POTENSI AKADEMIK DAN NON-AKADEMIK PERLU DIKEMBANGKAN SECARA
SEIMBANG DI ERA GLOBAL
06-08-2012 17:54:57, pada Umum Oleh: Faridatul Mardlotillah Guru Bahasa Indonesia di SMP Muhammadiyah 5 Bungah
Abstrak: Kesuksesan terbentuk karena adanya potensi-potensi yang ada dalam diri seseorang. Potensi tersebut sudah terbentuk dalam diri manusia sejak awal, tinggal bagaimana cara untuk membangunnya. Dengan mengembangkan potensi dapat menjadikan seseorang meraih kesuksesan dan dengan memiliki potensi pula akan menghasilkan karya yang berkualitas. Dalam kehidupan ini potensi sangat penting, dengan potensi yang dimiliki seseorang maka seseorang tersebut akan mempunyai pengembangan diri secara optimal. Bagi seorang siswa potensi akademik dan non akademik akan lebih bermakna dalam tugas perkembangannya apabila pengelolaan, pengembangan dan peningkatan dalam kreativitas. Kegiatan akademik perlu diimbangi oleh kegiatan non-akademik yang saling menunjang dan berjalan secara beriringan. Kegiatan non-akademik ini bisa berupa kegiatan olahraga atau kegiatan seni. Potensi dibidang akademik dan non akademik dapat mengantarkan peserta didik berhasil menghadapi kehidupan nyata. Pendidikan yang bermutu diharapkan dapat menghasilkan keunggulan Sumber Daya Manusia, tidak hanya dari aspek akademik, tetapi juga dalam aspek: seni, olahraga, disiplin dan keterampilan untuk dapat hidup dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan cepat. Untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki peserta didik di sekolah juga harus didukung oleh faktor eksternal, seperti sarana prasarana, pengajar yang kreatif, serta sistem/kurikulum. Dengan pengoptimalan potensi pada peserta didik, diharapkan akan terbentuk generasi unggul yang dapat berdaya saing secara global sehingga mampu melahirkan keadaan yang lebih baik bagi kehidupan di negara ini. Kata kunci: potensi, akademik, non akademik
Abstract: Formed due to the success of the potentials that exist in a person. This potential has been established in humans since the beginning, just how to build it. By developing the potential to make a person achieve success and will also have the potential to produce quality work. Potential in this life is very important, with the potential of such a person then someone will have an optimal self-development. For a student's academic and non academic potential will be more meaningful in its development when the task management, development and improvement in creativity. Academic activities need to be offset by non-academic activities that support each other and run in tandem. Non-academic activities are either sports or arts activities. Potential field of academic and non academic learners can deliver successfully deal with real life. Quality education is expected to generate benefits of Human Resources, not only from the academic aspect, but also in terms of: arts, sports, disciplines and skills to be able to live in a society that is undergoing rapid change. To optimize the potential of learners in school should also be supported by external factors, such as infrastructure, creative teaching, as well as system / curriculum. By optimizing the potential of the learners, are expected to be formed which could lead generation globally competitive so that could produce better conditions for life in this country. Key words: potential, academic, non academic
Pendahuluan Pada dasarnya, pengajar hanya mampu melakukan orientasi sebatas prestasi akademik, suatu target yang berbentuk indeks prestasi fisik. Kreatifitas dan inovasi dengan sendirinya terpasung, siswa hanya difokuskan pada penerimaan materi baku dan tidak ada yang peduli dengan perkembangan kepribadiannya. Akibatnya produk pendidikan menengah hanya mampu memahami hal-hal yang baku dan bersifat umum / normatif / tekstual. Mereka tidak dapat memahami substansi dan korelasi serta tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya ke dunia nyata. Itu baru aspek kognitif, intelektual, (IQ) bagaimana pula dengan pembinaan psikologis dan sosialnya atau yang populer disebut sebagai Emotional Quality (EQ) ? Padahal kedua hal tersebut harus berjalan seimbang bahkan EQ lebih berperan dalam pembentukan pribadi yang utuh. Jika IQ bisa ditingkatkan setiap saat dengan cara belajar berkelanjutan maka sangat berbeda dengan EQ yang perkembangannya dimulai sejak usia dini dan sangat menentukan pada masa pertumbuhan (remaja) dan justru akan berhenti pada saat manusia mencapai usia dewasa. Justru dunia pendidikan kita hanya berorientasi pada IQ sedangkan EQ yang seharusnya menjadi prioritas malah diabaikan. Tidak heran bila generasi muda kita selalu mengalami masalah dalam pembentukan pribadi, selalu mencari jati diri dan kesulitan dalam mengekspresikan dirinya secara bebas. Di sisi lain sistem pendidikan nasional yang hanya berorientasi pada prestasi akademik justru menjadi kontra produktif karena menimbulkan rasa frustasi bagi peserta didik. Tekanan prikologis diberikan oleh sekolah, lingkungan dan keluarga untuk mendorong siswa memenuhi target akademis dan hal itu dianggap sebagai satu-satunya ukuran prestasi dan stempel identitas. Tidak ada ruang bagi peserta didik untuk menggali potensi non akademik yang sesungguhnya berperan lebih besar terhadap pembentukan karakter sebagai manusia yang utuh. Nilai kemanusiaan siswa saat ini hanya dihargai oleh selembar NEM atau Rapor. Dalam banyak kasus kita jumpai betapa orang tua memaksakan anaknya mengikuti berbagai kegiatan (kursus) yang lebih banyak berorientasi akademis dan membatasi semua hal yang tidak berhubungan dengan kegiatan akademis. Termasuk semua kegiatan ekstra kurikuler yang menjadi tempat bagi individu siswa, sebagai manusia, untuk bersosialisasi secara sehat (psikologis) dengan sebaya, alam, lingkungan dan masyarakat. Suatu media bagi pembelajaran nilai moral dan kemanusiaan dimana siswa akan dapat menemukan jati diri dan membentuk karakter sesungguhnya. Inilah ruangan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi dan ekspresi seluruh potensi dirinya dengan kehendak bebas. Tidak ada yang lain selain dirinya sendiri, suatu kesadaran yang mahal dan sulit diperoleh di masa sekarang. Semestinya seorang pendidik tidak hanya fokus pada masalah akademik namun juga pengembangan pribadi dan penggalian potensi siswa. Seorang pendidik harus punya perhatian yang cukup, keahlian dan wawasan yang luas sehingga pantas dijadikan panutan. Kesejahteraan seorang pendidik adalah masalah kunci yang harus diselesaikan agar pendidik dapat berkonsentrasi pada bidangnya dan memiliki kemampuan untuk terus mengembangkan dirinya. Seorang pendidik memiliki sifat sebagai profesional, pengayom sekaligus pembimbing. Dalam paradigma pendidikan, tidak ada lagi batasan antara guru dan murid, dimana guru serba benar dan otoriter sedang murid nrimo tanpa boleh berbeda pandangan atau pendapat. Fakta menunjukkan SDM Indonesia ternyata sangat lemah. Padahal di era globalisasi dan abad informasi yang penuh dengan ketidakpastian dan persaingan, hanya SDM berkualitas yang bisa diandalkan untuk tetap survive. Bahkan bangsa ini telah mengalami krisis moral, kepercayaan dan identitas. Untuk menghadapi era informasi dan globalisasi dimana terjadi perubahan radikal dalam peradaban manusia, diperlukan pensikapan dan pemahaman terhadap perubahan. Artinya dunia pendidikan, sebagai tulang punggung pengelolaan dan pengembangan SDM, harus mau meninggalkan status quo dan belajar mengadopsi berbagai paradigma baru. Dari penjelasan di atas muncul pertanyaan, mampukah peserta didik Indonesia mengoptimalkan potensi akademik dan non akademik di era global?
Pembahasan Pada dasarnya setiap manusia memiliki kekuatan dan potensi masing-masing. Tapi sampai saat ini masih banyak yang belum menyadari potensi di dalam dirinya sendiri. Padahal potensi setiap orang sangat menunjang kesuksesan hidupnya jika diasah dengan baik. Potensi merupakan sesuatu yang luar biasa, potensi dimanfaatkan untuk mengembangkan diri dan belajar banyak hal untuk menjadi orang yang berguna. Tuhan memberikan berbagai potensi yang ada dalam diri setiap manusia. Manusia itu unik, sehingga kita tidak perlu mengeluh karena tidak memiliki bakat sepak bola seperti Lionel Messi, atau suara emas seperti Whitney Houston, karena di dalam diri kita ada potensi lain yang luar biasa. Tugas utama kita adalah mengenali potensi tersebut lalu mengolahnya melalui proses yang baik dan benar sehingga memberikan hasil yang luar biasa. Pada zaman, ada seorang pemahat yang terkenal karena banyak menghasilkan karya seni rupa yang banyak dan berkualitas seni tinggi. Seorang temannya bertanya, bagaimana cara anda membentuk karya-karya itu? si pemahat itu pun menjawab: Saya tidak membentuknya. Pada dasarnya bentuk-bentuk itu sudah ada di dalam batu yang saya pahat. Saya hanya menyingkirkan bagian-bagian yang menutup bentuk sesungguhnya. Kalau boleh dibandingkan, agaknya tugas seorang pendidik tidak jauh berbeda dengan si pemahat ini. Jika si pemahat dituntut menghasilkan karya yang berkualitas, seorang pendidik juga dituntut menghasilkan peserta didik yang berkualitas. Bedanya, dari sisi bahan dan alatnya. Kalau si pemahat membentuk karya dari batu atau kayu, maka guru mengolah manusia, yakni siswa. Kalu si pemahat menggunakan besi, maka guru menggunakan buku. Sebagaimana prinsip si pemahat, guru juga perlu memahami bahwa ia tidak bisa sepenuhnya membentuk siswa tanpa menyadari bentuk (potensi, bakat, karakter) itu sudah dibangun dalam diri siswa. Seorang guru tidak bisa serta-merta menjadikan seorang siswa sukses mengembangkan potensinya tanpa memahami bahwa kesuksesan seorang siswa adalah sebuah potensi yang harus diwujudkan. Jika si pemahat menyingkirkan batu dan kayu yang menghalangi bentuk karya akhir, maka tugas seorang guru adalah menyingkirkan hambatan yang menghalangi munculnya potensi itu dalam diri siswa. Jika si pemahat memahami bentuk akhir karya melalui serangkaian proses imajinatif, maka bagi kita seorang guru harus mengerti baik secara ilmiah maupun keseharian. Begitu guru yakin bagaimana seharusnya seorang siswa itu jadi maka harus dilakukan pemahatan yakni menghilangkan penghalang potensi. Hal ini adalah subtansi suatu proses pendidikan. Karena jika tidak, maka semua proses yang kita lakukan tidak berguna bagi siswa. Pihak sekolah harus memahami bagaimana membentuk kesuksesan dari potensi masing-masing siswa yang unik, sehingga ada gunanya pendidikan dijalankan. Pendekatan-pendekatan Peserta Didik dalam Hubungannya dengan Potensi yang Dimilikinya Menurut Akhnayzz (2011), peserta didik adalah komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Sebagai suatu komponen pendidikan, peserta didik dapat ditinjau dari berbagai pendekatan, antara lain: pendekatan sosial, pendekatan psikologis, dan pendekatan edukatif/pedagogis. Pertama, pendekatan sosial. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang sedang disiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang lebih baik. Sebagai anggota masyarakat, dia berada dalam lingkungan keluarga, masyarakat sekitarnya, dan masyarakat yang lebih luas. Peserta didik perlu disiapkan agar pada waktunya mampu melaksanakan perannya dalam dunia kerja dan dapat menyesuaikan diri dari masyarakat. Kehidupan bermasyarakat itu dimulai dari lingkungan keluarga dan dilanjutkan di dalam lingkungan masyarakat sekolah. Dalam konteks inilah, peserta didik melakukan interaksi dengan rekan sesamanya, guru-guru, dan masyarakat yang berhubungan dengan sekolah. Dalam situasi inilah nilai-nilai social yang terbaik dapat ditanamkan secara bertahap melalui proses pembelajaran dan pengalaman langsung. Kedua pendekatan Psikologis. Peserta didik adalah suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang. Peserta didik memiliki berbagai potensi manusiawi, seperti: bakat, inat, kebutuhan, sosial-emosional-personal, dan kemampuan jasmaniah. Potensi-potensi itu perlu dikembangkan melalui proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah, sehingga terjadi perkembangan secara menyeluruh menjadi manusia seutuhnya. Perkembangan menggambarkan perubahan kualitas dan abilitas dalam diri seseorang, yakni adanya perubahan dalam struktur, kapasitas, fungsi, dan efisiensi. Perkembangan itu bersifat keseluruhan, misalnya perkembangan intelegensi, sosial, emosional, spiritual, yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Ketiga, pendekatan edukatif/pedagogis. Pendekatan pendidikan ini menempatkan peserta didik sebagai unsur penting, yang memiliki hak dan kewajiban dalam rangka sistem pendidikan menyeluruh dan terpadu. Awal Lahirnya Potensi Anak Kesuksesan terbentuk karena adanya potensi-potensi yang ada dalam diri seseorang. Potensi tersebut sudah terbentuk dalam diri manusia sejak awal, tinggal bagaimana cara untuk membangunnya. Dengan mengembangkan potensi dapat menjadikan seseorang meraih kesuksesan dan dengan memiliki potensi pula akan menghasilkan karya yang berkualitas. Namun, munculnya potensi tentu ada faktor yang menghalangi diri seseorang. Hambatan itu bisa berupa hambatan fisik (keterbatasan fisik, cacat, dll), hambatan psikologi (malas, tidak percaya diri, ketergantungan), atau hambatan sistem (metode, cara, dll). Sejak usia dini, anak memiliki potensi yang sangat besar. Menurut Munandar (2011), seorang pakar kreativitas Indonesia, kapasitas otak anak pada usia 6 bulan sudah mencapai sekitar 50% dari keseluruhan potensi orang dewasa. Otak seorang anak ternyata sangat luar biasa. Pada masa ini, anak mengalami perkembangan intelektual otak yang sangat cepat. Tingkat perkembangan intelektual otak anak, sejak lahir sampai usia 4 tahun mencapai 50%. Oleh karena itu, pada masa 4 tahun pertama ini sering disebut juga sebagai Golden Age (Masa Keemasan), karena si anak mampu menyerap dengan cepat setiap rangsangan yang masuk. Untuk memberikan motivasi, pendidik perlu mengenali ciri-ciri peserta didik. Keberbakatan menurut Renzulli meliputi tiga cluster, yaitu kemampuan umum yang tergolong di atas rata- rata (above average ability), kreativitas yang kaya (creativity), dan pengikatan diri dari tugas (task commitment). Seorang anak berbakat biasanya mudah dikenali, karena berbeda dan memiliki kelebihan dibanding dengan anak-anak sebayanya. Anak yang memiliki kreativitas tinggi biasanya memiliki ciri-ciri: punya rasa ingin tahu yang besar, aktif dan giat bertanya serta tanggap terhadap suatu pertanyaan, selalu ingin mengenali sesuatu, cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan, berdedikasi yang tinggi dan aktif dalam menjalani tugas, mempunyai daya imajinasi dan abstraksi yang baik, emmiliki rasa percaya diri yang tinggi dan mandiri. Munandar (2011) juga mengemukakan bahwa kondisi yang menunjang perkembangan kreativitas dan penuntun umum untuk mengembangkan kreativitas anak didik. Strategi yang digunakan untuk mengembangkan kreativitas adalah 4 P, yaitu dilihat dari segi pribadi, pendorong, proses, dan produk. Kreativitas ditinjau dari segi pribadi menunjuk pada potensi atau daya kreatif yang ada pada setiap pribadi, anak maupun orang dewasa. Pada dasarnya setiap orang memiliki bakat kreatif dengan derajat dan bidang yang berbeda-beda. Untuk dapat mengembangkan kreativitas anak, pertama-tama perlu mengenal bakat kreatif pada anak, menghargai dan memberi kesempatan serta dorongan untuk mewujudkannya. Agar kreativitas dapat berkembang memerlukan dorongan atau pendorong dari dalam sendiri dan dari luar. Pendorong yang datangnya dari diri sendiri, berupa hasrat dan motivasi yang kuat untuk berkreasi, sedangkan yang dari luar misalnya keluarga, sekolah, dan lingkungan. Sedangkan kreativitas sebagai proses, dapat dirumuskan sebagai suatu bentuk pemikiran dimana individu berusaha menemukan hubungan-hubungan yang baru untuk mendapatkan jawaban, metode atau cara-cara baru dalam menghadapi suatu masalah. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Potensi Potensi yang dimiliki peserta didik hendaknya mendapat perhatian dan dorongan, sehingga mereka dapat mengembangkan potensi tersebut dengan produk kreativitas yang bermakna dan bermanfaat bagi dirinya, keluarga, sekolah, serta lingkungan. Salah satu karakteristik penting dari individu yang perlu difahami oleh guru sebagai pendidik adalah bakat dan kecerdasan individu. Guru yang tidak memahami kecerdasan anak didik akan memiliki kesulitan dalam memfasilitasi proses pengembangan potensi individu menjadi yang dicita-citakan. Generalisasi terhadap kemampuan dan potensi individu memberikan dampak negatif yaitu siswa tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan secara optimal potensi yang ada pada dirinya. Akibat penanganan salah seperti yang dilakukan oleh sistem persekolahan saat ini kita telah kehilangan bakat-bakat cemerlang. Individu-individu yang cerdas tidak dapat mengembangkan potensi diri mereka secara optimal. Potensi tersebut bisa saja terlihat jelas dan bisa pula terpendam dalam diri masing manusia. Sebagai contoh seorang anak yang gemar dengan segala hal yang berbau hitungan atau bidang-bidang eksak kemungkinan besar memiliki potensi diri dalam bidang tersebut. Atau juga seorang anak yang gemar dan pintar bermain sebuah alat musik tentu memiliki potensi dan kecenderungan dalam bidang seni. Oleh karena faktor-faktor tersebut, pengembangan potensi diri haruslah dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. Hal yang dimaksudkan di sini (Farisi, 2011) adalah bahwa faktor-faktor pendukung pengembangan potensi diri tidaklah sebatas faktor pendorong yang berasal dari dalam diri saja, misalnya motivasi, kesadaran diri dan ketekunan namun juga harus diikuti dengan faktor pendorong dari luar seperti fasilitas, perhatian, support dan sebagainya. Di samping itu hal yang tidak boleh dilupakan dalam proses pengembangan diri adalah kesinambungan dalam pelaksanaannya. Potensi diri tidaklah selalu terlihat secara jelas dari diri seseorang. Bisa saja seseorang mempunyai potensi yang luar biasa dalam satu bidang namun dia maupun orang di sekitarnya tidak menyadari akan hal tersebut. Misalnya seorang anak yang mempunyai bakat yang luar biasa dalam bidang olaharaga namun dia kurang memperhatikan hal tersebut dan kurang mengekspos dirinya dalam bidang keolahragaan. Hal ini merupakan masalah utama yang dihadapi oleh seseorang dalam pengembangan potensi dirinya. Menurut Farizi (2011), jika ditinjau dari segi atau sudut pandang datangnya hambatan, masalah tersebut dapat diklasifikasikan ke faktor penghambat yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri atau disebut juga faktor penghambat intern. Untuk masalah yang berasal dari dalam diri, penyelesaian dari masalah itu harus datang dari dalam diri kita sendiri. Misalnya anak yang telah disebutkan di atas yang sebenarnya memiliki bakat yang spesial dalam bidang olahraga, seharusnya berusaha mencari potensi dari dalam dirinya melalui introspeksi diri dan pengenalan diri lebih dalam. Selain faktor penghambat intern, terdapat juga apa yang disebut dengan faktor penghambat ekstern. Faktor ini sudah tentu merupakan kebalikan dari faktor penghambat intern yang telah diuraikan di atas. Faktor ini berasal bukan dari dalam diri kita melainkan datang dari luar. Misalnya lingkungan, atau komunitas dimana kita hidup, maupun aspek ekonomi dan pendidikan. Pengembangan Potensi harus secara Optimal Dalam kehidupan ini potensi sangat penting, dengan potensi yang dimiliki seseorang maka seseorang tersebut akan mempunyai pengembangan diri secara optimal. Bagi seorang siswa potensi akademik dan non akademik akan lebih bermakna dalam tugas perkembangannya apabila pengelolaan, pengembangan dan peningkatan dalam kreativitas. Pada umumnya di sekolah tradisional, pengembangan potensi siswa dibedakan dalam dua kelompok besar: akademik dan non-akademik, dengan pengelolaan pengembangan potensi non-akademik diwadahi dalam kegiatan ekstrakurikuler. Meski sekolah menawarkan beragam ekstrakurikuler, namun sangat mungkin ada jenis-jenis potensi yang tidak terwadahi mengingat keterbatasan kemampuan sekolah dalam memfasilitasi potensi itu. Akibatnya siswa terpaksa memilih kegiatan pengembangan diri yang mungkin tidak sesuai dengan bakatnya. Konsekuensi negatifnya ada dua: dari sisi siswa ia kehilangan momen untuk mulai mengeksplorasi bakat, dari sisi penyelenggaraan siswa seperti ini hanya akan menghambat temannya yang lain. Seorang pendidik dituntut untuk menghasilkan peserta didik yang berkualitas, guru harus memahami bahwa siswa tidak bisa menyadari bahwa potensi sudah dibentuk sejak awal (dalam bidang akademik dan non-akademik). Seorang guru tidak serta merta menjadikan seorang siswa sukses mengembangkan potensinya tanpa memahami bahwa kesuksesan seorang siswa adalah sebuah potensi yang harus diwujudkan. Guru juga harus yakin bagaimana siswa itu bisa menghilangkan penghalang potensi mereka. Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses pengembangan potensi individu. Melalui pendidikan, potensi yang dimiliki oleh individu akan diubah menjadi kompetensi. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan memainkan peranan penting untuk mengakomodasi kemampuan akademik dan nonakademik generasi bangsa. Karena pentingnya pendidikan itulah, dicantumkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Sebagai sebuah hak, pendidikan berarti boleh dituntut pemenuhannya. Setiap anak memiliki bakat dan potensi yang berbeda. Prestasi di bidang apapun harus didukung. Dengan memiliki potensi yang berbeda itu, tentu memiliki keunikan yang berbeda- beda pula. Potensi timbul karena adanya kecerdasan untuk mengembangkan dan memanfaatkannya dengan baik. Kemampuan untuk mendayagunakan segenap potensi tersebutlah yang lazim dikenal sebagai suatu kecerdasan. Anita Lie mengatakan bahwaManusia dikaruniai kecerdasan yang berbeda-beda satu dengan yang lain agar bisa saling bekerja sama dan melengkapi. Di dalam Surat At-Tin ayat 4 menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk sempurna. Setiap manusia dilahirkan dengan akal fikiran sehingga ia dapat berfikir untuk memanfaatkan isi bumi dengan membangun bangunan yang tinggi mengambil isi bumi untuk diambil manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan. Setiap manusia yang dilahirkan memiliki kecerdasan di bidang yang berbeda dengan tingkat yang berbeda-beda pula. Kecerdasan merupakan serangkaian kemampuan dan keterampilan yang dapat dikembangkan selagi seseorang mau belajar dan menambah. Perlu diketahui menurut Gardner (2003) mengungkapkan bahwa kecerdasan bukanlah sesuatu yang bersifat tetap, dan bukanlah unit terdiri dari satu jenis saja. Gardner (dalam Sumarno: 2011) menyebutkan ada 8 jenis kecerdasan yang kemudian berkembang menjadi 9 jenis kecerdasan yang dimiliki setiap individu. Pertama, kecerdasan linguistik cirinya adalah senang mendeskpripsikan sebuah kejadian melalui tulisan, pkitai bercerita, senang menulis kreatif, menyukai kalimat yang mengandung kata-kata unik. Kedua, kecerdasan di matematika logis cirinya memiliki ketertarikan terhadap angka-angka, menyukai pelajaran ilmu pengetahuan, suka memecahkan misteri, dan senang berhitung. Ketiga, tipe spasial adalah anak yang yang suka menggambarkan ide-idenya atau membuat sketsa untuk membantunya menyelesaikan masalah, berfikir dalam bentuk gambar-gambar serta mudah melihat berbagai objek dalam benaknya, dia juga senang membangun atau mendirikan sesuatu, senang membongkar pasang, senang membaca dan menggambar peta, senang melihat pola-pola dunia disekelilingnya. Keempat, tipe kinestetis cirinya cebderung mengekspresikan tubuhnya, menyukai bidang olah raga, mudah dan cepat mempelajari keterampilan fisik serta suka bergerak sambil berfikir, mereka juga senang berakting. Kelima, tipe musikal adalah anak yang memiliki kecerdasan dalam bermusik, biasanya senang bernyanyi, senang mendengarkan musik, suka bersenandung sambil berfikir atau mengerjakan tugas, mudah menangkap irama, mudah menangkap ketukan lagu, serta mampu menciptakan dan mengaransemen lagu. Keenam, interpersonal adalah seseorang yang memiliki kecerdasan dalam memahmi sesama biasanya dia suka mengamati sesama, suka menolong, mudah bersimpati, mudah bergaul, mengerti keinginan orang lain, pintar melucu, dan memilih berdamai dan musyawarah daripada kekerasan. Ketujuh, intrapersonal adalah kecerdasan dalam memahami diri sendiri biasanya lebih suka bekerja sendirian, percaya diri, tidak mudah menyerah, mudah menerka bagaimana perasaan sesamanya hanya dengan mengamati mereka,sering menghabiskan waktu hanya untuk merenungkan dalam-dalam tentang hal-hal yang penting baginya, dan memiliki analisa yang unik dan berbeda. Kedelapan, naturalis merupakan seorang yang memiliki kecerdasan dalam memahami alam biasanya menyukai perjalanan di alam terbuka, suka memelihara hewan, memunyai rasa kecintaan dan kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup. Kesembilan, spritual, anak dengan kesadaran hati, internalisasi nilai, aktualisasi, dan keikhlasan. Misalnya menghayati batal dan haram dalam agama, toleransi, sabar, tawakal. Kesepuluh, tipe ekstensial yang memliki keahlian pada berbagai masalah pokok kehidupan dan aspek ekstensial manusia serta pengalaman mendalam terhadap kehidupan. Apabila kita memiliki potensi yang bagus dan kita tidak menggunakannya untuk belajar dan memanfaatkannya untuk kehidupan kita maka percuma. Jika kita memiliki potensi yang kurang bagus, harus sebisa mungkin diolah dan menanamkan keyakinan serta niat untuk mendapatkan sesuatu. Dengan keyakinan sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Dengan sedikit pengetahuan tentang kecerdasan yang berbeda, untuk mengembangkan bakat seseorang perlu adanya sebuah pembinaan bakat guna mengembangkan bakat dan mintnya sehingga potensi anak dapat terbentuk dengan baik. Selama ini yang dimaksud kecerdasan masihlah kecerdasan dalam artian prestasi akademik, dalam hal ini adalah kecerdasan Logis-Matematik dan Linguistik-Verbal. Kecenderungan determinis ini memunculkan beberapa implikasi negatif. Pengikut dan pengembang utama teori Gardner, Thomas Amstrong (Amstrong, 2011:62) menyatakan setidaknya terdapat 12 implikasi negatif, yakni bahwa Wacana prestasi akademik: a) Menimbulkan bidang-bidang yang terabaikan di kurikulum, yang merupakan bagian dari pendidikan utuh yang diperlukan siswa guna meraih keberhasilan dan pemenuhan dalam hidup, b) Mengakibatkan terjadinya pengabaian intervensi instruksional positif yang tidak bisa dinilai oleh data dari penelitian ilmiah, c) Mendorong pengajaran hanya demi persiapan menghadapi ujian, d) Mendorong siswa mencontek dan menjiplak, e) Mendorong manipulasi hasil ujian oleh guru dan pegawai administrasi, f) Mendorong siswa menggunakan bahan- bahan ilegal untuk membantu meningkatkan kinerja belajar, g) Memindahkan kendali kurikulum dari pendidik di ruang kelas ke organisasi yang membuat standar dan ujian, h) Menyebabkan tingkat stress yang berbahaya di kalangan pendidik dan siswa, i) Meningkatkan kemungkinan siswa tinggal kelas dari tahun ke tahun dan keluar dari sekolah sebelum lulus, j) Tidak memperhatikan perbedaan latar belakang budaya individu, gaya belajar, kecepatan belajar, serta faktor penting lain dalam kehidupan anak sesungguhnya, k) Memotong nilai hakikat belajar demi belajar itu sendiri, l) Makin menjamurnya praktik tak layak di sekolah. Paradigma tentang Prestasi Akademik dan Non-akademik Selama ini memang ada pendapat salah kaprah yang patut untuk diluruskan, prestasi hanya terletak pada bidang akademik saja. Padahal, prestasi di bidang non akademik juga patut diperhitungkan. Semua ini harus disesuaikan dengan bakat dan potensi peserta didik. Sebagian guru dan orang tua disudutkan pada perbedaan kehendak anak tentang sukses di bidang akademik atau non-akademik. Mereka mempunyai kemauan jika sukses dalam bidang akademik. Mereka justru jarang melandaskan pada kemampuan dan minat serta bakat yang dimiliki anak. Mereka berfikiran apabila anak yang aktif di bidang non-akademik, khawatir prestasi belajar akan menurun. Hal ini merupakan jenis orangtua yang memiliki pemikiran yang kolot sekitar tahun 70-an yang akan menyesatkan masa depan sang anak. Mereka berfikir tapi tak mengikuti perkembangan zaman. Sekeras apapun orangtua memaksakan kehendaknya, masa depan seorang anak berada ditangannya sendiri dan dialah yang akan menentukan apa yang dia inginkan dan bertanggung jawab dengan pilihannya tersebut. Jika menengok di lingkungan sekolah sekitar kita, ada beberapa golongan anak yang menyandang hal tersebut. Tipe pertama, bagi siswa yang hampir 75% lebih fokus terhadap kegiatan akademiknya, mereka cenderung tidak menganggap penting kegiatan di luar sekolah. Seperti saat mereka mengikuti ekstrakulikuler kegiatan itu hanya dianggap sebagai peluntur kebijaksanaan sekolah saja. Tipe kedua, yaitu anak yang lebih cenderung ke non- akademik. Biasanya anak yang tergolong tipe ini mereka mengabaikan akademiknya, sampai- sampai ada siswa yang rela membolos atau mungkin dengan dalih dispensasi untuk bisa mengikuti kegiatan non-akademik. Tipe ketiga, yaitu anak yang cederung pasif, baik di bidang akademik ataupun non-akademiknya. Umumnya tipe semacam ini, siswa dapat menyeimbangkan antara prestasi akademik dan non-akademiknya, tetapi siswa yang memiliki tipe demikian, ini jarang ditemui. Fungsi utama pendidikan yaitu mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan optimal (Hadi, 2006). Tentunya hal ini bisa ditanggapi baik secara akademik maupun non- akademik. Dalam bidang akademik misalnya, peserta didik dapat menjalani tes-tes pengembangan kemampuan akademik. Sedangkan dalam bidang non-akademik, peserta didik diberi wawasan dalam kehidupan yang berkaitan dengan pengembangan kepribadian. Peningkatan kemampuan akademik peserta didik dapat dimulai dari sekolah terlebih pada sekolah-sekolah unggulan. Hadi (2006) menyatakan bahwa kehadiran sekolah unggulan merupakan jawaban terhadap tantangan global yang menuntut SDM unggul sekaligus kompetitif. Unggul disini bisa diartikan unggul dalam segala bidang baik akademik maupun non-akademik. Adanya tes TOEFL atau tes potensi pendidikan diharapkan mampu mengembangkan potensi akademik peserta didik. Pendidikan Akademik dan Non-akademik Mengantarkan Kesuksesan Pendidikan akademik dan non-akademik memang sangat diperlukan. Diperlukannya hal tersebut karena seiring dengan jenjang tingkatan pendidikan yang bertambah. Semestinya pendidikan akademik dan non-akademik harus berjalan seimbang. Artinya di mana siswa tidak dituntut untuk mengikuti kelas yang sudah ada dengan pelajaran yang banyak. Pada sekolah-sekolah, adanya birokratisasi profesi guru juga menjadi salah satu faktor kurangnya pengembangan potensi non-akademik peserta didik. Padahal tujuan dari ini adalah untuk mengembangkan potensi siswa tidak hanya dalam bidang akademik saja melainkan pada bidang non akademik, sehingga bakat maupun minat peserta didik dapat berkembang secara optimal. Potensi dibidang akademik dan non akademik dapat mengantarkan peserta didik berhasil mengahadapi kehidupan nyata. Mereka tidak perlu berlomba-lomba untuk meraih nilai yang baik, karena dengan adanya persepsi seperti itu mereka tidak akan siap ketika menghadapi sebuah kehidupan dunia yang terus berubah bahkan kini perubahan itu sangat cepat. Kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan, tetapi juga ditentukan oleh kemampuan mengelola dirinya. Berdasarkan penelitian di Harvard University (2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill), tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Proses pendidikan merupakan perubahan pengetahuan, keterampilan, dan sikap seseorang. Maka dari itu, pendidikan seharusnya menghasilkan output dengan kemampuan proporsional antara hard skill dan soft skill. Selain karena kurikulum yang memiliki muatan soft skill yang rendah dibanding muatan hard skill. Ketidakseimbangan antara soft skill dengan hard skill dapat disebabkan oleh proses pembelajaran yang menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun hasil ujian. Berbicara tentang mutu pendidikan atau sekolah, sedikitnya dapat dilihat dari sisi guru, siswa, dan pihak-pihak terkait, sistem/kurikulum, serta sarana prasarana. Kurikulum Indonesia saat ini sudah banyak kelebihan beban, banyak pelajaran yang overlap dan overload. Jumlah mata pelajaran yang diberikan terlalu banyak dan terlalu meluas, sehingga anak dituntut berfikir terlalu keras. Mengoptimalkan Pendidikan Akademik dan Non-akademik di Era Global Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak ujian. Namun, ujian-ujian tersebut menonjolkan pelajaran akademik saja, siswa dituntut untuk bisa dan tuntas untuk semua mata pelajaran. Hal ini membuat salah kaprah dari pihak sekolah maupun orang tua, karena mereka hanya memperdulikan nilai rapor yang bagus. Mereka tidak memahami bahwa yang diamalkan dan dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya sekedar teori saja. Pihak sekolah kebanyakan mengartikannya kalau para pengajar harus menghabiskan waktunya hanya untuk mengurusi nilai rapor. Peserta didik yang memiliki kompetensi yang baik adalah memiliki nilai hasil ulangan atau ujian yang tinggi. Persepsi tersebut menyebabkan guru terkungkung dalam proses pembelajaran yang konvensional. Wajar kalau sampai saat ini belum ada perubahan menjadi lebih baik karena siswanya hanya dibekali teori saja. Dalam kurikulum Indonesia di mana siswa tidak dikelompokkan pada kelas yang disesuaikan pada bakatnya sehingga siswa dituntut untuk mengikuti kelas yang sudah ada dengan pelajaran yang banyak. Seharusnya kurikulum Indonesia ini lebih mengakomodir lagi kecerdasan-kecerdasan unik yang dimiliki tiap siswa sehingga tidak terjadi penyeragaman. Persoalan ini memang sering dipersoalkan dan patut untuk dipecahkan, seiring dengan kebijakan pemerintah yang menjadikan UNAS (pelajaran akademik) sebagai tolak ukur kelulusan. Tuntutan akademis yang terlalu berlebihan ini membuat keceriaan dan senyum ramah yang seharusnya menghiasi wajah anak-anak bangsa menghilang, dan berganti wujud menjadi wajah-wajah sangar. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wajah pendidikan Indoensia saat ini, lebih kepada pengajaran daripada kependidikan, sehingga outputnya sudah bergeser. Orang tua murid sebagai pengguna sekolah untuk putar-putrinya tentu akan memakai tolak ukur mutu sebagai salah satu kriteria sebelum memutuskan memilih sekolah. Orang tua sejarang banyak yang menginginkan sekolah yang tidak hanya mengembangkan sisi penguasaan akademis semata, tetapi juga yang memberi ruang pada pengembangan kepribadian dan kreatifitas anak. Hal ini tentu dapat mewujudkan paradigma baru dalam dunia pendidikan kita. Segala bentuk usaha demi kemajuan pendidikan Indonesia, dan demi masa depan putra-putri kita, sedikit pun tidak akan ada yang sia-sia. Kegiatan belajar-mengajar sudah seharusnya jangan hanya memfokuskan pada kemampuan akademik semata. Sudah saatnya pengembangan kreativitas anak mendapat ruang yang memadai di sekolah. Demikian juga dengan sistem yang masih menekankan pada hafalan- hafalan, sudah seharusnya diubah dengan menitikberatkan pada analisis serta pengembangan keterampilan dan kreativitas siswa. Sebab meminjam istilah Prof. Muchlas Samani, bahwa pendidikan memang untuk hidup, bukan untuk mata pelajaran. Saat di bangku SMA yang menekankan porsi pendidikan akademik harus lebih banyak sesuai dengan jurusan yang mereka pilih ketika jenjang perguruan tinggi. Pada permasalahan penyelenggaraan UNAS di Indonesia, semestinya ketika peserta didik mempunyai keinginan ataupun pilihan jurusan di perguruan tinggi, berikanlah soal-soal UNAS yang cocok dengan keinginan mereka. Misalnya, ketika seorang anak ingin masuk jurusan musik, berikanlah tes UNAS yang pertanyaannya seputas musik, jangan di beri soal Fisika, Kimia, ataupun Akuntansi. Berikanlah ruang yang sedikit lebih luas agar peserta didik bisa mengeksplorasi bakat yang mereka miliki dengan maksimal dan tidak mengekang mereka dalam mengambil sebuah keputusan. Selain itu, melatih mereka untuk bertanggungjawab atas pilihan mereka dalam hidupnya. Ketika seorang anak diberikan kesempatan untuk mengambil sebuah keputusan, maka mereka akan lebih bertanggungjawab. Dari sini Indonesia memiliki banyak penerus bangsa yang cerdas dan berpotensi. Upaya pengembangan potensi non-akademik peserta didik masih kurang terlebih di perguruan tinggi yang diharapkan lulusannya mampu berdaya saing di era global. Isnandar (2006) menyatakan bahwa kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia sedikit yang menghasilkan lulusan yang berdaya saing bangsa sehingga malah menambah angka pengangguran di Indonesia. Dari sini patut dipikirkan lebih jauh upaya-upaya yang dapat mengoptimalkan potensi peserta didik secara seimbang antara bidang akademik dan non- akademik. Dalam Era Globalisasi saat ini semua bangsa dihadapkan pada suatu persaingan. Untuk itu setiap bangsa harus memiliki daya tawar yang tinggi, memiliki keunggulan komparatif antar negara. Pendidikan yang bermutu diharapkan dapat menghasilkan keunggulan Sumber Daya Manusia, tidak hanya dari aspek akademik, tetapi juga dalam aspek: seni, olahraga, disiplin dan keterampilan untuk dapat hidup dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan cepat. Dalam konteks tujuan pendidikan, manusia yang unggul adalah manusia yang cerdas, baik dalam bidang kecerdasan spiritual, intelektual dan sosio-emosional (UU 20 tahun 2003). Manusia yang seperti inilah diharapkan dapat eksis dalam dunia yang sedang berubah dan mampu mencapai keunggulan pada era global. Dengan pengoptimalan potensi pada peserta didik, diharapkan akan terbentuk generasi unggul yang dapat berdaya saing secara global sehingga mampu melahirkan keadaan yang lebih baik bagi kehidupan di negara ini. Untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki peserta didik di sekolah juga harus didukung oleh faktor eksternal, seperti sarana prasarana, pengajar yang kreatif, serta sistem/kurikulum. Sarana prasarana sekolah seperti gedung dan kelas sebaiknya dirancang yang bisa membuat peserta didik nyaman dan mudah untuk mengeksplor bakatnya di bidang akademik maupun non akademik. Para guru harus lebih kreatif dan inovatif dalam menciptakan proses belajar mengajar yang berpusat pada siswa. Para guru dalam mendidik juga harus lebih mengedepankan pendekatan hati, dan menciptakan pembelajaran yang menyenangkan (joyfull learning). Sistem pembelajaran joyfull learning ini bisa dijadikan alternatif menyingkapi beratnya kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, pembelajaran semestinya memperhatikan tingkat perkembangan anak. Janganlah kita sampai merampas apa yang menajdi hak mereka. Berikanlah ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan pribadi yang lebih baik atau bernilai melalui proses pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN Akhnayzz. 2011. Pengertian Peserta Didik. http://satulagi.com/education/pengertian-peserta- didik Amstrong, Thomas (2011). The Best School; Mendidik Siswa Menjadi Insan Cendekia Seutuhnya (terj). Bandung: Kaifa. Farizi. 2011. Potensi Diri. http://sasuke-farizi.abatasa.com/post/detail/5360/potensi-diri Gardner, Howard. 2003. Multiple Intelegences. Jakarta: Interaksara Hadi, Djajusman. 1 Maret, 2006. Menyiapkan Sekolah Unggulan. Jawa Pos. Hilman, Anjaz. SH. 2012. Potensi Kecerdasan Anak. http://sites.google.com/site/anjazhilman/paedagogi-1. di akses tanggal 4 April 2012 pukul 22.50. MT, Isnandar. 25 Maret, 2006. Menggugat Perguruan Tinggi. Jawa Pos. Munandar, U. (1997). Mengembangkan Inisiatif dan Kreativitas Anak. Dalam Jurnal Psikologika, 2, (II), 31-42. Munandar, utami. 2011. Mengembangkan Bakat Anak. http://blog.tp.ac.id/mengembangkan- bakat-anak Pataka. 2005. Dunia Pendidikan Menengah Nasional Mensikapi Tantangan Jaman. http://www.pataka.net/2005/05/02/dunia-pendidikan-menengah-nasional-mensikapi- tantangan-jaman-2/ Sumarno, Ali. 2011. Memahami 9 Tipe Kecerdasan Jamak. http://blog.elearning.unesa.ac.id/alim-sumarno/memahami-9-tipe-kecerdasan-jamak. Diakses tanggal 4 April 2012 pukul 22.33.