You are on page 1of 13

POTENSI AKADEMIK DAN NON-AKADEMIK PERLU DIKEMBANGKAN SECARA

SEIMBANG DI ERA GLOBAL


06-08-2012 17:54:57, pada Umum
Oleh: Faridatul Mardlotillah
Guru Bahasa Indonesia di SMP Muhammadiyah 5 Bungah

Abstrak:
Kesuksesan terbentuk karena adanya potensi-potensi yang ada dalam diri seseorang. Potensi
tersebut sudah terbentuk dalam diri manusia sejak awal, tinggal bagaimana cara untuk
membangunnya. Dengan mengembangkan potensi dapat menjadikan seseorang meraih
kesuksesan dan dengan memiliki potensi pula akan menghasilkan karya yang berkualitas.
Dalam kehidupan ini potensi sangat penting, dengan potensi yang dimiliki seseorang maka
seseorang tersebut akan mempunyai pengembangan diri secara optimal. Bagi seorang siswa
potensi akademik dan non akademik akan lebih bermakna dalam tugas perkembangannya
apabila pengelolaan, pengembangan dan peningkatan dalam kreativitas. Kegiatan akademik
perlu diimbangi oleh kegiatan non-akademik yang saling menunjang dan berjalan secara
beriringan. Kegiatan non-akademik ini bisa berupa kegiatan olahraga atau kegiatan seni.
Potensi dibidang akademik dan non akademik dapat mengantarkan peserta didik berhasil
menghadapi kehidupan nyata. Pendidikan yang bermutu diharapkan dapat menghasilkan
keunggulan Sumber Daya Manusia, tidak hanya dari aspek akademik, tetapi juga dalam
aspek: seni, olahraga, disiplin dan keterampilan untuk dapat hidup dalam masyarakat yang
sedang mengalami perubahan cepat. Untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki peserta
didik di sekolah juga harus didukung oleh faktor eksternal, seperti sarana prasarana, pengajar
yang kreatif, serta sistem/kurikulum. Dengan pengoptimalan potensi pada peserta didik,
diharapkan akan terbentuk generasi unggul yang dapat berdaya saing secara global sehingga
mampu melahirkan keadaan yang lebih baik bagi kehidupan di negara ini.
Kata kunci: potensi, akademik, non akademik

Abstract:
Formed due to the success of the potentials that exist in a person. This potential has been
established in humans since the beginning, just how to build it. By developing the potential to
make a person achieve success and will also have the potential to produce quality work.
Potential in this life is very important, with the potential of such a person then someone will
have an optimal self-development. For a student's academic and non academic potential will
be more meaningful in its development when the task management, development and
improvement in creativity. Academic activities need to be offset by non-academic activities
that support each other and run in tandem. Non-academic activities are either sports or arts
activities. Potential field of academic and non academic learners can deliver successfully deal
with real life. Quality education is expected to generate benefits of Human Resources, not
only from the academic aspect, but also in terms of: arts, sports, disciplines and skills to be
able to live in a society that is undergoing rapid change. To optimize the potential of learners
in school should also be supported by external factors, such as infrastructure, creative
teaching, as well as system / curriculum. By optimizing the potential of the learners, are
expected to be formed which could lead generation globally competitive so that could
produce better conditions for life in this country.
Key words: potential, academic, non academic

Pendahuluan
Pada dasarnya, pengajar hanya mampu melakukan orientasi sebatas prestasi akademik, suatu
target yang berbentuk indeks prestasi fisik. Kreatifitas dan inovasi dengan sendirinya
terpasung, siswa hanya difokuskan pada penerimaan materi baku dan tidak ada yang peduli
dengan perkembangan kepribadiannya. Akibatnya produk pendidikan menengah hanya
mampu memahami hal-hal yang baku dan bersifat umum / normatif / tekstual. Mereka tidak
dapat memahami substansi dan korelasi serta tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang
diperolehnya ke dunia nyata.
Itu baru aspek kognitif, intelektual, (IQ) bagaimana pula dengan pembinaan psikologis dan
sosialnya atau yang populer disebut sebagai Emotional Quality (EQ) ? Padahal kedua hal
tersebut harus berjalan seimbang bahkan EQ lebih berperan dalam pembentukan pribadi yang
utuh. Jika IQ bisa ditingkatkan setiap saat dengan cara belajar berkelanjutan maka sangat
berbeda dengan EQ yang perkembangannya dimulai sejak usia dini dan sangat menentukan
pada masa pertumbuhan (remaja) dan justru akan berhenti pada saat manusia mencapai usia
dewasa. Justru dunia pendidikan kita hanya berorientasi pada IQ sedangkan EQ yang
seharusnya menjadi prioritas malah diabaikan. Tidak heran bila generasi muda kita selalu
mengalami masalah dalam pembentukan pribadi, selalu mencari jati diri dan kesulitan dalam
mengekspresikan dirinya secara bebas.
Di sisi lain sistem pendidikan nasional yang hanya berorientasi pada prestasi akademik justru
menjadi kontra produktif karena menimbulkan rasa frustasi bagi peserta didik. Tekanan
prikologis diberikan oleh sekolah, lingkungan dan keluarga untuk mendorong siswa
memenuhi target akademis dan hal itu dianggap sebagai satu-satunya ukuran prestasi dan
stempel identitas. Tidak ada ruang bagi peserta didik untuk menggali potensi non akademik
yang sesungguhnya berperan lebih besar terhadap pembentukan karakter sebagai manusia
yang utuh. Nilai kemanusiaan siswa saat ini hanya dihargai oleh selembar NEM atau Rapor.
Dalam banyak kasus kita jumpai betapa orang tua memaksakan anaknya mengikuti berbagai
kegiatan (kursus) yang lebih banyak berorientasi akademis dan membatasi semua hal yang
tidak berhubungan dengan kegiatan akademis. Termasuk semua kegiatan ekstra kurikuler
yang menjadi tempat bagi individu siswa, sebagai manusia, untuk bersosialisasi secara sehat
(psikologis) dengan sebaya, alam, lingkungan dan masyarakat. Suatu media bagi
pembelajaran nilai moral dan kemanusiaan dimana siswa akan dapat menemukan jati diri dan
membentuk karakter sesungguhnya. Inilah ruangan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi
dan ekspresi seluruh potensi dirinya dengan kehendak bebas. Tidak ada yang lain selain
dirinya sendiri, suatu kesadaran yang mahal dan sulit diperoleh di masa sekarang.
Semestinya seorang pendidik tidak hanya fokus pada masalah akademik namun juga
pengembangan pribadi dan penggalian potensi siswa. Seorang pendidik harus punya
perhatian yang cukup, keahlian dan wawasan yang luas sehingga pantas dijadikan panutan.
Kesejahteraan seorang pendidik adalah masalah kunci yang harus diselesaikan agar pendidik
dapat berkonsentrasi pada bidangnya dan memiliki kemampuan untuk terus mengembangkan
dirinya. Seorang pendidik memiliki sifat sebagai profesional, pengayom sekaligus
pembimbing. Dalam paradigma pendidikan, tidak ada lagi batasan antara guru dan murid,
dimana guru serba benar dan otoriter sedang murid nrimo tanpa boleh berbeda pandangan
atau pendapat.
Fakta menunjukkan SDM Indonesia ternyata sangat lemah. Padahal di era globalisasi dan
abad informasi yang penuh dengan ketidakpastian dan persaingan, hanya SDM berkualitas
yang bisa diandalkan untuk tetap survive. Bahkan bangsa ini telah mengalami krisis moral,
kepercayaan dan identitas. Untuk menghadapi era informasi dan globalisasi dimana terjadi
perubahan radikal dalam peradaban manusia, diperlukan pensikapan dan pemahaman
terhadap perubahan. Artinya dunia pendidikan, sebagai tulang punggung pengelolaan dan
pengembangan SDM, harus mau meninggalkan status quo dan belajar mengadopsi berbagai
paradigma baru. Dari penjelasan di atas muncul pertanyaan, mampukah peserta didik
Indonesia mengoptimalkan potensi akademik dan non akademik di era global?

Pembahasan
Pada dasarnya setiap manusia memiliki kekuatan dan potensi masing-masing. Tapi sampai
saat ini masih banyak yang belum menyadari potensi di dalam dirinya sendiri. Padahal
potensi setiap orang sangat menunjang kesuksesan hidupnya jika diasah dengan baik. Potensi
merupakan sesuatu yang luar biasa, potensi dimanfaatkan untuk mengembangkan diri dan
belajar banyak hal untuk menjadi orang yang berguna. Tuhan memberikan berbagai potensi
yang ada dalam diri setiap manusia. Manusia itu unik, sehingga kita tidak perlu mengeluh
karena tidak memiliki bakat sepak bola seperti Lionel Messi, atau suara emas seperti Whitney
Houston, karena di dalam diri kita ada potensi lain yang luar biasa. Tugas utama kita adalah
mengenali potensi tersebut lalu mengolahnya melalui proses yang baik dan benar sehingga
memberikan hasil yang luar biasa.
Pada zaman, ada seorang pemahat yang terkenal karena banyak menghasilkan karya seni rupa
yang banyak dan berkualitas seni tinggi. Seorang temannya bertanya, bagaimana cara anda
membentuk karya-karya itu? si pemahat itu pun menjawab: Saya tidak membentuknya.
Pada dasarnya bentuk-bentuk itu sudah ada di dalam batu yang saya pahat. Saya hanya
menyingkirkan bagian-bagian yang menutup bentuk sesungguhnya. Kalau boleh
dibandingkan, agaknya tugas seorang pendidik tidak jauh berbeda dengan si pemahat ini. Jika
si pemahat dituntut menghasilkan karya yang berkualitas, seorang pendidik juga dituntut
menghasilkan peserta didik yang berkualitas. Bedanya, dari sisi bahan dan alatnya. Kalau si
pemahat membentuk karya dari batu atau kayu, maka guru mengolah manusia, yakni siswa.
Kalu si pemahat menggunakan besi, maka guru menggunakan buku.
Sebagaimana prinsip si pemahat, guru juga perlu memahami bahwa ia tidak bisa sepenuhnya
membentuk siswa tanpa menyadari bentuk (potensi, bakat, karakter) itu sudah dibangun
dalam diri siswa. Seorang guru tidak bisa serta-merta menjadikan seorang siswa sukses
mengembangkan potensinya tanpa memahami bahwa kesuksesan seorang siswa adalah
sebuah potensi yang harus diwujudkan. Jika si pemahat menyingkirkan batu dan kayu yang
menghalangi bentuk karya akhir, maka tugas seorang guru adalah menyingkirkan hambatan
yang menghalangi munculnya potensi itu dalam diri siswa.
Jika si pemahat memahami bentuk akhir karya melalui serangkaian proses imajinatif, maka
bagi kita seorang guru harus mengerti baik secara ilmiah maupun keseharian. Begitu guru
yakin bagaimana seharusnya seorang siswa itu jadi maka harus dilakukan pemahatan
yakni menghilangkan penghalang potensi. Hal ini adalah subtansi suatu proses pendidikan.
Karena jika tidak, maka semua proses yang kita lakukan tidak berguna bagi siswa. Pihak
sekolah harus memahami bagaimana membentuk kesuksesan dari potensi masing-masing
siswa yang unik, sehingga ada gunanya pendidikan dijalankan.
Pendekatan-pendekatan Peserta Didik dalam Hubungannya dengan Potensi yang
Dimilikinya
Menurut Akhnayzz (2011), peserta didik adalah komponen masukan dalam sistem
pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia
yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Sebagai suatu komponen
pendidikan, peserta didik dapat ditinjau dari berbagai pendekatan, antara lain: pendekatan
sosial, pendekatan psikologis, dan pendekatan edukatif/pedagogis.
Pertama, pendekatan sosial. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang sedang disiapkan
untuk menjadi anggota masyarakat yang lebih baik. Sebagai anggota masyarakat, dia berada
dalam lingkungan keluarga, masyarakat sekitarnya, dan masyarakat yang lebih luas. Peserta
didik perlu disiapkan agar pada waktunya mampu melaksanakan perannya dalam dunia kerja
dan dapat menyesuaikan diri dari masyarakat. Kehidupan bermasyarakat itu dimulai dari
lingkungan keluarga dan dilanjutkan di dalam lingkungan masyarakat sekolah. Dalam
konteks inilah, peserta didik melakukan interaksi dengan rekan sesamanya, guru-guru, dan
masyarakat yang berhubungan dengan sekolah. Dalam situasi inilah nilai-nilai social yang
terbaik dapat ditanamkan secara bertahap melalui proses pembelajaran dan pengalaman
langsung.
Kedua pendekatan Psikologis. Peserta didik adalah suatu organisme yang sedang tumbuh dan
berkembang. Peserta didik memiliki berbagai potensi manusiawi, seperti: bakat, inat,
kebutuhan, sosial-emosional-personal, dan kemampuan jasmaniah. Potensi-potensi itu perlu
dikembangkan melalui proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah, sehingga terjadi
perkembangan secara menyeluruh menjadi manusia seutuhnya. Perkembangan
menggambarkan perubahan kualitas dan abilitas dalam diri seseorang, yakni adanya
perubahan dalam struktur, kapasitas, fungsi, dan efisiensi. Perkembangan itu bersifat
keseluruhan, misalnya perkembangan intelegensi, sosial, emosional, spiritual, yang saling
berhubungan satu dengan lainnya.
Ketiga, pendekatan edukatif/pedagogis. Pendekatan pendidikan ini menempatkan peserta
didik sebagai unsur penting, yang memiliki hak dan kewajiban dalam rangka sistem
pendidikan menyeluruh dan terpadu.
Awal Lahirnya Potensi Anak
Kesuksesan terbentuk karena adanya potensi-potensi yang ada dalam diri seseorang. Potensi
tersebut sudah terbentuk dalam diri manusia sejak awal, tinggal bagaimana cara untuk
membangunnya. Dengan mengembangkan potensi dapat menjadikan seseorang meraih
kesuksesan dan dengan memiliki potensi pula akan menghasilkan karya yang berkualitas.
Namun, munculnya potensi tentu ada faktor yang menghalangi diri seseorang. Hambatan itu
bisa berupa hambatan fisik (keterbatasan fisik, cacat, dll), hambatan psikologi (malas, tidak
percaya diri, ketergantungan), atau hambatan sistem (metode, cara, dll).
Sejak usia dini, anak memiliki potensi yang sangat besar. Menurut Munandar (2011), seorang
pakar kreativitas Indonesia, kapasitas otak anak pada usia 6 bulan sudah mencapai sekitar
50% dari keseluruhan potensi orang dewasa. Otak seorang anak ternyata sangat luar biasa.
Pada masa ini, anak mengalami perkembangan intelektual otak yang sangat cepat. Tingkat
perkembangan intelektual otak anak, sejak lahir sampai usia 4 tahun mencapai 50%. Oleh
karena itu, pada masa 4 tahun pertama ini sering disebut juga sebagai Golden Age (Masa
Keemasan), karena si anak mampu menyerap dengan cepat setiap rangsangan yang masuk.
Untuk memberikan motivasi, pendidik perlu mengenali ciri-ciri peserta didik. Keberbakatan
menurut Renzulli meliputi tiga cluster, yaitu kemampuan umum yang tergolong di atas rata-
rata (above average ability), kreativitas yang kaya (creativity), dan pengikatan diri dari tugas
(task commitment). Seorang anak berbakat biasanya mudah dikenali, karena berbeda dan
memiliki kelebihan dibanding dengan anak-anak sebayanya. Anak yang memiliki kreativitas
tinggi biasanya memiliki ciri-ciri: punya rasa ingin tahu yang besar, aktif dan giat bertanya
serta tanggap terhadap suatu pertanyaan, selalu ingin mengenali sesuatu, cenderung mencari
jawaban yang luas dan memuaskan, berdedikasi yang tinggi dan aktif dalam menjalani tugas,
mempunyai daya imajinasi dan abstraksi yang baik, emmiliki rasa percaya diri yang tinggi
dan mandiri.
Munandar (2011) juga mengemukakan bahwa kondisi yang menunjang perkembangan
kreativitas dan penuntun umum untuk mengembangkan kreativitas anak didik. Strategi yang
digunakan untuk mengembangkan kreativitas adalah 4 P, yaitu dilihat dari segi pribadi,
pendorong, proses, dan produk. Kreativitas ditinjau dari segi pribadi menunjuk pada potensi
atau daya kreatif yang ada pada setiap pribadi, anak maupun orang dewasa. Pada dasarnya
setiap orang memiliki bakat kreatif dengan derajat dan bidang yang berbeda-beda. Untuk
dapat mengembangkan kreativitas anak, pertama-tama perlu mengenal bakat kreatif pada
anak, menghargai dan memberi kesempatan serta dorongan untuk mewujudkannya.
Agar kreativitas dapat berkembang memerlukan dorongan atau pendorong dari dalam sendiri
dan dari luar. Pendorong yang datangnya dari diri sendiri, berupa hasrat dan motivasi yang
kuat untuk berkreasi, sedangkan yang dari luar misalnya keluarga, sekolah, dan lingkungan.
Sedangkan kreativitas sebagai proses, dapat dirumuskan sebagai suatu bentuk pemikiran
dimana individu berusaha menemukan hubungan-hubungan yang baru untuk mendapatkan
jawaban, metode atau cara-cara baru dalam menghadapi suatu masalah.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Potensi
Potensi yang dimiliki peserta didik hendaknya mendapat perhatian dan dorongan, sehingga
mereka dapat mengembangkan potensi tersebut dengan produk kreativitas yang bermakna
dan bermanfaat bagi dirinya, keluarga, sekolah, serta lingkungan.
Salah satu karakteristik penting dari individu yang perlu difahami oleh guru sebagai pendidik
adalah bakat dan kecerdasan individu. Guru yang tidak memahami kecerdasan anak didik
akan memiliki kesulitan dalam memfasilitasi proses pengembangan potensi individu menjadi
yang dicita-citakan. Generalisasi terhadap kemampuan dan potensi individu memberikan
dampak negatif yaitu siswa tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan secara
optimal potensi yang ada pada dirinya. Akibat penanganan salah seperti yang dilakukan oleh
sistem persekolahan saat ini kita telah kehilangan bakat-bakat cemerlang. Individu-individu
yang cerdas tidak dapat mengembangkan potensi diri mereka secara optimal.
Potensi tersebut bisa saja terlihat jelas dan bisa pula terpendam dalam diri masing manusia.
Sebagai contoh seorang anak yang gemar dengan segala hal yang berbau hitungan atau
bidang-bidang eksak kemungkinan besar memiliki potensi diri dalam bidang tersebut. Atau
juga seorang anak yang gemar dan pintar bermain sebuah alat musik tentu memiliki potensi
dan kecenderungan dalam bidang seni. Oleh karena faktor-faktor tersebut, pengembangan
potensi diri haruslah dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. Hal yang dimaksudkan
di sini (Farisi, 2011) adalah bahwa faktor-faktor pendukung pengembangan potensi diri
tidaklah sebatas faktor pendorong yang berasal dari dalam diri saja, misalnya motivasi,
kesadaran diri dan ketekunan namun juga harus diikuti dengan faktor pendorong dari luar
seperti fasilitas, perhatian, support dan sebagainya. Di samping itu hal yang tidak boleh
dilupakan dalam proses pengembangan diri adalah kesinambungan dalam pelaksanaannya.
Potensi diri tidaklah selalu terlihat secara jelas dari diri seseorang. Bisa saja seseorang
mempunyai potensi yang luar biasa dalam satu bidang namun dia maupun orang di sekitarnya
tidak menyadari akan hal tersebut. Misalnya seorang anak yang mempunyai bakat yang luar
biasa dalam bidang olaharaga namun dia kurang memperhatikan hal tersebut dan kurang
mengekspos dirinya dalam bidang keolahragaan. Hal ini merupakan masalah utama yang
dihadapi oleh seseorang dalam pengembangan potensi dirinya. Menurut Farizi (2011), jika
ditinjau dari segi atau sudut pandang datangnya hambatan, masalah tersebut dapat
diklasifikasikan ke faktor penghambat yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri atau
disebut juga faktor penghambat intern. Untuk masalah yang berasal dari dalam diri,
penyelesaian dari masalah itu harus datang dari dalam diri kita sendiri. Misalnya anak yang
telah disebutkan di atas yang sebenarnya memiliki bakat yang spesial dalam bidang olahraga,
seharusnya berusaha mencari potensi dari dalam dirinya melalui introspeksi diri dan
pengenalan diri lebih dalam.
Selain faktor penghambat intern, terdapat juga apa yang disebut dengan faktor penghambat
ekstern. Faktor ini sudah tentu merupakan kebalikan dari faktor penghambat intern yang
telah diuraikan di atas. Faktor ini berasal bukan dari dalam diri kita melainkan datang dari
luar. Misalnya lingkungan, atau komunitas dimana kita hidup, maupun aspek ekonomi dan
pendidikan.
Pengembangan Potensi harus secara Optimal
Dalam kehidupan ini potensi sangat penting, dengan potensi yang dimiliki seseorang maka
seseorang tersebut akan mempunyai pengembangan diri secara optimal. Bagi seorang siswa
potensi akademik dan non akademik akan lebih bermakna dalam tugas perkembangannya
apabila pengelolaan, pengembangan dan peningkatan dalam kreativitas.
Pada umumnya di sekolah tradisional, pengembangan potensi siswa dibedakan dalam dua
kelompok besar: akademik dan non-akademik, dengan pengelolaan pengembangan potensi
non-akademik diwadahi dalam kegiatan ekstrakurikuler. Meski sekolah menawarkan
beragam ekstrakurikuler, namun sangat mungkin ada jenis-jenis potensi yang tidak terwadahi
mengingat keterbatasan kemampuan sekolah dalam memfasilitasi potensi itu. Akibatnya
siswa terpaksa memilih kegiatan pengembangan diri yang mungkin tidak sesuai dengan
bakatnya. Konsekuensi negatifnya ada dua: dari sisi siswa ia kehilangan momen untuk mulai
mengeksplorasi bakat, dari sisi penyelenggaraan siswa seperti ini hanya akan menghambat
temannya yang lain.
Seorang pendidik dituntut untuk menghasilkan peserta didik yang berkualitas, guru harus
memahami bahwa siswa tidak bisa menyadari bahwa potensi sudah dibentuk sejak awal
(dalam bidang akademik dan non-akademik). Seorang guru tidak serta merta menjadikan
seorang siswa sukses mengembangkan potensinya tanpa memahami bahwa kesuksesan
seorang siswa adalah sebuah potensi yang harus diwujudkan. Guru juga harus yakin
bagaimana siswa itu bisa menghilangkan penghalang potensi mereka.
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses pengembangan potensi individu. Melalui
pendidikan, potensi yang dimiliki oleh individu akan diubah menjadi kompetensi. Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan memainkan
peranan penting untuk mengakomodasi kemampuan akademik dan nonakademik generasi
bangsa. Karena pentingnya pendidikan itulah, dicantumkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 1
yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Sebagai
sebuah hak, pendidikan berarti boleh dituntut pemenuhannya.
Setiap anak memiliki bakat dan potensi yang berbeda. Prestasi di bidang apapun harus
didukung. Dengan memiliki potensi yang berbeda itu, tentu memiliki keunikan yang berbeda-
beda pula. Potensi timbul karena adanya kecerdasan untuk mengembangkan dan
memanfaatkannya dengan baik. Kemampuan untuk mendayagunakan segenap potensi
tersebutlah yang lazim dikenal sebagai suatu kecerdasan. Anita Lie mengatakan
bahwaManusia dikaruniai kecerdasan yang berbeda-beda satu dengan yang lain agar bisa
saling bekerja sama dan melengkapi.
Di dalam Surat At-Tin ayat 4 menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam
bentuk sempurna. Setiap manusia dilahirkan dengan akal fikiran sehingga ia dapat berfikir
untuk memanfaatkan isi bumi dengan membangun bangunan yang tinggi mengambil isi bumi
untuk diambil manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang membedakan antara
manusia dengan hewan. Setiap manusia yang dilahirkan memiliki kecerdasan di bidang yang
berbeda dengan tingkat yang berbeda-beda pula.
Kecerdasan merupakan serangkaian kemampuan dan keterampilan yang dapat dikembangkan
selagi seseorang mau belajar dan menambah. Perlu diketahui menurut Gardner (2003)
mengungkapkan bahwa kecerdasan bukanlah sesuatu yang bersifat tetap, dan bukanlah unit
terdiri dari satu jenis saja. Gardner (dalam Sumarno: 2011) menyebutkan ada 8 jenis
kecerdasan yang kemudian berkembang menjadi 9 jenis kecerdasan yang dimiliki setiap
individu. Pertama, kecerdasan linguistik cirinya adalah senang mendeskpripsikan sebuah
kejadian melalui tulisan, pkitai bercerita, senang menulis kreatif, menyukai kalimat yang
mengandung kata-kata unik. Kedua, kecerdasan di matematika logis cirinya memiliki
ketertarikan terhadap angka-angka, menyukai pelajaran ilmu pengetahuan, suka memecahkan
misteri, dan senang berhitung.
Ketiga, tipe spasial adalah anak yang yang suka menggambarkan ide-idenya atau membuat
sketsa untuk membantunya menyelesaikan masalah, berfikir dalam bentuk gambar-gambar
serta mudah melihat berbagai objek dalam benaknya, dia juga senang membangun atau
mendirikan sesuatu, senang membongkar pasang, senang membaca dan menggambar peta,
senang melihat pola-pola dunia disekelilingnya. Keempat, tipe kinestetis cirinya cebderung
mengekspresikan tubuhnya, menyukai bidang olah raga, mudah dan cepat mempelajari
keterampilan fisik serta suka bergerak sambil berfikir, mereka juga senang berakting. Kelima,
tipe musikal adalah anak yang memiliki kecerdasan dalam bermusik, biasanya senang
bernyanyi, senang mendengarkan musik, suka bersenandung sambil berfikir atau
mengerjakan tugas, mudah menangkap irama, mudah menangkap ketukan lagu, serta mampu
menciptakan dan mengaransemen lagu.
Keenam, interpersonal adalah seseorang yang memiliki kecerdasan dalam memahmi sesama
biasanya dia suka mengamati sesama, suka menolong, mudah bersimpati, mudah bergaul,
mengerti keinginan orang lain, pintar melucu, dan memilih berdamai dan musyawarah
daripada kekerasan. Ketujuh, intrapersonal adalah kecerdasan dalam memahami diri sendiri
biasanya lebih suka bekerja sendirian, percaya diri, tidak mudah menyerah, mudah menerka
bagaimana perasaan sesamanya hanya dengan mengamati mereka,sering menghabiskan
waktu hanya untuk merenungkan dalam-dalam tentang hal-hal yang penting baginya, dan
memiliki analisa yang unik dan berbeda. Kedelapan, naturalis merupakan seorang yang
memiliki kecerdasan dalam memahami alam biasanya menyukai perjalanan di alam terbuka,
suka memelihara hewan, memunyai rasa kecintaan dan kepedulian yang tinggi terhadap
lingkungan hidup. Kesembilan, spritual, anak dengan kesadaran hati, internalisasi nilai,
aktualisasi, dan keikhlasan. Misalnya menghayati batal dan haram dalam agama, toleransi,
sabar, tawakal. Kesepuluh, tipe ekstensial yang memliki keahlian pada berbagai masalah
pokok kehidupan dan aspek ekstensial manusia serta pengalaman mendalam terhadap
kehidupan.
Apabila kita memiliki potensi yang bagus dan kita tidak menggunakannya untuk belajar dan
memanfaatkannya untuk kehidupan kita maka percuma. Jika kita memiliki potensi yang
kurang bagus, harus sebisa mungkin diolah dan menanamkan keyakinan serta niat untuk
mendapatkan sesuatu. Dengan keyakinan sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin.
Dengan sedikit pengetahuan tentang kecerdasan yang berbeda, untuk mengembangkan bakat
seseorang perlu adanya sebuah pembinaan bakat guna mengembangkan bakat dan mintnya
sehingga potensi anak dapat terbentuk dengan baik.
Selama ini yang dimaksud kecerdasan masihlah kecerdasan dalam artian prestasi
akademik, dalam hal ini adalah kecerdasan Logis-Matematik dan Linguistik-Verbal.
Kecenderungan determinis ini memunculkan beberapa implikasi negatif. Pengikut dan
pengembang utama teori Gardner, Thomas Amstrong (Amstrong, 2011:62) menyatakan
setidaknya terdapat 12 implikasi negatif, yakni bahwa Wacana prestasi akademik: a)
Menimbulkan bidang-bidang yang terabaikan di kurikulum, yang merupakan bagian dari
pendidikan utuh yang diperlukan siswa guna meraih keberhasilan dan pemenuhan dalam
hidup, b) Mengakibatkan terjadinya pengabaian intervensi instruksional positif yang tidak
bisa dinilai oleh data dari penelitian ilmiah, c) Mendorong pengajaran hanya demi persiapan
menghadapi ujian, d) Mendorong siswa mencontek dan menjiplak, e) Mendorong manipulasi
hasil ujian oleh guru dan pegawai administrasi, f) Mendorong siswa menggunakan bahan-
bahan ilegal untuk membantu meningkatkan kinerja belajar, g) Memindahkan kendali
kurikulum dari pendidik di ruang kelas ke organisasi yang membuat standar dan ujian, h)
Menyebabkan tingkat stress yang berbahaya di kalangan pendidik dan siswa, i)
Meningkatkan kemungkinan siswa tinggal kelas dari tahun ke tahun dan keluar dari sekolah
sebelum lulus, j) Tidak memperhatikan perbedaan latar belakang budaya individu, gaya
belajar, kecepatan belajar, serta faktor penting lain dalam kehidupan anak sesungguhnya, k)
Memotong nilai hakikat belajar demi belajar itu sendiri, l) Makin menjamurnya praktik tak
layak di sekolah.
Paradigma tentang Prestasi Akademik dan Non-akademik
Selama ini memang ada pendapat salah kaprah yang patut untuk diluruskan, prestasi hanya
terletak pada bidang akademik saja. Padahal, prestasi di bidang non akademik juga patut
diperhitungkan. Semua ini harus disesuaikan dengan bakat dan potensi peserta didik.
Sebagian guru dan orang tua disudutkan pada perbedaan kehendak anak tentang sukses di
bidang akademik atau non-akademik. Mereka mempunyai kemauan jika sukses dalam bidang
akademik. Mereka justru jarang melandaskan pada kemampuan dan minat serta bakat yang
dimiliki anak. Mereka berfikiran apabila anak yang aktif di bidang non-akademik, khawatir
prestasi belajar akan menurun. Hal ini merupakan jenis orangtua yang memiliki pemikiran
yang kolot sekitar tahun 70-an yang akan menyesatkan masa depan sang anak. Mereka
berfikir tapi tak mengikuti perkembangan zaman. Sekeras apapun orangtua memaksakan
kehendaknya, masa depan seorang anak berada ditangannya sendiri dan dialah yang akan
menentukan apa yang dia inginkan dan bertanggung jawab dengan pilihannya tersebut.
Jika menengok di lingkungan sekolah sekitar kita, ada beberapa golongan anak yang
menyandang hal tersebut. Tipe pertama, bagi siswa yang hampir 75% lebih fokus terhadap
kegiatan akademiknya, mereka cenderung tidak menganggap penting kegiatan di luar
sekolah. Seperti saat mereka mengikuti ekstrakulikuler kegiatan itu hanya dianggap sebagai
peluntur kebijaksanaan sekolah saja. Tipe kedua, yaitu anak yang lebih cenderung ke non-
akademik. Biasanya anak yang tergolong tipe ini mereka mengabaikan akademiknya, sampai-
sampai ada siswa yang rela membolos atau mungkin dengan dalih dispensasi untuk bisa
mengikuti kegiatan non-akademik. Tipe ketiga, yaitu anak yang cederung pasif, baik di
bidang akademik ataupun non-akademiknya. Umumnya tipe semacam ini, siswa dapat
menyeimbangkan antara prestasi akademik dan non-akademiknya, tetapi siswa yang memiliki
tipe demikian, ini jarang ditemui.
Fungsi utama pendidikan yaitu mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan
optimal (Hadi, 2006). Tentunya hal ini bisa ditanggapi baik secara akademik maupun non-
akademik. Dalam bidang akademik misalnya, peserta didik dapat menjalani tes-tes
pengembangan kemampuan akademik. Sedangkan dalam bidang non-akademik, peserta didik
diberi wawasan dalam kehidupan yang berkaitan dengan pengembangan kepribadian.
Peningkatan kemampuan akademik peserta didik dapat dimulai dari sekolah terlebih pada
sekolah-sekolah unggulan. Hadi (2006) menyatakan bahwa kehadiran sekolah unggulan
merupakan jawaban terhadap tantangan global yang menuntut SDM unggul sekaligus
kompetitif. Unggul disini bisa diartikan unggul dalam segala bidang baik akademik maupun
non-akademik. Adanya tes TOEFL atau tes potensi pendidikan diharapkan mampu
mengembangkan potensi akademik peserta didik.
Pendidikan Akademik dan Non-akademik Mengantarkan Kesuksesan
Pendidikan akademik dan non-akademik memang sangat diperlukan. Diperlukannya hal
tersebut karena seiring dengan jenjang tingkatan pendidikan yang bertambah. Semestinya
pendidikan akademik dan non-akademik harus berjalan seimbang. Artinya di mana siswa
tidak dituntut untuk mengikuti kelas yang sudah ada dengan pelajaran yang banyak. Pada
sekolah-sekolah, adanya birokratisasi profesi guru juga menjadi salah satu faktor kurangnya
pengembangan potensi non-akademik peserta didik. Padahal tujuan dari ini adalah untuk
mengembangkan potensi siswa tidak hanya dalam bidang akademik saja melainkan pada
bidang non akademik, sehingga bakat maupun minat peserta didik dapat berkembang secara
optimal.
Potensi dibidang akademik dan non akademik dapat mengantarkan peserta didik berhasil
mengahadapi kehidupan nyata. Mereka tidak perlu berlomba-lomba untuk meraih nilai yang
baik, karena dengan adanya persepsi seperti itu mereka tidak akan siap ketika menghadapi
sebuah kehidupan dunia yang terus berubah bahkan kini perubahan itu sangat cepat.
Kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan, tetapi juga ditentukan
oleh kemampuan mengelola dirinya.
Berdasarkan penelitian di Harvard University (2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak
ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill), tetapi lebih
oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan,
kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft
skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung
kemampuan soft skill daripada hard skill.
Proses pendidikan merupakan perubahan pengetahuan, keterampilan, dan sikap seseorang.
Maka dari itu, pendidikan seharusnya menghasilkan output dengan kemampuan proporsional
antara hard skill dan soft skill. Selain karena kurikulum yang memiliki muatan soft skill yang
rendah dibanding muatan hard skill. Ketidakseimbangan antara soft skill dengan hard skill
dapat disebabkan oleh proses pembelajaran yang menekankan pada perolehan nilai hasil
ulangan maupun hasil ujian.
Berbicara tentang mutu pendidikan atau sekolah, sedikitnya dapat dilihat dari sisi guru, siswa,
dan pihak-pihak terkait, sistem/kurikulum, serta sarana prasarana. Kurikulum Indonesia saat
ini sudah banyak kelebihan beban, banyak pelajaran yang overlap dan overload. Jumlah mata
pelajaran yang diberikan terlalu banyak dan terlalu meluas, sehingga anak dituntut berfikir
terlalu keras.
Mengoptimalkan Pendidikan Akademik dan Non-akademik di Era Global
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak ujian. Namun, ujian-ujian
tersebut menonjolkan pelajaran akademik saja, siswa dituntut untuk bisa dan tuntas untuk
semua mata pelajaran. Hal ini membuat salah kaprah dari pihak sekolah maupun orang tua,
karena mereka hanya memperdulikan nilai rapor yang bagus. Mereka tidak memahami bahwa
yang diamalkan dan dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya sekedar teori
saja. Pihak sekolah kebanyakan mengartikannya kalau para pengajar harus menghabiskan
waktunya hanya untuk mengurusi nilai rapor. Peserta didik yang memiliki kompetensi yang
baik adalah memiliki nilai hasil ulangan atau ujian yang tinggi. Persepsi tersebut
menyebabkan guru terkungkung dalam proses pembelajaran yang konvensional. Wajar kalau
sampai saat ini belum ada perubahan menjadi lebih baik karena siswanya hanya dibekali teori
saja.
Dalam kurikulum Indonesia di mana siswa tidak dikelompokkan pada kelas yang disesuaikan
pada bakatnya sehingga siswa dituntut untuk mengikuti kelas yang sudah ada dengan
pelajaran yang banyak. Seharusnya kurikulum Indonesia ini lebih mengakomodir lagi
kecerdasan-kecerdasan unik yang dimiliki tiap siswa sehingga tidak terjadi penyeragaman.
Persoalan ini memang sering dipersoalkan dan patut untuk dipecahkan, seiring dengan
kebijakan pemerintah yang menjadikan UNAS (pelajaran akademik) sebagai tolak ukur
kelulusan.
Tuntutan akademis yang terlalu berlebihan ini membuat keceriaan dan senyum ramah yang
seharusnya menghiasi wajah anak-anak bangsa menghilang, dan berganti wujud menjadi
wajah-wajah sangar. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wajah pendidikan Indoensia saat
ini, lebih kepada pengajaran daripada kependidikan, sehingga outputnya sudah bergeser.
Orang tua murid sebagai pengguna sekolah untuk putar-putrinya tentu akan memakai tolak
ukur mutu sebagai salah satu kriteria sebelum memutuskan memilih sekolah. Orang tua
sejarang banyak yang menginginkan sekolah yang tidak hanya mengembangkan sisi
penguasaan akademis semata, tetapi juga yang memberi ruang pada pengembangan
kepribadian dan kreatifitas anak. Hal ini tentu dapat mewujudkan paradigma baru dalam
dunia pendidikan kita. Segala bentuk usaha demi kemajuan pendidikan Indonesia, dan demi
masa depan putra-putri kita, sedikit pun tidak akan ada yang sia-sia.
Kegiatan belajar-mengajar sudah seharusnya jangan hanya memfokuskan pada kemampuan
akademik semata. Sudah saatnya pengembangan kreativitas anak mendapat ruang yang
memadai di sekolah. Demikian juga dengan sistem yang masih menekankan pada hafalan-
hafalan, sudah seharusnya diubah dengan menitikberatkan pada analisis serta pengembangan
keterampilan dan kreativitas siswa. Sebab meminjam istilah Prof. Muchlas Samani, bahwa
pendidikan memang untuk hidup, bukan untuk mata pelajaran.
Saat di bangku SMA yang menekankan porsi pendidikan akademik harus lebih banyak sesuai
dengan jurusan yang mereka pilih ketika jenjang perguruan tinggi. Pada permasalahan
penyelenggaraan UNAS di Indonesia, semestinya ketika peserta didik mempunyai keinginan
ataupun pilihan jurusan di perguruan tinggi, berikanlah soal-soal UNAS yang cocok dengan
keinginan mereka. Misalnya, ketika seorang anak ingin masuk jurusan musik, berikanlah tes
UNAS yang pertanyaannya seputas musik, jangan di beri soal Fisika, Kimia, ataupun
Akuntansi. Berikanlah ruang yang sedikit lebih luas agar peserta didik bisa mengeksplorasi
bakat yang mereka miliki dengan maksimal dan tidak mengekang mereka dalam mengambil
sebuah keputusan. Selain itu, melatih mereka untuk bertanggungjawab atas pilihan mereka
dalam hidupnya. Ketika seorang anak diberikan kesempatan untuk mengambil sebuah
keputusan, maka mereka akan lebih bertanggungjawab. Dari sini Indonesia memiliki banyak
penerus bangsa yang cerdas dan berpotensi.
Upaya pengembangan potensi non-akademik peserta didik masih kurang terlebih di
perguruan tinggi yang diharapkan lulusannya mampu berdaya saing di era global. Isnandar
(2006) menyatakan bahwa kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia sedikit yang
menghasilkan lulusan yang berdaya saing bangsa sehingga malah menambah angka
pengangguran di Indonesia. Dari sini patut dipikirkan lebih jauh upaya-upaya yang dapat
mengoptimalkan potensi peserta didik secara seimbang antara bidang akademik dan non-
akademik. Dalam Era Globalisasi saat ini semua bangsa dihadapkan pada suatu persaingan.
Untuk itu setiap bangsa harus memiliki daya tawar yang tinggi, memiliki keunggulan
komparatif antar negara.
Pendidikan yang bermutu diharapkan dapat menghasilkan keunggulan Sumber Daya
Manusia, tidak hanya dari aspek akademik, tetapi juga dalam aspek: seni, olahraga, disiplin
dan keterampilan untuk dapat hidup dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan
cepat. Dalam konteks tujuan pendidikan, manusia yang unggul adalah manusia yang cerdas,
baik dalam bidang kecerdasan spiritual, intelektual dan sosio-emosional (UU 20 tahun 2003).
Manusia yang seperti inilah diharapkan dapat eksis dalam dunia yang sedang berubah dan
mampu mencapai keunggulan pada era global. Dengan pengoptimalan potensi pada peserta
didik, diharapkan akan terbentuk generasi unggul yang dapat berdaya saing secara global
sehingga mampu melahirkan keadaan yang lebih baik bagi kehidupan di negara ini.
Untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki peserta didik di sekolah juga harus didukung
oleh faktor eksternal, seperti sarana prasarana, pengajar yang kreatif, serta sistem/kurikulum.
Sarana prasarana sekolah seperti gedung dan kelas sebaiknya dirancang yang bisa membuat
peserta didik nyaman dan mudah untuk mengeksplor bakatnya di bidang akademik maupun
non akademik. Para guru harus lebih kreatif dan inovatif dalam menciptakan proses belajar
mengajar yang berpusat pada siswa. Para guru dalam mendidik juga harus lebih
mengedepankan pendekatan hati, dan menciptakan pembelajaran yang menyenangkan
(joyfull learning). Sistem pembelajaran joyfull learning ini bisa dijadikan alternatif
menyingkapi beratnya kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, pembelajaran
semestinya memperhatikan tingkat perkembangan anak. Janganlah kita sampai merampas apa
yang menajdi hak mereka. Berikanlah ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan
pribadi yang lebih baik atau bernilai melalui proses pembelajaran.







DAFTAR RUJUKAN
Akhnayzz. 2011. Pengertian Peserta Didik. http://satulagi.com/education/pengertian-peserta-
didik
Amstrong, Thomas (2011). The Best School; Mendidik Siswa Menjadi Insan Cendekia
Seutuhnya (terj). Bandung: Kaifa.
Farizi. 2011. Potensi Diri. http://sasuke-farizi.abatasa.com/post/detail/5360/potensi-diri
Gardner, Howard. 2003. Multiple Intelegences. Jakarta: Interaksara
Hadi, Djajusman. 1 Maret, 2006. Menyiapkan Sekolah Unggulan. Jawa Pos.
Hilman, Anjaz. SH. 2012. Potensi Kecerdasan Anak.
http://sites.google.com/site/anjazhilman/paedagogi-1. di akses tanggal 4 April 2012 pukul
22.50.
MT, Isnandar. 25 Maret, 2006. Menggugat Perguruan Tinggi. Jawa Pos.
Munandar, U. (1997). Mengembangkan Inisiatif dan Kreativitas Anak. Dalam Jurnal
Psikologika, 2, (II), 31-42.
Munandar, utami. 2011. Mengembangkan Bakat Anak. http://blog.tp.ac.id/mengembangkan-
bakat-anak
Pataka. 2005. Dunia Pendidikan Menengah Nasional Mensikapi Tantangan Jaman.
http://www.pataka.net/2005/05/02/dunia-pendidikan-menengah-nasional-mensikapi-
tantangan-jaman-2/
Sumarno, Ali. 2011. Memahami 9 Tipe Kecerdasan Jamak.
http://blog.elearning.unesa.ac.id/alim-sumarno/memahami-9-tipe-kecerdasan-jamak. Diakses
tanggal 4 April 2012 pukul 22.33.

You might also like