You are on page 1of 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebutuhan Spiritualitas
1. Konsep Spiritual
a. Definisi
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan
Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebagai contoh seseorang yang
percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa.
Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia dengan
Tuhannya dengan menggunakan instrumen (medium) sholat, puasa,
zakat, haji, doa dan sebagainya (Hawari, 2002).
b. Aspek spiritualitas
Kebutuhan spiritual adalah harmonisasi dimensi kehidupan.
Dimensi ini termasuk menemukan arti, tujuan, menderita, dan
kematian; kebutuhan akan harapan dan keyakinan hidup, dan
kebutuhan akan keyakinan pada diri sendiri, dan Tuhan. Ada 5 dasar
kebutuhan spiritual manusia yaitu: arti dan tujuan hidup, perasaan
misteri, pengabdian, rasa percaya dan harapan di waktu kesusahan
(Hawari, 2002).
Menurut Burkhardt (dalamHamid, 2000) spiritualitas meliputi
aspek sebagai berikut:
7
8
1) Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau
ketidakpastian dalam kehidupan
2) Menemukan arti dan tujuan hidup
3) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan
dalam diri sendiri
4) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan
Yang Maha Tinggi.
c. Dimensi spiritual
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan
keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk
menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi
stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Dimensi spiritual juga
dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia
(Kozier, 2004).
Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi
eksistensial dan dimensi agama, Dimensi eksistensial berfokus pada
tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus
pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa.
Spirituaiitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal adalah
hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun
kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan
seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan
9
lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi
tersebut (Hawari, 2002).
2. Kebutuhan spiritual
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau
mengembalikan keyakinan dan rnemenuhi kewajiban agama
s
serta
kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai,
menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Kebutuhan spiritual
adalah kebutuhan mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk
mencintai dan dicintai, serta kebutuhan untuk memberikan dan
mendapatkan maaf (Kozier, 2004).
Menginventarisasi 10 butir kebutuhan dasar spiritual manusia
(Clinebell dalam Hawari, 2002), yaitu :
a. Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust), kebutuhan ini secara
terus-menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup
ini adalah ibadah.
b. Kebutuhan akan makna dan tujuan hidup, kebutuhan untuk
menemukan makna hidup dalam membangun hubungan yang selaras
dengan Tuhannya (vertikal) dan sesama manusia (horisontat) serta
alam sekitaraya
c. Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dengan
keseharian, pengalaman agama integratif antara ritual peribadatan
dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
10
d. Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan secara teratur
mengadakan hubungan dengan Tuhan, tujuannya agar keimanan
seseorang tidak melemah.
e. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa. rasa bersaiah dan
berdosa ini merupakan beban mental bagi seseorang dan tidak baik
bagi kesehatan jiwa seseorang. Kebutuhan ini mencakup dua hal yaitu
pertama secara vertikal adalah kebutuhan akan bebas dari rasa
bersalah, dan berdosa kepada Tuhan. Kedua secara horisontal yaitu
bebas dari rasa bersalah kepada orang lain
f. Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri {self acceptance dan
self esteem), setiap orang ingin dihargai, diterima, dan diakui oleh
lingkungannya.
g. Kebutuhan akan rasa aman, terjamin dan keselamatan terhadap
harapan masa depan. Bagi orang beriman hidup ini ada dua tahap yaitu
jangka pendek (hidup di dunia) dan jangka panjang (hidup di akhirat).
Hidup di dunia sifatnya sementara yang merupakan persiapan bagi
kehidupan yang kekal di akhirat nanti.
h. Kebutuhan akan dicapainya derajat dan martabat yang makin tinggi
sebagai pribadi yang utuh. Di hadapan Tuhan, derajat atau kedudukan
manusia didasarkan pada tingkat keimanan seseorang. Apabila
seseorang ingin agar derajatnya lebih tinggi dihadapan Tuhan maka dia
senantiasa menjaga dan meningkatkan keimanannya.
11
i. Kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama
manusia. Manusia hidup saling bergantung satu sama lain. Oleh karena
itu, hubungan dengan orang disekitarnya senantiasa dijaga. Manusia
juga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan alamnya sebagai tempat
hidupnya. Oleh karena itu manusia mempunyai kewajiban untuk
menjaga dan melestarikan alam ini.
j. Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan nilai-
nilai religius. Komunitas keagamaan diperlukan oleh seseorang dengan
sering berkumpul dengan orang yang beriman akan mampu
meningkatkan iman orang tersebut.
3. Pola Normal Spiritual
Dimensi spiritual adalah sesuatu yang terintegrasi dan
berhubungan dengan dimensi yang lain dalam diri seorang individu.
Spiritualitas mewakili totalitas keberadaan seseorang dan berfungsi
sebagai perspektif pendorong yang menyatukan berbagai aspek individual.
Dimensi spiritual merupakan salah satu dimensi penting yang perlu
diperhatikan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
seorang klien. Keimanan atau keyakinan religius adalah sangat penting
dalam kehidupan personal individu. Keyakinan tersebut diketahui sebagai
suatu faktor yang kuat dalam penyembuhan dan pemulihan fisik (Hamid,
2000).
Oleh karena itu, menjadi suatu hal penting bagi perawat untuk
meningkatkan pemahaman tentang konsep spiritual agar dapat
12
memberikan asuhan spiritual dengan baik kepada klien.
Setiap individu memiliki definisi dan konsep yang berbeda mengenai
spiritualitas. Kata-kata yang digunakan untuk menjabarkan spiritualitas
termasuk makna, transenden, harapan, cinta, kualitas, hubungan, dan
eksistensi (Potter & Perry, 2005).
Setiap individu memiliki pemahaman tersendiri mengenai
spiritualitas karena masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda
mengenai hal tersebur. Perbedaan definisi dan konsep spiritualitas
dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup seseorang,
serta persepsi mereka tentang hidup dan kehidupan. Pengaruh tersebut
nantinya dapat mengubah pandangan seseorang mengenai konsep
spiritulitas dalam dirinya sesuai dengan pemahaman yang ia miliki dan
keyakinan yang ia pegang teguh (Hawari, 2002).
Konsep spiritual memiliki arti yang berbeda dengan konsep
religius. Banyak perawat dalam praktiknya tidak dapat membedakan kedua
konsep tersebut karena menemui kesulitan dalam memahami keduanya.
Kedua hal tersebut memang sering digunakan secara bersamaan dan saling
berhubungan satu sama lain. Konsep religius biasanya berkaitan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan atau proses melakukan suatu tindakan. Konsep
religius merupakan suatu sistem penyatuan yang spesifik mengenai praktik
yang berkaitan bentuk ibadah tertentu. Emblen dalam Potter dan Perry
mendefinisikan religi sebagai suatu sistem keyakinan dan ibadah
13
terorganisasi yang dipraktikan seseorang secara jelas menunjukkan
spiritualitas mereka (Hawari, 2002)
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa religi
adalah proses pelaksanaan suatu kegiatan ibadah yang berkaitan dengan
keyakinan tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
menunjukkan spiritualitas diri mereka. Sedangkan spiritual memiliki
konsep yang lebih umum mengenai keyakinan seseorang. Terlepas dari
prosesi ibadah yang dilakukan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan
tersebut (Hawari, 2002)
Konsep spiritual berkaitan dengan nilai, keyakinan, dan
kepercayaan seseorang. Kepercayaan itu sendiri memiliki cakupan mulai
dari atheisme (penolakan terhadap keberadaan Tuhan) hingga agnotisme
(percaya bahwa Tuhan ada dan selalu mengawasi) atau theism (Keyakinan
akan Tuhan dalam bentuk personal tanpa bentuk fisik) seperti dalam
Kristen dan Islam. Keyakinan merupakan hal yang lebih dalam dari suatu
kepercayaan seorang individu. Keyakinan mendasari seseorang untuk
bertindak atau berpikir sesuai dengan kepercayaan yang ia ikuti (Hawari,
2004).
Keyakinan dan kepercayaan akan Tuhan biasanya dikaitkan dengan
istilah agama. Di dunia ini, banyak agama yang dianut oleh masyarakat
sebagai wujud kepercayaan mereka terhadap keberadaan Tuhan. Tiap
agama yang ada di dunia memiliki karakteristik yang berbeda mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan sesuai dengan
14
prinsip yang mereka pegang teguh. Keyakinan tersebut juga
mempengaruhi seorang individu untuk menilai sesuatu yang ada sesuai
dengan makna dan filosofi yang diyakininya. Sebagai contoh, persepsi
seorang Muslim mengenai perawatan kesehatan dan respon penyakit
tentunya berbeda dengan persepsi seorang Budhis. Semua itu tergantung
konsep spiritual yang dipahami sesuai dengan keyakinan dan keimanan
seorang individu. Konsep spiritual yang dianut atau dipahami oleh seorang
klien dapat mempengaruhi cara pandang klien mengenai segala
sesuatunya, tak terkecuali dalam bidang kesehatan. Paradigma mengenai
sakit, tipe-tipe pengobatan yang dilakukan, persepsi mengenai kehidupan
dan makna yang terkandung di dalamnya adalah contoh penerapan konsep
spiritual secara normal pada diri seorang individu. Ada beberapa agama
yang menerapkan pola normal spiritualnya dengan cara:
a. Beberapa orang menjadi spiritual setelah usia 40 tahun. Pada satu
tingkat pergi ke kuil, menghadiri wacana-wacana dan membaca buku-
buku atau kitab-kitab dianggap sangat spiritual.
b. Tingkat kedua orang memiliki seorang guru mengikuti tradisi maka
mereka memiliki sadhana. Ini adalah zaman baru modern gaya
c. Ada tingkat ketiga orang yang mempunyai dewa dan mereka upsana.
Beberapa praktik seni seperti astrologi atau obat atau tari atau musik
dan kemudian mereka menggunakan waktu luang ada dalam sadhana
spiritual.
15
d. Beberapa orang menghadiri Bhajan dan kemudian melakukan
pelayanan sosial yang juga baik seperi pelayanan kesehatan.
4. Pola normal spiritual
Pola normal spiritual sangat erat hubungannya dengan kesehatan,
Karena dari pola tersebut dapat menciptakan suatu bentuk perilaku adaptif
ataupun maladaptif berhubungan dengan penerimaan kondisi diri. Dimensi
spiritual merupakan dimensi yang sangat penting diperhatikan oleh
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada semua klien.
Carson (2002) menyatakan bahwa keimanan atau keyakinan religius
adalah sangat penting dalam kehidupan personal individu. Lebih lanjut
dikatakannya bahwa keimanan diketahui sebagai suatu faktor yang sangat
kuat (powerful) dalam penyembuhan dan pemulihan fisik, yang tidak
dapat diukur. Mengingat pentingnya peranan spiritual dalam penyembuhan
dan pemulihan kesehatan maka penting bagi perawat untuk meningkatkan
pemahaman tentang konsep spiritual agar dapat memberikan asuhan
spiritual dengan baik kepada semua klien.
5. Perkembangan Aspek Spiritual
Perawat yang bekerja di garis terdepan harus mampu memenuhi
semua kebutuhan manusia termasuk juga kebutuhan spiritual klien.
Berbagai cara dilakukan perawat untuk memenuhi kebutuhan klien mulai
dari pemenuhan makna dan tujuan spiritual sampai dengan memfasilitasi
klien untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya. Pemenuhan aspek
spiritual pada klien tidak terlepas dari pandangan terhadap lima dimensi
16
manusia yang harus dintegrasikan dalam kehidupan. Lima dimensi
tersebut yaitu dimensi fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual.
Dimensi-dimensi tersebut berada dalam suatu sistem yang saling
berinterksi, interrelasi, dan interdepensi, sehingga adanya gangguan pada
suatu dimensi dapat mengganggu dimensi lainnya (Carson, 2002)
Perawat harus mengetahui tahap perkembangan spiritual dari
manusia, sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan dengan
tepat dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritual klien. Tahap
perkembangan klien dimulai dari lahir sampai klien meninggal dunia.
Perkembangan spiritual manusia dapat dilihat dari tahap perkembangan
mulai dari bayi, anak-anak, pra sekolah, usia sekolah, remaja, desawa
muda, dewasa pertengahan, dewasa akhir, dan lanjut usia. Secara umum
tanpa memandang aspek tumbuh-kembang manusia proses perkembangan
aspek spiritual dilhat dari kemampuan kognitifnya dimulai dari
pengenalan, internalisasi, peniruan, aplikasi dan dilanjutkan dengan
instropeksi. Namun, berikut akan dibahas pula perkembangan aspek
spiritual berdasarkan tumbuh-kembang manusia (Carson, 2002)
Perkembangan spiritual pada anak sangatlah penting untuk
diperhatikan. Manusia sebagai klien dalam keperawatan anak adalah
individu yang berusia antara 0-18 bulan, yang sedang dalam proses
tumbuh kembang, yang mempunyai kebutuhan yang spesifik (fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual) yang berbeda dengan orang dewasa. Anak
adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan
17
lingkungan, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi
dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri (Larson,
2009).
Tahap awal perkembangan manusia dimulai dari masa
perkembangan bayi. Hamid (2000) menjelaskan bahwa perkembangan
spiritual bayi merupakan dasar untuk perkembangan spiritual selanjutnya.
Bayi memang belum memiliki moral untuk mengenal arti spiritual.
Keluarga yang spiritualnya baik merupakan sumber dari terbentuknya
perkembangan spiritual yang baik pada bayi. Oleh karena itu, perawat
dapat menjalin kerjasama dengan orang tua bayi tersebut untuk membantu
pembentukan nilai-nilai spiritual pada bayi.
Dimensi spiritual mulai menunjukkan perkembangan pada masa
kanak-kanak awal (18 bulan-3 tahun). Anak sudah mengalami peningkatan
kemampuan kognitif. Anak dapat belajar membandingkan hal yang baik
dan buruk untuk melanjuti peran kemandirian yang lebih besar. Tahap
perkembangan ini memperlihatkan bahwa anak-anak mulai berlatih untuk
berpendapat dan menghormati acara-acara ritual dimana mereka merasa
tinggal dengan aman. Observasi kehidupan spiritual anak dapat dimulai
dari kebiasaan yang sederhana seperti cara berdoa sebelum tidur dan
berdoa sebelum makan, atau cara anak memberi salam dalam kehidupan
sehari-hari. Anak akan lebih merasa senang jika menerima pengalaman-
pengalaman baru, termasuk pengalaman spiritual (Hamid, 2000).
18
Perkembangan spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6 tahun)
berhubungan erat dengan kondisi psikologis dominannya yaitu super ego.
Anak usia pra sekolah mulai memahami kebutuhan sosial, norma, dan
harapan, serta berusaha menyesuaikan dengan norma keluarga. Anak tidak
hanya membandingkan sesuatu benar atau salah, tetapi membandingkan
norma yang dimiliki keluarganya dengan norma keluarga lain. Kebutuhan
anak pada masa pra sekolah adalah mengetahui filosofi yang mendasar
tentang isu-isu spiritual. Kebutuhan spiritual ini harus diperhatikan karena
anak sudah mulai berfikiran konkrit. Mereka kadang sulit menerima
penjelasan mengenai Tuhan yang abstrak, bahkan mereka masih kesulitan
membedakan Tuhan dan orang tuanya (Hamid, 2000).
Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami
peningkatan kualitas kognitif pada anak. Anak usia sekolah (6-12 tahun)
berfikir secara konkrit, tetapi mereka sudah dapat menggunakan konsep
abstrak untuk memahami gambaran dan makna spriritual dan agama
mereka. Minat anak sudah mulai ditunjukan dalam sebuah ide, dan anak
dapat diajak berdiskusi dan menjelaskan apakah keyakinan. Orang tua
dapat mengevaluasi pemikiran sang anak terhadap dimensi spiritual
mereka (Hamid, 2000).
Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini individu sudah mengerti akan
arti dan tujuan hidup, Menggunakan pengetahuan misalnya untuk
mengambil keputusan saat ini dan yang akan datang. Kepercayaan
berkembang dengan mencoba dalam hidup. Remaja menguji nilai dan
19
kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak atau menerimanya.
Secara alami, mereka dapat bingung ketika menemukan perilaku dan role
model yang tidak konsisten. Pada tahap ini kepercayaan pada kelompok
paling tinggi perannya daripada keluarga. Tetapi keyakinan yang diambil
dari orang lain biasanya lebih mirip dengan keluarga, walaupun mereka
protes dan memberontak saat remaja. Bagi orang tua ini merupakan tahap
paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan membimbing anak
untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua dan remaja
(Hamid, 2000).
Dewasa muda (18-25 tahun). Pada tahap ini individu menjalani
proses perkembangannya dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual,
memikirkan untuk memilih nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari
saaat kanak-kanak dan berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka
sendiri. Spiritual bukan merupakan perhatian utama pada usia ini, mereka
lebih banyak memudahkan hidup walaupun mereka tidak memungkiri
bahwa mereka sudah dewasa (Hamid, 2000).
Dewasa pertengahan (25-38 tahun). Dewasa pertenghan merupakan
tahap perkembangan spiritual yang sudah benar-benar mengetahui konsep
yang benar dan yang salah, mereka menggunakan keyakinan moral, agama
dan etik sebagai dasar dari sistem nilai. Mereka sudah merencanakan
kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan terhadap kepercayaan
dan nilai spiritual (Hamid, 2000).

20
Dewasa akhir (38-65 tahun). Periode perkembangan spiritual pada
tahap ini digunakan untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi
spiritual, kemampuan intraspeksi ini sama baik dengan dimensi yang lain
dari diri individu tersebut. Biasanya kebanyakan pada tahap ini kebutuhan
ritual spiritual meningkat (Hamid, 2000).
Lanjut usia (65 tahun sampai kematian). Pada tahap perkembangan
ini, pada masa ini walaupun membayangkan kematian mereka banyak
menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat
agama sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna
bagi orang lain. Riset membuktikan orang yang agamanya baik,
mempunyai kemungkinan melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia
yang agamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa
tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan dan rasa takut mati.
Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak takut mati dan dapat
lebih mampu untuk menerima kehidupan. J ika merasa cemas terhadap
kematian disebabkan cemas pada proses bukan pada kematian itu sendiri
(Hamid, 2000).
Dimensi spiritual menjadi bagian yang komprehensif dalam
kehidupan manusia. Karena setiap individu pasti memiliki aspek spiritual,
walaupun dengan tingkat pengalaman dan pengamalan yang berbeda-beda
berdasarkan nilai dan keyaninan mereka yang mereka percaya. Setiap fase
dari tahap perkembangan individu menunjukkan perbedaan tingkat atau
pengalaman spiritual yang berbeda (Hamid, 2000).
21
B. Peran Perawat Dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritual
Menurut Undang-undang Kesehatan No.23 tahun 1992 bahwa Perawat
adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan
tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh
melalui pendidikan keperawatan. Aktifitas keperawatan meliputi peran dan
fungsi pemberian asuhan atau pelayanan keperawatan, praktek keperawatan,
pengelolaan institusi keperawatan, pendidikan klien (individu, keluarga dan
masyarakat) serta kegiatan penelitian dibidang keperawatan (Gaffar, 1999).
Dalam hal ini klien dianggap sebagai tokoh utama (central figure) dan
menyadari bahwa tim kesehatan pada pokoknya adalah membantu tokoh
utama tadi. Usaha perawat menjadi sia-sia bila klien tidak mengerti, tidak
menerima atau menolak atas asuhan keperawatan, karenanya jangan sampai
muncul klien tergantung pada perawat/tim kesehatan. J adi pada dasarnya
tanggung jawab seorang perawat adalah menolong klien dalam membantu
klien dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang biasanya dia lakukan
tanpa bantuan.
Perawat dapat melakukan beberapa hal yang dapat membantu
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan klien, diantaranya : Menciptakan rasa
kekeluargaan dengan klien, berusaha mengerti maksud klien, berusaha untuk
selalu peka terhadap ekspresi non verbal, berusaha mendorong klien untuk
mengekspresikan perasaannya, berusaha mengenal dan menghargai klien.
Mengingat perawat merupakan orang pertama dan secara konsisten
selama 24 jam sehari menjalin kontak dengan pasien, sehingga dia sangat
22
berperan dalam membantu memenuhi kebutuhan spiritual pasien. Menurut
Andrew dan Boyle (2002) pemenuhan kebutuhan spiritual memerlukan
hubungan interpersonal, oleh karena itu perawat sebagai satu-satunya petugas
kesehatan yang berinteraksi dengan pasien selama 24 jam maka perawat
adalah orang yang tepat untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien.
Kebutuhan spiritual klien sering ditemui oleh perawat dalam
menjalankan perannya sebagai pemberi pelayanan atau asuahn keperawatan.
Hal ini perawat menjadi contoh peran spiritual bagi klienya. Perawat harus
mempunyai pegangan tentang keyakianan spiritual yang memenuhi
kebutuhanya untuk mendapatkan arti dan tujuan hidup, mencintai, dan
berhubungan serta pengampunan (Hamid, 2000).
Peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 terdiri
dari peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokad pasien, pendidik,
koordinator, kolaborator, konsultan, dan peneliti yang dapat digambarkan
sebagai berikut (Hidayat, 2008):
1. Peran Sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat
dengan memperhatikan keadaan kebutuhan keadaan dasar manusia yang
dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan
menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis
keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang
sesuai dengan kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi
tingkat perkembangannya.
23
2. Peran Sebagai Advokat Klien
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau
informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan
keperawatan yang diberikan kepada klien, juga dapat berperan
mempertahankan dan melindungi hak-hak pasian yang meliputi hak atas
peleyanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak
atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk
menerima ganti rugi akibat kelalaian.
3. Peran Edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan, gejala penyakit, bahkan tindakan yang diberikan,
sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah mendapatkan
pendidikan kesehatan.
4. Peran Koordinator
Peran ini dilaksakan dengan mengarahkan, merencanakan, serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga
pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan
kebutuhan klien.
5. Peran Kolaborator
Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalaui tim
kesehatan yang terdiri dari dokter, fiisoterapis, ahli gizi dan lain-lain
dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang
24
diperlukan termasuk diskusi, atau bertukar pendapat dalam bentuk
pelayanan selanjutnya.
6. Peran Konsultan
Peran perawat sebagai konsultan adalah sebagai tempat konsultasi
terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan.
Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang
tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.
7. Peran Pembaharu
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan
perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai
dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.
Peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pasien
merupakan bagian dari peran dan fungsi perawat dalam pemberian asuhan
keperawatan. Untuk itu diperlukan sebuah metode ilmiah untuk
menyelesaikan masalah keperawatan, yang dilakukan secara sitematis yaitu
dengan pendekatan proses keperawatan yang diawali dari pengkajian data,
penetapan diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Berikut ini akan
diuraikan mengenai proses keperawatan pada aspek spiritual (Hamid, 2000):
1. Pengkajian
Ketepatan waktu pengkajian merupakan hal yang penting yaitu
dilakukan setelah pengkajian aspek psikososial pasien. Pengkajian aspek
spiritual memerlukan hubungan interpersonal yang baik dengan pasien.
Oleh karena itu pengkajian sebaiknya dilakukan setelah perawat dapat
25
membentuk hubungan yang baik dengan pasien atau dengan orang terdekat
dengan pasien, atau perawat telah merasa nyaman untuk
membicarakannya. Pengkajian yang perlu dilakukan meliputi:
a. Pengkajian data subjektif
Pedoman pengkajian yang disusun oleh Stoll (dalam Kozier,
2005) mencakup (a) konsep tentang ketuhanan, (b) sumber kekuatan
dan harapan, (c) praktik agama dan ritual, dan (d) hubungan antara
keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan.
b. Pengkajian data objektif
Pengkajian data objektif dilakukan melalui pengkajian klinik
yang meliputi pengkajian afek dan sikap, perilaku, verbalisasi,
hubungan interpersonal dan lingkungan. Pengkajian data objektif
terutama dilakukan melalui observasi, Pengkajian tersebut meliputi:
1) Afek dan sikap
Apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah, cemas, agitasi,
apatis atau preokupasi?
2) Perilaku
Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca kitab suci
atau buku keagamaan? dan apakah pasien seringkali mengeluh,
tidak dapat tidur, bermimpi buruk dan berbagai bentuk gangguan
tidur lainnya, serta bercanda yang tidak sesuai atau
mengekspresikan kemarahannya terhadap agama?.

26
3) Verbalisasi
Apakah pasien menyebut Tuhan, doa, rumah ibadah atau topik
keagamaan lainnya?, apakah pasien pernah minta dikunjungi oleh
pemuka agama? dan apakah pasien mengekspresikan rasa takutnya
terhadap kematian?
4) Hubungan interpersonal
Siapa pengunjung pasien? bagaimana pasien berespon terhadap
pengunjung? apakah pemuka agama datang mengunjungi pasien?
Dan bagaimana pasien berhubungan dengan pasien yang lain dan
juga dengan perawat?
5) Lingkungan
Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan ibadah
lainnya? apakah pasien menerima kiriman tanda simpati dari unsur
keagamaan dan apakah pasien memakai tanda keagamaan
(misalnya memakai jilbab?).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang berkaitan dengan masalah spiritual
menurut North American Nursing Diagnosis Association adalah distres
spiritual (NANDA, 2006). Pengertian dari distres spiritual adalah
kerusakan kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan
tujuan hidup seseorang dihubungkan dengan din, orang lain, seni, musik,
literature, alam, atau kekuatan yang lebih besar dari dirinya (NANDA,
2006).
27
Menurut North American Nursing Diagnosis Association
(NANDA, 2006) batasan karakteristik dari diagnosa keperawatan distres
spiritual adalah 1) berhubungan dengan diri, meliputi; pertama
mengekspresikan kurang dalam harapan, arti dan tujuan hidup, kedamaian,
penerimaan, cinta, memaafkan diri, dan keberanian. Kedua marah, ketiga
rasa bersalah, dan keempat koping buruk. 2) Berhubungan dengan orang
lain, meliputi; menolak berinteraksi dengan pemimpin agama, menolak
berinteraksi dengan teman dan keluarga, mengungkapkan terpisah dari
sistem dukungan, mengekspresikan terasing. 3) Berhubungan dengan seni,
musik, literatur dan alam, meliputi; tidak mampu mengekspresikan kondisi
kreatif (bernyanyi, mendengar / menulis musik), tidak ada ketertarikan
kepada alam, dan tidak ada ketertarikan kepada bacaan agama. 4)
Berhubungan dengan kekuatan yang melebihi dirinya, meliputi; tidak
mampu ibadah, tidak mampu berpartisipasi 'alam aktifitas agama,
mengekspresikan ditinggalkan atau marah kepada Tuhan, tidak mampu
untuk mengalami transenden, meminta untuk bertemu pemimpin agama,
perubahan mendadak dalam praktek keagamaan, tidak mampu introspeksi
dan mengalami penderitaan tanpa harapan.
Menurut North American Nursing Diagnosis Association
(NANDA, 2006) faktor yang berhubungan dari diagnosa keperawatan
distress spiritual adalah; mengasingkan diri, kesendirian atau pengasingan
sosial, cemas, deprivasi/kurang sosiokultural, kematian dan sekarat diri
28
atau orang lain, nyeri, perubahan hidup, dan penyakit kronis diri atau
orang lain.
3. Perencanaan
Setelah diagnosa keperawatan dan faktor yang berhubungan
teridentifikasi, selanjutnya perawat dan pasien menyusun kriteria hasil dan
rencana intervensi. Tujuan asuhan keperawatan pada pasien dengan distres
spiritual difokuskan pada menciptakan lingkungan yang mendukung
praktek keagamaan dan kepercayaan yang biasanya dilakukan. Tujuan
ditetapkan secara individual dengan mempertimbangkan riwayat pasien,
area beresiko, dan tanda-tanda disfungsi serta data objektif yang relevan.
Menurut (Kozier, 2005) perencanaan pada pasien dengan distres
spiritual dirancang untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien dengan: 1)
membantu pasien memenuhi kewajiban agamanya, 2) membantu pasien
menggunakan sumber dari dalam dirinya dengan cara yang lebih efektif
untuk mengatasi situasi yang sedang dialami, 3) membantu pasien
mempertahankan atau membina hubungan personal yang dinamik dengan
Maha Pencipta ketika sedang menghadapi peristiwa yang kurang
menyenangkan, 4) membantu pasien mencari arti keberadaannya dan
situasi yang sedang dihadapinya, 5) meningkatkan perasaan penuh
harapan, dan 6) memberikan sumber spiritual atau cara lain yang relevan.
4. Implementasi
Pada tahap implementasi, perawat menerapkan rencana intervensi
dengan melakukan prinsip-prinsip kegiatan asuhan keperawatan sebagai
29
berikut : 1) periksa keyakinan spiritual pribadi perawat, 2) fokuskan
perhatian pada persepsi pasien terhadap kebutuhan spiritualnya, 3) jangan
beranggapan pasien tidak mempunyai kebutuhan spiritual, 4) mengetahui
pesan non verbal tentang kebutuhan spiritual pasien, 5) berespon secara
singkat, spesifik, dan aktual, 6) mendengarkan secara aktif dan
menunjukkan empati yang berarti menghayati masalah pasien, dan 7)
membantu memfasilitasi pasien agar dapat memenuhi kewajiban agama, 8)
memberitahu pelayanan spiritual yang tersedia di rumah sakit. Pada tahap
implementasi ini, perawat juga harus memperhatikan 10 butir kebutuhan
dasar spiritual manusia seperti yang disampaikan oleh Clinebell (Hawari,
2002) yang meliputi: 1) kebutuhan akan kepercayaan dasar, 2) kebutuhan
akan makna dan tujuan hidup, 3) kebutuhan akan komitmen peribadatan
dan hubungannya dengan keseharian, 4) kebutuhan akan pengisian
keimanan dengan secara teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan, 5)
kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa, 6) kebutuhan akan
penerimaan diri dan harga diri, 7) kebutuhan akan rasa aman terjamin dan
keselamatan terhadap harapan masa depan, 8) kebutuhan akan dicapainya
derajat dan martabat yang makin. tinggi sebagai pribadl yang utuh, 9)
kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama manusia,
10) kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan nilai-
nilai religius.
30
Perawat berperan sebagai communicator bila pasien menginginkan
untuk bertemu dengan petugas rohaniawan atau bila menurut perawat
memerlukan bantuan rohaniawan dalam mengatasi masalah spirituahiya.
Menurut McCloskey dan Bulechek (2006) dalam Nursing
Interventions Classification (NIC), intervensi keperawatan dari diagnosa
distres spiritual salah satunya adalah support spiritual. Definisi support
spiritual adalah membantu pasien untuk merasa seimbang dan
berhubungan dengan kekuatan Maha Besar. Adapun aktivitasnya meliputi
: 1) buka ekspresi pasien terhadap kesendirian dan ketidakberdayaan, 2)
beri semangat untuk menggunakan sumber-sumber spiritual, jika
diperlukan, 3) siapkan artikel tentang spiritual, sesuai pilihan pasien, 4)
tunjuk penasihat spiritual pilihan pasien, 5) gunakan teknik klarifikasi nilai
untuk membantu pasien mengklarifikasi kepercayaan dan nilai, jika
diperlukan, 6) mampu untuk mendengar perasaan pasien, 7) berekspersi
empati dengan perasaan pasien, 8) fasilitasi pasien dalam meditasi, berdo'a
dan ritual keagamaan lainnya, 9) dengarkan dengan baik-baik komunikasi
pasien, dan kembangkan rasa pemanfaatan waktu untuk berdo'a atau ritual
keagamaan, 10) yakinkan kepada pasien bahwa perawat akan dapat men-
support pasien ketika sedang menderita, 11) buka perasaan pasien
terhadap keadaan sakit dan kematian, dan 12) bantu pasien untuk
berekspresi yang sesuai dan bantu mengungkapkan rasa marah dengan
cara yang baik (McCloskey dan Bulechek, 2006).

31
5. Evaluasi
Untuk mengetahui apakah pasien telah mencapai kriteria hasil yang
ditetapkan pada fase perencanaan, perawat perlu mengumpulkan data
terkait dengan pencapaian tujuan asuhan keperawatan. Tujuan asuhan
keperawatan tercapai apabila secara umum pasien : 1) mampu beristirahat
dengan tenang, 2) mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan
Tuhan, 3) menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan
pemuka agama, 4) mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan
keberadaannya, dan 5) menunjukkan afek positif, tanpa rasa bersalah dan
kecemasan.

C. Pasien dengan Pre-Operasi
1. Pengertian Pre Operasi
Fase Pre operasi adalah waktu dimulai ketika keputusan untuk
informasi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi
(Brunner dan Suddarth, 2002). Keputusan untuk bedah ini dipengaruhi
oleh kondisi fisik dan anesthesi, untuk hal tersebut maka pasien perlu
dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan radiology.
2. Perawatan Pre Operasi
Perawatan pada pasien pre operasi harus memandang pasien secara
utuh, yaitu mencakup unsur bio, psiko, sosio dan spiritual. Hal tersebut
berjalan dengan definisi keperawatan hasil lokakarya keperawatan
nasional tahun 1983 yang menyatakan bahwa keperawatan adalah suatu
32
bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan,
berbentuk pelayanan bio, psiko, sosio, kulturul dan spiritual yang
komprehensif serta dtunjukkan kepada individu, keluarga dan masyarakat
baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia
(Gaffar, 1999).
Depkes (1989) bahwa perawatan pre operasi adalah perawatan
yang memberikan kepada pasien yang akan menjalani operasi. Tujuan dari
perawatan pre operasi adalah untuk mempersiapkan diri pasien
menghadapi anesthesia dan operasi, baik mental maupun emosional.
3. Persiapan Pasien Pre operasi
Sjamsuhidajat (2005) menjelaskan bahwa persiapan pasien pre
operasi meliputi persiapan fisik dan persiapan mental, persiapan mi
penting sekali untuk mengurangi faktor resiko yang diakibatkan dari suatu
pembedahan.
a. Persiapan fisik
Perawatan yang harus diberikan pada pasien pre operasi adalah
mempersiapkan secara fisik hal-hal yang dapat berpengaruh baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberhasilan
tindakan pembedahan atau operasi, diantaranya adalah pertama
keadaan umum pasien yang meliputi: kesadaran, tensi, nadi, suhu serta
pemeriksaan fisik seperti dekubitus, edema, atau bunyi nafas
abnormal; kedua keseimbangan cairan dan elektrolit harus normal;
33
ketiga status nutrisi harus baik; keempat klisma dan puasa yaitu
pengosongan lambung dan kolon harus baik dan bersih; kelima
personal hygiene pasien harus baik; dan keenam pengosongan
kandung kemih (Sjamsuhidajat, 2005).
b. Persiapan mental
Pasien secara mental harus dipersiapkan untuk menghadapi
pembedahan, karena selalu ada rasa cemas atau takut terhadap
penyuntikan, nyeri luka, anestesia, bahkan terhadap kemungkinan
cacat atau mati. Dalam hal ini, hubungan baik antara penderita,
keluarga dan tenaga kesehatan sangat membantu untuk memberikan
dukungan sosial atau yang lebih dikenal dengan Istilah support system.
Kecemasan ini adalah reaksi normal yang dapat dihadapi dengan sikap
terbuka dan penerangan dari dokter dan petugas pelayanan kesehatan
lainnya (Sjamsuhidajat, 2005).
Perawat juga harus mampu memberikan dukungan psikologis
terhadap pasien pre operasi. Dukungan psikologis yang dapat
diberikan misalnya dengan menginformasikan pada pasien sesuatu
yang bisa terjadi, menentukan status psikologis pasien, memberikan
prioritas peringatan dari hal-hal yang dapat membahayakan, dan
mengkomunikasikan status emosional pasien kepada anggota tim
kesehatan lain secara tepat (LeMone, 1996).
Upaya pemenuhan kebutuhan spiritual ini dapat dilakukan
dengan ,mengusahakan kemudahan seperti mendatangkan pemuka
34
agama sesuai dengan agama yang diyakini pasien, memberikan privacy
untuk berdoa, memberikan kelonggaran bagi pasien untuk berinteraksi
dengan orang lain (keluarga, teman, dan sebagainya) serta menjalin
komunikasi yang terapeutik terhadap pasien (Hamid, 2000). Suatu
penelitian terhadap pasien-pasien yang akan menjalani operasi
dilakukan oleh Larson (2009) hasil penelitiannya menyimpulkan
bahwa pasien-pasien lanjut usia dan religius (banyak berdo'a dan
berdzikir) kurang mengalami rasa ketakutan atau kecemasan terhadap
operasi yang akan dijalaninya.














35
D. Kerangka Teori
















Bagan 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Hamid (2000), Hawari (2002), Hidayat (2008),
dan Sjamsuhidajat (2005)



Kebutuhan Fisik:
- Keadaan umum
- Keseimbangan cairan
dan elektrolit
- Status nutrisi
- Klisma & puasa
- Personal hygiene
- Pengosongan kandung
kemih
Kebutuhan Mental:
- Dukungan sosial
- Dukungan psikologis
- Pemenuhan kebutuhan
spiritual
Pendekatan Proses
Keperawatan:
- Pengkajian
- Diagnosa
keperawatan
- Perencanaan
- Pelaksanaan
- Evaluasi
Peran Perawat :
- Pemberi asuhan
keperawatan
- Advokat Klien
- Educator
- Koordinator
- Kolaborator
- Konsiltan
- Pembaharu
Kebutuhan
Pasien pre operasi
36
E. Kerangka Konsep








Bagan 2.2 Kerangka Konsep

E. Hipotesis
Penelitian ini hanya mengetahui gambaran peran perawat sebagai
pemberi asuhan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pada
pasien pre operasi di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang, jadi
tidak diperlukan suatu hipotesis (Arikunto, 2006).

Pasien pre
operasi
Baik
Cukup
Kurang baik
Tidak baik
Peran perawat
dalam
pemenuhan
kebutuhan
spiritual
dengan
pendekatan
proses
keperawatan

You might also like