You are on page 1of 38

1

DAFTAR ISI


LEMBARPENGESAHAN.......i
KATA PENGANTAR... .....ii
DAFTAR ISI......iii
BAB I : PENDAHULUAN. .1
BAB II : ............................... 2
ANATOMI KEPALA.........................................................................2
PATOFISIOLOGI...............................................................................5
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA..................................................10
PENGELOLAAN CEDERAKEPALA DI UGD...............................15
PRINSIP PENANGANAN CEDERA KEPALA...............................20
KOMPLIKASI CEDERA KEPALA..................................................30

PROGNOSIS CEDERA KEPALA.....................................................32

BAB III : KESIMPULAN............................34
DAFTAR PUSTAKA...













2


BAB I
PENDAHULUAN

Statistik dari negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa cedera kepala
mencakup 26% dan jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan seorang
tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang kurang lebih 33%
kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut cedera kapitis. Di luar medan
peperangan lebih dari 50% dari cedera kapitis terjadi karena kecelakaan lalu lintas,
selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan
antara 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit. Dan mereka
yang dimasukkan dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam satu hari dan 35
% meninggal dalam satu minggu dalam perawatan
Jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat cedera kapitis,
maka 50% ternyata disebabkan oleh cedera secara langsung dan 50% yang tersisa
disebabkan oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara
tidak langsung pada cedera.


Cedera kepala baik terbuka maupun tertutup dapat mengganggu fungsi otak, yang
pada akhirnya mungkin dapat menyebabkan kematian atau meninggalkan kecacatan.
Berbagai macam akibat dari cedera kepala telah dikenal, misalnya komosio serebri,
kontusio serebri, perdarahan epidura, perdarahan subdura, perdarahan intraserebral
dan laserasi serebri. Dengan istilah komosio dan kontusio masalah gangguan
kesadaran, sedangkan bentuk-bentuk perdarahan menyangkutkan masalah massa yang
pada penanganannya nanti bila memang diperlukan akan melibatkan ahli bedah saraf.


Dalam kaitannya dengan gangguan kesadaran ini, telah dikenal istilah-istilah
somnolen, sopor, koma dan sebagainya yang kesemuanya tadi adalah merupakan
penilaian yang bersifat kualitatif, sehingga masih memungkinkan terjadinya
perbedaan penilaian antara pemeriksa yang satu dengan yang lain.


3
Dengan adanya Glasgow Coma Scale sebagai pengukur derajat gangguan kesadaran
yang telah dipakai sejak 20 tahun yang lalu dan bersifat kuantitatif, maka penilaian
gangguan kesadaran menjadi lebih obyektif. Dalam manajemen cedera kepala,
penilaian gangguan kesadaran dengan Glasgow Coma Scale ini memegang peran
utama.


Untuk keperluan klinis, berdasarkan skala ini cedera kepala dibedakan menjadi cedera
kepala ringan, sedang dan berat yang penanganannya akan diuraikan secara singkat
dalam makalah ini.



























4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. S : Skin atau kulit
Kulit kepala mengandung banyak kelenjar keringat, kelenjar sebaseous
dan folikel rambut.
b. C : Connective tissue (Subcutaneus Connective Tissue)
(Subcutaneus Connective Tissue) mengandung lobulus-lobulus lemak
yang berikatan dengan fibrous septum, seperti jaringan ikat pada telapak
tangan dan telapak kaki. Pada lapisan ini terdapat suplai arteri yang
cukup, pembuluh vena yang dan drainase limfatik yang baik dan
merupakan vaskularisasi serta persarafan dari SCALP.
c. A : Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tengkorak
Aponeurosis merupakan lapisan tendon yang kuat yang melapisi bagian
atas kepala, berfungsi sebagai perekat untuk bagian frontal dan occipital
dari musculus occito frontalis dan musculus auriculer superior.
Keseluruhan dari struktur ini membentuk musculoaponeurotic epicranus

Gambar 1. Musculoaponeurotic epicranus


d. L : Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
Lapisan seperti sponge yang menyebabkan 3 lapisan diatasnya dapat
bergerak bebas.
e. P : Periosteum
5

Gambar 2. Lapisan SCALP

2. Tulang Tengkorak (Cranium)
Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii.
Kalvarium , tipis pada regio temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata
dan tidak teratur sehingga cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan
pada bagian dasar otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dapat dibagi atas 3 fosa yaitu :
a) Fosa anterior, tempat lobus frontalis
b) Fosa media, tempat lobus temporalis
c) Fosa posterior, ruang bagi batang otak bawah dan serebelum

Gambar 3. Skull; anterior aspect
6

Gambar 4. Skull (atas) Lateral aspect (bawah) inferior aspect
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
a. Duramater
Jaringan fibrous kuat, tebal dan kaku merupakan jaringan ikat. Spasi
epidural terletak antara tulang tengkorak dan durameter, di spasi ini
terdapat arteri meningeal . Apabila terjadi perlukaan di daerah ini dapat
menyebabkan perdarahan epidural
Pada cedera kepala, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Pada beberapa tempat tertentu duramater
membelah menjadi 2 lapis membentuk sinus yang mengalirkan darah
vena dari otak. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Sinus sigmoideus umumnya
lebih dominan di sebelah kanan. Sinus-sinus ini dapat pecah pada
cedera kepala dan mengakibatkan pedarahan hebat. Perdarahan sinus
sagitalis superior pada 1/3 anterior dapat diligasi dengan aman bila
diperlukan. Namun ligasi 2/3 posterior sinus ini akan sangat berbahaya
karena menyebabkan infark vena pada otak dan kenaikan tekanan
intrakranial yang refrakter yang sulit diatasi. Arteri-arteri meningen
terletak antara duramater dan tabula interna tengkorak, jadi terletak
pada ruang epidural. Jalannya arteri-aerteri ini dapat tampak pada foto
polos tengkorak karena membuat jalur pada tubula interna tengkorak.
7
Laserasi pada arteri-arteri ini dapat menyebabkan perdarahan epidural.
Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningen media
yang terletak pada fosa temporalis ( fosa media).

Gambar 5. Vaskularisasi pada duramater

b. Arakhnoid
Membran , tipis transparan menyerupai sarang laba-laba. Dibawah
membran ini terdapat spasi yang disebut sub-arachnoid space , dimana
terdapat cairan otak (Cerebro spinal fluid) dan vena meningeal . Cedera
di spasi ini akan menyebabkan hematom subdural
c. Piamater
Melekat erat pada permukaan korteks otak (lapisan yang membungkus
otak).
8

Gambar 6. Struktur lapisan meningens

4. Otak
Otak manusia tediri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu
lipatan duramater yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Pada
hemisfer serebri yang kiri terdapat terdapat pusat bicara manusia yang
bekerja dengan tangan kanan, namun juga pada 85% orang yang kidal.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara disebut sebagai hemisfer
dominant. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik
dan pada sisi dominan mengandung ekspresi bicara (area bicara motorik).
Lobus parietalis berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.
Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang
bekerja dengan tangan kanan dan sebagian besar orang kidal, lobus
temporalis kiri tetap merupakan lobus yang dominan karena bertanggung
jawab dalam kemampuan bicara. Lobus temporalis yang nondominan relatif
tidak banyak berfungsi aktif. Lobus oksipitalis berukuran lebih kecil dan
berfungsi dalam penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons,
dan medulla oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medulla oblongata terdapat pusat vital kardiorespiratorik yang terus
memanjang sampai medulla spinalis di bawahnya. Lesi yang kecil saja pada
batang otak sudah dapat menyebabkan deficit neurologis yang berat.
Namun demikian, lesi-lesi yang kecil di batang otak sering tidak tampak
jelas pada CT Scan kepala. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fossa posterior,
berhubungan dengan medulla spinalis, batang otak dan kedua hemisfer
serebri.
9

Gambar 7. Struktur otak
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh plexus koroideus, dengan kecepatan
produksi sebanyak 30 ml/jam. Plexus koroideus terletak terutama dalam
ventrikel lateralis, baik kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen
Monroe ke dalam ventrikel ke-3. Selanjutnya dalam ventrikel II,
melanjutkan diri melalui aquaductus dari sylvius menuju ventrikel IV.
Selanjutnya keluar dari system ventrikel dan masuk ke dalam ruang
subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medulla spinalis.
CSS akan diserap ke dalam sirkulasi vena melalui granulatio arachnoid
yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
menyumbat granulation arachnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial (hidrosefalus komunikan).
10

Gambar 8. Cairan cerebrospinal
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fossa cranii anterior dan fossa cranii media), dan
ruang infra tentorial (berisi fossa cranii posterior), mesenfalon (mid brain)
menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak dan berjalan melalui
celah lebar tentorium serebelli yang disebut insisura tentorial. Nervus
okulomotorius berjalan di sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan
pada keadaan herniasi otak, yang umumnya diakibatkan oleh adanya massa
supratentorial atau edema otak.
Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi melakukan kontriksi pupil
mata, berada pada permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut-
serabut ini yang disebabkan oleh penekanan akan mengakibatkan dilatasi
pupil karena aktivitas serabut simpatik tidak dihambat. Bila penekanan ini
terus berlanjut, akan menimbulkan paralysis total okulomotorik yang
menimbulkan gejala deviasi bola mata ke lateral dan bawah.
Bagian otak besar yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial
adalah sisi medial lobus temporalis yang disebut gyrus uncus. Herniasi
uncus juga menyebabkan penekanan traktus pyramidalis yang berjalan pada
otak tengah. Traktus pyramidalis atau tractus motorik yang menyilang garis
tengah menuju sisi berlawanan pada foramen magnum, sehingga penekanan
pada traktus ini menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral.
Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sebagai
sindrom klasik herniasi tentorial. Jadi umumnya perdarahan intrakranial
terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun
tidak selalu. Tidak jarang, lesi massa yang terjadi menekan dan mendorong
otak tengah ke sisi berlawanan pada tepi tentorium serebelli, dan
mengakibatkan hemiplegi dan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan
hematoma intrakranialnya, sindroma ini dikenal sebagai sindroma lekukan
Kernohan.
7. Vaskularisasi otak
11


Gambar 9. Vaskularisasi Otak
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.9


12
.


B. Trauma Kepala
1. Definisi
Trauma kepala adalah gangguan pada otak yang bersifat non degeneratif
dan non kongenital yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal, yang
menyebabkan terjadinya kerusakan kognitif, fisikal, dan fungsi psikososial
yang permanen atau sementara, dengan disertai berkurangnya atau
perubahan tingkat kesadaran.
Akan tetapi, definisi dari trauma kepala adalah tidak selalu tetap dan
cenderung untuk bervariasi bergantung kepada spesialitas dan keadaan
lingkungan. Seringkali, trauma/cedera otak disamakan dengan trauma
kepala.
2. Epidemiologi
Trauma kepala, baik sendiri maupun dikombinasi dengan trauma lain
merupakan penentu utama kehidupan pasien dan fungsi tubuh pada
sebagian besar trauma tumpul. Tercatat sebesar 1,5 juta pasie pertahun
datang ke RS di UD dikarenakan Traumatic brain injury (TBI).
diperkirakan 50,000 pasien akan meninggal karena TBI dan 80,000 to
90,000 lainnya akan menderita gangguanneurologic jangka panjnag. TBI
merupakan penyebab 50% kematian dari seluruh kematian akibat trauma.
Jatuh dan kecelakaan motor merupakan 80% penyebab TBI.

3. Patofisiologi
Pada cedera kepala kerusakan otak terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder . Cedera primer merupakan Cedera primer
merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda
paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala .
Pada cedera kepala dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil tanpa
kerusakan pada durameter dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut kontusio coup, diseberang area benturan
tidak terdapat gaya kompresi sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi
maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup . Kepala tidak
selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang dialami oleh
kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Akibat akselerasi
linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, contercoup , dan
intermediet . Yang disebut lesi kontusio intermediet adalah lesi yang berada
di antara lesi kontusio coup dan countecoup. Akselerasi-deselerasi terjadi
karena kepala bergerak dan terhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak dan otak menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (countercoup).

13
Kerusakan sekunder tehadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menimbulkan efek kaskade, yang efeknya merusak
otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera , jaringan
ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan menyebabkan
berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini
adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan , kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pad dinding sel yang
berperan dalm berperannya kerusakan tambahan dan pembengkakan
jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak bergantung dari
menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan
oksigen , dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila supali berhenti.
Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak.


Cedera kepala Odema
TIK hematoma

Respon biologi Hipoksemia

Kelainan metabolisme

Cedera otak primer cedera otak sekunder


Kontusio cerebri Kerusakan ced otak


Gangguan autoregulasi rangsangan simpatis stress


Aliran darah ke otak tahanan vaskuler katekolamin
Sistemik &TD sekresi asam lambung


O2 gg. Metabolisme tek pemb. Darah mual, muntah


Asam laktat tekanan hidrostatik asupan nutrisi


Odema otak kebocoran cairan kapiler


Gangguan perfusi jaringan Odema paru
Cerebral

Difusi O2 terhambat ggn. Perfusi jaringan

14

Ggn. Pola napas hipoksemia, hiperkapnea


KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
1. Simple Head Injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:
Ada riwayat trauma kapitis
Tidak pingsan
Gejala sakit kepala dan pusing
Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat
simptomatik dan cukup istirahat.
2. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang
berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak
disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala,
vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri
mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang
masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat
terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan
yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi
simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan
terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.

3. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di
dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun
neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk
terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga
menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang
destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh
karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan
blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat
15
blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran
hilang selama blockade reversible berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah coup , contrecoup, dan
intermediatemenimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa
refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli
kembali, si penderita biasanya menunjukkan organic brain syndrome.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah
cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi
rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena
pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan
bisa timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak
lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan
antiserebral edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan
7-10 hari.
4. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan
robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan
subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat
dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang
disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada
fraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan
oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.

5. Fracture Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan
fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana
yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
Epistaksis
Rhinorrhoe
16
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.
Komplikasi :
Gangguan pendengaran
Parese N.VII perifer
Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya
harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi.
Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.

6. Epidural Hematoma

Timbulnya perdarahan / hematoma diruangan antara tengkorak dan
duramater yang disebabkan oleh rupturnya arteri meningea media sehingga
terjadi kompresi otak. Sering terjadi pada daerah temporal. Ditemukan adanya
lusid interval pada 50% kasus yaitu pada saat kejadian pasien tidak pingsan/
pingsan sebentar/ hanya nyeri kepala sebentar lalu membaik dengan
sendirinya, tetapi beberapa jam kemudian gejala menjadi progresif, nyeri
kepala , pusing, kesadaran menurun hingga koma.
Gejala klinis :
Gejala fokal, akibat herniasi tentorial
timbul hemiparese, monoparese, tonus meninggi, refleks patologi (+)
pada daerah kontralateral
midriasis yang homolateral akibat penekanan N. III, refleks cahaya
direct / indirect (-).
Nadi bisa bradikardi karena adanya peningkatan TIK
Pemeriksaan fundus : pupil N. II yang homolateral slight oedema.
LP : jernih dengan TIK yang tinggi (hati-hati karena bahaya herniasi

7. Subdural hematoma

17
Yaitu perdarahan yang terjadi antara ruang duramater dengan araknoid
akibat trauma kapitis. Merupakan perdarahan venous dari permukaan otak
yang berjalan menuju sinus venosus didalam duramater. Gejala-gejala, akut
seperti epidural bleeding, bila mengenai vena yang besar atau merupakan
perdarahan dari sinus. Bila perdarahan tidak terlalu besar gejala permulaan
ringan. Darah akan membeku dan mengalami organisasi, kemudian akan
dilapisi oleh kapsel. Gumpalan darah lama akan mencair dan menarik cairan
dari sekitarnya sehingga menjadi lebih gembung. Inilah yang menimbulkan
gejala-gejala
menyerupai tumor serebri/ proses intrakranial yang meninggi.
Gejala klinis :
menyerupai tumor serebri dimana ditemukan peninggian
tekanan intrakranial.
Timbul pelan-pelan beberapa minggu sesudah trauma
Nyeri kepala timbul yang makin lama makin hebat disertai
mual muntah
Midriasis homolateral,gangguan visus.
Bisa ditemukan adanya tanda-tanda hiperefleksi, hemiparese.
Refleks patologi (+)
Adanya gangguan psikis seperti mudah tersinggung.
Hati-hati melakukan LP karena TIK meninggi.

8. Subarachnoid hematoma

Yaitu perdarahan yang terjadi didalam ruang subarachnoid akibat trauma
kapitis yang sering disebabkan oleh kontusio serebri.

Gejala klinis :
o timbulnya nyeri kepala di daerah suboksipital secara tiba-tiba
o Pusing, mual, muntah
o Kesadaran menurun hingga koma
o Kaku kuduk (+)
o Suhu tubuh meninggi
o Refleks patologi (+)
18
o Umumnya terjadi gejala diffus, sekali-sekali bisa
o timbul kejang atau gejala fokal

9. Intraserebral hematoma
Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di korteks yang
menimbulkan lesi desak ruang dan menimbulkan edema kolateral. Terbanyak pada
lobus temporalis, selain itu bisa pula pada lobus frontalis dan parietalis, kadang-
kadang pada serebellum. Asal perdarahan dari arteri. Umumnya penderita tidak
tertolong, perdarahan arteri cepat masuk ke ventrikel dan menekan batang otak, bila
hematoma berasal dari vena biasanya dapat tertolong.


Adapun pembagian cedera kepala lainnya:
Cedera Kepala Ringan (CKR) termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri
o Skor GCS 13-15
o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari
10 menit
o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan neurologist.
Cedera Kepala Sedang (CKS)
o Skor GCS 9-12
o Ada pingsan lebih dari 10 menit
o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota
gerak.
Cedera Kepala Berat (CKB)
o Skor GCS <8
o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih
berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang
terlepas.
19

PENGELOLAAN CEDERA KEPALA DI UNIT GAWAT DARURAT

1. Cedera Kepala Ringan ( GCS 13-15)

a. Pasien dalam keadaan sadar
Tanpa deficit neurology perawatan luka
Pemeriksaan radiology hanya atas indikasi
Pasien dipulangkan & keluarga diminta observasi kesadaran bila
curiga kesadaran menurun , segera kembali ke RS

b. Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah
sadar kembali saat diperiksa.
Dibuat foto kepala.
Rawat luka
Pasien pulang observasi bila curiga kesadaran menurun
segera kembali ke RS

c. Keasadaran menurun
Perubahan orientasi tanpa deficit fokal
Dilakukan pemeriksaan fisik, rawat luka, foto kepala
Istrahat baring mobilisasi bertahap terapi simptomatik
Observasi minimal 24 jam di RS bila curiga hematoma skennig
Otak

Kriteria Rawat:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
20
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-
jawabkan
10. CT scan abnormal

2. Cedera Kepala Sedang

Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untu
mengikuti perintah sederhana (SKG 9-12).

1. Periksa & atasi gangguan Airway, Breathing, Circulation.
2. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan ke-
sadaran, amnesia, nyeri kepala
3. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
4. Pemeriksaan neurologis
5. Radiograf tengkorak
6. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila
ada indikasi
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah
8. Tes darah dasar dan EKG
9. CT scan kepala
10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal

Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis setiap jam
2. CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan
neurologis.
3. Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala
berat akan memperburuk pasien
4. Kontrol setelah pulang biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan
bila perlu 1 tahun setelah cedera

3. Cedera Kepala Berat
21
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana
karena gangguan kesadaran.

Di Unit Gawat Darurat
1. Riwayat:
Usia, jenis dan saat kecelakaan
Penggunaan alkohol atau obat-obatan
Perjalanan neurologis
Perjalanan tanda-tanda vital
Muntah, aspirasi, anoksia atau kejang
Riwayat penyakit sebelumnya, termasuk obat-obatan
yang dipakai serta alergi
2. Stabilisasi Kardiopulmoner:
Jalan nafas, intubasi dini
Tekanan darah, normalkan segera dengan Salin
normal atau darah
Foley, tube nasogastrik kateter
Film diagnostik: tulang belakang leher, abdomen,
pelvis, tengkorak, dada, ekstremiras
3. Pemeriksaan Umum
4. Tindakan Emergensi Untuk Cedera Yang Menyertai:
Trakheostomi
Tube dada
Stabilisasi leher: kolar kaku, tong Gardner-Wells
dan traksi
Parasentesis abdominal
5. Pemeriksaan Neurologis:
Kemampuan membuka mata
Respons motor
Respons verbal
Reaksi cahaya pupil


6. Obat-obat Terapeutik:
22
Bikarbonat sodium
Fenitoin
Steroid
Mannitol
Hiperventilasi
7. Tes Diagnostik
CT scan



GCS 8 surgery as indicated

yes
Insert ICP monitor


Maintain CPP
(Age appropriate)

Yes No
ICP

yes
Sedation & analgesia

Yes No
ICP


Drain CSF if
Ventriculotomy present
Consider careffuly
sepeating Yes No withdraw
CT scan ICP ICP
treatment

Neoromuscular blockade

Yes No
ICP
yes
Mannitol Hyperosmolar
therapy

yes No
ICP

yes
23
Mild hyperventilation
( Pa CO2 30-35 mmHg)

yes No
ICP

Yes
Second tier theraphy



PRINSIP PENANGANAN CEDERA KEPALA

1 . Anamnesis
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan riwayat kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada
orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari
tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan
kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga
kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya : jatuh kemudian
tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu
sebelum jatuh.


Anamnesis yang lebih terperinci meliputi :
1. Sifat kecelakaan.
2. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
3. Ada tidaknya benturan kepala langsung.
4. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peris
tiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah
sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah
dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu
dalam keadaan pingsan (hilang/ turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan
bingung/disorientasi (kesadaran berubah)

2. Pemeriksaan fisik

24
Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi vital dan status
kesadaran pasien. Ini tiaras dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului
anamnesis yang teliti.
1. Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang
dinilai ialah :
a.Jalan nafas airway
b.Pernafasan breathing
c.Nadi clan tekanan darah cireulation

Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila
perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen.
Manipulasi leher hams berhati-hati bila ada riwayat/dugaan trauma servikal
(whiplash injury), jamb dengan kepala di bawah atau trauma tengkuk.
Gangguan yang mungkin ditemukan dapat berupa :
a.Pernafasan Cheyne Stokes.
b.Pernafasan Biot/hiperventilasi.
c.Pernafasan ataksik.

yang menggambarkan makin memburuknya tingkat kesadaran. Pemantauan
fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila terdapat
juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur
ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan
melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan
intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma
epidural.

3. Pemeriksaan Umum

Selama proses penstabilan kardiopulmoner, dilakukan pemeriksaan umum
secara cepat untuk mencari cedera lain. Perhatian khusus diberikan pada:

1. Cedera kepala dan leher: laserasi, tempat perdarahan, otorrhea, rhinorrhea,
mata racoon (ekkhimosis periorbital).
25
2. Cedera toraks: fraktura iga, pneumotoraks atau hemotoraks, tamponad
kardiak, (dengan bunyi jantung lemah, distensi vena jugular, dan
hipotensi), aspirasi, atau ARDS.
3. Cedera abdominal: terutama laserasi hati, limpa atau ginjal. Perdarahan
biasanya berakibat tenderness,guarding atau distensi abdominal. Namun
tanda-tanda ini mungkin tidak muncul dini dan mungkin tersembunyi pada
pasien koma. Adanya bising usus biasanya pertanda tenang.
4. Cedera pelvik: Cedera pada pasien yang tidak koma bisa ditetapkan secara
klinis. Konfirmasi radiologis biasanya diperlukan. Pemeriksaan rektal
mungkin berguna. Cedera pelvik sering bersamaan dengan kehilangan
darah tersembunyi dalam jumlah besar.
5. Cedera tulang belakang: Trauma kepala dan tulang belakang mungkin
bersamaan, dan kombinasi tersebut harus selalu dicari walau kejadiannya
hanya 2 hingga 5% dari pasien cedera kepala berat. Tulang belakang leher
paling sering dikenai.
6. Cedera ekstremitas: Mungkin terjadi kerusakan tulang atau jaringan lunak
(otot, saraf, pembuluh darah). Fraktura pada pasien gelisah harus dibidai
segera untuk mencegah kerusakan saraf dan pembuluh bersangkutan.
Tindakan definitif pada kebanyakan pasien cedera ekstremitas dapat ditunda
hingga setelah tindakan terhadap masalah yang mengancam nyawa.

4. Pemeriksaan Neurologis

Tabel 4. Pemeriksaan neurologis awal pada cedera kepala
-------------------------------------------------------
1. Skala Koma Glasgow
2. Respons pupil terhadap cahaya
3. Gerakan mata
4. Kekuatan motor
5. Pemeriksaan sensori sederhana
-------------------------------------------------------

1. Glasgow Coma Seale (GCS)
26
Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada tingkat
responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada saat
mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami cedera kepala. Evaluasi
ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka
mata.

Skala GCS : Membuka mata : Spontan 4
Dengan perintah 3
Dengan Nyeri 2
Tidak berespon 1
Motorik : Dengan Perintah 6
Melokalisasi nyeri 5
Menarik area yang nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak berespon 1
Verbal : Berorientasi 5
Bicara membingungkan 4
Kata-kata tidak tepat 3
Suara tidak dapat dimengerti 2
Tidak ada respons 1


2. Pupil

Pemeriksaan teliti ukuran pupil serta reaksinya terhadap cahaya adalah
paling penting pada pemeriksaan pertama. Tanda dini herniasi lobus temporal
yang diketahui dengan baik adalah dilatasi ringan pupil serta respons cahaya
pupil yang lambat. Baik kompresi maupun distorsi saraf okulomotor saat
herniasi tentorial-unkal mengganggu fungsi akson parasimpatetik yang
menghantarkan sinyal eferen untuk konstriksi pupil, berakibat dilatasi pupil
ringan.
Mencari kelainan pupil lain yang dapat terjadi pada pasien tidak sadar
sangat perlu pada pasien cedera kepala.Pupil kecil bilateral menunjukkan
27
pasien menggunakan obat tertentu, terutama opiat, atau mengalami satu atau
beberapa ensefalopati metabolik atau lesi destruktif dari pons. Dalam hal ini
refleks cahaya pupil. Akhirnya, pupil yang berdilatasi dan fixed bilateral
pada pasien dengan cedera kepala mungkin akibat perfusi vaskular serebral
yang inadekuat. Keadaan ini mungkin akibat hipotensi sekunder terhadap
kehilangan darah atau oleh peninggian tekanan intrakranial pada tingkat
yang mengganggu aliran darah serebral. Kembalinya respons pupil mungkin
terjadi segera setelah perbaikan aliran darah bila masa perfusi yang inadekuat
tidak terlalu lama.

3. Gerakan Mata
Gerakan bola mata merupakan indeks yang paling penting untuk
penilaian aktivitas fungsional batang otak (formatio retikularis). Penderita
yang sadar penuh, dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan
intaknya sistem motorik okuler di batang otak.


4. Fungsi Motor

Pemeriksaan dasar dilengkapi dengan pemeriksaan motor sederhana
karena pasien dengan cedera kepala berat tidak cukup responsif terhadap
setiap nilai pemeriksaan hingga dapat dipercaya. Setiap ekstremitas
diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang digunakan secara
internasional:

Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0

5. Fungsi sensorik
Tujuan pemeriksaan sensorik
28
Menetapkan adanya gangguan sensorik.
Mengetahui modalitasnya.
Menetapkan polanya.
Menyimpulkan jenis dan lokasi lesi yang mendasari gangguan
sensorik yang akhirnya dinilai
bersama sama dengan pemeriksaan motorik

Pemeriksaan Tambahan

A. RONTGEN
Peranan foto rontgen tengkorak banyak diperdebatkan manfaatnya,
meskipun beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi
medik, foto Rontgen tengkorak dapat dilakukan atas dasar indikasi
legal/hukum. Foto R tengkorak biasa (AP dan Lateral) umumnya dilakukan
pada keadaan :
Defisit neurologik fokal.
Liquorrhoe.
Dugaan trauma tembus/fraktur impresi.
Hematoma luas di daerah kepala.
Pada keadaan tertentu diperlukan proyeksi khusus, seperti proyeksi
tangensial pada dugaan fraktur impresi, proyeksi basis path dugaan fraktur
basis dan proyeksi khusus lain pada dugaan fraktur tulang wajah.

B. CT SCAN

Indikasi. CT scanning jelas merupakan prosedur pilihan dalam
mengevaluasi pasien cedera kepala dan kemungkinan memperbaiki secara
jelas outcome pasien dengan cedera kepala. Setiap kali muncul scanner
generasi baru, selalu disertai dengan perbaikan informasi yang diberikan.
Dianjurkan sekali bahwa CT scan emergensi harus dilakukan sesegera
mungkin (dalam setengah jam) setelah pasien dengan cedera kepala berat
datang. Lesi densitas tinggi (hematoma epidural, subdural, intraserebral)
dianggap memerlukan tindakan operasi dekompresi bila menyebabkan
pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Dengan kata lain, dasar pemikiran
29
ditekankan pada derajat pergeseran garis tengah dalam menentukan pasien
mana yang harus dioperasi. Pergeseran garis tengah yang bermakna pada
pasien cedera kepala sudah dibuktikan ada kaitannya dengan tingkat
kesadaran.

Pada CT scan, edema tampak sebagai zona densitas rendah. Edema
mungkin fokal, multi fokal atau diffusa. Dengan edema serebral difusa,
mungkin sulit untuk memastikan densitas yang lebih rendah karena tidak ada
area otak normal sebagai pembandingnya.
Kontusi serebral tampak sebagai area densitas tinggi yang tak
homogen yang tersebar diantara area densitas rendah. Walau tidak selalu
mungkin membedakan antara hematoma subdural dan epidural pada CT scan,
yang terakhir ini khas dengan bentuk bikonveks atau lentikular, karena
perlekatan yang erat antara dura dengan tabula interna mencegah
hematoma mengalami penyebaran.
Hematoma subdural yang khas cenderung menjadi lebih difus
dibanding hematoma epidural dan memiliki tepi dalam yang konkaf yang
mengikuti permukaan otak. Perbedaan antara lesi akuta, subakuta dan kronik
agak tidak pasti.
Hematoma intraserebral traumatika biasanya berlokasi dilobus
frontal dan temporal anterior, walau bisa terjadi dimana saja.
Infarksi iskemik akuta mungkin tampak sebagai area densitas rendah
dibanding otak sekitarnya. Infarksi dapat dideteksi CT scan dalam 24 jam dari
onsetnya, dan lebih dari 60% jelas tampak pada hari ketujuh.


6. Pembedahan

(8)

Yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah,
kembalinya tekanan intrakanial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan
mencegah pendarahan ulang.
Indikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :
Status neurologis
Status radiologis
30
Pengukuran tekanan intrakranial


Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :
Massa hematoma kira-kira 40 cc
Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran Baris tengah dengan
GCS 8 atau kurang.
Konstusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai
berkembangnya tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih
dari 25 mm Hg.

Indikasi BWT hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak
memungkinkan dan didapat :
Dilatasi pupil ipsilateral
Hemiparese kontralateral
Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba.
Indikasi operasi pada faktur depres :
Lebih dari satu tabula
Adanya defisit yang berhubungan dengan bagian otak dibawahnya
LCS leakage
Fraktur depres terbuka
Preventif growing fracture pada anak.

Hasil
1. EDH: bila cepat dioperasi mortality kurang dari 10%
2. SDH:
Serlig et al : operasi dalam 4 jam pertama mortality 30%
operasi setelah 4 jam mortality 90%
Hasselberger et al :
pasien koma kurang dari 2 jam mortality 47%
pasien koma lebih dari 2 jasm mortality 80%
31

3. ICH: mortality 27% -50%


7. Terapi konservatif


Cairan intravena : pertahankan status cairan euvolemik, hindari dehidrasi, jangan
menggunakan cairan hipotonis / glukosa. Cairan garam hipertonis : cairan NaCl 0,9
%, 3%-27%. Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan saline hipertonis efektif
pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga menurunkan tekanan
intrakranial, mempertahankan volume intravaskular euvolume.Dengan akses vena
sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-
150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai
dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari


Hiperventilasi fase akut

Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi jangka
panjang (PaCO2 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus dicegah.
Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah cedera otak
traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi saat aliran darah serebral
berkurang.

Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi perburukan
neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih lama pada hipertensi intrakranial yang
kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.

Terapi hiperosmoler manitol

Merupakan osmosis diuretis. Efek ekspansi plasma, menghasilkan gradient osmotik
dalam waktu yang cepat dalam beberapa menit. Memberikan efek optimalisasi reologi
dengan menurunkan hematokrit, menurunkan viskositas darah, meningkatkan aliran
32
darah serebral, meningkatkan mikrosirkulasi dan tekanan perfusi serebral yang akan
meningkatkan penghantaran oksigen dengan efek samping reboun peningkatan
tekanan intrakranial pada disfungsi sawar darah otak terjadi skuestrasi serebral,
overload cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis dan gagal ginjal (bila osmolalitas
>320 ml osmol/L. Manitol diberikan pada pasien koma, pupil reaktif kemudian
menjadi dilatasi dengan atau tanpa gangguan motorik, pasien dengan pupil dilatasi
bilateral non reaktif dengan hemodinamik normal dosis bolus 1 g/kgBB dilanjutkan
dengan rumatan 0,25- 1 g/kgBB Usahakan pertahankan volume intravaskuler dengan
mempertahankan osmolalitas serum < 320 ml osmol/L.


barbiturat
Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi
intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau
bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi
membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan
memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan
hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam
30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1
mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. menekan metabolism serebral,
menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral, merubah tonus vaskuler,
menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst.

Kortikosteroid
Tidak direkomendasikan penggunaan glukokortikoid untuk menurunkan tekanan
intrakranial baik dengan methyl prednisolon maupun dexamethason. Dearden dan
Lamb meneliti dengan dosis > 100 mg/hari tidak memberikan perbedaan signifikan
pada tekanan intracranial dan setelah 1-6 bulan tidak ada perbedaan outcome yang
signifikan. Efek samping yang dapat terjadi hiperglikemia (50%), perdarahan traktus
gastrointestinal (85%).


Nutrisi
33

Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan kurang lebih
15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi 30% akan
meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism istirahat dengan 140%
kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan
enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
Kebutuhan Nutrisi:
Kalori 25 30 Kcal/KgBB/Hr
Protein 1,5 2 gr/KgBB/Hr
Karbohidrat 75 100 gr/Hr (7,2 gr/KgBB/Hr)
Lipid 10 40 % kebutuhan kalori / hari
Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranio serebral berat meningkat rata-
rata 40%.

Terapi prevensi kejang

Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan TIK, penghantaran
dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang dapat mencegah
berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek kindling). Pemberian terapi
profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin efektif pada minggu pertama. Harus
dievaluasi adanya faktor-faktor yang lain misalnya: hipoglikemi, gangguan elektrolit,
infeksi.

Komplikasi Cedera Kepala

1.Kejang pasca trauma.

Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-
25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor
risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur
depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.


2.Demam dan mengigil :
34

Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk
outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral.
Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain
dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.


3.Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan.
Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi,
Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel.
Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema,
dimensia, ataksia, gangguan miksi.


4.Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan.
Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi.
Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan
kontraktur, Bantuan dalam posisioning.Terapi primer dengan koreksi posisi dan
latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen,
baklofen, tizanidin, botulinum,
benzodiasepin

5. Agitasi

Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk
delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi
akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan
farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi,
antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.

6. Mood, tingkah laku dan kognitif
35

Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah
cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah
cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk
problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan
kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.

Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan
gangguan kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem
gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae
dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat
memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor
ditemukan 40-50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya
cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik dengan
antidepresan.



7. Sindroma post kontusio

Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1
bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama:
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif
terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori,
Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

Prognosis cedera kepala

Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20 mmHg selama
perawatan mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20 mmhg kematiannya 39%.
Tujuh belas persen pasien sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-
kejang dalam dua tahun pertama post trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan
dengan pemulihan amnesia. Pemeriksaan penunjang preditor prognosis cedera kepala:
36
Skor GCS: Penurunan kesadaran pada saat kejadian, penurunan kesadaran < 30 menit,
penurunan kesadaran setelah 30 menit, amnesia < 24 jam.


William, 2001 meneliti 215 cedera kepala : pasien-pasien cedera kepala sedang
dengan komplikasi (CT Scan +) terdapat gangguan fungsi neuropsikiatri setelah 6
bulan. Rontgen tulang tidak direkomendasikan untuk evaluasi cedera kepala ringan
dan sedang dan sensitifitasnya rendah terhadap adanya lesi intrakranial.Faktor-faktor
yang dapat menjadikan Predictor outcome cedera kepala adalah:
lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area kerusakan cedera pada otak
mekanisme cedera dan umur.

Pengukuran outcome:

Beberapa pengukuran outcome setelah cedera kepala yang sering digunakan antara
lain:
Glasgow Outcome Scale (GOS) :

Terdiri 5 kategori, meninggal, status vegetative, kecacatan yang berat, kecacaatan
sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah dan pekerjaannya),
ikembali pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah).


Dissabily Rating Scale (DRS)

Merupakan skala tunggal untuk melihat progress perbaikan dari koma sampai ke
kembali ke lingkungannya. Terdiri dari 8 kategori termasuk komponen kesadaran
(GCS), kecacatan (activity of daily living, handicap dalam bekerja).

Fungsional Independent Measure (FIM)

Banyak digunakan untuk rehabilitasi terdiri dari 18 items skala yang digunakan untuk
mengevalusi tingkat kemandirian mobilitas, perawatan diri, kognitif.
Beberapa pendekatan farmakologi yang digunakan banyak yang tidak efektif. Strategi
37
terapi masa yang akan datang lebih ditujukan pada fase hipoperfusi awal antara lain:
induksi hipertensi arterial, terapi farmakologi yang dapat memperbaiki peningkatan
resistensi mikrosirkulasi dan terapi hipotermi yang dapat memproteksi neuron akibat
iskemik.


BAB III
KESIMPULAN


Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala. Cedera
sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel
otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat
keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan
awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei
primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation,
disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita
cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak. Tidak semua
pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain.
38

You might also like