You are on page 1of 5

2002 digitized by USU digital library

1
ANTIFOSFOLIPID ANTIBODI

Dr ISKANDAR JAPARDI
Fakultas Kedokteran
Bagian Bedah
Universitas Sumatera Utara



Pendahuluan

Jacobson (1986) melaporkan bahwa adanya antifosifolipid antibodi pertama
kali dilaorkan oleh Conley dan Hartman (1952) yang terdapat pada SLE. Laporan
berikutnya menghubungkan adanya antibodi ini pada berbagai kelainan imunologis,
keganasan, pemakaian obat-obatan (termasuk phenotiazine, derivat penisilin,
hydralazina, procainamid, isoniazid).
Penelitian Jacobson terhadap 100 kasus yang mempunyai antifosifolipid
antibodi, hanya kurang dari 20 % menderita SLE. Schleider (1976) melaporkan
bahwa dari 83 pasien dewasa yang memiliki Lupus antikoagulan hanya setengahnya
yang menderita SLE. Beberapa peneliti menghubungkan adanya antibodi ini dengan
kecendrungan untuk terjadinya tromboemboli, dan berpengaruh terhadap status
hiperkoagubilitas sistemik (APASS, 1990). Triplett (1980) menerangkan bahwa
gangguan tromboemboli secara klinis diasosiasikan misalnya dengan trombosis vena
dalam, abortus spontan, stroke.
Lavine (1986) menemukan adanya antibodi ini pada pasien dengan gangguan atau
tanpa SLE, dan ia mengatakan adanya hubungan antara antibodi ini dengan iskhemia
serebri.
Penelitian APASS (1990) terhadap 128 pasien CVD menemukan adanya antifosifolipid
antibodi, walaupun pada pasien tersebut tak ada bukti klinik mengalami gangguan
otoimun.
Hart dan Miller (1983) memasukkan antifosifolipid antibodi ini sebagai faktor yang
potensial mengakibatkan stroke pada dewasa muda. Penelitian prospektif Baily
(1990) pada stroke usia muda menemukan resiko untuk terjadinya stroke ulang
pada pasen dengan antifosifolipid antibodi 8 kali lebih besar dibanding pasen tanpa
antifosifolipid antibodi.
Kushner (1990) melakukan penelitian prospektif pertama danmerupakan suatu
control study,menemukan adanya hubungan yang bermakna antara circulating
anticardiolipin antibody dengan sikhemia serebri. Brilley et al (1989), mengatakan
bahwa beratnya penyakit dipengaruhi oleh banyak anticardiolipin antibodi, bila titer
lebih tinggi, kemungkinan stroke multiple makin besar.
Pada referat ini akan diulas secara singkat mengenai fosfolipifid antibodi
terutama hubungannya dengan stroke, dengan tujuan penatalaksanaan lebih baik
untuk pasien stroke dengan faktor resiko yang tidak jelas.

ANTIFOSIFOLIPID ANTIBODI

Antibodi ini merupakan suatu serum gama globulin yang beredar dan yang
didapat (Levine, 1986),merupakan suatu imunoglobulin heterogen yang
mengganggu aktifitas protrombin oleh protrombinase kompleks (faktor Xa, V, Ca dan
fosfolifid).
Scleider (1976) melaporkan bahwa lupus antikoagulan, yang merupakan salah satu
bentuk antifosifolipid antibodi ini,merupakan suatu inhibitor yang akan bekerja pada

2002 digitized by USU digital library
2
hubungan antara rangkaian koagulasi instrinsik dan ekstrinsik dengan gangguan
aktivitas protrombin oleh protrombin activator kompleks. Antibodi ini akan
menghambat bagian fosfolifid dari kompleks tersebut. Adanya asosiasi yang kuat
antara lupus antikoagulan dengan tes biologis untuk sifilis, memperkuat dugaan
bahwa bagian aktifnya adalah fosfolifid. Karena beberapa inhibitor ini berkaitan
dengan ester fosfat dari berbagai molekul biologis, maka dinamakan antifosifolipid
(Jacobson 1986).
Deteksi antifosifolipid ini dengan memakai enzym linked imunosorbent assay
memakai 4 macam fosfolifid (cardiolipin, fosfatidyl serin, fosfatidic acid, fosfatidil
inosinol) akan menemukan anticardiolipin, antifosfatidil serin, anti fosfatidic acid,
antifosfatidil inosinol. (Triplett 1988). Pada kebanyakan kasus antifosfolipid akan
mengadakan reaksi silang dengan fosfolifid yang diberikan, sehingga anti fosfolifid
merupakan penamaan yang umum (Brey 1992).
Mekanisme antifosifolipid dalam mempengaruhi trombosis arteri belum
diketahui pasti. Jacobson (1986) menduga ini melibatkan inhibisi arterial prostacyklin
(PG12). Interaksi antara antibodi ini dengan bermacam substrat fosfolipid, karena
interfensinya terhadap konversi membran fosfolipid menjadi asam arachidonat,
sehingga mengakibatkan inhibisi PG12 arterial. Prostasiklin ini berperan dalam
inhibisi agregasi platelet.

INSIDENSI

Penelitian terhadap 128 pasen CVD yang memiliki antifosifolipid antibodi
didapat pada pasien stroke umur rata-rata 45,8 tahun (APASS, 1990) dan 46 tahun
(APASS, 1992). Ini menggambarkan bahwa antifosifolipid antibodi tersering pada
stroke usia muda (< 50 tahun). Antibodi ini juga ditemukan pada pasen strok dekade
6 dan 9 yaitu sebanyak 31,9 %.
Pada stroke dewasan dan lanjut usia, adanya antibodi ini jarang terdeteksi
karena skrining yang dilakukan tidak secermat pada usia muda. Insidensi pada anak-
anak tidak diketahui, karena penelitiannya masih jarang. Insidensi pada wanita sama
dengan pada pria. (APASS, 1990).
Penelitan Hart (1984) terhadap 145 pasen infark serebri dewasa muda
menemukan adanya lupus antikoagulan pada 4 % kasus (7 orang); 4 orang
menderita SLE, sedangkan 3 orang idiopatik.

GEJALA KLINIK

Menurut Schleider (1976) dan Jacobson (1986), kecurigaan terhadap adanya
lupus antikoagulan timbul bila didapatkan adanya test koagulan yang abnormal yang
tidak diharapkan dan tidak adanya kecendrungan gejala pendarahan. Kecurigaan
tersebut dapat diperkuat bila ada satu atau beberapa kali kejadian trombosis, yang
dapat berupa trombosis vena dalam atau arteri, abortus spontan yang berulang,
stroke (cerebral infark, deficit neurologis sementara), bangkitan. (Jacobson 1986,
Triplett, 1988).
Triplett (1988) membagi pasien dengan lupus anti koagulan ini berdasarkan
riwayat penyakitnya, dalam 4 kategori mayor; yaitu drug induce, gangguan otoimun,
penyakit infeksi, dan lain-lain (termasuk keganasan).
Komplikasi klinis yang terjadi dibagi atas 4 kategori, yaitu kejadian trombotik
(arterial atau vena), abortus spontan berulang, CVD, bangkitan.
Arteriografi yang dilakukan pada penelitian APASS (1996) menunjukkan
adanya oklusi intrakranial tanpa disertai adanya stenosis arteri karotis. Ini
menunjukkan bahwa kemungkinan trombus tersebut berasal dari intravaskular.

2002 digitized by USU digital library
3
Ini citu atau emboli kardial. Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Brey
(1992) mengatakan dari data histopatologis pada pasien kelainan serebro vascular
dan ada anti fosfolifid, didapatkan adanyan gangguan mikrosirkulasi oleh trombus
fibrin pada pembuluh darah kecil dan sedang.


PEMERIKSAAN ANTI FOSFOLIFID ANTIBODI

Adanya antifosifolipid antibodi dapat diketahui dengan cara langsung dan
tidak langsung (Brey 1992).
Pemeriksaan langsung, dasarnya karena antibodi ini tidak dapat langsung
mengganggu protein faktor koagulasi, melainkan langsung mengenai epitop fosfolifid
dan menghambat formasi aktivasi kompleks yang tergantung pada fosfolifid
(fosfolifid dependent activation complex). Deteksinya dipakai cara sensitive solid
phase radio immunoassay dan enzym linked imunoassay. Penamaan antifosifolipid
antibodi ini disesuaikan dengan spesifik fosfolifid antigen yang dipakai untuk
mendeteksinya (Triplett, 1988; Brey 1992).
Pemeriksaan tidak langsung dapat dilakukan karena kemampuan antibodi ini
untuk memanjangkan test koagulasi yang bergantun fosfolifid misalnya APTT
(Activated partial Tromboplastin Time). Antifosifolipid yang diditeksi dengan cara ini
disebut lupus anti koagulan. (Brey, 1992)
Schleider (1976) memikirkan adanya lupus anti koagulan bila ada
perpanjangan PTT. Pencampuran plasma pasen tersebut dengan sejumlah kecil
plasma normal, tidak memperbaiki perpanjangan PTTnya, sedangkan test inhibisi
tromboplastin darah (BTI) dan atau jaringan (TTI) hasilnya abnormal.
Hart (1994) membuat kriteria pemeriksaan laboratorium primer dan yang
dihubungkan dengan adanya LA. Pemeriksaan laboratorium primer tersebut meliputi
pemanjangan PTT > 5 detik diatas rata-rata normal; koreksi yang tidak komplit
setelah dicampur dengan plasma normal 1:1, PTT akan tetap memanjang setidaknya
> 5 detik plasma normal; selain itu didapat pemeriksaan dilute tissue tromboplastin
assay yang abnormal. Bila ditemukan 2 dari ke 3 kriteria diatas, maka dipikirkan ada
LA.
Gambaran laboratorium yang berhubungkan dengan adanya LA yaitu trombosipoteni
ringan, perpanjangan protombin time yang ringan, VDRL test false positif.
Jacobson (1986) menyatakan adanya antibodi ini bila APTT abnormal, bila
dicampur dengan plasma normal, koreksinya tidak sempurna; LA test abnormal
(Dilute tissue trombositopenia, Test biologis untuk sifillis false positif, tak adanya
tendensi perdarahan.

TERAPI

Menurut Jacobson (1996) pada pasien dengan antifosifolipid antibodi dan ada
komplikasi trombotik, pertama-tama harus dicari dan diobati penyakit yang
mendasarinya. Bila disebabkan oleh pemakaian obat, maka obat harus dihentikan
dandipakai obat pengganti. Mueh (1988) melaporkan bahwa pasien yang mempunyai
LA karena pemberian obat, bila obat distop LA-nya akan hilang.
APASS (1990) menyarankan untuk menggunakan antiplatelet, anti koagulan, dan
kortikosteroid secara empiris. Brey (1992) melaporkan adanya beberapa peneliti
yang menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi sistem hemostatik (antiplatelat
dan anti koagulan) dan yang mempengaruhi respon imun (kortikosteroid,
imunosupresent, plasma exchange, infus imunoglobin) dengan tingkat keberhasilan
yang bervariasi. Terapi profilaktik untuk manifestasi trombotik, dengan memakai
antipaltelet (APASS, 1990; Jacobson, 1986) antara lain pemberian aspirin, dapat

2002 digitized by USU digital library
4
berguna, namun belum diketahui dosis optimal untuk anti trombotik, karena belum
diketahui perbedaan efek aspirin terhadap platelet tromboksan A2 dan produksi PGI2
dinding pembuluh darah.
Pemakaian anti platelet yang lain perlu dipikirkan. Pemakaian steroid, obat
cytotoksik dan plasmaferesis yang ditujukan terhadap penyakit primernya dilaporkan
akan memperbaiki test koagulasi.
Brey (1992) menyatakan terapi yang dianjurkan saat ini pada pasen stroke
yang mempunyai antifosifolipid antibodi tapi tidak menderita SLE adalah terapi
antiplatelet (untukpasien stroke pertama kali dan tidak ada riwayat trombosis
maupun keguguran).
Penggunaan modulator sistem imun dipakai bila anti koagulan gagal atau
pasen tersebut menderita SLE dan trombosis yang berhubungan dengan
antifosifolipid antibodi.
Montalban (1991) dan Brey (1992) menyatakan sebelum dilakukan penelitian
pengobatan yag memberikan hasil yang meyakinkan pengobatan praktis pada pasen
ini masih sulit dan kontraversial.

PROGNOSA

Antifosifolipid antibodi merupakan faktur resiko untuk terjadinya iskhemi
berulang, dan dapat mengakibatkan hiperkoagulabilitas sistemik. Penelitian APASS
(!990) pada 128 pasen infark serebri yang mempunyai antibodi ini pada follow up 16
bulan kemudian ditemukan 9% mengalami infark serebri ulang, sedangkan Brey
(1990) yang meneliti 75 pasen infark serebri dewasa muda menemukan 35%
menderita stroke ulang dan TIA.



KESIMPULAN

Telah dibicarakan mengenai antifosifolipid antibodi yang merupakan salah
satu faktor resiko stroke, terutama pada dewasa muda, gambaran klinisnya, cara
mendeteksi, terapi maupun prognosa pada pasen stroke yang memiliki antibodi ini.
















2002 digitized by USU digital library
5
DAFTAR PUSTAKA


APASS. Clinical and laboratory findings in patients with antifosifolipid antibodies and
cerebral ischemia. Stroke 1990; 21: 1268-1273
Brey RL. Antifosifolipid antibodies in ischemic strike. Heart Disease and Stroke
1992; 1:379-382
Hart RG. Cerebral infarction associated with lupus anticoagulats-preliminary reports.
Stroke 1984; 15(1): 114-118
Jacobson DM. Reccurent cerebral infarctions in two brothers with antifosifolipid
antibodies that block coagulation reactions. Stroke 1986; 17(1):98-102
Kushner MJ. Lupus anticoagulant, anticardiolipin antibodiesand cerebral
ischemia. Stroke 1989;20: 225-229
Kushner MJ. Prospective study of anticardiolipin antibodies in stroke. Stroke 1990;
21:295-298
Landi G. Reccurent ischemic attacks in two young adults with lupus anticoagulants.
Stroke 1983; 14 (3):377-379
Levine SR. Cerebrovascular ischemic associated with lupus anticoagulant. Stroke
1987;18:257-263
Montalban J. Antifosifolipid antibodies in cerebral ischemia. Stroke 1991;22:750-
753
Mueh JR. Trombosis in patients with the lupus anticoagulant. Ann.Inter.Med.
1980;92 (part 1):156-159
Schleider MA. A Clinical study of lupus anticoagulant. Blood 1976;48(4): 499-509.

You might also like