You are on page 1of 3

Pelajaran / Hikmah Yang Dapat Kita Ambil dari Fenomena Demikian

Jagalah Lisanmu

Nikmat Allah Subhanahu wa Taala yang terlimpah kepada kita tiada terbilang hingga kita
tidak mampu menghitungnya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
Dan jika kalian ingin menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan mampu
menghitungnya. (Ibrahim: 34)
Di antara sekian banyak nikmat-Nya adalah lisan atau lidah yang dengannya seorang hamba
dapat mengungkapkan keinginan jiwanya.
Bukankah Kami telah menjadikan untuknya dua mata, lisan, dan dua bibir? (Al-Balad: 8-9)

Dengan lisan ini, seorang hamba dapat terangkat derajatnya dengan beroleh kebaikan di sisi
Allah Subhanahu wa Taala. Sebaliknya, ia juga dapat tersungkur ke jurang jahannam dengan
sebab lisannya. Rasul yang mulia Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah ridhai dalam keadaan
tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka kata
tersebut berakibat sesuatu, ternyata dengan kata tersebut Allah mengangkatnya beberapa
derajat. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kata yang Allah murkai dalam
keadaan tidak terpikirkan oleh benaknya, tidak terbayang akibatnya, dan tidak menyangka
kata tersebut berakibat sesuatu ternyata karenanya Allah melemparkannya ke dalam neraka
Jahannam. (HR. Al-Bukhari no. 6478)

Yang disesalkan dari keberadaan kita, kaum hawa, sering menyalahgunakan nikmat Allah
Subhanahu wa Taala yang berupa lisan ini. Lisan dilepaskan begitu saja tanpa penjagaan
sehingga keluar darinya kalimat-kalimat yang membinasakan pengucapnya. Ghibah,
namimah, dusta, mengumpat, mencela dan teman-temannya, biasa terucap. Terasa ringan
tanpa beban, seakan tiada balasan yang akan diperoleh. Membicarakan cacat/cela seseorang,
menjatuhkan kehormatan seorang muslim, seakan jadi santapan lezat bagi yang namanya
lisan. Padahal Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabdanya:
Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan
tangannya. (HR. Al-Bukhari no. 6484 dan Muslim no. 161)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menerangkan,
Kaum muslimin selamat dari lisannya di mana ia tidak mencela mereka, tidak melaknat
mereka, tidak mengghibah dan menyebarkan namimah di antara mereka, tidak menyebarkan
satu macam kejelekan dan kerusakan di antara mereka. Ia benar-benar menahan lisannya.
Menahan lisan ini termasuk perkara yang paling berat dan paling sulit bagi seseorang.
Sebaliknya, begitu gampangnya seseorang melepas lisannya.

Beliau rahimahullahu juga menyatakan,
Lisan termasuk anggota tubuh yang paling besar bahayanya bagi seseorang. Karena itulah,
bila seseorang berada di pagi harinya maka anggota tubuhnya yang lain, dua tangan, dua
kaki, dua mata dan seluruh anggota yang lain mengingkari lisan. Demikian pula kemaluan,
karena pada kemaluan ada syahwat nikah dan pada lisan ada syahwat kalam (berbicara).
Sedikit orang yang selamat dari dua syahwat ini. Seorang muslim adalah orang yang kaum
muslimin selamat dari lisannya, yakni ia menahan lisannya dari mereka. Tidak menyebut
mereka kecuali dengan kebaikan. Ia tidak mencaci, tidak mengghibah, tidak berbuat namimah
dan tidak menebarkan permusuhan di antara manusia. Dia adalah orang yang memberikan
rasa aman kepada orang lain. Bila ia mendengar kejelekan, ia menjaga lisannya. Tidak seperti
yang dilakukan sebagian manusia wal iyadzubillah bila mendengar kejelekan saudaranya
sesama muslim, ia melonjak kegirangan kemudian ia menyebarkan kejelekan itu di
negerinya. Orang seperti ini bukanlah seorang muslim (yang sempurna imannya). (Syarh
Riyadhish Shalihin, 1/764)

Lisan yang berpenyakit seperti ini banyak diderita oleh kaum hawa, sehingga mereka harus
banyak-banyak diperingatkan untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Taala dalam
perkara lisan mereka. Ketahuilah, karena bahayanya lisan bila tidak dijaga oleh pemiliknya,
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sampai menjamin surga bagi orang yang dapat
menjaga lisan dan kemaluannya. Sahl bin Sad radhiyallhu anhu menyampaikan sabda
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:
Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua tulang rahangnya (yaitu lisan)
1
dan apa yang ada di antara dua kakinya (yaitu kemaluan)
2
maka aku akan menjamin surga
baginya. (HR. Al-Bukhari no. 6474)

Bila engkau tidak dapat berkata yang baik, maka diamlah niscaya itu lebih selamat.
Karenanya, Rasul yang mulia Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik
atau ia diam. (HR. Al-Bukhari no. 6475 dan Muslim)

Al-Imam Al-Hakim rahimahullahu meriwayatkan dalam Mustadrak-nya dari Ubadah bin
Ash-Shamit radhiyallhu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
mengisyaratkan ke bibirnya dan berkata:
Diamlah kecuali dari perkataan yang baik. Muadz bertanya kepada Rasulullah, Apakah
kita akan disiksa disebabkan apa yang diucapkan oleh lisan-lisan kita? Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam memukul paha Muadz, kemudian bersabda, Wahai Muadz,
ibumu kehilangan kamu
3
, atau beliau mengucapkan kepada Muadz apa yang Allah
kehendaki dari ucapan. Bukankah manusia ditelungkupkan di atas hidung mereka ke dalam
jahannam tidak lain disebabkan karena apa yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka?
Karenanya, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata baik atau ia
diam dari berkata yang jelek. Ucapkanlah kebaikan niscaya kalian akan menuai kebaikan dan
diamlah dari berkata yang jelek niscaya kalian akan selamat. (Dishahihkan Asy-Syaikh
Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 1/460)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menasihatkan,
Sepantasnya bagi orang yang ingin mengucapkan satu kata atau satu kalimat, ia
merenungkan dan memikirkan kata/kalimat tersebut dalam jiwanya sebelum
mengucapkannya. Bila memang tampak kemaslahatan dan kebaikannya maka ia berbicara.
Bila tidak, maka sebaiknya ia menahan lisannya. (Al-Minhaj, 18/318)

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu dalam kitabnya Jami'ul 'Ulum wal Hikam
(1/339-340) menukilkan ucapan tiga sahabat yang mulia berikut ini:
1. Umar ibnul Khaththab radhiyallhu anhu berkata, Siapa yang banyak bicaranya akan
banyak jatuhnya (dalam kesalahan). Siapa yang banyak jatuhnya, akan banyak dosanya.
Dan siapa yang banyak dosanya niscaya neraka lebih pantas baginya.
2. Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallhu anhu memegang lisannya dan berkata, Ini yang
akan mengantarkan aku ke neraka.
3. Ibnu Masud radhiyallhu anhu berkata, Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang
patut diibadahi kecuali Dia! Tidak ada di muka bumi ini yang lebih pantas untuk
dipenjara dalam waktu yang panjang daripada lisan.

Ingatlah saudaraku, firman Allah Subhanahu wa Taala:
Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat
pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaaf: 18)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menukilkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallhu anhuma
tentang ayat di atas,
Malaikat itu mencatat setiap apa yang diucapkannya berupa kebaikan ataupun kejelekan.
(Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 7/308)

Ingatlah, semuanya tercatat dan tersimpan dalam catatan amalmu. Maka berbahagialah
engkau bila catatan amalmu dipenuhi dengan kebaikan, ucapan yang baik dan amal shalih.
Tentunya janji Allah Subhanahu wa Taala berupa surga kan menanti
Sebaliknya celaka engkau bila catatan amalmu dipenuhi ucapan kosong, sia-sia lagi
mengandung dosa dan amal yang buruk. Tentunya ancaman neraka menanti
Bila demikian keadaannya ke mana engkau hendak menuju, ke surga ataukah ke neraka?
Tentu tanpa ragu engkau ingin menjadi penghuni surga. Maka, jangan biarkan lisanmu
menggelincirkanmu ke dalam jurang kebinasaan yang tiada bertepi.

Wallahu taala alam bish-shawab.
___________________________________________________________________________
1
Maksudnya, ia menunaikan kewajiban lisannya berupa mengucapkan apa yang wajib
diucapkannya atau diam dalam perkara yang tidak bermanfaat.
2
Ia menunaikan kewajiban kemaluannya dengan diletakkan pada tempat yang halal dan
menahannya dari yang haram. Demikian diterangkan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu
dalam Fathul Bari (11/374-375).
3
Kalimat seperti ini biasa diucapkan orang-orang Arab namun mereka tidak memaksudkan
maknanya

[Penulis : Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah]
@Yusuf_AtTerbany

You might also like