You are on page 1of 5

Andy Warhol dan Eksentrisme Budaya Pop

Wahyu | Budi | Nugroho


Sosiolog Universitas Udayana


Dalam lima belas menit, semua orang akan terkenal.
[Andy Warhol]

Seni yang tak elit, ini kurang-lebih yang kutangkap dari karya-karya si
Warhol. Bagaimana jika, seni ada dimanapun, dan bisa diakses siapapun.
Akses di sini tak berarti membeli, cukup orang mampu berkomentar
tentangnya, maka ia punya akses atasnya; lebih bagus lagi jika bisa
menyaksikannya secara langsung. Kita tak mau muluk-muluk bicara seni
tinggi seperti Madonna of The Rocks-nya Raphael. Tuh kan, salah! Madonna
of The Rocks karya da Vinci!. Eh, apa beda gurat lukis antara da Vinci,
Raphael, dan Michaelangelo? Aku sendiri tak tahu; judul masing-masing
karya mereka saja kerap tertukar, apalagi berkomentar [?]. Ini beda kala
kulihat gambar sablon warna-warni yang begitu mencolok nan cukup
kontras, Warholisme!, setidaknya, itu yang bisa kuteriakkan, tak peduli
cover album Hot Space superband Queen awal tahun 80-an dikreasi oleh
Warhol ataukah tidak, tapi jelas, itu warholisme.



Warhol memang dikenal mpunya budaya pop, itu tersemat sejak dekade 50-
an. Ia mengangkat hal-hal remeh dalam karyanya, bagaimana sebotol
kosong Coca-cola yang biasa kita temui di keseharian menjadi citra
menyenangkan, unik-eksentrik, lagi menyita perhatian. Andy Warhol
memang kurang ajar, ia seperti mengolok-olok publik, melecehkan dimensi
estetis mereka, juga persepsi khalayak luas tentang bagaimana sebuah karya
seni harusnya dibuat; tak ada lagi keagungan dan kemurnian, pun proses
yang berlama-lama. Baginya, karena dunia telah berputar demikian
cepatnya, maka segala sesuatunya sarat serba ringkas dan instan. Apresiasi
tak butuh waktu lama, cukup mengerti, tahu, dan tersenyum; selesai.
Bukankah memang itu tujuan dari seni?. Dalam konteks ini, ekspose karya
menjadi urgen, persetan walau hanya 1-2 menit, yang terpenting telah ada
manusia yang melihatnya, pun walau hanya 1-2 orang. Mengapa? Karena
sebuah karya ibarat makhluk dan bukan Tuhan yang mampu berdiri
sendiri; hanya publik-lah (baca: manusia lain) yang dapat meresmikan
lahirnya sebuah karya. Dengan begitu, pengumuman karya kepada dunia
menjadi tak kalah penting, kecepatan dan kemasifannya inilah yang
kemudian menjadikannya BUDAYA POP; pop, populer secara sekejap.


[Budaya pop]

Tentu, di sini kita hendak mengesampingkan asketisme dalam berkarya,
bahkan menginjaknya!. Warhol membuat kita berpikir bahwa penulis atau
pelukis yang dengan alim lagi rendah hati menyimpan secara rahasia karya-
karyanya hingga menunggu ditemukan orang lain dan mendunia; menjadi
sangat konyol. Dalam dunia serba chaos sebagaimana ter-representasi lewat
lukisan-lukisan impresionisme Pollock yang hidup sezaman dengan
Warhol, eksistensi menjadi penting, eksistensi nantinya menjadi simbol,
dan simbol inilah yang kemudian menjadi sarana dialog antarmanusia lintas
bangsa, budaya, dan bahasa. Lewat keberadaan itulah pikir Warhol, dunia
bakal mengetahui semarak keberagamannya, dengan demikian, dunia bakal
lebih siap dan toleran menerima perbedaan. Bisa jadi, seni Warhol dikata
sebagai pemerkosaan visual lewat sudut baudrillardian karena kesannya
yang terburu-buru dan terlampau cepat; timbul dan tenggelam begitu saja.

Lebih jauh, hal di atas dapat dimisalkan lewat salah satu episode kartun
SpongeBob, di mana SpongeBob dijauhi orang-orang karena nafasnya
sangat bausedang ia menyangka karena buruk rupa, kemudian Patrick
mempertontonkan SpongeBob kemanapun sembari berteriak, Lihat! Dia
memang jelek!. Apa yang diniatkan Patrick sesungguhnya sangat baik, agar
orang-orang tak kaget dengan kejelekan SpongeBob bila suatu kali
bertemu. Perkara yang dipikirkan Patrick adalah menyegerakan tragedi,
lewat penyegeraan itu diharap proses (waktu) adaptasi dan penerimaan
publik kian terpangkas, seperti inilah seni Warhol!. Meski memang, melalui
sudut psikoanalisis besar kemungkinan karya-karya Warhol tak lepas dari
kekatarsisan dirinya yang tak tampan-tampan amat sebagai seorang
seniman.


[Manusia-manusia ikonik]

Terlepas dari persoalan katarsis, budaya pop Warhol berhasil menciptakan
manusia-manusia ikonik. Seperti ungkapnya, kelak semua orang bakal
terkenal dalam lima belas menit, agaknya saat inilah era yang dimaksudkan
Warhol. Menjadi manusia ikonik bukanlah aib, sebagaimana karya pop,
manusia ikonik atau manusia-manusia pop menyerua dan menampakkan
diri di hadapan dunia; untuk diketahui, untuk dikenal, tanpa perlu direspon
atau diagungkan; begitu pula, tak peduli walau hanya disaksikan segelintir
orang, semuanya sudah cukup. karena ia mesti buru-buru raib. Dari sini,
kita dapat balik mempertanyakan kritik-kritik tajam yang dilayangkan pada
budaya pop selama ini, bahwa nyatanya, dimensi kesesaatan dan keinstanan
dalam seni pop memuat dialog yang sangat padat, juga efisiensinya dalam
menjamah publik luas. Apa jadinya jika idealisme estetik masyarakat Italia
mensaratkan lukisan asli Monalisa diusung kesana-kemari tuk
diperkenalkan (baca: berdialog) pada dunia, tentu menjadi sangat tak
efisien, oleh karenanya, ia perlu direproduksi dahulu, hasil dari reproduksi
tersebutlah yang kemudian menjadi budaya pop. Kita bisa saja mencuplik
kritik Walter Benjamin atas reproduksi tersebut, namun ini akan tampak
seperti mahasiswa kedokteran yang ribut mempertanyakan legalitas
prakteknya, sedang orang yang sekarat di hadapan segera membutuhkan
pertolongan!

Andy Warhol tak bersalah, yang berdosa para penirunya!

You might also like