibah lalu menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai walinya.
Sebagai tanda syukur, Ummu Habibah memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki, cincin perak yang dipakainya. Kabar pernikahannya dengan Rasulullah SAW merupakan pukulan telak bagi Abu Sufyan.
Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, "Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orangorang yang kamu musuhi di antara mereka..." (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi SAW menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.
Setelah menjadi Ummu Mukminin, ia akhirnya berkumpul bersama Rasulullah SAW di Madinah. Suatu hari, sang ayah datang menemui Rasulullah SAW di Madinah, dengan tujuan untuk bernegosiasi, karena mendengar pasukan Muslim akan menyerang Makkah.
Keimanan Ummu Habibah kembali diuji. Sang ayah mencoba untuk memperalatnya. Namun, upaya itu tak berhasil. Ia lebih mencintai Allah SWT dan Rasulullah. Abu Sufyan pun merasa makin terpukul dan kembali ke Makkah dengan perasaan kecewa.
Hingga akhirnya, kaum Muslimin berhasil menguasai Makkah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan menerina ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya.
Rasulullah SAW pun berkata, "Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat."
Inilah akhir penantian Ummu Habibah. Ia merasa bahagia, karena sang ayah telah memeluk Islam.
Mujahidah: Rufaidah binti Sa'ad, Perawat Islam Pertama (1) Rabu, 15 Februari 2012, 17:13 WIB
Komentar : 0
fundapk.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Sentuhan lembut penuh kemanusiaan menjadi penyemangat para mujahid yang teluka. Masa-masa peperangan di bawah kepemimpinan Rasulullah tak hanya melahirkan para lelaki Muslim yang tangguh. Tapi juga seorang mujahidah yang berada di tepi garis batas, Rufaidah binti Saad.
Sosok Muslimah tersebut memiliki nama lengkap Rufaidah binti Saad Al-Bani Aslam Al-Khazraj. Pengabdiannya sangat besar saat Perang Badar, Uhud, dan Khandaq berkobar. Keahliannya di bidang ilmu keperawatan membuat hatinya terpanggil sebagai sukarelawan bagi korban yang terluka akibat perang.
Dia juga mendirikan rumah sakit lapangan yang amat membantu para mujahid saat perang. Semangat Rufaidah membuat Rasulullah SAW pun memerintahkan agar para korban yang terluka dirawat oleh Rufaidah.
Keahlian Rufaidah menitis dari sang ayah yang berprofesi sebagai dokter. Sedari kecil dia seringkali membantu merawat orang sakit. Rufaidah lahir di Madinah. Dia termasuk kaum Anshar, golongan yang pertama kali menganut Islam di Madinah. Di saat Kota Madinah berkembang pesat, dia membangun tenda di luar Masjid Nabawi saat dalam keadaan damai.
Rufaidah juga melatih beberapa kelompok wanita untuk menjadi perawat. Kelompok ini mengambil peran penting dalam Perang Khibar. Mereka meminta izin kepada Rasulullah untuk ikut di garis belakang pertempuran serta merawat mujahid yang terluka.
Tercatat pula dalam sejarah saat Perang Khandaq, Saad bin Muadz yang terluka dan tertancap panah di tangannya, dirawat oleh Rufaidah hingga stabil/homeostatis. Momen ini dikenang sebagai awal mula dunia medis dan dunia keperawatan.
Kelembutan hati Rufaidah nyatanya tak terbendung. Dia juga menaruh perhatian terhadap aktivitas masyarakat. Dia memberikan perawatan layanan kesehatan kepada anak yatim dan penderita gangguan jiwa. Kepribadian yang luhurnya ditunjukkan dengan pengabdian serta layanan yang baik bagi kaum papa tersebut.
Mujahidah: Rufaidah binti Sa'ad, Perawat Islam Pertama (2-habis) Rabu, 15 Februari 2012, 17:23 WIB
Komentar : 0
fundapk.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Selanjutnya, seiring perkembangan kekhalifahan Islam, klasifikasi perkembangan dunia keperawatan dalam dunia Islam terbagi dalam:
1. Masa penyebaran Islam (The Islamic Period) 570 632 M. Pada masa ini keperawatan sejalan dengan perang kaum Muslimin/jihad (holy wars), pada masa inilah Rufaidah binti Saad memberikan kontribusinya kepada dunia keperawatan.
2. Masa setelah Nabi (Post Prophetic Era) 632 1000 M. Masa ini setelah nabi wafat. Pada masa ini lebih didominasi oleh kedokteran dan mulai muncul tokoh- tokoh Islam dalam dunia kedokteran seperti Ibnu Sina (Avicenna), dan Abu Bakar Ibnu Zakariya Ar-Razi (Ar-Razi).
3. Masa pertengahan 1000 1500 M. Pada masa ini negara-negara di Jazirah Arab membangun rumah sakit dengan baik dan memperkenalkan metode perawatan orang sakit. Di masa ini mulai ada pemisahan antara kamar perawatan laki-laki dan perempuan dan sampai sekarang banyak diikuti semua rumah sakit di seluruh dunia.
4. Masa Modern ( 1500 sekarang ). Pada masa inilah perawat-perawat asing dari dunia barat mulai berkembang. Saat itu, seorang perawat/bidan Muslimah pada tahun 1960 yang bernama Lutfiyyah Al-Khateeb mendapatkan Diploma Keperawatan di Kairo.
Menurut Prof D. Omar Hasan Kasule, Sr dalam studi "Paper Presented at the 3rd International Nursing Conference Empowerment and Health: An Agenda for Nurses in the 21st Century yang diselenggarakan di Brunei Darussalam 1-4 Nopember 1998, Rufaidah adalah perawat profesional pertama di masa sejarah Islam.
Ia hidup di masa Nabi Muhammad SAW di abad pertama Hijriyah/abad ke-8 Masehi. Kasule menggambarkannya sebagai perawat teladan, baik dan bersifat empati. Rufaidah juga dikenal sebagai seorang pemimpin, organisatoris, mampu memobilisasi dan memotivasi orang lain.
Pengalaman klinisnya pun tak segan dia bagi pada perawat lain yang dilatih dan bekerja dengannya. Dia tidak hanya melaksanakan peran perawat dalam aspek klinikal semata. Namun juga melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Rufaidah adalah perawat dan pekerja sosial yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia Islam.
Rufaidah juga sebagai pemimpin dan pencetus sekolah keperawatan pertama di dunia Islam. Ia juga merupakan penyokong advokasi pencegahan penyakit dan menyebarkan pentingnya penyuluhan kesehatan.
Dalam sejarah Islam tercatat beberapa nama yang bekerja bersama Rufaidah seperti Ummu Ammara, Aminah binti Qays Al-Ghifariyat, Ummu Ayman, Safiyah, Ummu Sulaiman, dan Hindun. Di masa sesudah Rufaidah, ada pula beberapa wanita Muslim yang terkenal sebagai perawat. Di antaranya Kuayibah, Aminah binti Abi Qays Al-Ghifari, Ummu Atiyah Al-Ansariyah, Nusaibah binti Kaab Al- Maziniyah, dan Zainab dari kaum Bani Awad yang ahli dalam penyakit dan bedah mata.
Mujahidah: Shafiyyah binti Abdul Muthalib, Saudari ''Singa Allah'' (1) Senin, 12 Maret 2012, 21:01 WIB
Komentar : 0
fundapk.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Kepribadiannya sungguh kuat, tutur katanya begitu fasih, pemikirannya amat cerdas. Begitulah sejarah peradaban Islam menggambarkan sosok Muslimah pemberani bernama Shafiyyah binti Abdul Muthalib. Ia adalah bibi Rasulullah SAW, yang begitu gigih membela agama Islam di awal perkembangannya.
Mujahidah yang dikenal sebagai pejuang yang sabar dan penyair ulung itu bernama lengkap Shafiyyah binti Abdul Muththalib bin Hisyam bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab Al-Qurasyiyah Al-Hasyimiyah. Syafiyyah merupakan saudara kandung Hamzah bin Abdul Muthalib yang bergelar ''Singa Allah''.
Ia juga merupakan ibu kandung sahabat agung, Zubair bin Awwam. Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi dalam Nisaa Haular Rasul mengisahkan, Shafiyyah tumbuh di rumah Abdul Muthalib, pemuka Quraisy dan orang yang memiliki kedudukan yang tinggi, terpandang, dan mulia.
"Faktor lingkungan inilah yang membuat Shafiyyah menjadi seorang wanita yang kuat, cerdas, pemberani dan ahli menunggang kuda," papar Al-Istanbuli dan Asy-Syalabi. Syafiyyah juga termasuk angkatan pertama yang beriman kepada ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad SAW.
Ia juga turut berhijrah bersama putranya ke Madinah, ibukota Islam yang pertama. Menurut Al-Istanbuli, Shafiyyah menyaksikan dan turut berperan dalam menyebarkan ajaran Islam. Semangat jihad yang tumbuh dalam jiwanya mendorong sang mujahidah untuk turut serta ke medan Perang Uhud bersama rombongan kaum wanita untuk mengobarkan semangat keberanian para mujahid.
Shafiyyah pun turut mengobati mujahidin yang mengalami luka-luka dalam pertempuran. Kemenangan yang telah digenggam kaum Muslimin di medan Perang Uhud berbalik menjadi kekalahan ketika pasukan pemanah mengabaikan perintah Rasulullah. Pasukan Muslim pun kocar-kacir ketika mendapat serangan balasan dari tentara musuh.
Namun tidak dengan Shafiyyah. Ia tetap berdiri dengan berani berbekal tombak di tangannya. Ia geram melihat tentara Muslim kocar-kacir meninggalkan Rasulullah SAW. Ia mengibas-ngibaskan tombak yang digenggamnya dan hendak memukulkannya ke wajah orang-orang yang mudur dari peperangan seraya berkata, Apakah kalian hendak meninggalkan Rasulullah SAW?
Mujahidah: Shafiyyah binti Abdul Muthalib, Saudari ''Singa Allah'' (2-habis) Senin, 12 Maret 2012, 21:17 WIB
Komentar : 0
fundapk.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Pada pertempuran itu, saudara kandungnya, Hamzah, gugur sebagai syuhada. Shafiyyah menerima kabar duka itu dengan penuh kesabaran, ketabahan, dan ketegaran.
Sungguh, ia telah menjadi teladan bagi Muslimah lainnya dalam menghadapi musibah.
Ia mengisahkan sendiri kepada kita apa yang disaksikannya, ''Pada hari terbunuhnya Hamzah, Zubair menemuiku dan berkata, Wahai ibunda, sesungguhnya Rasulullah SAW menyuruh engkau agar kembali," tutur Syafiyyah.
Syafiyyah menjawab, "Mengapa? Sungguh telah sampai kepadaku tentang dicincangnya saudaraku, namun dia syahid karena Allah. Kami sangat ridha dengan apa yang telah terjadi, sungguh aku akan bersabar dan tabah insya Allah."
Setelah Zubair memberitahukan kepada Rasulullah SAW tentang pernyataan Shafiyyah, beliau bersabda, ''Berilah jalan baginya...!''
Maka Shafiyyah mendapatkan Hamzah. Dan tatkala melihat jasad saudaranya, ia hanya berujar, "Inna Lillahi wa inna ilaihi rajiun." Kemudian Shafiyyah memohon ampunan bagi Hamzah. Setelah itu, Rasulullah SAW memerintahkan untuk menguburnya.
Kepahlawanan Shafiyyah sebagai seorang mujahidah tampak pada Perang Khandaq, saat pasukan Yahudi mencoba menyerang tempat kaum wanita. Ketika itu para Muslimah dan anak-anak berada dalam sebuah benteng. Di sana ada juga Hassan bin Tsabit RA.
Ketika ada orang Yahudi mengelilingi benteng, sedangkan kaum Muslimin sedang menghadapi musuh, maka Shafiyyah langsung bangkit dan kemudian turun dari benteng. Ia menunggu kesempatan lengahnya orang Yahudi tersebut dan lalu memukulnya tepat pada ubun-ubun secara bertubi-tubi hingga dapat membunuhnya.
Sungguh pada diri Syafiyyah terdapat teladan bagi para Muslimah.
Mujahidah: Saudah binti Zam'ah, Sang Ummul Mukminin (1) Kamis, 16 Februari 2012, 16:09 WIB
Komentar : 0
Wallpaperimper.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Saudah binti Zamah, perempuan yang namanya tidak sepopuler istri-istri Nabi Muhammad SAW seperti Khadijah binti Khuwailid dan Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Namun kedudukannya sederajat, sama-sama mulia di sisi Allah dan Rasulullah. Dia ikut berjihad di jalan Allah, dan termasuk perempuan yang hijrah dari Makkah ke Habbasyah, lalu hijrah dari Makkah ke Madinah. Perjalanan hidupnya penuh dengan keteladan yang patut diikuti, terutama kaum Muslimah.
Putri dari Zamah bin Qais dan Syamusy binti Qais bin Zaid An-Najjariyyah ini berasal dari suku Quraisy Amiriyah. Sejak kecil ia memiliki sifat-sifat menonjol yang berbeda dibandingkan anggota keluarga yang lain.
Saudah perempuan cerdas, dan memiliki wawasan luas. Kecemerlangan pikiran dan hatinya menggiring Saudah mendapat hidayah. Dia cepat memahami ajaran Islam yang diperkenalkan suaminya, Syukran bin Amr, yang mendapat hidayah saat Rasulullah menyebarkan Islam terang- terangan.
Sayangnya, keislaman Syukran bersama istri dan kaum Muslimin saat itu tidak mendapat sambutan dari penganut agama nenek moyang. Mereka dihina, dianiaya, bahkan dikucilkan dari keluarga.
Dalam kondisi yang serba tertekan ini, Syukran bersama kaum Muslimin mengadu kepada Rasulullah. Demi keselamatan mereka, Rasulullah menyarankan segera hijrah dari Makkah ke Habbasyah. Nasehat tersebut diamini, lalu mereka segera hijrah ke tempat yang disarankan Rasulullah.
Demi Islam yang diyakini, Saudah mengikuti suami hijrah ke Habbasyah. Walaupun perasaannya berat meninggalkan kampung halaman, termasuk ayah dan keluarganya yang belum mendapat hidayah. Sebelumnya, sudah ada rombongan yang hijrah lebih dulu ke Abbasyah, di antaranya Utsman bin Affan bersama istrinya Ruqayah binti Muhammad SAW.
Singkatnya, selama di Habbasyah mereka mendapat sambutan yang baik dari raja setempat. Mereka menjadi tamu raja, padahal petinggi Habbasyah bukan pemeluk Islam. Kabar mengejutkan sekaligus menggembirakan muncul ketika pemuka Quraisy yang disegani, Umar bin Khathab, masuk Islam. Umat Islam di Habbasyah berharap bisa kembali ke Makkah dan dijamin selamat dari gangguan kaum Quraisy.
Syukran bin Amr dan Saudah termasuk rombongan yang ikut kembali ke Makkah. Di perjalanan, suami Saudah yang juga anak dari pamannya ini jatuh sakit. Dia meninggal dunia di tengah perjalanan dari Habbasyah menuju Makkah. Betapa sedihnya Saudah kehilangan suami yang selalu bersamanya jihad di jalan Allah.
Mujahidah: Saudah binti Zam'ah, Sang Ummul Mukminin (2-habis) Kamis, 16 Februari 2012, 16:18 WIB
Komentar : 0
Wallpaperimper.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Janda Saudah binti Zam'ah adalah perempuan pertama yang dinikahi Nabi Muhammad SAW setelah Khadijah wafat.
Diriwayatkan, saat itu para sahabat memerhatikan kesendirian Rasulullah sepeninggal istri tercintanya. Barangkali dengan pernikahan dapat menghibur dan mengurus Rasulullah, serta putri-putrinya. Namun, siapa yang berani menyampaikan usulan tersebut kepada Rasulullah?
Khaulah binti Hakim yang berani menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Berbagai sumber menjelaskan, perempuan ini mengajukan nama Aisyah binti Abu Bakar sebagai calon istri Nabi. Namun usianya masih kecil, sehingga baru dipinang lebih dulu, dan menikahinya menunggu hingga cukup. Selama masa menunggu tersebut, Saudah yang dipilih sebagai istri Rasulullah.
Dibandingkan dengan Aisyah, Saudah binti Zamah jauh lebih tua. Usianya saat itu mencapai 55 tahun. Ia juga bukan perempuan yang kaya raya seperti Khadijah. Tubuhnya tinggi besar, dan tidak cantik. Namun, Rasulullah tetap memilih Saudah sebagai istrinya. Di mata Rasulullah, Saudah sosok perempuan yang sabar, mujahidah yang ikut hijrah bersama kaum Muslimin, dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyik.
Rasulullah meminta Khaulah menyampaikan niat baiknya itu kepada Saudah. Ketika bertemu Saudah, Khaulah dengan gembira berkata, "Apa gerangan yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yang sebesar ini?"
Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, terutama setelah orang-orang mencampakkan karena kematian suaminya. Saudah menyetujui pinangan Rasulullah, dan meminta Khaulah menemui ayahnya, Zamah bin Qais. Pernikahan Rasulullah dengan Saudah dilangsungkan dengan baik pada bulan Syawal tahun ke 10 Nubuwah.
Saudah dikenal sebagai perempuan yang suka bersedekah dan berbudi luhur. Sedangkan sebagai istri, dia suka menyenangkan suami dengan kesegaran candanya.
Diriwayatkan oleh Ibrahim An-Nakhai, bahwasannya Saudah berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, tadi malam aku shalat di belakangmu, ketika rukuk punggungmu menyentuh hidungku dengan keras, maka aku pegang hidungku karena takut kalau keluar darah." Mendengar itu, Rasulullah tertawa.
Sebagai ibu rumah tangga, Saudah tinggal kediaman Rasulullah sampai Aisyah datang menjadi istri Nabi. Usianya yang sudah lanjut membuatnya iklas waktu kebersamaan dengan Rasulullah diserahkan kepada Aisyah. Walaupun begitu, ia tetap bekerja keras mengurus rumah hingga Nabi wafat.
Aisyah sering menyebut kebaikan dan memuji Saudah. "Tidak seorang pun yang lebih aku sukai dalam dirinya daripada Saudah binti Zamah, hanya saja dia agak keras wataknya," kata Aisyah dalam sebuah riwayat.
Semasa hidupnya, Saudah termasuk istri Rasulullah yang banyak menghafal dan menyampaikan hadist-hadist Nabi. Ia wafat di akhir kekhalifahan Umar bin Khathab di Madinah tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal, dia mewasiatkan rumahnya kepada Aisyah
Mujahidah: Zubaidah binti Ja'far, Perempuan di Balik Kegemilangan Abbasiyah (1) Jumat, 17 Februari 2012, 14:56 WIB
Komentar : 0
theflowerexpert.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Di belakang pria hebat, pastilah ada sosok wanita kuat. Begitulah peran permaisuri dari khalifah kelima Dinasti Abbasiyah, Harun Al- Rashid. Sosok sang ratu, Zubaidah binti Ja'far, menjadi kesayangan rakyatnya karena selalu memerhatikan kebutuhan mereka.
Karakter kuat perempuan bernama lahir Amatul Aziz binti Jafar bin Abi Jafar Al- Mansour ini sangat berpengaruh pada pemerintahan dinasti terbesar Islam, Abbasiyah. Panggilan Zubaidah diberikan sang kakek karena kulitnya yang putih bersih serta sikapnya yang lembut.
Zubaidah yang terlahir tahun 765 Masehi menikah dengan Sultan Harun pada 781 Masehi atau saat pemerintahan dinasti di bawah Al-Mahdi. Rasa cinta kasihnya tercurah utuh pada sang suami. Tapi, dia tak hanya sekadar mendampingi kegiatan kerajaan, acapkali Sultan Harun meminta pendapat istrinya.
Nyatanya, Zubaidah tak hanya dikaruniai paras rupawan. Kelebihannya terletak pada wawasannya, sikap bijaksana, dan berjiwa pemberani. Bakat seni juga dimiliki sang permaisuri. Dia menulis banyak puisi yang diikutkan dalam pagelaran seni. Keunikan isi puisinya menahbiskannya sebagai salah satu patron seni di Irak.
Dukungannya cukup besar untuk regenerasi bidang seni dan keilmuan. Pasalnya, Zubaidah menawarkan hadiah sejumlah uang bagi para sastrawan dan ilmuwan dunia yang mau mengembangkan karyanya di Kota Baghdad.
Saking akrabnya dengan para sastrawan, di kemudian hari muncul anggapan jika kisah 1001 Malam terinspirasi dari kehidupan Sultan Harun dan Zubaidah. Padahal tokoh utamanya, Syahrazad, terlahir dari kehidupan pribadi ibu Sultan Harun, Al-Khayzarun.
Selain mencintai seni, tampuk pemerintahan yang dipegang sang suami turut menjadi perhatian Zubaidah. Sultan Harun memang selalu meminta pertimbangan Zubaidah dalam setiap pengambilan keputusan. Alasannya, keputusan Zubaidah selalu tepat dan bijak. Mujahidah: Zubaidah binti Ja'far, Perempuan di Balik Kegemilangan Abbasiyah (2) Jumat, 17 Februari 2012, 15:08 WIB
Komentar : 0
theflowerexpert.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Sejarawan Ibnu Al-Jawzi mencatat, saat sang sultan berkutat dengan urusan ketentaraan, dia menyerahkan kekuasaan untuk membuat kebijakan pada Zubaidah secara penuh.
Setelah urusan kebijakan tuntas, Zubaidah tak segan-segan mendampingi Sultan Harun di medan tempur. Kemudian mereka berdua memungkasinya dengan menunaikan ibadah haji bersama.
Rasa sosial yang tinggi melekat kuat pada kepribadian Zubaidah. Saat menjalani prosesi haji, dia melihat para jamaah lainnya kesulitan mendapatkan air. Dia langsung memerintahkan para insinyur untuk membuat jalan sepanjang 900 mil dan terowongan sepanjang 10 mil dalam proyek bernama Sungai Zubaidah.
Kedua prasana tersebut agar memudahkan distribusi air bersih dari Baghdad menuju Makkah. Jalan tersebut kemudian dikenal dengan nama Jalur Zubaidah.
Prakarsa pembangunan Zubaidah sepanjang jalur tersebut meliputi fasilitas lainnya, seperti toko kerajinan, khan (penginapan gratis bagi jamaah haji), dan beberapa masjid. Sekitar 54 juta dinar digelontorkan untuk menyelesaikan proyek ini.
Sultan Harun selalu menganggap Zubaidah sebagai mitra yang tak pernah berkhianat. Sejarawan Al-Khatib pun tegas menuturkan dalam bukunya Sejarah Baghdad dan Ibnu Jeed salut pada kontribusi pemikiran Zubaidah. Sang permasuri mempunyai visi luas merancang masa depan tahta kerajaan.
Peran tersebut terabaikan saat sang suami hendak menunjuk penggantinya. Sultan Harun memilih anak sulungnya, Al-Ma'mun. Sementara Zubaidah mengusulkan putranya, Muhammad Al-Amin yang berusia enam tahun lebih muda dari Al- Ma'mun.
Pertimbangan Harun memilih si sulung karena telah bergelar sarjana dan menunjukkan sikap bijaksana. Zubaidah menolak calon tersebut karena pertimbangan garis keturunan ibu Al-Ma'mun dari kalangan budak Persia. Meski begitu, Zubaidah tetap menjaga sikap dan kasihnya pada Al-Ma'mun yang dirawatnya sejak ibu kandungnya meninggal.
Klan Dinasti Barmaki mendukung pilihan Harun. Pemimpinnya, Jafar bin Yahya Al-Barmaki yang saudara sepersusuan dengan Sultan Harun sebenarnya berniat jahat. Dengan alasan latar belakang yang sama dengan Al-Ma'mun, sejatinya Al-Barmaki ingin menguasai Persia seutuhnya dari tangan Dinasti Abbasiyah. Mujahidah: Zubaidah binti Ja'far, Perempuan di Balik Kegemilangan Abbasiyah (2) Jumat, 17 Februari 2012, 15:08 WIB
Komentar : 0
theflowerexpert.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Sejarawan Ibnu Al-Jawzi mencatat, saat sang sultan berkutat dengan urusan ketentaraan, dia menyerahkan kekuasaan untuk membuat kebijakan pada Zubaidah secara penuh.
Setelah urusan kebijakan tuntas, Zubaidah tak segan-segan mendampingi Sultan Harun di medan tempur. Kemudian mereka berdua memungkasinya dengan menunaikan ibadah haji bersama.
Rasa sosial yang tinggi melekat kuat pada kepribadian Zubaidah. Saat menjalani prosesi haji, dia melihat para jamaah lainnya kesulitan mendapatkan air. Dia langsung memerintahkan para insinyur untuk membuat jalan sepanjang 900 mil dan terowongan sepanjang 10 mil dalam proyek bernama Sungai Zubaidah.
Kedua prasana tersebut agar memudahkan distribusi air bersih dari Baghdad menuju Makkah. Jalan tersebut kemudian dikenal dengan nama Jalur Zubaidah.
Prakarsa pembangunan Zubaidah sepanjang jalur tersebut meliputi fasilitas lainnya, seperti toko kerajinan, khan (penginapan gratis bagi jamaah haji), dan beberapa masjid. Sekitar 54 juta dinar digelontorkan untuk menyelesaikan proyek ini.
Sultan Harun selalu menganggap Zubaidah sebagai mitra yang tak pernah berkhianat. Sejarawan Al-Khatib pun tegas menuturkan dalam bukunya Sejarah Baghdad dan Ibnu Jeed salut pada kontribusi pemikiran Zubaidah. Sang permasuri mempunyai visi luas merancang masa depan tahta kerajaan.
Peran tersebut terabaikan saat sang suami hendak menunjuk penggantinya. Sultan Harun memilih anak sulungnya, Al-Ma'mun. Sementara Zubaidah mengusulkan putranya, Muhammad Al-Amin yang berusia enam tahun lebih muda dari Al- Ma'mun.
Pertimbangan Harun memilih si sulung karena telah bergelar sarjana dan menunjukkan sikap bijaksana. Zubaidah menolak calon tersebut karena pertimbangan garis keturunan ibu Al-Ma'mun dari kalangan budak Persia. Meski begitu, Zubaidah tetap menjaga sikap dan kasihnya pada Al-Ma'mun yang dirawatnya sejak ibu kandungnya meninggal.
Klan Dinasti Barmaki mendukung pilihan Harun. Pemimpinnya, Jafar bin Yahya Al-Barmaki yang saudara sepersusuan dengan Sultan Harun sebenarnya berniat jahat. Dengan alasan latar belakang yang sama dengan Al-Ma'mun, sejatinya Al-Barmaki ingin menguasai Persia seutuhnya dari tangan Dinasti Abbasiyah.
Mujahidah: Zubaidah binti Ja'far, Perempuan di Balik Kegemilangan Abbasiyah (3-habis) Jumat, 17 Februari 2012, 15:12 WIB
Komentar : 0
theflowerexpert.com
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Kekacauan memuncak jelang akhir pemerintahan Abbasiyah. Sultan Harun akhirnya menunjuk Al-Amin sebagai calon penggantinya.
Namun, dia juga menunjuk Al-Ma'mun sebagai penggantinya pula. Putra ketiganya, Al-Qasim pun mendapat giliran berikutnya.
Konflik internal pun tak terelakkan. Setelah sehari kematian Sultan Harun, Al- Amin dinobatkan menjadi sultan baru. Perdebatan di dalam istana memuncak menjadi perang saudara. Al-Amin terbunuh. Saudaranya, Al-Ma'mun yang dibantu keturunan Al-Barmaki naik singgasana.
Zubaidah pun diliputi kesedihan mendalam saat mengetahui tragedi ini. Ibu mengucapkan selamat atas pelantikanmu sebagai khalifah yang baru. Ibu telah kehilangan putra kandung, tapi Ibu lega karena kedudukannya digantikan anak ibu lainnya, tulis Zubaidah pada Al-Ma'mun.
Kehalusan budi Zubaidah ternyata dibalas kebaikan pula oleh Al-Ma'mun. Sepanjang 32 tahun pemerintahannya, dia ikut merawat Zubaidah dan menghormatinya seperti ibu kandungnya sendiri. Nasihat dan masukan dari Zubaidah juga menjadi prioritas Al-Ma'mun sebelum memutuskan kebijakan pemerintahan.
Sepanjang hidupnya, Zubaidah dikenal sebagai penganut sufisme aliran Imam Ismaili. Bahkan untuk menghormati sang pimpinan sufi, Muhammad Bbin Ismail, dia membangun sebuah gedung besar yang dikelilingi taman di Baghdad sebagai tempat ritualnya. Dia pun memutuskan untuk keluar dari istana, kemudian mempekerjakan 10 orang pekerja untuk mengurus programnya bersama sang imam.
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Ia adalah teladan bagi para Muslimah. Sejarah peradaban Islam mencatat, dia adalah Muslimah pertama yang hijrah ke Madinah, tak lama setelah Nabi Muhammad SAW berserta para para sahabatnya.
Mujahidah yang mulia itu bernama Ummu Kultsum binti Uqbah. Ia rela mengorbankan hidupnya demi berjuang di jalan Allah SWT (jihad fi sabilillah).
Ibnu Sa'ad mengisahkan keberanian Ummu Kultsum dalam Thabaqat-nya. Ia berkata, ''Dia (Ummu Kultsum) adalah wanita pertama yang hijrah ke Madinah setelah hijrah Nabi SAW dan para sahabatnya. Kami tidak mengetahui seorang wanita Muslim Quraisy yang keluar dari kedua orang tuanya dan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Ummu Kultsum."
Muhammad Ibrahim Salim dalam bukunya berjudul "Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW" mengungkapkan, Ummu Kultsum keluar dari Makkah sendirian untuk berhijrah menyusul Rasulullah SAW dan ditemani oleh seorang laki-laki dari Khuza'ah hingga tiba di Madinah pada waktu gencatan senjata.
Dia dikejar oleh kedua orang saudaranya. Kedua saudaranya itu tiba pada hari kedua setelah kedatangan Ummu Kultsum ke Madinah. Keduanya berkata, "Hai Muhammad, kami menuntut syarat, maka penuhilah syarat itu."
Maka Ummu Kultsum berkata, "Wahai, Rasulullah, aku seorang wanita. Wanita itu lemah. Aku khawatir mereka mengganggu dalam agamaku, sedangkan aku tidak sabar, sehingga Allah membatalkan janji pada wanita."
Kemudian Allah SWT menurunkan ayat Imtihan (ujian) dan memutuskan dengan keputusan yang mereka sama-sama menyepakatinya. Disebutkan. "Hai, orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu wanita yang beriman, maka hendaklah kami uji (keimanan) mereka..." (QS. Al-Mumtahanah: 10-11).
Kemudian Rasulullah SAW pun menguji Ummu Kultsum dan wanita-wanita sesudahnya. "Tidaklah kalian keluar, kecuali karena cinta Allah dan Rasul- Nya serta Islam, bukan karena cinta suami dan harta." Apabila mereka mengatakan hal itu, maka mereka tidak dikembalikan.
Ummu Kultsum berhijrah karena cintanya yang begitu besar kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Pertanyaan Rasulullah tentang motivasinya berhijrah dijawab Ummu Kultsum dengan tegas, ''Aku tidak keluar, kecuali karena mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan aku tidak keluar untuk mencari dunia maupun membenci suami.''
Ilustrasi A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Pada saat di Makkah, Ummu Kultsum belum menikah. Ia lalu dipersunting oleh Zaid. Setelah Zaid meninggal dunia, ia lalu menikah dengan Az-Zubair.
Tak lama kemudian, Zubair pun wafat, Ummu Kultsum pun lalu dinikahi Abdurrahman bin Auf. Ia wafat sebagai istri Amr bin Ash.
Cahaya iman yang menggumpal di kalbunya membuat Ummu Kaltsum berani meninggalkan keluarganya. Seorang diri, ia berhijrah karena saking cintanya kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Sesungguhnya, pada waktu itu Rasulullah SAW telah berdamai dengan Quraisy lewat Perjanjian Hudaibiyah, dengan syarat Nabi Muhammad SAW setuju mengembalikan orang-orang Muslim yang datang kepada mereka.
"Adalah Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu'aith termasuk orang-orang yang keluar kepada Rasulullah SAW dan waktu itu dia masih muda belia. Kemudian keluarganya datang meminta kepada Rasulullah SAW agar mengembalikan kepada mereka, sehingga Allah SWT menurunkan ayat-ayat tentang wanita-wanita beriman." (HR Bukhari dari Al-Miswar bin Makhramah)
Dalam Siyar A'laamin Nubala', Imam Adz-Dzahabi berkata, ''Ummu Kultsum bin Uqbah bin Abi Mu'aith masuk Islam dan berbaiat. Dia tidak sempat hijrah hingga tahun 7 Hijriah, dan keluar di zaman Perdamaian Hudaibiah. Kedua saudaranya adalah "Al-Walid dan Ammarah.''
Selama hidupnya, Ummu Kultsum meriwayatkan sekitar 10 hadits Nabi SAW, salah satunya termasuk hadits Muttafaq alaih, yang disepakati Bukhari dan Muslim. Imam An-Nasa'i dalam Sunan Al-Kubra juga meriwayatkan salah satu hadits dari Ummu Kultsum tentang keutamaan Surah Al-Ikhlas.
Keimanannya sekeras baja. Di usianya yang masih remaja, ia tinggalkan keluarga dan kampung halamannya dan menempuh ganasnya padang pasir antara Makkah dan Madinah demi membuktikan kecintaannya kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Keberanian dan ketegasan Ummu Kultsum dalam meneguhkan keimanan layak ditiru para Muslimah sepanjang zaman.