menemukan tempat yang cocok untuk rumah mereka yang baru, di tengah-tengah hutan, pada cabang sebatang pohon kayu yang tinggi dan berdaun rimbun. Papa Murai bekerja keras mencarikan makanan untuk Mama Murai. Dan kini empat butir telur berwarna biru yang dengan penuh kasih sayang telah dierami oleh Mama Murai sudah menetas! Mama dan Papa Murai menamai burung- burung yang baru menetas itu Bimo, Randu, Citra, dan Cinta. Di Sarang Burung Murai Aku lebih suka buah beri yang manis Mama dan Papa bangga akan keluarga mereka, dan anak- anak burung itu sangat sayang pada orang tua mereka. Namun demikian, anak-anak burung itu sering bertengkar tentang siapa yang harusnya mendapat makanan yang paling enak, yang dibawakan oleh Mama dan Papa, dan mereka selalu lupa untuk mengucapkan tolong atau terima kasih kepada orang tua mereka, yang sudah bekerja keras mencarikan makanan bagi mereka. Papa, bawakan aku cacing yang gemuk ya? rengek Bimo. Papa akan berusaha, Bimo, tetapi cacing hidup di bawah tanah dan tidak mudah ditemukan. Aku tidak suka cacing, kata Citra. Terlalu panjang dan bergerak-gerak. Mama, bawakan aku serangga ya... Uhh! seru Cinta. Serangga bukan seleraku. Aku lebih suka buah beri yang manis. Aku tak suka cacing. Terlalu panjang dan bergoyang-goyang. Aduh, bagaimana ini? Anak-anakku, jangan lupa meminta dengan sopan dan belajar menyantap apa yang tersedia sambil mengucap syukur, Mama Mulai dengan lemah lembut mengingatkan anak- anaknya. Tetapi keempat burung kecil itu terus merengek dan menuntut. Kalian tahu makanan kegemaranku? kata Randu. Kumbang yang lezat. Papa, aku punya gagasan! kata Bimo. Jika Papa mencarikan semua permintaan kami, maka kita semua akan gembira! Aduh, bagaimana ini? bisik Mama Murai kepada Papa Murai. Mungkin kali ini kita bisa mencarinya bersama-sama, dan sebagai satu tim coba kita lihat apa yang dapat kita temukan, jawab Papa. Selang beberapa saat Papa Murai melihat seekor cacing yang besar melenggak-lenggok di rerumputan. Dia menangkapnya, dan bersama-sama Papa dan Mama pulang ke sarang. Ini cacingku! Lihat! Papa sudah mendapatkan cacing pesananku! Nampaknya aku sarapan duluan nih.! Bimo menyombong. Bimo, ujar Mama, cacing ini cukup besar untuk kalian semua. Papa dan Mama akan mencari makanan lagi, sementara itu berbagilah dengan yang lain. Namun demikian, segera setelah Mama dan Papa Murai pergi untuk mencari makanan lagi, Bimo mengumumkan. Ini adalah cacingku! Kalian memesan yang lain kan? Jadi kalian harus tunggu. Tetapi burung-burung yang lain itu lapar, dan meskipun cacing bukan kesukaan mereka, mengingat ada makanan, itu bukan persoalan lagi. Bagaimana kalau tidak ada kumbang? Randu berkuatir. Aku lapar! Aku juga, kata Cinta. Ayo bagilah cacingmu itu dengan kami? Tidak. Ini cacingku, dan aku akan menyantapnya sendirian! Citra, Cinta dan Randu tidak mau menyerah begitu saja, dan mereka mulai menarik ujung cacing yang satunya. Namun Bimo, memegang ujung yang satunya lagi erat-erat. Berharap dapat merebut cacing itu dari saudara-saudaranya, Bimo naik ke tepian sarang sambil terus menggigit ujung cacing. Turun Bimo! seru Cinta. Berbahaya di situ! Tetapi Bimo mengabaikan Cinta dan menarik dengan segenap tenagalalu terjatuh dari tepian sarang. Tinggi sekali jatuhnya, dan dia mendarat dengan suara keras di rumput yang lembut. A-a-apakah itu ku-kucing? Celaka! seru Citra. Terlukakah dia? Rasanya tidak, kata Randu sambil mengamati ke bawah sana. Dia sudah berdiri lagi. Tetapi bagaimana dia bisa naik kembali ke sini? Sayap kita belum cukup kuat untuk terbang. Ketiga ekor burung kecil itu melihat berkeliling kalau-kalau ada pertolongan, sebaliknya mereka melihat sesuatu yang lainnya. A-a-apakah itu kucing? bisik Cinta. Mama dan Papa Murai telah memberitahukan mereka bahwa kucing gemar menangkap burung-burung kecil yang pergi sendirian. Ini berbahaya, kata Randu. Di tanah Bimo gemetar ketakutan. Dia sangat menyesal telah berperilaku buruk tentang cacing itu. Sekarang dia dalam bahaya. Dia tidak dapat memanjat kembali ke sarangterlalu tinggidan kucing itu semakin dekat. Nah, kamu sudah sampai, burung kecil. Tiba-tiba, seorang bapak tua muncul dari balik pohon. Apa yang kamu temukan, Tobi? bapak itu berkata ketika semakin dekat dengan di mana kucing itu berdiri. Kemudian dia melihat si Bimo kecil, mengepak-ngepakkan sayapnya, dengan sia-sia mencoba untuk terbang. Bapak tua itu senang dengan burung, dan dia membaca di Alkitab bahwa tidak ada seekor pun burung pipit yang akan jatuh ke tanah tanpa diketahui oleh Yesus. 1
Kamu kelihatannya sehat sekali, kata bapak tua itu sambil berlutut dan memakai sapu tangan untuk mengangkat Bimo. Apakah sarangmu di dekat sini? Kemudian ia mendengar kicauan kecil. Citra sangat menguatirkan Bimo. Nah kamu sudah sampai, burung kecil, bapak tua itu dengan hati-hati menempatkan Bimo kembali ke sarang. Setelah memastikan Bimo baik- baik saja, bapak tua melanjutkan perjalanannya. 1 Matius 10:29 Terima Kasih! Setelah berkumpul bersama saudara- saudaranya, dengan malu-malu Bimo berkata, Aku sangat bodoh mempermasalahkan soal cacing itu. Kami senang kamu sudah pulang, Citra dan Cinta bersamaan menjawab. Aku akan berusaha untuk lebih baik. Kami juga, Randu menyetujui. Burung-burung itu gembira sekali masih ada cacing yang dapat mereka santap bersama-sama. Ketika Mama dan Papa Murai pulang, mereka senang sekali melihat anak-anak mereka bergaul dengan rukun satu sama lain. Kemudian ketika burung-burung kecil itu melihat makanan lezat yang dibawakan oleh Mama dan Papa Murai, mereka tidak lupa mengucapkan Terima kasih! yang tulus. Adapted by Aaliyah Smith, based on a story by Rejoice. Illustrations by Stefan Merour. Design by Stefan Merour. Published by My Wonder Studio. Copyright 2013 by The Family International