You are on page 1of 9

1

BAB I
PEDAHULUA

A. Latar Belakang
Keperawatan bukanlah sekumpulan keterampilan-keterampilan spesifik, juga
bukan seseorang yang dilatih hanya untuk melakukan tugas-tugas tertentu, akan
tetapi, keperawatan adalah profesi (Potter & Perry, 2007). Di Indonesia
keperawatan mengalami perkembangan yang dinamis, dimana sejak tahun 1984
diakui sebagai suatu profesi (Nursalam, 2006).

Sebagai profesi, perawat menggunakan berbagai keterampilan dalam
melaksanakan aktivitas profesionalnya, baik keterampilan berfikir kritis,
penggalian masalah maupun keterampilan dalam pembuatan keputusan. Aktivitas
profesional itu dilakukan melalui suatu proses keperawatan untuk mencapai
stabilitas dan fungsi maksimal dari klien, dengan menjadikan fenomena respon
klien (bio-psiko-sosio-spiritual-kultural) sebagai perhatian perawat (American
Nurse Association, 2003).

Klien dan/atau pasien, dalam Rancangan Undang-Undang Praktik Keperawatan,
pasal 1 ayat 22, didefinisikan sebagai setiap orang yang melakukan konsultasi
masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik
secara langsung maupun tidak langsung kepada perawat (PPNI, 2008). Pada hakikatnya
klien sebagai manusia adalah mahluk individu, mahkuk sosial, juga mahluk
Tuhan. Beranjak dari hakikat manusia tersebut, keperawatan memandang
Faktor-Faktor, Rohman, FIK UI, 2009
2
manusia secara komprehensif, yang terdiri atas dimensi biologis (fisiologis),
psikologis, sosiologis, kultural dan spiritual yang utuh, unik, dan kompleks
(Govier, 2000). Berbagai dimensi tersebut merupakan aspek penting dari klien,
yang perlu mendapat perhatian secara utuh, dan dipertahankan dalam
keseimbangan untuk mencapai keadaan sehat dan/atau sejahtera.

Dimensi spiritual menduduki peranan penting dalam kehidupan individu,
disamping dimensi lainnya. Coyle (2002 dalam Oswald, 2004) menyatakan
bahwa terpenuhinya kebutuhan spiritual pasien, akan dapat membantu mereka
beradaptasi dan melakukan koping terhadap sakit yang dideritanya. McSherry
(1998) juga menyatakan bahwa dimensi spiritual dapat mengharmonisasi
individu dengan alam, mendorong kerjakeras, dan membantu memfokuskan
individu saat menghadapi keadaan stres emosional, penyakit fisik dan kematian.
Lebih jauh Oswald (2004) mengatakan, spiritualitas dan pemenuhan kebutuhan
spiritual merupakan salah satu aspek kunci untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien, selain kebutuhan fisik dan psikologis.

Dalam keperawatan holistik (holistic nursing) spiritual merupakan salah satu
komponen yang ada dalam diri individu selain komponen fisik dan psikologis.
Pada konteks keperawatan holistik tersebut, seorang perawat mengenali dan
mengintegrasikan dimensi badan/fisik (body), pikiran/psikologi (mind) dan spirit
(spirit) dalam praktik kliniknya sehari-hari (Dossey, 2005). Hal tersebut
dilakukan mengingat terpenuhinya kebutuhan dari dimensi-dimensi itu secara
seimbang, akan berperan penting pada status kesehatan klien. Sebaliknya, tidak
terpenuhinya kebutuhan klien pada salah satu dari dimensi yang ada dapat
Faktor-Faktor, Rohman, FIK UI, 2009
3
menyebabkan gangguan kesehatan dan kesejahteraan. Makhija (2002)
mencontohkan, jika terjadi gangguan pada domain fisik misalnya, akan
menyebabkan terganggunya domain psikologis dan spiritual. Tiap bagian dari
individu tidaklah akan mencapai kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian
tersebut sejahtera. Terkait konsep ini, Plato dalam Makhija (2002)
mengungkapkan bahwa tidak sepatutnya berusaha mengobati dan
menyembuhkan mata tanpa kepala, atau mengobati kepala tanpa badan, demikian
juga badan tanpa jiwa, karena bagian-bagian tersebut tidak akan pernah sejahtera
kecuali keseluruhannya sejahtera.

Spiritual sebagai salah satu dimensi dalam diri individu klien, perlu dipenuhi
kebutuhannya, seperti juga dimensi lainnya. Di negara maju, kebanyakan klien
masih mempertimbangkan dimensi spiritual sebagai bagian yang harus
diperhatikan. Dalam sebuah penelitian di US menunjukan bahwa 94% dari pasien
yang berkunjung ke rumah sakit meyakini kesehatan spiritual sama pentingnya
dengan kesehatan fisik (Anandarajah, 2001). Koenig (2001 dalam Clark, 2008)
menemukan bahwa 90% pasien di beberapa area di Amerika menyandarkan pada
agamasebagai bagian dari aspek spiritualuntuk mendapatkan kenyamanan
dan kekuatan ketika mereka mengalami sakit serius. Sementara itu studi yang
dilakukan Brown (2007 dalam Anonymous, 2008) memperlihatkan 77% pasien
menginginkan untuk membicarakan tentang keluhan spiritual mereka sebagai
bagian dari asuhan kepada mereka.

Uraian di atas memperlihatkan pemenuhan kebutuhan spiritual merupakan hal
penting. Namun demikian, kenyataannya pemenuhan kebutuhan spiritual klien,
Faktor-Faktor, Rohman, FIK UI, 2009
4
masih jauh dari yang diharapkan. Hasil analisis situasi saat ini, dari beberapa
literatur, menunjukan kenyataan bahwa asuhan spiritual (spiritual care) belum
diberikan oleh perawat secara kompeten, disebabkan berbagai faktor. Piles (1990,
dalam McLung, Grossoehme & Jacobson, 2006) menunjukan bahwa dari 176
perawat di United States, sebanyak dua-pertiganya melaporkan perasaan tidak
cukup mampu untuk memberikan asuhan spiritual kepada kliennya. Demikian
pula Hoffert, Henshaw & Maududu (2007) menyatakan kebanyakan perawat dan
mahasiswa keperawatan melaporkan kekurang-nyamanannya (lack of comfort)
dan kekurangmampuannya (lack of ability) dalam melakukan pengkajian aspek
spiritual saat memberikan asuhan keperawatan. Hal serupa dikemukakan Rankin
dan DeLashmutt (2006) yang menyatakan bahwa konsep spiritualitas merupakan
hal yang bagi mahasiswa keperawatan masih sukar untuk memahami,
mengidentifikasi dan mengaplikasikannya. Demikian pula Ross (1995 dalam
Oswald, 2004) menyatakan seringkali perawat merasa kurang cukup (inadequate)
pemahamannya tentang spiritualitas dan oleh karenanya enggan (unwilling)
membicarakan isu-isu spiritual dengan klien. Selain itu, Leeuwen, Tiesinga dan
Jochemsen (2007), mengemukakan bahwa mereka mengalami kesulitan untuk
mendapatkan data empiris yang menunjukan perawat telah memberikan perhatian
yang adekuat terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual kliennya.

Rieg, Mason dan Preston (2006) juga menyatakan bahwa kebanyakan perawat
mengaku bahwa mereka tidak dapat memberikan asuhan spiritual secara
kompeten karena selama masa pendidikannya, kurang mendapatkan panduan
tentang bagaimana memberikan asuhan spiritual secara kompeten. Sedangkan
Faktor-Faktor, Rohman, FIK UI, 2009
5
Makhija (2002) melihat bahwa praktik asuhan spiritual menjadi sulit ditemukan
akibat terjadinya pergeseran budaya dalam pelayanan kesehatan dan kedokteran
yang lebih berespon terhadap kepentingan bisnis yang berorientasi material.

Selain berbagai faktor di atas, Vance (2001) menyimpulkan dari beberapa
literatur (Boutell & Bozett, 1987; Doyle, 1992; Narayanasamy, 1993; Piles,
1990; Sodestrom & Martinson, 1987; Soeken & Carson, 1986; Sumner, 1998;
Taylor & Amenta, 1994) bahwa faktor-faktor yang turut berperanan atas
terjadinya hambatan yang dialami perawat dalam pemberian asuhan spiritual
meliputi: (a) keyakinan bahwa spiritualitas pasien merupakan hal yang bersifat
pribadi (private) dari individu pasien dan diluar dari peran keperawatan; (b)
kecemasan yang berlebihan dalam membedakan antara pemberian asuhan
spiritual dan usaha menarik masuk kedalam spiritualitas pribadi (proselytizing);
(c) kurangnya pendidikan dan pelatihan tentang memenuhi kebutuhan spiritual
pasien, terutama jika kyakinan dan praktik spiritual perawat berbeda dengan
pasiennya; (d) kurangnya waktu; (e) takut terhadap masalah yang akan dihadapi
ketika pasien dan perawat tidak mampu mengatasinya; (f) kurangnya perhatian
perawat terhadap spiritualitas dirinya. Kendala di atas menyebabkan kemampuan
perawat dalam memberikan asuhan spiritual menjadi tidak berkembang dan
berakibat pada tidak terpenuhinya kebutuhan spiritualitas klien.

Observasi yang dilakukan Suparmi (2007) terhadap 30 klien di tiga rumah sakit
(RSCM, RSPAD dan RS. Darmais) menunjukan fakta bahwa aspek spiritual
belum mendapatkan perhatian yang cukup oleh perawat. Dari 30 klien yang
diobservasinya itu, didapatkan sebanyak 79% klien tidak mendapatkan
Faktor-Faktor, Rohman, FIK UI, 2009
6
pendampingan spiritual saat sakit dan dirawat di rumah sakit. Sementara itu,
selebihnya, sebanyak 21% klien mengaku mendapatkan pendampingan spiritual,
namun bukan oleh perawat tetapi oleh pemuka agama. Fakta tersebut
menunjukan bahwa perhatian terhadap aspek spiritual oleh perawat masih belum
sesuai dengan yang diharapkan.

Di RS. Islam Jakarta aspek kebutuhan spiritual telah mendapat perhatian,
dibuktikan dengan adanya bagian khusus yang menangani pembinaan rohani
klien oleh pemuka agama, yang disebut sebagai Bagian Pembina Rohani
(BINROH). Demikian pula perawat di RS. Islam Jakarta dalam praktiknya telah
mulai melakukan asuhan spiritual kepada kliennya. Dari wawancara pendahuluan
terhadap 25 perawat, sebanyak 22 perawat (88%) menyatakan jarang melakukan
pengkajian aspek spiritual klien, dan seluruh perawat (100%) menyatakan tidak
merumuskan diagnosa keperawatan yang berkaitan dengan kebutuhan spiritual
klien. Sementara itu, semua perawat (100%) menyatakan selalu meminta dan
membimbing kliennya untuk berdoa setiap akan dan setelah dilakukan intervensi,
termasuk ketika akan dilakukan operasi.

Meskipun sebagian kecil intervensi spiritual telah dilakukan perawat RS. Islam
Jakarta, dalam kenyataannya masih belum sesuai dengan yang diharapkan, dan
hingga saat ini belum pernah ada peneltian terkait pemberian asuhan spiritual
oleh perawat. Oleh karena itu, peneliti manilai penting untuk mengetahui lebih
jauh faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian asuhan spiritual oleh
perawat di RS. Islam Jakarta.

Faktor-Faktor, Rohman, FIK UI, 2009
7
B. Rumusan Masalah

Dimensi spiritual berperan penting dalam membantu klien beradaptasi dan
melakukan koping terhadap sakit yang dideritanya, mendapatkan kenyamanan,
kekuatan, mendorong semangat individu dalam menghadapi stres emosi, fisik
dan kematian (McSherry, 1998), bahkan dalam meningkatkan kualitas hidup
(Oswald, 2004). Umumnya perawat telah mengenal peran penting dimensi ini.

Selain itu perawat juga telah mengetahui bahwa mereka harus memberikan
asuhan keperawatan yang melibatkan aspek spiritual dalam praktik
profesionalnya. Kode etika keperawatan, telah mewajibkan profesional
keperawatan untuk memperhatikan aspek spiritual klien (PPNI, 2000). Bahkan
Komisi Kerjasama Akreditasi Organisasi Pelayanan Kesehatan (JCAHO, 2000)
dan Komisi Akreditasi Fasilitas Rehabilitasi (Commision on Accreditation of
Rehabilitation Facilities, 2004) telah secara tegas memerintahkan agar setiap
pusat pelayanan kesehatan melakukan asuhan spiritual kepada klien yang dirawat
di tempat tersebut (Kozier, 2004; Reig, Mason, & Preston, 2006).

Disatu sisi, tuntutan untuk memperhatikan aspek spiritual dalam praktik
keperawatan telah dengan tegas ditujukan bagi perawat, sementara disisi lain,
dalam realitanya asuhan spiritual ini belum sesuai dengan yang diharapkan.
Berbagai faktor turut berperanan terhadap kondisi ini, antara lain faktor
kesehatan spiritual perawat (Ellison & Smith, 1991; Musgrave & McFarlane,
2004); materialisme (Treloar, 2002); kesalahan dalam mempersepsikan spiritual
dan asuhan spiritual (Treloar, 2002); ketidakcukupan waktu (Vance, 2001); dan
lain-lain.
Faktor-Faktor, Rohman, FIK UI, 2009
8
Di RS. Islam Jakarta, asuhan spiritual telah mulai dilakukan oleh perawat, namun
masih belum sesuai dengan yang diharapkan yang dapat disebabkan oleh
berbagai faktor. Hingga saat ini, belum pernah ada peneltian terkait dengan faktor
apa yang berhubungan dengan kondisi tersebut. Oleh karena itu, peneliti ingin
mengetahui lebih jauh faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan
pemberian asuhan spiritual oleh perawat di RS. Islam Jakarta?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah teridentifikasinya faktor-faktor yang
berhubungan dengan pemberian asuhan spiritual oleh perawat di RS. Islam
Jakarta.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah teridentifikasinya:
a. Hubungan usia perawat dengan pemberian asuhan spiritual di RS. Islam
Jakarta.
b. Hubungan jenis kelamin perawat dengan pemberian asuhan spiritual di
RS. Islam Jakarta.
c. Hubungan tingkat pendidikan perawat dengan pemberian asuhan spiritual
di RS. Islam Jakarta.
d. Hubungan lama bekerja (masa kerja) perawat dengan pemberian asuhan
spiritual di RS. Islam Jakarta.
Faktor-Faktor, Rohman, FIK UI, 2009
9
e. Hubungan kecukupan waktu perawat dengan pemberian asuhan spiritual
di RS. Islam Jakarta.
f. Hubungan persepsi tentang spiritualitas dan asuhan spiritual perawat
dengan pemberian asuhan spiritual di RS. Islam Jakarta.
g. Faktor yang paling berhubungan dengan pemberian asuhan spiritual di
RS. Islam Jakarta.


D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Pelayanan Kesehatan
Sebagai masukan bagi praktisi keperawatan tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan pemberian asuhan spiritual oleh perawat di RS. Islam
Jakarta dan acuan bagi upaya meningkatkan kemampuan perawat dalam
memberikan asuhan spiritual.

2. Manfaat Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Penelitian ini dapat menambah data dan kepustakaan yang berkaitan dengan
faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian asuhan spiritual oleh
perawat di RS. Islam Jakarta dan sebagai masukan bagi institusi pendidikan
keperawatan untuk membekali dan menyiapkan peserta didiknya agar
memiliki kemampuan yang adekuat dalam memberikan asuhan spiritual.

3. Manfaat Bagi Penelitian Berikutnya
Hasil penelitian ini juga menjadi masukan atau acuan bagi penelitian
selanjutnya yang terkait area spiritrualitas.

Faktor-Faktor, Rohman, FIK UI, 2009

You might also like