HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010.
Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 1
ESENSI PUASA (RAMADHAN) ATAS NILAI, MORAL DAN PERADABAN MANUSIA
Ya, Allah aku mencintai keduanya, cintailah orang yang mencintai keduanya (Mustadrak al-Hakim, Shahih Muslim)
A. PENDAHULUAN Segala Puji bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam. Tuhan yang Maha Suci dari segala keterbatasan, Yang Maha Tinggi atas segala kerendahan prasangka makhluk-Nya. Sholawat serta salam tak lupa tercurahkan atas baginda Rasulullah, Muhammad SAWW. Utusan yang tiada meminta ganti selain mencintai yang ditinggalkannya. Nikmat nyata akan alam semesta. Beserta keluarga-keluarga penjaga risalahnya dan hujjah semesta serta tak lupa kepada para sahabatnya yang setia. Ramadhan merupakan salah satu bulan yang diharamkan (dimuliakan) di dunia muslim oleh syariat yang diyakininya. Dimana pada bulan ini secara umum kaum muslim menganggapnya sebagai bulan yang penuh berkah dan ampunan. Kenyataan untuk mementingkan bulan ini tampak mulai dari para kalangan Ulama, Umaro (pemerintah) bahkan masyarakat biasa dengan segalam macam ragam dan bentuknya. Namun perlu kita ketahui, apakah gerangan yang terjadi pada bulan tersebut. Satu istilah yang sering didengung-dengungkan hingga akhirnya sampai ke telinga kita ialah HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 2
bahwa pada bulan ini terdapat salah satu ritual penting yang diwajibkan atas sekalian umat muslim untuk melaksanakannya, yaitu ibadah shaum (puasa). Pada umumnya, puasa dimengerti sebagai serangkaian perilaku ritual yang dimana para pelakunya senantiasa untuk menyengajakan diri menahan (tidak melakukan) beberapa kebiasan dan melakukan kebiasan baru dari kebiasaan yang senantiasa dilakukan di luar bulan Ramadhan, hal tersebut didasarkan atas keyakinan dalam menjalankan hukum Tuhan yang telah ditetapkan (dalam syariat Islam). Tidak sedikit pula dilain sisi, kita pun menjumpai hal yang serupa (puasa) dilakukan oleh beberapa penganut agama atau kepercayaan lainnya (bentuk dan cara yang berbeda), khususnya untuk penganut dua agama samawi yang lain (Nasrani dan Yahudi). Puasa dalam bulan Ramadhan senantiasa disimbolkan oleh agama Islam dengan mengisyaratkan adanya kesucian yang terkandung didalamnya, hal ini dapat kita tinjau ke dalam bentuk sejauh mana para penganutnya memaknai dan mengimplementasikan nilai kesucian tersebut didalam kehidupan sosialnya. Bahkan jika memang dianggap betul ada muatan suci, maka nilai yang dimaksud tersebut ialah apa ? dan benarkah demikian adanya ?. Melalui dasar pertimbangan diatas, maka penulis merasa perlu untuk mengetengahkan tema dalam essai kali ini yaitu Esensi Puasa (Ramadhan) atas Nilai, Moral Dan Peradaban Manusia. Adapun cara yang ditempuh penulis dalam menyusun essai ini berdasarkan pada studi literatur yang ada dan dianggap berhubungan. B. DEFINISI DAN MAKNA PUASA Puasa secara bahasa berasal dari upawasa atau upavasa dalam bahasa Sanskerta. Upa bermakna 'dekat', sedangkan vasa atau wasa berarti 'sifat kemahatahuan dari Hyang HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 3
Widhi'. Secara lengkap, upawasa berarti mendekatkan diri kepada Hyang Maha Pencipta. Hal ini menegaskan bahwa puasa pun dikenal oleh agama di luar Islam, dalam hal ini Hindu misalnya. Bahkan sumber lain menyatakan bahwa sejarah mencatat, puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dalam masyarakat manusia, yakni sejak manusia pertama Adam as. hingga umat terakhir dari segala Nabi dan rasul Muhammad saw. (Moede, 1990:14). Sedangkan istilah yang sering dianggap sinonim dengan kata Puasa ialah Shaum. Kata shaum secara bahasa, sebagaimana terdapat dalam kamus bahasa Arab, artinya adalah imsaak (menahan diri). Menurut kalangan ulama yang dimaksud menahan diri disini, yaitu menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan hal-hal yang membatalkan shaum dari shubuh sampai malam (maghrib) disertai niat. Menurut A. Khudori Soleh (2008: 1) 1 , Kata puasa dengan segala bentuknya, dalam bahasa Arab, disebut 13 kali dalam al-Qur`an. Paling sering digunakan istilah shiym dan hanya satu kali dengan kata shaum. Meski demikian, kata shaum mengandung makna lebih dibanding shiym. Shiym hanya berarti berpuasa dengan mencegah makan, minum dan bergaul dengan dengan istri mulai fajar sampai maghrib, sedangkan shaum mencegah lebih dari apa yang tidak boleh dalam shiym, yaitu harus mencegah bicara, mencegah mendengar, mencegah melihat, dan bahkan mencegah pikiran. Dilain kesempatan, Sepul Rochman (2010) 2 menambahkan khazanah, bahwa ayat yang berkenaan dengan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan yaitu QS. 2:183 merupakan ayat yang mendapatkan perhatian dari para penafsir al-Quran (Mufasirin)
1 Soleh A. Khudori. 2008. Puasa, Antara Shaum Dan Shiyam. Tersedia di http://www.scribd.com/doc/4857963/Puasa-Antara-Shaum-dan-Shiyam 2 Rochman Saepul. (2010). Fenomenologi Puasa: Kontemplasi Sufistik dan Jihad. Tersedia di http://kompasiana.com/104413 . HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 4
dikarenakan muatan berat filosofis yang dikandungnya, yaitu menyangkut pemilihan kata kutiba yang menandai puasa sebagai konsekuensi dari ritme kehidupan, sebagai jeda, bergerak dengan percepatan ketukan nada yang berenergi dan bersenergi dalam musik kehidupan. Asumsi semiotis penggunaan kata kutiba pada ayat-ayat jihad (QS. 2:216) dan ayat yang mengenai hukum syariat (QS. 2:178) menjadikan puasa sebagai kekuatan untuk berjihad dan mengandaikan kedudukannya yang setingkat dan saling melengkapi antara aspek-aspek puasa itu sendiri, jihad dan tegaknya syariat dalam konteks al-Quran. Sedangkan secara terminologis, puasa adalah suatu ibadah yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya yang beriman dengan cara mengendalikan diri dari syahwat makan, minum, dan hubungan seksual serta perbuatan-perbuatan yang merusak nilai puasa pada waktu siang hari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari (MUI DKI Jakarta, 2006: 15). Dalam pengertian lain, puasa bermakna sebagai berikut 3 : Yang dimaksud dengan puasa dalam syariat suci Islam adalah manusia menghindarkan diri dari makan, minum dan melakukan hal-hal lainnya dalam keseluruhan hari (dimulai dari terbitnya fajar hingga maghrib) dengan niat untuk melaksanakan perintah Allah SWT (Istifta' dari Kantor Rahbar, Bab Puasa, masalah 1). Bulan Ramadhan sebagai media yang diberikan oleh Allah SWT yang dimana merupakan berkah, rahmah dan maghfirah bagi kaum beriman dan agar dapat memperoleh derajat taqwanya, memang benar-benar merupakan jamuah Allah azza wa
3 Ibnu Razak. (2009). Puasa (Shaum): Tuntunan Fikih Praktis Ibadah Puasa Berdasarkan Fatwa Marja' Ayatullah 'Udzma Sayyid Ali Khamene'i. Tersedia di http://mulyadirazak.blogspot.com/2009/02/puasa-shaum.html. HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 5
jalla. Hal ini dapat kita pahami dari penggalan riwayat yang disampaikan oleh Amiril Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib (dalam khotbahnya) 4 : Wahai manusia! Telah datang kepada kalian bulan Allah dengan membawa berkah, rahmah dan maghfirah. Ia adalah bulan yang di sisi Allah merupakan bulan yang paling utama, hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama, malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama dan saat-saatnya adalah saat-saat yang paling utama. Ia adalah bulan yang padanya kalian diundang kepada jamuan Allah, dan padanya kalian hendak dijadikan di antara orang-orang yang mendapatkan kemuliaan Allah. Adapun ayat suci al-Quran yang berkenaan dengan kewajiban puasa di bulan Ramadhan ini ialah sebagai berikut :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS. 2. 183). Mengenai tujuan diwajibkannya puasa agar kaum beriman dapat menajadi insan taqwa (muttaqin) dikarenakan Islam merupakan sebuah agama yang yang memandang semua manusia adalah sama, tidak terdapat perbedaan anatara si kulit putih dengan si kulit hitam, orang dari bangsa Arab dengan non-Arab, si kaya posisinya dengan si miskin, dan sebagainya. Tetapi bukan berarti Islam tidak mengenal perbedaan dan tingkatan. Islam membedakan derajat dan tingkatan seseorang bukan dari segi lahiriah
4 Buletin Al-Jawad. Edisi ke-3 Hal.5. Syaban-Ramadhan 1430 H. Khotbah Rasulullah saw Menyambut Bulan Ramadhan. Bandung. Yayasan Al-Jawad . HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 6
dimana manusia secara mahiyah atau esensial tidak memilki perbedaan, semuanya sama sebagai insan tetapi yang membedakannya adalah dari tingkat eksistensinya. Semakin dekat ia dengan sumber wujud (Tuhan) maka semakin kuat keberadaannya atau keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana penggalan ayat al-Quran surat al-Hujaraat ayat 13 berbunyi Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu . Bulan Ramadhan satu-satunya bulan yang namanya diabadikan dalam al-Quran yang disebut dengan bulan nuzul al-Quran (turunnya al-Quran). Allah swt berfirman: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan- penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) (QS. Al-Baqarah (2): 185). Masalah terpenting menyangkut bulan suci Ramadhan adalah bahwa manusia memiliki kesempatan menempa ruh dan spiritualitasnya untuk menuju pada kesempurnaan. Hal ini dapat dipahami sebagaimana pendapat Rahbar Ali Khamenei (2008) 5 menyatakan -Secara tabiatnya, ruh dan jiwa manusia selalu bergerak menuju kesempurnaan-. Bulan ini (Ramadhan) memberikan peluang kepada manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menghiasi diri dengan akhlak ketuhanan. Bulan suci Ramadhan ibarat musim semi bagi manusia untuk memperbarui diri, membangun diri sendiri dan bercengkerama dengan Tuhan.. Puasa tingkatan orang awam itu adalah menahan diri dari lapar, haus, dan kegiatan seksual sepanjang siang. Sedangkan puasanya orang pilihan ialah tingkatan yang dimana
5 khamenei.ir. (2008). Perspektif Rahbar Tentang Bulan Suci Ramadhan. Tersedia di http://indonesian.khamenei.ir/Perspektif%20Rahbar%20Tentang%20Bulan%20Suci%20Ramadhan.htm. HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 7
puasa sebagai menahan diri dari segala hasrat indrawi, yaitu mempuasakan diri dari apa yang haram, dari mendengar atau berpikir yang bukan-bukan, atau dari segala sesuatu yang mengobarkan hawa nafsu rendah. Sedangkan puasanya orang pilihan dari orang terpilih adalah adalah tingkatan dengan memusatkan hati hanya kepada Allah. Hal ini dapat kita pahami berdasarkan pendapat Ulama Islam terkemuka Rahbar Ali Khamenei (2008), dimana membagi puasa kepada tiga tingkatan makna, yaitu : 1. Tahapan umum puasa yaitu menghindari makan, minum dan apa yang dilarang dalam puasa. Kita diuji dan kita diajari dengan puasa. Dengan kata lain, dalam ibadah ini ada pembelajaran dan ada ujian untuk kehidupan. Pelatihan dan penempaan. Dalam sebuah riwayat Imam Jafar Shadiq (as) berkata, "...agar orang kaya dan orang miskin sederajat." Allah SWT mewajibkan puasa agar orang kaya dan orang miskin dalam waktu tertentu merasakan satu hal yang sama. Orang miskin sepanjang hari tidak bisa membeli dan memakan atau meminum apa saja yang ia inginkan. Tetapi orang kaya mampu membeli dan memakan atau meminum apa saja yang ia mau. Orang kaya tidak bisa merasakan apa yang dirasa orang miskin untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Tetapi di hari ketika berpuasa, semua orang (kaya dan miskin) dengan pilihan sendiri menahan diri dari beberapa hal yang diinginkan hawa nafsunya. 2. Tingkatan kedua puasa adalah menghindari dosa. Artinya, menjaga telinga, mata, lidah dan hati -bahkan dalam sejumlah riwayat disebutkan menjaga kulit dan bulu badan- dari dosa. Kesempatan yang ada pada bulan Ramadhan adalah peluang bagi manusia dalam melatih diri untuk menghindari perbuatan dosa. 3. Tingkatan ketiga puasa adalah menghindarkan diri dari segala hal yang melupakan dan membuat hati lalai dari mengingat Allah (dzikrullah). Ini adalah tingkatan HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 8
tertinggi puasa. Ketika puasa menghidupkan dzikrullah di hati dan menyalakan pelita ma'rifatullah di hati, hati akan menjadi terang. Karena itu segala hal yang membuat seseorang lalai akan dzikrullah pada tingkatan ini, berbahaya bagi puasa. Sungguh berbahagia mereka yang mampu meraih derajat puasa yang seperti ini. Maka dapat kita simpulkan pula, setidak-tidaknya yang dipahami, bahwa puasa pada bulan suci Ramadhan mengakibatkan terbentuknya kualitas kesalehan sosial, individual dan sipritual yang didapat melalui penempaan dan pendidikan yang terkandung didalamnya selama sebulan penuh berdasarkan syariat. Segala kesengsaraan manusia timbul karena mengikuti hawa nafsu. Semua bentuk kezaliman dan ketidakadilan, peperangan yang zalim dan adanya rezim yang lalim, tertindasnya mustadafin (kaum lemah) dan semua kepasrahan menerima penindasan yang ada di tengah umat manusia, semua itu terjadi karena kepasrahan kepada hawa nafsu dan ketundukan kepada bisikan syahwat. Dalam Islam, tidak terdapat keagungan dan kemuliaan yang melebihi kebebasan. Adapun kebebasan yang dimaksud ialah bebasnya kita dari belenggu syahwat dan kecenderungan yang ada dalam diri. Jika ingin mengetahui apakah kita termasuk dalam kategori orang yang merdeka atau justru seorang tawanan, kita harus melihat kepada amal perbuatan kita. Dalam khutbahnya pada Jumat terakhir bulan Syaban, Rasulullah saw bersabda 6 : Wahai sekalian manusia, sesungguhnya jiwa kalian tergadaikan dengan amal kalian, maka bebaskanlah (jiwa kalian) dengan ber-istighfar. Tentunya perintah ber-istighfar disini bukan hanya merefleksikan kesadaran atas diri semata terhadap Allah
6 Ayatullah Jawadi Amuli. Rahasia Puasa: Rahasia-rahasia Ibadah. Tersedia di http://www.siah.org/Rahasia%20Puasa_files/Rahasia Puasa.htm. HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 9
swt melainkan juga akan ketimpangan dan ketidakadilan realitas sosial yang terjadi dari segala bentuk kezaliman yang ada. C. MANFAAT PUASA ATAS DIRI PERSONAL Kesehatan Salah satu hal yang menjadi fenomena pada bulan suci Ramadhan ialah adanya suatu klaim secara medis mengenai manfaat dalam menjalankan ibadah puasa terhadap kesehatan pelakunya. Hal ini ternyata bukanlah sebuah bentuk isapan jempol semata, banyak hasil riset dan penelaahan terperinci atas organ tubuh manusia dan aktifitas fisiologisnya dari kalangan medis sendiri yang meng-iya kan perihal tersebut, dimana menemukan kesimpulan bahwa puasa merupakan 7 sesuatu yang harus dilakukan oleh tubuh manusia sehingga ia bisa terus melakukan aktivitasnya secara baik. Dan puasa benar-benar sangat penting dan dibutuhkan bagi kesehatan manusia sebagaimana manusia membutuhkan makan, bernafas, bergerak, dan tidur. (Ramiyyah: 2003). Adapun macam-macam jenis penyakit yang dapat dikendalikan dengan adanya aktifitas puasa bagi organ tubuh manusia misalnya diabetes, darah tinggi, kolesterol tinggi, maag dan kegemukan. Pengendalian ini disebabkan karena puasa bisa membantu badan dalam membuang sel-sel yang sudah rusak, sekaligus sel-sel atau hormon atau zat- zat yang melebihi jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh yang merupakan metode yang bagus untuk sistem pembuangan sel-sel atau hormon yang rusak dan membangun kembali badan dengan sel-sel baru.
7 Ramiyyah SawaEid. 2003. Manfaat Puasa Secara Medis. Tersedia di http://www.mail-archive.com/hira@alumni- hira.org/msg01376.html . HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 10
Dalam pandangan medis, puasa 8 berarti mengistirahatkan saluran pencernaan (usus) beserta enzim dan hormon yang biasanya bekerja untuk mencerna makanan terus menerus selama kurang lebih 18 jam. Dengan berpuasa organ vital ini dapat istirahat selama 14 jam (Sekarindah: 2002). Puasa diyakini dapat mengaktifkan sistem pengendalian kadar gula darah, dengan kadar gula darah turun pada tubuh, maka cadangan gula dalam bentuk glikogen yang ada di hati mulai dapat digunakan. Untuk dapat mengoptimalkan dampak positif dari berpuasa bagi kesehatan maka asupan nutrisi dari makanan pun perlu dapat perhatian. Makanan dengan menu seimbang yaitu makanan yang terdiri dari karbohidrat 50-60%, protein 10-20%, lemak 20-25%, cukup vitamin dan mineral dari sayur dan buah serta cukup serat dari sayuran untuk memperlancar buang air besar. Adapun cairan yang dibutuhkan melalui minum kurang lebih 7-8 gelas sehari. Setidaknya terdiri dari 3 gelas waktu sahur dan 5 gelas dari buka sampai sebelum tidur. Mental Manusia dalam memenuhi segala macam bentuk kekurangannya sebagai bagian dari upaya penyempurnaan dirinya banyak terbutakan oleh gerlap-gempita keindahan dunia yang bersifat materialistik semata. Hal ini tentu saja membawa dampak yang kurang baik bagi keberlangsungan eksistensi manusia itu sendiri. Sebagaian besar manusia dengan adanya bantuan dari perkembangan teknologi modern, mungkin dapat cukup tertolong untuk senantiasa mencukupi dan menjaga katahanan dan kesehatan fisiknya. Namun untuk psikis di balik fisiknya tersebut, bahkan ruh spiritualnya yang kering dari penghambaan yang sebenarnya, masih patut dipertanyakan dengan tanda tanya besar?.
8 Sekarindah, . Dr. Titi ,MS. 2002. Manfaat Puasa Bagi Kesehatan, Besarkah..?. Tersedia di http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1036128399,33212 . HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 11
Sebuah fakta menunjukkan, lebih dari separuh tempat tidur di semua rumah sakit di Amerika Serikat terisi oleh pasien-pasien gangguan mental (Fromm, 1995:5). Sebagaimana dimaklumi bersama, Amerika Serikat tergolong sebagai Negara maju yang senantiasa memiliki kemajuan teknologi dan perekonomian yang pesat, bahkan karena hal itu senantiasa dijadikan kiblat pembangunan bagi Negara-negara berkembang termasuk oleh Indonesia sendiri. Tapi data tersebut menunjukan kepada mata kita adanya sesuatu yang hilang dari kebutuhan dasar manusia itu sendiri, yaitu kebutuhan akan tujuan dan sandaran yang bersifatk mutlak dan abadi. Perlu diketahui terlebih dahulu, bahwasyahnya ganguan mental dapat berakar dari tidak terpenuhinya kebutuhan psikis dasar yang berasal dari kekhasan eksistensi manusia yang harus dipenuhi. Selanjutnya Fromm sendiri mengemukakan (1995:74) konsep kesehatan mental sebagai sesuatu yang mengikuti kondisi dasariah eksistensi manusia dimana kesehatan mental tersebut dicirikan oleh kemampuan mencintai dan menciptakan dengan lepas dari ikatan-ikatan inses terhadap klan dan tanah air, dengan rasa identitas yang berdasarkan pengalaman akan diri sebagai subjek dan pelaku dorongan-dorongan dirinya dengan menangkap realitas di dalam dan di luar dirinya, yaitu dengan mengembangkan obyektivitas dan akal budi, atau dengan kata lain kemampuan untuk mencintai dan menciptakan kecenderungan non-fisik yang lebih hakiki ketimbang realitas fisik yang mengitarinya. Bahkan dalam kasus ini, seorang ahli psikologi Zakiah Daradjat (1995:78), memandang bahwa peran agama dalam menumbuhkan dan menjaga kesehatan mental HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 12
manusia merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Beliau menuturkan 9
pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi seseorang dari gangguan jiwa (mental) dan dapat pula mengembalikan jiwa bagi orang yang gelisah. Karena kegelisan dan kecemasan yang tidak berujung pangkal itu, pada umumnya berakar dari ketidak puasan dan kekecewaan, sedangkan agama dapat menolong seseorang untuk menerima kekecewaan sementara dengan jalan memohon ridla Allah dan terbayangkan kebahagian yang akan dirasakan di kemudian hari. Dalam hal ini pengharapan akan kehidupan yang lebih baik setelah mati atau ganjaran dan pahala di akhirat berperan sebagai konsepsi mental yang menenangkan jiwa manusia. Manusia yang merupakan makhluk istimewa senantiasa memiliki dua dimensi dalam satu eksistensinya, yaitu dimensi lahiriah yang berkenaan dengan jasmani dan dimensi batiniah yang berkenaan dengan dunia lain yang tidak tampak dan lebih tinggi. Di dalam dunia batiniah manusia senantiasa terjadinya peperangan yang secara terus-menerus, dimana kekuatan daya-daya intelektualitas ke-Illahiahan bertempur dengan daya-daya keburukan dan kehinaan hawa nafs. Hal ini dapat kita lihat dari pernyataan sebuah riwayat dibawah ini 10 : Al-Sukuni meriwayatkan dari Abu Abdillah Al-Shadiq (a.s): Ketika Rasul saw melihat pasukan yang kembali dari sebuah peperangan, beliau bersabda: Selamat datang, wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil, dan masih harus melaksanakan jihad akbar. Ketika orang-orang bertanya tentang
9 Fuad Dra. Siti Uriana Rahmawati , MA. 2006. Pengaruh Puasa Terhadap Kesehatan Mental. Tersedia di http://www.masjidrayavip.org/index.php?option=com_content&view=article&id=79:pengaruh-puasa-terhadap- kesehatan-mental&catid=65:dra-siti-uriana-rahmawati-fuad-ma&Itemid=104 10 Penerjemah: Abidin Zainal, dkk. 1992. hal 11. Buku Pertama: 40 Hadist Telaah Imam Khomeini atas Hadist- hadist Mistis dan Akhlak. Bandung. Mizan. HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 13
makna jihad akbar itu, Rasul saw menjawab: Jihad melawan diri sendiri (jihad al-nafs) . Hawa nafsu merupakan sumber dari segala bentuk perbudakan. Manusia yang tunduk kepada dominasi hawa nafsunya dan diri jasmaniahnya maka ia telah menjadi budak bagi hawa nafsunya dan diri jasmaniyahnya tersebut. Bagi manusia yang mendambakan dan merasa memiliki kehormatan serta martabat sejati seyogyanya dapat melepaskan setiap belenggu hawa nafsu dan ambisi duniawi tersebut. Puasa di bulan Ramadhan merupakan pelatihan-pelatihan yang dapat membebaskan jiwa manusia dari cinta akan dunia yang berlebihan dan perbudakan hawa nafsu menuju jiwa yang terbebas dengan nilai-nilai kebajikan dan keluhuran akhlak. Janji ini tidaklah berlebihan jika kita menengok kebutuhan akan kualitas kesabaran dari seseorang yang sedang menjalankan puasa. Pada hari diluar bulan suci Ramadhan, setiap orang yang beriman di halalkan untuk makan dan minum sesuatu yang halal pada siang harinya. Namun hal itu tidak sebaliknya jika dibulan Ramadhan. Dimana hal ini mengisyaratkan betul suatu pengendalian diri seseorang sebagai bentuk dari sabar untuk dapat menahan rasa lapar dan haus dahaga walaupun itu untuk makanan dan minuman yang halal sekalipun. Kondisi mental sabar ini lah yang dapat membina dan mendisiplinkan jiwa serta menghantarkan manusia ke derajat Manusia Bebas yang sesungguhnya, sebagaimana riwayat berikut yang disampaikan oleh Muhammad ibn Yaqub Al-Kulayni 11 : Aku mendengar Abu Abdillah as berkata, Manusia bebas itu adalah manusia yang senantiasa bebas. Andaikata musibah menimpanya, dia menanggungnya
11 Penerjemah: Abidin Zainal, dkk. 1993. hal 83. Buku Kedua: 40 Hadist Telaah Imam Khomeini atas Hadist-hadist Mistis dan Akhlak. Bandung. Mizan HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 14
dengan sabar Kemerdekaannya menyelamatkannya dari mudharat Maka dari itu bersabarlah, dan terimalah keadaamnu dengan sabar agar kamu mendapatkan pahala . Selain itu puasa merupakan riyadlah (exercise) yang bersifat pribadi atau personal yang mengisyaratkan sebuah rahasia antara seseorang manusia dengn Tuhannya melalui sebuah ujian kesadaran akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (ompripresent) dan yang mutlak serta tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap tingkah laku hamba-hamba-Nya, walaupun dalam hal keutuhan dan ketaatan dalam menjalankan puasa senantiasa tidak dapat diketahui oleh orang yang lain (baik itu orang tuanya, kerabat-kerabatnya, atasannya, guru-gurunya, dan teman-temanya, bahkan istrinya sekalipun). Kesadaran seseorang akan beradaan Tuhan itu akan menjadikan dirinya senantiasa mengontrol emosi serta perilakunya, sehinga muncul keseimbangan lahiriyah dan batiniyah. Hal tersebut dipertegas oleh pendapat Bastaman (1995:181) yang menyatakan bahwa puasa akan berpengaruh positif kepada rasa (emosi), cipta (rasio), karsa (will), karya (performance), bahkan kepada ruh, jika syarat dan rukunnya dipenuhi dengan sabar dan ikhlas. Dilain sisi dengan nada yang menguatkan Hawari (1995:251) dimana puasa sebagai bentuk dari pengendalian diri (self control) yang dimana jika hal tersebut terganggu, maka akan timbul berbagai reaksi patologik (kelainan) baik dalam alam pikiran, perasaan, dan perilaku yang bersangkutan. Reaksi patologik yang muncul tidak saja menimbulkan keluhan subyektif pada diri sendiri, tetapi juga dapat mengganggu lingkungan dan juga orang lain. Spiritual HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 15
Selain jasmaniah dan mental psikis, wilayah ruhaniah manusia yang merupakan subtansi sekaligus wujud dari eksistensi yang sebenarnya dari cakupan dua hal tersebut. Melalui medan kawah candra dimuka pada bulan suci Ramadhan pencapaian kesempurnaan ruhaniah merupakan hal yang paling urgens. Kondisi ruh yang senantiasa mendekat (taqarrub) dan penuh harap serta takut akan keberadaan dirinya yang nir (tiada) dihadapan Sang Khaliknya merupakan konsekuensi dari kesadaran diri. Bentuk taqwa diri atas segala perilaku sabar, mawas dan pengendalian diri, berharap dan takut merupakan kekuatan qolbu yang dibutuhkan sebagai upaya selanjutnya untuk melakukan pendekatan wujud ruh kepada wujud sejati-Nya (dzikrullah). Cahaya taufiq dan ampunan dari syarat ke-fitri-an ruh merupakan maksud dari ibadah puasa tersebut. Penggalan riwayat yang disampaikan oleh Amiril Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib (dalam khotbahnya) 12 : Nafas-nafas kalian padanya (Ramadhan) dijadikan tasbih (senilai membaca subhanallah, walhamdu lillah, wa la ilaha ilallah, wallahu akbar), tidur kalian padanya dihitung ibadah, amal kalian padanya diterima dan doa kalian padanya diijabah. Maka mintalah kepada Allah Tuhan kalian dengan niat yang benar dan hati yang suci agar Dia memberi kalian taufiq untuk dapat mempuasainya (dengan baik) dan membaca kitab-Nya. Sesungguhnya orang yang celaka itu adalah orang yang tidak memperoleh ampunan Allah pada bulan yang agung ini . Berpuasa pada bulan Ramadhan selama sebulan penuh dapat menghantarkan diri kita kepada kondisi yang fitri. Oleh karena itu setiap hari lebaran atau hari terakhir puasa dan
12 Buletin Al-Jawad. Edisi ke-3 Hal.5. Syaban-Ramadhan 1430 H. Khotbah Rasulullah saw Menyambut Bulan Ramadhan. Bandung. Yayasan Al-Jawad . HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 16
keesokan harinya kita sering menamakannya dengan idil fitri (Hari Kemenangan). Saya pikir hal tersebut bukanlah tanpa dasar. Menjalankan puasa pada bulan Ramadhan dengan benar dan sungguh-sungguh merupakan ciri taqwa seseorang dalam menghadapkan wajahnya kepada agama, yang dimana agama itu sendiri merupakan fitrah bagi manusia. Perhatikan riwayat berikut 13 : Muhammad ibn Yaqub (Al-Kulaini), dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn Muhammad, dari Abu Mahbub, dari Ali ibn Riab, dari Zurarah, yang mengatakan: Saya bertanya kepada Abu Abdillah (Al-Imam Al-Shidiq) mengenai firman Allah: Maka hadapkanlah wajahmu dengan menatap kepada agama fitrah Allah yang dengannya Ia menciptakan manusia. Tak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang benar, tetapi kebanyakan manusia tak mengetahuinnya (QS. 30:30). Imam menjawab: Ia menciptakan manusia dalam tauhid . Merujuk kepada keadaan esensial kemaujudan manusia, fitrah Allah merupakan sesuatu yang ada dalam esensi penciptaan manusia itu sendiri yang berjalin kelidan dengan substansinya. Tidak satupun diri manusia, baik itu orang yang bodoh atau terpelajar, manusia barbar atau berperadaban, penduduk di kota-kota atau desa, dan lain- lain keberagaman ada-nya tetap memiliki fitrah yang sama dan tidak berubah dengan fitrah tersebut walaupun dari masing-masing manusia itu memiliki keragaman adat- istiadat dan latar belakang yang berbeda-beda. Salah satu diantara fitrah-fitrah utama manusia ialah kecintaan dan kerinduan akan kesempurnaan. Dalam kenyataannya kesempurnaan yang dimaksud oleh manusia
13 Penerjemah: Abidin Zainal, dkk. 1993. hal 1. Buku Kedua: 40 Hadist Telaah Imam Khomeini atas Hadist-hadist Mistis dan Akhlak. Bandung. Mizan HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 17
beragam bentuknya baik itu yang berasal dari sesuatu yang nyata/jelas ataupun khayali, seluruh manusia akan tetap mengusahakan kesempurnaan tersebut dengan sepenuh hati. Ramadhan merupakan sebuah medan pelatihan dan pendidikan manusia agar segala nilai-nilai kesempurnaan yang di milikinya tercerahkan dan murni menuju kepada bentuk kesempurnaan yang sejati. Kecintaan akan kesermpurnaan yang merupakan bentuk dari cinta yang nyata maka harus dapat mencari dan menemukan Kekasih yang Nyata. D. PUASA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN Kesempurnaan dan Persamaan Manusia Fitrah manusia untuk cenderung ke sesuatu yang sempurna merupakan keabsahan yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun bentuk kesempurnaan yang dimaksud tentunya masih harus ditinjau dari keragaman zat dan sifat dari setiap bentuk kesempurnaan yang dimaksud. Hawa nafsu manusialah yang me-reduksi setiap makna kesempurnaan dari masing-masing individu yang notabene-nya itu pun sangat bergantung kepada tingkatan marifat-nya akan kesempurnaan itu sendiri. Seperti pada pembahasan sebelumnya, hanya zat Yang Maha Sempurna lah yang dapat dijadikan sumber rujukan serta tujuan dari penghambaan diri manusia kepada kesempurnaan. Kecintaan diri manusia sebagai fitrah terhadap kesempurnaan mengisyaratkan adanya upaya peleburan terhadap kesempurnaan itu sendiri, hal ini dapat di mengerti dengan tindakan kesadaran manusia yang senantiasa menyempurnakan dirinya dari segala bentuk kekurangan yang ada pada dirinya. Namun sebagaimana yang kita ketahui pula hanya yang memiliki lah yang dapat memberi, manusia yang dengan hawa nafsunya jelas jauh dari bentuk kesempurnaan, bahkan alam semesta sekalipun yang dengan sifat materialnya tidak luput dari sifat ketidaksempurnaan dan kekekalan. HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 18
Oleh karena itu bagi setiap manusia yang hanya dapat membebaskan belenggu hawa nafsu-nya lah yang akan dapat benar-benar meraih kenikmatan sempurna untuk dapat menyatu dengan kesermpurnaan-Nya tersebut. Sebagaimana pelajaran yang dapat kita petik bersama dalam ibadah puasa, dimana dengan pelatihan mengekang hawa nafsu pada siang hari kita telah belajar bagaimana menyapih segi kemanusiaan kita dengan sifat hewaniyah (hawa nafsu) yang ada dalam diri menuju ke segi ruhaniah yang kekal dan abadi. Baru pada malam harinya kita kembali memberikan pemenuhan kebutuhan sifat hewaniyah kita sebagai bentuk dari realisasi pemenuhan hak semata. Kesediaan kita sebagai umat Islam untuk menahan rasa lapar, dahaga serta segala hal yang dapat membatalkan ibadah puasa merupakan simbol peleburan ego manusia dengan pelepasan diri dari segala bentuk nafsu jasadi-duniawi (hewaniyah), sekaligus menegaskan pembebasan (al-hurriyah) manusia dari penghambaan terhadap materi. Dengan kemampuan dalam mengendalikan ego tersebutlah segenap kesadaran dan rasa persamaan yang dimiliki oleh setiap insan manusia dapat kita penuhi. Sikap persamaan (al-musawah) harkat dan martabat sesama manusia ini sesuai dengan semangat al-Quran yaitu pada hakikatnya semua manusia sama dihadapan Tuhan, hanya tingkat ketaqwaannyalah yang membedakan satu sama lainnya. (Q. S. 49: 13). Bahkan mengenai persamaan harkat dan martabat sesama manusia ini, Rasulullah saww bersabda 14 : Lakukanlah terhadap orang lain sebagaimana engkau ingin agar orang lain berlaku demikian. Jangan melakukan sesuatu yang sekiranya engkau tidak suka diperlakukan demikian.
14 Penerjemah: Ali Muhsein. (1993). Hal.86. Bimbingan Sikap dan Perilaku Muslim. Bangil. Yayasan Pesantren Islam. HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 19
Prinsip kesetaraan (egalitarianisme) sesama manusia ini pada gilirannya akan menumbuhkan sikap solidaritas sosial. Louise Marlow (1997) 15 mengutarakan bahwa secara prinsip, agama-agama monoteis menganggap pengikutnya bersaudara meskipun asal mereka berbeda. Egalitariansme religius atau moral semacam ini terkandung dalam al-Quran, demikian juga injil. Dimensi vertikal (hablun min Allah) yang disimbolkan dengan penafian terhadap segala nafsu duniawi dan dimensi horisontal (hablun min an- nas) yang tercermin dari sikap solidaritas sosial sesama manusia berupa pengakuan akan kesetaraan, persamaan derajat dan kesadaran akan eksistensi kemanusiaan, harus berjalan secara selaras dan seimbang. Pada akhirnya ibadah puasa di bulan suci Ramadhan dapat menghantarkan manusia untuk meraih kesempurnaanya beserta penciptaan komitmen bersama untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kepekaan sosial, empati dan persamaan, sehingga setiap individu ataupun kelompok sosial terjamin hak-haknya sebagai manusia yang merdeka dan bermartabat yang sesuai dengan cita-cita Islam yang luhur. Hal ini merupakan penegasan kembali akan pentingnya keutuhan kualitas kesalehan orang-orang beriman, agar dalam perjalan kehidupannya tidak hanya berorientasi terhadap kesalehan yang bersifat formalistic symbolic semata sehingga menimbulkan gejala dan penyakit split integrity. Menurut Didi Djuanedi (2008) menjelaskan bahwa gejala split integrity merupakan fenomena sosiologis dimana di satu sisi seseorang terlihat sebagai sosok yang saleh secara ritual, namun di sisi lain ia juga sosok manusia yang bobrok secara moral.
15 Djunedi Didi. (2008). Puasa dan Nilai-nilai Kemanusiaan. Tersedia di http://didijunaedihz.wordpress.com/2008/09/02/puasa-dan-nilai-nilai-kemanusiaan/ HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 20
Keutamaan Kebaikan Kebebasan kehendak (ikhtiar), merupakan salah satu fitrah lain yang dimiliki manusia. Melalui ikhtiar ini manusia dapat mencapai pemenuhan kesempurnaanya masing-masing. Sebagaimana nilai dari derajat kesempurnaan itu sendiri berbeda-beda secara makrifat, jatuhnya pilihan-pilihan terhadap jalan yang ditempuh pun ikut andil dalam menenentukannya. Seseorang yang senantiasa dapat mengendalikan dirinya dari pilihan-pilihan yang jauh dari kesempurnaan, pada dasarnya mencoba mengsinkronkan antara kehendak diri pribadinya dengan kehendak dari Yang Maha Berkehendak. Bahkan pada derajat tertentu setiap kehendak yang dimiliki manusia dapat benar-benar melebur dengan Kehendak Sang Maha Kuasa, sehingga tampak darinya setiap tindakan yang dilakukan itu semata- mata merupakan pengejewantahan Kehendak Sang Khalik semata. Di lain sisi, kita pun memahami bahwa, pada dasarnya kehendak bebas individu itu tak terbatas kecuali dibatasi oleh kehendak bebas individu yang lain. Oleh karena itu jika dalam konteks masyarakat, menjadi sebuah kemestian jika setiap kehendak bebas masing-masing individu senantiasa saling di waqaf kan sebagian terhadap individu yang lainnya. Dalam hal inilah kita memahami hadirnya sebuah kesepakatan (rule of law) sebagai sebuah keniscayaan dalam hidup bermasyarakat. Puasa yang dengannya kita ditempa untuk dapat menelanjangi diri dari segala bentuk keterbatasan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu hewaniyah dengan mengukukuhkan jiwa oleh nilai-nilai spiritual ke-Illahiyahi-an menuju hawa nafsu yang mutmainnah, senantiasa menghantarkan kesesuaian fitrah kebebasan kehendak kita dengan kehendak- Nya. Kesesuaian tersebut merupakan bentuk dari keutaman kebaikan dari kecintaan diri HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 21
itu sendiri akan kesempurnaan. Bahkan dalam konteks kemasyarakatan pun, dengan adanya pembatasan hakiki atas kehendak bebas oleh kehendak Ilahi sebagai sebuah kemaslahatan dapat dipandang sebagai jaminan sosial yang sebenarnya ketimbang terhadap kesepakatan sesama manusia semata sebagai sebuah konstitusi. Hal ini wajar jika kita mengingat potensi negatif dari kebebasan tak terbatas tersebut mengindikasikan adanya dominasi kehendak bebas individu yang berkuasa atas sebagian kehendak bebas individu yang lebih lemah lainnya, dimana kekhawatiran yang mungkin sekali terjadi atas adanya perbudakan dan penjajahan sebagai bentuk eksploitasi atas manusia oleh sebagian yang lain akibat dari keserakahan dan tabiat hewaniyah manusia itu sendiri. Islam memposisikan nilai dari keutaman kebaikan sebagai sesuatu yang terintegrasi bagi tiap-tiap jiwa umat, maka agama ini pun mengajarkan nilai-nilai kebaikan, baik itu untuk diri sendiri maupun lingkungannya sebagai keutamaan. Sebagai perenungan semata, mari kita perhatikan barisan ayat suci al-Quran sebagai berikut: (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. 3. 134). Orang beriman yang mencari nafkah semata sebagai penyempurnaan bagi kebaikan dirinya tidak lah akan sempurna sebagai sebuah keutamaan dari kebajikan jika kebaikan nafkah tersebut tidak dimanifestasikan kedalam kehidupan sosialnya. Amarah yang merupakan ledakan emosional dari ketidaksetujuan kehendak diri akan realitas yang timpang berdasarkan nilai yang diyakininya misal kita marah terhadap segala bentuk kedzaliman- senantiasa diekspresikan oleh sikap yang disertai dengan cara-cara yang baik HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 22
(hanif) dan mengutamakan pengampunan tanpa melanggar dari ketentuan syariat dan keadilan- atas sebuah ke-khilafan merupakan ciri kebajikan yang dimiliki oleh orang yang beriman. Kejadian yang menjadi lumrah dan akrab, jika pada bulan suci ini propaganda saling maaf-memaafkan antara sesama muslim pada khususnya maupun antara sesama manusia pada umumnya menjadi ciri khas tersendiri yang dimiliki bulan suci Ramadhan. Fenomena puasa pada bulan suci Ramadhan sebagai bulan yang penuh dengan maghfirah ini merupakan pengkondisian atas jiwa kita agar senantiasa tidak putus harap akan ampunan-Nya dan daya dari nilai kebaikan untuk dapat saling memaafkan diantara kita. Pengharapan akan ampunan dari Allah swt tersebut bukanlah seuatu kondisi yang dimana diri menjadi pasif, sebagaimana puasa tetap mengharuskan yang menjalankannya aktif beribadah baik secara vertical (hablum min Allah) maupun aktif secara ibadah horizontal (hablum min an-nas), maka tobat dari suatu kesalahan haruslah sebuah bentuk penyesalan dan perbaikan dari segala akibat yang ditimbulkan oleh kesalahan yang diperbuatnya tersebut disertai dengan pencegahan-pencegahan terjadinya kembali kesalahan yang serupa. Jadi ampunan atau pengampunan merupakan keutamaan kebaikan itu sendiri, dimana dengan adanya perbuatan aktif dalam melakukan perbaikan-perbaikan tersebut merupakan ikhtiar nyata dalam menggapai harapan adanya timbangan neraca amal yang memberatkan ganjaran pahala di akhirat nanti. Bahkan relevansi antara kebaikan yang didapat oleh orang yang menjalankan ibadah puasa bagi dirinya sendiri terhadap keutamaan kebaikan bagi lingkungan yang dimilikinya merupakan sebuah rumusan dari kesempurnaan beribadah puasa dalam bulan HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 23
Ramadhan. Penggalan riwayat yang disampaikan oleh Amiril Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib (dalam khotbahnya) 16 : Ingatlah dengan rasa lapar dan dahaga kamu padanya akan kelaparan dan kehausan kamu pada hari kiamat. Bersedekahlah kamu kepada orang-orang faqir dan orang-orang miskin kamu. Hormatilah orang-orang yang usianya lebih tua dari kamu, sayangilah orang-orang yang umurnya lebih muda dari kamu, sambungkan rahim-rahim kamu, jagalah lidah-lidah kamu, tundukkanlah penglihatan kamu dari segala perkara yang diharamkan melihatnya, palingkanlah pendengaran kamu dari segala yang diharamkan untuk mendengarnya dan santunilah anak-anak yatim orang lain agar mereka menyantuni anak-anak yatim kamu . Merdeka dan Memerdekakan Orang yang merdeka pada dasarnya ialah seseorang yang dengan kehendak bebasnya dapat mengoptimalkan segala potensi dirinya dengan menjatuhkan pilihannya kepada kesempurnaan hidup. Islam memandang agung dan mulia sebuah kebebasan, adapun kebebasan hakiki yang dimaksud oleh agama ini tentunya ialah kebebasan dari belenggu syahwat dan kecenderungan hewaniyah dalam diri, dimana hal tersebut dapat mengakibatkan reduksi dari pemaknaan kesempurnaan serta kekeliruan dalam menjatuhkan pilihan hidup. Mari kita ingat kembali sebuah hadist dari Rasul saww yang disampaikan pada saat khutbahnya pada Jumat terakhir bulan Syaban Wahai sekalian manusia, sesungguhnya jiwa kalian tergadaikan dengan amal kalian, maka bebaskanlah (jiwa kalian) dengan
16 Buletin Al-Jawad. Edisi ke-3 Hal.5. Syaban-Ramadhan 1430 H. Khotbah Rasulullah saw Menyambut Bulan Ramadhan. Bandung. Yayasan Al-Jawad. HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 24
ber-istighfar. Refleksi kesadaran atas diri dari ekspresi ber-istighfar bukan hanya semata-mata dihadiratkan kepada Allah swt semata, melainkan juga sebagai kesadaran social. Tergadainya diri oleh amal perbuatan tidak akan dapat dimengerti jika tidak menghadirkan objek dari perbuatan sebagai predikat oleh subjek diri kita. Lingkungan dan masyarakat lah yang menjadi objek dari setiap perbuatan kita, maka perbuatan yang didasari oleh pilihan kehendak bebas yang tepat lah yang dapat menghantarkan kebebasan jiwa yang fitri. Dalam bulan suci Ramadhan ini, salah satu nilai edukasi yang dihadirkan oleh Allah swt ialah menunjukan pentingnya sebuah kemerdekaan diri sebagai modal utama untuk dapat memerdekakan yang lain, karena tidak mungkin seseorang yang tidak memiliki kemerdekaan pada dirinya dapat senantiasa memerdekakan orang lain, sebagaimana para budak dan hamba sahaya. Dalam penggalan riwayat yang sama dengan sebelumnya, dimana disampaikan oleh Amiril Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib (dalam khotbahnya) 17 Wahai manusia! Barangsiapa memberikan makanan dan minuman untuk berbuka puasa orang yang beriman pada bulan ini, maka dengan itu dia akan mendapatkan pahala memerdekakan hamba di sisi Allah dan pengampunan atas dosa- dosanya yang telah lalu Barangsiapa yang meringankan beban (pekerjaan) dari hambanya (pembantu rumah tangganya) pada bulan ini, niscaya Allah akan ringankan pengadilan-Nya Barangsiapa yang memuliakan seorang anak yatim padanya, Allah akan memuliakan dia pada hari dia bertemu dengan-Nya. Barangsiapa yang menyambungkan rahimnya padanya, Allah akan menyambungkannya dengan kasih-Nya pada hari dia berjumpa dengan-Nya.
17 Buletin Al-Jawad. Edisi ke-3 Hal.6. Syaban-Ramadhan 1430 H. Khotbah Rasulullah saw Menyambut Bulan Ramadhan. Bandung. Yayasan Al-Jawad. HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 25
Keadilan atas Sesama Berbuat adil, berarti berupaya untuk menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Dalam memandang keutaman dari seseorang manusia terhadap manusia lainnya haruslah berdasarkan atas azas keadilan tersebut. Sebagaimana yang telah kita pahami bersama bahwa pada hakikatnya manusia secara mahiyah atau esensial tidak memilki perbedaan, semuanya sama sebagai insan tetapi yang membedakannya adalah dari tingkat eksistensinya. Dalam ibadah puasa, kesediaan untuk menahan rasa lapar, dahaga serta segala hal yang dapat membatalkan ibadah puasa merupakan simbol peleburan ego manusia dengan pelepasan diri dari segala bentuk nafsu jasadi-duniawi (hewaniyah), sekaligus menegaskan kembali pembebasan (al-hurriyah) manusia dari penghambaan terhadap materi. Dengan jalan ini setiap kaum beriman dapat menajadi insan taqwa (muttaqin) sebagaimana maksud yang disampaikan oleh kewajiban ibadah puasa itu sendiri (QS. 2:183). Sedangkan keutamaan dari seseorang manusia terhadap manusia mestilah berdasarkan kedekatan yang diupayakannya sebagai wujud mungkin terhadap wujud wajib yaitu Allah swt sebagai bentuk dari keber-ada-an keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana penggalan ayat al-Quran surat al-Hujaraat ayat 13 berbunyi Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu . Azas keadilan ini meliputi fitrah manusia dalam memiliki kemerdekaan hidup, dimana setiap kehendak bebasnya dalam menjatuhkan pilihan merupakan dasar dan hasil dari kesadaran dan upaya kemerdekaannya sendiri dalam meraih kesempurnaan. Oleh karena itu Islam memandang manusia secara fitri sebagai makhluk percaya dan HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 26
berketuhanan. Makluhk percaya dan berketuhanan ini senantiasa mengakibatkan perlunya penempatan kemerdakaan dirinya diatas jalan kehendak Sang Maha Kuasa, karena hanya dengan demikian lah kita telah dapat berbuat adil terhadap diri sendiri yang serba tidak sempurna menuju kepada kesempurnaan-Nya yang sejati itu. Semakin ia dapat menempatkan kehendaknya sesuai dengan kehendak yang Maha Sempurna maka semakin adil lah ia pada dirinya, sehingga derajat taqwa pun dapat diraihnya. Puasa dapat kita pandang sebagi fenomena dimana orang-orang beriman sebelumnya selama 11 bulan lamanya mungkin terlalu tenggelam dalam hiruk-pikuk kesibukan aktifitas dan kelamnya kehidupan duniawi sebagi upaya pemenuhan hajat jasmaniyah semata, maka dengan memberikan hak pada diri sendiri melalui jamuan Allah swt (puasa) merupakan upaya yang adil untuk dapat memenuhi hajat dimensi ruhaniyah yang kita miliki. Didalam menjalankan ibadah puasa pada bulan suci Ramadhan itu sekalipun, pemenuhan hak jasmaniyah kita tetap menjadi suatu kewajiban, hal ini dilakukan dengan batasan waktu pada praktik puasa itu sendiri yang dimulai dari fajar sejati hingga malam (maghrib). Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya bahwa rumusan dari kesempurnaan beribadah puasa itu sendiri ialah terletak dari adanya keutamaan kebaikan yang bukan hanya bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi lingkungannya. Bagi seseorang yang terbiasa untuk senatiasa menghadirkan keadilan bagi dirinya berarti berkualitas sebagai seseorang yang memiliki rasa adil dalam dirinya. Oleh karena itu untuk menyempurnkan rasa adil itu maka implementasi pada tataran sosial sebagai bentuk dari keadilan sosial merupakan hal patut dan utama. HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 27
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. 16. 90). Menegakkan keadilan dan memberantas segala bentuk kedzaliman seharusnya merupakan sikap yang dihasilkan oleh setiap orang beriman yang menempa dirinya pada madrasah Ramadhan. Sebagaimana kepemilikan rasa adil pada diri individu merupakan jaminan dari keadilan sosial bagi lingkungannya, maka budaya adil yang dimiliki oleh komunitas muslim merupakan jaminan bagi keadilan universal dalam tatanan masyarakat dunia. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 5. 8). Untuk menegaskan kembali bahwa keadilan merupakan pondasi dasar dari tatanan komunitas muslim, Rasulullah saw bersabda 18 : Seorang yang memakan makanan tambahan (camilan/makanan ringan setelah makan makanan pokok), sedang saudara- saudara Muslimnya sedang lapar, berarti dia tidak percaya terhadap kenabianku.
18 Penerjemah: Ali Muhsein. (1993). Hal.90. Bimbingan Sikap dan Perilaku Muslim. Bangil. Yayasan Pesantren Islam. HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 28
Mawas Diri atas Perbincangan mengenai Kebenaran Seperti yang kita ketahui bersama bahwa menjalankan ibadah puasa bukanlah hanya menahan dari makan dan minum semata, namun juga dapat menahan diri dari segala bentuk penglihatan, pendengaran, perkataan, dan pikiran yang tidak baik. Dengan bekal dari pengendalian diri tersebut, sebenarnya kaum muslim telah dapat mempertahankan dan mengembangkan kepribadian jujurnya. Jujur dalam mengemukakan dan penerimaan diri atas kebenaran misalnya. Ada pandangan umum bahwa, ketika seseorang yang tadinya sering membicarakan kepedulian akan segala bentuk permasalahan social disekitarnya dan jika seseorang tersebut sudah masuk ke ruang elite sesudahnya maka bekesudahan pula pembelaan dan kepedulian social nya terhadap kaum lemah. Hal ini merupakan permasalahan inti dari permasalahan yang tampak sebenarnya, jika seseorang muslim sudah tidak lagi memiliki kecenderungan dalam jujur terhadap memenangkan kebenaran dan keadilan dalam hatinya maka pertanda rusak lah tatanan masyarakat muslim disekitarnya. Sikap agresif dalam diskusi-diskusi akademik, khususnya jika di sana hadir pula ulama-ulama besar dan orang banyak merupakan kecenderungan yang buruk. Diskusi intelektual seharusnya dapat menjadi ibadah yang masuk pada tingakatan yang tinggi, hal tersebut jika dilakukan dengan niat sungguh-sungguh dalam memenangkan kebenaran dan keadilan. Perhatikan hadist dibawah ini 19 : Diriwayatkan dari sahabat Nabi bahwa sekali waktu Rasul saw datang kepada mereka ketika mereka sedang berdebat keras tentang suatu masalah agama. Rasul saw amat tidak menyukai hal itu dan belum pernah semarah ini. Rasul saw
19 Penerjemah: Abidin Zainal, dkk. 1992. hal 33. Buku Pertama: 40 Hadist Telaah Imam Khomeini atas Hadist- hadist Mistis dan Akhlak. Bandung. Mizan HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 29
berkata kepada mereka bahwa karena berdebatlah para pendahulu mereka dihancurkan, dan beliau menambahkan bahwa seseorang yang gemar berdebat amatlah merugi. Tinggalkanlah perdebatan yang berlarut-larut, sebab aku tidak akan memberikan syafaat kepadanya pada Hari Kiamat. Aku menjanjikan tiga buah rumah dengan taman-taman dan tingkat-tingkatnya bagi siapa yang meninggalkan perdebatan, sebab ia adalah hal kedua setelah penyembahan berhala, yang aku dilarang mengerjakannya oleh Tuhanku. Tidak akan sempurna hakikat keimanan seseorang kecuali setelah ia meninggalkan perdebatan walaupun ia dalam kebenaran. Lanjut Rasulullah saw . Perdebatan jelas merupakan perkerjaan yang sia-sia dan menghancurkan, berbeda sekali dengan maksud dari diskusi yang sebenarnya. Jalaluddin Rakhmat (2003:19) 20
mengutip sebuah riwayat yang berasal dari Imam Husain bin Ali as, dimana perdebatan itu tidak lebih dari empat macam, yaitu : 1. Kamu dan temanmu berdebat tentang apa yang kalian berdua mengetahuinya. Dalam hal ini kalian telah meninggalkan nasihat dan mencari kesalahan serta menghilangkan ilmu itu. 2. Kalian bedebat tentang apa yang kalian berdua tidak mengetahuinya, maka kalian telah menampakkan kebodohan dan berselisih tentang sesuatu yang tidak diketahui. 3. Kalian berdebat sedangkan kamu mengetahui hal yang diperdebatkan dan kawanmu tidak, maka kamu telah menzalimi temanmu dengan mencari kesalahannya.
20 Rakhmat Jalaluddin. 2003. Hal 13. Mukhtasar Shahifah Husainiyyah Nasihat, Kisah dan Doa Imam Husain as. Bandung. Muthahhari Press. HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 30
4. Kalian berdebat sedangkan temanmu mengetahui hal yang diperdebatkan dan kamu tidak, maka kamu tidak menghormatinya meskipun kedudukannya tidak jatuh. Bahkan penjelasan dari riwayat itu selanjutnya menyatakan bahwa jika perdebatan ditinggalkan dengan sikap yang adil dan senantiasa terbuka untuk menerima kebenaran maka hal itu merupakan upaya nyata dalam meneguhkan keimanan dan memperbaiki persahabatan agamanya serta menjaga akalnya. Debat sebagai sesuatu yang sia-sia jika dilakukan dan mesti kita tinggalkan ialah sesuatu yang sangat wajar, dimana debat itu sendiri memang suatu metoda yang keliru dalam menentukan kebaikan dan kebenaran dari sesuatu. Hal ini dapat kita pahami dari makna dan maksud debat itu sendiri berdasarkan definisinya yaitu 21 Pembicaraan yang berisi bantahan-bantahan saling menyanggah dengan mempertahankan pendapatnya masing-masing. Hal tersebut sudahlah menyalahi pencarian kebenaran sebagai upaya kebaikan itu sendiri, dimana argumentasi yang paling menang dan bertahanlah yang diunggulkan dengan tidak memperhatikan kebenaran dari argumentasi tersebut terhadap kebenaran dari argumentasi-argumentasi lainnya. Berbeda dengan diskusi, dimana memiliki pengertian sebagai 22 Pertemuan ilmiah yang dihadiri oleh beberapa orang yang membahas suatu masalah dengan saling tukar pendapat. Dimana diskusi itu sendiri merupakan upaya komunikasi (tukar pendapat) dengan semangat untuk mencari kebenaran (solusi) dari suatu permasalahan tertentu.
21 Afrina, Dra. Eka Yani. Hal 74. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya. TIGA DUA. 22 Idem. Hal 90. HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 31
Diskusi itu sendiri tetap memperhatikan proses pemenuhan kebenaran dari beberapa argumentasi yang hadir dengan rumusan : 1. A + B = A (Jika argumentasi A lebih benar maka argumentasi B keliru, maka demi kebenaran argumentasi A diterima dengan keterbukaan pihak B). 2. A + B = B (Jika sebaliknya dari yang pertama) 3. A + B = C (Jika argumentasi A dan B saling melengkapi dan menguatkan kebenaran yang ada, maka argumentasi C yang merupakan kesimpulan yang dipegang bersama). Berdiskusi yang logis menyebabkan pahala spiritual bagaikan pahala shalat yang diterima. Hal ini berdasarkan sabda Imam Muhammad Baqir as. Bahkan Imam Ali as bersabda mengenai musyawarah (bentuk diskusi) sebagai sesuatu yang penting sebagaimana berikut : Siapupun yang merasa dirinya benar sehingga tidak perlu bermusyawarah dengan lainnya, ia akan menghadapi beberapa kesulitan. Aku benci kepada orang-orang yang diajak musyawarah oleh seseorang Muslim sedangkan ia tahu sesuatu yang baik bagi si Muslim, tapi ia diam tidak mengatakannya. Dalam diskusi itu sendiri mensyaratkan dari ketidak sia-siannya sebuah komunikasi pencarian kebenaran dengan memperhatikan adanya persamaan di wilayah objek permasalahan yang ditunjuk atau dibatasi dan dengan konteks bahasa yang dipahami bersama. Selain itu juga adanya perbedaan di wilayah tingkat pengetahuan terhadap objek yang ditunjuk tersebut.
HMI Menulis Kreatif Ramadhan : Esensi Puasa (Ramadhan) Atas Nilai, Moral dan Peradaban Manusia , Agustus 2010. Kader HMI Cab. Bandung KPMIPA UPI, Andri Indrawan| 32
E. KESIMPULAN Puasa dalam bulan Ramadhan senantiasa disimbolkan oleh agama Islam dengan mengisyaratkan adanya kesucian yang terkandung didalamnya. Puasa pada bulan suci Ramadhan mengakibatkan terbentuknya kualitas kesalehan sosial, individual dan sipritual dengan meniadakan segala bentuk kesengsaraan manusia yang timbul karena mengikuti hawa nafsunya. Semua bentuk kezaliman dan ketidakadilan, tertindasnya mustadafin (kaum lemah) dan semua kepasrahan menerima penindasan yang ada di tengah umat manusia, semua itu terjadi karena kepasrahan kepada hawa nafsu dan ketundukan kepada bisikan syahwat. Dalam Islam, tidak terdapat keagungan dan kemuliaan yang melebihi kebebasan. Kebebasan dari belenggu syahwat dan kecenderungan yang ada dalam diri dengan merefleksikan kesadaran atas diri terhadap Allah swt dan juga akan ketimpangan dan ketidakadilan realitas sosial yang terjadi dari segala bentuk kezaliman yang ada. Wallahu `alam bishowab.