EFEK TERAPI SOCI AL SKI LL TRAI NI NG (SST) DALAM MENINGKATKAN PERILAKU
ASERTIF PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DENGAN RIWAYAT RESIKO PERILAKU
KEKERASAN DI DESA PARINGAN KABUPATEN PONOROGO dr. Soemardini, M.Pd., Ns. Heni Dwi Windarwati S.Kep, M.Kep, Sp.Kep.J., Neti Wahyu Ningrum
ABSTRAK
Resiko perilaku kekerasan pada individu dengan gangguan jiwa diawali dengan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan perilaku asertif dimana seseorang mampu untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan terhadap orang lain tanpa menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain. Salah satu tindakan keperawatan yang dapat meningkatkan perilaku asertif pada klien gangguan jiwa dengan riwayat resiko perilaku kekerasan adalah pemberian terapi Social Skill Training (SST). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek terapi Social Skill Training (SST) dalam meningkatkan perilaku asertif subyek penelitian gangguan jiwa dengan riwayat resiko perilaku kekerasan di Desa Paringan Kabupaten Ponorogo. Hipotesis dalam penelitian ini Terapi Social Skill Training (SST) efektif dalam meningkatkan perilaku asertif pada subyek penelitian gangguan jiwa riwayat resiko perilaku kekerasan. Penelitian ini menggunakan metode pre-eksperimental design dengan rancangan penelitian pre-post test dalam satu kelompok tanpa kelompok kontrol (One Group Pretest-Posttest Design without control group). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan consequtive sampling dengan melibatkan subyek penelitiansebanyak 6 orang. Berdasarkan uji Wilcoxon menggunakan SPSS 16 for windows didapatkan angka signifikansi p(0,046) < (0,05) sehingga pada = 0,05 dan selang kepercayaan 95% didapatkan efektivitas pemberian terapi Social Skill Training (SST) dalam meningkatkan perilaku asertif klien gangguan jiwa dengan riwayat resiko perilaku kekerasan di Desa Paringan Kabupaten Ponorogo berupa peningkatan skor total tes sebelum (Pre-Test) dan skor total tes sesudah (Post-Test). Kata Kunci : terapi Social Skill Training, perilaku asertif, subyek penelitian gangguan jiwa, resiko perilaku kekerasan
ABSTRACT
The risk of violent behavior begins with the inability of a person to perform assertive behavior, it is a person's ability to communicate what they want, feel and think towards others without maintaining and respecting the rights and feelings of others. One of the nursing interventions to improve the client's assertive behavior who have history of mental disorders risk of violence behavior and which implemented in a range of therapeutic intervention is the provision of Social Skill Training (SST). The purpose of this study is to determine the effectiveness of Social Skill Training (SST) therapy in increasing assertive behavior towards clients with mental disorders history of violence behavior risk in Paringan village Ponorogo. This hypothesis of Therapy Social Skill Training (SST) is effective in increasing assertive behavior in the history of study subjects with mental disorders risk of violent behavior. This study uses pre-experimental design with pre- post-test design in the test group (one group pretest-posttest design). The samples in this study use consequtive sampling involving 6 people respondents. Based on the Wilcoxon test using SPSS 16 for windows has been found significant numbers p (0.046) < (0.05) so that at = 0.05 and 95% confidence interval obtained effectiveness of therapy Social Skill Training (SST) in increasing assertive behavior of mental disorder clients who have history of the violence behavior risk in the Paringan village Ponorogo by increasing total test scores before (Pre-Test) and the total score after (Post-Test). Recommendations from this research is therapy Social Skill Training for 10 meetings with the teaching behaviors are often made by respondents in everyday life. Keywords : social skill training theraphy, asertive behavior, mental disorder clients, risk of violence behavior
PENDAHULUAN Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, tidak hanya keadaan tanpa penyakit atau kelemahan, sehingga secara menyeluruh kesehatan jiwa merupakan bagian dari kesehatan yang tidak dapat dipisahkan (Stuart& Laraia, 2006). Faktanya, orang lebih melihat kesehatan jiwa sebagai bagian dari gangguan jiwa. Konsep gangguan Jiwa dari PPDGJ II yang merujuk ke DSM-III adalah suatu sindrom atau pola perilaku, atau psikologik seseorang yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas ber- kaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia (Maslim, 2001). Gangguan jiwa sama dengan gangguan jasmaniah lain, hanya saja gangguan jiwa bersifat lebih kompleks, mulai dari yang ringan seperti rasa cemas, takut hingga yang tingkat berat berupa sakit jiwa atau gila (Hardianto, 2009). WHO (2009) memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan jiwa. Menurut National Institute of Mental Health, gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030 (Hidayati, 2012). Peningkatan angka kejadian penderita gangguan jiwa di Indonesia secara signifikan berdasarkan data Departemen Kesehatan, mencapai 2,5 juta orang (WHO, 2006) selanjutnya dari hasil Riset Kesehatan Dasar (2007), prevalensi gangguan jiwa secara nasional sebanyak 2,8 juta orang. Jumlah penderita gangguan jiwa di Jawa Timur mencapai 380 ribu orang dari jumlah penduduk sebanyak 38 juta jiwa. Daerah yang cukup tinggi jumlah penderita gangguan jiwa di Jawa Timur adalah Kabupaten Ponorogo dengan jumlah penderita gangguan jiwa sebanyak kurang lebih 500 orang (Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo, 2012). Gangguan jiwa merupakan suatu keada- an yang menyimpang dari konsep normatif. Setiap penyimpangan ini memiliki tanda dan gejala yang khas. Gejala gangguan jiwa meru- pakan hasil interaksi yang kompleks antara unsur somatogenik, psikogenik dan sosiogenik yang menandakan dekompensasi proses adap- tasi terutama pada pemikiran, perasaan dan perilaku. Tanda dan gejala gangguan jiwa antara lain self care, gangguan fungsi sosial, gangguan dalam pikiran dan persepsi, halu- sinasi, delusi, gangguan bicara, gangguan afek, gangguan peran dan gangguan perilaku (Otong, 1994 dalam Iyus, 2008). Resiko perilaku kekerasan merupakan salah satu gangguan perilaku dimana seseorang beresiko melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa tindakan individu dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain secara fisik, emosional, dan atau seksual (Diagnosa Keperawatan NANDA, 2012). Resiko perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu resiko perilaku kekerasan saat sedang berlangsung, dan resiko perilaku kekerasan terdahulu (riwayat resiko perilaku kekerasan) (Keliat, 2009). Teori yang bekem- bang saat ini menyatakan bahwa resiko peri- laku kekerasan dipengaruhi berbagai faktor meliputi faktor psikologis, biologis, dan sosio kultural. Berdasarkan faktor psikologis menu- rut frustasion aggresion theory (teori agresif frustasi), perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi frustasi yang terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu berperilaku agresif kare- na perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan (Sujono& Teguh, 2009). Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kema- rahan tersebut merupakan suatu bentuk komu- nikasi verbal dan proses penyampaian pesan dari individu bahwa ia tidak setuju, tersing- gung, dan merasa tidak dianggap atau dire- mehkan. Berdasarkan fakta, resiko perilaku kekerasan biasanya diawali dengan ketidak- mampuan seseorang untuk mengkomunika- sikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan terhadap orang lain tanpa menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain. Apabila kondisi di atas tidak teratasi dapat menyebabkan klien sulit dalam melaku- kan interaksi dengan orang lain dan jika ber- langsung terus tanpa kontrol dapat menyebab- kan terjadinya resiko perilaku kekerasan dan berdampak terhadap resiko tinggi menciderai diri, orang lain, dan lingkungan (Keliat, 2005). Klien gangguan jiwa dengan riwayat resiko perilaku kekerasan seringkali diabaikan atau dijauhi oleh keluarga dan masyarakat karena perilaku kekerasan yang pernah dila- kukan, begitu juga dengan klien akan sulit dalam melakukan interaksi karena diabaikan dan dijauhi oleh orang lain. Keadaan seperti ini memerlukan tindakan perawat dimana tin- dakan keperawatan pada pasien dengan peri- laku kekerasan diimplementasikan dalam sebuah rentang intervensi yang dimulai dari strategi preventif, antisipasi dan strategi pengekangan. Upaya yang dilakukan bertuju- an untuk menurunkan resiko perilaku keke- rasan, mengembalikan fungsi utama individu serta meminimalkan resiko relaps atau kam- buh sehingga dapat berinteraksi dan diterima kembali oleh masyarakat. Salah satu implementasi dari strategi preventif adalah perilaku asertif yang bertu- juan melatih klien untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dipikirkan kepada orang lain secara jujur dan terbuka dengan menghormati hak pribadi kita sendiri dan orang lain. Latihan keterampilan sosial atau Social Skill Training (SST) merupakan salah satu tekhnik modifikasi asertif training yang bertujuan meningkatkan perilaku asertif sehingga individu dapat berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya dalam hubungan for- mal atau informal (Ramdhani, 2008). Teknik ini dapat digunakan sebagai teknik tunggal maupun teknik pelengkap yang digunakan bersama teknik psikoterapi lain. Hasil survei pendahuluan yang dilaku- kan sebelumnya oleh peneliti, berdasarkan data kependudukan profil desa Paringan se- banyak 61 orang mengalami gangguan jiwa dan sekitar 15 orang memiliki riwayat resiko perilaku kekerasan. Hal ini juga berdasarkan data laporan catatan harian Pelayanan Kesehatan Jiwa di Puskesmas Pembantu Paringan bahwa penderita gangguan jiwa terdiagnosa dengan F20 (skizofrenia). Desa Paringan Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo merupakan desa dengan jumlah penderita gangguan jiwa paling banyak. Kabupaten Ponorogo salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dalam lima tahun ter- akhir mengalami ledakan jumlah penderita gangguan jiwa sesuai hasil pemeriksaan tim Puskesmas, Dinas Kesehatan Ponorogo dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Ledakan jumlah penderita gangguan jiwa ini diukur dari standart WHO. Standart WHO, 1:1000, akan tetapi di Kabupaten Ponorogo 1:100, artinya dari 100 penduduk satu lebih diantaranya dinyatakan gila (Kompasiana, 2011). Penelitian tentang Social Skill Training yang diberikan kepada penderita gangguan jiwa riwayat resiko perilaku kekerasan belum pernah dilakukan sebelumnya, akan tetapi penelitian tentang Social Skill Training ini pernah dilakukan sebelumnya yang diberikan kepada klien Isolasi Sosial. Penelitian tersebut dilakukan oleh Renidayati (2008) dengan judul Pengaruh Latihan Ketrampilan Sosial Terhadap Subyek penelitian Isolasi Sosial Di RSJ HB Saanin Padang Sumatera Barat, dimana setelah diberikan latihan ketrampilan sosial melalui 5 (lima) sesi dan setiap sesi diulang sebanyak 3 (tiga) kali terjadi pening- katan kemampuan kognitif dan perilaku. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis menganggap penting untuk melakukan penelitian Efek Terapi Social Skill Training (SST) dalam Meningkatkan Perilaku Asertif pada Klien Gangguan Jiwa Riwayat Resiko Perilaku Kekerasan di Desa Paringan Kabupaten Ponorogo. METODOLOGI Desain penelitian yang digunakan da- lam penelitian ini adalah Metode Pre Ekspe- rimen Design. Sampel penelitian ini sebanyak 12 responden dengan tekhnik sampling meng- gunakan non probability sampling dengan je- nis consecutive sampling. Sampel penelitian diberikan tes awal (pre-test) kemudian diberi perlakuan (terapi SST) selanjutnya diberikan tes akhir (post-test) sehingga dari total sampel sebanyak 12 responden didapatkan sampel sebanyak 6 responden klien gangguan jiwa dengan riwayat resiko perilaku kekerasan di Desa Paringan Ponorogo. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara dan metode observasi untuk mengisi lembar kuesioner pada klien gangguan jiwa dengan riwayat resiko perilaku kekerasan. Sebelum terapi dilakukan peneliti terle- bih dahulu melakukan pre-test di lembar kue- sioner kemampuan perilaku asertif. Setelah itu, terapi Social Skill Training dapat dilaku- kan dengan menjelaskan terlebih dahulu pro- sedur kepada responden. Terapi ini dilakukan sesuai dengan waktu penelitian yang telah ditetapkan. Pelaksanaan Social Skill Training dilakukan sebanyak 8x pertemuan dalam for- mat terapi, dimana masing- masing pertemuan membutuhkan waktu 60 menit. Terdapat 4 sesi pelaksanaan Social Skill Training dan 1 sesi dilakukan dalam 1-2x pertemuan. Kuesioner yang digunakan untuk meni- lai kemampuan perilaku asertif pada klien gangguan jiwa dengan riwayat resiko perilaku kekerasan disusun oleh peneliti. Instrumen pada penelitian ini telah diuji validitasnya menggunakan korelasi pearson product moment. Instrumen yang digunakan terdiri dari 20 item pertanyaan, dan terbukti valid sehingga dapat digunakan dalam kuesioner penelitian. Pengujian reliabilitas instrumen dilakukan dengan menguji skor antar item dengan menggunakan Alpha Cronbach pro- gram Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16 for Windows. Untuk menganalisa hasil eksperimen pre- test dan post- test one group design ter- hadap ada atau tidaknya pengaruh terapi Social Skill Training (SST) dalam mening- katkan perilaku asertif dilakukan uji statistik Wilcoxon.
HASIL PENELITIAN Penelitian tentang efek terapi Social Skill Training (SST) dalam meningkatkan perilaku asertif pada klien gangguan jiwa dengan riwayat resiko perilaku di Desa Paringan Kabupaten Ponorogo dilakukan selama bulan Maret- April 2013 dengan jumlah responden sebanyak 6 orang. Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Subyek penelitian berdasarkan Data Demografi Subyek penelitian Gangguan Jiwa Riwayat Resiko Perilaku Kekerasan di Desa Paringan, Ponorogo. Variabel Frekuensi Persen Usia 31-40 tahun >40 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja Status Perkawinan Tidak Menikah Menikah Janda/Duda Lama Sakit <11 tahun >11 tahun
3 3
4 2
2 2 2
2 4
2 1 3
5 1
50 50
66.7 33.3
33.3 33.3 33.3
33.3 66.7
33.3 16.7 50
83.3 16.7 Sumber : Data Primer
ANALISIS DATA Tabel 5. 5 Uji Tanda Wilcoxon pada Pre dan Post Test Uji Wilcoxon Signifikansi Keterangan Skor Total Pre Test- Skor Total Pos Test 0,046 Terdapat Perbedaan yang signifikian antara Skor Total Pre Test dan Skor Total Pos Test
Dari hasil uji tanda Wilcoxon tersebut diperoleh signifikansi p(0,046)< (0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang sig- nifikan antara rata- rata ranking skor total Pre- Test dan skor total Post- Test dalam pemberian terapi Social Skill Training (SST). Dengan demi- kian H 0 ditolak, sehingga pada = 0,05 dan se- lang kepercayaan 95% didapatkan efek pembe- rian terapi Social Skill Training (SST) dalam meningkatkan perilaku asertif subyek penelitian gangguan jiwa riwayat resiko perilaku kekerasan di Desa Paringan Kabupaten Ponorogo berupa peningkatan skor total Tes sebelum (Pre Test) dan skor total Tes sesudah (Post Test).
PEMBAHASAN Identifikasi Perilaku Asertif Klien Gangguan Jiwa Riwayat Resiko Perilaku Kekerasan Sebelum diberikan Terapi Social Skill Training Hasil penelitian sebelum diberikan terapi Social Skill Training (SST), diperoleh bahwa seluruh subyek penelitian menunjukkan respon kognitif, afektif, psikomotor, dan perilaku yang asertif dalam kategori rendah sebesar 100%. Hasil pre eksperimen yang rendah dalam penelitian ini berkaitan dengan observasi domain oleh peneliti. Dalam segi kognitif, individu dengan Resiko Perilaku Kekerasan (RPK) mengalami kesulitan dalam berpikir jernih dan logis, seringkali mereka sulit konsentrasi sehingga perhatian mudah ber- alih (Stuart and Laraia, 2005). Analisa peneliti bahwa reaksi emosional seseorang dipengaruhi oleh cara berpikir individu itu sendiri. Seperti con- toh ketika seseorang sedang merasakan emosi ma- rah terkadang orang tersebut kurang dapat berpikir secara rasional dan berpikir untuk jangka panjang. Hal ini sesuai dengan pendapat Rochelle (1986) yang menyatakan bahwa emosi adalah perasaan yang dialami oleh manusia, seperti sedih, gembi- ra, kecewa, semangat, marah, benci, cinta. Sebut- an yang diberikan kepada perasaan tertentu, tentu mempengaruhi cara berpikir mengenai perasaan tersebut dan bagaimana cara bertindak (Alibin, 2005). Karakteristik status pendidikan yang ren- dah berpengaruh terhadap kemampuan berpikir seseorang. Konsep pendidikan merupakan pende- katan yang dikembangkan sebagai kemampuan berpikir sehinggan intelegensi seseorang menen- tukan harkat dan martabat individu sendiri yang dapat mendorong perkembangan potensi lain yang ada pada diri sseseorang. Hal ini sesuai dengan Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa ren- dahnya tingkat pendidikan akan menyulitkan seseorang dalam memahami masalah yang terjadi dan sulit untuk menerima ilmu yang didapat. Letak geografis Desa Paringan yang ter- isolasi dan jauh dari kota Kabupaten Ponorogo turut mendukung faktor karakteristik status pen- didikan karena sarana pendidikan tidak memadai, terbukti hanya berdiri satu Sekolah Dasar. Kondisi geografis juga mempersulit bagi masyarakat di Desa Paringan memperoleh informasi baik infor- masi elektronik maupun non elektronik. Sebagian besar masyarakat yang tidak bisa membaca, dan tidak memiliki Televisi sebagai bukti bahwa mas- yarakat tidak dapat memperoleh informasi, se- hingga secara tidak langsung hal ini turut mendukung kurangnya pengetahuan masyarakat. Afektif atau sikap seorang individu dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kognitif tingkat tinggi (Abbas, 2012). Menurut peneliti, sikap tidak dapat diamati secara langsung dan dalam waktu yang singkat. Fakta yang peneliti pelajari dari subyek penelitian dalam penelitian ini bahwa ketika mereka baru pertama kali bertemu dengan orang lain yang sebelumnya tidak kenal, responden akan tertutup sehingga pe- neliti harus melakukan proses pendekatan selama beberapa waktu untuk menjalin sikap trust dan kerjasama dengan responden. Selain itu, ketika mereka merasa bahwa dirinya sedang terancam, maka ia akan bereaksi untuk mempertahankan diri dalam bentuk perilaku kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Aspek psikomotor berkaitan dengan ke- trampilan atau kemampuan bertindak setelah sese- orang menerima pengalaman belajar tertentu dan merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif dan afektif (Abbas, 2012). Menurut peneliti, ketrampilan atau kemampuan seseorang diperoleh dari kebiasaan yang selama ini dilatih atau diajar- kan oleh lingkungan di sekitar responden. Puskesmas pembantu kesehatan jiwa baru berjalan sejak tahun 2011, hal ini menjadi salah satu faktor bahwa subyek penelitian gangguan jiwa kurang mendapat pelatihan dari tenaga kesehatan dan kader. Analisa peneliti terdapat keterkaitan antara beberapa aspek baik kognitif, afektif, dan psiko- motor yang akan saling mempengaruhi satu sama lain. Perilaku asertif adalah perilaku yang bertujuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan kepada orang lain secara jujur dan terbuka tanpa menyakiti hak dan pribadi diri sendiri dan orang lain. Analisa peneliti perilaku asertif ini dipengaruhi oleh culture yang ada di masyarakat. Individu cende- rung tidak dapat mengatakan apa yang terjadi ke- pada dirinya. Mereka jarang mengungkapkan bahwa dirinya sedang sakit, sedang marah atau tidak suka terhadap suatu hal sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan. Perilaku adalah hal yang dapat diobservasi, diukur, dicatat, bergerak atau beres-pon (Stuart& Laraia, 2005). Mengubah perilaku dapat dilakukan dengan 3 strategi (WHO, dalam Notoatmodjo, 2003) yaitu menggunakan kekuasaan/kekuatan/dorongan, pemberian infor- masi, diskusi dan partisipan. Sedangkan menurut Sunaryo (2004) menyatakan bahwa perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kebutuhan, motivasi, sikap dan kepercayaan. Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa perilaku dapat dirubah dengan pemberian informasi, diskusi dan motivasi berdasarkan kebu- tuhan dan keyakinan individu, dimana perubahan tersebut dapat diobservasi dan diukur. Resiko perilaku kekerasan merupakan res- pon kemarahan yang maladaptif dalam bentuk perilaku menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya secara verbal maupun non verbal mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi sehingga mereka tidak mampu untuk mela- kukan perilaku asertif. Menurut peneliti, pembe- rian terapi Social Skill Training ini penting untuk subyek penelitian dengan gangguan jiwa riwayat Resiko Perilaku Kekerasan melihat dampak dari kerugian yang ditimbulkan sehingga penanganan pasien perilaku kekerasan perlu dilakukan secara tepat oleh tenaga profesional. Social Skill Training merupakan salah satu teknik modifikasi perilaku yang mulai banyak digunakan terutama untuk penderita yang menga- lami kesulitan dalam berhubungan dan berinte- raksi dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan Michelson,dkk (1985) yang mengemukakan bahwa pelatihan ketrampilan sosial dirancang untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan ketrampilan so-sial individu. Kemampuan berkomunikasi meliputi kemampuan individu untuk mengkomunikasikan apa yang sedang dipikirkan, dirasakan, dan diinginkan dengan menghormati hak pribadi orang lain. Ketrampilan sosial meliputi ketrampilan-ketrampilan memberi- kan pujian, mengeluh karena tidak setuju terhadap sesuatu hal, menolak permintaan orang lain, me- nuntut hak pribadi, pemecahan konflik atau masa- lah, serta berhubungan atau bekerjasama dengan orang lain. Ketrampilan dan kemampuan berko- munikasi yang dilatih dalam Social Skill Training (SST) adalah bagaimana subyek penelitian gang- guan jiwa dengan riwayat RPK dapat berperilaku asertif. Kata pelatihan atau training digunakan dalam teknik pelatihan ini karena di dalam terapi Social Skill Training akan diajarkan satu perilaku yang bersifat praktis, yaitu ketrampilan yang digu- nakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pela- tihan terdapat prinsip belajar, tetapi yang dipela- jari adalah pengetahuan praktis dan dipelajari da- lam waktu singkat. Sehingga keterbatasan dalam penelitian ini adalah waktu pelaksanaan pre- eksperimen yang terbatas. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan ha- sil penelitian oleh Sambodo (2012) yang berjudul Pengaruh Social Skill Training (SST) terhadap Ketrampilan Sosialisasi dan Social Anxiety Remaja Tunarungu di SLB Kabupaten Wonosobo, yang menyatakan bahwa ketrampilan sosialisasi pada remaja tunarungu sebelum diberikan terapi SST rata-rata berada pada tingkatan baik. Menurut peneliti, hasil yang berbeda ini disebabkan oleh variabel dependen yang diteliti. Ketrampilan adalah hasil belajar pada ranah psikomotorik yang terbentuk menyerupai hasil belajar kognitif dengan sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah subyek penelitian yang berada di Sekolah Luar Biasa sehingga ketrampilan sosial ini dapat terbentuk dari proses belajar dan tumbuh melalui latihan-latihan yang dilakukan oleh individu itu sendiri ketika bersekolah. Hasil penelitian ini variabel yang dilihat adalah perilaku, dimana perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus/rangsangan dari luar (Skinner, 1938 dalam Notoatmodjo, 2003), sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah subyek penelitian gangguan jiwa riwayat Resiko Perilaku Kekerasan (RPK) dimana seseorang dengan gangguan jiwa atau mental illness memiliki respon maladaptive terhadap stressor dari lingkungan dalam/luar yang ditun-jukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan kultural dan mengganggu fungsi sosial, kerja dan fisik individu (Townsend, 1996 dalam Yosep, 2007). Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab hasil pre- eksperimen penelitian ini dalam kategori rendah dan berbeda dengan penelitian sebelumnya dengan variabel independen yang sama yaitu terapi Social Skill Training.
Identifikasi Perilaku Asertif Subyek penelitian Gangguan Jiwa Riwayat Resiko Perilaku Kekerasan Setelah diberikan Terapi Social Skill Training Hasil penelitian setelah diberikan terapi Social Skill Training (SST), diperoleh bahwa seluruh subyek penelitianmenunjukkan respon kognitif, afektif, psikomotor, dan perilaku yang asertif dalam kategori merata antara sedang- tinggi. Hasil ini diperoleh setelah individu selama 10 kali pertemuan yang terbagi dalam 4 sesi men- dapat terapi Social Skill Training. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Renidayati (2008) tentang pengaruh SST terhadap subyek penelitian isolasi sosial, dimana setelah diberikan SST dengan pendekatan individu terjadi peningkatan kemampuan kog-nitif dan perilaku subyek penelitian isolasi sosial. Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kelompok dalam memberikan terapi SST. Pelak- sanaan pelatihan ketrampilan sosial dapat dilaku- kan secara individu maupun kelompok dengan syarat minimal kelompok tidak boleh lebih dari 12 orang, penelitian ini menggunakan 6 orang res- ponden. Hal ini yang membedakan metode pende- katan peneliti dengan penelitian sebelumnya, teta- pi hasil akhir yang diperoleh sama, yakni terdapat peningkatan domain perilaku dan perilaku asertif subyek penelitian gangguan jiwa riwayat resiko perilaku kekerasan. Merujuk pendapat dari Kwick (1978) dalam Notoatmodjo (2003) bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang da- pat diamati dan bahkan dipelajari. Analisa peneliti menyatakan bahwa pendapat ini sesuai dengan fakta yang ada, dimana dalam kurun waktu pene- litian, subyek penelitian dapat menunjukkan peru- bahan perilaku yang cenderung dalam rentang pe- rilaku asertif. Perubahan ini terjadi karena subyek penelitian mendapat terapi SST. Ketrampilan yang diharapkan dalam penelitian ini, setelah diberikan terapi Social Skill Training, subyek penelitian da- pat melakukan perilaku asertif ditunjukkan deng- an subyek penelitian bersedia untuk tersenyum dengan peneliti dan kader, subyek penelitian ber- sedia bersalaman dan berkenalan, subyek peneli- tian bersedia menjawab salam dari peneliti. Prinsip belajar dari pemberian terapi yang digunakan dalam pelatihan penelitian ini adalah andragogi atau prinsip belajar orang dewasa, dimana orang dewasa berbeda dengan anak-anak bahwa mereka menyadari jika memiliki kemam- puan dan pengalaman sehingga mereka ingin ter- libat dalam proses belajar itu. Keterlibatan yang aktif dalam pengalaman belajar dapat menjadi modal terjadinya transfer belajar yang optimal dan bukan hanya sebagai penerima yang pasif. Sebagaimana proses belajar, yang menjadi sasaran bukan hanya aspek intelektual atau kog- nitif saja, akan tetapi juga aspek emosi, afektif, psikomotor, dan perilaku asertif subyek penelitian gangguan jiwa riwayat Resiko Perilaku Kekeras- an. Perubahan yang meliputi keempat aspek ini akan tercapai apabila subyek penelitian dilibatkan dalam proses terapi melalui 4 tahap yakni modelling dimana terapis mengajarkan kepada subyek penelitian cara berkenalan, menjawab salam dan meminta tolong, role playing dimana subyek penelitian mendapat kesempatan untuk melakukan modelling yang diajarkan oleh terapis, performance feedback dimana terapis mengeva- luasi role playing yang telah dilakukan, dan transfer training dimana subyek penelitian diminta untuk menerapkan hasil latihan ke dalam kehidupan sehari- hari (Goldstein, 1981 dalam Ramdhani, 2008).
Efek Terapi Social Skill Training dalam Meningkatkan Perilaku Asertif Subyek penelitian Gangguan Jiwa Riwayat Resiko Perilaku Kekerasan Hasil penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang signifikan antara pre dan post eksperimen, sehingga pemberian terapi Social Skill Training ini efektif dalam meningkatkan perilaku asertif pada subyek penelitian gangguan jiwa riwayat resiko perilaku kekerasan. Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus dari luar. Pemberian terapi Social Skill Training dalam meningkatkan perilaku asertif merupakan salah satu bentuk stimulus yang dapat mengubah perilaku subyek penelitian gangguan jiwa dengan riwayat resiko perilaku kekerasan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kelly dalam Ramdhani (1991) yang menyatakan bahwa social skill training merupakan ketrampilan yang diper- oleh individu melalui proses belajar yang diguna- kan dalam berhubungan dengan lingkungannya atau stimulus dari luar dengan cara baik dan tepat. Salah satu tujuan pemberian terapi Social Skill Training adalah untuk mengajarkan kemam- puan berinteraksi dengan orang lain kepada indi- vidu yang tidak terampil menjadi terampil berin- teraksi dengan orang-orang di sekitarnya, baik dalam hubungan formal maupun informal. Ke- trampilan berinteraksi ini berupa individu dapat berperilaku asertif dimana dapat mengkomuni- kasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipi- kirkan kepada orang lain secara jujur dan terbuka tanpa menyakiti hak pribadi individu sendiri dan orang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ramdhani (2009) bahwa individu yang dapat ber- hubungan sosial dengan baik secara informal adalah individu yang tidak mengalami kesulitan untuk membina hubungan dengan orang lain, ter- libat dalam pembicaraan yang menyenangkan, dan dapat mengakhiri pembicaraan tanpa mengecewa- kan atau menyakiti orang lain. Sedangkan dalam hubungan formal, individu dapat mengemukakan pendapat, memberi penghargaan atau dukungan terhadap pendapat orang lain, dan individu dapat mengemukakan kritik tanpa menyakiti orang lain. Pemberian terapi Social Skill Training ini dimaksudkan dapat dijadikan dasar untuk mening- katkan perilaku asertif subyek penelitian gang- guan jiwa riwayat resiko perilaku kekerasan. Berdasarkan penelitian ini terjadi peningkatan yang signifikan setelah pemberian terapi SST, sehingga Terapi Social Skill Training ini efektif dalam meningkatkan perilaku asertif subyek penelitian gangguan jiwa riwayat resiko perilaku kekerasan. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : dari hasil uji tanda Wilcoxon p(0,046)< (0,05) dan selang kepercayaan 95% didapatkan efek pemberian terapi Social Skill Training (SST) dalam mening-katkan perilaku asertif subyek penelitian gangguan jiwa riwayat resiko perilaku kekerasan di Desa Paringan Kabupaten Ponorogo berupa peningkatan skor total Tes sebelum (Pre- Test) dan skor total Tes sesudah (Post- Test). Saran Untuk Keperawatan Diharapkan informasi ini dapat meningkat- kan kemampuan perawat dalam praktik pelayanan keperawatan jiwa sebagai bentuk pelayanan yang holistik dan komprehensif dalam rangka mening- katkan mutu pelayanan serta perlu untuk mengem- bangkan kompetensi perawat jiwa dan komunitas dalam memberikan intervensi kepada subyek penelitian gangguan jiwa khususnya dengan resi- ko perilaku kekerasan untuk mengoptimalkan kesehatan jiwa serta meminimalkan jumlah kasus baru. Untuk Masyarakat Peran kader lebih ditingkatkan dalam pemantauan perkembangan kesehatan jiwa dan pemberian latihan ketrampilan sosial di bawah pengawasan petugas kesehatan di Puskesmas Pembantu Kesehatan Jiwa di Desa Paringan. Untuk Peneliti Selanjutnya 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan sampel untuk subyek penelitian yang lebih besar dan di lokasi yang berbeda serta dapat melakukan generalisasi kasus diagnosa Resiko Perilaku Kekerasan sehingga tidak spesifik seperti penelitian ini. 2. Melihat keterbatasan dalam penelitian ini, diharapkan bagi peneliti selanjutnya dapat mengadakan penelitian lanjutan tentang ke- efektifan dari terapi Social Skill Training dengan membandingkan perilaku kekerasan fisik dan perilaku kekerasan verbal.
DAFTAR PUSTAKA Alimul, A. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data . Salemba Medika: Jakarta American Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th ed. Washington DC: American Psychiatric Association Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Baihaqi,dkk (Sunardi, Akhlan,R.N, Heryati,E). 2005. Psikiatri: Konsep Dasar dan Gangguan-Gangguan. Bandung: PT. Refika Aditama Beardsley et al. 2008. Konsep Perilaku Asertif. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2012, dari lyrawati.files.wordpress.com/.../keterampi lan-komunikasi Budiarto, E. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran: Sebuah Pengantar. Jakarta: EGC Burns & Grove. (1993). The Practice of Nursing Research: Conduct, Critique and Utilization. Philadelphia: W.B. Saunders Company Dalami. 2009. Asuhan Keperawatan Subyek penelitian dengan Gangguan Jiwa. Jakarta: Trans Info Media. Emnina, E. (2010). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Lama Hari Rawat Pasien Gangguan Jiwa Peserta JamKesMas di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Medan. Medan : Fakultas Ilmu Keperawatan USU Friedman, M., M. (1998). Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktik. (Edisi 3). Jakarta: EGC. Gunarsa, S. (1989). Psikologi Perawatan. Jakarta: P.T. BPK Gunung Mulia
Herdman, T.Heater, Phd, RN. 2012. NANDA International Nursing Diagnosis: Definitions & Classification 2012-2014. United Kingdom: Wiley-Blackwell Hidayat, A. 2007. Riset keperawatan dan Tekhnik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika Keliat, dkk. (2009). Influence of the abilities in controlling violence behavior to the length of stay of schizophrenic clients in Bogor mental hospital, Indonesia. Diambil pada tanggal 8 September 2009, darihttp://emji.com/?page=journal.detail& id=15 Litbang. (2005). Macam Macam Gangguan Jiwa. Diambil pada tanggal 29 September 2009, dari http://www.balipost.co.id/Bali post cetak/2005/8/3/k2.htm Maramis. (1994). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. MC Townsend. 2009. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri, Pedoman untuk Pembuatan Rencana Perawatan Ed 3. Jakarta: EGC. Monti, Peter.et al. 1999. Coping Skills Training and Cue Exposure Therapy in The Treatment of Alcoholism vol.23 no.2 . Diakses pada tanggal 21 Oktober 2012, dari pubs.niaaa.nih.gov/publications Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Ilmu Dan Seni. Jakarta : PT Rineka Cipta. Nurjanah S. 2011. Pengaruh Terapi Generalis dan Latihan Ketrampilan Sosial terhadap Pencapaian Identitas Diri Remaja Panti Asuhan di Kabupaten Banyumas. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Nursalam. 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilme Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Potter, P.A., Perry. A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Renata Komalasari (penterjemah). Jakarta: EGC. Pudjiraharjo, W. dkk. 1992. Metode Penelitian dan Statistik Terapan. Surabaya : Airlangga University Press
Ramdhani N. 2008. Pelatihan Ketrampilan Sosial untuk Terapi Kesulitan Bergaul. http://neila.staff.ugm.ac.id/. Diakses tanggal 3 September 2012. Rasmun. (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan Keluarga (edisi pertama). Jakarta: EGC. Sargeant, Matt.et al. 2009. Social Skill Training Workshop. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2012, dari www.wisaba.org/.../Sargeant-and-Peyton- Social-Skill-Training-Workshop Setiadi. (2008). Konsep & Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu Sitompul. (2008). Penderita Ganguan Jiwa Meningkat. Diambil pada tanggal 7 September 2009, dari http://www.prakarsa- rakyat.org/artikel/news/artikel_cetak.php? aid=30491 Stuart, Laraia. 2005. Principles and Practice of Psychiatric Nursing Eight Edition. USA: Elsevier Mosby Stuart and Sudden. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC Sudjana. (2005). Metode Statistika. Edisi 6., Bandung: PT. Tarsito Bandung Sugiyono, Dr. Prof. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Alfabeta Surtiningrum A. 2011. Pengaruh Terapi Suportif terhadap Kemampuan Bersosialisasi pada Subyek penelitian isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Amino Gondhoutomo Semarang. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Veranita, Santi Kusuma. (2003). Hubungan Antara Pemberian Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan UM Videbeck SL. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Yosep. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: Penerbit Refika Aditama
Penerapan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Konseling Kognitif Perilaku Dan Konseling Rasional Emotif Dalam Membantu Menangani Krisis Identitas Pada Siswa Kelas VIII SMP Laboratorium Undiksha Singaraja