You are on page 1of 29

REFERAT

SINDROM HORNER


Nama Kelompok:

Yeli Erna Pratiwi 0410
Ajeng Annamayra 0710188
Sherly Cokrosaputro 0710191
Harry Citra Iskandar 0710204
Rudi Chandra 0710208


Pembimbing :dr.H.Taufik Sp.Rad






BAGIAN ILMU RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UKM
RUMAH SAKIT IMMANUEL
BANDUNG
2012
i

KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-
Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan tugas referat radiologi dengan judul
Horners Syndrome Tidak lupa ucapan terima kasih penulis haturkan kepada
semua pihak yang membantu terselesaikannya makalah ini, khususnya kepada
dr.H.Taufik,Sp.Rad selaku pembimbing penulis dalam menyelesaikan tugas
referat ini.
Tentu saja sebagai manusia, penulis tidak dapat terlepas dari kesalahan.
Dan penulis menyadari referat yang dibuat ini jauh dari sempurna. Karena itu
penulis merasa perlu untuk menghaturkan maaf jika ada sesuatu yang tidak
sempurna dalam referat ini. Penulis mengharapkan masukan baik berupa saran
maupun kritikan demi perbaikan dan kesalahan dapat diperbaiki di masa
mendatang.









Penulis
ii

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II.ANATOMI FISIOLOGI ............................................................................ 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Mata ......................................................................... 2
2.2 Neuroanatomi Mata ...................................................................................... 7
BAB III SINDROM HORNER ............................................................................. 12
3.1 Definisi ....................................................................................................... 12
3.2 Etiologi ....................................................................................................... 12
3.3 Patologi-patofisiologi dan Manifestasi Klinis ............................................ 13
3.4 Dasar Diagnosis .......................................................................................... 15
3.5 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 15
3.6 Penatalaksanaan .......................................................................................... 16
BAB IV. GAMBARAN RADIOLOGIS .............................................................. 17
4.1. Penyebab Sindroma Horner ...................................................................... 17
4.1.1 Sentral ................................................................................................. 17
4.1.2 Preganglionik ...................................................................................... 18
4.1.3. Postganglionik .................................................................................... 20
KESIMPULAN ..................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24
iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Anatomi mata ..................................................................................... 2
Gambar 1.2. Konjungtiva bulbi ............................................................................... 3
Gambar 1.3. Histologi kornea ................................................................................. 5
Gambar 1.4. Lapisan Neuron pada Retina .............................................................. 9
Gambar 1.5. Perjalanan Serabut Saraf Nervus Optikus .......................................... 9

Gambar 1.6. Radiatio Optika ................................................................................ 10

Gambar 1.7. Jaras Refleks Pupil ........................................................................... 17
Gambar 2.1. Ilustrasi gangguan neuroanatomi sindrom Horner ........................... 13
Gambar 2.2. Sindrom Horner pada mata .............................................................. 14
Gambar 2.3. Alogaritma penegakkan diagnosis sindrom Horner ......................... 15
Gambar 3.1. Infark cerebellar posterior inferior kanan ......................................... 18
Gambar 3.2. Neuroma apikal ................................................................................ 19
Gambar 3.3. Diseksi Arteri Carotis Interna .......................................................... 21
Gambar 3.4. Metastasis Sinus Cavernosus. .......................................................... 22


1

BAB I
PENDAHULUAN


Sindrom horner merupakan pertanda dari masalah medis seperti tumor,
cedera sumsum tulang belakang atau stroke yang merusak saraf di wajah.
Terkadang kasus penyebab utamanya tidak dapat ditemukan karena sindrom
Horner sebenarnya bukanlah penyakit. Syndrom Horner tidak memerlukan
perawatan spesifik. Namun jika dimungkinkan, perawatan diarahkan pada
penyebab utamanya.

Ketika saraf yang berjalan dari otak ke mata dan wajah rusak, suatu
gangguan yang jarang ditemui terjadi yakni Syndrom Horner. Biasanya, hanya
satu sisi wajah yang dipengaruhi oleh syndrom Horner.

Orang pertama yang memperkenalkan syndroma ini adalah Johann Friedrich
Horner, seorang ahli oftalmologi berkebangsaan Swiss (1831 1886). Dimana ia
menemukan beberapa kelainan dari gejala klinis pada orang yang terinfeksi lues.
Kelainan tersebut sangat khas, yaitu adanya ptosis, miosis, enoftalmus dan
anhidosis.
2

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI


2.1. Anatomi dan fisiologi mata

Mata adalah organ penglihatan yang mendeteksi cahaya.Yang dilakukan
mata yang paling sederhana tak lain hanya mengetahui apakah lingkungan
sekitarnya adalah terang atau gelap. Mata yang lebih kompleks dipergunakan
untuk memberikan pengertian visual.


Gambar 1.1. Anatomi mata.
1


Anatomi mata :
Palpebra : untuk melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi
kelenjarnyamembentuk film air mata di depan kornea.Palpebra juga
merupakan alat menutup mata yang berguna untuk meindungi bolamata
terhadap trauma, trauma sinar dan pengeringan mata. Bola mata, pada
orang dewasa diameter antero-posterior : 24,5 mm
8

3


Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata
bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh
sel goblet.
14

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini
sukar digerakkan dari tarsus.
Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari
sclera dibawahnya.
Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi
14

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar
dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.
2







Gambar 1.2. Konjungtiva bulbi.
14


Sklera dan episklera
Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata bagian luar.Jaringan ini
padat dan berwarna putih, nyambung dengan kornea di anterior
adndurameter optikus di belakang. Permukaan luar sklera di bungkus oleh
sebuah lapisan tipis dari jaringan elastik halus yaitu episklera yang
mengandung banyak pembuluh darah yang memasok sklera.

4

Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.
1
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong
ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier.

Epitel berasal dari ektoderm permukaan.


14
2. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
14
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai
15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.
14
4. Membrane descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
5

Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40m.
14
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-
40m. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.
14
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane
bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi
sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause
untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
14
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.
14
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea,
dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan
oleh kornea.
14

Gambar 1.3. Histologi kornea.
8


6

Uvea
Uvea terdiri dari iris, korpus siliare, dan khoroid, bagian ini adalah lapisan
vas.Tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera, bagian ini ikut
mensuplai darah ke retina.
14

Pupil dan Iris
Pupil menentukan kuantitas cahaya yang masuk ke bagian mata yang lebih dalam.
Pupil mata akan melebar jika kondisi ruangan yang gelap, dan akan menyempit
jika kondisi ruangan terang. Sedangkan iris adalah perpanjangan dari korpus
siliare ke anterior. Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk kedalam
mata, ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara
konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang di hantarkan melelui n.kranialis III
dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatik.
14

Korpus siliaris
M. Siliaris tersusun dari gab. Serat longitudinal, sirkuler dan radial. Fungsinya
untuk kontraksi dan relaksasi serat-serat zonula, yang origo di lembah-lembah
di antara proc. Siliaris, otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga
lensa dapat menyesuaikan berbagai fokus dengan baik.
14

Khoroid
Adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera.
14

Lensa
Adalah suatu struktur bikonveks, avaskuler, tidak berwarna dan hampir
transparan sempurna , tebal : 4 mm , diameter : 9 mm. Lensa ditahan di
tempatnya oleh ligamentum yang di kenal sebagai zonula zinii , yang tersusun
dari banyak fibril dari permukaan korpus siliare dan menyisip dalam
ekuator lensa.
14

Retina
Retina selembar tipis jaringan tipis yang semi transparan dan multilapis yang
melapisi bagian dalam dua sepertiga posterior dinding bola mata. Lapisan
retina dari dalam :
1. membrana limitans interna
2. lapisan serat saraf
3. lapisan sel ganglion
7

4. lapisan pleksiform dalam
5. lapisan inti dalam badan sel bipolar ( amakrin dan sel horizontal )
6. lapisan pleksiform luar
7. lapisan inti luar sel fotoreseptor
8.membrana limitans eksterna
9.lapisan fotoreseptor , segmen dalam / luar batang dan kerucut
10.epitelium pigmen retina
Vitreous adalah suatu badan gelatin yang jernih atau avaskuler, yang
membentuk 2/3 darivolume dan berat mata , vitreous merupakan ruangan
yang di batasi lensa , retina dan diskus optikus. Vitreous berisi 99 % air , 1 %
meliputi 2 komponen , kolagen dan asam hialuranat yang memberikan bentuk
dan konsistensi mirip gelombang pada vitreous karena kemampuannya
mengikat banyak air.
14


2.2. Neuroanatomi Mata

Bagian-bagian pada organ mata bekerjasama mengantarkan cahaya dari
sumbernya menuju ke otak untuk dapat dicerna oleh sistem saraf manusia
3
.
Bagian-bagian tersebut adalah
13
:
Kornea
Merupakan bagian terluar dari bola mata yang menerima cahaya dari
sumber cahaya
13
.
Sklera
Merupakan bagian dinding mata yang berwarna putih. Tebalnya rata- rata
1 milimeter tetapi pada irensi otot, menebal menjadi 3 milimeter.
13

Pupil dan iris
Dari kornea, cahaya akan diteruskan ke pupil. Pupil menentukan kuantitas
cahaya yang masuk ke bagian mata yang lebih dalam. Pupil mata akan
melebar jika kondisi ruangan yang gelap, dan akan menyempit jika kondisi
ruangan terang. Lebar pupil dipengaruhi oleh iris di sekelilingnya.Iris
berfungsi sebagai diafragma. Iris inilah terlihat sebagai bagian yang
berwarna pada mata.
13

8

Lensa mata
Lensa mata menerima cahaya dari pupil dan meneruskannya pada retina.
Fungsi lensa mata adalah mengatur fokus cahaya, sehingga cahaya jatuh
tepat pada bintik kuning retina. Untuk melihat objek yang jauh (cahaya
datang dari jauh), lensa mata akan menipis. Sedangkan untuk melihat
objek yang dekat (cahaya datang dari dekat), lensa mata akan menebal.
13

Retina atau Selaput Jala
Retina adalah bagian mata yang paling peka terhadap cahaya, khususnya
bagian retina yang disebut bintik kuning. Setelah retina, cahaya diteruskan
ke saraf optik.
13

Saraf optik
Saraf yang memasuki sel batang dan kerucut dalam retina, untuk menuju
ke otak
3
. Berikut adalah sistem kerja penglihatan pada saraf optik ( visual
pathway) .
13
:
Retina merupakan reseptor permukaan untuk informasi visual.
Sebagaimana halnya nervus optikus, retina merupakan bagian dari otak
meskipun secara fisik terletak di perifer dari sistem saraf pusat (SSP).
Komponen yang paling utama dari retina adalah sel-sel reseptor sensoris
atau fotoreseptor dan beberapa jenis neuron dari jaras penglihatan. Lapisan
terdalam (neuron pertama) retina mengandung fotoreseptor (sel batang dan
sel kerucut) dan dua lapisan yang lebih superfisial mengandung neuron
bipolar (lapisan neuron kedua) serta sel-sel ganglion (lapisan neuron
ketiga). Sekitar satu juta akson dari sel-sel ganglion ini berjalan pada
lapisan serat retina ke papila atau kaput nervus optikus. Pada bagian
tengah kaput nervus optikus tersebut keluar cabang-cabang dari arteri
centralis retina yang merupakan cabang dari a.oftalmika.
13

9


Gambar 1.4. Lapisan Neuron pada Retina.
13

Nervus optikus memasuki ruang intrakranial melalui foramen optikum. Di
depan tuber sinerium (tangkai hipofisis) nervus optikus kiri dan kanan
bergabung menjadi satu berkas membentuk chiasma optikum. Di depan
tuber sinerium nervus optikus kanan dan kiri bergabung menjadi satu
berkas membentuk kiasma optikum, dimana serabut bagian nasal dari
masing-masing mata akan bersilangan dan kemudian menyatu dengan
serabut temporal mata yang lain membentuk traktus optikus dan
melanjutkan perjalanan untuk ke korpus genikulatum lateral dan kolikulus
superior. Chiasma optikum terletak di tengah anterior dari sirkulus Willisi.
Serabut saraf yang bersinaps di korpus genikulatum lateral merupakan
jaras visual sedangkan serabut saraf yang berakhir di kolikulus superior
menghantarkan impuls visual yang membangkitkan refleks opsomatik
seperti refleks pupil.
13

,1


Gambar 1.5. Perjalanan Serabut Saraf Nervus Optikus (tampak basal)
4
10


Setelah sampai di korpus genikulatum lateral, serabut saraf yang
membawa impuls penglihatan akan berlanjut melalui radiatio optika (optic
radiation) atau traktus genikulokalkarina ke korteks penglihatan primer di
girus kalkarina. Korteks penglihatan primer tersebut mendapat
vaskularisasi dari a. kalkarina yang merupakan cabang dari a.Serebri
posterior. Serabut yang berasal dari bagian medial korpus genikulatum
lateral membawa impuls lapang pandang bawah sedangkan serabut yang
berasal dari lateral membawa impuls dari lapang pandang atas (gambar
1.6).
13,4




Gambar 1.6. Radiatio Optika
8

Pada refleks pupil, setelah serabut saraf berlanjut ke arah kolikulus
superior, saraf akan berakhir pada nukleus area pretektal. Neuron
interkalasi yang berhubungan dengan nukleus Eidinger-Westphal
(parasimpatik) dari kedua sisi menyebabkan refleks cahaya menjadi
bersifat konsensual. Saraf eferen motorik berasal dari nukleus Eidinger-
Westphal dan menyertai nervus okulomotorius (N.III) ke dalam rongga
orbita untuk mengkonstriksikan otot sfingter pupil (gambar 1.7).
13

11


Gambar 1.7. Jaras Refleks Pupil
13


12

BAB III
SINDROM HORNER


3.1 Definisi
Sindrom Horner adalah suatu sindrom yang terdiri dari kelainan berupa
masuknya bola mata, ptosis kelopak mata atas, kelopak mata atas sedikit naik,
kontraksi dari pupil, penyempitan dari fissura palpebra, anhidrosis dan warna
kemerahan di sisi wajah yang sakit, disebabkan oleh paralisa saraf-saraf simpatis
servikal.
3

Sindroma Horner juga disebut dengan Bernards Syndrome, Bernard-
Horners Syndrome dan Horners Ptosis.
3

3.2 Etiologi
Sindrom Horner terutama disebabkan oleh adanya kerusakan pada jalur
saraf simpatis.
2,9,11

Sentral:
Tumor
Ensefalitis
Difus ensefalitis
Perifer - Preganglionik:
Syringomyelia
Difus ensefalitis
Trauma
Tumor rhinopharyngeal
Goiter
Aneurisma
Proses di apeks paru - Pancoasts Syndrome (kerusakan pleksus
brachialis)
Perifer - Postganglionik
Aneurisma carotis interna
Tumor basis kranii
13

Lokalisasi sindrom Horner sentral dan preganglionik sering terlihat dari
gambaran klinis yang terkait.
11

3.3 Patologi-patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Sindrom horner sentral, serabut simpatis sentral timbul dari hipotalamus
posterolateral, turun melalui otak tengah dan pons, dan berakhir dalam sel
intermediolateral dari sumsum tulang belakang pada C8-T2 (pusat siliospinal
Budge).
6

Sindrom horner preganglion, serabut pupillomotor preganglionik keluar
dari sumsum tulang belakang setinggi T1, dan memasuki rantai simpatis serviks,
dimana berada di dekat puncak paru dan arteri subklavia. Serabut naik melalui
rantai simpatik dan sinaps di ganglion servikalsuperior di tingkat bifurkasi dari
arteri karotid komunis (C3-C4).
6


Gambar 2.1. Ilustrasi yang menggambarkan adanya gangguan neuroanatomi jalur
simpatis dari hipotalamus dapat menyebabkan sindrom Horner.
7

14

Serabut pupillomotor postganglionik keluar dari ganglion servikal superior
dan naik di sepanjang arteri karotid internal. Setelah serabut postganglionik
meninggalkan vasomotor ganglion servikal superior, lalu berjalan di
sepanjang arteri karotid eksternal untuk menginervasi pembuluh darah dam
kelenjar keringat pada wajah. Serabut pupillomotor naik sepanjang arteri karotis
interna, masuk ke sinus kavernosa. Kemudian, serabut meninggalkan pleksus
karotis untuk bergabung dengan N. Abducens (VI) pada sinus kavernosus dan
masuk orbita melalui fisura orbital superior bersama dengan cabang oftalmik dari
N. trigeminus (V1) melalui N. ciliary longus. Kemudian menginervasi dilator iris
dan otot Mller.
6
Pada sindrom Horner, adanya suatu patologi dalam jalur simpatik
bermanifestasi sebagai miosis ipsilateral, ptosis parsial, enophthalmos dan
anhidrosis.
10
A.
B.
Gambar 2.2. Sindrom Horner pada mata kanan (A) dan mata kiri (B)
9

Miosis (perbedaan sekitar 1-2mm) karena kegagalan dari otot dilator pupillae.
Ptosis (perbedaan sekitar 1-2mm karena kegagalan dari otot Mller.
15

Enophthalmos karena kegagalan retraktor kelopak mata bawah yang belum
sempurna. Hal ini membuat mata tampak lebih kecil. Kondisi ini hanya
mewakili jenis pseudoenophthalmos.
Penurunan sekresi kelenjar keringat (hanya pada gangguan preganglionik yang
mana kelenjar keringat menerima suplai saraf melalui karotid eksternal).
2


3.4 Dasar Diagnosis

Gambar 2.3. Alogaritma penegakkan diagnosis sindrom Horner
12


3.5 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
Tergantung pada lokalisasi dan etiologi yang dicurigai, tes laboratorium
yang dapat dipertimbangkan dalam hubungannya dengan konsultasi medis yang
tepat. Meliputi:
16

Hitung sel darah lengkap
Tes fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS)
Tes Venereal Disease Research Laboratory (VDRL)
Tes purified protein derivative (PPD) placement
Tes urin (sebagai contoh, vanillylmandelic acid [VMA], homovanillic acid
[HVA]) untuk menyingkirkan neuroblastoma pada sindrom Horner anak.

Pencitraan
Pencitraan dapat dilakukan bersamaan dengan konsultasi medis tergantung
dari lokalisasi dan etiologi yang dicurigai. Diantaranya termasuk MRI/MRA,
angiografi, ekstrakranial USG Doppler dan rontgen dada.

3.6 Penatalaksanaan
Penanganan medis tergantung dari etiologi yang berkaitan.
Pembedahan dilakukan berdasarkan etiologi tertentu, termasuk diantaranya
bedah syaraf pada sindrom Horner yang terkait aneurisma, dan juga bedah
vaskular untuk penyebab seperti diseksi arteri karotis atau aneurisma.
17

BAB IV.
GAMBARAN RADIOLOGIS

4.1. Penyebab Sindroma Horner
Menguji pupil dengan tetes mata kokain 4% dapat mengkonfirmasi
diagnosis sindroma Horner. 1% hydroxyamphetamine dapat digunakan
membedakan lesi sentral dan preganglionik dari post- ganglionik; bagaimanapun,
dalam praktik sehari-hari pengujian farmakologik jarang dilakukan. Akan tetapi,
untuk membedakan penyakit sentral, pre dan post-ganglionik bergantung pada
tanda-tanda klinis yang ada. Sebagai contoh, seorang pasien dengan lesi pada
sinus cavernosus akan sering bersamaan dengan defisit neurologis yang
mempengaruhi berbagai derajat saraf kranial 3,4,5, dan 6.
Pada pasien yang diketahui memiliki keganasan paru menunjukkan gejala
berupa nyeri pada bahu dan lengan, sindroma Horner mungkin merupakan ciri
tambahan dari tumor Pan-coast. kebanyakan pasien yang hadir dengan Sindrom
Horner dalam isolasi tanpa tambahan Gambaran klinis akan memiliki lesi
postganglionik atau mungkin idiopatik, yaitu, tidak ada kelainan pencitraan dapat
ditunjukkan.
Dalam suatu rangkaian kasus besar, 40% dari kasus sindroma Horner yang
tidak diketahui diagnosisnya, dianggap berhubungan dengan penyakit vaskular.
Dari sisa 270 pasien, 13% berhubungan dengan lesi sentral, 44% lesi
preganglionik, dan 43% lesi postganglionik. Pada anak, penyebab sindroma
Horner terutama berhubungan dengan kongenital atau lesi didapat/post-operasi.
5

4.1.1 Sentral
Penyebab sentral yang paling sering teridentifikasi adalah infark dari arteri
cerebellar posterior inferior (PICA) atau penyumbatan arteri vetebralis distal yang
menghasilkan sindroma medullary lateral (Gambar3.1). Pasien ini juga
mengeluhkan vertigo, kesulitan menelan, mati rasa wajah unilateral, dan
18

kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada tungkai yang berlawanan. Tanda-tanda
sensoris atau motorik tersilang sangat mungkin dari sebuah lesi batang otak.
Patologi dalam otak tengah menghasilakan lumpuhnya saraf keempat
kontralateral. Tumor, trauma, stroke, dan penyakit vaskular lainnya, seperti
malformasi arteriovenosus (AVM), yang dapat meliputi otak dan spinal cord,
semuanya telah terlibat. Penyebab yang lebih jarang meliputi acute disseminated
encephalomyelitis.
5


Gambar3.1. Infark cerebellar posterior inferior kanan.
5

Ket: Seorang pria 47 tahun menunjukkan secara mendadak sulit bicara/cadel,
nistagmus, kelemahan sisi kanan tubuh, dan sindroma Horner ipsilateral.
4.1.2 Preganglionik
Sindroma Horner preganglionik sering disebabkan oleh trauma atau tumor.
Avulsi akar saraf mengganggu jalur simpatik dapat menghasilkan gejala mencapai
19

distribusi plexus brachialis. Pada bayi baru lahir, penyebab iatrogenik seperti
persalinan dengan forcep dapat bertanggung jawab. Tumor di apeks (puncak)
paru-paru, tumor Pancoast dan tumor neurogenik (Gambar3.2) merupakan yang
paling sering berhubungan. Hal ini lebih sering ganas daripada jinak.
5

Penyebab lain termasuk paraganglioma dari rantai simpatik : kista
hydatidosa, insersi drain intercostal, anestesi blok regional, simpatektomy,
aneurysma arteri subclavia, keganansan thyroid, dan prolaps discus. Digre et al.
Menyediakan protocol untuk investigasi MRI dari sindroma Horner
preganglionik. Cakupan seluruh tulang leher pada tiga pesawat ortogonal
direkomendasikan, untuk melibatkan tulang thorakal atas dan thoracic inlet.
Potongan koronal dengan dan tanpa supresi lemak dapat memberikan detail dari
setiap cedera pleksus brakhialis. Jika sebuah lesi apikal paru-paru atau sebuah
tumor dalam mediastinum atas atau leher depan dianggap mungkin diperlukan
axial contrast-enhanced CT.
5


Gambar3.2. Neuroma apikal.
5

Ket : Seorang wanita 37 tahun dengan nyeri sisi kanan leher yang timbul gradual
dan sindroma Horner ipsilateral. (a) radiografi dada menunjukkan lesi massa pada
aspek medial dari apeks lobus kanan atas. (b) pencitraan CT reformat dengan
peningkatan kontras multiplanar parasagital oblique dari leher menunjukkan detail
kedua vaskular dan hubungan massa terhadap vetebra pada level tulang thorakal
atas. (c) MRI dengan T2-weighted parasagital oblique menunjukkan massa apikal
berukuran 4 cm.
5

20

4.1.3. Postganglionik
Sindroma Horner Postganglionik dapat disebabkan oleh kondisi mulai dari
relatif sepele mengancam jiwa sampai yang mengancam jiwa. Nyeri sering
merupakan gejala yang menyertai. Distribusi anatomikal meluas dari arteri carotis
interna sampai ke basis kranii, sinus cavernosus dan apeks orbita. Penyebab paling
umum adalah diseksi arteri carotis spontan atau traumatik (Gambar3.3), sering
bersamaan dengan carotydynia (nyeri dari wajah dan leher). Thrombosis dalam
vessel merangsang hemiplegia kontralateral. Pasien dengan gangguan jaringan
ikat, seperti bromuscular dysplasia atau sindrom Ehlerse Danlos, mungkin lebih
rentan. Baik tumor dan trauma dapat mengganggu saraf ketiga dalam basis kranii
dan sinus cavernosus (Gambar3.4).
5

Terjadinya kelumpuhan saraf kranial ketiga, keempat, kelima, dan keenam
menunjukkan sebuah lesi dalam sinus cavernosus atau fissura orbita superior.
Sebuah lesi apeks orbita juga dapat menyebabkan kehilangan penglihatan sebagai
tambahan. Sakit kepala tipe Cluster dianggap merupakan akibat cedera serabut
simpatik dalam tulang canalis carotikus. Riwayat pasien sering tipikal; unilateral
berat, sakit kepala singkat yang terlokalisir ke area orbita, temporal dan
pertengahan wajah dimana pencitraan mungkin tidak membantu. Umumnya,
pencitraan memiliki hasil positif yang lebih besar pada penyakit postganglionik
jika gejalanya akut dibandingkan kronik. Angiografi digital dengan formal kateter
merupakan teknik yang berharga yntuk mendeteksi diseksi arteri carotis interna,
tapi sedang digantikan dengan MR dan CT angiografi. MRI axial leher dengan
T1-weighted, lemak ditekan dan magnetic resonance angiography (MRA) akan
mendeteksi sebagian besar diseksi arteri carotis interna.
5

21


Gambar3.3. Diseksi Arteri Carotis Interna.
5

Ket : Seorang wanita berusia 50 tahun dengan carotydynia dan sindroma Horner
sisi kanan. (a) axial T2-weighted MRI setinggi basis kranii menunjukkan
perubahan sinyal tinggi menggantikan kekosongan aliran normal dalam arteri
carotis interna ekstrakranial kanan (panah putih). (b) axial T1-weighted enhanced
MRI menunjukkan diseksi flap dan sinyal tinggi dalam lumen yang menyempit.

22


Gambar3.4. Metastasis Sinus Cavernosus.
5

Ket: Seorang pria berusia 55 tahun dengan riwayat karsinoma nasopharyngeal
berkembang menjadi sindroma Horner pada sisi kanan yang berhubungan dengan
ophthalmoplegia. (a) axial T1-weighted MRI dari kepala sampai setinggi basis
kranii menunjukkan massa jaringan lunak yang isointense terhadap otak mengisi
sinus cavernosus kanan dan meluas sepanjang dasar fossa kranial tengah.
Intracavernosus arteri carotis interna sebagian tertekan. (b) axial T1-weighted
MRI setelah intravena gadolinium menunjukkan peningkatan massa sinus
cavernosus.
23

KESIMPULAN


Sindrom Horner adalah suatu sindrom yang terdiri dari kelainan berupa
masuknya bola mata, ptosis kelopak mata atas, kelopak mata atas sedikit
naik, kontraksi dari pupil, penyempitan dari fissura palpebra, anhidrosis
dan warna kemerahan di sisi wajah yang sakit, disebabkan oleh paralisa
saraf-saraf simpatis servikal
Sindrom Horner terutama disebabkan oleh adanya kerusakan pada jalur
saraf simpatis baik Sentral maupub perifer
Pencitraan dapat dilakukan bersamaan dengan konsultasi medis tergantung
dari lokalisasi dan etiologi yang dicurigai. Diantaranya termasuk
MRI/MRA, angiografi, ekstrakranial USG Doppler dan rontgen dada.


24

DAFTAR PUSTAKA


1. Crick and Khaw. Textbook of Clinical Ophtalmology : A Practical Guide
Disorders of the Eyes; edisi 3. Singapore,London: FuIsland offset printing(S) Pte
Ltd.2003;page51-60.

2. Crick, Ronald Pitts and Peng Tee Khaw. 2003. Textbook of Clinical
Ophthalmology. 3rd Edition. New Jersey: World Scientific Publishing. p 41-420.

3. Dorland. 2006. Kamus Kedokteran. Edisi 29. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

4. G.Lang. Ophtalmology : A Pockets Textbook Atlas; edisi 2. New York:
Thieme Stutgart. 2006; page 373-375

5. George A., Haydar A.A., Adams W.M. Imaging of Horners Syndrome.
United Kingdom: 2008. http://www.sepeap.org/archivos/pdf/10967.pdf. Diunduh
tanggal 20 Mei 2012

6. Horner Syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/1220091-
overview. Diunduh pada tanggal 19 Mei 2012.

7. Ilustrasi sindrom Horner. http://ryosakai.net/horners-syndrome. Diunduh
pada tanggal 19 Mei 2012.

8. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6.
Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.

9. Lang, Gerhard K. 2006. Ophthalmology, A Pocket Textbook Atlas. 2nd
Edition. New York: Thieme Stuttgart. p 235-236

25

10. Ming, Arthur Lim Siew and Ian J. Constable. 2007. Color atlas of
ophthalmology. 3rd edition. New Jersey: World Scientific Publishing.

11. Riordan-eva, Paul and John P. Withcher. 2007. Vaughan and Asburys
General Opthalmology. 17th edition. New York: McGraw Hill-Lange.

12. Smit, Derrick P. Pharmacological testing in Horner's syndrome - A new
paradigm. South African Medical Journal, S. Afr. med. j. vol.100 no.11 Cape
Town Nov. 2010.

13. Stephen G.Waxman. Clinical neuroanatomy: The Visual System ; edisi
25.New Haven: Lange, 2002; page 322-344

14. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P.
Whitcher edisi 17 Jakarta : EGC, 2009 :Hal 119

You might also like

  • Kuliah Blok 17 - KB
    Kuliah Blok 17 - KB
    Document90 pages
    Kuliah Blok 17 - KB
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • GE1
    GE1
    Document1 page
    GE1
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Perforasi
    Perforasi
    Document26 pages
    Perforasi
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • PLENO
    PLENO
    Document29 pages
    PLENO
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • BENJOLAN_LEHER
    BENJOLAN_LEHER
    Document52 pages
    BENJOLAN_LEHER
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Hernia 1
    Hernia 1
    Document2 pages
    Hernia 1
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Diafragma
    Diafragma
    Document15 pages
    Diafragma
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Buang Air Besar
    Buang Air Besar
    Document2 pages
    Buang Air Besar
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Tugas Translate
    Tugas Translate
    Document21 pages
    Tugas Translate
    tasti_imoey
    No ratings yet
  • Schwabach Test
    Schwabach Test
    Document6 pages
    Schwabach Test
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Struktur Dan Fungsi Sendi
    Struktur Dan Fungsi Sendi
    Document6 pages
    Struktur Dan Fungsi Sendi
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • PLENO
    PLENO
    Document25 pages
    PLENO
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Skenario C: Kasus Infertilitas Pak Dhana dan Ibu Neneng
    Skenario C: Kasus Infertilitas Pak Dhana dan Ibu Neneng
    Document67 pages
    Skenario C: Kasus Infertilitas Pak Dhana dan Ibu Neneng
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • PLENO
    PLENO
    Document68 pages
    PLENO
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Kelenjar Tiroid
    Kelenjar Tiroid
    Document60 pages
    Kelenjar Tiroid
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Ske.a Bolk 17
    Ske.a Bolk 17
    Document29 pages
    Ske.a Bolk 17
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Analisis SK B Amalia
    Analisis SK B Amalia
    Document5 pages
    Analisis SK B Amalia
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • PLENO
    PLENO
    Document68 pages
    PLENO
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Kata Pengantarr
    Kata Pengantarr
    Document3 pages
    Kata Pengantarr
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Cover Blok 17 (Yenti)
    Cover Blok 17 (Yenti)
    Document1 page
    Cover Blok 17 (Yenti)
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Kata Pengantarr
    Kata Pengantarr
    Document3 pages
    Kata Pengantarr
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • PLENO
    PLENO
    Document26 pages
    PLENO
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Tutorial 1
    Tutorial 1
    Document39 pages
    Tutorial 1
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Blok 17
    Blok 17
    Document38 pages
    Blok 17
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Tutorial 1
    Tutorial 1
    Document39 pages
    Tutorial 1
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Skenario A Blok 17
    Skenario A Blok 17
    Document39 pages
    Skenario A Blok 17
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Tutorial 1
    Tutorial 1
    Document39 pages
    Tutorial 1
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Tutorial
    Tutorial
    Document52 pages
    Tutorial
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Sken A Blok 17 Solusio
    Sken A Blok 17 Solusio
    Document32 pages
    Sken A Blok 17 Solusio
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet
  • Skenario A Blok 17
    Skenario A Blok 17
    Document39 pages
    Skenario A Blok 17
    Nurfanida Natasya M
    No ratings yet