You are on page 1of 41

0

PAKTA SOSIAL
BERBASIS BURUH:
MUNGKINKAH?

Sebuah studi pendahuluan
mengenai upaya perluasan basis
gerakan demokrasi di Indonesia





Tim Penyusun:
Stanley Adi Prasetyo (Koordinator)
Nur Iman Subono
Sofian M. Asgart
Willy Purna Samadhi








Jakarta, 2008
1
PENGANTAR

Latar belakang
Pada awal tahun 2007 Demos merancang sebuah penelitian untuk menjajaki
kemungkinan terbangunnya sebuah gerakan sosial baru yang berbasis gerakan buruh
untuk mendorong proses demokratisasi. Pemikiran untuk melakukan penelitian itu
dilatarbelakangi oleh hasil survei Demos pada 2003-2004. Salah satu kesimpulan penting
yang dihasilkan oleh survei tersebut adalah bahwa mandegnya proses demokratisasi di
Indonesia antara lain disebabkan oleh sangat terfragmentasinya gerakan pro-demokrasi.
1

Para aktivis yang bekerja di lapangan cenderung terkotak-kotak atau bahkan mengkotak-
kotakkan gerakan mereka berdasarkan kepentingan-kepentingan sektoral. Sebagai
akibatnya, gerakan pro-demokrasi tertinggal dalam memanfaatkan momentum reformasi
yang menjadi pemicu demokratisasi sejak 1998.
Analisis lebih lanjut yang dilakukan dalam serangkaian diskusi internal di Demos,
termasuk sebuah konferensi internasional di J akarta, menghasilkan rekomendasi untuk
mengatasi fragmentasi gerakan pro-demokrasi. Agar tak lagi bekerja secara sektoral,
gerakan pro-demokrasi perlu memperluas basis gerakan mereka. Dengan membangun
basis yang lebih luas, membuka batas-batas sektoral, gerakan pro-demokrasi diharapkan
bisa lebih efektif mendorong dan melajukan proses demokratisasi.
Gerakan buruh adalah elemen paling potensial dari gerakan pro-demokrasi yang
diharapkan bisa menjadi motor utama dalam mewujudkan rekomendasi tersebut.
Alasannya, pertama, gerakan buruh memiliki sejarah cukup panjang di Indonesia sebagai
gerakan pro-demokrasi. Kedua, kejatuhan Orde Baru dan bergantinya sistem otoritarian
menjadi demokrasi telah menyediakan peluang bagi gerakan buruh untuk menjalankan
aktivitas-aktivitas mereka secara bebas. Ketiga, secara empiris gerakan buruh di berbagai
negara memang berhasil menjadi motor demokratisasi. Karena itu, kebutuhan untuk
memperluas basis gerakan pro-demokrasi di Indonesia sangat mungkin juga bisa dimulai
dari gerakan buruh.
Setelah melalui proses pra-penelitian, Demos memutuskan untuk mengkaji masalah ini
dengan membentuk sebuah kelompok studi.

Kelompok diskusi
Kelompok Diskusi Social Pact (Selanjutnya disebut KDSP) merupakan wadah diskusi
yang diharapkan dapat menjadi ruang bersama bagi para pihak terutama aktivis buruh,
pengusaha, dan pemerintah untuk mencari terobosan baru dalam mengeksplorasi,
memetakan, dan merumuskan berbagai alternatif solusi bagi penciptaan model-model
pakta-sosial yang tepat untuk diimplementasikan menjadi model tripatrit yang ideal di
Indonesia. Hal ini sekaligus diharapkan dapat menjadi basis yang kuat untuk memperluas

1
Lihat laporan selengkapnya dari survei Demos 2003-2004 pada Priyono, AE., Willy Purna Samadhi, Olle
Trnquist dkk., Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia, edisi revisi (J akarta-
Yogyakarta: PCD-press, 2007).
2
gerakan demokrasi (Broadening Base of the Democracy Movement) dari berbagai sektor
yang beragam.

Kegiatan yang dilakukan KDSP diharapkan dapat mencapai hasil dan target berikut:
1. Terselenggaranya dialog intensif antara kelompok pengusaha, buruh, dan
pemerintah sehingga terbangun rasa saling percaya dan kerjasama yang solid.
2. Terpetakannya beragam persoalan dan isu-isu mutakhir mengenai sosial-ekonomi,
terutama dalam hubungannya dengan sektor ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial
dalam rangka membangun sistem sosial-ekonomi serta industri nasional yang
tangguh dan kompetitif.
3. Terciptanya budaya dialog dalam menuntaskan beragam persoalan, terutama
dalam hubungannya dengan berbagai masalah perselisihan maupun konflik-
konflik ketenagakerjaan secara elegan.
4. Tereksplorasinya berbagai rumusan yang dapat dijadikan alternatif solusi bagi
penciptaan model-model pakta-sosial genuin yang tepat sehingga cocok untuk
diimplementasikan menjadi model tripatrit yang ideal di Indonesia.
5. Hasil-hasil dari serial diskusi KDSP akan dijadikan bahan penulisan berupa
monograf, position paper, maupun tulisan opini di media massa yang dapat
dimanfaatkan sebagai media kampanye publik untuk menawarkan pakta sosial
sebagai model tripatrit yang ideal di Indonesia.

Sejak J uni 2007, telah dilaksanakan empat putaran FGD KDSP dengan mengundang
kelompok aktivis buruh, pengusaha, dan para pengambil kebijakan terutama dari Komisi
IX DPR-RI dan Dirjen PHI Depnakertrans. Namun dari beberapa putaran FGD ini
kehadiran dan keterlibatan dari pihak pengambil kebijakan, terutama dari Komisi IX
DPR-RI sangat sulit diharapkan. Resume empat putaran FGD KDSP dan para peserta
yang terlibat dalam kegiatan ini dapat disimak pada bagian appendix.











3
BAB 1
Pakta Sosial: Model Alternatif bagi
Perluasan Gerakan Demokrasi di Indonesia?
2


Nur Iman Subono dan Sofian M. Asgart
3


Indonesia setelah 10 tahun Reformasi
Pemilu 1999 adalah pemilu yang pertama kali bagi bangsa Indonesia setelah lepas dari
kekuasaan otoritarian-militer Orde Baru di bawah rejim Soeharto selama lebih dari 30
tahun. Ini artinya, secara prosedural, Indonesia bersama dengan negara-negara yang telah
menempuh jalan demokrasi, berada pada suatu situasi politik di mana semua instrumen
demokrasi sedang digunakan, dipromosikan dan dipertahankan. Sebagai negara yang
berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa, dan juga berpenduduk muslim terbesar di dunia,
masa depan demokrasi di Indonesia menjadi laboratorium politik yang sukar untuk
diabaikan begitu saja. Saat ini, 10 tahun sudah lewat, dua pemilu nasional sudah
dilakukan (1999 dan 2004), dan sementara itu berbagai pemilihan kepala daerah (Pilkada)
sudah dan sedang berlangsung di 33 propinsi di Indonesia. Untuk tahun 2005 misalnya,
ada 5 gubernur dan 96 bupati dan walikota yang sudah terpilih di seluruh Indonesia
melalui Pilkada. Secara umum, meskipun ada berbagai protes dan juga kekerasan di
beberapa tempat, pelaksanaan dan berlangsungnya Pilkada tersebut berjalan relatif baik.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana wajah demokrasi di Indonesia setelah 9 tahun
reformasi berjalan ? Apakah Indonesia berhasil membuktikan bahwa jalan demokrasi
yang dipilih sudah berjalan baik dalam arti bermakna ? atau sebaliknya, demokrasi yang
ada hanya sebatas prosedural saja, seperti pelaksanaan pemilu, tanpa memiliki banyak
arti bagi masyarakat secara umum ?
Pengalaman selama tahun-tahun terakhir ini, berdasarkan kajian DEMOS mengenai studi
kasus gerakan demokrasi (2003) dan Survai Nasional mengenai dimensi-dimensi kunci
dari demokrasi yang bermakna (2005), memperlihatkan beberapa kecenderungan yang
tidak terlalu menggembirakan. Upaya mempromosikan demokrasi liberal pasca reformasi
ternyata tidak berhasil menanggulangi masalah-masalah kritis yang dihadapi bangsa,
bahkan ada kecenderungan ada potensi-potensi kegagalan dalam menyelesaikan proses
transisi demokrasi ini. Untuk lebih jelasnya kita bisa meringkaskannya sebagai berikut :
a. Memang benar bahwa dewasa ini terdapat serangkaian kebebasan sipil dan politik di
mana kinerja dan cakupannya membaik dibandingkan pada era rejim otoritarian Orde
Baru di bawah Soeharto. Secara umum suasana seperti ini bukan hanya dirasakan di
tingkat nasional saja, tapi juga cukup merata di hampir seluruh wilayah Indonesia.

2
Kerangka dan materi tulisan ini sebagian besar merujuk kepada draft tulisan yang dipresentasikan oleh
Prof. Olle Tornquist dalam acara FGD yang diadakan DEMOS di J akarta, 5 Oktober 2006. Meski demikian
tanggung jawab tetap pada kedua penulis ini.
3
Kedua penulis adalah peneliti DEMOS, makalah disiapkan untuk workshop bertajuk Rethinking Popular
Democracy di Oslo, Norway, 25-26 Oktober 2006.
4
b. Meskipun demikian terdapat kesenjangan antara kebebasan sipil dan politik dengan
instrumen-instrumen demokrasi lainnya. Ini yang kemudian menjadi salah satu
penyebab munculnya defisit demokrasi. Demokrasi tentu saja bukan sekedar cerita
tentang kebebasan sipil dan politik. Proyek demokrasi mempersayaratkan juga
instrumen-instrumen lainnya untuk memajukan pemerintahan konstitusional, rule of
law, pemerintahan yang bersih (good governance), peradilan yang bebas dan adil,
negara yang tanggap terhadap kepentingan publik, dan tak kalah pentingnya adalah
pengembangan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Secara umum instrumen-instrumen
tersebut menampilkan kinerja dan cakupan yang buruk.
c. Pada kenyataannya, operasional dari institusi-institusi demokrasi di Indonesia telah
dikuasai (kembali) oleh kalangan elite dominan lama maupun baru. Kalangan elite
tersebut tidak menentang atau menghindari kehadiran dari instrumen-instrumen
demokrasi tersebut. Sebaliknya, mereka justru mengunakannya, tapi untuk kemudian
sebagian besar dimonopoli dan bahkan disalahgunakan. Sejauh ini kita bisa
mengatakan bahwa proyek demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia ternyata
hanya memberikan keuntungan bagi kalangan elite saja, dan menjadi suatu bentuk
demokrasi elitis, atau demokrasi oligarkis. Monopolisasi dan penyalahgunaan
instrumen demokrasi tersebut dimungkinkan sebagian besar karena adanya
kepentingan yang jatuh bersamaan dan saling menguntungkan antara kekuatan-
kekuatan ekonomi dan politik. Kecenderungan seperti ini sebetulnya sudah
berlangsung sejak lama yakni, mulai dari jaman kekuasaan kolonial, kemudian
dilanjutkan pada era pemerintah otoritarian Orde Lama dan lebih-lebih lagi Orde
Baru, dan dewasa ini yang muncul dalam bentuk kekuatan-kekuatan oligarki yang
berjalan bersamaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
d. Sementara itu, aktor-aktor pro-demokrasi, meskipun memiliki kontribusi dalam
menumbangkan rejim Soeharto, tapi tetap saja peran dan posisinya sangat lemah.
Mereka pada umumnya secara sosial mengambang (floating) dan secara politik
termarjinalisasi (marginalized). Aktor-aktor pro-demokrasi tidak cukup memiliki
akses, kemauan, dan kapasitas untuk mengendalikan proses pengambilan keputusan
yang menyangkut kepentingan mereka, atau masyarakat pada umumnya. Sejauh ini,
meskipun mulai ada aktor-aktor pro-demokrasi yang mencoba masuk ke dalam sistem
dan struktur kekuasaan formal, tapi secara umum mereka terus berada di barisan anti-
negara, di luar sistem, di luar struktur. Urusan demokrasi bagaimanapun masih
dipahami oleh para aktivis sebagai urusan pergantian rezim, padahal agenda
demokratisasi memerlukan energi lebih besar untuk rekonstruksi negara dan
masyarakat.
e. Lain daripada itu, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), masih terus berjalan dan
tidak tertanggulangi, bahkan makin merajalela sampai ke tingkat lokal. Sementara
desentralisasi dan otonomi daerah, sebagaiman sudah disinggung, melahirkan
kekuasaan bos-bos lokal yang pada gilirannya berpotensi menjadi kaki-tangan
berbagai kekuatan sentralistis yang berada di J akarta, Tokyo, New York, London dan
pusat-pusat kekuasaan ekonomi politik (Nababan, 2004).
f. Depolitisasi masyarakat sipil masih terus berlangsung dengan menguatnya suasana
anti-politik yang terus meluas. Partisipasi politik masyarakat memang tumbuh subur,
tetapi perluasan partisipasi tampaknya tidak berbanding lurus dengan perubahan
5
hubungan-hubungan kekuasaan yang memungkinkan rakyat banyak menikmati
sumber-sumber daya politik dan ekonomi. Untuk kasus Pilkada misalnya, ada
indikasi yang mengarah pada deparpolisasi, yakni kekuatan partai politik
mengalami penurunan pengaruh dan peran dalam mengarahkan dan memobilisasi
masyarakat untuk memilih kandidat yang diajukan oleh partai (Mujani, 2005).

Demokrasi Indonesia: Bergerak ke Mana?
Bagaimana masa depan demokrasi di Indonesia ? Sudah pasti kita tidak bisa
mengharapkan kalangan oligarkis yang menguasai instrumen demokrasi (demokrasi
oligarkis), demikian julukannya, yang berkembang saat ini mengalami pencerahan dan
memiliki kemampuan untuk memperbaiki institusi-institusi demokrasi yang kinerja dan
cakupannya buruk, kemudian menghacurkan monopolisasi elit, dan mempromosikan
kapasitas politik kekuatan-kekuatan demokrasi. Harapan yang sama tampaknya juga tidak
bisa dibebankan pada aktor-aktor pro-demokrasi untuk melakukan tugas tersebut. Alih-
alih mengembangkan konsolidasi internal di tingkat mereka sendiri, mereka justru
mengalami komplikasi-komplikasi akut sebagai berikut: (a) tereksklusi dari arus-utama
politik demokrasi elitis; (b) tercerai-berai, mengidap rasa saling-tak-percaya-dan-curiga
(mutual distrust); (c) tidak terorganisasi dengan baik; (d) terisolasi dari masyarakat
bahkan menjadi seperti floating democrats (demokrat mengambang); dan (e)
mengabaikan usaha membangun institusi-institusi representasi (Nababan, 2004).
J ika kita menengok pada catatan sejarah, ada pengalaman negara-negara Eropa yang
lebih mempertimbangkan upaya-upaya untuk mempromosikan nilai-nilai atau bentuk-
bentuk aturan liberal (liberal rechsstaat) seperti pemisahan antara kekuasaan ekonomi
dan politik, penegakan pemerintahan konstitusionalisme, rule of law, dan good
governance, sebelum kemudian demokrasi bisa ditegakkan dan berguna. Pengalaman
Eropa ini sedikit banyak mirip dengan rekomendasi, dikenal dengan sebutan pendekatan
neo-institusionalisme (Hadiz, 2003)
4
yang diajukan oleh Bank Dunia dan USAID
mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Indonesia. Sementara itu, ada juga
pengalaman Asia (seperti Korea Selatan) yang dikenal dengan sebutan Negara
Pembangunan (Developmental States) yang lebih hirau pada masalah pembangunan
ekonomi (baca: pertumbuhan ekonomi) dan stabilitas politik dibandingkan persoalan
partisipasi politik masyarakat atau demokrasi. Singapura adalah salah satu contoh negara
di Asia Tenggara yang kelihatannya mengikuti pola seperti itu. Keberhasilan
pembangunan ekonomi di Asia berkaitan dengan peran negara sebagai coordinator,
organizer, facilitator, and at times, surrogate for the bourgeoisie (Robison, 1996). Belum
lagi sebagai justifikasi politis-ideologis, conservative Asian leaders, most prominently
Lee Kwan Yew, Mahathir and Soeharto, mempromosikan apa yang dikenal sebagai
Nilai-nilai Asia yang berbeda dengan liberalisme Barat.
5
Dalam kenyataannya, nilai-

4
Neoinstitusionalisme adalah sebuah aliran pemikiran pembangunan yang bermaksud menjelaskan sejarah,
keberadaan, dan fungsi dari berbagai macam institusi (pemerintah, hukum, pasar, keluarga, dan sebagainya)
berdasarkan asumsi-asumsi teori ekonomi liberal.
5
Richard Robison (1996) menyarikan lima ciri utama dari Nilai-nilai Asia sebagai berikut; (a) basis
kebersamaan bukan pada individu, melainkan pada keluarga; (b) kepentingan kelompok atau komunitas
lebih utama daripada kepentingan perorangan; (c) keputusan politik dicapai melalui konsesnus dan bukan
pada konfrontasi dalam lembaga-lembaga perwakilan; (d) harmoni hidup bersama merupakan prioritas
6
nilai tersebut lebih banyak dipakai sebagai alat pembenaran bagi pelestarian rejim-rejim
dan/atau kebijakan-kebijakan otoriter. Ini yang terjadi dengan rejim otoriter Soeharto
yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun sebelum akhirnya ditumbangkan pada tahun 1998
dengan pengunduran dirinya.
Bagaimana dengan jalan politik Islam di Indonesia ? Setelah Orde Reformasi berjalan,
tampak kelompok-kelompok masyarakat dengan bendera Islam tampil kepermukaan. Ini
sebetulnya bisa dipahami mengingat Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim
terbesar di dunia. Memang ummat dan pendukung Islam di Indonesia tidak homogen, dan
ini terlihat dari munculnya banyaknya partai politik yang berbendera Islam. Sebagai salah
satu partai Islam yang lahir pada masa Reformasi, PKS (Partai Keadilan Sejahtera)
misalnya, memperlihatkan kinerja dan cakupan yang mengesankan dalam pemilu
terakhir. Dengan berbasis pada awalnya dukungan dari kalangan muda kampus, mereka
memiliki keyakinan bahwa dalam politik Islam, antara agama dan negara (politik) tidak
bisa dipisahkan (Furkon, 2004). Meskipun secara eksplisit tidak menyebut tentang negara
Islam dalam Anggaran Dasarnya, namun menurut mantan Presiden PKS, Hidayat Nur
Wahid tidak berarti kaum muslimin diperkenankan membangun negara sekuler. Karena
itu, menurutnya yang terpenting adalah bagaimana kemudian nilai-nilai Islam itu hadir
dalam kaidah kehidupan publik. Lahirnya PKS menurutnya, adalah bagian dari cita-cita
dan upaya untuk menciptakan negara berkeadilan dan berkesejahteraan (justice and
welfare state).
Apa yang ditunjukan oleh pengalaman atau jalan politik di Eropa dan Asia tersebut pada
dasarnya tidak memadai, dan secara substansial bukanlah versi yang menjadi lebih baik.
Sementara itu cita-cita dan perjuangan politik yang diemban oleh PKS dalam
mempromosikan negara versi mereka, akan bertabrakan dengan realitas bagaimana
pluralitasnya masyarakat Indonesia. Berdasarkan rekomendasi DEMOS, mempromosikan
demokrasi di Indonesia ini sebetulnya bisa dibenahi meski ada berbagai kendala
struktural, melalui broader and better organized plebeian and civic struggle for
institutional improvement. Sementara itu, pengalaman-pengalaman demokrasi yang ada
memang tidak bisa direplika atau ditiru begitu saja oleh Indonesia. Untuk kasus Eropa
Barat misalnya, kita tahu bahwa demokrasi di sana dibangun di atas kemunculan kelas
menengah dan borjuis yang kuat, berorientasi liberal dan mandiri. Sebaliknya, untuk
kasus Eropa Utara (khususnya negara seperti Swedia dan Norwegia), peranan petani
begitu penting, terutama di Swedia, di mana mereka beraliansi dengan raja dan birokrasi
(kemudian dengan kelas buruh) dalam menumbangkan kelas tuan tanah (Andersen,
1985). Rasa-rasanya pengalaman tersebut tidak memiliki akar yang sama di Indonesia.
Kelas menengah dan borjuis di Indonesia sangat dekat dengan kekuasaan negara, dan
bahkan mereka dilahirkan karena berbagai kebijakan negara tersebut. Sebaliknya, selain
dari beberapa upaya yang dilakukan Soekarno, kekuasaan pusat tidak pernah
mengkaitkan dirinya dengan kalangan petani dalam melawan berbagai tuan tanah atau
bangsawan. Sementara itu, Indonesia juga tidak pernah memiliki aparat negara pusat
yang kuat, terlembaga, dan koheren seperti apa yang dimiliki Korea Selatan, Taiwan dan
Singapura. Kita hanya memiliki kekuasaan yang sentralistik tapi berwujud personal di

yang dijaga dan diusahakan oleh negara yang kuat dengan prinsip-prinsip moral; dan (e) pembangunan dan
pertumbuhan merupakan hak tiap warganegara dan negara, yang hanya dapat dicapai dalam harmoni hidup
bersama di bawah pemerintahan sentralistik yang kuat.
7
bawah Soeharto, dan saat ini, setelah kejatuhan Soeharto, kelihatannya semakin
berkurang (Trnquist, 2006).

Bagaimana dengan SBY-JK ?
Dua tahun sudah pemerintahan SBY-J K berjalan. Banyak kritik, kendala dan kemajuan
yang dijalankan oleh pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu ini. Ditengah-tengah
bencana alam yang terjadi seperti Tsunami, lumpur panas, gempa bumi dan lainnya,
pemerintahan SBY-J K yang ditopang utamanya oleh dua partai (Golkar dan Demokrat)
mencoba menangani berbagai persoalan ekonomi dan sosial-politik yang sebagian
merupakan warisan pemerintahan Orde Baru. Dalam soal korupsi misalnya, meski cukup
gencar pemerintah memeranginya, tapi posisi Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi
(seperti dikeluarkan Transparency International), masih di jajaran negara terkorup di
dunia. Tahun 2004 Indonesia berada di peringkat ke-137 dari 146 negara. Setahun
kemudian Indonesia di urutan ke-140 dari 159 negara. Sementara itu dalam bidang
reformasi birokrasi, situasinya jauh tertinggal dibandingkan reformasi politik dan hukum.
Belum tegas dipisahkan antara negara, pemerintah, dan birokrasi. Pemerintah dan politisi
sering mengintervensi atau mengooptasi sehingga birokrasi sedikit banyak ditentukan
oleh kepentingan politik (Prasodjo, 2006).
Sejauh ini pemerintah tampak baru berhasil dalam membangun berbagi kompromi antara
berbagai pusat kekuasaan yang ada, baik secara formal (khususnya terhadap lembaga
legislatif) maupun non-formal (khususnya terhadap kalangan pengusaha dan politisi).
Tidak ada sama sekali tanda-tanda atau kecenderungan-kecenderungan yang sedikit
banyak serupa dengan apa yang dialami oleh dinamika politik Eropa atau Asia Timur.
Malahan Indonesia kelihatannya memiliki resiko lebih dekat pada instabiltas yang
ditujukan oleh Thailand dan Filipina. Secara sederhana, dinamika politik di Indonesia
ditampilkan dalam bentuk segitiga kekuasaan (power triangular) di mana kekuasaan
yang berorientasi pada negara terletak pada titik puncak, yang dalam tahun-tahun
belakangan ini, sebagian darinya kekuasaan tersebut menyebar pada tingkat daerah
(proses desentralisasi dan otonomi daerah). Sementara itu, pada dua sudut yang lain
terdapat kelompok bisnis atau privat dan kelompok komunitarian. Aliansi ketiganya
berada di semua arah, dan sejauh ini, semua hubungan atau kontak dengan masyarakat
hampir dipastikan akan melalui tiga pilar kekuasaan tersebut (Olle, 2006). J arang sekali,
hubungan tersebut dibangun melalui partai-partai politik, kelompok kepentingan, dan
organisasi massa yang berbasis warga (citizen based).

Mempertimbangkan Pakta Sosial
Apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia sehingga
lebih bemakna ? Pertama-tama, kita tidak hanya sebatas mempertimbangkan cara-cara
untuk memperkuat institusi-institusi demokrasi dan aktor-aktor pro-demokrasi, tapi yang
tidak kalah pentingnya juga adalah mengidentifikasi aliansi-aliansi yang lebih luas
sebagai sebuah alternatif dari pengalaman Eropa dan Asia. Dengan kata lain, ada
kebutuhan untuk tidak hanya melakukan kajian terhadap masalah-masalah dan pilihan-
pilihan yang meluas dari pakta politik (political pacts) dari para elit dalam mempolitisi
8
dan memperluas aksi-aksi civic public, tapi kita juga harus mengeksplorasi
kemungkinan pembentukan pakta sosial (social pacts) pada tingkat kekuatan-kekuatan
sosial-ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan politik, dan kapasitas negara.
Memang istilah pakta sosial di Indonesia mungkin relatif baru untuk banyak kalangan.
Tapi sebetulnya kita bisa mengingat kembali bahwa upaya-upaya yang serupa sudah
pernah dilakukan di Indonesia. Sebut saja misalnya, pada tahun 1945 hingga 1949, ada
persatuan yang luas di antara sejumlah kelas dan kelompok dalam memperjuangkan suatu
nation-state yang merdeka, dan demokratis dengan berbasis hak, pluralitas, dan
modern. Kemudian kasus lainnya, antara tahun 1952 hingga 1965, ada persatuan yang
luas antara yang kemudian disebut sebagai borjuis nasional (national bourgeoisie),
buruh dan tani. Ini pada dasarnya merupakan perjuangan kelompok nasionalis dan
komunis (Olle, 2006).
Sudah pasti proporsisi seperti ini tidak mungkin sesuai dengan keadaan sekarang, apalagi
pada kasus yang kedua. Tapi satu hal yang pasti, ide atau eksperimen pakta sosial
bukanlah sesuatu yang asing dalam sejarah politik Indonesia. Dari sini kemudian ada
kebutuhan untuk melakukan kajian komparasi dengan negara-negara lain yang memiliki
pengalaman dalam pembentukan pakta sosial, sebagai pelajaran dan sekaligus inspirasi
untuk kemungkinan pembentukan pakta sosial di Indonesia. Kita bisa merujuk misalnya,
negara-negara Skandinavia sejak tahun 1930an, Afrika Selatan paska Apartheid, dan
Brazil di bawah presiden Lula di mana ada berbagai upaya untuk melembagakan
partisipasi masyarakat secara langsung (direct popular participation) dan
mengkombinasikan natara serikat-serikat buruh dan tani, gerakan sosial, kelas menengah
dan kelompok bisnis atau pengusaha yang berorientasi pertumbuhan.
Secara sederhana, kita bisa mengartikan pakta sosial (social pacts) sebagai sebuah hasil
(outcome) yang berhasil dari sebuah dialog sosial (social dialogue). Dialog sosial pada
tingkat nasional adalah dialog mengenai isu-isu bersama yang berkaitan dengan masalah
kebijakan sosial dan ekonomi diantara wakil pemerintah, pengusaha, dan buruh. Di
beberapa negara, dialog seperti ini bisa juga melibatkan pihak-pihak yang berkepntingan
seperti gereja, wakil petani dan masyarakat sipil. Pakta sosial ini meliputi berbagai
kegiatan seperti berbagi informasi, konsultasi, negoisasi dan pengambilan keputusan
bersama (concertation). Pada akhirnya pakta sosial ini diharapkan menghasilkan
konsesus, setelah pihak-pihak yang terlibat melakukan terobosan dan mendamaikan
kepentingan-kepentingan yang berbeda melalui dialog sosial.
J ika kita kembali membicarakan kemungkinan pembentukan pakta sosial di Indonesia,
maka ada baiknya kita mengutip Olle Tornquist (2006), yang mengajukan dua pertanyaan
utama di sini. Dua pertanyaan tersebut adalah, (a) apa pilar-pilar yang dipromosikan,
dinamika yang terjadi, dan masalah-masalah yang dihadapi oleh pakta-pakta sosial yang
ada?; (b) Bagaimana itu semua di de-contextualised, sehingga kita dapat
mengidentifikasi pra-kondisi-pra-kondisi dan faktor-faktor minimum yang umum, dan
untuk kemudian kita mencoba mengeksplorasi kemungkinannya bila ini dikembangkan
dalam konteks Indonesia ?
Pada dasarnya, semua model pakta sosial yang ada, seperti di Swedia, atau sebagaimana
di Afrika Selatan dan Brazil, secara fundamental berbasis pada kepentingan ekonomi
bersama dari seksi yang sangat penting, baik dari sudut modal atau pengusaha maupun
9
organisasi buruh. Tidak harus merupakan seksi dari semua modal atau organisai buruh
yang ada, tapi yang pasti seksi tersebut bersifat startegis. Di Swedia misalnya, titik temu
tersebut terdapat pada organisasi buruh dan modal yang berada pada industri mesin yang
berorientasi ekpsor, modern dan paling maju. Kedua belah pihak memiliki kepentingan
bersama (joint interest) pada sejumlah isu (tentu saja tidak semua isu, tapi hanya pada
isu-isu yang disepakati kedua belah pihak). Modal membutuhkan mitra yang kuat untuk
bernegoisasi dengan damai (misalnya ditunjukkan dengan tidak ada atau sedikitnya
pemogokan buruh), dan dengan demikian, mereka dapat lebih memproleh keuntungan
dalam pasar internasional yang ekspansif. Kelihatannya modal memang dipersiapkan
untuk membayar itu semua. Lebih jauh lagi, modal juga tertarik atas peran dan
sumbangan negara terhadap reproduksi sosial dan ekonomi atas buruh melalui program-
program kesejahteraan dan lainnya. Ini tentu saja akan mengurangi beban mereka yang
bergerak di bidang industri. Untuk itu semua, mereka menginginkan adanya tata aturan
yang strategis (strategic orders) dan kerja lembaga negara, termasuk membangun industri
telekomunikasi. Atas seluruh pertimbangan yang diajukan pihak modal tersebut,
tampaknya pihak buruh bisa menyepakatinya.
Sebaliknya, pihak buruh pun secara ideologis juga memiliki keinginan untuk menemukan
suatu cara untuk meningkatkan tingkat kehidupan untuk semua buruh yang ada, dan tidak
hanya buat mereka yang bekerja di sektor-sektor modern saja. Kalangan sosial demokrat
sendiri mendasarkan aktivitasnya pada kekuatan tawar-menawar pasar tenaga kerja
melalui kedekatannya dengan organisasi-organisasi nasional. Mereka membangun
organisasi politik, serikat buruh, dan organisasi warga yang menyeluruh, dan yang secara
politik dikoordinasikan melaui apa yang disebut sebagai komune pekerja (workers
communes). Pada dasarnya, kalangan buruh yang bekerja pada industri-industri yang
berorientasi pertumbuhan dan sangat menguntungkan tidak menuntut upah setinggi
mungkin bagi diri mereka. Ini dilakukan sebagai tindakan balasan atas dukungan yang
diberikan seksi dari kalangan modal yang modern dan berpengaruh dalam mendorong
seksi-seksi lain dari modal (dan administrasi publik) untuk membayar sekitar upah yang
secara moderat tinggi sesuai dengan kesepakatan bersama (collective agreement). Ini juga
merupakan balasan dari dukungan seksi modal terhadap kebijakan kesejahteraan sosial
yang berbasis negara (Welfare State), dan investasi atas keuntungan ekstra mereka pada
produksi-produksi yang baru. Ini artinya, akan ada lebih banyak pekerjaan dan
pemasukan yang berasal dari pajak untuk membiayai negara kesejahteraan. Lagipula,
langkah-langkah negara kesejahteraan pada umumnya bersifat universal dan langsung
antara negara (dan otoritas lokal) dengan kalangan individual. Karakter dari hubungan
tersebut tidak ditargetkan, dan tidak juga melalui keluarga atau charity, atau organisasi
swadaya. Semuanya ini dipantau oleh partai politik dan serikat buruh.
Sebagaimana sudah ditunjukkan bahwa kesepakatan dasar ini harus memberikan
keuntungan masyarakat secara keseluruhan. Seksi-seksi utama dari modal biasanya
memang banyak mengatur seksi-seksi modal yang kurang menonjol di dalam sejumlah
asosiasi pengusaha. Pada saat yang bersamaan, seksi-seksi utama dari buruh meyakinkan
koleganya, baik laki-laki maupun perempuan, bahwa mereka akan mendapatkan
keuntungan dari kesepakatan kolekktif dan kebijakan kesejahteraan. Dalam
kenyataannya, untuk beberapa dekade, seksi-seksi utama dari modal bahkan sangat
bergantung pada kemenangan kalangan sosial demokrat dalam pemilu. Hal lain yang
perlu dicatat di sini adalah bahwa kalangan sosial demokrat berupaya untuk
10
memenangkan mayoritas masyarakat melalui berbagai kebijakan dengan membangun
aliansi bersama kalangan liberal dalam soal perdagangan bebas, dan bersama kalangan
petani berkenaan dengan satu hal yakni, proteksi pertanian dan keuntungan kesejahteraan.
Lebih jauh lagi, kalangan sosial demokrat juga memenangkan sejumlah besar pemilih
yang berasal dari meningkatnya kelompok-kelompok kelas menengah yang bekerja pada
sektor-sektor pelayanan publik, dan belum lagi menyebutkan dukungan di kalangan
perempuan. Untuk waktu berpuluh-puluh tahun, model pakta sosial seperti ini berjalan
dengan baik. Di satu sisi, ini akan mendorong kalangan modal pada umumnya untuk
memajukan ekonomi Swedia, dan di sisi yang lain, kalangan buruh mendapatkan
kekuatannya, dan juga memajukan kepentingannya dalam serikat buruh, melalui
kebijakan kesejahteraan yang bertumpu pada negara, dan dukungan strategi negara untuk
pembangunan ekonomi yang modern.
Cerita keberhasilan model pakta sosial di Swedia ini kelihatannya mengalami masa-masa
surut pada awal 1970an, dan terutama pertengahan 1980an. Watak ekonomi Swedia
mulai bergeser secara nyata. Dengan persentase GNP yang didasarkan pada ekspor yang
saat ini nilainya melebihi 30%, dan perusahaan-perusahaan Swedia menjadi semakin
bersifat multinasional, maka ekonomi Swedia juga semakin terbuka terhadap tekanan
internasional dibandingkan 30 tahun yang lalu (Newman, 2005).. Kita tentu masih ingat
bahwa tahun-tahun tersebut adalah era Thatcher dan Reagan yang membawa era menuju
neoliberalisme.
Semua cerita di atas tentu saja buka suatu keadaan yang bisa diulangi di Indonesia.
Terlalu banyak perbedaan antara Swedia dan Indonesia. Meskipun demikian, model
Swedia banyak memberikan pelajaran dan inspirasi, dan tentu saja akan lebih kaya lagi
jika kita juga mempelajari kasus-kasus negara lainnya seperti yang sudah disebutkan,
Afrika Selatan dan Brazil. Sedikitnya ada beberapa prasyarat yang diperlukan jika kita
bicara mengenai pembentukan sebuah pakta sosial. Sebut saja misalnya, negara yang
kuat tapi bersih, partai sosial demokrat yang memiliki komitmen yang kuat secara
ideologis, dan menjadi payung dari gerakan buruh yang diperluas. Kemudian, kita juga
bicara mengenai kekuatan borjuis liberal yang lemah, kekuatan petani yang kuat dan
mandiri, dan memiliki tradisi mengkaitkan diri mereka dengan negara dalam melawan
kekuatan bangsawan tuan tanah. Mereka juga bagian dari upaya mempromosikan dan
membangun pemerintahan lokal yang terdesentralisasi. Belum lagi di sini kita bicara
mengenai peran dan posisi gerakan perempuan yang mandiri secara ekonomi, dan bekerja
pada runag publik. Ini merupakan strategi untuk mempromosikan kesetaraan gender.
Tentu masih banyak lagi yang bisa kita ungkapkan, tapi setidaknya itu beberapa prasyarat
yang diperlukan jika kita bicara mengenai pembentukan sebuah pakta sosial.

Apa yang bisa kita lihat dari Indonesia ?
Seksi-seksi modal yang berorientasi pada pertumbuhan, dan juga kelas menengah yang
progresif, yang bisa jadi memiliki keinginan untuk mengakhiri hubungan simbiois yang
lebih didasarkan pada politik kekerasan. Mereka kelihatannya berkeinginan untuk
memperluas basis kemampuan wirausahanya (entrepreneurial ability), dan mendapatkan
posisi yang didasarkan pada keahliannya. Tapi pada saat bersamaan mereka menyadari
11
bahwa untuk melakukan itu semua, mereka membutuhkan kedekatannya dengan buruh
dan juga pemilih, serta didukung sepenuhnya oleh sebagian besar masyarakat.
Lain daripada itu, seksi-seksi modal ini juga harus hirau pada upaya-upaya mendorong
dan mempromosikan demokrasi, karena ini hanya satu-satunya cara untuk mengakhiri
monopoli ekonomi dan politik, serta hubungan dominasi. Mereka juga harus menaruh
perhatian pada kebijakan negara yang mengarah pada produksi yang modern, serta
peningkatan sumber-sumber negara melalui pajak Ini akan membantu mendorong
pembangunan ekonomi dan menciptakan banyak lapangan kerja, dan juga merupakan
jalan bagi pelaksanaan kebijakan sosial yang akan mengurangi biaya-biaya untuk
memperkerjakan buruh sebagai tenaga kerja. Ada hal lain yang harus diperhatikan juga,
sebagai balasan atas dukungan buruh dan kelompok-kelompok yang terkait, seksi-seksi
dari modal yang bisa diidentifikasi harus tertarik dan memiliki komitmen untuk
berinvestasi, baik di dalam maupun luar negeri, sehingga akan meningkatkan produksi
dan lapangan kerja di Indonesia.
Bagaimana dari sudut buruh sendiri ? Ada beberapa hal yang harus diperhatikan di sini.
Pertama-tama ada kebutuhan untuk mencari kelompok-kelompok yang strategis bagi
seksi-seksi progresif dari modal dan kelas menengah. Mereka juga harus mendapatkan
keuntungan dari kesepakatan yang dibuat bersama seksi-seksi progresif dari modal. Tapi
yang penting, mereka harus memiliki komitmen, baik secara ideologis maupun politis,
bahwa kesepakatan yang dibuat bersama modal akan memberikan keuntungan kepada
buruh dan juga kelompok-kelompok terkait lainnya secara umum. Karenanya, seksi-seksi
utama dari buruh harus mempersiapkan membangun organisasi yang luas dan inklusif
yang merupakan gabungan dari organisasi politik, serikat buruh, dan organisasi warga.
(combine civic, trade union and political engagement). Lebih jauh lagi, mereka juga
harus melibatkan kalangan pemilih dan dukungan dari gerakan perempuan untuk masuk
dalam pakta yang lebih luas lagi. Mereka harus bisa memberikan prioritas pada isu-isu
perempuan berdasarkan perspektif perempuan, meski isu-isu yang diangkat hanya
terbatas pada soal kesetaraan gender, tapi juga meluas seperti masalah trasnportasi dan
pendidikan buat anak-anak. Memang apa yang sudah dijelaskan ini hampir tidak ada
yang sesuai dengan kasus Indonesia, maka ada kebutuhan yang mendesak bagi kalangan
pro-demokrasi yang memiliki kaitan dengan berbagai organisasi dan kelompok yang
progresif untuk melakukan berbagai kajian dan diskusi, dan juga kemungkinan untuk
membangun aliansi-aliansi dengan pihak-pihak lainnya.***






12
BAB 2
Membayangkan Model Ideal Hubungan Industrial
(Perspektif Serikat Pekerja)

Sofian M. Asgart
6


Pendahuluan
Dunia perburuhan atau ketenagakerjaan pada umumnya mengalami perubahan cukup
signifikan seiring terjadinya perubahan politik dan ekonomi global. Terutama dengan
adanya perubahan di bidang ketenagakerjaan yang didorong oleh kesepakatan negara-
negara anggota organisasi buruh internasional (International Labour Organization/ ILO)
untuk menerapkan konvensi-konvensi dasar yang disepakatinya. Dalam konteks
Indonesia, perubahan ketenagakerjaan memang relatif lambat. Ini disebabkan terutama
akibat mental dan pola pikir yang belum siap dari para elit yang ada, baik dari kalangan
birokrasi atau para pejabat yang berkompeten, pengusaha, maupun elit serikat pekerja
yang menunjukkan ketidaksiapan untuk ikut dalam perubahan itu. Kondisi ini antara lain
dapat dilihat dari banyaknya kasus konflik ketenagakerjaan yang tidak dapat diselesaikan
secara elegan oleh ketiga pihak. Padahal, setiap aktivitas ketenagakerjaan baik kecil
maupun besar selalu menyangkut kepentingan banyak pihak, yakni kepentingan
pengusaha, pekerja, pemerintah, serta kepentingan masyarakat pada umumnya.
Ironisnya, dalam waktu yang lama telah terjadi persepsi yang keliru. Banyak pihak
menilai bahwa urusan ketenagakerjaan hanyalah kepentingan pengusaha dan para pemilik
modal saja. Padahal, kenyataannya, soal ketenagakerjaan adalah merupakan kepentingan
bersama. Bahkan, masyarakat secara umum pun terbukti mempunyai kepentingan atas
baiknya kinerja perusahaan dalam hal menyediakan produk dan jasa, menciptakan
kesempatan kerja, dan menyerap pencari kerja. Pemerintah sendiri berkepentingan agar
masyakarakat dapat memperoleh kesejahteraaan dengan luasnya kesempatan bekerja.
Kesadaran inilah yang mengharuskan hubungan industrial menjadi bagian dari public
matters yang perlu diperhatikan semua pihak dan tidak diartikan secara sempit sebatas
hubungan kerja semata.
Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku
ekonomi dalam proses produksi barang atau jasa, yang terdiri dari pengusaha, pekerja,
dan pemerintah. Sedangkan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan
pekerja berdasarkan perjanjian kerja tertentu yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah. Dari uraian itu, jelas bahwa hubungan industrial yang terbentuk antara pelaku
proses produksi mempunyai pengertian lebih luas. Bahkan, hubungan industrial memiliki
kedudukan yang sangat strategis dalam konstelasi perekonomian nasional. Karena itu,
sebagai bagian integral dari tiga pilar ekonomi nasional, kelompok pekerja perlu
memahami fungsi, peran, dan kapasitasnya secara memadai.


6
Penulis adalah peneliti pada DEMOS, J akarta.
13
Hubungan industrial, dari mana mau kemana?
Pada hakikatnya, hubungan industrial adalah interaksi sosial antarmanusia dalam proses
produksi barang dan jasa untuk pemenuhan masyarakat. Mekanisme hubungan industrial
antara pengusaha, pekerja, dan pemerintah (tripartrit) telah diatur dalam beragam
ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara umum, prinsip dasar yang diatur dalam
peraturan ketenagakerjaan meliputi pengerahan dan penempatan tenaga kerja,
kesempatan dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi, perencanaan tenaga kerja,
pelatihan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga
kerja, penggunaan tenaga kerja asing, pembinaan hubungan industrial, pembinaan
kelembagaan dan sarana hubungan industrial, perlindungan tenaga kerja, pengawasan
tenaga kerja, dan ratifikasi Konvensi ILO.
Menurut Goenawan Oetomo (2006) dari semua ketentuan itu, secara teoretis peraturan
dan perundang-undangan perburuhan di Indonesia sebenarnya telah memadai oleh karena
hampir semua aspek penting bidang perburuhan telah diatur. Namun, hal lain yang sangat
mempengaruhi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud adalah
datang dari ketiga pihak: kebijakan pemerintah, kejujuran, dan ketaatan pengusaha, serta
kejujuran dan ketaatan para pekerja. Ketiga faktor inilah yang akan menentukan apakah
penerapan hukum perburuhan itu dapat dilaksanakan atau justru akan dikecualikan dan
dilanggar. Dari pengalaman selama 30 tahun, semua pihak tahu kalau pemerintah kurang
memberi kesempatan kepada semua pihak untuk bergerak sesuai dengan hati nuraninya.
Hal ini dilakukan sekadar untuk meredam gejolak yang akan mengganggu jalannya
stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan.
7

Ironisnya, dasar awal yang berprinsip baik tadi semakin lama menjadi semakin kabur
karena pada akhirnya dalam realitas menjelma menjadi kekuatan yang menekan
demokrasi, kebebasan, dan keharmonisan masyarakat. Upaya yang ditancapkan dalam
prinsip hubungan industrial Pancasila hanya slogan belaka. Rumusan yang baik pada
akhirnya menjadi sangat tidak bermanfaat karena tidak dapat ditemui dalam realitas.
Istilah "pengusaha adalah mitra buruh" dan "buruh adalah mitra pengusaha" hanyalah
samar-samar ditemui dalam pelaksanaannya. Sistem satu organisasi buruh dan satu
organisasi pengusaha ternyata mendatangkan kenyataan monopoli wewenang di segala
bidang perburuhan yang mengakibatkan suara yang berbeda disingkirkan. Situasi ini
menimbulkan tekanan terhadap kaum buruh maupun terhadap pengusaha, baik individual
maupun kolektif dalam organisasinya.
8

Dalam kondisi semacam ini masing-masing pihak baik pengusaha, buruh, maupun
pemerintah merupakan pihak yang saling berlawanan dan bermusuhan. Usaha yang
semula hendak berlandaskan maksud dan tujuan baik dari semua pihak, seperti upaya
menghasilkan Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
justru menimbulkan reaksi yang keras dari kalangan organisasi buruh oleh karena latar
belakang yang mengawali lahirnya undang-undang tersebut dinilai melanggar hukum.
Hal ini mengakibatkan penundaan berlakunya undang-undang tersebut, meski telah


7
R.Goenawan Oetomo, Kondisi Hubungan Industrial dan Peraturan Ketenagakerjaan, dalam
Kompas, 24 J anuari 2006.

8
Ibid.
14
menghabiskan biaya yang sangat besar. Padahal, hubungan industrial, idealnya harus
merupakan proses terbinanya komunikasi, konsultasi, musyawarah, serta dialog yang
ditopang oleh kemampuan dan komitmen yang tinggi dari semua unsur tripatrit.

Kondisi serikat pekerja
Wacana mengenai hubungan industrial sejatinya telah lama diperbincangkan, namun
perkembangannya, sepertinya hanya jalan di tempat. Karenanya, banyak pihak, terutama
kalangan serikat pekerja seringkali merasa alergi membincangkannya. Tidak sedikit
kelompok serikat pekerja yang merasa pesimis atas kondisi hubungan industrial yang
berlangsung selama ini. Pengusaha dan penguasa seringkali bersekongkol untuk
memeras dan merampas hak-hak pekerja, ucap Koordinator KASBI, Anwar Sastro
Makruf.
9
Padahal menurutnya, hakikat hubungan industrial harus mengacu pada tujuan
pembangunan, yakni memberdayakan ekonomi nasional. Karena itu, buruh atau pekerja
perlu memperoleh perlindungan dalam semua aspek oleh karena dibanding pengusaha,
posisi pekerja paling lemah, terutama dalam aspek ekonomi.
Dari perspektif pekerja, kegiatan hubungan industrial idealnya mampu mendorong para
pekerja agar mendapat manfaat untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hubungan
industrial juga harus mendorong terjadinya proses pembelajaran pekerja sehingga terjadi
pengembangan wawasan dan peningkatan keterampilan kerja yang dapat memperbaiki
kualitas hidupnya. Hubungan industrial juga harus berdampak pada perlindungan hak
dasar pekerja, pemenuhan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, yang meliputi rasa
aman sebagai kebutuhan dasar dan terpenuhinnya kebutuhan sosial minimum pekerja
dalam hubungan industrial yang harmonis serta terpenuhinya kebutuhan pengembangan
diri pekerja sebagai penyaluran aspirasi.
Namun ironisnya, kondisi internal serikat pekerja juga tak luput dari masalah. Selain
harus berhadapan dengan konflik eksternal dalam konteks hubungan industrial dan
tripartit, serikat pekerja juga seringkali dilanda konflik internal yang cukup pelik.
Fragmentasi organisasi serikat pekerja sudah bukan rahasia lagi. Karenanya, alih-alih
ingin membangun bargaining position dalam kerangka hubungan industrial, organisasi
serikat pekerja juga dihadang pekerjaan rumah yang sulit di internal organisasinya.
Kondisi ini tentu cukup menguras energi serikat pekerja, sekaligus memperburuk citra
serikat pekerja di mata publik dengan tampilnya kesan sebagai organisasi yang
fragmented, egois, dan parsial.
Hasil riset Demos (2005) menunjukkan bahwa dari beragam isu dan kepentingan yang
diusung serikat pekerja, hanya sedikit agenda dan visi yang komprehensif. Sementara
kapasitas para aktivis buruh dalam menghadapi problem-problem pemerintahan dan
khususnya keterwakilan berkaitan erat dengan karakter isu-isu dan perspektif-perspektif
kelompok-kelompok informan tersebut bekerja, masih tetap dominan. Ini menunjukkan
kecenderungan umum, adanya dominasi kebijakan gerakan yang bertumpukan pada
karakter issu dan kepentingan spesifik, yakni sebesar 46 persen. Sementara issu dan


9
Pandangan Anwar Sastro Makruf ini disampaikan dalam Focus Group Dsicussion mengenai Social
Pact yang diselenggarakan DEMOS di J akarta 5 Oktober 2006.
15
kepentingan umum sebesar 33 persen, sedang gagasan atau nilai-nilai umum hanya 31
persen.
10
Artinya, aktivisme yang dilakukan kelompok pekerja masih terjebak
partikularitas yang parsial.
Sementara itu, laporan penelitian AKATIGA-TURC-Lab Sosio UI (2005) bahkan
menyebutkan bahwa perjuangan serikat pekerja di Indonesia telah mengalami pergeseran
dari perjuangan untuk kesejahteraan ke perjuangan eksistensial sekadar mempertahankan
pekerjaan itu sendiri. Contoh nyata misalnya ketika para aktivis pro-demokrasi
melakukan demontrasi menolak Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (UU
APP). Pada momen itu, tampaknya kalangan serikat pekerja tidak cukup tersentuh.
Padahal, secara langsung maupun tidak langsung hal ini juga memiliki keterkaitan
dengan kepentingan para buruh juga, terutama hak-hak buruh perempuan.
11

Kondisi ini ternyata juga disadari oleh kelompok serikat buruh. Aktivis Front Nasional
Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), Dita Indah Sari mengungkapkan bahwa gerakan
buruh saat ini kondisinya sangat fragmented, terfragmentasi secara sangat dalam, secara
sangat luas. Fragmentasi itu bisa berdasarkan orientasi dan afiliasi politiknya,
programnya, figurnya, dan macam-macam. Problem ini menurutnya yang menjadi
masalah utama buruh sehingga tidak memiliki posisi tawar-politis yang kuat, baik dengan
pengusaha maupun dengan penguasa. Problem kedua adalah rendahnya kesadaran
berorganisasi di kalangan buruh dan ini terkait dengan warisan depolitisasi Orde Baru
yang cukup lama. Pada saat itu hampir semua sektor di-depolitisasi, termasuk sektor
buruh sehingga para buruh cenderung menghindari persoalan-persoalan politik konkret.
Kondisi ini akhirnya menjebak aktivis buruh untuk terlibat hanya pada persoalan-
persoalan spesifik buruh semata. Mereka hanya sibuk dengan urusan-urusan sektornya
saja dan jarang terlibat dalam persoalan-persoalan kebangsaan yang lebih luas. Dua hal
inilah soal fragmentasi dan rendahnya kesadaran yang menjadi problem utama yang
mengakibatkan gerakan buruh belum menjadi kekuatan yang signifikan sebagai kekuatan
politik, ujar Dita Sari.
12


Mempromosikan pakta sosial
Gagasan mengenai pakta sosial (social pact) sejatinya bukanlah sesuatu yang asing dalam
konteks sosial-politik di Indonesia. Menurut Olle Tornquist (2006), upaya ini setidaknya
dapat dirujuk pada pengalaman politik dari tahun 1945 hingga 1948 dimana telah terjadi
kesepakatan yang luas diantara sejumlah kelas dan kelompok yang modern, plural, dan
berdasarkan atas hak, demokrasi, dan berdasar pada konsep negara-bangsa yang
independen. Hal yang sama juga pernah terjadi antara tahun 1952 dan 1965 dimana
kaum borjuis nasional (national bourgeoisie), membangun kesepakatan bersama
diantara para kelompok buruh dan kaum tani.
13



10
Tim Penulis DEMOS (2005). Menjadikan Demokrasi Bermakna. J akarta: DEMOS.
11
Lihat Laporan Penelitian AKATIGA-TURC-Lab Sosio UI (2005).
12
Wawancara dengan Dita Indah Sari, J akarta: 22 November 2006.
13
Pandangan Olle Tornquist ini disampaikan dalam Focus Group Dsicussion mengenai Social Pact
yang diselenggarakan DEMOS di J akarta 5 Oktober 2006.
16
Pakta sosial secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah hasil yang didapat dari
proses dialog pada level nasional mengenai issu-issu bersama yang berkaitan dengan
masalah kebijakan sosial dan ekonomi diantara pihak pengusaha, pekerja (buruh), dan
pemerintah. Pada tataran praksisnya, pakta sosial ini dapat mewujud dalam beragam
aktivitas, seperti negoisasi dan pengambilan keputusan bersama (concertation). Pada
akhirnya pakta sosial ini diharapkan menghasilkan konsesus, setelah pihak-pihak yang
terlibat melakukan terobosan dan mendamaikan kepentingan-kepentingan yang berbeda
untuk mendapatkan titik temu yang dapat disepakati bersama. J ika mengacu pada
pengalaman di beberapa negara, pada dasarnya semua model pakta sosial yang ada secara
fundamental berbasis pada kepentingan ekonomi bersama dari aspek yang sangat penting
dan strategis, baik dari sudut modal atau pengusaha maupun dari sudut organisasi
buruh.
14

Apakah pengalaman itu dapat dieksplorasi kemungkinannya untuk diterapkan dan
dikontekstualisasikan di Indonesia ? Dalam konteks ini, Olle Tornquist mengajukan dua
pertanyaan utama. Pertama, apa pilar-pilar yang dipromosikan dan bagaimana dinamika
yang terjadi, serta masalah-masalah apa yang dihadapi oleh pakta-pakta sosial yang ada?
Kedua, bagaimana itu semua di-de-contextualised sehingga kita dapat mengidentifikasi
berbagai pra-kondisi dan faktor-faktor minimum yang umum, dan untuk kemudian
dieksplorasi kemungkinannya bila ini dikembangkan dalam konteks Indonesia.
15

Aktivis ASPEK Indonesia, Yanuar Rizky menilai bahwa wacana pakta sosial di
Indonesia seringkali sangat reduksionis. Artinya, dipersempit (just a small part) menjadi
masalah industrial semata dengan memposisikan pengusaha di satu sisi dan buruh di sisi
lainnya secara diametral. Padahal, menurutnya, pakta sosial harus dilihat dalam kerangka
yang lebih besar sebagai transaksi negara dalam konteks triangle: pemerintah, sektor
bisnis dan society. Hal ini secara sederhana dapat divisualisasikan sebagai berikut:

Pemerintah




Sektor bisnis Masyarakat

Dalam kerangka seperti itu, maka buruh tidak bisa diberi beban yang lebih berat untuk
bertarung vis a vis dengan dunia usaha. Namun tugas ini harus dipikul secara bersama
oleh society at large dimana buruh sendiri hanya salah satu bagiannya. Menurutnya,
semua permasalahan tersebut tidak bisa semerta-merta dibebankan kepada kelompok atau

14
Nur Iman Subono dan Sofian Asgart (2006), Menimbang Sosial Pact Sebagai Model Alternatif
Perluasan Gerakan Demokrasi di Indonesia, draf makalah untuk Konferensi Rethinking Popular
Representation, The CPD Workshop, Oslo, October 26-27, 2006.
15
Ibid.
17
serikat buruh semata. J ustru kelompok buruh-lah yang harus mendapatkan dukungan dari
berbagai kalangan, termasuk para ekonom, akademisi, dan kelompok masyarakat lainnya,
terutama media.
Yanuar mencontohkan, misalnya, dalam hal tuntutan peningkatan upah. Ketika buruh
meminta upahnya ditingkatkan, seharusnya pihak-pihak lain turut mendukung, dan
bukannya melihatnya sebagai keegoisan sikap buruh. Mengapa ini perlu ditempuh?
Karena kalau buruh medapatkan kenaikan gaji, maka perputaran uang itu juga akan
kembali ke masyarakat. Bukan hanya buruh yang diuntungkan, tapi juga kelompok
masyarakat lain seperti tukang bubur atau tukang bakso di sekitar pabrik, pemilik
kontrakan rumah, jasa transportasi, dan kelompok masyarakat lainnya. Demikian juga
ketika terjadi PHK massal, semua juga terkena dampaknya. J adi, ekonomi itu harus
dilihat sebagai bagian dari solidaritas. Sistem ekonomi hanya dapat berjalan apabila ada
solidaritas diantara semua kelompok masyarakat, ujarnya.
16

Dalam konteks pakta sosial, kelompok pengusaha juga harus meluruskan pola pikirnya
bahwa dia bukan saja membuat job market, tapi juga membutuhkan market region.
Karena itu, pengusaha tidak hanya melihat buruh sebagai pekerja semata, tapi juga
sebagai bagian dari masyarakat yang menjadi target market (pembeli) dari produknya.
Karena itu, ketika pengusaha menaikkan upah buruh, sejatinya ia sedang meningkatkan
daya beli masyarakat agar masyarakat sanggup membeli barang dagangannya. J adi
itulah yang namanya transaksi negara yang sekaligus juga transaksi social multiflier
effect dimana sesungguhnya kenaikan upah buruh juga akan berimplikasi terhadap dunia
usaha secara timbal balik, tambah Yanuar.
17
Dalam kerangka inilah pakta sosial menjadi
hal yang penting untuk dibangun secara bersama antara pemerintah, corporate sector,
dan buruh sebagai bagian tak terpisahkan dari society.
Menurut Rekson Silaban, salah satu kegagalan tidak mulusnya hubungan industrial di
Indonesia adalah karena rendahnya rasa saling percaya antara buruh dengan pengusaha.
Buruh selalu melihat pengusaha adalah pembohong yang selalu mendeklarasikan
kerugian sementara pengusaha memandang serikat buruh sebagai lembaga yang tahunya
hanya menuntut tanpa peduli dengan kesulitan pengusaha. Selain itu, hukum perburuhan
di Indonesia tidak mengharuskan kedua belah pihak buruh dan majikan bersedia
melakukan perundingan bila ada masalah. UU perburuhan hanya menulis mekanisme
perundingan bila kedua belah pihak mau berunding, tapi tidak mengharuskan pihak-pihak
untuk berunding. J adi bila ada masalah hubungan industrial, tidak ada kewajiban bagi
kedua belah pihak untuk berunding. Pengusaha bisa menghindari perundingan dengan
berdalih sedang sibuk, begitu pula sebaliknya. Inilah kasus yang selama ini membuat
hubungan industrial kita buruk dan menjadi pemicu utama maraknya pemogokan,
ujarnya.
18

Karena itu, menurut Rekson, kunci utama bagi pembentukan pakta sosial adalah
diupayakannya social dialogue (dialog sosial). Pakta sosial harus dimulai dari dialog
sosial, karena tidak mungkin ada pakta sosial tanpa didahului dengan dialog sosial,
tambahnya. Namun justru budaya dialog inilah yang minim dimiliki serikat buruh

16
Wawancara dengan Yanuar Rizky, J akarta: 2 Desember 2006.
17
Ibid.
18
Wawancara dengan Rekson Silaban, J akarta: 8 Desember 2006.
18
maupun pengusaha dalam konteks hubungan industrial. Bagi kalangan buruh sendiri
miskinnya budaya dialog ini mungkin sebagai akibat pengalaman buruk masa lalu,
dimana pemerintah dan pengusaha seringkali berkolaborasi merepresi buruh sehingga
banyak aktivis serikat buruh yang tidak mempercayai pengusaha maupun pemerintah.
Akibatnya, buruh dan serikat buruh dalam beberapa peristiwa lebih menghendaki
penyelesaian masalah melalui penekanan massa (presser group), seperti unjuk rasa dan
mogok kerja ketimbang melalui jalur dialog. Namun tanpa disadari, pola perjuangan
seperti ini menciptakan semacam api dalam sekam karena pengusaha yang dipaksa
menyetujui sesuatu melalui desakan massa hanya menunggu momentum lain untuk
melakukan pembalasan (lock out). Contoh nyata atas kasus ini, misalnya, hengkangnya
perusahaan Sony ke Malaysia pada tahun 2004. Sony memilih Malaysia sebagai tempat
beroperasi sekalipun upah buruh di sana 2/3 kali lebih mahal dari Indonesia.
Kendala lain yang menghambat dibangunnya pakta sosial adalah lemahnya peran
pemerintah. Aktivis SBTPI, Dedi Fauzi, menilai pemerintah tidak mampu menjembatani
kepentingan buruh dan pengusaha. Dalam banyak kasus, bahkan, pemerintah cenderung
membela kepentingan pengusaha dari pada kepentingan buruh. Sementara itu, semangat
pengusaha untuk membangun pakta sosial pun patut dicurigai karena beberapa
pengalaman menunjukkan bahwa mereka hanya memanfaatkan momentum semata.
Dulu kami pernah demontrasi bersama pengusaha untuk menekan pemerintah agar
membatalkan kenaikan BBM. Namun ternyata para pengusaha itu hanya memanfaatkan
kita saja, ujarnya.
19

Berbagai kendala itulah yang menjadi alasan beberapa aktivis serikat buruh
menyampaikan pesimismenya bagi upaya pembentukan pakta sosial. Aktivis gerakan
anti-korupsi yang pernah malang-melintang di dunia perburuhan, Teten Masduki, juga
merasa pesimis atas upaya pembentukan pakta sosial itu. Namun menurutnya bukan
berarti hal itu tidak mungkin. Hanya saja dibutuhkan beberapa prasyarat dan pra-kondisi
agar alternatif itu menjadi masuk akal. Prasyarat dan prakondisi itu terutama adanya
organisasi buruh yang solid, kedewasaan para pengusaha, serta goodwill dan political
will dari pemerintah atas persoalan-persoalan ketenagakerjaan dan kesejahteraan.
20

Sejalan dengan itu, aktivis SPN, Lilis Mammudah, menyatakan bahwa meskipun sangat
sulit membayangkannya, namun upaya pembentukan pakta sosial bukanlah sesuatu yang
mustahil sejauh kita mampu menyiapkan berbagai pra-kondisi sebagai prasyaratnya. Itu
saya kira masih mungkin, bahkan, pakta sosial ke depan sangat penting untuk terus
diupayakan. Tapi ini pun bukan hanya sebatas basa-basi pula. Artinya semua pilar harus
merasa penting untuk membangunnya, ujarnya.
21
Dari perspektif kelompok buruh, Lilis
menawarkan pra-kondisi sebagai syaratnya, terutama organisasi buruh sendiri harus
melakukan evaluasi dan introspeksi atas gerakannya selama ini. J angan-jangan posisinya
yang underdog ini disebabkan karena kapabelitas dan SDM buruh memang rendah
sehingga sangat mudah dibodohi dan dibohongi. Untuk itu menjadi penting bagi para
aktivis buruh melakukan up-grading kemampuannya sehingga ia akan memiliki posisi
tawar yang baik.

19
Wawancara dengan Dedi Fauzi, J akarta: 27 November 2006.
20
Pandangan Teten Masduki ini disampaikan dalam Focus Group Dsicussion mengenai Social Pact
yang diselenggarakan DEMOS di J akarta 5 Oktober 2006.
21
Wawancara dengan Lilis Mahmudah, J akarta: 24 November 2006.
19
Sejalan dengan itu, Dita Indah Sari juga berkomentar bahwa kondisi perburuhan kita saat
ini memang sulit dan sangat memprihatinkan, tapi bukan berarti tertutup kemungkinan
bagi upaya pembangunan fakta sosial. Ia masih optimis bahwa upaya pembentukan pakta
sosial di Indonesia masih sangat memungkinkan. Untuk itu, perlu upaya-upaya keras dari
sejumlah tokoh buruh untuk meyakinkan unsur-unsur lain tentang apa yang akan di-
pakta-kan. Persoalan yang menjadi konsensus untuk di-pakta-kan juga tidak terbatas pada
kepentingan buruh dan pengusaha semata, tapi pada kepentingan yang lebih besar,
misalnya dalam rangka melindungi industri nasional secara bersama-sama. Kalau
kepentingan yang lebih luas itu yang menjadi basisnya, saya kira sangat bisa. Karena
faktanya sekarang industri dalam negeri sedang terdesak, para pengusaha juga banyak
yang bangkrut dan tidak punya perlindungan yang memadai sementara kapasitas
produksinya rendah. Dalam kondisi seperti ini saya kira semua pihak bisa duduk bersama
dan berpikir bersama secara jernih, ujarnya.
22

Dengan berbagai argumen tersebut sejatinya pakta sosial masih sangat mungkin
diupayakan di Indonesia. Hanya saja upaya ini jangan diorientasikan pada hal-hal yang
spesifik seperti batasan upah, meskipun itu juga penting. Hal-hal seperti itu cukuplah
diurus oleh serikat-serikat buruh sektor di tingkat pabrik, sementara dalam pakta sosial
lebih berorientasi pada kepentingan yang lebih luas dan longterm sehingga dapat
mengikat secara lebih umum dan secara nasional. J ika itu yang diupayakan, besar
kemungkinan pakta sosial akan mendapat dukungan luas dari banyak pihak, karena
mereka sama-sama diuntungkan.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah keseriusan dari semua pihak untuk terus
melakukan eksprimentasi termasuk juga dengan melakukan komparasi dengan
pengalaman-pengalaman di beberapa negara yang telah terbukti sukses mempraktekkan
model pakta sosial. Sebagai bahan bandingan, misalnya, pengalaman beberapa negara
Eropa, terutama negara-negara Skandinavia yang telah berhasil membangun pakta sosial
melalui pengaturan perundingan yang didasarkan atas niat baik para pihak untuk
mengedepankan perundingan yang tulus (good faith negotiation).
23
Model ini diharapkan
dapat menjadi inspirasi bagi pakta sosial di Indonesia. Kuncinya tentu saja dengan
mencoba untuk terus bereksperimentasi secara bertahap dan ditempuh secara bersama-
sama. Model ini tentu mensyaratkan kesiapan semua pihak untuk membuka diri dan
kesediaan semua pihak untuk berdialog secara tulus dalam rangka meraih solusi terbaik
untuk kepentingan bersama.

***




22
Wawancara dengan Dita Indah Sari, J akarta: 22 November 2006.
23
Model ini pernah juga dipakai di Australia, New Zeland, dan Amerika Serikat dimana ada keharusan
pihak yang bertikai menghadiri perundingan untuk menghentikan ketidakpastian dan situasi deadlock.
Dalam kondisi itu, buruh tidak boleh melakukan pemogokan, sementara pihak perusahaan juga tidak
dibenarkan melakukan balas dendam (lock out) selama masa perundingan. Semua pihak juga bersepakat
untuk tidak melakukan tindakan kekerasan.
20
BAB 3
Potret Sisi Pengusaha:
Dunia Usaha di Indonesia Tak Kondusif Bagi Investasi

Stanley Adi Prasetyo
24


Para pengamat ekonomi sejak awal 1990-an memuji-muji Indonesia sebagai negara yang
mencengangkan yang berhasil mempertahankankan pertumbuhan pada kisaran 7,5% per
tahun dan berhasil mengangkat sekitar 1,1 juta orang ke luar dari kemiskinan setiap
tahunnya.
25
Semua pengamat meramalkan Indonesia bakal segera melejit menjadi macan
Asia ke-7. Namun pada pertengahan 1997 keajaiban itu sirna seiring dengan berhentinya
keajaiban ekonomi Indonesia.
Krisis bermula dari efek berantai akibat krisis mata uang Thailand, Bath, pada
pertengahan 1997, disertai kelemahan sistem dan serangkaian peristiwa yang terjadi
kemudian,
26
mengakibatkan Indonesia mengalami pertumbuhan negatif sebesar 13,1%
pada 1998. Depresiasi rupiahyang mulai merangkak naik pada J uli 1997dari posisi
sedikit di bawah Rp 2.400 per 1 dolar AS pada saat sebelum krisis menjadi Rp 18.000 per
1 dolar AS pada J anuari 1998. Hal ini berdampak pada hancurnya pasar pertanian
27
dan
non-pertanian. Transformasi struktural negara ini tiba-tiba berhenti; hasil produksi di
sektor industri maupun jasa merosot; dan pertumbuhan hasil produksi di sektor pertanian
berjalan di tempat.
Krisis ekonomi ini berakibat dengan munculnya kelangkaan bahan-bahan kebutuhan
pokok (sembako) pada J uli 1997. Rakyat di sejumlah daerah yang mulai frustasi nekad
melakukan penjarahan terhadap sejumlah toko penyalur sembako yang banyak dia
antaranya adalah milik Tionghoa. Situasi yang berkembang kemudian malah
memunculkan semacam tuduhan bahwa para pedagang Tionghoa sengaja menimbun
barang sembako dagangannya untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Dengan
demikian kebencian terhadap etnis Tionghoa kembali menemukan momentumnya.
Sejumlah kerusuhan yang merebak di berbagai tempat seperti di Situbondo, Kebumen,
Rengasdengklok telah menimbulkan beberapa aksi yang sifatnya rasialis. Berbagai
umpatan dan selebaran gelap yang bernada hasutan untuk menjarah tok dan rumah milik
Tionghoa bermunculan.

24
Ketua Perkumpulan DEMOS saat ini bekerja sebagai komisoner KOMNASHAM.
25
Lihat Bank Dunia, Era Baru Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, Bank Dunia, J akarta, Juli,
2007, hal. 18.
26
Kelemahan struktural di bidang keuangan, lemahnya kelembagaan, hilangnya kepercayaan terhadap
pemerintah, depresiasi rupiah yang menyebabkan meningkatnya jumlah utang dalam dollar AS, semua
faktor tersebut membentuk lingkaran setan yang memicu pelarian modal. Akibatnya, pendapatan riil
merosot tajam, yang memicu ambruknya tatanan sosial di tengah ketiadaan jaringan pengaman sosial.
Kekecewaan sosial yang bertumpuk ini kemudian menimbulkan konflik antarsuku dan pergolakan politik.
27
Beberapa produsen hasil pertanian untung karena turunnya nilai tukar mengakibatkan naiknya harga
barang yang dapat diperjual-belikan, dan mereka yang menjual barang-barang tersebut di wilayah terpencil
mendapatkan untung, misalnya para pedagang kacang mede, dll.

21
Saat yang bersamaan ada sekelompok wartawan muda yang menjawab krisis ekonomi
1997 dengan memuja-muja Presiden Soeharto sebagai manajer kampiun dengan menulis
buku berjudul Manajemen Pak Harto, putri sulung presiden Siti Herdiyanti Rukmana
(Mbak Tutut) yang diangkat Soeharto menjadi menteri sosial melalui sejumlah pemancar
televisi menggelar dialog bertajuk Aku Cinta Indonesia dan Aku Cinta Rupiah.
Serangkaian peristiwa yang kemudian muncul seperti protes terhadap kenaikan harga
susu oleh Suara Ibu Peduli (SIP), gelombang demonstrasi mahasiswa, yang diikuti
dengan penembakan mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998, kerusuhan selama 2 hari di
ibukota dan mundurnya 14 menteri, pada akhirnya membuat Soeharto memilih mundur.

Potret Buruk Pasca-Kejatuhan Soeharto
Semua yang didengung-dengungkan para pengamat ekonomi dan politik berantakan.
Semua puja-puji berakhir. Masyarakat mendapatkan fakta-fakta baru yang berbeda
dengan bangunan politik yang selama ini digambarkan oleh Orde Baru. Masyarakat
sepertinya baru disadarkan bahwa selama hampir 32 tahun di bawah Orde Baru, negara-
negara lain di Asia Tenggara dan egara Asia Timur sejak 1960-an hingga 1990-an bukan
hanya berupaya menumbuhkan perekonomiannya semata, tapi juga memperkuat
kapasitas kelembagaannya.
Hal ini dibuktikan antara lain oleh tingkat korupsi, sebagaimana diukur oleh survei -
survei yang dilakukan Transparansi Internasional pada masa tersebut. Menurut berbagai
survei tersebut, Indonesia memang membuat kemajuan dalam upaya memberantas
korupsi, namun perlu dicatat bahwa pada 1980 Indonesia menempati (dan kemudian tetap
bertahan pada) posisi terendah di antara bangsa-bangsa Macan Asia dari segi tingkat
korupsi (lihat Grafik 1). Kemajuan memang ada, namun sayangnya berjalan sangat
lambat.


Grafik 1. Korupsi di Indonesia tetap menjadi sumber kelemahan yang potensial dalam periode 1980-1998

Sumber: Transparency International, diambil dari Haggard, 2000.


Selain tingkat korupsi yang tinggi, ketika krisis melanda, pihak pemimpin hanya
memiliki sumber dukungan rakyat yang terbatas. Dua faktor terlihat menonjol dalam
Tabel 1.
22
Hingga saat 1998, Indonesia merupakan Negara yang pemimpinnya adalah pemegang
tampuk kekuasaan terlama dibandingkan dengan pemimpin mana pun di negara-negara
yang terkena dampak krisis keuangan Asia. Selain itu, proses pengambilan keputusan di
Indonesia sangat terpusat.

Tabel 1. Perbandingan Pemimpin di Empat Negara Yang Terkena Dampak Krisis Keuangan Asia
Thailand Korea Selatan Malaysia Indonesia
Pemimpin Perdana Menteri
Chavalit
Yongchaiyudh

Presiden Kim Young
Sam
Perdana Menteri
Mohammad
Mahathir
Presiden Soeharto
Mulai menjabat

November 1996 Februari 1993 Juli 1981 Maret 1966
Proses pengambilan
keputusan
Parlementer, koalisi
enam partai
Presidensil,
pemerintahan
terpadu namun
dengan perpecahan
antara lembaga
eksekutif, legislative
dan intra-partai
Parlementer,
pemerintahan
koalisi dengan
dominasi partai
UMNO
Otoriter, sangat
tersentralisasi
Sumber: Haggard, 2000.



Ketika negara-negara lain yang terkena dampak krisisseperti Thailand, Korea Selatan,
dan Malaysiatelah mengembangkan setidaknya lembaga perwakilan selama dasawarsa
1980-an dan 1990-an, negara Indonesia terus menempuh jalur otoriter, dengan kekuatan
nyata yang terus-menerus terpusat pada presiden dan keluarganya, kroni-kroni tertentu,
dan kelompok militer. Pada masa-masa yang lebih baik, pemerintah memiliki kekuasaan
untuk membuat dan memberlakukan banyak kebijakan hampir tanpa melibatkan pihak
lain. Namun, ketika pengorbanan seluruh rakyat di negara ini diperlukan, hanya ada
sedikit cadangan dukungan yang dapat diperoleh dari rakyat yang telah merasa kecewa.
J adi, walaupun kepemimpinan yang terpusat dan pertumbuhan yang pesat mampu
menutupi kekurangan yang mendasar ini selama masa-masa baik, kekompakan sosial
antara warga dan pemerintah segera sirna ketika dilanda tekanan berat.
Sedangkan bangsa lain memiliki koalisi yang relatif luas yang dapat digunakan untuk
mendistribusikan beban penderitaan kepada segmen masyarakat yang lebih luas, di
Indonesia pemimpin yang relatif terkucil segera mendapati bahwa ia tidak memiliki
koalisi yang efektif, dan bahwa tidak mungkin untuk melakukan hal yang mustahil,
yakni menuntut pengorbanan dan kompromi baik dari golongan elit yang memerintah
maupun masyarakat awam.
23
Masyarakat, yang telah lama diabaikan, tidak begitu tertarik mendukung rezim ini pada
masa-masa sulit, dan golongan elit, yang sudah lama terbiasa membuat dan memaksakan
peraturan, tidak mampu melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diperlukan karena hal
tersebut akan secara langsung merugikan kepentingan finansial mereka. Dengan
demikian, rezim baru yang menggantikan kekuasaan Soeharto menghadapi sejumlah
pilihan kebijakan yang terbatas dan tidak mampu mendorong munculnya semangat
berkorban dan mewujudkan proses pemulihan yang cepat.

Multikrisis Pasca-krisis Ekonomi
Sistem kapitalisme semu yang dibangun pada masa kekuasaan Orde Baru di masa krisis
ternyata terbukti hanya melahirkan pengusaha palsu yang tak memiliki enterpreunership.
Kelompok ini terbukti lebih mengandalkan topangan dan proteksi kekuasaan. Dengan
seketika berbagai usaha rontok. Kebijakan penjaminan keuangan yang diberikan
pemerintah atas usulan IMF melalui BLBI juga tak mampu menolong, malah
menimbulkan beban bagi pemerintah.
Sektor riil berhenti berproduksi. Mesin-mesin pabrik tak bekerja karena harga komponen
dan kebutuhan barang ekspor melangit onjak akibat nilai kurs mata uang rupiah yang
terpuruk ke titik nadir.
Belum lagi munculnya praktek ekonomi rente di mana keuntungan ekonomi hanya
berpusat pada sekelompok orang (oligarki ekonomi) yang membuat perekonomian
nasional sepertinya tak berdaya ketika orang-orang tersebut memilih memindahkan
usahanya ke luar negeri. Kita menghadapi kenyataaan bahwa semua sumber daya alam
telah hancur. Sistem loyalitas dan dukungan politik yang diberikan birokrasi kepada
penguasa politik, selama ini justru memunculkan tolerensi bagi penyimpangan dan
kebocoran lembaga-lembaga keuangan negara (BUMN).
Sejumlah pengamat mengatakan bahwa secara ekonomi, perekomian Indonesia
memenuhi syarat kebangkrutan karena angka debt service ratio mencapai angka 55% .
J eratan utang luar negeri dan macetnya sektor riil menimbulkan masalah lain yaitu
melambungnya angka pengangguran. J uga ketimpangan kesempatan pendidikan,
kesempatan kerja, dan status ekonomi.
Hal ini berkibat pada munculnya potensi kebangkitan nasionalisme golongan. Krisis
ekonomi yang tiba-tiba. Ambruknya nilai rupiah menimbulkan sistem ekonomi
tersembunyi seperti penyelundupan, pelarian modal, korupsi dan berbagai praktek ilegal.
Pergantian politik melalui Pemilu 1999 juga tak mendonkrak perbaikan ekonomi.
Pemerintahan Gus Dur justru memunculkan gejolak politik baru. Pada 2003, laju
demokratisasi dan desentralisasi berlangsung lebih cepat dengan disetujuinya undang-
undang tentang pemilihan umum dan desentralisasi. Pada April 2004, bangsa Indonesia
turut serta dalam pemilihan umum ke dua yang bebas dan adil untuk memilih para
wakil parlemen yang baru. Sebagaimana telah dimandatkan oleh undang-undang tentang
desentralisasi, pemerintah daerah juga akan dipilih dan bukan ditunjuk oleh pemerintah
pusat. Kemudian, pada bulan J uli, dunia menyaksikan pemilihan umum yang berlangsung
sehari, pemilihan umum terbesar yang pernah ada, ketika bangsa Indonesia ikut serta
dalam pemilihan presiden langsung untuk pertama kalinya di negeri itu. Susilo Bambang
24
Yudhoyono, seorang mantan jenderal dan menteri koordinator bidang politik dan
keamanan pada kabinet Megawati, memenangkan kursi presiden dengan jumlah suara
yang meyakinkan dan dilantik pada Oktober 2004.
Dukungan kepada kebijakan otonomi daerah justru memunculkan premanisme baru di
bidang ekonomi. Pemerintah Megawati yangmenggantikan Gus Dur relatif bisa
membawa ketenangan dan sedikit menstabilkan kondisi ekonomi makro nasional. Namun
situasi krisis masih berlanjut, sustru ketika negara-negara tetangga telah ke luar dari
situasi krisis.
Elit penguasa baru justru secara terang-terangan melakukan korupsi besar-besaran.
Mereka menolak transparansi, pengawasan dan pertanggungjawaban. Hal ini
menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat pada lembaga-lembaga pemerintah. Di
mana-mana muncul demonstrasi dan tak sedikit yang melakukan perlawanan bersenjata.
Sindikat penjahat berkoalisi dengan elit yang berkuasa. Pelayanan publik seperti
keamanan, kesehatan, pendidikan, sanitasi, transportasi merosot drastis. Pelayanan hanya
diberikan pada elit yang berkuasa.
Hukum sepertinya tak lagi bekerja sesuai fungsinya. Pelanggaran HAM meluas, aparat
keamanan bergerak seperti negara dalam negera, komponen dalam angkatan bersenjata
menenmpatkan diri di atas semua hukum dan organisasi resmi kemiliteran.
Sedangkan elite pecah dan retorika politik mengarah pada penggalangan solidaritas
komunal. Di mana-mana muncul krisis keamanan yang meluas.
Multikrisis akibat belum stabilnya situasi politik dan keamanan dalam negeri juga
menyebabkan banyak penduduk miskin dan bukan miskin yang terhubung dengan sektor
manufaktur, industri dan konstruksi kehilangan pekerjaan. Selain mengalami kenaikan
tajam dalam biaya kebutuhan pokok dan komoditas-komoditas lainnya, para pekerja di
sektor non-pertanian dan daerah perkotaan khususnya menderita tatkala pasar kerja
mengalami penyusutan.
Angka kemiskinan (poverty headcount) di daerah perkotaan naik sebesar 43% antara
1996 dan 1999, sementara di daerah pedesaan angka tersebut naik sebesar 32%. J arak
rata-rata antara standar hidup rumah tangga miskin dan garis kemiskinan juga meningkat
tajam selama masa krisis, yang menunjukkan makin melebarnya jurang kemiskinan di
Indonesia. Indeks tingkat keparahan kemiskinan (poverty severity index) di daerah
perkotaan naik sebesar 300% selama periode ini, dibandingkan dengan kenaikan 84% di
daerah pedesaan.

Tabel 2. Kontraksi Sektor Konstruksi, Keuangan dan Perdagangan Akibat Krisis
Distribusi PDB (%) 1996 1997 1998 1999 2000

Pertanian 15,42 14,88 16,90 17,13 16,63
Pertambangan dan penggalian 9,12 8,90 9,96 9,72 9,77
Industri manufaktur 24,71 24,84 25,33 26,11 26,38
Listrik, gas dan air 1,18 1,26 1,50 1,61 1,65
25
Konstruksi 7,96 8,16 5,97 5,81 5,85
Perdagangan, hotel, dan restaurant 16,79 16,97 15,98 15,84 15,95
Transportasi dan komunikasi 7,18 7,34 7,17 7,06 7,30
Keuangan, kepemilikan dan usaha 8,79 8,90 7,51 6,92 6,90
Jasa 8,85 8,76 9,69 9,80 9,56
Total PDB 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: BPS, indeks 1993.

Selain muncul ledakan kemiskinan, muncul pula dampak berupa meningkatnya angka
gizi buruk (malnutrisi). Hal ini tidak hanya memiliki dampak jangka pendek, tetapi juga
dampak jangka panjang pada aset-aset manusia dan rumah tangga. Sebagian dampak
jangka panjang dari krisis ini dapat dilihat lewat meningkatnya angka gizi buruk di
kalangan anak-anak berusia di bawah 5 tahun. Angka gizi buruk di Indonesia mencapai
titik rendah hingga 23% pada 2000, tetapi kemudian naik hingga hampir 26% pada 2003

Sektor Usaha Lesu
Meskipun krisis ekonomi lebih dipicu oleh faktor-faktor eksternal, krisis yang ada
menyingkap dan membongkar berbagai kelemahan yang melekat dalam struktur politik
dan kelembagaan di negara ini dan menghasilkan perubahan struktural yang belum
pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia. Pada awal 1997, meskipun Indonesia
saat itu telah mencapai tingkat kemakmuran yang setaraf dengan negara-negara
tetangganya dan berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan pada angka lebih dari
7%, banyak yang berpendapat bahwa keberhasilan ini rapuh karena kondisi kelembagaan
di Indonesia rapuh. Ketika krisis ekonomi melanda pada 1997, ambruknya nilai rupiah
telah menyebabkan penarikan penanaman modal asing, hilangnya puluhan ribu pekerjaan
dalam semalam, dan angka kemiskinan naik hampir sebesar 25%.
Meskipun para pembuat kebijakan di tingkat nasional dan pengambil keputusan di tingkat
daerah lebih bertanggungjawab dibandingkan yang pernah ada sebelumnya, desentralisasi
menimbulkan tantangan bagi pengelolaan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan.
Perundang-undangan tentang desentralisasi juga membangun ruang politik dan sosial
yang baru bagi masyarakat madani (civil society), memberikan mandat kepada
pemerintah daerah untuk mendukung partisipasi dan otonomi. Reformasi ini telah
menciptakan kesempatan yang besar bagi prakarsa daerah dalam menangani masalah-
masalah daerah, dan merancang strategi pembangunan yang paling baik dalam memenuhi
kebutuhan daerah. Akan tetapi, hal itu juga menimbulkan ketidakpastian kebijakan.
Banyak urusan desentralisasi yang dibiarkan tak terselesaikan.
Krisis keamanan telah memunculkan sindikat penjahat yang berkoalisi dengan elit yang
berkuasa. Koalisi due kekuatan ini mengakibatkan pelayanan publik seperti keamanan,
kesehatan, pendidikan, sanitasi, transportasi merosot drastis. Pelayanan hanya diberikan
pada elit yang berkuasa.
26
Kekecewaan pada sistem demokrasi memunculkan puritanisme agama sebagai jalan ke
luar dari sii multi krisis. Hal ini kian diperkuat dengan perekrutan tokoh agama dan tokoh
masyarakat ke dalam aksi intelijen. Kebencian kepada orang asing bermunculan dalam
bentuk xenophobia dan anti-Barat.
Keadaan ini mengganggu upaya pemerintahan baru untuk memulihkan iklim investasi.
Apalagi setelah tejadi Bom Bali I dan Bom Bali II. Ekonomi dan investasi sempat
menunjukkan tanda-tanda yag menggembirakan akibat kerja profesional yang
ditunjukkan jajaran kepolisian. Namun ini tak berlangsung lama, karena muncul serangan
wabah SARS, flu burung, dan serangan demam berdarah.
Maraknya praktek pungli secara drastis telah mematikan dunia usaha dan iklim investasi.
Berbagai PMA pada hengkang ke Malaysia, Filipina, Cina, Vietnam dan Kamboja.
Sejumlah kebijakan pemerintah yang sebetulnya bertujuan baik, ketika jalan justru
mendapat tentangan kalangan rakyat kecil karena dianggap menyusahkan. Kita bisa
melihat kasus konversi minyak tanah ke gas, penggusuran penghuni warga kolong tol,
dan sebagainya.
Satu demi satu investor menarik investasi mereka dari Indonesia. Perusahaan juga
mengalami kerontoan sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1997. Dimulai dari
perusahaan garmen, sepatu, hingga produk elektronik. Hal ini dikarenakan situasi
keamanan yang tak cukup kondusif, tak ada jaminan hukum, tak kondusifnya ekonomi
makro Indonesia, tak tersedia infrastruktur seperti sarana listrik, kemacetan dan rusaknya
prasarana jalan, membumbungnya harga barang-barang impor akibat masih terpuruknya
nilai tukar rupiah, tenaga kerja buruh yang relatif mahal, adanya banyak pemogokan
buruh, kebijakan ketenagakerjaan pemerintah yang tak berpihak pada pengusaha, terlalu
banyaknya pungutan dan bea impor barang, dukungan kebijakan ekspor kurang,
banyaknya pungutan liar, dan pajak yang mencekik serta tak adanya dukungan kebijakan
ekspor dari pemerintah Indonesia. Semuanya membuat margin keuntungan dari investasi
di Indonesia sangat tipis. Hal ini tak sebanding dengan faktor risiko yang justru besar.
Kebijakan pemadaman listrik secara bergiliran sejak J uli 2008 sebagai akibat krisis listrik
yang melanda J awa-Bali, banyak investur mengeluh dan menyusun rencana untuk segera
hengkang dari Indonesia. Apalagi pemerintah pada 14 J uli 2008 mengeluarkan kebijakan
pengalihan 2 hari kerja antara Senin-J umat ke Sabtu-Minggu memindahkan investasi
mereka dari Indonesia, sebab pemerintah Indonesia baru biosa menjamin kestersediaan
listrik yang stabil pada 2009.
Hasil Survei Iklim Investasi Pedesaan (Rural Investment Climate Survey, RISC) terhadap
2.500 perusahaan yang sebagian besar bergerak dalam usaha non-pertanian mikro dan
kecil di enam kabupaten juga menunjukkan adanya sejumlah kendala di tingkat
pengambangan usaha kecil dan menengah(Grafik 2).
28
Perusahaan-perusahaan di tingkat
kabupaten, yang jumlahnya adalah yang terbanyak dan mempekerjakan sebagian besar
penduduk miskin bukan petani, melihat bahwa kendala-kendala terpenting yang mereka
hadapi terkait dengan: rendahnya permintaan terhadap barang dan jasa yang mereka
produksi; kesulitan memperoleh kredit; dan masalah pemasaran akibat buruknya jalan,
transportasi dan infrastruktur listrik.

28
Bank Dunia, op cit.
27
Grafik 2. Kendala Yang Dihadapi oleh Perusahaan-Perusahaan Dalam Survei RIC


Sumber: RICS, 2006.

Saat ini, di Indonesia tengah terjadi pertarungan gagasan antara perspektif ekonomi yang
berorientasi pasar bebas dengan gagasan mengenai perekonomian rakyat. Namun karena
ekonomi pasar ini ditopang dengan kampanye yang besar secara sistematis maka ini
menjadi leading, antara lain misalnya dengan konsep flexibility market-nya. Menurut
Faisal, bila gagasan itu diterima, maka akan diametral dengan kepentingan buruh.
Sementara itu, pemerintah Indonesia tampak seperti kehilangan perspektif dan kehilangan
pegangan.
Indonesia sepertinya kehilangan daya saing dibandingkan negara-negara tetangganya.
Cina mengalami pertumbuhan yangluar biasa dalam lima tahun terakhir ini menunjukkan
potret tentang bagaimana pemerintahan negera tersebut mendukung iklim investasi. Di
Cina tidak ada bea untuk jalan tol, semua high way bebas dilalui dengan gratis,
pelabuhan, bandara, pembangkit listrik, semua infrastruktur disediakan oleh negara.
Sementara di Indonesia ketersediaan infrastuktur sangat minim dan itu pun dibebankan
kepada pengusaha. Bahkan, untuk keperluan pembangkit listrik saja jika ada pengusaha
datang ke PLN pasti dikerjai dan diminta untuk membayar tiga kali lipat. Kondisi ini
yang mungkin menyebabkan peruisahaan nasional seperti Sudamek Group mengalihkan
produksi enting-enting dari Indonesia ke Cina karena fix cost di sana jauh lebih murah,
meskipun mungkin variable cost di Indonesia lebih murah.
Persaingan yang ada saat ini bukan hanya persaingan antar perusahaan, tapi telah
mengarah menjadi persaingan antar-negara yang mampu menghasilkan fix cost lebih
rendah. Yang jadi pertanyaan, di mana fungsi negara saat ini?
Kenyataannya sekarang justru negara, dalam hal ini pemerintah, hanya bikin susah.
Seperti dalam kasus kenaikan jalan tol. Di sini nampaknya model ekonomi rente ala Orde
Baru masih terus dipertahankan oleh kelompok-kelompok kepentingan. Sistemnya tetap
0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000
Informasi mengenai pasar
Korupsi
Biaya listrik
Kekhawatiran seputar pembayaran
Prosedur pinjaman yang berbelit
Akses kredit dari Keluarga
Kebijakan ekonomi yang tidak pasti
Kualitas sarana listrik
Kualitas jalan
Akses ke pasar
Biaya transportasi
Akses jalan
Akses ke kredit resmi
Permintaan barang dan jasa
Perkiraan jumlah perusahaan yang mencantumkan hal-hal di atas
sebagai hambatan utama dalam kegiatan usaha mereka
Tingkat bunga
28
sama, hanya aktornya saja yang berganti. Kalau dulu kroninya Soeharto, sekarang
kelompok B-3 (Bosowa, Bukaka, Bakrie). Celakanya lagi seringkali kepentingan
ekonomi mereka dibungkus melalui politisasi sentimen etnisitas (pribumi-nonpri) yang
membahayakan.
Ongkos untuk menjalankan bisnis atau produksi di Indonesia saat ini begitu mahal hingga
membuat pengusaha terpaksa menekan buruh hanya untuk bisa mengembalikan
investasi yang sudah ditanamkan saat mengurus ijin-ijin di pemerintah. Persoalan yang
dihadapi pengusaha bukan hanya persoalan ketenagakerjaan yang bersifat domestik, tapi
juga dengan kompetisi pasar global. Globalisasi ekonomi saat ini menuntut pengusaha
harus bisa kompetitif karena itu persoalan seperti outsourcing juga harus dilihat dari sisi
yang lain, misalnya supply dan demand tenaga kerja, dan lain-lain. Hal ini akan
menimbulkan problem serius, mengingat buruh di Indonesia masih banyak yang
tergolong unskill sehingga sulit bersaing dan SDM-nya belum bisa diandalkan bila
dibandingkan dengan Cina dan Korea.
Yang paling parah adalah pemerintah yang juga tidak bisa efektif dan efisien.
Keberadaan BUMN menjadi salah satu contoh dimana kita tidak bisa bersaing dengan
ekonomi global. BUMN seharusnya bisa jadi contoh dalam membangun kesejahteraan
pegawai dan buruh. Tapi kenyataanya BUMN justru menjadi sumber masalah dan secara
ekonomi tidak efisien dan juga tidak kompetitif.
Di mata pengusaha bisa ditarik perbedaan antara jaman Soeharto dan era reformasi
sekarang. Di jaman Pak Harto, pengusaha itu bisa diibaratkan seperti sapi yang sengaja
dipelihara dan dikandangkan. Setiap hari sapinya dikasih makan rumput segar dan
digemukkan. Kalau Soeharto perlu, dia datang ke kandang untuk memeras susunya, lalu
dibagikan-bagikan. Kalau sekarang, sapi yang dulu dipelihara Pak Harto itu masih ada.
Tapi sapinya kini kurus kering. Siapa saja yang memerlukan susunya, bisa masuk ke
kandang dan memeras secara beramai-ramai.***


29
Lampiran. Isu Premanisme di Tengah Iklim Bisnis di Indonesia

Muncul praktek KKN kronis
sebagai hasil dari simbiosis
mutualistis penguasaha-
penguasa: semua hal yang bisa
dibisniskan akan dibisniskan,
yang mudah jadi dipersulit dst.
Muncul inefiseinsi dan
ketidakefektifan
Munculnya praktek ekonomi
rente di mana keuntungan
ekonomi hanya berpusat pada
sekelompok orang (oligarki
ekonomi), penghancuran s. daya
alam, bocornya lembaga-
lembaga keuangan negara
(BUMN), dll
Digunakannya militer sebagai backing
bagi realisasi pembangunan yang jelas
salah untuk berhadapan dengan rakyat
akar rumput. Pengerahan komponen milisi
(kaum bayaran yang terdiri dari rakyat
marjinal) untuk memperkuat militer dalam
merepresi rakyat. Pengesahan budaya
kekerasan. Aparat mengelola bisnis ilegal.
Kebijakan pembangunan
yang salah telah
menciptakan banyak
orang miskin dan
tersisih
Sistem kapitalisme semu
yang melahirkan pengusaha
palsu yang tak memiliki
enterpreunership, tapi lebih
mengandalkan topangan
pada kekuasaan

Menonjolnya budaya premanisme sebagai upaya jalan pintas untuk kaya tanpa perlu
kerja keras dan mendapatkan keuntungan dalam waktu sesingkat-singkatnya
Negara Gagal (Fail State)
Birokrasi
sarang
KKN
Mafia
peradi
lan
Negara tak
bisa
membayar
aparat
Aparat
keamanan
bisnis jasa
pengamanan
Pembun
gkaman
peran
pers
Preman
jadi
selebriti
es
Buruknya
kontrol
terhadap
negara
Buruknya
keterwakilan
rakyat dalam
institusi
demokrasi
Ekonomi Hancur Hukum Rimba Demokrasi Semu
Budaya Kekerasan
Kekuasaan yang
bertopang pada
dominasi militer dan aksi
kekerasan kekuatan
30
APPENDIX:
DARI RUANG DISKUSI

Ringkasan
29

Sebagai langkah awal untuk menjajagi penelitian dengan judul, An Preliminary Study on
Pro-Democratic Actors In Labour-based Social Pacts as part of The Broadening Base
in the Democratization Process in Indonesia (2006-2007), DEMOS melakukan FGD
(Focus Group Discussion) dengan mengundang peserta yang kita anggap memiliki
kompeten dan ketertarikan dalam membicarakan kemungkinan pembentukan pakta sosial
di Indonesia. Setelah mendengarkan presentasi, sebagai introduksi, dari Prof. Olle
Tornquist, pembicaraan dan diskusi selanjutnya merujuk kepada empat pertanyaan utama
sebagai berikut; (a) Isu-isu apa saja yang menjadikan semua pihak yang terlibat dalam
pakta sosial (khususnya buruh dan pengusaha) dapat bersepakat, dan isu-isu apa pula
yang masih menimbulkan ketidaksepakatan di antara mereka; (b) Kemudian, aktor-aktor
pro-demokrasi yang berasal dari segmen masyarakat mana yang bisa menjadi bagian dari
pembentukan pakta sosial tersebut?; (c) Faktor-faktor utama apa saja yang menyebabkan
kesepakatan tersebut bisa dicapai pada awal-awalnya; dan (d) apa saja dinamika dan
prakondisi yang dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan sehingga semua pihak yang
terlibat merasa mendapatkan keuntungan dari kesepakan tersebut?
Dalam diskusi FGD yang berlangsung tersebut, sebagaimana sudah diduga, belum ada
titik temu yang bisa mengarahkan peserta, khususnya komentara dari wakil dari buruh
dan pengusaha, pada empat pertanyaan utama yang diajukan tersebut. Secara umum, para
peserta hanya menilai bahwa pembentukan pakta sosial ini sebagai sebuah upaya ideal
untuk menjembatani berbagai persoalan yang dialami berbagai pihak, khususnya dari
sektor buruh dan pengusaha. Tapi pada saat bersamaan ada semacam kesadaran bahwa
banyak kendala untuk bisa mengejawantahkannya. Dari sudut kalangan pengusaha
misalnya, mereka umumnya masih terjebak dalam persoalan bagaimana dapat bertahan
dalam situasi ekonomi yang sulit ini, khususnya setelah krisis ekonomi dan keuangan
menghantam Indonesia sejak 1997, dan sampai saat ini kelihatannya belum akan
berakhir. Bahkan sebaliknya, krisis ini justru melebar menjadi krisis multidimensi, baik
sosial-politik maupun ekonomi. Ini khususnya terlihat, sebagaimana terungkap dari hasil
diskusi, buat perusahaan-perusahaan industri lokal atau pribumi menengah yang memang
semakin susah kehidupannya. Buruh sebagai aset produksi perusahaan hanya lebih dilihat
sebagai sekrup produksi daripada mitra kerja yang seharusnya bergandengan tangan
bersama menghadapi situasi ekonomi yang serba sulit ini. Secara normatif, sebagaimana
dinyatakan wakil APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia), mereka percaya bahwa
dialog bipatri (buruh dan pengusaha) lebih mudah dilakukan dibandingkan triparti yang
melibatkan pemerintah. Ini berkaitan dengan isu-isu yang selama ini muncul sebetulnya

29
FGD ini sudah dilaksanakan yang kedua kalinya, dan yang terakhir ini dilaksanakan di Jakarta, 5 Oktober
2006 dengan mengundang partisipan yang berasal dari profesi dan pekerjaan yang beragam seperti anggota
DPR/Partai Politik Partai Amanat Nasional (PAN), wakil dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO),
wakil dari serikat buruh Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI), akademisi, LSM, peneliti, dan
wartawan. Wakil dari pemerintah, khususnya dari Derpartemen Tenaga Kerja (Depnaker), meskipun sudah
diundang, tidak hadir dalam acara ini.
31
lebih berkaitan dengan posisi dan peran pemerintah. Sebut saja misalnya soal
infrastruktur, perpajakan, pabean, otonomi daerah, ekonomi biaya tinggi, kepastian
hukum. Itu semua merupakan porsi pemerintah untuk bisa mengatasinya, sehingga roda
ekonomi, khususnya bagi pengusaha, bisa beraktivitas dengan pasti dan mantap.
Sementara itu masalah perburuhan justru berada pada prioritas yang terakhir. Ini artinya,
sekali lagi bagi kalangan pengusaha, mereka lebih bisa duduk bersama dengan buruh
dalam membicarakan masalah perburuhan. Bahkan ada komitmen yang lebih jauh dengan
mendirikan partai politik dengan nama Penguasa Buruh Bersatu (PBB) yang tidak lama
lagi akan dideklarasikan. Komentar yang hampir serupa diajukan juga oleh wakil rakyat
dari Partai Amanat Nasional (PAN). Menurutnya, kedua pihak (buruh dan pengusaha)
lebih mudah untuk bertemu dan berbicara. Tapi kelihatannya semua pernyataan tersebut
memang bernuansa normatif yang tentu saja akan lain ceritanya di lapangan. Sementara
itu, kalangan pengusaha sendiri juga bermasalah dalam dirinya. Sebagian besar
pengusaha Indonesia pada kenyataannya bukan merupakan industriawan yang
sesungguhnya, tapi lebih bermental sebagai pedagang. Kesuksesan yang mereka raih
bukan buah dari kegigihannya, mereka lebih sering dimanjakan karena kedekatannya
dengan para penguasa.
Bagaimana dari sisi buruh sendiri ? Kendala utama dari gerakan buruh selama ini, adalah
belum terciptanya budaya organisasi yang kuat. Serikat-serikat buruh yang ada seringkali
memposisikan dirinya sebatas pemadam kebakaran yang sangat pragmatis. Mereka
hanya bersifat reaktif terhadap kasus-kasus yang mereka hadapi tanpa ada upaya serius
untuk sejak awal ikut berpatisipasi dalam menyelesaikannya. Sementara friksi dan
faksionalisme diantara gerakan buruh memperkuat citra buruh kian terfragmentasi
sehingga tidak memiliki daya tawar yang memadai ketika harus bernegosiasi dengan
pengusaha dan pemerintah. Lihat saja munculnya berbagai serikat buruh, baik di tingkat
pabrik maupun nasional, ketika akhirnya Soeharto bisa dipaksa untuk mengundurkan diri.
Kondisi ini yang menghalangi terciptanya hubungan tripatrit yang sehat diantara buruh,
pengusaha, dan penguasa sehingga semangat untuk mewujudkan pakta sosial diantara
mereka menjadi kabur.
Aktivis gerakan antikorupsi yang memiliki pengalaman di dunia perburuhan, Teten
Masduki, merasa pesimis atas upaya pembentukan pakta sosial itu. Namun menurutnya
bukan berarti hal itu tidak mungkin. Hanya saja dibutuhkan beberapa prasyarat dan
prakondisi agar alternatif itu menjadi masuk akal. Prasyarat dan prakondisi itu terutama
adanya organisasi buruh yang solid serta goodwill dan political will dari pemerintah atas
persoalan-persoalan ketenagakerjaan dan kesejahteraan. Sosiolog Tamrin Amal
Tomagola mengusulkan agar pembentukan pakta sosial dicoba terlebih dahulu dengan
model lokal dan regional. Dari model yang relatif sederhana ini nantinya bisa
dikembangkan menjadi model nasional. Sementara itu, aktivis PraKarsa yang memiliki
konsen terhadap persoalan Welfare State, Sugeng Bahagijo memberikan usulan mengenai
pakta sosial plus Menurutnya, upaya untuk mewujudkan pakta sosial akan lebih
memungkinkan jika lebih banyak melibatkan aktivis demokrasi dari beragam sektor.
Dengan begitu, upaya untuk membangun pakta sosial tidak sebatas bertumpu pada
gerakan buruh, melainkan pada ragam sektor gerakan demokrasi secara massif.


32
Resume KDSP putaran pertama, 29 Juni 2007


Salah satu kegagalan tidak mulusnya hubungan industrial di Indonesia adalah karena
rendahnya rasa saling percaya (mutual distrust) antara buruh dengan pengusaha. Buruh
seringkali melihat pengusaha sebagai pembohong yang selalu mendeklarasikan kerugian
sementara pengusaha memandang serikat buruh sebagai pihak yang tahunya hanya
menuntut tanpa peduli dengan kesulitan pengusaha. Selain itu, hukum perburuhan di
Indonesia tidak mengharuskan kedua belah pihak buruh dan majikan bersedia
melakukan perundingan bila ada masalah. UU perburuhan hanya mengatur mekanisme
perundingan bila kedua belah pihak mau berunding, tapi tidak mengharuskan pihak-pihak
untuk berunding. J adi bila ada masalah hubungan industrial, tidak ada kewajiban bagi
kedua belah pihak untuk berunding.

Kondisi tak menentu seperti itu bukan hanya merugikan kelompok buruh semata, namun
juga akan merugikan semua komponen baik pengusaha maupun pemerintah. Karena itu
upaya untuk membangun dialog yang produktif diantara ketiga komponen tripatrit itu
menjadi sebuah keniscayaan. Dibangunnya dialog yang produktif antara pengusaha,
buruh, dan pemerintah diharapkan dapat melahirkan rasa saling percaya (mutual trust)
sekaligus membangun semacam pakta-sosial baru (new-social-pact) yang berorientasi
pada terciptanya social security and walfare system yang menguntungkan semua pihak.

social pact (pakta-sosial) secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah hasil yang
didapat dari proses dialog pada level nasional mengenai issu-issu bersama yang berkaitan
dengan masalah kebijakan sosial dan ekonomi diantara pihak pengusaha, pekerja (buruh),
dan pemerintah. Pada tataran praksisnya, pakta sosial ini dapat mewujud dalam beragam
aktivitas, seperti negosiasi dan pengambilan keputusan bersama (concertation). Pada
akhirnya pakta-sosial ini diharapkan menghasilkan konsesus, setelah pihak-pihak yang
terlibat melakukan terobosan dan mendamaikan kepentingan-kepentingan yang berbeda
untuk mendapatkan titik temu yang dapat disepakati bersama.

J ika mengacu pengalaman beberapa negara, terutama di negara-negara Skandinavia, pada
dasarnya semua model pakta-sosial yang ada secara fundamental berbasis pada
kepentingan ekonomi bersama dari aspek yang sangat penting dan strategis, baik dari
sudut modal atau pengusaha, dari sudut organisasi buruh, maupun dari sudut kepentingan
ekonomi nasional yang lebih luas. Karena itu, model pakta-sosial tidak memperhadapkan
kepentingan pengusaha di satu sisi dengan kepentingan serikat buruh di sisi lain secara
vis a vis. Sebaliknya, pakta-sosial berupaya mencari benang merah bersama menuju
kondisi win-win-solution bagi para pihak, sehingga tercipta kondisi ekonomi yang baik
dalam konteks social walfare system yang lebih luas.

Mampukah pakta sosial dibangun di Indonesia? Atas dasar berbagai persoalan tersebut,
DEMOS berupaya meretas jalan bagi terbangunnya pakta sosial dengan membentuk
Kelompok Diskusi Social-Pact (KDSP). Pembentukan kelompok diskusi ini dimaksudkan
untuk:
33
1. Melakukan dialog secara intensif antara kelompok pengusaha, buruh, dan
pemerintah sehingga terbangun rasa saling percaya dan kerjasama yang solid
dalam rangka membangun perekonomian nasional yang sehat.
2. Mengkaji berbagai persoalan dan isu-isu mutakhir mengenai sosial-ekonomi,
terutama dalam hubungannya dengan sektor ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial
dalam rangka membangun sistem sosial-ekonomi serta memperkuat daya saing
industri nasional yang tangguh dan kompetitif.
3. Mengedepankan budaya dialog dalam menuntaskan segala persoalan dalam
hubungannya dengan berbagai persoalan perselisihan maupun konflik-konflik
ketenagakerjaan secara elegan.
4. Mengeksplorasi, memetakan, dan merumuskan berbagai alternatif solusi bagi
penciptaan model-model pakta-sosial genuin yang tepat sehingga cocok untuk
diimplementasikan menjadi model tripatrit yang ideal di Indonesia.

Diskusi putaran pertama telah dilaksanakan pada 29 J uli 2007 bertempat di Hotel Harris.
Dalam diskusi ini hadir para aktivis buruh seperti Anwar Sastro (KASBI), Felikson
Silitonga (KOPBUMI), Indah Saptorini dan Elisabeth YR (TURC), Siti Istikharoh dan
Ramidi (SPN), serta aktivis INTI yang juga pengusaha Gilbert Wiryadinata. Tim Demos
yang turut hadir dalam diskusi, antara lain Asmara Nababan, Stanley Adi Prasetyo,
Antonio Parajasto, Willy Purna Samadhi, Nur Iman Subono, dan Sofian Asgart.

Setidaknya, ada duabelas persoalan yang mengemuka dalam diskusi, yaitu: soal KKN
dan pungli yang memberatkan dunia usaha, penolakan terhadap kenaikan TDL, kerugian
dunia perburuhan dalam konteks kasus Lapindo, keprihatinan terhadap buruh migran,
perlunya perubahan cara pandang dan perspektif keindonesiaan, perlunya kejelasan
orientasi pemerintah dalam hal ekonomi-ketenagakerjaaan, masalah mengenai
Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), serta persoalan yang menyangkut kondisi buruh di
internal perusahaan, terutama dalam kaitannya dengan ketakutan sejumlah pengusaha
terhadap kegiatan serikat buruh di perusahaan.

Dari sejumlah common issues tersebut ada beberapa hal yang disepakati untuk
diupayakan jalan keluarnya. Upaya ini terutama berpangkal pada tuntutan atas keseriusan
pemerintah dalam membenahi dunia usaha dan persoalan ketenagakerjaan secara lebih
serius. Karena itu, pertemuan KDSP berikutnya diharapkan dapat menghadirkan
kelompok pengambil keputusan, yaitu Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) dan
Komisi IX DPR yang antara lain membidangi soal ketenagakerjaan.

Putaran kedua pertemuan KDSP akan dilaksanakan pada 20 J uli 2007 dengan
memfokuskan pada tema Masalah-masalah Mendasar yang Dihadapi Buruh dan
Pengusaha. Dengan semangat keterbukaan dan rasa saling-percaya, kelompok buruh,
pengusaha, dan pemerintah diharapkan dapat berdiskusi dan berdialog secara terbuka
dalam forum KDSP ini. Dalam bentuknya yang cair dan informal, KDSP diharapkan
dapat menjadi ruang bersama bagi para pihak terutama aktivis buruh, pengusaha, dan
pemerintah untuk mencari terobosan baru dalam mengeksplorasi, memetakan, dan
merumuskan berbagai alternatif solusi bagi penciptaan model-model pakta-sosial yang
tepat untuk diimplementasikan menjadi model tripatrit yang ideal di Indonesia.***
34
Resume

Pertemuan KDSP Putaran Kedua
Hotel Harris, 20 Juli 2007

Sebagaimana diusulkan pada pertemuan pertama, FGD putaran kedua mendiskusikan
masalah-masalah mendasar yang dihadapi buruh dan pengusaha sebagai tema
utamanya. Tema ini diharapkan dapat memunculkan dialog yang segar dan terbuka
serta memunculkan empati dan saling pengertian sekaligus membuang sikap saling
curiga (distrust) diantara kelompok buruh dan pengusaha.

Ada tiga narasumber yang menyampaikan presentasi pada FGD putaran kedua ini.
Dua orang dari kelompok buruh, yaitu Felikson Silitonga (KOPBUMI) dan Parto dari
Aliansi Buruh Menggugat (ABM). Satu orang lagi mewakili kelompok pengusaha,
Yusuf Santo (Sekjen Asosiasi Pengusaha Plastik). Selain Yusuf Santo, dari kelompok
pengusaha hadir pula Gilbert Wiryadinata dan Hasanuddin Rahman (APINDO).
Sementara dari kelompok buruh, selain dari KOPBUMI dan ABM, hadir pula aktivis
buruh lainnya dari Serikat Pekerja Nasional (SPN), Organisasi Pekerja Seluruh
Indonesia (OPSI), dan Serikat Buruh Transportasi Indonesia (SBTPI). Selain itu, ada
pula kelompok organisasi non-pemerintah (Ornop) yang punya konsen terhadap
persoalan hak-hak perburuhan, antara lain Demos, LIPS, dan TURC.

Menurut Parto, Gambaran tentang masalah yang menghimpit buruh ternyata belum
banyak mengalami perubahan berarti. Walaupun sudah berkali-kali terjadi pergantian
pemimpin nasional. Tapi perbaikan kondisi kehidupan rakyat Indonesia dan buruh
pada khususnya tidak terjadi perubahan kearah yang lebih baik.

Terjadinya perubahan hubungan kerja dari permanen (kerja tetap) menjadi kerja
kontrak waktu tertentu dan outsourcing adalah bentuk nyata dari eksploitasi dari
pemilik modal terhadap buruhnya. Semua itu tidak lepas dari peran pemerintah dalam
memuluskan agenda para pemilik modal agar keuntungan yang diperoleh semakin
besar, dengan tidak memperhatikan hak buruh untuk tetap eksis sebagai manusia.
Hubungan kerja yang fleksibel (kontrak dan outsourcing) membuat masa depan buruh
dan keluarganya menjadi semakin tidak menentu. Karena secara langsung akan
mengurangi tingkat kesejahterahan (upah murah). Upah, kerja target, kontrak dan
outsorcing, keselamatan kerja, kesejahterhan keluarga buruh, kesehatan-pendidikan-
perumahan keluarga buruh menjadi masalah yang nyata dan pemilik modal lari dari
tanggung jawab itu.

Menurut Felikson, beberapa aturan yang membuat persoalan yang dihadapi buruh
adalah UU no. 13/2003, UU no. 2/2004 tentang PPHI, UU no. 3/92 tentang
Jamsostek, terakhir menyangkut imigrasi, yaitu UU no. 39/2004. Peraturan ini juga
tidak bisa memberikan perlindungan terhadap pekerja kita di luar negeri (TKI). Selain
35
itu, persoalan lainnya lebih pada persoalan kesehariaan buruh, yaitu tidak adanya
kepastian kerja bagi buruh dengan dilegalisasinya sistem kerja kontrak (outsourcing).
Sistem kerja kontrak sebenarnya sudah berlaku sejak Orde Baru dan kini diperparah
lagi setelah munculnya kebijakan baru mengenai outsourcing. Ini menjadi hal yang
mengkhawatirkan buruh, karena sepanjang hidupnya bukur bisa menjadi pekerja
kontrak, tapi bukan dalam arti yang sebenarnya. Ini tentu akan berimplikasi pada
penghasilannya yang tidak berubah, dimana buruh akan tetap menerima gajinya di
bawah UMR. Selain itu, buruh juga seringkali dikriminalisasi sebagai PKI dan tukang
demo penyebab kemacetan dan menghambat investasi. Padahal, menurut berbagai
penelitian, penghambat investasi itu bukan buruh tapi justru pungli-pungli yang
dilakukan birokrasi pemerintah.

Menurut Yusuf Santo, pengusaha juga mengalami sejumlah persoalan. Tidak saja
dengan persoalan ketenagakerjaan yang bersifat domestik, tapi juga dengan kompetisi
pasar global. Globalisasi ekonomi saat ini menuntut pengusaha harus bisa kompetitif
karena itu persoalan seperti outsourcing juga harus dilihat dari sisi yang lain, misalnya
supply dan demand tenaga kerja, dan lain-lain. Padahal menurutnya, buruh di Indonesia
masih banyak yang tergolong unskill sehingga sulit bersaing dan SDM-nya belum bisa
diandalkan. Ini setidaknya bila dibandingkan dengan China dan Korea. Yang paling
parah adalah pemerintah yang juga tidak bisa efektif dan efisien. Keberadaan BUMN
menjadi salah satu contoh dimana kita tidak bisa bersaing dengan ekonomi global.
Kenapa 150 BUMN yang ada tidak bisa dijadikan pemerintah sebagai contoh, karena
itu full control, dia direksi, pemegang saham, pemeriksa, kuasanya 100%. Kalau itu bisa
jadi contoh bahwa kesejahteraan pegawai, buruh, bisa berhasil, hidup sejahtera, tapi
kenyataanya BUMN justru menjadi sumber masalah dan secara ekonomi tidak efisien
dan juga tidak kompetitif, ujar Santo.

Gilbert Wiryadinata juga mengkritisi peran pemerintah yang sangat lemah dalam
menata perekonomian nasional, termasuk juga soal ketenagakerjaan. Dalam hal
hubungan industrial, misalnya, pemerintah juga telah gagal memfasilitasi kepentingan
pengusaha dan buruh, tapi lebih tertarik dengan kepentingannya sendiri. Pemerintah
kita sebetulnya tidak punya visi yang jelas bagaimana membangun industri nasional
yang kompetitif. Tidak punya blue-print. Yang ada hanya kepentingan-kepentingan
sesaat yang bersifat jangka pendek sehingga tidak bisa menyelesaikan masalah,
ucapnya.

Dialog tripatrit, idealnya memang bisa menghadirkan tiga pilar pekerja, pengusaha,
dan pengambil kebijakan pelaku ekonomi nasional. Sayangnya, dari pihak pengambil
kebijakan tidak ada yang hadir pada pertemuan ini sehingga kurang fair juga kalau
mereka dirasani secara sepihak. Mudah-mudahan pada pertemuan berikutnya kita bisa
menghadirkan pilar ketiga yang lain Komisi IX DPR dan Depnakertras sehingga kita
bisa saling mengkonfirmasi secara timbal-balik. Dengan begitu, dapat terbangun dialog
tripatrit yang produktif bagi kepentingan bersama.***

36
Resume

Pertemuan KDSP Putaran Ketiga
Hotel Acacia, 4 September 2007

Dalam FGD putaran ketiga ini, Kelompok Diskusi Social Pact (KDSP) mencoba
menyoroti kondisi fundamental perekonomian nasional, baik dari perspekstif dunia usaha
maupun dari kepentingan kelompok buruh. Namun orientasinya tetap pada tujuan utama
kelompok diskusi ini, yaitu membangun kesepahaman diantara para pelaku ekonomi dan
juga pengambil kebijakan, terutama Departemen Tenaga Kerja dan Komisi IX DPR
untuk mencari solusi bersama dalam hal hubungan industrial secara proporsional.

Pengamat ekonomi Faisal Basri menjadi narasumber utama dalam pertemuan ini. Dari
kelompok pengusaha, antara lain hadir Gilbert Wiryadinata, Yusuf Santo (Sekjen
Asosiasi Plastik), dan Hasanuddin Rahman (APINDO). Sementara dari kelompok buruh,
antara lain hadir Felikson Silitonga (KOPBUMI), Lilis Mahmudah (SPN), dan Timboel
Siregar (OPSI). Hadir pula kelompok organisasi non-pemerintah (Ornop) yang punya
konsen terhadap hak-hak perburuhan, antara lain Demos, LIPS, dan TURC. Sayangnya,
dari kelompok pengambil kebijakan (Depnakertrans dan Komisi IX DPR) tak ada yang
hadir, bahkan sejak pertemuan putaran pertama mereka selalu absen. Seharusnya mereka
yang proaktif menciptakan forum seperti ini. Sungguh amat disayangkan jika mereka
tidak memanfaatkan forum yang baik seperti ini, ujar Faisal Basri sebelum diskusi
dimulai.

Menurut Faisal, saat ini tengah terjadi pertarungan gagasan yang cukup intens, terutama
perspektif ekonomi yang berorientasi pasar bebas dengan ekonomi rakyat. Namun karena
ekonomi pasar ini ditopang dengan kampanye yang besar secara sistematis maka ini
menjadi leading, antara lain misalnya dengan konsep flexibility market-nya. Menurut
Faisal, bila gagasan itu diterima, maka akan diametral dengan kepentingan buruh.
Sementara itu, pemerintah sendiri tampak seperti kehilangan perspektif dan kehilangan
pegangan. Ini antara lain bisa dilihat dari visi 2025 yang tidak cukup tersosialisasi.
Sementara fungsi pelayanan yang seharusnya dijalankan oleh negara tidak dijalankan.

Bila mengacu ke konstitusi mengenai tujuan bernegara, maka sejatinya sudah ada
perspektif yang jelas. Secara politik kita harus berorientasi pada demokrasi sosial dan
dari sisi ekonomi lebih berorientasi pada ekonomi pasar sosial (social market economy).
Prinsipnya adalah tidak boleh ada penindasan oleh kaum kapitalis, kesejahteraan sosial
bukan untuk orang perorang, dan alat produksi harus lebih banyak di tangan rakyat.
Dengan pilihan social market economy, maka orientasinya tidak hanya produksi,
produksi, dan produksi. Tapi juga regulasi dan stabilisasi serta adanya jaring-jaring
pengaman sosial, termasuk di bidang ketenagakerjaan. Filosofinya pada dasarnya tidak
boleh ada orang yang merana. Konsep ini yang kemudian melahirkan sistem jaminan
sosial nasional. Sayangnya, konsep ini masih dalam tataran wacana dan tampaknya masih
banyak kendala dalam pelaksanaannya. Model seperi ini sudah berjalan di beberapa
negara Scandinavia, terutama di Norway dimana telah terjadi semacam colective
bargaining antara pengusaha dan buruh.
37

Namun pengalaman di berbagai negara itu tidak bisa serta-merta diadaptasi di sini karena
adanya perbedaan struktur dasar perekonomian dan juga ketenagakerjaannya. Di negara-
negara industri semisal Norway dan Korea buruh manufaktur sangat kuat, sementara di
Indonesia tidak lebih dari 12% saja jumlahnya dari angkatan kerja. Gambaran
ketenagakerjaan kita juga menunjukkan bahwa sekitar 42% buruh kita ada di sektor
pertanian. J adi, struktur ekonomi kita sudah mulai mengindustri, tapi struktur pekerjanya
masih berat di pertanian dan sektor informal. Bahkan, dari 12% itu sebagaian besarnya
(sekitar 70%) bekerja di sektor informal yang tidak ada serikat pekerjanya. Sementara
itu, dari jumlah yang bekerja di sektor formal, yang menjadi anggota serikat kerja hanya
sekitar 2%. J adi stamina buruh sebetulnya sangat lemah sehingga tidak akan melahirkan
gerakan yang signifikan. Karena itu, dalam konteks membangun pakta sosial di
Indonesia, mungkin akan lebih baik jika kelompok buruh melakukan sinergi dan linkage
secara multisektor, misalnya dengan petani sehingga tercipta solidaritas antarsektor.

Kalangan pengusaha juga mengalami penyakit akut Orde Baru yang agak sulit
disembuhkan. Sebagian besar pengusaha Indonesia lebih banyak yang bermental
pedagang (makelar) ketimbang sebagai pengusaha sejati. Mereka kebanyakan bisa eksis
karena previlage yang dimilikinya dengan berkongkalikong dengan penguasa. Bangunan
dasar ekonomi dengan sendirinya menjadi rapuh, tidak sehat, dan penuh dengan proteksi
yang artifisial sehingga pengusaha kita hanya menjadi jago kandang yang tidak
kompetitif serta terjebak pada ekonomi rente. Dengan adanya buruh murah, bahan baku
melimpah, dan proteksi penuh dari pemerintah investor di masa Orde Baru bisa masuk.
Namun paradigma investor pun kini berubah. Tidak lagi hanya bertumpu pada variable
cost berupa bahan baku dan tenaga kerja yang murah, tapi juga sangat ditentukan oleh fix
cost.

Karena itu kita menjadi sulit bersaing, misalnya dengan Cina. Mengapa? Di Indonesia fix
cost sangat tinggi karena perusahaan tidak efisien. Di Cina tidak ada bea untuk jalan tol,
semua high way bebas dilalui dengan gratis, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik,
semua infrastruktur disediakan oleh negara. Sementara di kita ketersediaan infrastuktur
sangat minim dan itu pun dibebankan kepada pengusaha. Bahkan, untuk keperluan
pembangkit listrik saja jika ada pengusaha datang ke PLN pasti dikerjain suruh bayar tiga
kali lipat. Kondisi ini antara lain, misalnya, yang mendorong Sudamek Group
mengalihkan produksi enting-enting dari Indonesia ke Cina karena fix cost di sana jauh
lebih murah, meskipun mungkin variable costnya lebih murah di Indonesia.
Persaingannya ke depan bukan hanya antar perusahaan tapi akan mengarah ke persaingan
antarnegara dengan menghasilkan fix cost lebih rendah. Lantas, dimana fungsi negara
saat ini ? Karena itu kita juga harus kembali mendefinisikan peran negara, what is the
role of the state?

Kenyataannya sekarang justru negara hanya bikin susah! Seperti dalam kasus kenaikan
jalan tol. Di sini nampaknya model ekonomi rente ala Orde Baru masih terus
dipertahankan oleh kelompok-kelompok kepentingan. Sistemnya tetap sama, hanya
aktornya saja yang berganti. Kalau dulu kroninya Soeharto, sekarang kelompok B-3
38
(Bosowa, Bukaka, Bakrie). Celakanya lagi seringkali kepentingan ekonomi mereka
dibungkus melalui politisasi sentimen etnisitas (pribumi-nonpri) yang membahayakan.

Gerakan buruh terkadang juga turut larut dalam intrik politik dan terpecah karena afinitas
politiknya. Ada kelompok buruh yang rajin demo ke Istana, ada juga yang demonya ke
Senayan. Sayangnya, itu bukan didasari pembagian peran tapi karena friksi di tubuh
organisasi buruh yang makin fragmented dan elitis. Karena itu serikat buruh harus lebih
berhati-hati. J angan sampai dikadalin dan diadudomba oleh kepentingan politik-
ekonomi politisi, pengusaha, atau kepentingan elit buruh itu sendiri. Untuk itu,
diperlukan sikap kritis, kekompakan dan soliditas kelompok buruh serta solidaritas buruh
dengan sektor lainnya. Selain itu, diperlukan juga kemampuan kelompok buruh untuk
melakukan negosiasi yang produktif sehingga gerakan buruh tidak lagi terjebak pada
agenda-agenda seremonial semata.***



Resume
Pertemuan Putaran Keempat
Kelompok Diskusi Social Pact (KDSP)
Wisma PGI, 2 November 2007

Pertemuan FGD KDSP putaran keempat tampaknya agak istimewa. Dalam arti,
progresnya boleh dibilang lebih maju lagi dengan hadirnya seluruh komponen tripatrit,
terutama kelompok pengambil kebijakan yang pada pertemuan sebelumnya belum bisa
hadir: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) dan Komisi IX DPR.
Pertemuan ini bahkan bisa disebut sebagai forum tripatrit plus, karena selain
menghadirkan tiga pilar tripatrit juga ada kelompok lain seperti Demos dan LSM
perburuhan, ujar Iskandar, Direktur Kelembagaan dan Pemasyarakatan Hubungan
Industrial, Depnakertrans yang menjadi narasumber utama dalam pertemuan putaran
keempat tersebut.

Adapun fokus utama KDSP putaran keempat adalah mendiskusikan Peran Pemerintah
dalam Membangun Model Tripatrit yang Ideal. Tema ini diharapkan dapat
mengantarkan pada diskusi dan dialog yang produktif diantara kelompok pekerja,
pengusaha, dan pemerintah. Dari kelompok pengusaha, antara lain hadir Yusuf Santo
(Sekjen Asosiasi Plastik) dan Hasanuddin Rahman (Sekjen Asosiasi Pengusaha
Indonesia/APINDO). Dari kelompok pemerintah, selain Iskandar (Direktur Kelembagaan
dan Pemasyarakatan Hubungan Industrial, Depnakertrans), juga hadir Nursuhud
(Anggota Komisi IX DPR-RI). Sementara dari kelompok buruh, antara lain hadir
Felikson Silitonga (Asosiasi Buruh Migran Indonesia/KOPBUMI), Darlina Sihombing
(Serikat Pekerja Nasional/SPN), Anwar Sastro (Aliansi Buruh Menggugat/ABM), Parto
(Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia/KASBI), Ali Arifin Tanjung (Serikat Pekerja
Metal Indonesia/SPMI) dan Timboel Siregar (Organisasi Pekerja Seluruh
Indonesia/OPSI). Hadir pula kelompok organisasi non-pemerintah (Ornop) yang punya
konsen terhadap hak-hak perburuhan, antara lain Demos, LIPS, dan TURC.
39

Dalam PP No.8 tahun 2005 tentang Tatakerja dan Susunan Organisasi Lembaga
Kerjasama Tripatrit disebutkan bahwa fungsi Tripatrit adalah sebagai media konsultasi
dan komunikasi antar stakeholders yang membicarakan berbagai hal. Untuk bidang
ketenagakerjaan, ketiga unsur itu adalah pemerintah, wakil pekerja/serikat pekerja, dan
pengusaha atau organisasi pengusaha. Adapun tugas utama lembaga kerjasama Tripatrit
adalah memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada Presiden dan pihak-pihak
terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan secara
nasional. Menurut Iskandar, secara kelembagaan Tripatrit memang sangat normatif.
Karena itu ia mengharapkan diskusi mengenai Tripatrit jangan hanya terjebak pada soal
kelembagaan, tapi lebih ke soal sistem dan dinamika yang lebih substantif.

Iskandar menyebutkan bahwa ketika wacana Tripatrit hanya terjebak pada soal lembaga,
maka arahnya menjadi mengerucut ke Depnaker saja. Padahal menurutnya, dalam
konteks Tripatrit, pemerintah itu bukan hanya Depnakertrans saja, tapi lintas instansi.
Demikian pula unsur-unsur lain yang tekait kebijakan ekonomi perlu dilibatkan. Karena
itu, model forum FGD yang digagas Demos ini sangat penting untuk membuka ruang
komunikasi sehingga intensitasnya perlu ditingkatkan, jangkauannya perlu diperluas,
serta kajiannya dipertajam. Kami justru mencari forum-forum seperti ini karena kita
perlu melakukan komunikasi. Bertemu dan berkomunikasi dengan para aktivis buruh
memang masih merupakan hal yang mahal, karena mereka sibuk dan sulit dicari,
ujarnya.

Ia menambahkan bahwa pemerintah siap berdialog dalam hal apapun. Bahkan, seiring
tuntutan reformasi, pemerintah terus berupaya membuka diri. Contoh paling nyata,
misalnya, dalam hal komposisi keanggotaan Tripatrit. Sebelumnya, keanggotaan Tripatrit
nasional terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha dan organisasi buruh dengan
komposisi keanggotaan berbanding 2 : 1 : 1. Namun kini tuntutan persamaan komposisi
keanggotaan telah diakomodasi oleh pemerintah sehingga komposisinya menjadi lebih
adil, yaitu 1: 1: 1.

Aktivis OPSI, Timboel Siregar menilai bahwa idealitas yang seringkali disampaikan
pemerintah itu baru sebatas teori, sedangkan dalam prakteknya masih sangat sulit.
Menurutnya, masih banyak soal hubungan industrial yang belum diselesaikan
pemerintah. Soal RPP, jaminan PHK, dan masih banyak yang lainnya. Pemerintah saat
ini baru bisa bikin regulasi, tapi belum bisa melakukan pengawasan agar regulasi itu
berjalan semestinya. Inilah salah satu titik lemah dan ketimpangan dalam Tripatrit,
ujarnya. Karena itu Timboel mengusulkan agar pemerintah meningkatkan kinerjanya
dengan memberikan contoh yang baik. Ia menilai masih banyak dijumpai kasus-kasus
yang merugikan kelompok buruh. Misalnya, kasus pengusaha yang kabur, pesangon
yang tidak dibayar seperti yang terjadi di PT-DI Bandung, tapi pemerintah tidak
menampakkan perannya yang baik, ujarnya.

Senada dengan itu, aktivis ABM, Anwar Sastro menilai bahwa fungsi Tripatrit saat ini
hanyalah sebagai alat legitimasi rezim dan sama sekali tidak mengakomodasi
kepentingan buruh. Dalam banyak kasus, keberadaan Tripatrit hanya bisa sebatas
40
merekomendasikan, sementara keputusan tetap dibuat oleh pemerintah. Dan ternyata
keputusan yang diambil pemerintah seringkali lebih berpihak kepada pengusaha
ketimbang pada kepentingan buruh. J adi, meskipun forum Tripatrit itu isinya orang-orang
pintar, tapi tak ada gunanya karena hanya menjadi alat legitimasi pemerintah saja,
ujarnya.

Namun begitu, Hasanuddin Rahman, Sekjen APINDO mengingatkan agar kita tidak
emosional dalam menyikapi sebuah peraturan. Posisi saya tidak untuk membela
pemerintah, tapi saya siap berbeda pendapat, tentu saja untuk kebaikan bersama.
Persoalannya sudah ada aturan yang given dan saya pun sebenarnya banyak tidak
setujunya. Namun, dalam menyikapinya kita tidak bisa emosional, tapi harus melalui
kajian dengan jalan konstitusi dan tentunya melalui badan legislasi. Di sinilah kita perlu
kesabaran, kebesaran jiwa, dan butuh keikhlasan bersama, ujarnya.

Diakui memang masih banyak silang pendapat dan kepentingan yang masih sulit ketemu,
terutama soal-soal teknis menyangkut ketenagakerjaan dan soal hubungan industrial.
Menurut Iskandar, salah satu kendalanya memang terletak pada soal peraturan
perundangan dan disharmoni karena perbedaan tafsir dan persepsi atasnya. Kita juga
menyadari bahwa peraturan yang ada saat ini bukan merupakan aturan yang terbaik, tapi
kami sudah berusaha maksimal ditengah sejumlah kendala dan keterbatasan yang sulit
dielakkan. Kami di Depnaker sebetulnya hanya pelaksana! Mengenai proses legislasi dari
sebuah regulasi tentu orang Baleg di DPR yang lebih tahu, ujarnya.

Nursuhud, Anggota Komisi IX DPR-RI mengakui bahwa legislatif punya peran yang
cukup besar dalam menggolkan berbagai peraturan ketenagakerjaan yang ada.
Sayangnya, selama ini dirinya lebih banyak beda dengan mainstream yang berkembang
di DPR. Saya anggota DPR, tapi lebih sebagai aktivis, jadi pandangan saya justru
kurang-lebih sama dengan kawan-kawan aktivis buruh di sini, ujarnya. Karena itu, ia
mengusulkan untuk mengundang orang DPR asli sebagai narasumber untuk
mengkonfirmasi persoalan ini.

Putaran FGD berikut akan menghadirkan Komisi IX DPR dengan tema Peran DPR
dalam Membangun Model Tripatrit yang Ideal. Kehadiran orang legislatif dalam forum
ini tentu sangat penting. Tidak saja untuk saling mengkonfirmasi data dan informasi,
namun juga membangun komunikasi yang lebih intensif dan ekstensif dalam rangka
membangun sinergi bersama. Pada tahap berikutnya, forum ini juga diharapkan dapat
melahirkan sejumlah rekomendasi penting mengenai apa yang harus dilakukan oleh para
pihak: apa yang harus dilakukan buruh, pengusaha, dan pemerintah. Selain itu,
rekomendasi forum ini juga diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi para akademisi,
peneliti, dan para aktivis mengenai pikiran-pikiran yang perlu disebarluaskan oleh
mereka agar ide-ide mengenai pakta sosial menjadi popular dan benar-benar bermakna.

***

You might also like