Indonesia adalah Negara Hukum dengan kemultikultural, sebagai negara yang memiliki beragam jenis ras, suku, agama, kebudayaan, negara dengan ke-multikulturan menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negatif, dampak negatif dari ke- multikulturan tersebut antara lain rentan terhadap konflik, selain itu juga tentunya akan menimbulkan perbagian berbagai kelas-kelas sosial, dan golongan mayoritas maupun minoritas. Beberapa Persoalan Penting seputar Kelompok Minoritas didaerah sering muncul yang berhubungan dengan interaksi sosial di antara kelompok masyarakat minoritas didaerah- daerah pedalaman adalah Adanya politik pencitraan yang disematkan kepada komunitas tertentu. Politik pencitraan berupa stigma dan stereotip ini merupakan awal dari munculnya hubungan sosial yang diskriminatif. Seperti pencitraan negatif terhadap komunitas tertentu. Pernyataan singkat Panglima Daerah (Pangdam) VI Mulawarma Mayjen TNI Dicky Wainal Usma dalam Pertemuan Silahturahmi dengan puluhan Tokoh masyarakat adat, Kepala SKP, Unsur FKPD Di Kabupaten Tana Tidung Kaltm pada hari jumat, tanggal 8/11/2013, bahwa tidak ada putra daerah di pulau Kalimantan, karena kita ini semua pendatang, sehingga tidak perlu ada perasaan primordial yakni paham kesukuan yang berlebihan, ternyata kemudian menjadi persoalan tersendiri bagi masyarakat adat setempat. Serentak masyarakat adat di Kalimantan, sebut saja kaltim dan kalteng melalui beberapa organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat setempat, ormas, para mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat menyatakan penolakan pernyataan sang Pangdam. Demonstrasi dan gerakan penolakan dengan tuntutan sang Panglima mencabut kembali pernyataan dan meminta maaf kepada seluruh masyarakat adat asli Kalimantan, hingga tuntutan agar sang Pangdam Meninggalkan pulau Kalimantan. Pernyataan klarifikasi dan permohonan maaf bila mana pernyataan keliru pun di sampaikan Pangdam melalui media cetak koran ternyata tidak dapat menyembuhkan luka kekecewaan masyarakat adat asli Kalimantan karenanya masyarakat bermaksud menidaklanjuti mengadu kepada Presiden. Klarifikasi sang Panglima melalui Staff Ahli bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Kolonel (Kav) Donald Sitorus dengan dalih mengajak putra kaltim tidak terjebak dalam pengkotak-kotakan suku karena semua masyarakat adalah 2
Indonesia yang nasionalis dan internasional, karena indonesia telah bersumpah menjadi satu bangsa (Tribunkaltim 15/11/2013 Pangdam Meminta Maaf), dengan menyampai bahwa ditinjau dari antropologi budaya, bangsa indonesia semua berasal dari dari Cina selatan sehingga tidak ada yang Asli. Bagi Masyarakat Adat setempat yang merasa Asli Kalimatan pembenaran atas pernyataan dan klarifikasi Panglima dengan latarbelakang pemikiran antropolgi budaya dengan konsep nasionalisme dan internasional, sungguh sangat mematikan Nalar, Mengunakan pidato pendekatan Antropologi budaya dengan idealimse Nasionalis pada waktu dan tempat sang pangdam berbicara sesungguhnya terlalu berlebihan, apalagi dibarengi pertanyaan Pangdam yang dijawab sendiri oleh Pangdam tentang ketiadaan putra daerah asli Kalimantan. Cara- cara pendekatan Komunikasi Pangdam memperlihatkan otoriter kekuasaan khas orde baru, kebebasan Mimbar seyogyanya harus dapat dipertanggung jawabkan yang bersangkutan dalam jabatan dan kedudukan, tidak sekedar memohon maaf bilamana ada kekeliruan dengan dalih demokrasi kebebasan berbicara dan berpendapat dengan mengunakan konsep teori kebenaran pragmatis. Secara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis tidak ada yang salah dalam pengistilahan putra asli daerah karena tidak adanya aturan hukum yang melarang istilah dan penyebutan putra daerah mengadopsi pengistilahan dari hukum pemerintahan daerah, mengenai pengaturan tingkatan kewilayahan pemerintah daerah, masyarakat adat lokal Kalimantan mengunakan dan menyebutkan dirinya sebagai putra daerah/putra asli atau masyarakat asli Kalimantan dengan berbagai pertimbangan alasan, seperti contoh dalam konteks kekhasan budaya tradisional dan adat istiadat. Mengunakan antropolgi budaya sebagai refrensi pembenaran, maka perlu kiranya sang Panglima TNI mengetahui latarbelakang sosial budaya masyarakat setempat, bahwa keyakinan masyarakat lokal yang ada di bumi Kalimantan beragam. Suku Dayak Benuaq Misalnya mempercayai bahwa asal mula keturunan mereka di bumi langsung dari tempat mereka sekarang yakni Kalimantan, Tidak pernah bermigrasi seperti pendapat para ahli Antropologi, keyakinan yang dipercaya turun temurun dengan cerita spritual Aji Tulur Jejangkat dan Mook Manar Bulatn, Seniang Jatu. Dalam kekisruhan persepsi antara masyarakat adat lokal Kalimantan dengan sang Panglima perlu kiranya di luruskan dalam konteks apa maksud dan tujuan politis dari Mula pernyataan, Tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Angka (1) UU NO 34/2004 adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan 3
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Menjadi pertanyaan dalam konteks menegakan kedaulatan negara berdasarkan pancasila dan UUD 1945 Perlukan TNI bertanya ada atau tidaknya masyarakat asli disuatu daerah, untuk apa ? bukankah pertanyaan ini akan memberikan beragam jawaban yang kelak akan menciptakan konflik tersendiri. TNI dalam berbagai sarasehan tentang Wawasan kebangsaan menyampaikan sosialisasi bahwa wawasan kebangsaan ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah lingkungan nusantara itu. Bahwa kemudian masyarakat adat lokal Kalimantan kemudian mengekspresikan dirinya sebagai penduduk asli/ putra daerah secara hukum bukan merupakan tindakan inkonstitusional yang menciptakan kegawat daruratan sehingga menjadi ancaman bagi Negara kesatuan Republik Indonesia. Dasar Negara Indoensia Yakni Pancasila dan UUD 1945 mengakui kemultikulturalan Indonesia dengan tetek bengeknya, Bhineka Tungga Ika sangat dihayati oleh seluruh element masyarakat didaerah yang mengkultuskan diri sebagai masyarakat asli suatu wilayah, namun demikian kegalauan, kritikan, tuntutan optimaliasi pelayanan negara kepada masyarakat lokal di daerah tidaklah perlu di artikan secara kaku sebagai wujud dari tindakan separatis yang mengancam keutuhan NKRI. Memahami masyarakat terkhusus masyarakat lokal didaerah pedalaman, tidak cukup dengan pemahaman tentang sejarah dari sudut antropolgi dan politik tapi perlu juga dari sudut psikologi. Peran TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, dengan adanya pernyataan Pangdam tersebut diterima dan diasumsikan oleh pihak-pihak yang menolak pernyataan tersebut sebagai pesan politik negara yang kurang dan lebihnya mengingkari eksitensi dari kreasi masyarakat adat lokal yang menimbulkan dampak-dampak sosiologis. Dapat dipahami Bagi masyarakat adat Lokal Kalimantan dampak-dampak sosiologis bukan persoalan sederhana, bilamana tidak diakui beradaan identitas keaslian kedaerahan, bagaimana mungkin negara dapat Melindungi eksistensi identitas mereka, adat istiadat dengan kesakralnya dan hak-hak terkait lainnya. Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk merujuk kepada masyarakat asli yang ada di dalam negara-bangsa Indonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam perkembangan terakhir, 4
masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan. Dalam beberapa literatur resmi, istilah "masyarakat adat" dan "penduduk pribumi" digunakan silih berganti dan mengandung makna yang sama. Pandangan yang sama dikemukakan dalam merangkum konsep orang-orang suku dan populasi orang-orang asli dari Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB dengan merujuk kepada Konvensi ILO 107 (1957) dan 169 (1989). Dalam Deklarasi Masyarakat Adat (atau Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Masyarakat Adat) menyatakan "secara praktis mereka yang menyebut dirinya sebagai orang asli atau orang suku menyetujui agar kedua istilah ini digunakan secara sinonimmany of these peoples refer to themselves as indigenous in order to fall under discussions taking place at the United Nations. For practical purposes the terms indigenous and tribal are used as synonyms in the UN system when the peoples concerned identify themselves under the indigenous agenda. Dalam Konvensi ILO dan Deklarasi ini sendiri disebutkan bahwa identifikasi diri sendiri dari masyarakat merupakan kunci dalam menempatkan sebuah entitas sosial sebagai masyarakat adat. Idenfitikasi diri merupakan hak dasar yang dijamin dalam berbagai hukum universal yang sudah berlaku sejak pendirian PBB. Maka, dalam Konvensi ILO No.169 tahun 1986 dinyatakan pengertian dasar mengenai Masyarakat Adat, Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku-bangsa, sesuai pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka. Menurut beberapa literatur Masyarakat Adat Dayak merupakan penduduk asli Kalimantan yang hidup secara turun temurun berdasarkan kearifan lokal budaya setempat. Istilah Dayak, sesungguhnya mempunyai arti sebagai sebutan kolektif sub-suku masyarakat adat Dayak di Kalimantan. Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Timur contoh, dapat diklasifikasikan dalam 7 kelompok besar, yakni: (1) Luangan Group terdiri dari Dayak Benuaq, Bentian, Paser dan Tonyooi; (2) Apo Kayan Group terdiri dari Dayak Kayan, 5
Kenyah, Bahau, Punan, Modang dan Long Gelat; (3) Lun Bawan Group, terdiri dari Dayak Lun Dayeh dan Lun Bawan; (4) Mahakam Group terdiri dari Dayak Seputan; (5) Barito Kapuas Group, terdiri dari Dayak Kahayan dan Bekumpay; (6) Kapuas Group terdiri dari Dayak Aoheng dan Bukat; (7) Melayu Group, terdiri dari Kutai dan Tidung dengan sejumlah puak masing-masing. Dalam perspektif etno-antropologis, masyarakat adat Dayak di Kalimantan Timur menurut klasifikasi berdasarkan perbedaan bahasa, terdapat 7 kelompok besar yaitu: 1. 2 kelompok Exo-Bornean: (1) Kutai dari kelompok Malayic; (2) Bulungan, Tidung, Abai dan Tagel, dari kelompok Idahan. 2. 5 kelompok Endo-Borneani: (1) Benuaq, Bentian, Luangan dan Paser dari kelompok Barito Timur; (2) Tunjung dan Ampanang dari kelompok Barito-Mahakam; (3) Kayan, Bahau, Modang, Aoheng dan Kenyah dari kelompok Kayan-Kenyah; (4) Lundaye, Lengilu dan Saben dari kelompok Apo Duat; (5) Merap, Punan Malinau dan Basap Sajau dari kelompok Rejang-Baram (Hudson, 1978). Dalam klasifikasi Hudson tersebut, belum termasuk beberapa kelompok yang cukup berbeda dari segi bahasa, yakni kelompok: (1). Berayu-Berau dan Lebu di Kabupaten Berau; (2). Brusu dan Bau di Kabupaten Malinau; (3). Punan dan Basap seperti Punan Kereho dan Punan Murung di Kabupaten Kutai Barat, Punan Lisum dan Basap Jonggon di Kabupaten Kutai Kartanegara, serta Punan Kuhi, Punan Aput dan Punan Benalui di Kabupaten Malinau (Devung, 1997). Berdasarkan hasil penelitian Kalimantan Resource Center, WWF Indonesia, Proyek Kayan Mentarang, ditemukan gambaran sebaran dominan etnis lokal per Kabupaten di Kaltim, dengan identifikasi nama etnis lokal berdasarkan klasifikasi populer di masing- masing Kabupaten, sebagai berikut: 1. Kabupaten Paser, 3 etnis lokal: Paser, Bukit, Dusun 2. Kabupaten Penajam Paser Utara, 1 etnis lokal: Paser 3. Kabupaten Kutai Barat, 10 etnis lokal: Aoheng, Kayan, Bahau, Kenyah, Punan, Tunjung, Benuaq, Bentian, Luangan, Kutai 4. Kabupaten Kutai Kartanegara, 8 etnis lokal: Kutai, Modang, Punan, Kenyah, Kayan, Basap, Benua, Tunjung 5. Kabupaten Kutai Timur, 6 etnis lokal: Kutai, Modang, Kayan, Kenyah, Basap, Tunjung 6
Dalam pengertian masyarakat adat lokal dikalimantan istilah putra daerah asli adalah cara masyarakat adat lokal setempat mengidentifikasi diri dan kelompoknya yang hidup temurun temurun dan segala adat istiadatnya sebelum Konsesus NKRI, sehingga pernyataan Pangdam yang menyebutkan ketiadaan putra daerah dikalimatan akhirnya diterima dan ditangkap sebagai pernyatan tidak diakui masyarakat adat dikalimatan dan akhirnya menjadi ancaman bagi masyarakat adat di kalimatan. Menurut kami perlukan komunikasi lintas sektroral agar bagaimana menyamakan persepsi masing-masing pihak secara arif bijaksana. Demikian semoga tulisan ini menjadi bahan pertimbangan dari masing-masing pihak dalam upaya penyelesaian solusi perbedaan persepsi tentang istilah asli putra daerah.
Erika,S.H,.M.Kn 1. Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda; 2. Mahasiswa program Doktor di Fakultas Hukum UGM 3. Pemerhati Masyarakat Adat Kalimantan