You are on page 1of 6

1

IDENTITAS ASLI NEGARA MULTIKULTURAL


Oleh
Erika, S.H,.M.Kn

Indonesia adalah Negara Hukum dengan kemultikultural, sebagai negara yang
memiliki beragam jenis ras, suku, agama, kebudayaan, negara dengan ke-multikulturan
menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negatif, dampak negatif dari ke-
multikulturan tersebut antara lain rentan terhadap konflik, selain itu juga tentunya akan
menimbulkan perbagian berbagai kelas-kelas sosial, dan golongan mayoritas maupun
minoritas. Beberapa Persoalan Penting seputar Kelompok Minoritas didaerah sering muncul
yang berhubungan dengan interaksi sosial di antara kelompok masyarakat minoritas didaerah-
daerah pedalaman adalah Adanya politik pencitraan yang disematkan kepada komunitas
tertentu. Politik pencitraan berupa stigma dan stereotip ini merupakan awal dari munculnya
hubungan sosial yang diskriminatif. Seperti pencitraan negatif terhadap komunitas tertentu.
Pernyataan singkat Panglima Daerah (Pangdam) VI Mulawarma Mayjen TNI Dicky
Wainal Usma dalam Pertemuan Silahturahmi dengan puluhan Tokoh masyarakat adat,
Kepala SKP, Unsur FKPD Di Kabupaten Tana Tidung Kaltm pada hari jumat, tanggal
8/11/2013, bahwa tidak ada putra daerah di pulau Kalimantan, karena kita ini semua
pendatang, sehingga tidak perlu ada perasaan primordial yakni paham kesukuan yang
berlebihan, ternyata kemudian menjadi persoalan tersendiri bagi masyarakat adat setempat.
Serentak masyarakat adat di Kalimantan, sebut saja kaltim dan kalteng melalui beberapa
organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat setempat, ormas, para mahasiswa dan tokoh-tokoh
masyarakat menyatakan penolakan pernyataan sang Pangdam. Demonstrasi dan gerakan
penolakan dengan tuntutan sang Panglima mencabut kembali pernyataan dan meminta maaf
kepada seluruh masyarakat adat asli Kalimantan, hingga tuntutan agar sang Pangdam
Meninggalkan pulau Kalimantan.
Pernyataan klarifikasi dan permohonan maaf bila mana pernyataan keliru pun di
sampaikan Pangdam melalui media cetak koran ternyata tidak dapat menyembuhkan luka
kekecewaan masyarakat adat asli Kalimantan karenanya masyarakat bermaksud
menidaklanjuti mengadu kepada Presiden. Klarifikasi sang Panglima melalui Staff Ahli
bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Kolonel (Kav) Donald Sitorus dengan dalih mengajak
putra kaltim tidak terjebak dalam pengkotak-kotakan suku karena semua masyarakat adalah
2

Indonesia yang nasionalis dan internasional, karena indonesia telah bersumpah menjadi satu
bangsa (Tribunkaltim 15/11/2013 Pangdam Meminta Maaf), dengan menyampai bahwa
ditinjau dari antropologi budaya, bangsa indonesia semua berasal dari dari Cina selatan
sehingga tidak ada yang Asli.
Bagi Masyarakat Adat setempat yang merasa Asli Kalimatan pembenaran atas pernyataan
dan klarifikasi Panglima dengan latarbelakang pemikiran antropolgi budaya dengan konsep
nasionalisme dan internasional, sungguh sangat mematikan Nalar, Mengunakan pidato
pendekatan Antropologi budaya dengan idealimse Nasionalis pada waktu dan tempat sang
pangdam berbicara sesungguhnya terlalu berlebihan, apalagi dibarengi pertanyaan Pangdam
yang dijawab sendiri oleh Pangdam tentang ketiadaan putra daerah asli Kalimantan. Cara-
cara pendekatan Komunikasi Pangdam memperlihatkan otoriter kekuasaan khas orde baru,
kebebasan Mimbar seyogyanya harus dapat dipertanggung jawabkan yang bersangkutan
dalam jabatan dan kedudukan, tidak sekedar memohon maaf bilamana ada kekeliruan dengan
dalih demokrasi kebebasan berbicara dan berpendapat dengan mengunakan konsep teori
kebenaran pragmatis.
Secara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis tidak ada yang salah dalam pengistilahan
putra asli daerah karena tidak adanya aturan hukum yang melarang istilah dan penyebutan
putra daerah mengadopsi pengistilahan dari hukum pemerintahan daerah, mengenai
pengaturan tingkatan kewilayahan pemerintah daerah, masyarakat adat lokal Kalimantan
mengunakan dan menyebutkan dirinya sebagai putra daerah/putra asli atau masyarakat asli
Kalimantan dengan berbagai pertimbangan alasan, seperti contoh dalam konteks kekhasan
budaya tradisional dan adat istiadat. Mengunakan antropolgi budaya sebagai refrensi
pembenaran, maka perlu kiranya sang Panglima TNI mengetahui latarbelakang sosial budaya
masyarakat setempat, bahwa keyakinan masyarakat lokal yang ada di bumi Kalimantan
beragam. Suku Dayak Benuaq Misalnya mempercayai bahwa asal mula keturunan mereka di
bumi langsung dari tempat mereka sekarang yakni Kalimantan, Tidak pernah bermigrasi
seperti pendapat para ahli Antropologi, keyakinan yang dipercaya turun temurun dengan
cerita spritual Aji Tulur Jejangkat dan Mook Manar Bulatn, Seniang Jatu.
Dalam kekisruhan persepsi antara masyarakat adat lokal Kalimantan dengan sang
Panglima perlu kiranya di luruskan dalam konteks apa maksud dan tujuan politis dari Mula
pernyataan, Tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Angka (1) UU NO 34/2004
adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan
3

Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Menjadi pertanyaan dalam
konteks menegakan kedaulatan negara berdasarkan pancasila dan UUD 1945 Perlukan TNI
bertanya ada atau tidaknya masyarakat asli disuatu daerah, untuk apa ? bukankah pertanyaan
ini akan memberikan beragam jawaban yang kelak akan menciptakan konflik tersendiri. TNI
dalam berbagai sarasehan tentang Wawasan kebangsaan menyampaikan sosialisasi bahwa
wawasan kebangsaan ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya dalam mengekspresikan diri
sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah lingkungan nusantara itu. Bahwa kemudian
masyarakat adat lokal Kalimantan kemudian mengekspresikan dirinya sebagai penduduk asli/
putra daerah secara hukum bukan merupakan tindakan inkonstitusional yang menciptakan
kegawat daruratan sehingga menjadi ancaman bagi Negara kesatuan Republik Indonesia.
Dasar Negara Indoensia Yakni Pancasila dan UUD 1945 mengakui kemultikulturalan
Indonesia dengan tetek bengeknya, Bhineka Tungga Ika sangat dihayati oleh seluruh element
masyarakat didaerah yang mengkultuskan diri sebagai masyarakat asli suatu wilayah, namun
demikian kegalauan, kritikan, tuntutan optimaliasi pelayanan negara kepada masyarakat lokal
di daerah tidaklah perlu di artikan secara kaku sebagai wujud dari tindakan separatis yang
mengancam keutuhan NKRI. Memahami masyarakat terkhusus masyarakat lokal didaerah
pedalaman, tidak cukup dengan pemahaman tentang sejarah dari sudut antropolgi dan politik
tapi perlu juga dari sudut psikologi. Peran TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang
dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, dengan
adanya pernyataan Pangdam tersebut diterima dan diasumsikan oleh pihak-pihak yang
menolak pernyataan tersebut sebagai pesan politik negara yang kurang dan lebihnya
mengingkari eksitensi dari kreasi masyarakat adat lokal yang menimbulkan dampak-dampak
sosiologis. Dapat dipahami Bagi masyarakat adat Lokal Kalimantan dampak-dampak
sosiologis bukan persoalan sederhana, bilamana tidak diakui beradaan identitas keaslian
kedaerahan, bagaimana mungkin negara dapat Melindungi eksistensi identitas mereka, adat
istiadat dengan kesakralnya dan hak-hak terkait lainnya.
Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk merujuk
kepada masyarakat asli yang ada di dalam negara-bangsa Indonesia. Dalam ilmu hukum dan
teori secara formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam perkembangan terakhir,
4

masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak
hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan.
Dalam beberapa literatur resmi, istilah "masyarakat adat" dan "penduduk pribumi"
digunakan silih berganti dan mengandung makna yang sama. Pandangan yang sama
dikemukakan dalam merangkum konsep orang-orang suku dan populasi orang-orang asli dari
Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB dengan merujuk kepada Konvensi ILO 107
(1957) dan 169 (1989). Dalam Deklarasi Masyarakat Adat (atau Deklarasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Masyarakat Adat) menyatakan "secara praktis mereka
yang menyebut dirinya sebagai orang asli atau orang suku menyetujui agar kedua istilah ini
digunakan secara sinonimmany of these peoples refer to themselves as indigenous in
order to fall under discussions taking place at the United Nations. For practical purposes the
terms indigenous and tribal are used as synonyms in the UN system when the peoples
concerned identify themselves under the indigenous agenda.
Dalam Konvensi ILO dan Deklarasi ini sendiri disebutkan bahwa identifikasi diri
sendiri dari masyarakat merupakan kunci dalam menempatkan sebuah entitas sosial sebagai
masyarakat adat. Idenfitikasi diri merupakan hak dasar yang dijamin dalam berbagai hukum
universal yang sudah berlaku sejak pendirian PBB. Maka, dalam Konvensi ILO No.169 tahun
1986 dinyatakan pengertian dasar mengenai Masyarakat Adat, Bangsa, suku, dan
masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat
sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri
mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan
bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari
masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah
leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi
kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku-bangsa, sesuai pola budaya, lembaga
sosial dan sistem hukum mereka.
Menurut beberapa literatur Masyarakat Adat Dayak merupakan penduduk asli
Kalimantan yang hidup secara turun temurun berdasarkan kearifan lokal budaya setempat.
Istilah Dayak, sesungguhnya mempunyai arti sebagai sebutan kolektif sub-suku masyarakat
adat Dayak di Kalimantan. Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Timur contoh, dapat
diklasifikasikan dalam 7 kelompok besar, yakni: (1) Luangan Group terdiri dari Dayak
Benuaq, Bentian, Paser dan Tonyooi; (2) Apo Kayan Group terdiri dari Dayak Kayan,
5

Kenyah, Bahau, Punan, Modang dan Long Gelat; (3) Lun Bawan Group, terdiri dari Dayak
Lun Dayeh dan Lun Bawan; (4) Mahakam Group terdiri dari Dayak Seputan; (5) Barito
Kapuas Group, terdiri dari Dayak Kahayan dan Bekumpay; (6) Kapuas Group terdiri dari
Dayak Aoheng dan Bukat; (7) Melayu Group, terdiri dari Kutai dan Tidung dengan sejumlah
puak masing-masing.
Dalam perspektif etno-antropologis, masyarakat adat Dayak di Kalimantan Timur
menurut klasifikasi berdasarkan perbedaan bahasa, terdapat 7 kelompok besar yaitu:
1. 2 kelompok Exo-Bornean: (1) Kutai dari kelompok Malayic; (2) Bulungan, Tidung, Abai
dan Tagel, dari kelompok Idahan.
2. 5 kelompok Endo-Borneani: (1) Benuaq, Bentian, Luangan dan Paser dari kelompok
Barito Timur; (2) Tunjung dan Ampanang dari kelompok Barito-Mahakam; (3) Kayan,
Bahau, Modang, Aoheng dan Kenyah dari kelompok Kayan-Kenyah; (4) Lundaye,
Lengilu dan Saben dari kelompok Apo Duat; (5) Merap, Punan Malinau dan Basap Sajau
dari kelompok Rejang-Baram (Hudson, 1978).
Dalam klasifikasi Hudson tersebut, belum termasuk beberapa kelompok yang cukup
berbeda dari segi bahasa, yakni kelompok: (1). Berayu-Berau dan Lebu di Kabupaten Berau;
(2). Brusu dan Bau di Kabupaten Malinau; (3). Punan dan Basap seperti Punan Kereho dan
Punan Murung di Kabupaten Kutai Barat, Punan Lisum dan Basap Jonggon di Kabupaten
Kutai Kartanegara, serta Punan Kuhi, Punan Aput dan Punan Benalui di Kabupaten Malinau
(Devung, 1997).
Berdasarkan hasil penelitian Kalimantan Resource Center, WWF Indonesia, Proyek
Kayan Mentarang, ditemukan gambaran sebaran dominan etnis lokal per Kabupaten di
Kaltim, dengan identifikasi nama etnis lokal berdasarkan klasifikasi populer di masing-
masing Kabupaten, sebagai berikut:
1. Kabupaten Paser, 3 etnis lokal: Paser, Bukit, Dusun
2. Kabupaten Penajam Paser Utara, 1 etnis lokal: Paser
3. Kabupaten Kutai Barat, 10 etnis lokal: Aoheng, Kayan, Bahau, Kenyah, Punan, Tunjung,
Benuaq, Bentian, Luangan, Kutai
4. Kabupaten Kutai Kartanegara, 8 etnis lokal: Kutai, Modang, Punan, Kenyah, Kayan,
Basap, Benua, Tunjung
5. Kabupaten Kutai Timur, 6 etnis lokal: Kutai, Modang, Kayan, Kenyah, Basap, Tunjung
6

6. Kabupaten Berau, 7 etnis lokal: Berayu-Berau, Gaay, Punan, Lebu, Basap, Kayan,
Kenyah
7. Kabupaten Bulungan, 6 etnis lokal: Kenyah, Kayan, Punan, Bulongan, Brusu, Basap
8. Kabupaten Malinau 12 etnis lokal: Kenyah, Punan, Kayan, Pua, Merap, Bau, Lun Daye,
Tidung, Brusu, Tagel, Abai, Agabag
9. Kabupaten Nunukan 6 etnis lokal: Tidung, Abai, Tagel, Agabag, Brusu, Lun Daye.

Dalam pengertian masyarakat adat lokal dikalimantan istilah putra daerah asli adalah
cara masyarakat adat lokal setempat mengidentifikasi diri dan kelompoknya yang hidup
temurun temurun dan segala adat istiadatnya sebelum Konsesus NKRI, sehingga pernyataan
Pangdam yang menyebutkan ketiadaan putra daerah dikalimatan akhirnya diterima dan
ditangkap sebagai pernyatan tidak diakui masyarakat adat dikalimatan dan akhirnya menjadi
ancaman bagi masyarakat adat di kalimatan. Menurut kami perlukan komunikasi lintas
sektroral agar bagaimana menyamakan persepsi masing-masing pihak secara arif bijaksana.
Demikian semoga tulisan ini menjadi bahan pertimbangan dari masing-masing pihak dalam
upaya penyelesaian solusi perbedaan persepsi tentang istilah asli putra daerah.


Erika,S.H,.M.Kn
1. Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda;
2. Mahasiswa program Doktor di Fakultas Hukum UGM
3. Pemerhati Masyarakat Adat Kalimantan

You might also like