You are on page 1of 5

1

POLICY PAPER
DUKUNGAN TERHADAP USULAN RAPERDA
PENGAKUAN DANPERLINDUNGAN MSYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK
DI PROVINSI KALTIM
1
Forum Dayak Menggugat

A. Latar Belakang
Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sangat jelas
menyebutkan tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam kaitannya dengan
masyarakat hukum adat, Alinea IV PembukaanUUD 1945 tersebut menjadi nafas dalam perumusan
Pasal 18B ayat (2) yang secara tegas menyatatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang.
Sejatinya dalam konteks ke-bangsa-an, Indonesia merupakan himpunan masyarakat yang
majemuk. Semboyan Bhineka Tunggal Ika, menunjukkan pengakuan negara pada realita kemajemukan
budaya dan masyarakat. Secara horisontal, berbagai kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai
bangsa, dapat dipilah ke dalam berbagai suku bangsa dan atau sub suku bangsa, kelompok penutur
bahasa tertentu, maupun ke dalam golongan penganut ajaran iman dan kepercayaan yang berbeda
satu dengan lainnya.
Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk merujuk kepada
masyarakat asli yang ada di dalam negara-bangsa Indonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara
formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli
Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut
hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Kongres I tahun 1999 menetapkan rumusan
pengertian masyarakat adat, yakni "Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur
secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan
alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan lembaga adat yang mengelola
keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.
Dengan karakteristik sosial budayanya, Masyarakat Hukum Adat Dayak memiliki kekhususan
posisi eksistensial dan kebutuhan ruang hidup (lebensraum) di wilayah-wilayah tempat mereka
selama ini bermukim. Hingga tahun 2013 kondisi demografi di Kalimantan Timur mengalami
ketimpangan, karena jumlah penduduk pendatang telah melebihi jumlah penduduk asli.
Kondisi ini, disebabkan derasnya arus pendatang karena adanya pertumbuhan industri dan
proyek pembangunan. Situasi kependudukan itu telah melahirkan fenomena permasalahan

1
FDM, Bersama Lembaga STABIL, Dkk
2

sosial sekaitan dengan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya secara tidak
seimbang, antara komunitas masyarakat adat Dayak dengan komunitas pendatang.
Sedangkan di lain fihak, eksploitasi sumber daya alam (hutan, tambang, perkebunan dan proyek
pembangunan), tumbuh sebagai sumber konflik antara komunitas masyarakat adat Dayak dengan para
pengusaha dan penguasa yang mengayominya. Maka tak pelak, bertahun-tahun terus berlangsung
proses pemiskinan struktural, sehingga masyarakat adat Dayak semakin tidak memiliki akses terhadap
penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Sementara itu peraturan perundang-
undangan yang berlaku, disadari atau tidak, cenderung tidak memihak kepentingan masyarakat adat
Dayak, sehingga mereka kehilangan akses dalam pengambilan keputusan, karena kuatnya hegemoni
yang dibarengi dengan kooptasi terhadap tokoh-tokoh masyarakat setempat oleh sistem yang ada.
Padahal sejatinya, dalam rangka menjalankan mandat konstitusi, Pemerintah telah menyusun
pelbagai peraturan perundang-undangan. Namun faktanya, peraturan perundang-undangan
(regulasi) tersebut telah dijadikan sebagai alat oleh sebagian pejabat negara untuk mengambil alih
hak masyarakat adat Dayak atas wilayah adatnya, kemudian dijadikan sebagai tanah negara, yang
selanjutnya justru atas nama negara diberikan dan/atau diserahkan kepada para pemilik modal
melalui berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak, serta kearifan lokal
serta kebutuhan hidup masyarakat adat Dayak. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya konflik
antara masyarakat adat Dayak dengan pengusaha/penguasa di berbagai wilayah di Kalimantan Timur.
Praktik marjinalisasi terhadap masyarakat adat Dayak di Kalimantan Timur, telah berlangsung
sejak Rezim Orde Baru hingga Rezim Penguasa saat ini. Situasi ketidak-adilan ini merupakan akibat
dari praktek-praktek peradaban materialis pejabat negara yang tidak humanis dan telah
menyebabkan terjadinya arus penolakan atas pemberlakukan kebijakan/regulasi yang menisbikan
pengakuan dan perlindungan terhadap eksistensi dan kebutuhan hidup masyarakat adat Dayak
selama ini.

B. Mayarakat Hukum Adat Dayak

Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Timur merupakan penduduk asli Kalimantan Timur yang
telah hidup secara turun temurun berdasarkan kearifan lokal budaya setempat. Istilah Dayak,
sesungguhnya pada masa yang lalu mempunyai arti sebagai sebutan kolektif untuk etnis lokal
Kalimantan yang bukan Melayu Islam yang tinggal jauh dari pusat-pusat kerajaan, terutama di daerah
pehuluan, pedalaman dan daerah terpencil.
Menurut klasifikasi Hudson (1978), etnis lokal di Kalimantan Timur berdasarkan perbedaan
bahasa, secara umum ada 7 kelompok besar yaitu:
1. 2 kelompok Exo-Bornean: (1) Kutai dari kelompok Malayic; (2) Bulungan, Tidung, Abai dan Tagel,
dari kelompok Idahan.
2. 5 kelompok Endo-Borneani: (1) Benuaq, Bentian, Luangan dan Paser dari kelompok Barito Timur;
(2) Tunjung dan Ampanang dari kelompok Barito-Mahakam; (3) Kayan, Bahau, Modang, Aoheng
dan Kenyah dari kelompok Kayan-Kenyah; (4) Lundaye, Lengilu dan Saben dari kelompok Apo
Duat; (5) Merap, Punan Malinau dan Basap Sajau dari kelompok Rejang-Baram (Hudson, 1978).
3

Dalam klasifikasi Hudson tersebut, belum termasuk beberapa kelompok yang cukup berbeda
dari segi bahasa, yakni kelompok: (1). Berayu-Berau dan Lebu di Kabupaten Berau; (2). Brusu dan
Bau di Kabupaten Malinau; (3). Punan dan Basap seperti Punan Kereho dan Punan Murung di
Kabupaten Kutai Barat, Punan Lisum dan Basap Jonggon di Kabupaten Kutai Kartanegara, serta
Punan Kuhi, Punan Aput dan Punan Benalui di Kabupaten Malinau (Devung, 1997).
Berdasarkan identifikasi Kalimantan Resource Center, WWF Indonesia, Proyek Kayan
Mentarang (Devung, 1997), gambaran sebaran dominan etnis lokal Kalimantan Timur per Kabupaten,
dengan identifikasi nama etnis berdasarkan klasifikasi populer di masing-masing Kabupaten, adalah
sebagai berikut:
1. Kabupaten Paser, 3 etnis lokal: Paser, Bukit, Dusun
2. Kabupaten Penajam Paser Utara, 1 etnis lokal: Paser
3. Kabupaten Kutai Barat, 10 etnis lokal: Aoheng, Kayan, Bahau, Kenyah, Punan, Tunjung, Benuaq,
Bentian, Luangan, Kutai
4. Kabupaten Kutai Kartanegara, 8 etnis lokal: Kutai, Modang, Punan, Kenyah, Kayan, Basap, Benua,
Tunjung
5. Kabupaten Kutai Timur, 6 etnis lokal: Kutai, Modang, Kayan, Kenyah, Basap, Tunjung
6. Kabupaten Berau, 7 etnis lokal: Berayu-Berau, Gaay, Punan, Lebu, Basap, Kayan, Kenyah
7. Kabupaten Bulungan, 6 etnis lokal: Kenyah, Kayan, Punan, Bulongan, Brusu, Basap
8. Kabupaten Malinau 12 etnis lokal: Kenyah, Punan, Kayan, Pua, Merap, Bau, Lun Daye, Tidung,
Brusu, Tagel, Abai, Agabag
9. Kabupaten Nunukan 6 etnis lokal: Tidung, Abai, Tagel, Agabag, Brusu, Lun Daye.

Dari semua etnis lokal Kalimantan Timur tersebut, kelompok etnis Kutai, Berau (Berayu-Berau)
dan Bulungan mengidentifikasikan diri dan diidentifikasikan sebagai Melayu, sedangkan yang lainnya,
termasuk etnis Paser dan Tidung yang mayoritas beragama Islam, biasa mengidentifikasikan diri dan
didentifikasi sebagai Dayak.
Masyarakat Adat Dayak adalah Masyarakat Adat yang terdiri dari kelompok-kelompok etnis
lokal Dayak tersebut di atas. Masyarakat Adat Dayak ini sebagian besar masih bermukim di dalam dan
sekitar kawasan hutan. Karakteristik sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan,
bisa dilihat dari dua perspektif: (1). berdasarkan sistem pemanfaatan sumberdaya hutan; (2).
berdasarkan hubungan historis dengan kawasan hutan setempat. Berdasarkan sistem pemanfaatan
sumberdaya hutan, masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dapat dikategorikan kedalam
empat kategori, yakni: (1). Masyarakat yang kehidupannya sepenuhnya tergantung dari sumberdaya
hutan setempat; (2). Masyarakat yang kehidupannya sebagian tergantung dari sumberdaya hutan
setempat; (3). Masyarakat yang kehidupannya tidak seberapa tergantung dari sumberdaya hutan
setempat; (4). Masyarakat yang kehidupannya samasekali tidak tergantung dari sumberdaya hutan
setempat.
Sedangkan dari hubungan historis dengan kawasan hutan, masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan hutan dapat dikategorikan dalam empat kategori: (1). Masyarakat etnis lokal, dengan
wilayah adat dan wilayah desa tradisional yang relatif masih sama dengan dulu; (2). Masyarakat etnis
lokal, dengan wilayah adat dan wilayah desa tradisional yang sudah terbagi atau terpisah oleh sistem
administrasi pemerintahan, perpindahan penduduk, resetlemen, relokasi desa, proyek
4

pembangunan, industri kehutanan, perkebunan dan pertambangan; (3). Masyarakat etnis
pendatang, yang sudah bermukim sebelum penetapan atau perubahan status kawasan hutan; (4).
Masyarakat etnis pendatang yang baru bermukim setelah penetapan atau perubahan status kawasan
hutan (Devung, 2001).

C. Kajian Teoritis dan Empiris

Kebutuhan akan pengakuan dan perlindungan melalui peraturan perundang-undangan pada
tingkat lokal antara lain didasari juga pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012
yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara melainkan hutan yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum adat. Putusan MK tersebut tentunya membutuhkan tindaklanjut pada
tingkat daerah, khususnya terkait dengan hutan adat, sementara pengaturan tentang hutan adat
tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat adat termasuk wilayah adatnya.
Pasal 18 B Amandemen Kedua UUD 1945 telah menyuratkan adanya pengakuan terhadap
masyarakat adat. Demikian pula dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah sejumlah
UU yang telah mencantumkan masyarakat adat (atau dengan istilah masyarakat hukum adat)
sebagai kelompok masyarakat yang diakui keberadaan dan hak-hak mereka. Patut diingat bahwa di
tengah berbagai istilah yang digunakan, substansi yang disasar tetaplah masyarakat yang
mempunyai susunan asli dengan hak asal-usul.
Merujuk pada amanat konstitusi pada Alinea IV Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 18B
ayat (2), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012 serta fakta empirik ketidak-adilan
yang dialami masyarakat adat Dayak di Kalimantan Timur, maka gagasan untuk memberikan
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat Dayak di Kalimantan Timur
menemukan jangkar pembenar dan penguatnya.

D. Asas, Tujuan Dan Ruang Lingkup
1. Asas
Pengaturan masyarakat hukum adat Dayak dilaksanakan berdasarkan asas:
a. keadilan sosial
b. kesetaraan dan non-diskriminasi
c. keberlanjutan Lingkungan
d. transparansi.
e. partisipasi.
2. Tujuan
Pengaturan masyarakat hukum adat Dayak bertujuan untuk:
a. mewujudkan masyarakat hukum adat Dayak yang sejahtera, aman, tumbuh dan
berkembang sebagai kelompok masyarakat sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiannya serta terlindungi dari tindakan diskriminasi;
b. mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat Dayak sebagai dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pengembangan program pembangunan; dan
5

c. memfasilitasi masyarakat hukum adat Dayak agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan.

3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah ini meliputi:
a. kedudukan masyarakat hukum adat Dayak;
b. hak-hak masyarakat hukum adat Dayak;
c. kelembagaan masyarakat hukum adat Dayak;
d. penyelesaian Sengketa.

E. Penutup

1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat Dayak di Kalimantan Timur sangat
penting untuk diatur dalam peraturan daerah. Hal ini tidak saja didasarkan pada fakta sosial di
mana kehidupan masyarakat adat semakin terdiskriminasi dan termarjinalkan, tetapi juga
berkesesuaian dengan hukum nasional, dan juga hukum internasional dan Hak Asasi Manusia.
2. Pengusulan Raperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak, selain
berkesesuaian dengan semangat otonomi daerah dan juga mendorong masyarakat adat yang
selama ini termarjinalkan, dapat mengangkat kualitas hidup mereka sehingga masyarakat hukum
adat Dayak di Kalimantan Timur dapat berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan
bermartabat secara budaya.
3. Keinginan untuk mewujudkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan
Hak-Hak Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Timur ini merupakan sebuah ikhtiar untuk
mereformasi kebijakan dan regulasi yang selama ini telah menimbulkan praktek-praktek
perlakuan tidak humanis terhadap sebagian komponen anak bangsa menuju ke arah praktek-
praktek peradaban yang lebih humanistik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara

You might also like